INDONESIA
KEMITRAAN
DALAM HUBUNGAN
DOKTER–PASIEN
EDITOR
Muhammad Mulyohadi Ali
Ieda Poernomo Sigit Sidi
Tini Hadad
Kresna Adam
Adriyati Rafly
Budi Sampurna
TIM PENYUSUN
Muhammad Mulyohadi Ali
Ieda Poernomo Sigit Sidi
Tini Hadad
Kresna Adam
Adriyati Rafly
Budi Sampurna
Agus Purwadianto
Arsil Rusli
Asri Rasad
Bahar Aswar
Budi Sampurna
Broto Wasisto
Edi Hartini Sundoro
Enizar
Farid Anfasa Moeloek
Herkutanto
Huzna Zahir
Kartono Mohamad
Luwiharsih
Mahlil Ruby
Muryono Subyakto
Sabir Alwy
Safitri Hariyani
Sanusi Tambunan
Sjamsuhidajat
Sri Mardewi Surono Akbar
Sutoto
Teddy Kharsadi
PENYUNTING BAHASA
Abidinsyah Siregar
Dad Murniah
KATA PENGANTAR
Tim Penyusun
SAMBUTAN
KETUA KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA
TENTANG
BUKU KEMITRAAN DALAM HUBUNGAN DOKTER - PASIEN
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
Kesatu : KEPUTUSAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA
TENTANG BUKU KEMITRAAN DALAM HUBUNGAN
DOKTER-PASIEN.
Kedua : Buku Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini.
Ketiga : Buku Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien
sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kedua dapat
digunakan sebagai acuan bagi semua pihak dalam
penyelenggaraan praktik kedokteran di Indonesia.
Keempat : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal di tetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 September 2006
Lampiran
Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor : 19/KKI/KEP/IX/2006
Tanggal : 21 September 2006
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perlindungan masyarakat yang menggunakan pelayanan medis oleh dokter
dan dokter gigi selain dipedomani oleh etika universal, saat ini dijamin oleh
undang-undang. Segala tindakan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi
dalam rangka pengobatan mengikuti prosedur sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, yang dalam hal ini diatur oleh disiplin ilmu masing-masing.
Masyarakat pengguna pelayanan medis, dalam batasan tertentu, perlu
mengetahui alasan tindakan pengobatan yang dilakukan terhadap dirinya.
Hal ini menyiratkan perlunya mengembangkan hubungan dokter - pasien
sebagai hubungan penuh kepercayaan dalam wujud komunikasi dua arah
yang memberikan peluang bagi masing-masing pihak untuk menyampaikan
pendapatnya.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah
diamandemen, Bab X-A tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28H ayat (1)
menyatakan bahwa :
”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan”.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan menyebutkan
bahwa:
“Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat adalah suatu cara
penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan yang paripurna berdasarkan
asas usaha bersama dan kekeluargaan, yang berkesinambungan dan
dengan mutu yang terjamin serta pembiayaan yang dilaksanakan secara
pra upaya.” (Bab I Pasal 1 Ayat 15).
Sedangkan MKDKI merupakan lembaga otonom dari KKI (Bab VIII) dan
bertanggung jawab kepada Konsil Kedokteran Indonesia.
Tugas dari MKDKI adalah:
a. menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran
disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan, dan
b. menyusun pedoman dan cara penanganan kasus pelanggaran disiplin
dokter atau dokter gigi.
Buku ini dibuat dalam rangka mengemban amanah yang dibebankan negara
pada KKI yaitu melindungi masyarakat sebagai pengguna pelayanan medis
dari dokter dan dokter gigi, khususnya dalam rangka pembinaan
penyelenggaraan praktik kedokteran. Perlindungan ini dimulai dengan
melakukan registrasi yaitu pencatatan semua dokter dan dokter gigi yang
berpraktik di Indonesia sehingga setiap orang yang tidak terdaftar dalam Data
Registrasi KKI akan dilarang praktik sebagai dokter atau dokter gigi. Dalam
rangka setiap dokter yang akan melakukan praktik kedokteran di Indonesia
wajib memiliki Surat Tanda Registrasi sebagai bukti bahwa kompetensinya
telah terregistrasi. Surat Tanda Registrasi sebagai salah satu syarat untuk
mendapatkan Surat Izin Praktik. Kemampuan ilmiah dan kepedulian terhadap
pasien akan diawasi secara berkesinambungan.
Memilih Dokter
Pasien dalam konteks hubungan pasien-dokter, seyogianya memulai langkah
pertamanya dengan pemahaman tentang dokter/dokter gigi (layanan primer) atau
pernah dikenal sebagai “dokter umum/dokter gigi”. Dokter mengetahui hampir segala
macam penyakit yang umum dijumpai di negara kita. Demikian pula dengan dokter
gigi untuk penyakit gigi. Pengetahuannya luas dan cukup, meskipun tidak mendalam.
Banyak sekali penyakit yang dapat mereka ketahui (diagnosis) yang lalu mereka obati
(terapi). Karena itu dokter dapat menjadi pilihan pertama dalam berobat.
Dokter/dokter gigi juga bisa melakukan operasi kecil. Apabila terjadi sesuatu yang
membahayakan pasien dan dokter menemukan adanya indikasi rawat, maka ia harus
mengirim petunjuk untuk pasien dirawat.
Dalam hal penanganan pasien yang kondisi dan situasinya berada di luar batas
kemampuan/kewenangannya maka dokter harus mengirim (merujuk) pasien tersebut
ke dokter spesialis. Pada upaya pengobatan yang dirasakan kurang atau tidak
memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan (pasien merasa belum sembuh)
maka dokter akan mengirimkan pasien tersebut ke dokter spesialis. Dalam hal ini
dokter tersebut akan membantu pasien untuk memilih dokter spesialis sesuai dengan
penyakit pasien.
Memilih dokter spesialis sebaiknya dilakukan berdasarkan pembicaraan
dengan dokter karena kesulitan memilih dokter spesialis umumnya
disebabkan ketidaktahuan pasien tentang penyakitnya sendiri. Dengan
sendirinya pasien pun tidak tahu tentang dokter spesialis apa yang cocok
untuk penyakitnya, serta siapa dan di mana dokter spesialis yang dibutuhkan
tersebut dapat dijumpainya. Ketidaktahuan ini dapat menyebabkan upaya
mendapatkan pengobatan yang tepat menjadi tidak efisien, baik dalam hal
waktu maupun biaya. Menyerahkan pilihan dokter spesialis kepada dokter
yang merawat diharapkan dapat mempersingkat jalan untuk memperoleh
pengobatan. Hal yang sama juga diharapkan pada upaya memperoleh
pelayanan medis dari dokter gigi ke dokter gigi spesialis. Pasien dapat
membicarakan pemilihan dokter spesialis dengan dokter yang telah
membantu pengobatan.
memperoleh standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan
mental. Cara memperoleh kesehatan adalah dengan menerapkan pola hidup
sehat seperti makanan seimbang, perumahan layak huni, air dan udara
bersih dan olahraga serta gaya hidup teratur. Selain itu juga melakukan
pencegahan, pengobatan, dan pengendalian segala penyakit menular dan
tidak menular, penyakit lain yang berhubungan dengan perlaku dan
pekerjaan sebagaimana tertuang dalam Pasal 12 Konvenan Internasional
tentang Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya dan Pembukaan Konstitusi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
BAB II
HUBUNGAN DOKTER – PASIEN
keadaan tertentu seperti pembuatan gigi palsu atau anggota badan palsu,
oleh dokter gigi, ahli orthopedi atau ahli bedah kosmetik.
Sebagai sebuah perjanjian, sebagaimana lazimnya ketentuan mengenai
perjanjian, maka untuk sahnya perjanjian harus dipenuhi syarat-syarat
yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :
1. Kesepakatan dari pihak-pihak yang bersangkutan,
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
3. suatu hal tertentu, dan
4. suatu sebab yang halal.
Dari keempat syarat tersebut, syarat 1 dan 2 merupakan persyaratan dari
subjek yang melakukan kontrak medis, karenanya disebut syarat
subjektif, sedangkan syarat 3 dan 4 adalah tentang objek kontrak medis
tersebut dan biasanya disebut syarat objektif. Tidak dipenuhinya syarat
subjektif dapat dilihat terutama dari persyaratan subjektifnya, maka
perjanjian medis mempunyai keunikan tersendiri yang berbeda dengan
perjanjian pada umumnya.
Ad. 1. Kesepakatan
Dalam perjanjian terapeutik, tidak seperti halnya perjanjian biasa, terdapat
hal-hal khusus. Di sini pasien merupakan pihak yang meminta
pertolongan sehingga relatif lemah kedudukannya dibandingkan dokter.
Untuk mengurangi kelemahan tersebut, telah bertambah prinsip yang
dikenal dengan “informed consent”, yaitu suatu hak pasien untuk
mengizinkan dilakukannya suatu tindakan medis. “Informed consent”
merupakan suatu kehendak sepihak secara yuridis, yaitu dari pihak
pasien, jadi karena syarat perjanjian tersebut tidak bersifat suatu
persetujuan yang murni, dokter tidak harus turut menandatanganinya. Di
samping itu, pihak pasien dapat membatalkan pernyataan setujunya
setiap saat sebelum tindakan medis dilakukan. Padahal menurut KUH
Perdata Pasal 1320, suatu perjanjian hanya dapat dibatalkan atas
persetujuan kedua belah pihak; pembatalan sepihak dapat
mengakibatkan timbulnya gugatan ganti kerugian.
Ad.2. Kecakapan
Seseorang dikatakan cakap-hukum apabila ia pria atau wanita telah
berumur 21 tahun, atau bagi pria apabila belum berumur 21 tahun tetapi
telah menikah. Pasal 1330 KUH Perdata, menyatakan bahwa seseorang
yang tidak cakap untuk membuat persetujuan adalah
• Belum dewasa, yang menurut KUH Perdata Pasal 330 adalah belum
berumur 21 tahun dan belum menikah.
• Berada di bawah pengampuan, yaitu orang yang telah berusia 21
tahun tetapi dianggap tidak mampu karena ada gangguan mental.
• Wanita dalam hal yang ditetapkan oleh peraturan perundang-
undangan dalam hal ini masih berstatus istri dan pada umumnya
1. Medical check-up
Upaya ini bertujuan untuk mengetahui apakah seseorang berada
dalam kondisi sehat atau cenderung mengalami suatu kelainan dalam
taraf dini. Hal ini berkaitan dengan usaha promotif yang bertujuan
memelihara atau meningkatkan kesehatan secara umum.
2. Imunisasi
Tindakan ini ditunjukkan untuk mencegah terhadap suatu penyakit
tertentu bagi seseorang yang mempunyai risiko terkena. Misalnya
anggota keluarga dari pasien yang menderita Hepatitis B, dianjurkan
sekali untuk mendapatkan vaksinasi Hepatitis B. Usaha preventif ini
bersifat spesifik untuk mencegah penularan penyakit Hepatitis B.
3. Keluarga Berencana
5. Memperpanjang Hidup
Seperti halnya meringankan penderitaan, di sini pun penyakit pasien
belum dapat diatasi sepenuhnya sehingga sewaktu-waktu perlu
dilakukan tindakan medis tertentu. Misalnya pada pasien gagal ginjal
yang memerlukan ‘cuci darah’.
6. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah upaya untuk memulihkan kondisi seorang pasien
setelah mengalami perawatan, pengobstsn arau tindakan medik berat.
Melalui upaya rehabilitasi diharapkan pasien akan mampu lagi untuk
berfungsi sebagaimana sebelumnya, meskipun mungkin masih ada
cacat atau ketidak sempurnaan fisik atau mental dibanding dengan
sebelum sakit. Oleh karena itu rehabilitasi medik tidak hanya berupa
pemulihan fungsi fisik tetapi juga konseling untuk memulihkan rasa
percaya diri pasien.
Di laboratorium:
• Cara pemeriksaan yang akan dilakukan
• Jenis-jenis pemeriksaan
• Biaya pemeriksaan
• Pembacaan hasil pemeriksaan (siapa yang akan membaca dan
menjelaskan)
Di rumah sakit:
• Kelas perawatan rumah sakit, kekhususan masing-masing kelas dan
biayanya
• Rincian biayanya.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN
1. Hak Pasien
Hak pasien sebenarnya merupakan hak yang asasi yang bersumber dari hak
dasar individual dalam bidang kesehatan, The Right of Self Determination.
Meskipun sama fundamentalnya, hak atas pelayanan kesehatan sering
dianggap lebih mendasar. Dalam hal ini negara berkewajiban untuk
menyelenggarakan pemenuhan layanan kesehatan tersebut, sehingga
masyarakat dapat dengan mudah memenuhi kebutuhan layanan kesehatan
yang terjangkau, berkualitas, dan tersedia di seluruh wilayah Indonesia.
Selanjutnya, di dalam praktik kedokteran terjadilah hubungan pasien-dokter
yang esensi hubungannya adalah saling menghargai dan saling
mempercayai. Tetapi, hubungan ini, tidak seimbang. Secara relatif pasien
berada pada posisi yang lebih lemah. Kekurangmampuan pasien untuk
membela kepentingannya, yang dalam hal ini disebabkan ketidaktahuan
pasien pada masalah pengobatan, menyebabkan timbulnya kebutuhan untuk
mempermasalahkan hak-hak pasien dalam menghadapi para profesional
kesehatan.
Hubungan yang terjadi biasanya lebih bersifat paternalistik, di mana pasien
selalu mengikuti apa yang dikatakan dokter/dokter gigi, tanpa bertanya
apapun. Sebenarnya dokter adalah “partner” pasien dalam hal mencari
kesembuhan penyakitnya dan kedudukan keduanya sama secara hukum.
Pasien dan dokter sama-sama mempunyai hak dan kewajiban tertentu.
Dimulai pada bulan September 1981, pada Musyawarah ke-34 Asosiasi
Kedokteran Sedunia (World Medical Association) di Lisabon, untuk pertama
kalinya dideklarasikan hak-hak pasien, yang meliputi hak untuk memilih
dokter secara bebas, hak untuk dirawat oleh dokter yang memiliki kebebasan
dalam membuat keputusan klinis dan etis tanpa pengaruh dari luar, hak untuk
menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi yang
adekuat, hak untuk mengharapkan bahwa dokternya akan merahasiakan
rincian kesehatan dan pribadinya, hak untuk mati secara bermartabat, dan
hak untuk menerima atau menolak layanan moral dan spiritual.
Di Indonesia, semula baru sebagian kecil masyarakat yang mengetahui hak-
haknya sebagai pasien dan hanya diberlakukan secara voluntary sebagai
kode etik dokter dan belum ada jaminan hukumnya. Kemudian pada tahun
1992, hak-hak pasien dimasukkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan. Hal ini dirasakan perlu karena selama ini pasien,
bila berhubungan dengan dokter, benar-benar harus mempercayakan seluruh
nasibnya kepada dokter tersebut. Dalam arti bila terjadi suatu kesalahan
atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter, pasien hanya bisa pasrah, tanpa
dapat menggugat, karena tidak ada landasan hukumnya.
Isi pasal hak-hak pasien di undang-undang tersebut hampir sama, hanya
terdapat sedikit perbedaan, yaitu pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran tidak disebutkan hak pasien untuk
mendapatkan ganti rugi.
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-
kurangnya mencakup:
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
Ada juga hak pasien lainnya yang dakui oleh World Health Organization
(WHO), namun belum tercermin dalam undang-undang dan peraturan yang
berlaku di Indonesia, antara lain:
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN DOKTER
1. Hak Dokter
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang ia melakukan praktik
kedokteran sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional.
Standar profesi menurut Penjelasan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 adalah batasan kemampuan (knowledge, skill dan
professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu
untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara
mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi. PB IDI, PB PDGI dan para
pakar berpendapat bahwa standar profesi tersebut terdiri dari standar
pendidikan, standar kompetensi, standar pelayanan dan pedoman
perilaku sesuai dengan kode etik kedokteran dan kedokteran gigi.
Menurut Penjelasan Pasal 50 Undang Undang Nomor 29 tahun 2004,
standar prosedur operasional adalah suatu perangkat instruksi/langkah-
langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin
tertentu. Standar Prosedur Operasional memberikan langkah yang benar
dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan
berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana
pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.
Dokter yang melakukan praktik sesuai dengan standar tidak dapat
disalahkan dan bertanggungjawab secara hukum atas kerugian atau
cidera yang diderita pasien karena kerugian dan cidera tersebut bukan
diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaian dokter. Perlu diketahui bahwa
cedera atau kerugian yang diderita pasien dapat saja terjadi karena
perjalanan penyakitnya sendiri atau karena risiko medis yang dapat
diterima (acceptable) dan telah disetujui pasien dalam informed consent.
b. Melakukan praktik kedokteran sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional.
Dokter diberi hak untuk menolak permintaan pasien atau keluarganya
yang dianggapnya melanggar standar profesi dan atau standar prosedur
operasional.
c. Memperoleh informasi yang jujur dan lengkap dari pasien atau
keluarganya.
Dokter tidak hanya memerlukan informasi kesehatan dari pasien,
melainkan juga informasi pendukung yang berkaitan dengan identitas
pasien dan faktor-faktor kontribusi yang berpengaruh terhadap terjadinya
penyakit dan penyembuhan penyakit.
d. Menerima imbalan jasa
Hak atas imbalan jasa adalah hak yang timbul sebagai akibat hubungan
dokter dengan pasien, yang pemenuhannya merupakan kewajiban
pasien. Dalam keadaan darurat atau dalam kondisi tertentu, pasien tetap
dapat dilayani dokter tanpa mempertimbangkan aspek finansial.
Selain itu dokter juga memiliki hak-hak yang berasal dari hak azasi
manusia, seperti:
- hak atas privasinya
- hak untuk diperlakukan secara layak
- hak untuk beristirahat
- hak untuk secara bebas memilih pekerjaan
- hak untuk terbebas dari intervensi, ancaman dan kekerasan, dan lain-
lain sewaktu menolong pasien.
BAB V
PELAYANAN KEDOKTERAN
Dokter
Dokter adalah lulusan Fakultas Kedokteran. Dokter berkompeten atau
mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan kedokteran di semua
bidang ilmu kedokteran hingga ke batas tertentu. Ia bisa melakukan
pembedahan minor, mengobati penyakit apa saja dan lain sebagainya.
Pengetahuan dan keterampilannya terbatas pada bidang kedokteran, luas
namun tidak mendalam sebagaimana dokter yang mengambil spesialis
bidang tertentu. Jadi, dokter bisa saja melakukan pengobatan atau tindakan
medis kepada pasien-pasiennya, namun apabila terjadi penyulit yang bisa
membahayakan pasien atau dirinya sendiri, atau apabila ia menemui kasus
yang ia tidak mampu menanganinya, ia wajib merujuk pasien ke dokter
spesialis yang sesuai yang mampu menangani kasusnya. Dalam memberikan
pelayanan medis, dokter terikat pada ketentuan yang mengatur batasan
kewenangan sesuai dengan kemampuannya.
Dokter Spesialis
Dokter spesialis memperoleh keahliannya dengan mengikuti pendidikan
spesialis di bidang yang menjadi pilihannya, sesudah lulus sebagai dokter
dari Fakultas Kedokteran. Sesudah menjadi dokter spesialis, ia memusatkan
pengetahuannya pada satu bidang hingga kemampuannya di bidang
spesialisasi itu semakin dalam. Dengan demikian ia pun menjadi lebih
kompeten di bidangnya, khususnya dalam menilai dan melakukan hal-hal
Dokter Gigi
Seseorang yang menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi
berkompeten atau mempunyai wewenang untuk:
- mengobati penyakit gigi
- mengobati/memperbaiki kelainan bawaan di bidangnya
- melakukan rehabilitasi kelainan sistem stomatognati yang meliputi
kelainan gigi-geligi, otot, saraf, pembuluh darah dan tulang rahang, dalam
rangka mempertahankan fungsi-fungsi pengunyahan, bicara, estetis dan
persarafan.
- Praktik perorangan
- Klinik bersama
- Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)
- Balai Kesehatan Masyarakat (Balkesmas)
- Rumah Sakit Umum
- Rumah Sakit Khusus
- Rumah Sakit Pendidikan
3.3. Puskesmas
Dokter dan dokter gigi yang berpraktik di Puskesmas umumnya adalah
dokter/dokter gigi yang ditempatkan sebagai pegawai negeri sipil atau
pegawai tidak tetap Departemen Kesehatan atau Pemerintah Daerah
setempat. Puskesmas adalah tempat pelayanan kesehatan yang disediakan
oleh pemerintah bagi masyarakat. Wilayah kerja Puskesmas biasanya
meliputi wilayah kecamatan, sedangkan di wilayah tertentu seperti di DKI
Jakarta, terdapat Puskesmas dengan wilayah kerja di tingkat kelurahan.
Dilihat dari bentuk pelayanannya, Puskesmas umumnya hanya memberikan
pelayanan rawat jalan, namun terdapat pula Puskesmas yang mempunyai
fasilitas untuk rawat inap, atau Puskesmas yang dilengkapi dengan layanan
pertolongan persalinan dengan fasilitas rawat inap. Informasi mengenai
layanan medis yang bisa diberikan oleh dokter/dokter gigi di Puskesmas
tertentu dapat ditanyakan kepada petugas atau berdasarkan keterangan yang
dimuat pada papan pelayanan di ruang tunggu Puskesmas.
3.4. Balkesmas
Status dokter/dokter gigi di rumah sakit dapat sebagai dokter tetap atau
purnawaktu, dapat pula sebagai dokter paruhwaktu, ataupun dokter tamu.
Status kepegawaian dokter juga dapat sebagai pegawai rumah sakit atau
sebagai profesional bukan pegawai dengan ikatan kontrak dengan rumah
sakit. Dokter purnawaktu dan dokter paruhwaktu memiliki jam praktik yang
jelas dan memiliki hubungan kerja yang jelas dengan rumah sakit, sehingga
dapat bekerja dengan leluasa di rumah sakit tersebut. Dokter tamu tidak
memiliki jam praktik, namun ia memiliki hak untuk merawat pasien-pasiennya
di rumah sakit tersebut. Dokter purnawaktu memiliki waktu yang lebih banyak
di rumah sakit sehingga lebih mudah ditemui pasien. Dokter paruhwaktu
umumnya hanya dapat ditemui pada jam praktik dan jam kunjungan ke
pasien rawat inapnya. Dalam keadaan pasien mengalami kegawatdaruratan,
dokter-dokter tersebut dapat dipanggil untuk merawat pasiennya. Rumah
sakit juga memiliki sistem kerja sedemikian rupa sehingga dalam hal dokter
yang merawat pasien berhalangan hadir, maka dokter lain yang kompeten
harus dapat menggantikan tugasnya. Dokter jaga dan dokter ruangan adalah
dokter yang selalu siap siaga di rumah sakit.
Pelayanan medis yang diberikan oleh dokter/dokter gigi, baik umum maupun
spesialis dapat ditemui di Rumah Sakit Umum (RSU) yang melayani segala
macam penyakit. Keumumannya ditimbulkan oleh meratanya peran dokter
spesialis yang bekerja di rumah sakit tersebut.
Rumah Sakit Khusus (RSK) adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan
utama atas satu atau beberapa disiplin kedokteran tertentu. Contohnya
adalah RSK Bedah dengan spesialisasi Bedah; RSK THT dengan
spesialisasi Telinga Hidung dan Tenggorokan; RSK Jiwa dengan spesialisasi
Kedokteran Jiwa; RSK Paru dengan spesialisasi Penyakit Paru; RSK Bedah
Plastik dengan spesialisasi bedah plastik; RSK Kanker, mengkhususkan
pada kanker; RSK Ibu dan Anak untuk pelayanan kesehatan ibu dan anak.
4. Sistem Rujukan
Merujuk berarti melihat untuk meneliti (KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia
edisi ketiga, cetakan 1, Balai Pustaka, Jakarta, 2001 dari Departemen
Pendidikan Nasional). Dalam istilah kedokteran, merujuk juga disebut
sebagai konsultasi yang berarti meminta pendapat untuk mengambil suatu
keputusan (Microsoft® Encarta® Reference Library 2005). Pasien perlu
memahami sistem rujukan dalam memperoleh pelayanan medis agar dapat
dilakukan secara efisien dan efektif. Sistem rujukan dapat dilihat dari
perujukan antar dokter pemberi layanan, dapat pula perujukan antar sarana
pelayanan kesehatan. Perujukan dapat dilakukan dari bawah ke atas, dan
dapat pula dilakukan dari atas ke bawah, atau ke samping.
Kompetensi atau kemampuan dokter dan dokter gigi berjenjang dan
berjurusan sesuai bidang spesialisasi, sehingga akibatnya pada tiap jenjang
dan tiap spesialisasi akan memiliki keterbatasan kompetensi. Dokter dapat
merujuk ke dokter spesialis, demikian pula sebaliknya. Dokter spesialis yang
satu dapat merujuk ke spesialis lainnya, demikian pula sebaliknya.
Sistem rujukan sebagaimana ditemukan pada tingkat dokter ke dokter
spesialis atau dari dokter gigi ke dokter gigi spesialis juga ditemukan pada
tingkat dokter spesialis ke dokter spesialis konsultan atau subspesialis.
Di dalam sistem rujukan yang baik, pasien yang mencari pengobatan
sebaiknya memulainya dari sarana pelayanan kesehatan primer (Puskesmas,
Poli Umum di rumah sakit, atau tempat praktik dokter). Pada umumnya,
penyakit yang tidak sulit akan dapat diatasi di tingkat pelayanan kesehatan
primer tersebut. Apabila diperlukan, baik atas inisiatif pemberi layanan
ataupun permintaan pasien dan kemudian disetujui keduanya, yaitu apabila
pemberi layanan merasa tidak mampu menangani pasien lebih lanjut atau
apabila penanganan belum menunjukkan hasil yang diharapkan, maka
pasien dapat dirujuk ke sarana pelayanan kesehatan yang lebih tinggi (rumah
sakit atau dokter spesialis) atau ke dokter spesialis lain yang lebih tepat.
Perujukan membutuhkan adanya surat pengantar dari dokter yang merujuk
yang berisi informasi kesehatan pasien dan penanganannya hingga saat
perujukan. Informasi tersebut sangat berguna bagi dokter yang menerima
rujukan agar penanganan pasien dapat berlanjut dengan efektif dan efisien.
Dalam keadaan tertentu, seperti pada keadaan darurat medis atau
kekambuhan penyakit yang sebelumnya sudah diketahui, pasien dapat saja
langsung mencari pertolongan medis ke rumah sakit atau ke dokter spesialis
yang sudah dikenalnya atau yang selama ini menanganinya.
Dilihat dari segi pelayanan gigi, pemahaman sistem rujukan akan membantu
mendapatkan pelayanan medis gigi yang efisien dan efektif.
BAB VI
HASIL PELAYANAN KEDOKTERAN
3
Kohn LT, Corrigan JM and Donaldson MS. To err is human, building a safer health system. Washington
DC: National Academy Press, 2000, p58-60
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian kedua bab ini bahwa bilamana
ditemukan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi yang terkait dengan aspek etika, disiplin dan hukum, maka
mekanisme pengaduannya adalah :
MKEK-IDI (pusat dan provinsi) dan MKEKG-PDGI (pusat dan provinsi) dapat
pula menerima pengaduan dugaan pelanggaran etik yang merupakan
pelimpahan dari hasil keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI) sesuai yang diatur dalam pasal 68 Undang Undang
nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang berbunyi : ”Apabila
dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia meneruskan pengaduan pada organisasi
profesi.”
PELAKSANAAN KEPUTUSAN
Organisasi
Profesi
PELAKSANAAN KEPUTUSAN
MKEK/MKEKG MKDKI
Tuntutan Gugatan
Teguran Keputusan
Pencabutan Izin Praktik
Ganti rugi Mati/kurung/ Teguran/
penjara/ denda Pencabutan
Sementar Tetap
Selamanya
a Pernyataan Rekomendasi Kewajiban mengikuti
Tertulis Pencabutan Pelatihan /Latihan
Tanda Registrasi
& Surat Izin
Isu etik Isu Disiplin Isu Hukum Isu Hukum Isu Hukum
Pidana Perdata Administrasi
Selain itu tentu saja sengketa pasien-dokter dapat pula diselesaikan di dalam
pengadilan, baik melalui proses pengadilan pidana maupun melalui
pengadilan perdata. Dalam pengadilan perdata, pada umumnya para hakim
akan menganjurkan “damai” terlebih dahulu sebelum persidangan dimulai.
BAB VII
PENUTUP
Pasien dan dokter adalah mitra dalam upaya mencari kesembuhan dari
penyakit yang dideritanya. Profesi dokter dilakukan berdasarkan sumpah
kedokteran dan etika profesi serta ketentuan yang berlaku dalam undang-
undang. Sebagai manusia, dokter mempunyai berbagai karakter. Dalam
melaksanakan tugasnya, dokter tidak terlepas dari karakter pribadi masing-
masing. Meskipun demikian dokter tetap berkewajiban mematuhi ketentuan
sebagaimana ditetapkan dalam sumpah kedokteran, etika profesi, maupun
undang-undang. Tampilan dokter dalam memberikan pelayanan medis cukup
beragam. Ada dokter yang enggan berbicara dengan pasien, walaupun
pasien mengemukakan keluhannya dan bertanya. Dokter hanya memeriksa
lalu menuliskan resep dan kalau dirasakannya perlu, ia akan memesankan
satu dua hal yang dianggapnya penting untuk diketahui atau dilaksanakan
pasien. Ada dokter yang hanya mau berbicara kalau pasien bertanya, itupun
hanya sebatas menjawab pertanyaan pasien saja. Ada pula dokter yang mau
menjawab pertanyaan, bahkan menjelaskan tanpa diminta pasien, terutama
kalau ia menganggap pasien perlu mengetahui informasi tentang hal-hal yang
berhubungan dengan keadaannya.
Perlindungan pasien perlu dipahami dengan baik oleh kedua pihak, yaitu
pasien dan dokter. Di sisi lain, pasien juga perlu memahami bahwa dokter
juga dilindungi oleh undang-undang. Tujuannya sama, yaitu peningkatan
kualitas pelayanan. Dokter dan pasien adalah mitra yang perlu bekerja sama
dalam upaya memperoleh hasil pelayanan medis yang optimal. Pasien perlu
mengemukakan dirinya secara jujur, terbuka untuk hal-hal yang berkaitan
(atau mungkin ada hubungannya namun tidak disadarinya) dengan
penyakitnya. Dokter menjelaskan berbagai kemungkinan dan membicarakan
dengan pasien tentang pilihan yang ada agar dapat diperoleh kesepakatan
mengenai tindakan medis yang akan dilakukan. Pendekatan dengan cara
konseling akan sangat menguntungkan karena dalam konseling pasien dan
dokter dapat berbicara dalam nuansa komunikasi setara, bukan superior
(posisi dokter) inferior (posisi pasien).
Kemitraan diwarnai oleh sikap pasien dan dokter yang saling mengerti dan
menghargai, antara lain terlihat dalam perilaku pasien sebagai berikut:
a. Mengemukakan diri sesuai keperluannya, tidak bertele-tele karena
menyadari bahwa dokter juga diperlukan oleh pasien lainnya, ada tugas
dan keperluan lain dalam kehidupannya yang harus dipahami dan
dihormati.
b. Tidak segan berterus terang karena tahu bahwa informasi tersebut
diperlukan dokter untuk mendiagnosis dan mengobati penyakitnya.
c. Memberi kesempatan kepada dokter untuk berpikir, memeriksa, menulis
resep dan tidak mencecarnya terus menerus dengan pertanyaan,
keluhan, atau meminta penjelasan.
Buku ini disusun untuk kepentingan masyarakat sebagai informasi yang perlu
diketahui dalam menerima pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan
dokter gigi. Selain buku ini, Konsil Kedokteran Indonesia juga menerbitkan
buku untuk dokter dan dokter gigi yang memuat hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam memberikan pelayanan medis. Dari penerbitan kedua
buku tersebut diharapkan dapat terwujud hubungan dokter-pasien yang
bersifat kemitraan. Dengan demikian diharapkan kualitas pelayanan medis di
Indonesia dapat ditingkatkan. Ketentuan mengenai keharusan memiliki Surat
Tanda Registrasi (STR) untuk mendapatkan Surat Izin Praktik (SIP) perlu
diketahui oleh dokter dan pasien. Dokter dan dokter gigi memahami bahwa ia
harus memiliki STR dan SIP untuk bisa berpraktik. Masyarakat tahu bahwa ia
harus memilih dokter yang memiliki STR dan SIP kalau ingin mendapatkan
pelayanan yang berkualitas dan memperoleh perlindungan hukum.
- Psikologi
- Komunikasi
- Hukum
- Kedokteran
- Kedokteran Gigi
- Bahasa
DAFTAR PUSTAKA
BAHAN BACAAN
Tim Redaksi KBBI. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495).
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
116, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431).
Presiden Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966
tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang Rekam Medik/Medical Record.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik
Kedokteran.
KONTRIBUTOR
PENYUSUNAN DRAF
BUKU KEMITRAAN DALAM HUBUNGAN DOKTER-PASIEN
PERTEMUAN REGIONAL (JAWA TIMUR, JAWA TENGAH,
DI YOGYAKARTA, BALI, NUSA TENGGARA BARAT,
KALIMATAN SELATAN)
DISELENGGARAKAN DI SURABAYA, 23-25 APRIL 2006
KONTRIBUTOR
PENYUSUNAN DRAF BUKU
KEMITRAAN DALAM HUBUNGAN DOKTER-PASIEN
PERTEMUAN REGIONAL (SULAWESI TENGAH, KALIMANTAN TIMUR,
SULAWESI SELATAN, SULAWESI UTARA)
DISELENGGARAKAN DI MAKASSAR, 27-29 APRIL 2006 DAN 14-16 MEI 2006
01. dr. Abdullah, DHSM, M.Kes (Dinkes Kota Palu Propinsi Sulawesi Tengah)
02. Abdul Malik Razak (Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan)
03. Abdurachman (Dinkes Kabupaten Kutai Kartanegara Propinsi Kaltim)
04. dr. Achlia. S. Dachlan, M.Kes (Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Timur)
05. Aflina Mustafainah (Yayasan Lembaga Konsumen Propinsi Sulawesi Selatan)
06. Agus Salim, SKM (Yayasan Mitra Husada Makassar Propinsi Sulsel)
07. Anang Nur Irmansyah, S.Sos (Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan)
08. Andar (FKM Universitas Hasanuddin Propinsi Sulawesi Selatan)
09. Andi Tuleng (FKM UVRI)
10. Anita. B. Nurdin (PDGI Wilayah Propinsi Sulawesi Tengah)
11. Anna Mongan (Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Utara)
12. Anny Tambero (LSM Rosontapura Palu Propinsi Sulawesi Tengah)
13. dr. Hj. Aryani Arsyad, M.Kes (Dinkes Kabupaten Bulungan Propinsi Kaltim)
14. dra. Astuty Azis (Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan)
15. dr. B. Jimmy Waleleng (IDI Wilayah Propinsi Sulawesi Utara)
16. drg. Dyah Muryani (Dinkes Kota Balikpapan Propinsi Kalimantan Timur)
17. drg. Eman Suherman (Ketua PDGI Cabang Manado Propinsi Sulut)
18. dr. Emil. B. Moerad, Sp.P (Ketua IDI Wilayah Propinsi Kalimantan Timur)
19. Elianur Arsuka, SKM (Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan)
20. dr. I. Dewa Made Sudirman (Dinkes Kabupaten Pasir Propinsi Kaltim)
21. drg. I. Wayan Astika (Dinas Kesehatan Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah)
22. Prof. Dr. Joy Rattu (FKG Universitas Samratulagi Menado Propinsi Sulut)
23. Harry Pokajow, S.Sos (Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Utara)
24. Hasrullah (PPNI Propinsi Sulawesi Selatan)
25. dr. Herlima (IDI Cabang Toli-Toli Propinsi Sulawesi Tengah)
26. Kaharuddin (Dinas Kesehatan Makassar Propinsi Sulawesi Selatan)
27. Prof. Dr. Laihad (FK Universitas Samratulangi Manado Propinsi Sulut)
28. dr. Marten Walukow (Dinas Kesehatan Kabupaten Minahasa Propinsi Sulut)
29. dr. Meyritha Sumarthi (Dinas Kesehatan Kota Manado Propinsi Sulut)
30. Prof. Drg. M. Dharmanta (FKG Universitas Hasanuddin Propinsi Sulsel)
31. dr. M. Eddy Muhtar, MARS (Dinas Kesehatan Kabupaten Maros Prop. Sulsel)
32. dr. M. Ishaq Iskandar, M.Kes (Dinas Kesehatan Kota Palopo)
33. dr. M. Jusri Amrang (Dinkes Kab. Parigi Montong Propinsi Sulawsi Tengah)
34. dr. M. Thoufick. H. (Dinas Kesehatan Kota Bontang Propinsi Kaltim)
35. dr. A. Mukranis Anwar (IDI Wilayah Propinsi Sulawesi Tengah)
36. dr. H. A. Munir, M.Kes (Dinkes Kabupaten Takalar Propinsi Sulawesi Selatan)
37. drg. Nina. E. R. (PDGI Wilayah Samarinda Propinsi Kalimantan Timur)
38. Norma Tadjuddin (IBI Propinsi Sulawesi Selatan)
39. Nurhany Kasim Nany (Dinas Kesehatan Kota Makassar Propinsi Sulsel)
40. drg. Nurhasanah Palnirungi (Dinas Kesehatan Kota Makassar Propinsi Sulsel)
41. dr. Olga. M. Karinda (Dinas Kesehatan Kota Tomohon Propinsi Sulawesi Utara)
42. dr. Rachim Dinata (IDI Cabang Kota Balikpapan Propinsi Kalimantan Timur)
43. Rachmat Jaya, SKM, M.Kes (Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan)
44. Ratna Dewi (LSM Yayasan Ibnu Chaldun)
45. dr. Riry Azmarny Lamadjido (IDI Palu Propinsi Sulawesi Tengah)
46. dr. Rumaisah (IDI)
47. dr. H. Salahuddin, M.Kes (Dinas Kesehatan Kabupaten Gowa Propinsi Sulsel)
48. Satrisna Ismail (Dinas Kesehatan Kota Makassar Propinsi Sulawesi Selatan)
49. dr. Syafruddin Mokoginta (Dinkes Kabupaten Bolaangmongondo Prop. Sulut)
50. drg. Sukmawati, MM (Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan)
51. Sumadi. A. (PKBI Propinsi Kalimantan Timur)
52. Sukardi Pangade, SKM, M.Kes (FKM UVRI)
53. Syahrun. R. (Dinas Kesehatan Kabupaten Bontang Propinsi Kaltim)
54. Prof. Dr. Suryani (FK Universitas Hasanuddin Propinsi Sulawesi Selatan)
55. drg. Suryani Astuti, MSi (Dinas Kesehatan Kota Samarinda Propinsi Kaltim)
56. Tuharea Salim (Dinas Kesehatan Kabupaten Poso propinsi Sulawesi Tengah)
57. Ir. Umar Mato (Yayasan Mitra Masyarakat Manado Propinsi Sulut)
58. drs. Usman. Y. Tantu (Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tengah)
59. Yasser Hasan (Dinkes Kabupaten Toli-Toli Propinsi Sulawesi Tengah)
60. Yefintje Tangkabiringan (Yayasan Pelangi Kasih Manado Propinsi Sulut)
61. Zuhdi Makmun, SKM, M.Kes (Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tengah)
KONTRIBUTOR
PENYUSUNAN DRAF BUKU
KEMITRAAN DALAM HUBUNGAN DOKTER-PASIEN
PERTEMUAN REGIONAL (BANGKA BELITUNG, SUMATERA SELATAN,
LAMPUNG, JAMBI, BENGKULU)
DISELENGGARAKAN DI PALEMBANG, 30 APRIL S/D 2 MEI 2006
KONTRIBUTOR
PENYUSUNAN DRAF BUKU
KEMITRAAN DALAM HUBUNGAN DOKTER-PASIEN
PERTEMUAN REGIONAL (SUMATERA UTARA, SUMATERA BARAT, RIAU,
DI ACEH, KEPULAUAN RIAU, BANGKA BELITUNG, BENGKULU)
DISELENGGARAKAN DI PADANG, 7 – 9 MEI 2006
Sekretariat :
- Sjarifuddin Usman
- Sri Gunadi
- Samsu Hidayat
- R Bimo Satrio Rahardjo
- Mathilda Marpaung
- Agus Wihartono
- Yanthi Brihtsanthi