Anda di halaman 1dari 85

KONSIL KEDOKTERAN

INDONESIA

KEMITRAAN
DALAM HUBUNGAN
DOKTER–PASIEN

EDITOR
Muhammad Mulyohadi Ali
Ieda Poernomo Sigit Sidi
Tini Hadad
Kresna Adam
Adriyati Rafly
Budi Sampurna

KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA


Indonesian Medical Council
Jakarta 2006
KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien i


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

TIM PENYUSUN
Muhammad Mulyohadi Ali
Ieda Poernomo Sigit Sidi
Tini Hadad
Kresna Adam
Adriyati Rafly
Budi Sampurna
Agus Purwadianto
Arsil Rusli
Asri Rasad
Bahar Aswar
Budi Sampurna
Broto Wasisto
Edi Hartini Sundoro
Enizar
Farid Anfasa Moeloek
Herkutanto
Huzna Zahir
Kartono Mohamad
Luwiharsih
Mahlil Ruby
Muryono Subyakto
Sabir Alwy
Safitri Hariyani
Sanusi Tambunan
Sjamsuhidajat
Sri Mardewi Surono Akbar
Sutoto
Teddy Kharsadi

PENYUNTING BAHASA
Abidinsyah Siregar
Dad Murniah

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien ii


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

Hubungan dokter-pasien yang bersifat kemitraan


akan mengantar kedua pihak pada pemahaman dan
keyakinan bahwa yang dilakukan hanyalah sebatas
upaya. Karenanya dokter dan pasien harus
melaksanakan hak dan kewajibannya masing-
masing.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien iii


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

KATA PENGANTAR

Peran dokter/dokter gigi dalam membantu masyarakat untuk dapat


mengupayakan kesembuhan sudah dikenal lama. Pelayanan medis yang
dilakukan oleh dokter/dokter gigi perlu dipahami secara baik oleh masyarakat
agar pemanfaatannya tepat dan harapannya pun sesuai antara yang
diinginkan dengan fakta ketersediaan pelayanan. Kondisi dan situasi dalam
pemberian pelayanan medis mengalami banyak perubahan. Cara
pengobatan tidak lagi sepenuhnya seperti dulu, yang membuat hubungan
dokter–pasien pun mengalami perubahan. Kemajuan dalam ilmu dan
teknologi kedokteran dan perkembangan masyarakat mempengaruhi
terjadinya perubahan tersebut.
Pendidikan dokter/dokter gigi semakin meningkat jenjangnya, tidak lagi hanya
menghasilkan dokter/dokter gigi umum melainkan sampai pada tingkat sub
spesialis. Kondisi ini membuat pembidangan dan pembagian tugas,
wewenang, kewajiban dokter/dokter gigi menjadi semakin kompleks.
Masyarakat perlu diberi informasi mengenai pengertian, pembidangan tugas,
batasan wewenang dan tanggung jawab dalam pelayanan medis. Pasien dan
keluarganya serta lingkungan di sekitarnya perlu memahami, kasus mana
yang bisa ditangani oleh dokter/dokter gigi umum dan dokter/dokter gigi
spesialis dan subspesialis, sesuai ketentuan dari Departemen Kesehatan RI.
Buku Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien ini disusun dalam rangka
sosialisasi kepada masyarakat mengenai pelayanan medis yang diberikan
oleh dokter/dokter gigi. Melalui buku ini diharapkan masyarakat dapat lebih
memahami berbagai hal yang berkaitan dengan pemanfaatan pelayanan
medis oleh dokter/dokter gigi. Perlindungan kepada masyarakat pengguna
pelayanan medis oleh dokter/dokter gigi diamanatkan oleh Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, antara lain dengan
membentuk Konsil Kedokteran Indonesia. Salah satu upaya perlindungan
tersebut adalah dengan memberikan informasi kepada masyarakat sehingga
dapat dicapai pemberdayaan masyarakat dalam memanfaatkan pelayanan
medis oleh dokter/dokter gigi.
Penyusunan buku ini melibatkan berbagai unsur, yaitu dari kalangan
kedokteran dan kedokteran gigi dan masyarakat pengguna pelayanan medis
yang diberikan oleh dokter/dokter gigi. Konsep awal yang disusun kemudian
dibahas bersama dalam kelompok kecil, kemudian disampaikan pada
berbagai pertemuan dalam rangka disiminasi dan sosialisasi guna
mendapatkan masukan/tanggapan/komentar, juga kritik dan saran.
Melalui buku ini diharapkan masyarakat dapat memahami secara tepat
mengenai dokter/dokter gigi dan pelayanannya, baik umum maupun spesialis
dan subspesialis. Penjelasan mengenai pelayanan medis yang diberikan oleh
dokter/dokter gigi dilengkapi dengan uraian mengenai pendidikan, keahlian,

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien iv


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

kewenangan, sarana pelayanan kesehatan, sistem rujukan, pembiayaan, dan


hasil yang diharapkan, termasuk hal-hal yang perlu diperhatikan dan
dilakukan seandainya hasil pelayanan medis tidak sesuai yang diharapkan.
Buku ini juga mengemukakan hak-hak dan kewajiban kedua pihak yang
terlibat dalam pelayanan medis, yaitu hak dan kewajiban pasien serta hak
dan kewaijban dokter/dokter gigi.
Sikap yang diharapkan dapat ditampilkan masyarakat sebagai pengguna
pelayanan medis oleh dokter/dokter gigi adalah mengetahui cara memilih
dokter/dokter gigi, memahami tentang hak dan kewajiban kedua pihak,
mampu mengemukakan pendapat atau menyampaikan keluhan dan
memaparkan keadaannya, serta terbuka dalam menuturkan harapan dan
kondisi/situasinya dalam memperoleh kesembuhan.
Penjelasan kepada masyarakat pengguna pelayanan medis ini dilengkapi
dengan terapan undang-undang yang mewajibkan dokter/dokter gigi yang
berpraktik untuk memiliki Surat Tanda Registrasi yang diterbitkan oleh Konsil
Kedokteran Indonesia dan Surat Izin Praktik yang diterbitkan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.
Buku ini tentu saja tidak dapat memuat semua informasi yang diperlukan
untuk dapat memahami pelayanan medis yang diberikan oleh dokter/dokter
gigi. Sifatnya lebih sebagai acuan bagi semua pihak dalam memposisikan
secara tepat dan benar mengenai pelayanan medis dokter/dokter gigi. Buku
ini hanya merupakan salah satu di antara sekian banyak informasi yang
disampaikan kepada masyarakat berkaitan dengan terapan Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Informasi lebih rinci
disampaikan melalui brosur, lembar lipat, lembar balik, poster, filler di media
cetak dan elektronik, dan lain-lainnya. Konsil Kedokteran Indonesia
mengharapkan tanggapan/ komentar/kritik/saran dari semua pihak.
Ucapan terima kasih dan penghargaan selayaknya disampaikan kepada
semua pihak yang telah membantu penyusunan dan penerbitan buku ini.
Semoga keinginan untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan medis
dokter/dokter gigi dapat tercapai, seiring dengan pemberdayaan masyarakat
penggunanya. Kemitraan dokter–pasien dalam upaya pencegahan,
perawatan, pengobatan, dan pemulihan kesehatan adalah kunci dari
keberhasilan dalam memberikan pelayanan medis. Keyakinan bahwa upaya
manusia hanyalah sebatas usaha dan yang bisa memberikan kesembuhan
adalah Tuhan Yang Maha Kuasa akan mengantar dokter dan pasien pada
sikap yang realistis. Mudah-mudahan buku ini dapat memberikan manfaat
bagi masyarakat dan semua pihak yang terkait dalam pelayanan medis oleh
dokter/dokter gigi.

Jakarta, November 2006

Tim Penyusun

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien v


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

SAMBUTAN
KETUA KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA

Konsil Kedokteran Indonesia dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor


29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Di antara tugas yang
dibebankan kepada KKI adalah menjaga kualitas pelayanan medis yang
diberikan oleh dokter/dokter gigi sebagai upaya perlindungan kepada
masyarakat penggunanya. Salah satu dari pelaksanaan tugas tersebut
dilaksanakan dalam bentuk penerbitan buku Kemitraan Dalam Hubungan
Dokter-Pasien yang dapat dijadikan acuan oleh masyarakat dan semua pihak
yang terkait dengan pelayanan medis oleh dokter/dokter gigi. Dari penjelasan
yang diuraikan dalam buku ini diharapkan masyarakat dapat memilih
dokter/dokter gigi yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya, tahu yang
harus dilakukannya ketika mendapatkan pelayanan medis dari dokter/dokter
gigi, dan bekerja sama dalam upaya penyembuhannya.
Mengacu pada buku ini masyarakat diharapkan dapat memahami perlunya
memilih dokter/dokter gigi yang memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan
Surat Izin Praktik (SIP). Perlindungan terhadap pasien dapat diberikan oleh
undang undang karena dipenuhinya persyaratan untuk pembuktian ada atau
tidaknya pelanggaran. STR memang dimaksudkan untuk menertibkan praktik
dokter/dokter gigi yang semakin beragam. Kemampuan ilmiah dan sikap
peduli pada pasien merupakan pertimbangan KKI dalam memberikan STR
kepada dokter/dokter gigi. Berdasarkan STR inilah kemudian SIP diberikan
kepada dokter/dokter gigi dan dengan demikian praktik yang dilakukannya
dianggap sah. KKI melakukan pengawasan secara bersinambung agar
kualitas pelayanannya benar-benar terjaga.
Pengawasan oleh KKI juga meliputi pembinaan terhadap penyelenggaraan
praktik kedokteran dalam rangka mempertahankan profesionalisme dan
peningkatan mutu pelayanan medis, dengan cara pembinaan praktik
dokter/dokter gigi dan perumusan pendidikan kedokteran berkelanjutan. Buku
ini merupakan salah satu dari rangkaian buku pedoman yang diterbitkan KKI.
Dua lainnya adalah buku pedoman Pembinaan Konsil Kedokteran dan Konsil
Kedokteran Gigi dan buku pedoman Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan
Bagi Dokter dan Dokter Gigi.
Landasan utama pelayanan medis adalah pemahaman tentang perlunya
melakukan tindakan medis secara benar, berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran dan kompetensi perkembangan keahlian dan
memahami tuntutan masyarakat. Prinsip pelayanan medis selalu mengacu
pada standar serta upaya menjaga kualitas. Upaya ini jelas memerlukan kerja
sama dengan semua pihak terkait, seperti organisasi profesi, institusi
pemerintah yang menjadi penanggung jawab program, lembaga pendidikan
dan komponen masyarakat lainnya.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien vi


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

Perubahan model sistem pelayanan, dari yang semula tak terstruktur


(unstructured) menuju ke sistem yang terstruktur (structured) memudahkan
kontrol dan pengendaliannya. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor
29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran memang belum ada
badan/lembaga/institusi yang secara terstruktur dan terintegrasi mempunyai
fungsi, tugas dan wewenang untuk membina dan mengawasi praktik
kedokteran/kedokteran gigi yang terkait dengan masalah peningkatan
kualitas, penanganan masalah yang ditimbulkan oleh adanya pelanggaran
etik, disiplin, dan pidana.
Penerbitan buku-buku tentang pelayanan medis dokter/dokter gigi oleh KKI
beserta perangkat lain sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran merupakan pelaksanaan kegiatan
yang meletakkan dasar-dasar pembinaan dan pengawasan praktik
kedokteran dan kedokteran gigi. Selain itu juga memberi kepastian hukum
bagi masyarakat dan profesi dokter, dokter gigi. Berdasarkan maksud dan
tujuannya maka KKI membentuk Kelompok Kerja dan melibatkan secara aktif
para nara sumber yang kompeten di bidangnya.
Disiminasi konsep yang disusun oleh Kelompok Kerja telah dilakukan dengan
melibatkan 20 propinsi untuk mendapatkan masukan guna kelengkapan
buku-buku tersebut. KKI juga menyelenggarakan pertemuan dalam rangka
sosialisasi buku ini dengan melibatkan organisasi profesi, institusi pendidikan,
instansi pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat terkait. Pemanfaatan
buku-buku tersebut yang diterbitkan oleh KKI ini, apakah benar-benar bisa
menjawab kebutuhan semua pihak dalam pelayanan medis oleh
dokter/dokter gigi, tentunya akan sangat ditentukan oleh pembaca. KKI selalu
menyediakan diri untuk semua tanggapan/masukan, termasuk kritik dan
saran, agar tujuan penerbitannya dapat optimal. Komentar, kritik, saran dapat
disampaikan langsung kepada KKI melalui surat, faksimile, atau email.
Kepada semua pihak yang telah membantu penerbitan buku ini disampaikan
ucapan terima kasih dan penghargaan. Semoga upaya peningkatan kualitas
pelayanan medis sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang dapat
terus menerus dikembangkan dan karenanya dapat mencapai hasil yang
diharapkan bersama. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa
melimpahkan rahmat dan karunia-NYA.

Jakarta, November 2006

KETUA KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA,

HARDI YUSA, dr, Sp.OG, MARS

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien vii


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien viii


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

KEPUTUSAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA


NOMOR 19/KKI/KEP/IX/2006

TENTANG
BUKU KEMITRAAN DALAM HUBUNGAN DOKTER - PASIEN

KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa salah satu tujuan pengaturan praktik


kedokteran adalah untuk memberikan perlindungan
kepada pasien dalam menggunakan pelayanan
medis yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi
sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Nomor
29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
b. bahwa dalam rangka upaya pemberdayaan
masyarakat guna memanfaatkan pelayanan medis
secara tepat, telah disusun Buku Kemitraan dalam
Hubungan Dokter-Pasien;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia
tentang Buku Kemitraan dalam Hubungan Dokter-
Pasien;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang


Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3495);
2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan
lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien ix


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
Kesatu : KEPUTUSAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA
TENTANG BUKU KEMITRAAN DALAM HUBUNGAN
DOKTER-PASIEN.
Kedua : Buku Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini.
Ketiga : Buku Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien
sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kedua dapat
digunakan sebagai acuan bagi semua pihak dalam
penyelenggaraan praktik kedokteran di Indonesia.
Keempat : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal di tetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 September 2006

KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA,

HARDI YUSA, dr, Sp.OG, MARS


KETUA

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien x


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

Lampiran
Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia
Nomor : 19/KKI/KEP/IX/2006
Tanggal : 21 September 2006

BUKU KEMITRAAN DALAM HUBUNGAN DOKTER-PASIEN

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Perlindungan masyarakat yang menggunakan pelayanan medis oleh dokter
dan dokter gigi selain dipedomani oleh etika universal, saat ini dijamin oleh
undang-undang. Segala tindakan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi
dalam rangka pengobatan mengikuti prosedur sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, yang dalam hal ini diatur oleh disiplin ilmu masing-masing.
Masyarakat pengguna pelayanan medis, dalam batasan tertentu, perlu
mengetahui alasan tindakan pengobatan yang dilakukan terhadap dirinya.
Hal ini menyiratkan perlunya mengembangkan hubungan dokter - pasien
sebagai hubungan penuh kepercayaan dalam wujud komunikasi dua arah
yang memberikan peluang bagi masing-masing pihak untuk menyampaikan
pendapatnya.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah
diamandemen, Bab X-A tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28H ayat (1)
menyatakan bahwa :
”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan”.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan menyebutkan
bahwa:
“Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat adalah suatu cara
penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan yang paripurna berdasarkan
asas usaha bersama dan kekeluargaan, yang berkesinambungan dan
dengan mutu yang terjamin serta pembiayaan yang dilaksanakan secara
pra upaya.” (Bab I Pasal 1 Ayat 15).

Selanjutnya, pada Bab II Pasal 2 disebutkan :


“Pembangunan kesehatan diselenggarakan berasaskan perikemanusiaan
yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama
dan kekeluargaan, adil dan merata, peri-kehidupan dalam keseimbangan,
serta kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri.”

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 1


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 2


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

Untuk melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan dan


meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dari dokter dan dokter gigi dibentuk
Konsil Kedokteran Indonesia yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil
Kedokteran Gigi. (Bab III Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran).
Konsil Kedokteran Indonesia bertanggung jawab langsung kepada Presiden,
mengemban tugas antara lain:
1. melakukan registrasi dokter dan dokter gigi
2. mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi, dan
3. melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran
yang dilaksanakan bersama lembaga terkait sesuai dengan fungsi
masing-masing

Sedangkan MKDKI merupakan lembaga otonom dari KKI (Bab VIII) dan
bertanggung jawab kepada Konsil Kedokteran Indonesia.
Tugas dari MKDKI adalah:
a. menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran
disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan, dan
b. menyusun pedoman dan cara penanganan kasus pelanggaran disiplin
dokter atau dokter gigi.

Buku ini dibuat dalam rangka mengemban amanah yang dibebankan negara
pada KKI yaitu melindungi masyarakat sebagai pengguna pelayanan medis
dari dokter dan dokter gigi, khususnya dalam rangka pembinaan
penyelenggaraan praktik kedokteran. Perlindungan ini dimulai dengan
melakukan registrasi yaitu pencatatan semua dokter dan dokter gigi yang
berpraktik di Indonesia sehingga setiap orang yang tidak terdaftar dalam Data
Registrasi KKI akan dilarang praktik sebagai dokter atau dokter gigi. Dalam
rangka setiap dokter yang akan melakukan praktik kedokteran di Indonesia
wajib memiliki Surat Tanda Registrasi sebagai bukti bahwa kompetensinya
telah terregistrasi. Surat Tanda Registrasi sebagai salah satu syarat untuk
mendapatkan Surat Izin Praktik. Kemampuan ilmiah dan kepedulian terhadap
pasien akan diawasi secara berkesinambungan.

Pelayanan medis yang memenuhi standar memerlukan kerjasama dari dua


pihak, yaitu dokter dan pasien. Untuk dapat memperoleh pelayanan medis
dalam perlindungan sesuai yang diamanatkan undang-undang, dibutuhkan
peran serta pasien dalam hal:
a. Memilih dokter yang cocok
b. Mengutarakan sesuatu kepada dokter
c. Mengetahui kiat menjalani pengobatan

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 3


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

Memilih Dokter
Pasien dalam konteks hubungan pasien-dokter, seyogianya memulai langkah
pertamanya dengan pemahaman tentang dokter/dokter gigi (layanan primer) atau
pernah dikenal sebagai “dokter umum/dokter gigi”. Dokter mengetahui hampir segala
macam penyakit yang umum dijumpai di negara kita. Demikian pula dengan dokter
gigi untuk penyakit gigi. Pengetahuannya luas dan cukup, meskipun tidak mendalam.
Banyak sekali penyakit yang dapat mereka ketahui (diagnosis) yang lalu mereka obati
(terapi). Karena itu dokter dapat menjadi pilihan pertama dalam berobat.
Dokter/dokter gigi juga bisa melakukan operasi kecil. Apabila terjadi sesuatu yang
membahayakan pasien dan dokter menemukan adanya indikasi rawat, maka ia harus
mengirim petunjuk untuk pasien dirawat.
Dalam hal penanganan pasien yang kondisi dan situasinya berada di luar batas
kemampuan/kewenangannya maka dokter harus mengirim (merujuk) pasien tersebut
ke dokter spesialis. Pada upaya pengobatan yang dirasakan kurang atau tidak
memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan (pasien merasa belum sembuh)
maka dokter akan mengirimkan pasien tersebut ke dokter spesialis. Dalam hal ini
dokter tersebut akan membantu pasien untuk memilih dokter spesialis sesuai dengan
penyakit pasien.
Memilih dokter spesialis sebaiknya dilakukan berdasarkan pembicaraan
dengan dokter karena kesulitan memilih dokter spesialis umumnya
disebabkan ketidaktahuan pasien tentang penyakitnya sendiri. Dengan
sendirinya pasien pun tidak tahu tentang dokter spesialis apa yang cocok
untuk penyakitnya, serta siapa dan di mana dokter spesialis yang dibutuhkan
tersebut dapat dijumpainya. Ketidaktahuan ini dapat menyebabkan upaya
mendapatkan pengobatan yang tepat menjadi tidak efisien, baik dalam hal
waktu maupun biaya. Menyerahkan pilihan dokter spesialis kepada dokter
yang merawat diharapkan dapat mempersingkat jalan untuk memperoleh
pengobatan. Hal yang sama juga diharapkan pada upaya memperoleh
pelayanan medis dari dokter gigi ke dokter gigi spesialis. Pasien dapat
membicarakan pemilihan dokter spesialis dengan dokter yang telah
membantu pengobatan.

Masyarakat Indonesia umumnya masih perlu dibiasakan dalam


mengutarakan sesuatu kepada dokter yang merupakan hal-hal pokok,
berwujud sebagai jalinan komunikasi dokter – pasien. Uraian mengenai hal ini
dipaparkan dalam Bab II, III, dan IV buku ini. Sedangkan untuk mengetahui
kiat menjalani pengobatan dijelaskan secara rinci pada Bab V dan VI buku ini.

2. Filosofi tentang Kesehatan dan Kedokteran


Kesehatan merupakan hak asasi manusia. Setiap orang berhak atas taraf
hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan diri dan
keluarganya sebagaimana Pasal 25 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Negara mengakui hak setiap orang, untuk

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 4


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

memperoleh standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan
mental. Cara memperoleh kesehatan adalah dengan menerapkan pola hidup
sehat seperti makanan seimbang, perumahan layak huni, air dan udara
bersih dan olahraga serta gaya hidup teratur. Selain itu juga melakukan
pencegahan, pengobatan, dan pengendalian segala penyakit menular dan
tidak menular, penyakit lain yang berhubungan dengan perlaku dan
pekerjaan sebagaimana tertuang dalam Pasal 12 Konvenan Internasional
tentang Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya dan Pembukaan Konstitusi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Ilmu Kedokteran adalahsalah satu unsur yang penting dalam upaya


mejingkatkan kesehatan manusia, khususnya kesehatan perorangan. Dalam
pengabdiannya untuk kemanusiaan, ilmu kedokteran digunakan untukL
a. Promosi kesehatan dan pencegahan penyakit
b. Pengurangan gejala nyeri dan penderitaan
c. Pengobatan penyakit
d. Penyempurnaan fisiologis dan mempertahankan kondisi kesehatan
tertentu (compromise status) seseorang
e. Pendidikan pasien sesuai kondisi dan perkiraan atau prognosisnya
f. Penmulihan setelah pasien sembuh dari penyakitnya.

Beragamnya tujuan kedokteran tersebut mudah menimbulkan persepsi


berbeda antara pasien dengan dokter karena terdapat perbedaan
pengalaman dan pengetahuan. Seorang pasien yang sama dalam kondisi
berbeda, atau seorang pasien diperiksa oleh dokter yang sama namun pada
waktu berbeda, dapat menimbulkan tujuan kedokteran yang berlainan. Hal ini
terjadi karena pada hakikatnya kondisi pasien tidak senantiasa tetap dari
waktu ke waktu. Tubuh pasien senantiasa berubah ke arah membaik maupun
memburuk, bahkan dalam penyakit akut atau gawat, perubahan tersebut
dalam bilangan detik.
Demikian pula penyakit yang sama pada orang yang berbeda dapat
menampilkan gejala yang berbeda. Terapi yang sama untuk penyakit yang
sama yang diderita orang yang berbeda, dapat memberikan hasil yang
berbeda.

Apapun kodrat alamiah penyakitnya, salah satu unsur terpenting kesuksesan


atau kegagalan pengobatan adalah ketersediaan dan jangkauan (akses)
penyelenggara pelayanan medis (dokter, dokter gigi dan tenaga kesehatan
lainnya) bermutu terhadap pasiennya. Sarana pelayanan kesehatan (balai
pengobatan, klinik, puskesmas, rumah sakit dan praktik pribadi dokter) yang
kurang tersedia, tidak terjangkau secara geografis kewilayahan maupun
biaya, sering kali menimbulkan adanya pengobatan alternatif atau
komplementer oleh bukan dokter. Keinginan pasien dan atau keluarganya
untuk mendapatkan pengobatan alternatif dan komplementer sah-sah saja.
Dalam hal ini dipahami bahwa masyarakat memang memiliki kebiasaan

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 5


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

mengobati sendiri penyakitnya (self-therapy), baik yang berlangsung di awal


penyakit maupun di tahap (stadium) lanjut/akhir dari penyakitnya.

Ilmu kedokteran secara ilmiah dibangun berdasarkan landasan ilmu fisika,


kimia dan biologi serta matematika, khususnya dalam mengerti dan
memahami tubuh manusia. Gerakan, panas (demam) dan suara
sebagaimana teknologi ultrasonografi (USG) atau sinar sebagaimana foto
rontgen merupakan aplikasi fisika yang akrab dalam dunia kedokteran.
Kolesterol darah atau gula urin merupakan aplikasi ilmu kimia untuk
mendeteksi kelainan atau penyakit. Biakan kuman melalui dahak untuk
mendeteksi kuman merupakan penerapan ilmu biologi. Sedangkan
perhitungan keampuhan obat dalam ribuan manusia coba dalam penelitian
kedokteran merupakan aplikasi matematika.

Dalam hal pengobatan, kedokteran juga memanfaatkan ilmu klinik dan


epidemiologi yang membingkai data pasien-pasien yang sembuh atau gagal
sebelumnya sehingga para dokter belajar dari pengalaman empirik tersebut.
Penerapan ini dikenal sebagai kedokteran berbasis bukti (evidence based
medicine) yang disokong oleh perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran
untuk menciptakan pedoman-pedoman klinik yang baku. Pelayanan
kedokteran modern menyerap banyak tenaga profesi yang dalam praktiknya
menjadikan kedokteran sebagai sistem kompleks yang saling bergantung
satu dengan lainnya. Hal inilah yang ketika diterapkan ke dalam satu kasus
konkret, yakni terhadap diri pasien yang keadaan kesehatannya senantiasa
berubah setiap saat, menempatkan kedokteran sebagai ilmu empirik yang
tidak selalu pasti, walaupun didasarkan pada ilmu-ilmu pengetahuan alam
tersebut. Pada hakikatnya, kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran tak akan
mampu menentukan jalan kehidupan seseorang manusia sebagai hamba
Tuhan Yang Maha Esa dengan segala keunikannya. Ini yang merupakan
dasar dari ketidakpastian medis, sesuatu yang melekat pada kehebatan
teknologi kedokteran, betapapun canggihnya.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 6


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

BAB II
HUBUNGAN DOKTER – PASIEN

1. Esensi Hubungan Dokter - Pasien


Pasien (klien pelayanan medik) adalah orang yang memerlukan pertolongan
dokter karena penyakitnya dan dokter adalah orang yang dimintai
pertolongan karena kemampuan profesinya yang dianggap mampu
mengobati penyakit. Hubungan terjadi ketika dokter bersedia menerima klien
itu sebagai pasiennya. Hubungan antara orang yang memerlukan
pertolongan dan orang yang diharapkan memberikan pertolongan pada
umumnya bersifat tidak seimbang. Dokter pada posisi yang lebih kuat dan
pasien berada pada posisi yang lebih lemah. Dalam hubungan yang
demikian, dokter diharapkan akan bersikap bijaksana dan tidak
memanfaatkan kelemahan pasien sebagai keuntungan bagi dirinya sendiri.
Selain itu dokter juga mempunyai kewajiban moral untuk menghormati hak
pasiennya sebagai manusia.
Ketika dalam hubungan itu disertai dengan permintaan dokter untuk
mendapatkan imbalan jasa dari klien (pasien) dan klien (pasien) bersedia
memenuhinya, maka terjadilah hubungan yang disbeut sebagai hubungan
kontraktual. Dalam hubungan kontraktual terdapat kewajiban dan hak dari
kedua belah pihak yang harus saling dihormati, serta tanggung jawab jika ada
yang tidak memenuhi kesepakatan tersebut.
Karena sifat hubungan yang tidak seimbang tersebut maka faktor
kepercayaan memegang peranan penting. Pihak klien (pasien) akan bersedia
bersikap jujur dalam mengungkapkan berbagai hal yang ingin diketahui oleh
dokter, termasuk hal yang bersifat pribadi, dan dokter akan bersikap jujur
dalam upaya yang akan dilakukannya untuk menolong klien (pasien). Selain
itu dokter juga harus dapat dipercaya bahwa ia tidak akan menyimpan semua
rahasia klien (pasien) serta tidak akan mengungkapkan rahasia itu kepada
siapapun juga tanpa persetujuan klien (pasien) kecuali atas perintah undang-
undang. Saling percaya dan saling dapat dipercaya ini angat penting (krusial)
dalam menjaga hubungan yang akan memungkinkan dokter mencari
penyelesaian bagi keluhan klien (pasien)nya. Dalam hubungan dokter-pasien
yang tidak seimbang tersebut, maka pola komunikasi antara keduanya dapat
bersifat
1. Aktif-Pasif
Dalam pola komunikasi akti-pasif ini dokter bersifat aktif dan pasien
bersifat pasif dan hanya menjawab ketika ditanya atau berbuat setelah
diperintahkan oleh dokter. Termasuk dalam makan atau menggunakan obat
yang diberikan dokter. Di sini ada kecenderungan bahwa dokter akan

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 7


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

bersikap otoriter dan tidak memberi kesempatan pasien untuk


mengemukakan pendapatnya. Di masa sekarang, dengan perkembangan
ilmu kedokteran dan kesadaran masyarakat akan hak-haknya, hubungan
semacam ini sudah tidak sesuai lagi. Ilmu kedokteran sekarang menyadari
bahwa kesembuhan suatu penyakit memerlukan pengetahuan dan kesertaan
pasien dan keluarganya.
2. Guidance – Cooperation.
Hubungan yang lebih maju dari pola komunikasi model pertama adalah
bimbingan yang ditujukan untuk mengajak kerjasama dari pasien. Pasien
tetap dianggap tidak (perlu) banyak tahu tetapi perlu dibimbing dan diajak
bekerja sama dalam upaya menyembuhkan penyakitnya. Dokter
membimbing-kerjasama seperti halnya orang tua dengan remaja .Ia
berusaha mencari pertolongan pengobatan dan bersedia bekerja sama.
Walaupun dokter mengetahui lebih banyak, ia tidak semata-mata
menjalankan kekuasaan, namun mengharapkan kerja sama pasien yang
diwujudkan dengan menuruti nasihat atau anjuran dokter.
3. Mutual Participation.
Filosofi pola ini berdasarkan pemikiran bahwa setiap manusia memiliki
martabat dan hak yang sama. Pasien secara sadar aktif dan berperan
dalam pengobatan terhadap dirinya. Hal ini tidak dapat diterapkan pada
pasien dengan latar belakang pendidikan dan sosial yang rendah, juga
pada anak atau pasien dengan gangguan mental tertentu.
Saat seseorang menderita sakit baik fisik, mental, maupun sosialnya
sejumlah perilaku tertentu dapat muncul, seperti :
a. Kehilangan kepercayaan diri
b. Kehilangan lingkungan sosial dan fisik
c. Gegar budaya (culture shock)
d. Mengalami kepasifan
e. Mengalami ketegangan jiwa.
Berbagai perasaan yang dialami pasien ini meneguhkan suatu komitmen bagi
para dokter sebagai kelompok profesi yang luhur, senantiasa berperan
sebagai dewa penolong bagi pasien. Hal ini kemudian mengarah pada
profesionalisme dokter. Diharapkan ada beberapa ciri profesionalisme yang
melekat pada sosok dokter, yaitu:
- Kejujuran
- Integritas
- Kepedulian terhadap pasien (duty of care)
- Menghormati pasien
- Memahami perasaan pasien (empati) dan ikut prihatin (compassion)
kepada pasien
- Sopan dan santun kepada pasien

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 8


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

- Pengabdian yang berkelanjutan untuk mempertahankan kompetensi


pengetahuan dan keterampilan teknis medis.
Profesionalisme merupakan janji publik bahwa dokter akan terus dapat
dipercaya sebagai penolong pasien. Di dalamnya terdapat kontrak sosial
untuk memegang teguh komitmen terhadap kepentingan terbaik pasien, jujur,
dan menghormati hak – hak pasien dalam menjalankan praktiknya sebagai
upaya altruistik (tanpa pamrih). Profesionalisme memperhatikan
keseimbangan antara harapan kesembuhan pasien, yang merupakan
kuasa Tuhan, dengan upaya maksimal yang dilakukan dokter sebagai
penolong pasien. Dengan demikian, profesionalisme adalah pupuk upaya
kerjasama antara pasien – dokter menuju kesembuhan pasien.

2. Aspek Hukum Hubungan Dokter-Pasien


Dokter dan pasien adalah dua subjek hukum yang terkait dalam hukum
kedokteran. Keduanya membentuk baik hubungan medik maupun hubungan
hukum. Hubungan medik dan hubungan hukum antara dokter dan pasien
adalah hubungan yang objeknya pemeliharaan kesehatan pada umumnya
dan pelayanan kesehatan pada khususnya.
Dalam melaksanakan hubungan antara dokter dan pasien, pelaksanaan
hubungan antara keduanya selalu diatur dengan peraturan-peraturan tertentu
agar terjadi keharmonisan dalam pelaksanaannya. Seperti diketahui
hubungan tanpa peraturan akan menyebabkan ketidak harmonisan dan
kesimpangsiuran.
Dalam perkembangannya, hubungan hukum antara dokter dan pasien ada
dua macam, yaitu :
a. Hubungan Karena Kontrak (Transaksi Terapeutik)
Karena adanya perkembangan yang menuntut hubungan dokter – pasien
bukan lagi merupakan hubungan yang bersifat paternalistik tetapi menjadi
hubungan yang didasari pada kedudukan yang seimbang/partner, maka
hubungan itu menjadi hubungan kontraktual. Hubungan kontraktual terjadi
karena para pihak yaitu dokter dan pasien masing-masing diyakini
mempunyai kebebasan dan mempunyai kedudukan yang setara. Kedua
belah pihak lalu mengadakan suatu perikatan atau perjanjian di mana
masing-masing pihak harus melaksanakan peranan atau fungsinya satu
terhadap yang lain. Peranan tersebut bisa berupa hak dan kewajiban.
Hubungan karena kontrak umumnya terjadi melalui suatu perjanjian.
Dalam kontrak terapeutik, hubungan itu dimulai dengan tanya jawab
(anamnesis) antara dokter dengan pasien, kemudian diikuti dengan
pemeriksaan fisik, kadang-kadang dokter membutuhkan pemeriksaan
diagnostik untuk menunjang dan membantu menegakkan diagnosisnya
yang antara lain berupa pemeriksaan radiologi atau pemeriksaan
laboratorium, sebelum akhirnya dokter menegakkan suatu diagnosis.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 9


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

Diagnosis ini dapat merupakan suatu ‘working diagnosis’ atau diagnosis


sementara, bisa juga merupakan diagnosis yang definitif. Setelah itu
dokter biasanya merencanakan suatu terapi dengan memberikan resep
obat atau suntikan atau operasi atau tindakan lain dan disertai nasihat-
nasihat yang perlu diikuti agar kesembuhan dapat segera dicapai oleh
pasien. Dalam proses pelaksanaan hubungan dokter-pasien tersebut,
sejak tanya jawab sampai dengan perencanaan terapi, dokter melakukan
pencatatan dalam suatu Medical Records (Rekam Medis). Pembuatan
rekam medis ini merupakan kewajiban dokter sesuai dengan standar
profesi medis.
Dalam upaya menegakkan diagnosis atau melaksanakan terapi, dokter
biasanya melakukan suatu tindakan medik. Tindakan medik tersebut ada
kalanya atau sering dirasa menyakitkan atau menimbulkan rasa tidak
menyenangkan. Secara material, suatu tindakan medik itu sifatnya tidak
bertentangan dengan hukum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
• Mempunyai indikasi medis, untuk mencapai suatu tujuan yang
konkret.
• Dilakukan menurut aturan-aturan yang berlaku di dalam ilmu
kedokteran. Kedua syarat ini dapat juga disebut sebagai bertindak
secara lege artis.
• Harus sudah mendapat persetujuan dulu dari pasien.
Secara yuridis sering dipermasalahkan, apakah tindakan medik yang
tidak mengenakkan/menyakitkan itu dapat dimasukkan dalam pengertian
penganiayaan yang merupakan konsep dalam hukum pidana. Akan tetapi
dengan dipenuhinya ketiga syarat tersebut di atas hal ini menjadi dasar
tindakan medik yang telah sesuai dengan hukum. Sebenarnya kualifikasi
yuridis mengenai tindakan medik ini tidak hanya mempunyai arti bagi
hukum pidana saja, melainkan juga bagi hukum perdata dan hukum
administratif. Dalam hukum administratif, masalahnya berkenaan antara
lain dengan kewenangan yuridis untuk melakukan tindakan medik. Dokter
yang berpraktik harus mempunyai izin praktik yang sah. Ditinjau dari segi
hukum perdata, tindakan medik merupakan pelaksanaan suatu perikatan
antara dokter dengan pasien.
Dalam ilmu hukum dikenal dua jenis perjanjian, yaitu:
• Resultaatsverbintenis, yang berdasarkan hasil kerja.
• Inspanningverbintenis, yang berdasarkan usaha yang maksimal.
Pada umumnya, secara hukum hubungan dokter-pasien merupakan
suatu hubungan ikhtiar atau usaha maksimal. Dokter tidak menjanjikan
kesembuhan, akan tetapi berikhtiar sekuatnya agar pasien sembuh.
Meskipun demikian, mungkin ada hubungan hasil kerja pada keadaan-

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 10


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

keadaan tertentu seperti pembuatan gigi palsu atau anggota badan palsu,
oleh dokter gigi, ahli orthopedi atau ahli bedah kosmetik.
Sebagai sebuah perjanjian, sebagaimana lazimnya ketentuan mengenai
perjanjian, maka untuk sahnya perjanjian harus dipenuhi syarat-syarat
yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :
1. Kesepakatan dari pihak-pihak yang bersangkutan,
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
3. suatu hal tertentu, dan
4. suatu sebab yang halal.
Dari keempat syarat tersebut, syarat 1 dan 2 merupakan persyaratan dari
subjek yang melakukan kontrak medis, karenanya disebut syarat
subjektif, sedangkan syarat 3 dan 4 adalah tentang objek kontrak medis
tersebut dan biasanya disebut syarat objektif. Tidak dipenuhinya syarat
subjektif dapat dilihat terutama dari persyaratan subjektifnya, maka
perjanjian medis mempunyai keunikan tersendiri yang berbeda dengan
perjanjian pada umumnya.

Ad. 1. Kesepakatan
Dalam perjanjian terapeutik, tidak seperti halnya perjanjian biasa, terdapat
hal-hal khusus. Di sini pasien merupakan pihak yang meminta
pertolongan sehingga relatif lemah kedudukannya dibandingkan dokter.
Untuk mengurangi kelemahan tersebut, telah bertambah prinsip yang
dikenal dengan “informed consent”, yaitu suatu hak pasien untuk
mengizinkan dilakukannya suatu tindakan medis. “Informed consent”
merupakan suatu kehendak sepihak secara yuridis, yaitu dari pihak
pasien, jadi karena syarat perjanjian tersebut tidak bersifat suatu
persetujuan yang murni, dokter tidak harus turut menandatanganinya. Di
samping itu, pihak pasien dapat membatalkan pernyataan setujunya
setiap saat sebelum tindakan medis dilakukan. Padahal menurut KUH
Perdata Pasal 1320, suatu perjanjian hanya dapat dibatalkan atas
persetujuan kedua belah pihak; pembatalan sepihak dapat
mengakibatkan timbulnya gugatan ganti kerugian.
Ad.2. Kecakapan
Seseorang dikatakan cakap-hukum apabila ia pria atau wanita telah
berumur 21 tahun, atau bagi pria apabila belum berumur 21 tahun tetapi
telah menikah. Pasal 1330 KUH Perdata, menyatakan bahwa seseorang
yang tidak cakap untuk membuat persetujuan adalah
• Belum dewasa, yang menurut KUH Perdata Pasal 330 adalah belum
berumur 21 tahun dan belum menikah.
• Berada di bawah pengampuan, yaitu orang yang telah berusia 21
tahun tetapi dianggap tidak mampu karena ada gangguan mental.
• Wanita dalam hal yang ditetapkan oleh peraturan perundang-
undangan dalam hal ini masih berstatus istri dan pada umumnya

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 11


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

semua orang kepada siapa ketentuan hukum telah melarang


membuat persetujuan tertentu.
Oleh karena perjanjian medis mempunyai sifat khusus, maka tidak semua
ketentuan hukum perdata di atas dapat diterapkan. Bahkan ketentuan
mengenai yang berhak memberikan persetujuan dalam Peraturan Menteri
Kesehatan RI. No. 585/MEN-KES/PER/IX/1989 tentang persetujuan
tindakan medik pun perlu dipertimbangkan. Dalam praktiknya dokter tidak
mungkin menolak mengobati pasien yang belum berusia 21 tahun yang
datang sendirian ke tempat praktiknya. PERMENKES tersebut
menyatakan umur 21 tahun sebagai usia dewasa. Pasal 108 KUH
Perdata, menyebutkan bahwa seorang istri memerlukan izin tertulis dari
suaminya untuk membuat suatu perjanjian. Akan tetapi surat edaran
Mahkamah Agung No. 3/1963 tanggal 4 Agustus 1963 menyatakan
bahwa tidak adanya wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan
hukum dan untuk menghadap di pengadilan tanpa izin atau tanpa
bantuan suaminya, tidak berlaku lagi. Jadi wanita berstatus istri yang sah
diberi kebebasan untuk membuat perjanjian.

Ad.3. Hal Tertentu


Ketentuan mengenai hal tertentu ini menyangkut objek hukum atau benda
nya (dalam hal ini pelayanan medis) yang perlu ditegaskan ciri-cirinya.
Dalam suatu perjanjian medis umumnya objeknya adalah “usaha
penyembuhan”, di mana dokter harus berusaha semaksimal mungkin
untuk menyembuhkan penyakit pasien. Oleh karena itu secara yuridis,
umumnya termasuk jenis “inspanningsverbintenis”, di mana dokter tidak
memberikan jaminan kepastian dalam menyembuhkan penyakit tersebut
tetapi dengan ikhtiar dan keahliannya dokter diharapkan dapat membantu
dalam upaya penyembuhan.

Ad.4. Sebab yang Halal


Dalam pengertian ini, pada objek hukum yang menjadi pokok perjanjian
tersebut harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan menurut
hukum. Dengan perkataan lain, objek hukum tersebut harus memiliki
sebab yang diizinkan. KUH Perdata Pasal 1337 menyatakan bahwa suatu
sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, kesusilaan atau ketertiban umum. Misalnya dokter
dilarang melakukan abortus provocatus criminalis menurut KUHP Pasal
348.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 12


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

Apabila objek perjanjian medis ditinjau dari sudut pandang ilmu


kedokteran maka kita dapat merincinya melalui upaya yang umum
dilakukan dalam suatu pelayanan kesehatan bisa dimulai dari usaha
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Jadi variasi tujuan perjanjian medis dapat merupakan :

1. Medical check-up
Upaya ini bertujuan untuk mengetahui apakah seseorang berada
dalam kondisi sehat atau cenderung mengalami suatu kelainan dalam
taraf dini. Hal ini berkaitan dengan usaha promotif yang bertujuan
memelihara atau meningkatkan kesehatan secara umum.
2. Imunisasi
Tindakan ini ditunjukkan untuk mencegah terhadap suatu penyakit
tertentu bagi seseorang yang mempunyai risiko terkena. Misalnya
anggota keluarga dari pasien yang menderita Hepatitis B, dianjurkan
sekali untuk mendapatkan vaksinasi Hepatitis B. Usaha preventif ini
bersifat spesifik untuk mencegah penularan penyakit Hepatitis B.
3. Keluarga Berencana

Keluarga berencana adal;ah upaya untuk mengatur jarak kehamilan


yangsatu dengan yang berikutnya, atau untuk mengatur kapan
seseorang ingin atau tidak ingin mempunyai anak. Upaya ini lebih
bersifat preventif dan dilakukan oleh orang yang sehat dan sadar.
Tujuan lain dari keluarga berencana adalah menjaga kesehatan
perempuan. Meskipun yang datang dalam keadaan sehat, adakalanya
perlu dilakukan pemeriksaan awal untuk memastikan apakah ada
halangan untuk menggunakan alat keluarga berencana tertentu.
Sebenarnya pengertian pelayanan keluarga berencana juga
mencakup pemberian pertolongan bagi mereka yang (sudah) ingin
mempunyai anak.
Usaha Penyembuhan Penyakit
Sifat tindakan di sini adalah kuratif, untuk menyembuhkan penyakit
yang akut atau relatif belum terlalu lama diderita.
4. Meringankan Penderitaan
Tidak semua penyakit dapat disembuhkan atau dapat segera
diketahui diagnosisnya sementara pasien dalam keadaan menderita
dan cemas. Untuk itu diperlukan upaya memperingan penderitaan
(gejala). Umumnya dokter memberikan obat-obat yang simptomatis
sifatnya, hanya menghilangkan gejala saja, karena penyebab
penyakitnya belum dapat diatasi. Misalnya obat-obat penghilang rasa
nyeri.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 13


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

5. Memperpanjang Hidup
Seperti halnya meringankan penderitaan, di sini pun penyakit pasien
belum dapat diatasi sepenuhnya sehingga sewaktu-waktu perlu
dilakukan tindakan medis tertentu. Misalnya pada pasien gagal ginjal
yang memerlukan ‘cuci darah’.
6. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah upaya untuk memulihkan kondisi seorang pasien
setelah mengalami perawatan, pengobstsn arau tindakan medik berat.
Melalui upaya rehabilitasi diharapkan pasien akan mampu lagi untuk
berfungsi sebagaimana sebelumnya, meskipun mungkin masih ada
cacat atau ketidak sempurnaan fisik atau mental dibanding dengan
sebelum sakit. Oleh karena itu rehabilitasi medik tidak hanya berupa
pemulihan fungsi fisik tetapi juga konseling untuk memulihkan rasa
percaya diri pasien.

Secara yuridis semua upaya tindakan medis tersebut di atas dapat


menjadi objek hukum yang sah. Akan tetapi bentuk perjanjian medisnya
harus jelas apakah inspanningsverbintenis atau suatu
resultaatsverbintenis. Hal ini penting kaitannya dengan ‘beban
pembuktian’ apabila terjadi suatu gugatan hukum. Akan tetapi apabila
dokter bekerja sesuai dengan standar profesinya dan tidak ada unsur
kelalaian serta hubungan dokter-pasien merupakan hubungan yang saling
penuh pengertian dengan komunikasi yang terjalin dengan baik dan
dipenuhinya hak dan kewajiban masing-masing, umumnya tidak akan ada
permasalahan yang menyangkut jalur hukum.

b. Hubungan Karena Undang-Undang (Zaakwarneming)


Apabila pasien dalam keadaan tidak sadar sehingga dokter tidak mungkin
memberikan informasi, maka dokter dapat bertindak atau melakukan
upaya medis tanpa seizin pasien sebagai tindakan berdasarkan
perwakilan sukarela atau menurut ketentuan Pasal 1354 KUH Perdata
disebut Zaakwarneming. Dalam Pasal 1354 KUH Perdata, pengertian
Zaakwarneming adalah mengambil alih tanggung jawab dari seseorang
sampai yang bersangkutan sanggup lagi untuk mengurus dirinya sendiri.
Dalam keadaan demikian, perikatan yang timbul tidak berdasarkan suatu
persetujuan pasien, tetapi berdasarkan suatu perbuatan menurut hukum,
yaitu : Dokter berkewajiban untuk mengurus kepentingan pasien dengan
sebaik-baiknya setelah pasien sadar kembali, dokter berkewajiban
memberikan informasi mengenai tindakan medis yang telah dilakukannya
dan mengenai segala kemungkinan yang timbul dari tindakan tersebut.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 14


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

Untuk tindakan selanjutnya tergantung pada persetujuan pasien yang


bersangkutan.

3. Kesetaraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien


Demi mewujudkan keseimbangan dalam membina hubungan dokter – pasien
maka diperlukan komunikasi yang setara dari kedua belah pihak. Artinya baik
dokter maupun pasien memiliki hak yang sama untuk mengutarakan maksud
dan harapannya. Hubungan dokter – pasien bukanlah hubungan atasan –
bawahan. Tidak ada yang superior dan inferior di antaranya. Oleh karena itu
dokter tidak boleh memperlakukan pasien sebagai objek dari pekerjaannya.
Kesetaraan hubungan ini sangat berpengaruh dalam proses pertukaran
informasi antara dokter – pasien. Dokter diharapkan memberikan peluang
kepada pasien untuk mengutarakan dan menerima informasi dengan jelas
dan bebas sehingga terbinalah komunikasi yang efektif dan efisien. Selain
mengubah paradigma para dokter, perlu dilakukan juga penyuluhan atau
edukasi pada masyarakat agar menjadi pasien yang cerdas. Hal ini
diharapkan nantinya dapat mengangkat posisi pasien setara dengan dokter.
Ada beberapa tipe dokter yang berkaitan dengan pemberian pelayanan
medis, khususnya yang berpengaruh terhadap komunikasinya dengan
pasien, antara lain :
1. Dokter yang enggan menjawab walau pasien bertanya
Tipe ini dapat dikatakan tidak kooperatif. Mungkin pasien akan sulit
menaruh kepercayaan kepada dokter. Kalau memang menghendaki
berkomunikasi dengan dokter, dalam nuansa hubungan kemitraan,
hindari dokter tipe ini dan cari dokter lain yang lebih komunikatif.
2. Dokter yang bersedia menjawab apabila ditanya dan hanya
menjawab sebatas pertanyaan pasien
Tipe ini umumnya ditemui dalam hubungan dengan pasien yang dianggap
dokter memang bisa diajak membahas bersama, antara lain pasien yang
berpendidikan cukup. Dokter tipe ini mungkin tidak banyak membuka
peluang kepada pasien untuk bertanya kalau ia menganggap pendidikan
pasien yang rendah akan kurang optimal dalam bertanya atau menerima
penjelasan yang akan berpengaruh pada upaya penyembuhan.
3. Dokter yang bersedia menjawab pertanyaan pasien, mau bertanya
serta menambahkan informasi – informasi lain yang sesuai dengan
tujuan kesehatan pasien
Tipe ini adalah gambaran sikap dokter yang diharapkan dalam
pengembangan nuansa kemitraan dalam hubungan dokter-pasien. Dapat
dikatakan bahwa inilah tipe ideal bagi pasien dari semua karakter, yaitu
dari yang pendidikannya terbatas maupun yang berpendidikan tinggi.
Dokter tipe ini biasanya sabar mendengarkan dan pandai menggali

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 15


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

informasi dari pasien serta memberitahukan kembali apa – apa yang


penting diketahui pasien. Selain itu, dokter tipe ini juga pandai berempati
sehingga pasien menaruh kepercayaan penuh kepada dokter dalam
upaya penyembuhan penyakitnya.

Mengingat adanya berbagai tipe dokter yang berkaitan dengan karakternya,


pasien diharapkan dapat bersikap kritis terhadap dokter dengan cara menjadi
pasien yang cerdas.

A. Menjadi Pasien yang Cerdas


Di negara–negara maju umumnya pasien dianjurkan untuk
mempersiapkan diri sebelum berkunjung ke dokter dengan mengisi
formulir riwayat kesehatan (health story), sejujur – jujurnya. Kesiapan
masyarakat memungkinkan untuk meminta mereka memanfaatkan
formulir yang bisa didapat dari suatu situs di internet. Formulir tersebut
memuat sederetan pertanyaan, antara lain :
1. Kondisi kesehatan diri dan riwayat penyakit keluarga misalnya
jantung, diabetes, darah tinggi, kanker, dan lain-lain.
2. Kebiasaan hidup sehari –hari seperti olahraga, diet, merokok, minum
minuman beralkohol, dan lain-lain.
3. Masih mengkonsumsi obat – obatan tertentu (jantung, diabetes, dan
lain-lain).
4. Pernah mengalami operasi.
5. Kehamilan.
6. Melampirkan dokumen hasil pemeriksaan yang pernah dilakukan
sebelumnya (pada masa lalu), misalnya hasil laboratorium, foto
rontgen, MRI, dan lain-lain.
Selain berperan dalam menentukan diagnosis dan obat – obatan, formulir
riwayat kesehatan tersebut merupakan informasi awal yang penting untuk
diketahui dokter sebelum pasien menceritakan penyakit yang sekarang
dideritanya. Di samping itu pasien juga diharapkan mempersiapkan
pertanyaan sehubungan dengan informasi yang ingin diketahui dari
dokter. Pertanyaan – pertanyaan tersebut, antara lain :
• Mengapa sampai sakit dan apa penyebab penyakitnya?
• Bagaimana penyakit tersebut bisa didapatnya? Penularan, keturunan
dan apakah akan diturunkan atau menular kepada anggota keluarga
yang lain?
• Berapa lama sebenarnya penyakit ini timbul pada tubuhnya?
• Bagaimana proses pengobatannya, apa rencana dokter dalam upaya
penyembuhan?
• Apakah bisa sembuh? Atau akan permanen/menetap pada tubuhnya
atau bahkan memburuk?

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 16


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

• Jika harus dilakukan operasi apa baik/buruknya, risiko, dan


bagaimana bila menolak?
Lembar pertanyaan mengenai riwayat kesehatan seperti itu biasanya
disediakan oleh dokter atau klinik atau rumah sakit yang bisa disediakan
di ruang tunggu atau di bagian informasi/penerimaan pasien. Selain
formulir riwayat kesehatan, para dokter dan rumah sakit ada yang
menyediakan brosur, lembar lipat, buklet atau bahkan pemutaran video
seputar informasi berbagai penyakit serta layanan kesehatan yang
diletakkan di ruang tunggu. Penyediaan media komunikasi dan lembar
isian ini dapat dimanfaatkan untuk lebih membuka wawasan pasien.
Dalam hal ini perlu dipahami bahwa pemanfaatan data dan informasi
tersebut harus proporsional dan tidak boleh dimanfaatkan sebagai alat
untuk mendiagnosis sendiri. Pasien harus menyadari bahwa konsultasi
tetap diperlukan untuk memahami informasi yang diperoleh dari luar
ruang praktik dokter.

Di zaman kemajuan teknologi komunikasi seperti sekarang, pasien bisa


mendapat informasi tentang para dokter, keahlian masing – masing, dan
riwayat pendidikan serta pekerjaan, kesuksesan dan kegagalan yang
pernah dilakukan sepanjang kariernya sebagai dokter.Situs tersebut
disediakan oleh lembaga yang meregristrasi dokter sehingga pasien bisa
memilih dan menentukan secara tepat, dokter yang sesuai dengan
keinginannya, berkaitan dengan penyembuhan dan kenyamanannya.
Dalam hal ini perlu diperhatikan pula bahwa pemilihan tersebut perlu
memperhatikan ketentuan yang berlaku untuk jenjang pelayanan, dari
mulai dokter (umum) hingga dokter spesialis atau subspesialis.
Pelayanan informasi melalui situs internet belum seperti di negara-negara
maju. Situs yang dapat diakses masyarakat untuk mendapatkan formulir –
formulir dan informasi dokter seperti yang telah disebutkan di atas masih
sangat terbatas.
Menjadi pasien yang cerdas (smart patient) adalah sikap yang diharapkan
dari masyarakat. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum
memeriksakan diri ke dokter :
- Apa keluhan yang diderita.
- Berapa lama penyakit tersebut sudah diderita.
- Bagian tubuh mana saja yang sakit.
- Apa ada perubahan kebiasaan? (buang air besar/kecil, perubahan
berat badan yang signifikan, perubahan aktivitas/pekerjaan).
- Riwayat penyakit, penyakit anggota keluarga lain (ayah, ibu, anak,
dan anggota keluarga atau orang lain yang serumah).
- Obat-obatan bebas yang sudah dikonsumsi atau resep dari dokter
sebelumnya, serta pertanyaan lain yang penting sehubungan dengan
keluhan dan kelanjutan dari informasi di atas.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 17


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

- Membawa dokumen–dokumen pemeriksaan terdahulu (hasil


laboratorium, foto rontgen, MRI, dan lain-lain)

Setelah memeriksa pasien, dokter memberikan nasihat berupa anjuran


atau larangan di mana pasien tersebut diharapkan dapat mentaatinya
agar mencapai hasil yang optimal. Nasihat tersebut, antara lain :
1. Mengkonsumsi obat sesuai aturan.
2. Menghentikan atau mengurangi suatu aktivitas.
3. Menghentikan atau mengurangi konsumsi jenis makanan tertentu,
termasuk merokok dan alkohol.
4. Menganjurkan berolahraga secara teratur.
5. Menganjurkan untuk mengkonsumsi makanan tertentu.
6. Menganjurkan untuk memeriksakan diri secara rutin bagi penderita
penyakit tertentu (jantung, diabetes, dan lain-lain).
7. Mengingatkan untuk memanfaatkan fasilitas askes atau asuransi
lainnya.
8. Menginformasikan tentang rencana pengobatan termasuk perlu
kembali atau tidak; atau perlu dirujuk ke dokter ahli atau rumah sakit
lain yang tepat persyaratannya.

Dalam memberikan nasihat tersebut, diharapkan dokter dapat


menunjukkan sikap yang mencerminkan profesonalismenya, antara lain:
1. Menyikapi dengan bijaksana perbedaan tiap pasien, keterbatasan
pengetahuan dan kemampuan sosial-ekonominya.
2. Bersikap ramah kepada pasien dan meyakinkan bahwa ia sungguh–
sungguh berupaya agar pasien segera sembuh serta mengingatkan
bahwa upaya penyembuhan adalah upaya bersama.
3. Menjelaskan kepada pasien tentang rencana tindakan medik yang
diharapkannya dapat diikuti oleh pasien. Bagi pasien dokter gigi,
misalnya, dokter menginformasikan tentang berapa kali kedatangan
dalam penyelesaian perawatan gigi, misalnya pada perawatan saraf
gigi. Penjelasan tersebut akan membantu pasien dalam
memperkirakan waktu dan dana yang dibutuhkan.

Sikap pasien yang diharapkan tampil untuk dapat mengembangkan


kemitraan dalam hubungan dokter-pasien:
1. Menjelaskan dan bertanya kepada dokter tentang hal-hal yang
berkaitan dengan penyakit yang dideritanya secara jujur.
2. Menghindari komunikasi yang bertele-tele, seperti membicarakan hal
yang tidak ada sangkut pautnya dengan penyakit yang diderita saat
itu. Pasien perlu menyadari bahwa kesediaan waktu bagi dokter
dalam memberikan pelayanan medis adakalanya sangat terbatas.
Pasien juga perlu memikirkan pasien-pasien lain yang sedang
menunggu giliran untuk berkonsultasi dengan dokter.
3. Menyadari bahwa dokter juga manusia biasa yang terbatas
kemampuannya dalam upayanya menyembuhkan. Dokter tidak

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 18


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

menjamin kesembuhan karena kepastian hanya milik Tuhan Yang


Maha Esa.
4. Menghargai dokter yang mempunyai hak untuk beristirahat, tidak
mungkin terus menerus menjalankan pekerjaannya, apalagi pekerjaan
dokter dapat dikategorikan sebagai tugas dengan tingkat stres yang
tinggi. Perlu dipahami pula bahwa dokter mempunyai hak untuk
kehidupan pribadi dan keluarganya. Pemahaman ini diharapkan
menyadarkan pasien untuk tidak sewaktu-waktu, di luar jam praktik,
meminta dokter untuk selalu siap melayani pasien.
5. Memperhatikan situasi ketika bermaksud menjelaskan tentang
keluhan atau kondisi penyakit. Amati dulu, apakah dokter sedang
dalam situasi yang memungkinkan untuk diajak bicara. Bercerita di
awal kedatangan, saat bertemu dokter mungkin lebih
baik/menguntungkan/efektif kalau dibandingkan dengan melakukan
percakapan pada saat dokter menulis resep. Mungkin dokter
memerlukan konsentrasi penuh pada saat menulis resep agar obat
yang diberikan tepat dalam jenis dan jumlah.
6. Memberi tahu dokter kalau ada kondisi alergi terhadap obat/makanan
tertentu.
7. Menanyakan hal yang ingin diketahui sekitar prospek kesembuhan
penyakit dan lain-lain, sesuai kondisi dan situasinya.
8. Mematuhi anjuran dan larangan dokter atas kesadaran bahwa semua
itu dilakukan sebagai upaya memperoleh kesembuhan.
9. Mengucapkan terima kasih kepada dokter meskipun sudah memberi
imbalan.
10. Memilih dokter yang tidak ramai pasiennya agar cukup waktu untuk
berkomunikasi, kalau memang sangat mengharapkan dapat
berkomunikasi dan percaya bahwa dokter tersebut dapat membantu
mengusahakan kesembuhan.
11. Memahami bahwa pasien mempunyai hak untuk mencari pendapat
kedua apabila hasil konsultasi dengan dokter dianggap tidak
memuaskan.
12. Memberitahu dokter tentang kondisi diri, misalnya ibu yang sedang
hamil namun kehamilannya belum tampak jelas, agar kondisi
kehamilan dan obat-obatan yang akan diberikan mendapat perhatian
sebagaimana mestinya sehingga cukup aman bagi ibu dan bayi yang
dikandungnya.
13. Menanyakan kemungkinan memilih obat lain yang lebih sesuai
dengan kemampuan ekonomi (obat dengan harga yang lebih
terjangkau).
14. Menanyakan tentang kemungkinan adanya efek samping dari obat
yang diberikan dokter, baik karena kondisi kesehatan umumnya
maupun berkaitan dengan keluhan yang dialaminya. Contoh: efek
samping obat yang diberikan kepada pasien penyakit nyeri lambung
(maag).

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 19


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

15. Menanyakan cara mengkonsumsi obat yang diberikan, misalnya bisa


kapan saja atau harus sebelum/sesudah makan; saat bangun pagi
atau ketika hendak tidur malam.
16. Memahami bahwa keputusan tindakan medis adalah hak pasien.

Dokter/dokter gigi dan pasien perlu menyadari perannya masing – masing


sehingga risiko yang tidak diinginkan dapat diperkecil. Perubahan dalam
hubungan dokter dengan pasien sudah harus dilakukan dengan rasa
penuh tanggung jawab oleh dokter dan pasien. Di sisi lain, perbaikan
manajemen pelayanan kesehatan menjadi tanggung jawab pemerintah.

B. Hal–Hal yang Perlu Dibicarakan Pasien dengan Dokter


Dalam perkembangan zaman seperti sekarang ini, diharapkan bahwa
pasien tidak lagi bersikap menyerahkan sepenuhnya, begitu saja, kepada
dokter yang memeriksa/mengobatinya. Pasien perlu melibatkan diri scara
aktif dalam proses pemeriksaan dan tindakan pengobatan. Sikap seperti
yang dipaparkan berikut ini sangat diharapkan dari pasien:
• Meminta penjelasan tentang pelayanan medis yang dapat diberikan di
tempat pelayanan yang dikunjungi.
• Meminta kejelasan tentang tarif yang harus dibayar untuk pelayanan
kesehatan yang digunakan.
• Memaparkan keadaan kepada dokter yang memeriksa, termasuk
menceritakan awal dirasakannya keluhan tersebut dan berbagai
kemungkinan yang bisa dikaitkan dengan keluhan.
• Menyampaikan informasi tentang hal-hal/tindakan yang sudah
dilakukan sehubungan dengan keluhan tersebut.
• Meminta penjelasan kepada dokter untuk hal-hal yang tidak dipahami
ketika dokter memberikan informasi mengenai keadaan dan
situasinya.
• Meminta penjelasan mengenai prognosis penyakit.
• Meminta penjelasan tentang pilihan lain dari yang dianjurkan dokter,
berkaitan dengan proses pemeriksaan/pengobatan.
• Mengajukan cara lain dari yang disarankan karena menganggap lebih
sesuai dengan kemampuannya, atau lebih memungkinkan daripada
kalau mengikuti pemeriksaan dan atau pengobatan yang ditawarkan
dokter.
• Meminta berkas atau membuat fotokopi dari data pemeriksaan (hasil
pemeriksaan laboratorium, rontgen, dan sebagainya) dan
menyimpannya sebagai arsip pribadi yang sewaktu-waktu dapat
digunakan untuk mencari opini lain, bahkan berpindah ke tempat
pelayanan medis/dokter lain.
• Meminta penjelasan tentang kemungkinan lain dari cara yang
dianjurkan dokter, berkaitan dengan proses pemeriksaan/pengobatan,

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 20


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

serta mengajukan pilihan lain dari yang disarankan berdasarkan


kemampuannya
• Menanyakan hal-hal yang perlu diperhatikan dan diwaspadai
sehubungan dengan penyakit yang diderita maupun
pemeriksaan/pengobatan yang dilakukan.
• Menyampaikan penjelasan mengenai pihak-pihak yang ingin
dilibatkan dalam proses pemeriksaan atau pengobatan, seperti
keluarga atau pihak lain yang ditunjuk.
• Memperoleh penjelasan mengenai ‘akhir hubungan’ dengan tempat
pelayanan kesehatan/dokter yang merawat.
• Memperoleh penjelasan agar dapat menyiapkan diri untuk menerima
kenyataan yang paling buruk dari penyakit yang diderita.

C. Hal – hal yang Perlu Diketahui Pasien di Praktik Dokter/Rumah Sakit


Berikut adalah hal-hal yang perlu diketahui atau ditanyakan pasien dalam
memanfaatkan pelayanan medis yang diberikan oleh dokter/dokter gigi.

Di tempat praktik dokter/dokter gigi:


• Jam praktik.
• Keahlian (umum, spesifikasi/spesialisasi)
• Macam pelayanan medis yang dapat diperoleh
• Biaya konsultasi/pemeriksaan/pengobatan
• Tindakan/cara pemeriksaan dan atau pengobatan yang dilakukan
• Prognosa penyakit
• Rujukan, baik untuk pemeriksaan maupun pengobatan,
kalau disarankan untuk hal tersebut
• Pengakhiran hubungan profesional sesuai kondisi dan kebutuhannya.

Di tempat praktik dokter dan dokter gigi, pasien sebaiknya meminta


informasi tersebut agar tidak ragu-ragu lagi dalam menjalankan
perawatan dan pengobatan. Hal ini juga termasuk meminta informasi
mengenai pengganti seandainya dokter yang biasa menangani sedang
tidak bisa melaksanakan tugasnya.

Di laboratorium:
• Cara pemeriksaan yang akan dilakukan
• Jenis-jenis pemeriksaan
• Biaya pemeriksaan
• Pembacaan hasil pemeriksaan (siapa yang akan membaca dan
menjelaskan)

Di rumah sakit:
• Kelas perawatan rumah sakit, kekhususan masing-masing kelas dan
biayanya
• Rincian biayanya.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 21


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

• Fasilitas rumah sakit yang dapat dimanfaatkan, disertai dengan


penjelasan mengenai biayanya.
• Tim dokter yang akan merawat/mengobati.
• Segala pemeriksaan yang diperlukan untuk penegakan diagnosis
maupun dalam proses terapi.
• Rujukan ke tempat pelayanan kesehatan lain yang diperlukan dan
segala konsekuensinya (beban biaya).
• Peraturan/tata tertib rumah sakit yang harus dipatuhi dan juga
pengunjung yang menjenguk/mendampingi.

Dalam kaitan dengan tempat tinggal, pasien dapat meminta penjelasan


mengenai alamat rujukan di daerah tempat tinggalnya, terutama untuk
tindak lanjut perawatan atau pengobatan. Pasien dapat meminta surat
pengantar untuk pergi ke alamat rujukan, disertai dengan catatan
mengenai kondisi kesehatan berdasarkan pemeriksaan dan perawatan
atau pengobatan yang telah dilakukan.

4. Persetujuan Tindakan Kedokteran


Pasien harus memberikan persetujuan terlebih dahulu sebelum tindakan
medis dilakukan. Persetujuan tersebut dapat diberikan secara tertulis maupun
lisan, bahkan pada keadaan tertentu persetujuan itu tersirat dari jalannya
komunikasi (implied). Pada umumnya tindakan medis yang memiliki risiko
berat, seperti operasi atau pengobatan sitostatika, persetujuan diberikan
secara tertulis. Persetujuan tindakan kedokteran (Informed consent) adalah
proses komunikasi antara pasien dan dokter, dimulai dari pemberian
informasi kepada pasien tentang segala sesuatu mengenai penyakit dan
tindakan medis yang akan dilakukan, pasien memahaminya, dan kemudian
memutuskan persetujuannya.
Informed consent merupakan hak pasien dan dokter berkewajiban
menjelaskan segala sesuatu mengenai penyakit pasien untuk memperoleh
persetujuan dilakukannya tindakan medik. Jadi persetujuan diberikan pasien
setelah ia mendapatkan informasi.
Mengenai informed consent yang perlu diperhatikan antara lain unsur-unsur
apa saja yang harus diinformasikan, siapa yang berhak memberikan
informasi dan siapa yang berkewajiban memberikan persetujuan. Unsur-
unsur yang perlu diinformasikan meliputi prosedur yang akan dilakukan, risiko
yang mungkin terjadi, manfaat dari tindakan yang akan dilakukan, dan
alternatif tindakan yang dapat dilakukan. Di samping itu perlu diinformasikan
pula kemungkinan yang dapat timbul apabila tindakan tidak dilakukan dan
ramalan (prognosis) atau perjalanan penyakit yang diderita. Pasien juga
behak mendapatkan informasi mengenai perkiraan biaya pengobatannya.
Prosedur yang akan dilakukan perlu diuraikan lagi meliputi alat yang akan
digunakan, bagian tubuh mana yang akan terkena, kemungkinan perasaan

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 22


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

nyeri yang timbul, kemungkinan perlunya dilakukan perluasan operasi, dan


yang penting tujuan tindakan itu, untuk diagnostik atau terapi. Risiko tindakan
dapat dirinci dari sifatnya, apakah mengakibatkan kelumpuhan atau
kebutaan; kemungkinan timbulnya, sering atau jarang; taraf keseriusan,
apakah kelumpuhan total atau parsial; waktu timbulnya, apakah segera
setelah tindakan dilakukan atau lebih lama lagi. Pihak yang berkewajiban
memberikan informasi tergantung dari sifat tindakan medik, invasif atau tidak.
Dokter boleh mendelegasikan pemberian informasi ini kepada dokter lain
atau perawat dengan syarat-syarat tertentu.
Mengenai yang berhak memberikan persetujuan, secara yuridis adalah
pasien sendiri, kecuali bila ia tidak cakap hukum atau dalam keadaan
tertentu. Dalam hal pasien gawat darurat atau tidak sadar, dokter boleh
melakukan tindakan atas dasar penyelamatan jiwa, tanpa perlu informed
consent. Leenen mengemukakan suatu konstruksi hukum yang disebut “fiksi
hukum” di mana seseorang dalam keadaan tidak sadar akan menyetujui apa
yang ada pada umumnya disetujui oleh para pasien yang berada dalam suatu
situasi dan kondisi yang sama. Tindakan medik pada pasien tidak sadar bisa
dikaitkan dengan Pasal 1354 KUH Perdata, yaitu zaakwaarneming atau
perwakilan sukarela.
Rumah sakit umumnya sudah menyediakan formulir persetujuan tindakan
kedokteran/kedokteran gigi yang harus ditandatangani oleh pasien. Dengan
persetujuan tersebut berarti pasien menyatakan telah memahami tindakan
medik yang akan dilakukan terhadapnya serta berbagai kemungkinan risiko
yang dapat terjadi pada tindakan tersebut serta mengetahui alternatif lain . Ia
juga telah setuju untuk memilih tindakan medik tersebut. Tetapi apabila
tindakan medis yang dilakukan tidak sesuai dengan standar pelayanan medis
dan atau standar prosedur operasional, pasien tetap dapat menggugat
apabila terjadi cedera atau kerugian sebagai akibat dari kesalahan atau
kelalaian dokter. Sebaiknya, pasien hanya menandatangani setelah
memahami segala sesuatunya dan dapat membuat keputusan secara jernih.
Adakalanya pasien atau keluarganya, bila disodorkan formulir persetujuan
tindakan kedokteran/kedokteran gigi, langsung menandatangani begitu saja
tanpa membaca isinya dan mendiskusikannya terlebih dahulu. Jadi,
sebenarnya pasien tidak tahu apapun mengenai tindakan/operasi yang akan
dilakukan meskipun sudah tanda tangan. Sikap ini sangat tidak diharapkan
dari pasien.
Khusus untuk “persetujuan tindakan kedokteran/kedokteran gigi” yang
tercantum pada UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal
45 ayat (1),(2), (3) dan (4), berbunyi:
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat penjelasan secara lengkap.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 23


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 24


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

keluarganya. Dengan demikian dapat dihindarkan reaksi yang salah akibat


pemahaman yang keliru.
Pada tindakan operasi, misalnya, pasien dan keluarga sebaiknya mendapat
keterangan/penjelasan mengenai seluk beluk operasi, mulai dari pra operasi–
proses operasi–serta pasca operasi. Pasien dan keluarganya perlu
memahami bahwa untuk suatu tindakan operasi misalnya, diperlukan kondisi
yang prima dari pasien, sehingga kadang-kadang operasi tidak dapat
dilakukan langsung, tapi harus menunggu sampai kondisi pasien baik atau
lebih memungkinkan. Pasien yang tidak mendapatkan penjelasan akan
berpikir bahwa dokter atau rumah sakit memang sengaja menunda-nunda
operasi, supaya pasien bisa tinggal lebih lama dan karenanya
menguntungkan dokter dan rumah sakitnya. Pasien juga perlu mendapatkan
keterangan mengenai proses operasi, mulai dari obat yang harus diminum,
proses anestesi dan seterusnya. Pada anestesi misalnya dapat saja terjadi
alergi obat, atau kesalahan obat, sehingga berakibat cacat, lumpuh ataupun
kematian. Hal ini sebaiknya dipahami oleh pasien dan keluarganya.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 25


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN

1. Hak Pasien
Hak pasien sebenarnya merupakan hak yang asasi yang bersumber dari hak
dasar individual dalam bidang kesehatan, The Right of Self Determination.
Meskipun sama fundamentalnya, hak atas pelayanan kesehatan sering
dianggap lebih mendasar. Dalam hal ini negara berkewajiban untuk
menyelenggarakan pemenuhan layanan kesehatan tersebut, sehingga
masyarakat dapat dengan mudah memenuhi kebutuhan layanan kesehatan
yang terjangkau, berkualitas, dan tersedia di seluruh wilayah Indonesia.
Selanjutnya, di dalam praktik kedokteran terjadilah hubungan pasien-dokter
yang esensi hubungannya adalah saling menghargai dan saling
mempercayai. Tetapi, hubungan ini, tidak seimbang. Secara relatif pasien
berada pada posisi yang lebih lemah. Kekurangmampuan pasien untuk
membela kepentingannya, yang dalam hal ini disebabkan ketidaktahuan
pasien pada masalah pengobatan, menyebabkan timbulnya kebutuhan untuk
mempermasalahkan hak-hak pasien dalam menghadapi para profesional
kesehatan.
Hubungan yang terjadi biasanya lebih bersifat paternalistik, di mana pasien
selalu mengikuti apa yang dikatakan dokter/dokter gigi, tanpa bertanya
apapun. Sebenarnya dokter adalah “partner” pasien dalam hal mencari
kesembuhan penyakitnya dan kedudukan keduanya sama secara hukum.
Pasien dan dokter sama-sama mempunyai hak dan kewajiban tertentu.
Dimulai pada bulan September 1981, pada Musyawarah ke-34 Asosiasi
Kedokteran Sedunia (World Medical Association) di Lisabon, untuk pertama
kalinya dideklarasikan hak-hak pasien, yang meliputi hak untuk memilih
dokter secara bebas, hak untuk dirawat oleh dokter yang memiliki kebebasan
dalam membuat keputusan klinis dan etis tanpa pengaruh dari luar, hak untuk
menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi yang
adekuat, hak untuk mengharapkan bahwa dokternya akan merahasiakan
rincian kesehatan dan pribadinya, hak untuk mati secara bermartabat, dan
hak untuk menerima atau menolak layanan moral dan spiritual.
Di Indonesia, semula baru sebagian kecil masyarakat yang mengetahui hak-
haknya sebagai pasien dan hanya diberlakukan secara voluntary sebagai
kode etik dokter dan belum ada jaminan hukumnya. Kemudian pada tahun
1992, hak-hak pasien dimasukkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan. Hal ini dirasakan perlu karena selama ini pasien,
bila berhubungan dengan dokter, benar-benar harus mempercayakan seluruh
nasibnya kepada dokter tersebut. Dalam arti bila terjadi suatu kesalahan

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 26


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter, pasien hanya bisa pasrah, tanpa
dapat menggugat, karena tidak ada landasan hukumnya.
Isi pasal hak-hak pasien di undang-undang tersebut hampir sama, hanya
terdapat sedikit perbedaan, yaitu pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran tidak disebutkan hak pasien untuk
mendapatkan ganti rugi.

UU Nomor 23 Tahun 1992 UU Nomor 29 Tahun 2004


tentang Kesehatan tentang Praktik Kedokteran

• hak atas informasi; • hak untuk mendapatkan penjelas


• hak atas pendapat kedua; an secara lengkap tentang tindak
• hak atas rahasia kedokteran; an medis sebagaimana dimaksud
• hak untuk memberikan persetujuan dalam pasal 45 ayat (3);
tindakan kedokteran; • hak untuk meminta pendapat
• hak atas ganti rugi apabila ia dirugikan dokter atau dokter gigi lain;
karena kesalahan atau kealpaan tenaga • hak untuk mendapatkan pelayan
kesehatan; an sesuai dengan kebutuhan
• Hak untuk mendapat penjelasan; medis;
• Hak untuk memperoleh pendapat kedua; • hak untuk menolak tindakan
• Hak untuk mendapat pelayanan medis medis;
sesuai dengan kebutuhan, standar profesi • hak untuk mendapatkan isi rekam
dan standar prosedur operasional; medis.
• Hak untuk menolak tindakan medis;
• Hak untuk mendapatkan isi rekam medis.

Hak atas informasi pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang


Kesehatan sama dengan hak untuk mendapatkan penjelasan pada Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang lebih rinci
menyebutkan hak tersebut sesuai dengan Pasal 45 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran
yang berbunyi :

(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-
kurangnya mencakup:
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 27


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan


e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

Hak untuk meminta pendapat kedua, yaitu memberikan keleluasaan pada


pasien untuk meminta pendapat dokter/dokter gigi lain bila dia merasa ragu
ataupun belum yakin dengan diagnosis dokter yang pertama.

Hak untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis,


diperlukan untuk menjaga; supaya pasien benar-benar mendapatkan
pelayanan yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan penyakitnya, (misalnya
apabila perlu mendapatkan pelayanan rontgen maka perlu dirontgen) tidak
boleh dihilangkan ataupun sebaliknya tidak terjadinya pelayanan yang
berlebihan yang sebenarnya tidak diperlukan (tidak perlu dirontgen tetapi di
rontgen).
Pasien juga berhak menolak tindakan medis tertentu. Di sini adalah
kewajiban dokter/dokter gigi untuk menjelaskan kepada pasien bila dia
menolak, maka akan ada risiko-risiko penyakit yang akan dialaminya. Bila
pasien tetap menolak, dan terjadi sesuatu (misalnya pasien meninggal),
maka dokter tidak dapat disalahkan membuat kelalaian, karena sudah
menjelaskan sebelumnya.
Isi rekam medis adalah hak pasien, sehingga memudahkan pasien bila nanti
akan berobat ke dokter lain ataupun memerlukan perawatan untuk penyakit
yang lain.
Yang juga penting sebenarnya adalah hak pasien untuk mendapatkan ganti
rugi yang ada pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan tapi tidak ada pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran. Bila memang kerugian pasien terjadi (misalnya
cacat, bertambah parah penyakitnya, ataupun meninggal) terbukti akibat
kesalahan dan kelalaian dokter, maka sudah seharusnya pasien
mendapatkan ganti rugi yang dapat disepakati bersama sesuai dengan
kerugian yang diderita.
Selain kedua undang-undang tersebut di atas, Surat Edaran Direktorat
Jenderal Pelayanan Medis (Ditjen Yanmed) Depkes RI No
YM.02.04.3.5.2504, merumuskan hak-hak pasien rumah sakit dengan lebih
rinci, dengan tambahan-tambahan keterangan yang menekankan pada hak
pasien untuk mendapatkan informasi yang lengkap mengenai seluruh
pelayanan rumah sakit, serta hak pasien untuk mendapatkan pelayanan
rumah sakit yang bermutu dan manusiawi (termasuk seluruh pelayanan
dokter dan tenaga medis yang bekerja di sana).
Hak pasien rumah sakit yang belum tercakup pada kedua undang-undang di
atas, antara lain adalah:

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 28


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

1. Hak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan


mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri
sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya.
2. Hak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.
3. Hak menjalankan ibadah sesuai agama/kepercayaan yang dianutnya
selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya.
4. Hak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di
rumah sakit.
5. Hak mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit
terhadap dirinya.
6. Hak menerima atau menolak bimbingan moril atau spiritual.

Ada juga hak pasien lainnya yang dakui oleh World Health Organization
(WHO), namun belum tercermin dalam undang-undang dan peraturan yang
berlaku di Indonesia, antara lain:

1. Mendapatkan pelayanan medis tanpa mengalami diskriminasi


berdasarkan ras, suku, warna kulit, asal, agama, bahasa, jenis kelamin,
kemampuan fisik, orientasi seksual, aliran politik, pekerjaan, dan sumber
dana untuk membayar;
2. Menerima atau menolak untuk dilibatkan dalam penelitian, dan jika
bersedia ia berhak memperoleh informasi yang jelas tentang penelitian
tersebut;
3. Mendapat penjelasan tentang tagihan biaya yang harus dia bayar.

2. Kewajiban Pasien Dalam Pelayanan Medis

Selain hak, pasien juga mempunyai kewajiban yang harus dipenuhinya.


Dokter tidak dapat disalahkan bila pasien tidak bersikap jujur dan mau
menceritakan seluruh penyakit dan apa yang dirasakannya. Bila pasien
sudah pernah berobat ke dokter lain, misalnya, dia juga harus menceritakan
perawatan apa dan obat apa yang dia dapatkan sebelumnya. Bahkan pasien
sebaiknya juga menceritakan sejarah penyakitnya pada dokter (misalnya ibu
atau ayahnya berpenyakit darah tinggi, jantung, ginjal, diabetes, atau
penyakit lainnya, sehingga dokter dapat mendiagnosis penyakit secara lebih
tepat).
Pasal 53 UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengatur
tentang kewajiban pasien, yaitu:

Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai


kewajiban :

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 29


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah


kesehatannya;
b. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

Yang dimaksud dengan memberikan informasi yang lengkap dan jujur,


misalnya untuk hal-hal seperti yang disebutkan di bawah ini:
• memaparkan keadaan kepada dokter yang memeriksa, termasuk
menceritakan awal dirasakannya keluhan tersebut dan berbagai
kemungkinan yang bisa dikaitkan dengan keluhan.
• menyampaikan informasi tentang hal-hal/tindakan yang sudah
dilakukan sehubungan dengan keluhan tersebut.
Mematuhi nasihat dan petunjuk, termasuk meminta penjelasan kepada dokter
untuk hal-hal yang tidak dipahami ketika dokter memberikan informasi
mengenai keadaan dan situasinya.
Mematuhi peraturan sarana pelayanan kesehatan tempat ia dirawat, tidak
boleh berbuat seenaknya, misalnya memakan makanan yang dilarang
ataupun membuang obat yang diberikan dan berperilaku yang tidak sopan.
Pasien yang menjalankan perawatan haruslah memberikan imbalan jasa
sesuai dengan kesepakatan. Karena itu adalah penting bagi seorang
dokter/dokter gigi untuk menjelaskan kepada pasien ataupun keluarganya
tentang biaya yang harus dikeluarkan, kecuali dalam hal emergency, di mana
pasien harus ditolong dengan cepat, tanpa terlebih dahulu menerangkan
tentang biaya yang diperlukan.

Kecenderungan secara global menunjukkan bahwa hubungan dokter dengan


pasien haruslah berupa mitra, keduanya bekerja bersama untuk mencari
jalan terbaik bagi kesembuhan pasien. Bila dari permulaan hubungan
dokter/dokter gigi pasien sudah lebih baik dan saling terbuka, maka banyak
masalah dapat diatasi bersama, karena dokter yang sudah mengetahui
semua sejarah penyakit pasien serta keluhannya akan dapat membuat
diagnosis yang lebih tepat. Di lain pihak pasien yang juga sudah mendapat
keterangan lengkap tentang penyakitnya, cara pengobatan dan
perawatannya, kemungkinan efek samping yang mungkin timbul, serta
kemungkinan lain akibat tindakan medis tertentu, mestinya sudah lebih siap
menghadapi segala kemungkinan (yang terburuk sekalipun) dan tidak akan
begitu saja menyalahkan dokter, tanpa memahami seluruh rangkaian proses
yang harus dilalui dalam suatu pengobatan ataupun perawatan medis.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 30


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN DOKTER

Dalam melakukan praktik kedokteran, dokter memiliki hak dan kewajiban


dalam hubungannya dengan pasien. Hak dan kewajiban yang esensial diatur
di dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Selain itu masih ada hak dan kewajiban umum lainnya yang mengikat dokter.
Suatu tindakan yang dilakukan dokter secara material tidak bersifat melawan
hukum, apabila memenuhi syarat-syarat berikut secara kumulatif: tindakan itu
mempunyai indikasi medik dengan tujuan perawatan yang sifatnya konkret;
dan dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku di dalam bidang
ilmu kedokteran; serta diizinkan oleh pasien. Dua norma yang pertama timbul
karena sifat tindakan tersebut sebagai tindakan medis. Adanya izin pasien
merupakan hak dari pasien. Hak tersebut menyebabkan timbulnya kelompok
norma-norma yang lain yaitu norma untuk menghormati hak-hak pasien
sebagai individu dan norma yang mengatur agar pelayanan kesehatan dapat
berfungsi di dalam masyarakat untuk kepentingan orang banyak, dalam hal
ini pasien sebagai anggota masyarakat

1. Hak Dokter
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang ia melakukan praktik
kedokteran sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional.
Standar profesi menurut Penjelasan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 adalah batasan kemampuan (knowledge, skill dan
professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu
untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara
mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi. PB IDI, PB PDGI dan para
pakar berpendapat bahwa standar profesi tersebut terdiri dari standar
pendidikan, standar kompetensi, standar pelayanan dan pedoman
perilaku sesuai dengan kode etik kedokteran dan kedokteran gigi.
Menurut Penjelasan Pasal 50 Undang Undang Nomor 29 tahun 2004,
standar prosedur operasional adalah suatu perangkat instruksi/langkah-
langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin
tertentu. Standar Prosedur Operasional memberikan langkah yang benar
dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan
berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana
pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.
Dokter yang melakukan praktik sesuai dengan standar tidak dapat
disalahkan dan bertanggungjawab secara hukum atas kerugian atau
cidera yang diderita pasien karena kerugian dan cidera tersebut bukan
diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaian dokter. Perlu diketahui bahwa

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 31


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

cedera atau kerugian yang diderita pasien dapat saja terjadi karena
perjalanan penyakitnya sendiri atau karena risiko medis yang dapat
diterima (acceptable) dan telah disetujui pasien dalam informed consent.
b. Melakukan praktik kedokteran sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional.
Dokter diberi hak untuk menolak permintaan pasien atau keluarganya
yang dianggapnya melanggar standar profesi dan atau standar prosedur
operasional.
c. Memperoleh informasi yang jujur dan lengkap dari pasien atau
keluarganya.
Dokter tidak hanya memerlukan informasi kesehatan dari pasien,
melainkan juga informasi pendukung yang berkaitan dengan identitas
pasien dan faktor-faktor kontribusi yang berpengaruh terhadap terjadinya
penyakit dan penyembuhan penyakit.
d. Menerima imbalan jasa
Hak atas imbalan jasa adalah hak yang timbul sebagai akibat hubungan
dokter dengan pasien, yang pemenuhannya merupakan kewajiban
pasien. Dalam keadaan darurat atau dalam kondisi tertentu, pasien tetap
dapat dilayani dokter tanpa mempertimbangkan aspek finansial.
Selain itu dokter juga memiliki hak-hak yang berasal dari hak azasi
manusia, seperti:
- hak atas privasinya
- hak untuk diperlakukan secara layak
- hak untuk beristirahat
- hak untuk secara bebas memilih pekerjaan
- hak untuk terbebas dari intervensi, ancaman dan kekerasan, dan lain-
lain sewaktu menolong pasien.

2. Kewajiban Dokter Dalam Memberikan Pelayanan Medis


Kewajiban dokter pada dasarnya terdiri dari:
a. kewajiban yang timbul akibat pekerjaan profesinya atau sifat layanan
medisnya yang diatur dalam sumpah dokter, etika kedokteran dan
berbagai standar dan pedoman
b. kewajiban menghormati hak pasien, dan
c. kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan
kesehatan.
Beberapa kewajiban dokter tersebut adalah:
a. Memberi pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional, serta kebutuhan pasien.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 32


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

Standar Pelayanan menurut penjelasan Pasal 44 ayat (1) Undang


Undang Nomor 29 tahun 2004 adalah pedoman yang harus diikuti oleh
dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran.
Ayat (2) pasal 44, standar pelayanan tersebut dibedakan menurut jenis
dan strata sarana pelayanan kesehatan. Penjelasan ayat tersebut strata
pelayanan adalah tingkatan pelayanan yang standar tenaga dan
peralatannya sesuai dengan kemampuan yang diberikan.
b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian
atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan.
Kewajiban merujuk pasien tersebut dapat dilaksanakan apabila keadaan
kesehatan pasien memang dapat bergerak atau dapat dibawa untuk
dipindahkan dalam keadaan stabil dan layak. Kewajiban merujuk hanya
dapat disimpangi apabila pasien tidak menginginkan dirinya dirujukkan
meskipun telah dijelaskan manfaatnya, atau apabila tidak ada dokter yang
memiliki keahlian yang dibutuhkan di daerah tersebut (yang terjangkau).
c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan
juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Merahasiakan keadaan pasien diwajibkan dalam sumpah dokter, kode
etik kedokteran/kedokteran gigi, dan beberapa peraturan perundang-
undangan. Sebagian pakar menyatakan bahwa kewajiban tersebut
absolut sifatnya, sebagian menyatakan relatif. Paham yang relatif
mengatakan bahwa rahasia kedokteran dapat dibuka untuk kepentingan
kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam
rangka menegakkan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan
ketentuan perundang-undangan.
d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila
ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.
e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi
Selain itu, sebagaimana diuraikan di atas, masih terdapat kewajiban dokter
lainnya yang diatur dalam sumpah dokter dan kode etik kedokteran.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 33


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

BAB V
PELAYANAN KEDOKTERAN

Pelayanan kedokteran atau pelayanan medis diberikan oleh dokter dan


dokter gigi dengan didukung oleh berbagai profesional penunjang. Kemajuan
ilmu dan teknologi kedokteran kini tidak hanya melahirkan dokter (umum) dan
dokter gigi (umum) melainkan juga berbagai spesialisasi keahlian kedokteran.

Dengan sebelumnya telah memahami hak dan kewajiban pasien, kemudian


mengenal tugas dan wewenang dokter/dokter gigi berikut ragam
spesialisasinya, dan sarana atau fasilitas pelayanan kesehatan serta sistem
rujukannya, diharapkan akan dapat membantu pemanfaatan pelayanan
medis secara rasional. Ada hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
mempertimbangkan pilihan pelayanan medis.

1. Mengenal Pelayanan Kedokteran


Dokter dan dokter gigi yang memberikan pelayanan medis adalah lulusan
dari Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi suatu universitas
(institusi pendidikan tinggi) yang telah terakreditasi dan memenuhi standar
pendidikan yang disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Mereka telah
memiliki Sertifikat Kompetensi yang dikeluarkan oleh Kolegium Kedokteran
atau Kolegium Kedokteran Gigi atau Kolegium Pendidikan Spesialis, sesuai
standar kompetensi yang telah disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia.
Mereka kemudian harus diregistrasi oleh Konsil Kedokteran Indonesia
sebelum dapat memperoleh Surat Izin Praktik dari Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.
Registrasi dokter dan dokter gigi dilaksanakan secara nasional dan terpusat
di Konsil Kedokteran Indonesia, sedemikian rupa sehingga hanya dokter
yang teregistrasi saja yang diperkenankan menjalankan profesinya. Dokter
dan dokter gigi yang teregistrasi diketahui dengan mudah karena mereka
memiliki Surat Tanda Registrasi (STR). Berdasarkan registrasi ini dokter dan
dokter gigi memiliki kewenangan formal untuk melakukan praktik kedokteran
atau kedokteran gigi. Sedangkan untuk melakukan praktik di tempat tertentu
masih diperlukan Surat Izin Praktik (SIP) yang dikeluarkan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota. Untuk setiap tempat praktiknya, dokter dan
dokter gigi harus memiliki SIP yang berlaku di tempat tersebut. Perlu
diketahui pula bahwa dokter dan dokter gigi hanya diperkenankan memiliki
tiga tempat praktik.
Dokter dan dokter gigi yang teregistrasi dapat melakukan pertolongan medis
atau melakukan tindakan medis tanpa harus memiliki SIP, tetapi wajib
memberitahukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat, dalam
hal:

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 34


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

a. Diminta secara insidental oleh suatu sarana pelayanan kesehatan untuk


memberikan layanan kedokteran kepada pasien yang membutuhkannya;
b. Melaksanakan pertolongan pada suatu bencana;
c. Melaksanakan bakti sosial;
d. Menerima penugasan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk
melaksanakan suatu pelayanan kedokteran di sarana pelayanan
kesehatan tertentu.
Dokter dan dokter gigi yang bekerja di rumah sakit pendidikan hanya
memerlukan satu SIP untuk dapat bekerja dalam rangka mendidik di seluruh
rumah sakit atau sarana pelayanan kesehatan yang termasuk jejaring dari
rumah sakit pendidikan tersebut. Dokter dan dokter gigi yang sedang
menjalani pendidikan spesialisasi juga telah memiliki STR dan SIP khusus.
Mahasiswa kedokteran atau kedokteran gigi yang menjalani pendidikan di
rumah sakit pendidikan melaksanakan pelayanan kedokteran di bawah
supervisi dari dokter atau dokter gigi yang telah memiliki STR dan SIP. Jadi,
berdasarkan ketentuan tersebut masyarakat perlu memahami bahwa
pelayanan medis yang dilakukan oleh bukan dokter atau bukan dokter gigi,
atau tanpa STR dan SIP diancam dengan pidana penjara atau denda.

2. Dokter dan Dokter Gigi

Dokter
Dokter adalah lulusan Fakultas Kedokteran. Dokter berkompeten atau
mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan kedokteran di semua
bidang ilmu kedokteran hingga ke batas tertentu. Ia bisa melakukan
pembedahan minor, mengobati penyakit apa saja dan lain sebagainya.
Pengetahuan dan keterampilannya terbatas pada bidang kedokteran, luas
namun tidak mendalam sebagaimana dokter yang mengambil spesialis
bidang tertentu. Jadi, dokter bisa saja melakukan pengobatan atau tindakan
medis kepada pasien-pasiennya, namun apabila terjadi penyulit yang bisa
membahayakan pasien atau dirinya sendiri, atau apabila ia menemui kasus
yang ia tidak mampu menanganinya, ia wajib merujuk pasien ke dokter
spesialis yang sesuai yang mampu menangani kasusnya. Dalam memberikan
pelayanan medis, dokter terikat pada ketentuan yang mengatur batasan
kewenangan sesuai dengan kemampuannya.

Dokter Spesialis
Dokter spesialis memperoleh keahliannya dengan mengikuti pendidikan
spesialis di bidang yang menjadi pilihannya, sesudah lulus sebagai dokter
dari Fakultas Kedokteran. Sesudah menjadi dokter spesialis, ia memusatkan
pengetahuannya pada satu bidang hingga kemampuannya di bidang
spesialisasi itu semakin dalam. Dengan demikian ia pun menjadi lebih
kompeten di bidangnya, khususnya dalam menilai dan melakukan hal-hal

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 35


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

yang bersifat spesialistik, dibandingkan dengan dokter atau dokter spesialis


bidang lainnya.
Dokter spesialis dikenali dengan melihat sebutan di belakang namanya,
misalnya SpPD (spesialis penyakit dalam), SpB (spesialis bedah), SpA
(spesialis anak), SpOG (spesialis obstetri dan ginekologi) dan lain-lain, yang
secara rinci dapat dilihat pada tabel. Daftar bidang spesialisasi di kedokteran
dan kedokteran gigi dapat dilihat di bagian akhir bab ini.
Sebagian dari dokter spesialis, umumnya yang bekerja di rumah sakit
pendidikan, akan lebih memperdalam pengetahuan dan keterampilannya di
bidang yang lebih khusus, sehingga mereka menjadi spesialis konsultan di
bidang yang lebih khusus atau subspesialis tersebut. Penyebutan bagi
spesialis konsultan masih belum seragam, ada yang mencantumkan bidang
subspesialisasinya, ada pula yang tidak mencantumkannya. Sebagai contoh,
di dalam bidang spesialisasi ilmu penyakit dalam terdapat beberapa
subspesialisasi, sehingga para ahlinya diberi sebutan konsultan sesuai
dengan bidangnya. Sebutan SpPD-KKV diperuntukkan bagi dokter spesialis
penyakit dalam yang menjadi konsultan di subspesialisasi Kardiovaskuler,
sebutan SpPD-KGEH bagi konsultan Gastroenterologi dan Hepatologi. Di
bidang spesialisasi ilmu kesehatan anak juga terdapat beberapa
subspesialisasi, tetapi sebutan bagi mereka seragam, yaitu SpA(K), tanpa
menyebutkan bidang subspesialisasinya.
Hak dan kewenangan profesi seorang dokter ahli, apakah spesialis,
subspesialis atau spesialis konsultan, dinyatakan dalam sebutan di belakang
namanya tersebut, (tabel 1). Hal tersebut diatur dalam UU Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan, Pasal 32 (4) yang berbunyi, ”Pelaksanaan
pengobatan dan atau keperawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu
keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu.” Keahliannya diakui oleh perhimpunan
dokter ahli yang bersangkutan dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan
Dokter Gigi Indonesia (PDGI), serta kewenangannya oleh Departemen
Kesehatan RI (Depkes).
Pada awalnya, dunia kedokteran hanya terbagi ke dalam 3 spesialisasi, yaitu
ilmu bedah (surgery), kedokteran non bedah (medicine), dan kebidanan
(obstetri). Namun dalam perkembangannya, masing-masing berkembang ke
berbagai arah sesuai dengan sistem organ dan menggabungkan bedah
(invasif) dan non bedah. Dari ilmu bedah (bedah umum) berkembang
menjadi urologi, ortopedi, dan lain lain, sedangkan dari kedokteran non bedah
menjadi ilmu penyakit dalam, ilmu kesehatan anak, ilmu saraf, jantung
pembuluh darah, paru, dan lain lain. Muncul pula spesialisasi yang
menggabungkan bedah dan non bedah, seperti mata, THT, bedah saraf, kulit
kelamin, dan lain lain. Demikian pula muncul spesialisasi pendukung seperti
radiologi, patologi klinik, patologi anatomik, rehabilitasi medik, parasitologi
klinik, anestesiologi, dan lain-lain.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 36


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

Semakin maju perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran maka semakin


sulit lagi memisahkan jenis spesialisasi sebagaimana pembagian pada
awalnya. Ilmu penyakit dalam dan spesialisasi non bedah lainnya yang
dulunya tidak melakukan tindakan invasif, sekarang telah melakukan tindakan
invasif/intervensi dengan melakukan endoskopi, kateterisasi, dan lain-lain.
Radiologi yang dulunya hanya bergerak di bidang diagnostik kini memiliki
subspesialisasi intervensif yang bersifat terapi. Radioterapi sebagai bagian
dari ilmu kedokteran nuklir muncul pada awalnya sebagai “anaknya” radiologi.

Dokter Gigi
Seseorang yang menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi
berkompeten atau mempunyai wewenang untuk:
- mengobati penyakit gigi
- mengobati/memperbaiki kelainan bawaan di bidangnya
- melakukan rehabilitasi kelainan sistem stomatognati yang meliputi
kelainan gigi-geligi, otot, saraf, pembuluh darah dan tulang rahang, dalam
rangka mempertahankan fungsi-fungsi pengunyahan, bicara, estetis dan
persarafan.

Dokter Gigi Spesialis


Dokter gigi spesialis juga mencantumkan sebutan spesialis di belakang
namanya, seperti SpBM (spesialis bedah mulut). Dokter gigi spesialis juga
mencantumkan sebutan drg di depan namanya dan spesialisasinya di bagian
belakang. Contoh: drg Ayu Sekarwati, Sp BM (spesialis bedah mulut). Ada 8
bidang spesialisasi dalam kedokteran gigi yang secara lengkap dapat dilihat
pada daftar spesialisasi kedokteran gigi.

3. Sarana Pelayanan Kedokteran


Dokter dan dokter gigi, baik umum maupun spesialis dapat memberikan
pelayanan medis di berbagai tempat, antara lain:

- Praktik perorangan
- Klinik bersama
- Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)
- Balai Kesehatan Masyarakat (Balkesmas)
- Rumah Sakit Umum
- Rumah Sakit Khusus
- Rumah Sakit Pendidikan

Dokter sah berpraktik di sarana pelayanan kedokteran/kesehatan sesudah


dinyatakan layak oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan Surat Izin
Praktik (SIP).

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 37


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

3.1. Praktik Perorangan/Pribadi/Swasta


Praktik perorangan adalah praktik swasta yang dilakukan oleh dokter dan
dokter gigi, baik umum maupun spesialis. Dokter mempunyai tempat praktik
yang diurusnya sendiri, dan biasanya memiliki jam praktik. Adakalanya
dokter/dokter gigi dibantu oleh tenaga administrasi yang mengatur pasien,
dan kadang juga dibantu oleh perawat. Ada juga yang benar-benar sendiri
dalam memberikan pelayanan, sehingga dokter/dokter gigi tersebut
menangani sendiri semua prosedur pelayanan medis yang diberikannya.
Tempat praktik bisa berupa tempat khusus, yaitu hanya untuk praktik saja,
sehingga dokter/dokter gigi tersebut tidak akan dapat dijumpai di tempat ini di
luar jam praktik yang telah ditetapkan. Tempat praktik perorangan bisa juga di
tempat yang menjadi bagian dari rumah tinggal dokter/dokter gigi. Apapun
bentuknya, ada persyaratan yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI
dan jajaran teknis di bawahnya untuk tempat praktik dokter/dokter gigi. Dokter
diwajibkan memasang papan praktik yang memuat nama, kualifikasi dan
nomor STR dan SIP nya agar memudahkan pasien mengenali dokternya.

3.2. Klinik Bersama


Di tempat ini dokter/dokter gigi, baik umum maupun spesialis melakukan
praktik berkelompok. Biasanya Klinik Bersama terdiri dari berbagai keahlian
(spesialisasi). Daftar nama dokter/dokter gigi, kualifikasinya dan jam
praktiknya masing-masing diwajibkan tercantum di ruang tunggu. Di tempat
lain yang memungkinkan harus pula dicantumkan nomor STR dan SIP
masing-masing dokter yang berpraktik. Kadang-kadang informasi lainnya
yang lebih lengkap disediakan dalam bentuk brosur, lembar lipat (leaflet),
buklet.

3.3. Puskesmas
Dokter dan dokter gigi yang berpraktik di Puskesmas umumnya adalah
dokter/dokter gigi yang ditempatkan sebagai pegawai negeri sipil atau
pegawai tidak tetap Departemen Kesehatan atau Pemerintah Daerah
setempat. Puskesmas adalah tempat pelayanan kesehatan yang disediakan
oleh pemerintah bagi masyarakat. Wilayah kerja Puskesmas biasanya
meliputi wilayah kecamatan, sedangkan di wilayah tertentu seperti di DKI
Jakarta, terdapat Puskesmas dengan wilayah kerja di tingkat kelurahan.
Dilihat dari bentuk pelayanannya, Puskesmas umumnya hanya memberikan
pelayanan rawat jalan, namun terdapat pula Puskesmas yang mempunyai
fasilitas untuk rawat inap, atau Puskesmas yang dilengkapi dengan layanan
pertolongan persalinan dengan fasilitas rawat inap. Informasi mengenai
layanan medis yang bisa diberikan oleh dokter/dokter gigi di Puskesmas
tertentu dapat ditanyakan kepada petugas atau berdasarkan keterangan yang
dimuat pada papan pelayanan di ruang tunggu Puskesmas.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 38


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

3.4. Balkesmas

Pelayanan di Balai Kesehatan Masyarakat (Balkesmas) dapat dikatakan


sama dengan Puskesmas. Bedanya, Balkesmas merupakan tempat
pelayanan kesehatan yang disediakan oleh pihak swasta. Dokter/dokter gigi
yang bertugas di Balkesmas sama halnya dengan di Puskesmas.

3.5. Rumah Sakit


Rumah sakit adalah sarana pelayanan kesehatan yang memiliki sarana rawat
inap.
Rumah sakit dapat dimiliki dan dikelola oleh pemerintah atau swasta. Rumah
sakit pemerintah terdiri dari Rumah Sakit Umum, baik Daerah (RSUD)
maupun Pusat (RSUP), dan Rumah Sakit Khusus. RS Dr. Cipto
Mangunkusumo di Jakarta dikenal sebagai rujukan nasional, karena itu
disebut dengan RSUPNCM (Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto
Mangunkusumo). Demi mendukung tugas khususnya, terdapat juga rumah
sakit yang dikelola oleh TNI dan Polri, seperti RS Angkatan Darat, RS
Angkatan Laut, RS Angkatan Udara dan RS Bhayangkara Polri. Selain itu
juga terdapat Rumah Sakit Badan Usaha Milik Negara (RS BUMN). Selain
memberikan pelayanan sesuai dengan tugas khususnya, RS-RS tersebut
juga memberikan pelayanan kepada masyarakat lainnya (umum).
Permenkes 159b/1988 memilah rumah sakit pemerintah menjadi lima kelas
berdasarkan fasilitas dan keahlian dokter yang bertugas di situ. Rumah Sakit
Kelas D, hanya mempunyai dokter umum. Kelas C, mempunyai paling kurang
empat spesialis dasar yaitu, bedah, penyakit dalam, kebidanan dan anak.
Kelas B1, mempunyai pelayanan spesialis dalam sebelas disiplin ilmu. Kelas
B2 dan Kelas A, mempunyai pelayanan subspesialis.
Rumah sakit swasta biasanya didirikan dalam bentuk Perusahaan Terbatas
(PT), yayasan, koperasi atau perkumpulan. Rumah Sakit Swasta
dikelompokkan ke dalam tiga kelas, yaitu Pratama, pelayanan medis bersifat
umum; Madya, pelayanan spesialistik dalam empat cabang; dan Utama,
spesialistik dan subspesialistik.
Dokter/dokter gigi yang bekerja di rumah sakit tidak bekerja sendiri melainkan
menjadi bagian dari tim kerja. Ia tidak terlibat penuh dalam urusan
penyediaan pelayanan kesehatan karena masing-masing bagian ditangani
sesuai dengan bidang tugasnya. Umumnya dokter/dokter gigi berfungsi
sebagai tenaga medis yang datang ke rumah sakit untuk memeriksa pasien,
mendiagnosis dan menilai prognosis, merencanakan tindak lanjut dan
pengobatannya, menulis resep, dan melakukan tindakan kedokteran lainnya.
Seringkali sebagian tindakan kedokterannya didelegasikan kepada tenaga
kesehatan lain, seperti perawat, bidan dan teknisi medik lainnya.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 39


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

Status dokter/dokter gigi di rumah sakit dapat sebagai dokter tetap atau
purnawaktu, dapat pula sebagai dokter paruhwaktu, ataupun dokter tamu.
Status kepegawaian dokter juga dapat sebagai pegawai rumah sakit atau
sebagai profesional bukan pegawai dengan ikatan kontrak dengan rumah
sakit. Dokter purnawaktu dan dokter paruhwaktu memiliki jam praktik yang
jelas dan memiliki hubungan kerja yang jelas dengan rumah sakit, sehingga
dapat bekerja dengan leluasa di rumah sakit tersebut. Dokter tamu tidak
memiliki jam praktik, namun ia memiliki hak untuk merawat pasien-pasiennya
di rumah sakit tersebut. Dokter purnawaktu memiliki waktu yang lebih banyak
di rumah sakit sehingga lebih mudah ditemui pasien. Dokter paruhwaktu
umumnya hanya dapat ditemui pada jam praktik dan jam kunjungan ke
pasien rawat inapnya. Dalam keadaan pasien mengalami kegawatdaruratan,
dokter-dokter tersebut dapat dipanggil untuk merawat pasiennya. Rumah
sakit juga memiliki sistem kerja sedemikian rupa sehingga dalam hal dokter
yang merawat pasien berhalangan hadir, maka dokter lain yang kompeten
harus dapat menggantikan tugasnya. Dokter jaga dan dokter ruangan adalah
dokter yang selalu siap siaga di rumah sakit.

3.6. Rumah Sakit Umum dan Khusus

Pelayanan medis yang diberikan oleh dokter/dokter gigi, baik umum maupun
spesialis dapat ditemui di Rumah Sakit Umum (RSU) yang melayani segala
macam penyakit. Keumumannya ditimbulkan oleh meratanya peran dokter
spesialis yang bekerja di rumah sakit tersebut.

Rumah Sakit Khusus (RSK) adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan
utama atas satu atau beberapa disiplin kedokteran tertentu. Contohnya
adalah RSK Bedah dengan spesialisasi Bedah; RSK THT dengan
spesialisasi Telinga Hidung dan Tenggorokan; RSK Jiwa dengan spesialisasi
Kedokteran Jiwa; RSK Paru dengan spesialisasi Penyakit Paru; RSK Bedah
Plastik dengan spesialisasi bedah plastik; RSK Kanker, mengkhususkan
pada kanker; RSK Ibu dan Anak untuk pelayanan kesehatan ibu dan anak.

3.7. Rumah Sakit Pendidikan


Dokter/dokter gigi yang bertugas di RS Pendidikan tidak hanya bertugas
memberikan pelayanan medis tetapi juga mendidik para calon dokter/dokter
gigi atau calon dokter spesialis, baik untuk pendidikan dasar maupun
pendidikan berkelanjutan. RS Pendidikan juga berfungsi sebagai tempat
melakukan riset atau penelitian yang diperlukan untuk kemajuan ilmu
kedokteran/kedokteran gigi. Sesuai dengan fungsi tersebut (sebagai rumah
sakit pendidikan) dokter/dokter gigi yang menangani kasus juga melibatkan
mahasiswa kedokteran atau calon spesialis/sub spesialis.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 40


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

Khusus RS Pendidikan, struktur dokter terdiri dari konsultan, trainee, residen


dan koass.
Konsultan adalah subspesialis di subbagian yang bertindak sebagai dosen
atau pengajar.
Trainee atau peserta pendidikan PPDS-2, adalah dokter spesialis yang
mengikuti pendidikan/magang di subbagian untuk menjadi konsultan atau
subspesialis selama beberapa tahun masa pendidikannya.
Residen adalah dokter yang sedang menjalani program pendidikan dokter
spesialis (PPDS) untuk menjadi spesialis,
Koass adalah mahasiswa kedokteran yang mengikuti pendidikan profesi
untuk menjadi dokter. Selain itu, ada pula kegiatan di klinik oleh mahasiswa
kedokteran sebelum Sarjana Kedokteran.

4. Sistem Rujukan
Merujuk berarti melihat untuk meneliti (KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia
edisi ketiga, cetakan 1, Balai Pustaka, Jakarta, 2001 dari Departemen
Pendidikan Nasional). Dalam istilah kedokteran, merujuk juga disebut
sebagai konsultasi yang berarti meminta pendapat untuk mengambil suatu
keputusan (Microsoft® Encarta® Reference Library 2005). Pasien perlu
memahami sistem rujukan dalam memperoleh pelayanan medis agar dapat
dilakukan secara efisien dan efektif. Sistem rujukan dapat dilihat dari
perujukan antar dokter pemberi layanan, dapat pula perujukan antar sarana
pelayanan kesehatan. Perujukan dapat dilakukan dari bawah ke atas, dan
dapat pula dilakukan dari atas ke bawah, atau ke samping.
Kompetensi atau kemampuan dokter dan dokter gigi berjenjang dan
berjurusan sesuai bidang spesialisasi, sehingga akibatnya pada tiap jenjang
dan tiap spesialisasi akan memiliki keterbatasan kompetensi. Dokter dapat
merujuk ke dokter spesialis, demikian pula sebaliknya. Dokter spesialis yang
satu dapat merujuk ke spesialis lainnya, demikian pula sebaliknya.
Sistem rujukan sebagaimana ditemukan pada tingkat dokter ke dokter
spesialis atau dari dokter gigi ke dokter gigi spesialis juga ditemukan pada
tingkat dokter spesialis ke dokter spesialis konsultan atau subspesialis.
Di dalam sistem rujukan yang baik, pasien yang mencari pengobatan
sebaiknya memulainya dari sarana pelayanan kesehatan primer (Puskesmas,
Poli Umum di rumah sakit, atau tempat praktik dokter). Pada umumnya,
penyakit yang tidak sulit akan dapat diatasi di tingkat pelayanan kesehatan
primer tersebut. Apabila diperlukan, baik atas inisiatif pemberi layanan
ataupun permintaan pasien dan kemudian disetujui keduanya, yaitu apabila
pemberi layanan merasa tidak mampu menangani pasien lebih lanjut atau
apabila penanganan belum menunjukkan hasil yang diharapkan, maka

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 41


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

pasien dapat dirujuk ke sarana pelayanan kesehatan yang lebih tinggi (rumah
sakit atau dokter spesialis) atau ke dokter spesialis lain yang lebih tepat.
Perujukan membutuhkan adanya surat pengantar dari dokter yang merujuk
yang berisi informasi kesehatan pasien dan penanganannya hingga saat
perujukan. Informasi tersebut sangat berguna bagi dokter yang menerima
rujukan agar penanganan pasien dapat berlanjut dengan efektif dan efisien.
Dalam keadaan tertentu, seperti pada keadaan darurat medis atau
kekambuhan penyakit yang sebelumnya sudah diketahui, pasien dapat saja
langsung mencari pertolongan medis ke rumah sakit atau ke dokter spesialis
yang sudah dikenalnya atau yang selama ini menanganinya.

Dilihat dari segi pelayanan gigi, pemahaman sistem rujukan akan membantu
mendapatkan pelayanan medis gigi yang efisien dan efektif.

Tingkatan sarana berdasarkan kemampuan pelayanan


1) Puskesmas mempunyai kemampuan pelayanan medis gigi dasar tidak
lengkap
2) Rumah sakit tipe D mempunyai kemampuan pelayanan medis gigi dasar
lengkap
3) Rumah sakit tipe C mempunyai kemampuan pelayanan medis gigi dasar
lengkap ditambah dengan 1 atau 2 pelayanan medis gigi spesialistik
4) Rumah sakit tipe B mempunyai kemampuan pelayanan medis gigi dasar
lengkap ditambah dengan 4 pelayanan medis gigi spesialistik.
5) Rumah sakit tipe A mempunyai kemampuan pelayanan medis gigi dasar
lengkap dengan 7 pelayanan medis gigi spesialistik.

Dalam kedokteran rujukan bersifat dinamis, sesuai perkembangan penyakit


pasien. Tergantung atas tingkat keahliannya, rujukan bisa dilakukan vertikal
(v) atau horizontal (h). Rujukan dokter ke dokter spesialis adalah vertikal ke
atas (v↑). Dari dokter subspesialis ke dokter spesialis adalah vertikal ke
bawah (v↓). Antara sesama tingkat keahlian, horizontal (h). Rujukan dapat
dilakukan untuk meminta pendapat banding, pengobatan bersama,
pengambilalihan pengobatan atau pengembalian pasien.

Lazimnya rujukan yang dilakukan sesuai dengan tahapan dapat mencegah


terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Perujukan dapat dilakukan dengan
cara mendatangkan dokter yang diperlukan ke tempat pasien dirawat, atau
dengan cara mengirimkan pasien ke dokter yang diperlukan. Cara pertama
umumnya ditujukan bagi pasien yang dalam keadaan lemah dan tidak stabil
keadaan kesehatannya. Cara kedua dilakukan pada keadaan pasien yang
relatif cukup kuat sehingga bisa bergerak sendiri ke dokter yang diperlukan
(rawat jalan) atau pasien yang lemah (rawat inap) tetapi cukup stabil keadaan
kesehatannya sehingga dapat dipindahkan tanpa membahayakan keadaan
pasien.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 42


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

Perujukan tidak dapat dilakukan apabila dokter/dokter gigi atau sarana


pelayanan kesehatan yang diperlukan tidak tersedia dalam jarak jangkauan,
atau apabila pasien tidak menghendakinya.

Pasien dapat memilih dokter/dokter gigi sesuai kebutuhannya. Berikut adalah


hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih dokter/dokter gigi atau ketika
dirujuk:

a. Jangan berobat ke dokter yang tidak mempunyai waktu untuk


memberikan informasi yang cukup karena terlalu banyak pasiennya
atau memang tidak terbiasa dan tidak bersedia memberikan informasi.
Dalam memanfaatkan pelayanan medis oleh dokter/dokter gigi,
pasien hendaknya tetap memperhatikan kemampuan dokter/dokter
gigi dalam memberikannya. Pasien harus memahami terlebih dulu,
apa yang diharapkannya. Kalau pasien ingin dapat berkomunikasi
lebih dalam tentunya ia tidak bisa memilih berobat ke dokter yang
sangat banyak pasiennya. Keterbatasan waktu dalam menangani
pasien seringkali membuat dokter/dokter gigi hanya memeriksa dan
mungkin menuliskan resep saja, tak cukup waktu untuk
mendengarkan keluhan pasien dan menjelaskan cara minum obat
atau tindakan medis lainnya yang mungkin diperlukan.
b. Kalau dokter merujuk langsung ke dokter spesialis konsultan ataupun
rumah sakit rujukan atas (gol B, A atau Pendidikan), pasien dapat
menanyakan alasannya dan berbagai kemungkinan yang akan
dialami dalam proses rujukan tersebut. Pasien juga dapat meminta
penjelasan tentang keahlian dokter spesialis yang dituju dalam
rujukan.
c. Adakalanya dokter merujuk dengan maksud memperoleh pendapat
banding. Pasien dapat meminta penjelasan tentang hal ini.
d. Pilihan pertama untuk penyakit yang tidak bersifat darurat adalah
dokter/dokter gigi (umum), baik di tempat praktik pribadi maupun
Puskesmas. Pasien diharapkan tidak lupa mempertimbangkan
kemampuan ekonominya dalam memanfaatkan pelayanan medis
yang diberikan oleh dokter/dokter gigi. Berdasarkan pemeriksaan dan
perkembangan kondisi kesehatannya, pasien dapat dirujuk ke
dokter/dokter gigi dengan keahlian khusus, sesuai kebutuhannya.
e. Pemahaman prosedur pengobatan perlu ditanyakan terlebih dulu agar
bisa efisien.
f. Penanganan kasus kegawatdaruratan hendaknya langsung
dimintakan dari Instalasi Gawat Darurat di rumah sakit, atau kalau
tidak ada bisa dibawa ke Puskesmas. Pasien dan atau keluarganya
dapat meminta penjelasan mengenai kondisi kegawatdaruratan yang
dialami, berapa lama dalam kondisi tersebut, tindakan medis yang
dilakukan, dan perawatan sesudahnya. Derajat kegawatdaruratan
biasanya dapat diketahui berdasarkan tempat perawatannya. Bila

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 43


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

pasien memerlukan pengambilalihan pernafasan, ia akan dirawat di


ruang rawat intensif (ICU); bila memerlukan perhatian khusus, dirawat
di ruang khusus yang biasa disebut high care atau intermediate ward
(IW). Apabila keadaan darurat sudah teratasi, pasien bisa dirawat di
ruang biasa. Dengan demikian pasien aman untuk dipindahkan ke
rumah sakit yang lebih sesuai dengan kemampuannya membiayai.
Jadi, penting sekali untuk membicarakan tentang lamanya perawatan
kedaruratan dan pemulihan karena berkaitan dengan pembiayaannya.

g. Pasien dapat mempertimbangkan rujukan lain yang dipilihnya sendiri


kalau ia meragukan atau tidak puas dengan hasil pelayanan medis
yang diterimanya.

5. Pembiayaan Pelayanan Medik


Saat seseorang mengalami gangguan kesehatan, pada dasarnya pribadi itu
sendiri yang berkewajiban menyelesaikan atau mengatasi masalah tersebut.
Keterbatasan kemampuan merupakan alasan pasien untuk meminta bantuan
kepada dokter/dokter gigi untuk turut membantu memperbaiki kondisi
kesehatannya yang sedang terganggu. Dalam proses menjalankan tugasnya,
dokter/dokter gigi, kadang memerlukan alat bantu untuk melakukan upaya
yang baik dan benar, selain pengetahuan, keterampilan dan keikhlasannya
menolong mengobati pasien. Hal inilah yang perlu dipahami dalam
memperhitungkan komponen biaya pengobatan.
Dalam kajian pembiayaan kesehatan ada dua nilai yang perlu dipahami :
Pertama : Nilai Sosial yang berkaitan dengan imbalan jasa. Secara
hakiki suatu bantuan berupa upaya, yang hasil akhirnya tidak
seluruhnya berada di tangan orang yang memberi bantuan,
tidak mudah dinilai dengan besaran materi. Kalaupun
disepakati berupa materi, sejumlah uang, itu semata-mata
sebagai perwujudan dari rasa sukur dan terima kasih.
Kedua : Nilai ekonomi, adalah yang berkaitan dengan pemakaian alat
bantu yang diberikan atau dipakai oleh pihak dokter/dokter
gigi, antara lain: obat, pemeriksaan laboratorium, USG,
Radiologi atau berbagai komponen biaya (unit cost), saat
diperlukan rawat inap di RS. Nilai ekonomi ini tidak pula lepas
dari masalah manajemen keuangan, jumlah bahan habis
pakai, biaya pemeliharaan, biaya penyusutan dan seterusnya.
Obat yang dikonsumsi seorang pasien, dari bahan baku
menjadi bahan aktif serta kemasan siap pakai, prosesnya
dilaksanakan secara kajian dagang. Pengusaha yang
memproduksi obat untuk kelangsungan usahanya bertujuan
mendapat keuntungan agar usahanya dapat terus berlanjut.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 44


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

Dalam memproses penilaian bahan yang berasal dari tubuh


manusia berupa darah, air seni, tinja, atau zat lainnya dari
badan pasien, di samping peralatan moderen yang canggih,
dipergunakan pula bahan reagen, bahan habis pakai, agar
bagian dari tubuh tersebut dapat dinilai kelainan yang terjadi
akibat terganggunya fungsi dasar di dalam tubuh tadi. Alat
atau reagen perlu biaya pengadaan dan pemeliharaan.
Kehadiran alat bantu penilaian kelainan yang terganggu dalam
tubuh, seperti USG, Radiologi, MRI dan sebagainya
memerlukan proses, mulai dari pengadaan, pengoperasian,
menjaga agar tetap steril, penyimpanan di ruangan khusus,
menjaga dan menangani pengaruh dampak negatif alat, biaya
penyusutan, batas waktu kemampuan suku cadang, dan
seterusnya. Semua itu memerlukan biaya yang harus
dipahami masyarakat pengguna pelayanan medis.
Bila seorang pasien perlu rawat inap, diperlukan pemeliharaan
ruangan agar tetap bebas hama. Perlu diperhitungkan pula
biaya pemakaian listrik, air, alas tidur, makanan, dan
sebagainya. Penghitungan komponen biayanya disusun
sesuai dengan standar bersama indeks bahan yang telah diuji
coba di berbagai negara.
Sumber daya manusia yang dipekerjakan untuk seseorang
pasien juga harus diperhitungkan pembiayaannya.

Pada masa kini untuk sebagian besar pembayaran kesehatan, pasien


membiayai secara tunai. Sebenarnya pasien juga dapat membayar dengan
sistem asuransi, baik yang sifatnya sosial maupun komersial. Pembayaran
premi asuransi kesehatan oleh pegawai negeri sipil (PNS) dipotong dari gaji
setiap bulan, baik melalui Askes (asuransi kesehatan) untuk PNS, atau
Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) bagi tenaga kerja (buruh) formal.

Di masa depan, dengan diterapkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun


2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, seluruh warga negara akan
dicakup oleh UU ini. Empat badan yang ditunjuk, yaitu Taspen (Pegawai
Negeri Sipil), Jamsostek (tenaga kerja formal), Askes dan Asabri (ABRI),
masing-masing akan diperkuat oleh undang-undang tersendiri sebagai
pelaksanaannya.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 45


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 46


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 47


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

BAB VI
HASIL PELAYANAN KEDOKTERAN

1. Hasil Optimal Pelayanan Kedokteran


Pencapaian hasil yang optimal atas pelayanan kedokteran kepada
masyarakat merupakan upaya bersama antara dokter dengan pasien secara
optimal untuk mengobati penyakit yang diderita pasien. Hal ini sangat
tergantung pada komunikasi yang efektif. Pasien dan dokter harus mampu
menciptakan komunikasi dengan memberikan penjelasan baik oleh dokter
terhadap pasien maupun sebaliknya sehingga komunikasi yang efektif dan
jujur dapat dijadikan dasar bagi dokter untuk bertindak. Namun perlu disadari
bagi pasien dan keluarganya bahwa apa yang dilakukan dokter itu adalah
upaya maksimal sesuai dengan keilmuan yang dimilikinya yang sudah tentu
tidak luput dari keterbatasan kehendak Ilahi. Berdasarkan pemahaman akan
keterbatasan inilah maka apapun hasil yang telah dicapai sudah tentu
membuat suatu kepuasan tersendiri bagi dokter dan pasien. Doa dan tawakal
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sangatlah menjadi pegangan, baik bagi
para dokter dalam bekerja maupun bagi pasien.
Dokter dan pasien diharapkan menjalin hubungan kemitraan yang dilandasi
oleh saling percaya untuk bersama-sama berupaya memperoleh
penyembuhan pasien. Untuk itu di antara keduanya harus terjalin komunikasi
yang baik dan efektif. Pasien harus mengutarakan segala sesuatu tentang
dirinya yang berkaitan dengan penyakit dan upaya penyembuhannya kepada
dokter agar dokter dapat mempertimbangkan pemeriksaan diagnostik yang
tepat guna dan sesuai dengan kemampuan finansial pasien. Dalam hal
pasien tidak mampu, dokter diharapkan dapat mencarikan jalan keluar
melalui program-program yang diselenggarakan pemerintah ataupun
masyarakat.
Dokter kemudian diharapkan memberikan penjelasan kepada pasien tentang
penyakitnya dan upaya kesehatan yang dapat dilakukan kepada pasien
berikut prospeknya (prognosisnya). Dalam hal diperlukan suatu terapi tertentu
atau tindakan medis tertentu, maka dokter menjelaskan tentang manfaat dan
risikonya serta gambaran ringkas bagaimana tindakan tersebut dilakukan.
Dokter juga menjelaskan alternatif terapi atau tindakan medis lain apabila
ada, berikut manfaat dan risikonya. Dalam hal penyakit atau keadaan
kesehatan pasien tersebut dapat mengakibatkan komplikasi (penyulit), yang
dapat berhubungan dengan tindakan medis – namun dapat pula tidak
berhubungan, dokter diharapkan juga dapat menjelaskannya dengan baik.
Keseluruhan komunikasi antara pasien dengan dokter di atas diharapkan
akan dapat memberi gambaran tentang harapan tentang hasil yang akan
diperoleh, sekaligus tentang keterbatasan pencapaiannya, baik akibat
penyakitnya sendiri maupun akibat keterbatasan ilmu dan teknologi
kedokteran. Pasien dan dokter kemudian dapat bekerjasama dalam

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 48


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

mencapai upaya penyembuhan yang efektif dan efisien, yang memberikan


kenyamanan dan hasil yang optimal.
Sebagai kesimpulan, untuk dapat mencapai hasil yang optimal langkah-
langkah yang utama adalah:
- Ada upaya bersama dokter dengan pasien yang dilakukan secara
maksimal
- Upaya bersama ini dilakukan dengan komunikasi yang jujur untuk
mencapai efektifitas dan
- Kesemuanya perlu pemahanan dan kesadaran akan keterbatasan serta
yang paling utama doa dan tawakal kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

2. Hasil yang Tidak Diharapkan


Dalam menerima layanan kedokteran/kedokteran gigi, pasien dapat saja
mengalami ketidakpuasan ataupun hasil yang tidak sebagaimana diharapkan
(adverse events). Ilmu kedokteran adalah ilmu empiris, sehingga probabilitas
dan ketidakpastian merupakan salah satu ciri khasnya. Iptekdok (Ilmu
Pengetahuan Teknologi Kedokteran) masih menyisakan kemungkinan
adanya bias dan ketidaktahuan, meskipun perkembangannya telah sangat
cepat sehingga sukar diikuti oleh standar prosedur yang baku dan kaku.
Kedokteran tidak mungkin menjanjikan hasil layanannya, melainkan hanya
menjanjikan upayanya (inspanningsverbintennis).
Selain itu, layanan kedokteran di rumah sakit dikenal sebagai suatu sistem
yang kompleks dengan sifat hubungan antar komponen yang ketat (complex
and tightly coupled)3, khususnya di ruang gawat darurat, ruang bedah dan
ruang rawat intensif. Sistem yang kompleks umumnya ditandai dengan
spesialisasi, teknologi dan interdependensi. Dalam suatu sistem yang
kompleks, satu komponen dapat berinteraksi dengan banyak komponen lain,
kadang dengan cara yang tak terduga atau tak terlihat. Semakin kompleks
dan ketat suatu sistem akan semakin mudah terjadi kecelakaan (prone to
accident), oleh karena itu praktik kedokteran haruslah dilakukan dengan
tingkat kehati-hatian yang tinggi.
Setiap tindakan medis mengandung risiko, sehingga harus dilakukan
tindakan pencegahan ataupun tindakan mereduksi risiko. Namun demikian
sebagian besar di antaranya tetap dapat dilakukan oleh karena risiko tersebut
dapat diterima (acceptable) sesuai dengan “state-of-the-art” ilmu dan
teknologi kedokteran.
Suatu hasil yang tidak diharapkan di bidang kedokteran sebenarnya dapat
disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu:
1) Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri atau komplikasi penyakit,
tidak berhubungan dengan tindakan medis yang dilakukan dokter.

3
Kohn LT, Corrigan JM and Donaldson MS. To err is human, building a safer health system. Washington
DC: National Academy Press, 2000, p58-60

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 49


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

2) Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu


a. Risiko yang tak dapat diketahui sebelumnya (unforeseeable). Risiko
seperti ini dimungkinkan di dalam ilmu kedokteran oleh karena sifat
ilmu yang empiris dan sifat tubuh manusia yang sangat bervariasi
serta rentan terhadap pengaruh oleh faktor eksternal. . Sebagai
contoh adalah shok anafilaktik.
b. Risiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya (foreseeable) tetapi
dianggap dapat diterima (acceptable), dan telah diinformasikan
kepada pasien dan telah disetujui oleh pasien untuk dilakukan, yaitu
 Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya cukup kecil,
dapat diantisipasi, diperhitungkan atau dapat dikendalikan,
misalnya efek samping obat, perdarahan dan infeksi pada
pembedahan, dan lain-lain.
 Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya besar pada
keadaan tertentu, yaitu apabila tindakan medis yang berrisiko
tersebut harus dilakukan karena merupakan satu-satunya cara
yang harus ditempuh (the only way), terutama dalam keadaan
gawat darurat.

3) Hasil dari suatu kelalaian medis


Yang dimaksud dengan kelalaian medis adalah melakukan yang
seharusnya tidak dilakukan, atau tidak melakukan yang seharusnya
dilakukan, oleh dokter atau dokter gigi dengan kualifikasi yang sama,
pada situasi dan kondisi yang sama. Hal ini terjadi apabila dokter
melanggar kewajiban yang seharusnya dibebankan kepadanya
berdasarkan standar-standar sebagaimana diuraikan sebelumnya dan
mengakibatkan cedera, meninggal atau kerugian pada pasien dengan
hubungan sebab-akibat yang nyata.

4) Hasil dari suatu kesengajaan


Untuk mengetahui penyebab suatu hasil yang tidak diharapkan perlu
dilakukan penelitian mendalam (audit medis), bahkan bila diperlukan
dapat dilakukan pula pemeriksaan mendalam terhadap pasien – termasuk
melakukan autopsi klinik bila pasien telah meninggal dunia. Terhadap
peristiwa yang tidak diharapkan sebagaimana di atas, pasien atau
keluarganya dapat meminta penjelasan secara lengkap dan jujur dari
dokter atau dokter gigi pemberi layanan kedokteran/kedokteran gigi, atau
kepada pimpinan sarana pelayanan kesehatannya. Pasien atau
keluarganya juga dapat meminta pendapat kedua (second opinion) dari
dokter lain, baik di sarana kesehatan yang sama maupun di tempat lain.
Diharapkan dengan cara itu pasien dan keluarganya dapat memahami
apa, bagaimana dan mengapa peristiwa atau hasil yang tidak diharapkan
tersebut dapat terjadi, serta bagaimana tindakan selanjutnya yang
sebaiknya dilakukan. Di dalam pengaduannya atau laporannya, pasien

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 50


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

harus melengkapinya dengan catatan kronologi peristiwa dan alasan


timbulnya dugaan pelanggaran-pelanggaran yang diadukannya.

3. Mekanisme Pengaduan dan Penyelesaian


Setiap pasien atau keluarganya diharapkan dapat secara asertif meminta
agar haknya dapat dipenuhi pada saat ia memperoleh pelayanan medis.
Dalam upaya memperoleh haknya tersebut, pasien harus memperhatikan
bahwa upaya pemenuhan haknya tersebut tidak mengorbankan hak orang
lain ataupun mengabaikan kewajiban orang lain.
Pada tahap awal, pasien yang tidak memperoleh hak-haknya dapat meminta
pemenuhan hak-haknya tersebut dari sarana pelayanan kesehatan atau
tenaga kesehatan yang bersangkutan dengan mengadukannya kepada
pimpinan sarana pelayanan kesehatan atau rumah sakit tersebut. Pengaduan
sebaiknya dibuat tertulis dengan menyebutkan secara jelas peristiwa dan
keluhannya. Pastikan bahwa pengaduan diterima oleh petugas rumah sakit
yang berwenang dan menerima bukti pengaduan serta tanyakan kapan akan
memperoleh jawabannya.
Dalam hal pasien merasa bahwa pelayanan medis telah berakibat buruk atau
telah memperburuk keadaan pasien, maka ia dapat juga langsung
mengadukannya kepada MKDKI atau MKDKI Propinsi (bukan dalam bentuk
mediasi?). Pengaduan dibuat secara tertulis dengan memuat setidaknya
identitas pengadu, nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi
yang dimaksud, waktu tindakan dilakukan, acara pengaduan atau rincian
peristiwanya, serta alat bukti bila ada.
Pengaduan dialamatkan : Kepada Ketua MKDKI,
Jalan Hang Jebat III Blok F3
Kebayoran Baru
Jakarta Selatan 12120
Tlp (021) 7206623, 7254788, 7206665 Fax (021) 7244379
atau alamat MKDKI Provinsi setempat.
Pengaduan juga dapat dilakukan secara lisan dan disampaikan langsung
kepada MKDKI atau MKDKI Provinsi. Selain itu, apabila hal tersebut telah
mengakibatkan kerugian bagi pasien, maka pasien dapat mengajukan
pengaduannya kepada pengadilan perdata, sedangkan apabila diduga telah
melanggar ketentuan pidana, maka pasien juga memiliki hak untuk
melaporkannya ke penyidik (polisi).

Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian kedua bab ini bahwa bilamana
ditemukan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi yang terkait dengan aspek etika, disiplin dan hukum, maka
mekanisme pengaduannya adalah :

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 51


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

Dugaan Pelanggaran Dokter atau Dokter Gigi dari Segi Etik


Kewenangan untuk menangani pelanggaran etik ada pada organisasi profesi.
Untuk pelanggaran yang dilakukan oleh dokter, organisasi profesinya adalah
IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Pengaduan ditujukan kepada Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK IDI). Untuk dokter gigi pengaduannya
kepada PDGI yaitu Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Gigi (MKEKG PDGI).
Bilamana dugaan pelanggaran etik itu dilakukan di provinsi, maka pengaduan
kepada MKEK IDI wilayah provinsi setempat untuk dokter dan MKEKG PDGI
wilayah provinsi setempat untuk dokter gigi.

MKEK-IDI (pusat dan provinsi) dan MKEKG-PDGI (pusat dan provinsi) dapat
pula menerima pengaduan dugaan pelanggaran etik yang merupakan
pelimpahan dari hasil keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI) sesuai yang diatur dalam pasal 68 Undang Undang
nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang berbunyi : ”Apabila
dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia meneruskan pengaduan pada organisasi
profesi.”

Dugaan Pelanggaran Dokter atau Dokter Gigi dari Segi Disiplin


Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran telah
menetapkan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 14 bahwa Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang berwenang
untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter
gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi dan
menetapkan sanksi. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(MKDKI) sebagaimana diatur pada Pasal 55 Undang Undang nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran berfungsi untuk menegakkan disiplin
dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran.

Adapun tugas pokok MKDKI adalah:


- Menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran
disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan; dan
- Menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran
disiplin dokter atau dokter gigi

Sebagai tindak lanjut untuk dapat melaksanakan tugas pokok MKDKI


tersebut, maka diatur tentang tata cara penanganan kasus pelanggaran
disiplin kedokteran oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(MKDKI) dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Provinsi (MKDK
Provinsi) oleh Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 70 UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 52


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

Mekanisme pengaduan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 29 Tahun 2004


tentang Praktik Kedokteran pada pasal 66 bahwa setiap orang yang
mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter
gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis
kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Dalam
penjelasan pasal tersebut bahwa setiap orang yang mengetahui atau
kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi yang
menjalankan praktik kedokteran, tetapi tidak mampu mengadukan secara
tertulis, dapat mengadukan secara lisan kepada MKDKI.

Berdasarkan pasal tersebut dan penjelasannya, maka langkah-langkahnya:

- Ada dugaan pelanggaran


- Pengaduan secara tertulis ditujukan kepada Ketua MKDKI
- Bila tidak mampu menulis dapat secara lisan dengan datang sendiri ke
Kantor MKDKI atau MKDKI Provinsi untuk tingkat provinsi bila ada
- Pengaduan secara lisan atau ditulis oleh petugas yang ditunjuk ketua
MKDKI untuk menuliskan aduannya
- Petugas penerima pengaduan akan menerima pengaduan dan
memberikan bukti tanda terima pengaduan.

Tugas selanjutnya setelah pengaduan diterima, dilakukan verifikasi atas


pengaduan yang berkaitan dengan keabsahan dari pengaduan tersebut.
Setelah verifikasi, dibentuklah Majelis Pemeriksa oleh Ketua MKDKI. Majelis
Pemeriksa akan memeriksa pengaduan tersebut sampai dengan
dikeluarkannya Keputusan MKDKI. Selanjutnya keputusan MKDKI
dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 53


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

ALUR TATA CARA PENANGANAN


PELANGGARAN DISIPLIN DOKTER DAN DOKTER GIGI
OLEH
MKDKI DAN MKDKI PROVINSI

Penetapan Majelis Pemeriksa Awal


Setiap orang atau Pengaduan tertulis
Pemeriksa Awal Investigasi
kepentingan yang
dirugikan

Menolak karena Pelanggaran Pelanggaran Disiplin


hal-hal Etik

PELAKSANAAN KEPUTUSAN

Sekretariat MKDKI/ Penetapan Majelis Pemeriksa


Kepada MKDKI Prov Disiplin oleh Ketua MKDKI
Pengadu

Organisasi
Profesi

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 54


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

ALUR TATA CARA PENANGANAN PELANGGARAN DISIPLIN


KEDOKTERAN OLEH MKDKI DAN MKDKI PROVINSI
(MAJELIS PEMERIKSA)

Pemeriksaan Awal Penetapan Majelis Pemeriksaan Proses KEPUTUSAN


Pelanggaran Disiplin Pemeriksa o/ Ketua Pembuktian
MKDKI

Bebas / tidak Peringatan Tertulis Rekomendasi pencabutan Mengikuti Pendidikan/


bersalah SIP/STR Pelatihan

PELAKSANAAN KEPUTUSAN

Sekretariat Sekretariat Sekretariat Sekretariat


MKDKI/MKDKI MKDKI/MKDKI MKDKI/MKDKI MKDKI/MKDKI
Provinsi Provinsi Provinsi Provinsi

Dokter/dokter gigi Dokter/ dokter gigi KKI Dinkes KKI


Kab/
STR Kota

dr/ drg dr / drg dr/drg Institusi Kolegium


Pendidikan

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 55


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

Dugaan Pelanggaran Dokter atau Dokter Gigi Untuk Aspek Hukum


Untuk hukum kesehatan, khususnya hukum kedokteran ada tiga bidang
hukum yang sangat terkait yaitu Hukum Perdata, Hukum Pidana dan Hukum
Administrasi (Baca: Vander Mij dan Leenen). Mekanisme pengaduan untuk
hukum telah tercantum dalam setiap bidang hukum masing-masing baik
hukum perdata, hukum pidana dan hukum administrasi. Hukum perdata
sebagaimana yang diatur dalam undang-undang bila diduga ada pelanggaran
yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi mengakibatkan timbulnya
kerugian, maka yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan pada
pengadilan negeri dan pengadilan negerilah yang akan memeriksa gugatan
tersebut.
Untuk hukum pidana, bilamana mengetahui atau melihat atau langsung
dirugikan oleh tindak dokter atau dokter gigi, maka segera melaporkan
kepada kepolisian di mana kejadian itu terjadi dan kepolisian akan melakukan
penyelidikan dan penyidik dengan melimpahkan kepada kejaksaan yang
selanjutnya dilakukan tuntutan ke sidang pengadilan sampai pada putusan
pengadilan.
Untuk hukum administrasi, bilamana adanya keberatan atas keputusan
administrasi yang dikeluarkan maka dapat diajukan gugatan kepada
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), gugatan administrasi tersebut
diproses dan diputuskan.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 56


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

PELANGGARAN BIDANG HUKUM KESEHATAN PADA PROFESI


KEDOKTERAN

PELANGGARAN PROFESI KEDOKTER UU No.23 THN 1992 DAN UU No 29 THN 2004

ETIK Disiplin Hukum

Organisasi Profesi Disiplin Kedokteran Perdata Pidana Administrasi

Pengaduan Pengaduan Gugat Lap.Poli Laporan


si/ Jaksa

MKEK/MKEKG MKDKI
Tuntutan Gugatan

Tindakan Disiplin MKDKI Provinsi


Pengadilan

Keputusan Tindakan Disiplin


Keputusan

Teguran Keputusan
Pencabutan Izin Praktik
Ganti rugi Mati/kurung/ Teguran/
penjara/ denda Pencabutan
Sementar Tetap
Selamanya
a Pernyataan Rekomendasi Kewajiban mengikuti
Tertulis Pencabutan Pelatihan /Latihan
Tanda Registrasi
& Surat Izin

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 57


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

Hasil tak diharapkan

Meminta penjelasan dari dokter

Meminta penjelasan dari rumah sakit

Tak memuaskan Memuaskan

Isu etik Isu Disiplin Isu Hukum Isu Hukum Isu Hukum
Pidana Perdata Administrasi

MKEK/MKEKG MKDKI/MKDKI Prov POLRI ADR P.N.

Pada umumnya, masalah tidak terpenuhinya hak pasien diharapkan dapat


diselesaikan pada saat masih berlangsungnya layanan atau perawatan medis
di sarana pelayanan kesehatan atau rumah sakit tersebut, baik melalui
keluhan lisan secara langsung ataupun melalui pengaduan tertulis. MKDKI,
sebagai institusi yang menerima, memeriksa dan memberi sanksi atas
pelanggaran disiplin profesi kedokteran, adalah lembaga yang menegakkan
disiplin profesi kedokteran. MKDKI tidak menyelesaikan sengketa antara
dokter dengan pasien, namun dapat memberi informasi tentang bagaimana
sengketa dapat diselesaikan.
Lembaga ADR (Alternative Dispute Resolution)
Lembaga ADR mencoba menawarkan penyelesaian kepada pihak-pihak
yang bertikai, antara pasien dengan dokter atau dokter gigi. Penyelesaian ini
adalah cara penyelesaian dengan pendekatan kepentingan (interest based)
yang bersifat win-win solution, melalui konsiliasi, mediasi, fasilitasi dan
negosiasi, tanpa mengedepankan benar-salah (ringt based), dilakukan di luar
pengadilan, dengan atau tanpa kompensasi. Melalui lembaga ADR ini dapat
dilakukan upaya mencari jalan keluar atas keputusannya, baik pihak dokter
maupun pihak pasien.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 58


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

Selain itu tentu saja sengketa pasien-dokter dapat pula diselesaikan di dalam
pengadilan, baik melalui proses pengadilan pidana maupun melalui
pengadilan perdata. Dalam pengadilan perdata, pada umumnya para hakim
akan menganjurkan “damai” terlebih dahulu sebelum persidangan dimulai.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 59


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

BAB VII
PENUTUP

Penyusunan buku Hubungan Dokter – Pasien ini diharapkan dapat menjadi


acuan bagi masyarakat, terutama pengguna pelayanan medis yang diberikan
oleh dokter dan dokter gigi. Ada perubahan perilaku yang diharapkan dapat
terjadi dalam menerima pelayanan medis dari dokter dan dokter gigi.
Perubahan perilaku yang diharapkan sangat diperlukan untuk dapat
tercapainya hasil pengobatan yang optimal. Pasien memahami kewajibannya,
selain hak yang dimilikinya sesuai dengan perlindungan yang dijamin oleh
undang-undang. Selain itu pasien juga memahami hak dokter selain berharap
dokter memenuhi kewajibannya sebagaimana yang tercantum dalam undang-
undang.

Pasien dan dokter adalah mitra dalam upaya mencari kesembuhan dari
penyakit yang dideritanya. Profesi dokter dilakukan berdasarkan sumpah
kedokteran dan etika profesi serta ketentuan yang berlaku dalam undang-
undang. Sebagai manusia, dokter mempunyai berbagai karakter. Dalam
melaksanakan tugasnya, dokter tidak terlepas dari karakter pribadi masing-
masing. Meskipun demikian dokter tetap berkewajiban mematuhi ketentuan
sebagaimana ditetapkan dalam sumpah kedokteran, etika profesi, maupun
undang-undang. Tampilan dokter dalam memberikan pelayanan medis cukup
beragam. Ada dokter yang enggan berbicara dengan pasien, walaupun
pasien mengemukakan keluhannya dan bertanya. Dokter hanya memeriksa
lalu menuliskan resep dan kalau dirasakannya perlu, ia akan memesankan
satu dua hal yang dianggapnya penting untuk diketahui atau dilaksanakan
pasien. Ada dokter yang hanya mau berbicara kalau pasien bertanya, itupun
hanya sebatas menjawab pertanyaan pasien saja. Ada pula dokter yang mau
menjawab pertanyaan, bahkan menjelaskan tanpa diminta pasien, terutama
kalau ia menganggap pasien perlu mengetahui informasi tentang hal-hal yang
berhubungan dengan keadaannya.

Bagaimana pasien harus bersikap? Kalau memang ingin berdialog dengan


dokter agar dapat memahami penyakit yang dideritanya, pasien dianjurkan
memilih dokter yang mau diajak bicara dan mau menjelaskan atau menjawab
pertanyaan. Pasien yang menganggap tidak terlalu perlu bicara dengan
dokter namun ia yakin pada pengobatan yang diberikan dokter dan ia telah
membuktikan keyakinannya, bisa saja tetap bertahan untuk berobat pada
dokter tersebut. Biasanya pasien ini akan memanfaatkan sumber informasi
lain untuk memperoleh penjelasan tentang hal-hal yang ingin diketahuinya,
seperti konsultasi di media massa (koran, majalah, tabloid, radio, televisi);
internet; atau kerabat/teman yang menjadi dokter. Kalau pasien baru merasa
puas dan yakin pada dokter yang mau berbicara dengannya, pilihan untuknya
adalah dokter yang bersedia menjawab pertanyaannya dan mau menjelaskan
sesuai keinginannya. Jadi, pilihan ada pada pasien.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 60


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

Undang-undang menjamin hak pasien untuk mendapatkan informasi dari


dokter. Dalam hal ini pasien perlu mencari tahu tentang dokter yang
memeriksa/mengobati atau merawatnya. Ada dua undang-undang yang
menjamin hak pasien dalam hal ini, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 Tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran. Selain itu masih dilengkapi lagi dengan
peraturan-peraturan yang ditentukan Departemen Kesehatan.

Perlindungan pasien perlu dipahami dengan baik oleh kedua pihak, yaitu
pasien dan dokter. Di sisi lain, pasien juga perlu memahami bahwa dokter
juga dilindungi oleh undang-undang. Tujuannya sama, yaitu peningkatan
kualitas pelayanan. Dokter dan pasien adalah mitra yang perlu bekerja sama
dalam upaya memperoleh hasil pelayanan medis yang optimal. Pasien perlu
mengemukakan dirinya secara jujur, terbuka untuk hal-hal yang berkaitan
(atau mungkin ada hubungannya namun tidak disadarinya) dengan
penyakitnya. Dokter menjelaskan berbagai kemungkinan dan membicarakan
dengan pasien tentang pilihan yang ada agar dapat diperoleh kesepakatan
mengenai tindakan medis yang akan dilakukan. Pendekatan dengan cara
konseling akan sangat menguntungkan karena dalam konseling pasien dan
dokter dapat berbicara dalam nuansa komunikasi setara, bukan superior
(posisi dokter) inferior (posisi pasien).

Apa saja yang perlu diketahui pasien? Cara pemeriksaan, pengobatan,


perawatan yang dilakukan dokter perlu dipahami pasien secara menyeluruh,
yaitu mengenai hal-hal yang akan dialaminya dan pembiayaan yang harus
ditanggungnya. Kemitraan dalam hubungan dokter-pasien akan
menghasilkan kerja sama yang sangat baik dalam upaya memperoleh hasil
pelayanan medis secara optimal. Kemitraan ini diharapkan dapat
menghasilkan sikap pasien yang menguntungkan bagi upaya memperoleh
kesembuhan, antara lain:

a. menggunakan obat sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh dokter (berapa


kali, berapa lama, cara makan/minum)
b. menjaga kegiatan sesuai anjuran dokter
c. melakukan olah raga sesuai yang disarankan dokter
d. menjaga menu makanan atau melakukan diet sesuai nasihat dokter atau
ahli yang ditunjuk
e. berpantang atau mengurangi makanan tertentu seperti yang dipesankan
dokter
f. memeriksakan diri secara berkala, sesuai jadwal yang telah diberikan
g. melakukan pemeriksaan laboratorium dan atau pemeriksaan lainnya
(rontgen, dan sebagainya) sesuai anjuran dokter

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 61


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

h. menyiapkan persyaratan yang diperlukan untuk dapat memperoleh


keringanan pembiayaan (fasilitas Askes atau asuransi lainnya, surat
keterangan tidak mampu atau surat miskin)
i. menanyakan kepada dokter, apakah masih perlu kembali ke dokter
setelah obat habis, atau mengenai rujukan kalau ternyata belum ada
perkembangan dan ke mana akan dirujuk, juga seandainya diperlukan
perawatan di rumah sakit.

Hubungan dokter – pasien yang bersifat kemitraan akan mengantar kedua


pihak pada pemahaman dan keyakinan bahwa yang dilakukan hanyalah
sebatas upaya, Tuhan yang menentukan apakah seseorang akan sembuh
atau tidak.

Kemitraan dalam hubungan dokter – pasien akan menghasilkan sikap saling


menghormati dan menghargai hak masing-masing serta menyerahkan segala
sesuatunya sebagai keputusan pribadi. Adakalanya sulit untuk memenuhinya
karena adanya keterbatasan dalam hubungan dokter – pasien berkaitan
dengan penyakit yang diderita. Pasien yang ingin penyakitnya dirahasiakan
akan sulit dipenuhi kehendaknya kalau penyakit yang dideritanya tergolong
pada penyakit menular. Dalam hal ini dokter terkena peraturan yang
mewajibkannya untuk melaporkan kepada Dinas Kesehatan setempat (flu
burung, demam berdarah, HIV/AIDS, polio, campak, malaria). Kasus-kasus
kehamilan remaja (di luar nikah), NAPZA (narkotika, psikotropika dan zat
adiktif), gangguan kesehatan jiwa termasuk masalah yang menghadapkan
dokter pada kesulitan. Di satu sisi ingin menghormati kerahasiaan pasien
sebagai haknya namun di sisi lain ia perlu memberitahukannya sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, berkenaan dengan kepentingan masyarakat.
Adakalanya dilema seperti ini dihadapi ketika dokter memeriksa pasien yang
dikirim oleh perusahaan dan ternyata pasien tersebut menderita penyakit
yang dapat membuatnya terkena pemutusan hubungan kerja. Pasien ingin
agar dirahasiakan namun dokter terikat pada ketentuan sesuai dengan etika
profesinya dan undang-undang. Komunikasinya dalam mencari penyelesaian
akan lebih mudah kalau hubungannya bersifat kemitraan.

Kemitraan diwarnai oleh sikap pasien dan dokter yang saling mengerti dan
menghargai, antara lain terlihat dalam perilaku pasien sebagai berikut:
a. Mengemukakan diri sesuai keperluannya, tidak bertele-tele karena
menyadari bahwa dokter juga diperlukan oleh pasien lainnya, ada tugas
dan keperluan lain dalam kehidupannya yang harus dipahami dan
dihormati.
b. Tidak segan berterus terang karena tahu bahwa informasi tersebut
diperlukan dokter untuk mendiagnosis dan mengobati penyakitnya.
c. Memberi kesempatan kepada dokter untuk berpikir, memeriksa, menulis
resep dan tidak mencecarnya terus menerus dengan pertanyaan,
keluhan, atau meminta penjelasan.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 62


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

d. Berusaha memahami anjuran dokter agar tidak salah melaksanakannya,


bilamana perlu menanyakan kembali atau meminta penjelasan lebih lanjut
atau mencatat sendiri.
e. Membicarakan kemungkinan memperoleh pendapat lain (second opinion)
agar lebih yakin terhadap kondisi penyakitnya sebagaimana yang telah
disampaikan dokter berdasarkan pemeriksaannya.
f. Menyimpan rekam medis dari semua pemeriksaan yang telah
dilakukannya.
g. Membicarakan kelanjutan hubungan dengan dokter tersebut, apakah
akan terus berobat kepadanya atau berganti ke dokter lain.

Buku ini disusun untuk kepentingan masyarakat sebagai informasi yang perlu
diketahui dalam menerima pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan
dokter gigi. Selain buku ini, Konsil Kedokteran Indonesia juga menerbitkan
buku untuk dokter dan dokter gigi yang memuat hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam memberikan pelayanan medis. Dari penerbitan kedua
buku tersebut diharapkan dapat terwujud hubungan dokter-pasien yang
bersifat kemitraan. Dengan demikian diharapkan kualitas pelayanan medis di
Indonesia dapat ditingkatkan. Ketentuan mengenai keharusan memiliki Surat
Tanda Registrasi (STR) untuk mendapatkan Surat Izin Praktik (SIP) perlu
diketahui oleh dokter dan pasien. Dokter dan dokter gigi memahami bahwa ia
harus memiliki STR dan SIP untuk bisa berpraktik. Masyarakat tahu bahwa ia
harus memilih dokter yang memiliki STR dan SIP kalau ingin mendapatkan
pelayanan yang berkualitas dan memperoleh perlindungan hukum.

Dalam menyusun buku ini dilibatkan pihak-pihak yang dianggap mewakili


kepentingan masyarakat, antara lain lembaga/institusi/organisasi masyarakat
yang bersama-sama dengan profesi kedokteran/kedokteran gigi
membahasnya dari berbagai sudut pandang, dengan memperhatikan kondisi
dan situasi di Indonesia secara menyeluruh. Keragaman unsur yang
berkaitan dengan pelayanan medis telah dibahas dalam kegiatan
penyusunan buku ini. Proses yang ditempuh cukup panjang, antara lain:

- Pembentukan Kelompok Kerja (November 2005)


- Pembahasan Kelompok Kerja (Desember – Agustus 2006)
- Pembahasan bersama dengan Kelompok Kerja yang menyusun buku
untuk dokter dan dokter gigi (Desember – Agustus 2006)
- Pembahasan bersama anggota Konsil Kedokteran Indonesia (April -
Agustus 2006)
- Disiminasi konsep yang telah disusun dalam pertemuan dengan wakil
dari 20 propinsi yang berlangsung di 4 kota: Surabaya, Makassar,
Padang, Palembang (April – Mei 2006)
- Lokakarya Finalisasi Buku (Mei 2006)
- Sosialisasi Buku (Juni 2006)
- Uji coba (Agustus 2006)
- Finalisasi (September 2006)

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 63


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

Berdasarkan maksud dan tujuannya maka penulisan buku ini melibatkan


berbagai disiplin ilmu, yakni:

- Psikologi
- Komunikasi
- Hukum
- Kedokteran
- Kedokteran Gigi
- Bahasa

Penyusunan buku ini mengacu pada undang-undang dan mengambil


referensi dari dalam dan luar negeri. Keinginan untuk membuat buku ini dapat
menjawab kebutuhan pengembangan perilaku yang menguntungkan agar
dapat mencapai kualitas pelayanan medis, mendorong untuk memasukkan
berbagai unsur terkait dalam kehidupan masyarakat dan perkembangan
zaman. Pemanfaatan buku ini dalam perkembangan selanjutnya akan
menjadi masukan yang sangat berharga bagi upaya peningkatan kualitas
pelayanan medis yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi. Sesuai amanah
dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran,
buku ini memang membatasi diri pada ruang lingkup dokter dan dokter gigi.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 64


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

DAFTAR PUSTAKA

BAHAN BACAAN

Badudu, JS, 2003, Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa


Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia:
Standar Pelayanan Medis Volume 1, 2, 3; Jakarta, 1998.
General Medical Council: Good Medical Practice; http://www.gmc-
uk.org/guidance/good_medical_practice/index.asp.
Kode Etik Kedokteran Gigi
Mukernas Etik Kedokteran III: Kode Etik Kedokteran; 2001
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional: Glosarium Kedokteran;
Jakarta, 2005.
Soedarmono Soedjitno, Ali Alkatiri, Emil Ibrahim: Reformasi Perumahsakitan
di Indonesia; Ditjen Pelayanan Medis, Departemen Kesehatan-WHO;
Jakarta, 2000.

Tim Redaksi KBBI. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495).
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
116, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431).
Presiden Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966
tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang Rekam Medik/Medical Record.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik
Kedokteran.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 65


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

Konsil Kedokteran Indonesia, Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor


1 Tahun 2005 tentang Registrasi Dokter dan Dokter Gigi.
Konsil Kedokteran Indonesia, Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor
17/KKI/KEP/VIII/2006 Tentang Pedoman Penegakan Disiplin Profesi
Kedokteran.

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 66


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

KONTRIBUTOR
PENYUSUNAN DRAF
BUKU KEMITRAAN DALAM HUBUNGAN DOKTER-PASIEN
PERTEMUAN REGIONAL (JAWA TIMUR, JAWA TENGAH,
DI YOGYAKARTA, BALI, NUSA TENGGARA BARAT,
KALIMATAN SELATAN)
DISELENGGARAKAN DI SURABAYA, 23-25 APRIL 2006

01. Ademan (Fakultas Kedokteran Universitas Lamongan Surabaya)


02. dr. Agus Widjaya, MHA (Dinas Kesehatan Propinsi NTB)
03. H. Badaruddin Nur (PKBI NTB)
04. dr. Bambang Muryono (IDI Cabang Sleman)
05. dr. Bantuk Hadijanto (Dinkes Propinsi Jateng)
06. dr. Chairul Hamzah, Sp.THT (IDI Surakarta)
07. drg. Dianita Rahani (Dinas Kesehatan Kota Mataram NTB).
08. Dyah Wiryastini (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur)
09. dr. Eman Syafii (FK UNS Solo)
10. drg. Endang, M.Kes (FKG Universitas Airlangga Surabaya)
11. Endang Sulastri, SKM (Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo)
12. dr. Faizah (Dinkes Kabupaten Magelang)
13. Ferry Kriswandana (Koalisi Jawa Timur Sehat 2010)
14. F. Mamun (PDGI Semarang)
15. dr. Fathoni Sadani (PPDUM Malang)
16. dr. Gampang Suko. M, Sp.B (IDI Kota Yogyakarta)
17. dr. Gandung Bisenmanto (IDI Kabupaten Bantul)
18. Dr. Gapung Suko Wiratno, Sp.B (IDI Kota Yogyakarta)
19. dr. Gatot Suharto (IDI Cabang Serang)
20. Dr. Herta B. Riyanto (Dinas Kesehatan Kota Bima NTB)
21. Hertanto (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur)
22. dr. Iga Eliwati (PKBI Daerah Bali)
23. Irwin Widjaja (Dinas Kesehatan Kota Mojokerto)
24. Ketut Suastika (Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bali)
25. dr. Khalid, M.Kes (Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas)
26. Kompiang Kariasih (Dinas Kesehatan Kabupaten Badung/Bali)
27. drg. Kustanto, M.Kes (Dinas Kesehatan Kota Surakarta)
28. drg. L. Duasna. S. (Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Barat)
29. dr. Lusyan Kanings (Dinkes Kabupaten Karangasem Bali)
30. Made Nursari, SKM, MARS (Dinkes Propinsi Bali)
31. dr. Mambodyanto (FK Universitas Soedirman Purwokerto)
32. drg. Masykur Rahmat, Sp.BM (FKG UGM)
33. dr. Hj. Muniarti, M.Kes (Dinas Kesehatan Kabupaten Kotabaru Kalsel)
34. dr. M. Fauzi (Dinas Kesehatan Kabupaten Malang)
35. Paidi Pawiro Rejo (Lembaga Perlindungan Konsumen Surabaya)
36. drg. Pembayun (Dinas Kesehatan Propinsi Yogyakarta)
37. drg. Pertiwi Waskitaningsih (PDGI Kabupaten Bantul)
38. drg. Pramonohadi (PDGI Cabang Surakarta)

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 67


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

39. dr. Pranowo (IDI Jawa Timur)


40. drg. Renno. BM (Dinkes Propinsi Jateng)
41. Rias Ari Mukti (Dinas Kesehatan Kota Surabaya)
42. dr. Sartono (FK Universitas Hang Tuah Surabaya)
43. dr. H.L. Sekarningsar (Dinkes Kab. Lombok Tengah)
44. dr. Siti Noor Zaenab, M.Kes (Dinkes Kab Bantul Yogyakarta)
45. Dr. Soesbandono, Sp.OG (IDI Wilayah NTB)
46. Sri Wiryawan (IDI Cabang Denpasar)
47. Prof. Dr. Suhardjo, Sp.M (FK UGM)
48. Sunartono (Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman)
49. Prof. Dr. Dr. Susanto (FK Universitas Airlangga Surabaya)
50. dr. Tatang Hariyanto (FK Universitas Brawijaya Malang)
51. dr. Taufiqur. N. (FK Unissula Semarang)
52. drg Tuty Setyowati, MM (Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta)
53. Wisma Brata (Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan Bali)
54. drg Yuli Normawati (Dinkes Kota Semarang)

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 68


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

KONTRIBUTOR
PENYUSUNAN DRAF BUKU
KEMITRAAN DALAM HUBUNGAN DOKTER-PASIEN
PERTEMUAN REGIONAL (SULAWESI TENGAH, KALIMANTAN TIMUR,
SULAWESI SELATAN, SULAWESI UTARA)
DISELENGGARAKAN DI MAKASSAR, 27-29 APRIL 2006 DAN 14-16 MEI 2006

01. dr. Abdullah, DHSM, M.Kes (Dinkes Kota Palu Propinsi Sulawesi Tengah)
02. Abdul Malik Razak (Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan)
03. Abdurachman (Dinkes Kabupaten Kutai Kartanegara Propinsi Kaltim)
04. dr. Achlia. S. Dachlan, M.Kes (Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Timur)
05. Aflina Mustafainah (Yayasan Lembaga Konsumen Propinsi Sulawesi Selatan)
06. Agus Salim, SKM (Yayasan Mitra Husada Makassar Propinsi Sulsel)
07. Anang Nur Irmansyah, S.Sos (Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan)
08. Andar (FKM Universitas Hasanuddin Propinsi Sulawesi Selatan)
09. Andi Tuleng (FKM UVRI)
10. Anita. B. Nurdin (PDGI Wilayah Propinsi Sulawesi Tengah)
11. Anna Mongan (Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Utara)
12. Anny Tambero (LSM Rosontapura Palu Propinsi Sulawesi Tengah)
13. dr. Hj. Aryani Arsyad, M.Kes (Dinkes Kabupaten Bulungan Propinsi Kaltim)
14. dra. Astuty Azis (Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan)
15. dr. B. Jimmy Waleleng (IDI Wilayah Propinsi Sulawesi Utara)
16. drg. Dyah Muryani (Dinkes Kota Balikpapan Propinsi Kalimantan Timur)
17. drg. Eman Suherman (Ketua PDGI Cabang Manado Propinsi Sulut)
18. dr. Emil. B. Moerad, Sp.P (Ketua IDI Wilayah Propinsi Kalimantan Timur)
19. Elianur Arsuka, SKM (Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan)
20. dr. I. Dewa Made Sudirman (Dinkes Kabupaten Pasir Propinsi Kaltim)
21. drg. I. Wayan Astika (Dinas Kesehatan Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah)
22. Prof. Dr. Joy Rattu (FKG Universitas Samratulagi Menado Propinsi Sulut)
23. Harry Pokajow, S.Sos (Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Utara)
24. Hasrullah (PPNI Propinsi Sulawesi Selatan)
25. dr. Herlima (IDI Cabang Toli-Toli Propinsi Sulawesi Tengah)
26. Kaharuddin (Dinas Kesehatan Makassar Propinsi Sulawesi Selatan)
27. Prof. Dr. Laihad (FK Universitas Samratulangi Manado Propinsi Sulut)
28. dr. Marten Walukow (Dinas Kesehatan Kabupaten Minahasa Propinsi Sulut)
29. dr. Meyritha Sumarthi (Dinas Kesehatan Kota Manado Propinsi Sulut)
30. Prof. Drg. M. Dharmanta (FKG Universitas Hasanuddin Propinsi Sulsel)
31. dr. M. Eddy Muhtar, MARS (Dinas Kesehatan Kabupaten Maros Prop. Sulsel)
32. dr. M. Ishaq Iskandar, M.Kes (Dinas Kesehatan Kota Palopo)
33. dr. M. Jusri Amrang (Dinkes Kab. Parigi Montong Propinsi Sulawsi Tengah)
34. dr. M. Thoufick. H. (Dinas Kesehatan Kota Bontang Propinsi Kaltim)
35. dr. A. Mukranis Anwar (IDI Wilayah Propinsi Sulawesi Tengah)
36. dr. H. A. Munir, M.Kes (Dinkes Kabupaten Takalar Propinsi Sulawesi Selatan)
37. drg. Nina. E. R. (PDGI Wilayah Samarinda Propinsi Kalimantan Timur)
38. Norma Tadjuddin (IBI Propinsi Sulawesi Selatan)
39. Nurhany Kasim Nany (Dinas Kesehatan Kota Makassar Propinsi Sulsel)

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 69


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

40. drg. Nurhasanah Palnirungi (Dinas Kesehatan Kota Makassar Propinsi Sulsel)
41. dr. Olga. M. Karinda (Dinas Kesehatan Kota Tomohon Propinsi Sulawesi Utara)
42. dr. Rachim Dinata (IDI Cabang Kota Balikpapan Propinsi Kalimantan Timur)
43. Rachmat Jaya, SKM, M.Kes (Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan)
44. Ratna Dewi (LSM Yayasan Ibnu Chaldun)
45. dr. Riry Azmarny Lamadjido (IDI Palu Propinsi Sulawesi Tengah)
46. dr. Rumaisah (IDI)
47. dr. H. Salahuddin, M.Kes (Dinas Kesehatan Kabupaten Gowa Propinsi Sulsel)
48. Satrisna Ismail (Dinas Kesehatan Kota Makassar Propinsi Sulawesi Selatan)
49. dr. Syafruddin Mokoginta (Dinkes Kabupaten Bolaangmongondo Prop. Sulut)
50. drg. Sukmawati, MM (Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan)
51. Sumadi. A. (PKBI Propinsi Kalimantan Timur)
52. Sukardi Pangade, SKM, M.Kes (FKM UVRI)
53. Syahrun. R. (Dinas Kesehatan Kabupaten Bontang Propinsi Kaltim)
54. Prof. Dr. Suryani (FK Universitas Hasanuddin Propinsi Sulawesi Selatan)
55. drg. Suryani Astuti, MSi (Dinas Kesehatan Kota Samarinda Propinsi Kaltim)
56. Tuharea Salim (Dinas Kesehatan Kabupaten Poso propinsi Sulawesi Tengah)
57. Ir. Umar Mato (Yayasan Mitra Masyarakat Manado Propinsi Sulut)
58. drs. Usman. Y. Tantu (Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tengah)
59. Yasser Hasan (Dinkes Kabupaten Toli-Toli Propinsi Sulawesi Tengah)
60. Yefintje Tangkabiringan (Yayasan Pelangi Kasih Manado Propinsi Sulut)
61. Zuhdi Makmun, SKM, M.Kes (Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tengah)

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 70


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

KONTRIBUTOR
PENYUSUNAN DRAF BUKU
KEMITRAAN DALAM HUBUNGAN DOKTER-PASIEN
PERTEMUAN REGIONAL (BANGKA BELITUNG, SUMATERA SELATAN,
LAMPUNG, JAMBI, BENGKULU)
DISELENGGARAKAN DI PALEMBANG, 30 APRIL S/D 2 MEI 2006

01. dr. Abdi S. Kesomi (IDI Wilayah Bengkulu)


02. dr. Abidin Hamid Syam (FK Universitas Jambi)
03. dr. Aini Gandhi, M.Kes (Dinas Kesehatan Kota Palembang)
04. drg. Alendu. AT (Dinas Kesehatan Kabupaten Prabumilih)
05. dr. Anang. T. (RS Muhamad Husin Palembang)
06. dr. Anry (RS Komering Palembang)
07. dr. Ardrisa Murawijaya (Dinas Kesehatan Kota Lubuk Linggau)
08. dr. A. Rahman (IDI OKU d/a Muhammad Husin Palembang)
09. dr. Benny Lotto (RS RK Charitas Palembang)
10. dr. Chairil Zais (RS Jiwa Palembang)
11. drg. Dian Furian (Dinas Kesehatan Kabupaten Belitung)
12. Desliana (TP PKK Sumatera Selatan)
13. drg. Dewi Hasanah (Pengwil PDGI Lampung).
14. Dr. Dr. Efrida, Sp.MK (Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Lampung)
15. drg. Emilia (PDGI Wilayah Sumatera Selatan)
16. drg. Eravita Samil, MHSM (PDGI Cabang Bandar Lampung)
17. dr. Erial Bahar (FK Universitas Sriwijaya Palembang)
18. dr. Erick. D. (IDI OKU Selatan)
19. dr. H.M. Farid. F. (Dinas Kesehatan Ogan Komering Ulu Timur)
20. dr. Febi Arya Hidayat (Dinas Kesehatan Kabupaten Ogam Komering Ilir)
21. dr. Febry (RS Jiwa Palembang)
22. Harny Asnawi (FK Universitas Sriwijaya Palembang)
23. drg. Hendra. U. (Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka)
24. dr. Hengky (Kadis Kesehatan Kota Jambi)
25. dr. Herawati (RS Jiwa Palembang)
26. Prof. Hermasyah (FK Universitas Sriwijaya Palembang)
27. Idrum Sobrie, SH (RSK Paru Palembang)
28. Ikhsan, SKM, M.Kes (Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkulu Utara)
29. dr. Irwan Miswar (Dinas Kesehatan Kabupaten Sarolangan Jambi)
30. dr. Ivan Susanto (Dinas Kesehatan Kabupaten Ogam Komering Ilir)
31. dr. Johan Jabri (Dinas Kesehatan Kota PKP)
32. Dr. L. Gaya Sari (Dinas Kesehatan Kota Palembang)
33. dr. Latifah, Sp.KJ (RS Jiwa Palembang)
34. dr. Letizia, M.Kes (Dinas Kesehatan Kota Palembang)
35. dr. Maria Sembiring (RS Pertamina Palembang)
36. dr. M. Alsen (FK Universitas Sriwijaya Palembang)
37. dr. Hj. Netty Herawati (Dinas Kesehatan Kota Bangkalan)
38. dr. Hj. A. Nurhayati (RS Bhayangkara Palembang)

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 71


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

39. drg. Riri Bikariadisari, M.Kes (FK Universitas Sriwijaya Palembang)


40. dr. Rosdiana (RS Jiwa Palembang)
41. dra. Rosmala Helmy, Msi (Dinas Kesehatan Propinsi Lampung)
42. dr Rudi Ridwan (Dinas Kesehatan Propinsi Bangka Belitung)
43. H. Rusbi Azhar (Dinas Kesehatan Okta OKU Selatan)
44. dr. Ruskandi (IDI Wilayah Lampung)
45. Sadakata. S (FK Universitas Sriwijaya Palembang)
46. dr. Syarif Danar (RSI Siti Khadidja Palembang)
47. dr. H. Syahrul. M, MARS (Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Selatan)
48. dr. Suhendra Suryata (Dinas Kesehatan Kota Lahat Palembang)
49. dr. H. Suherman, MARS (IDI Musi Banyu Asin)
50. Surya Irjini (Dinas Kesehatan Kabupaten Muara Enim)
51. dr. Susi Handayani (RS Muhamadiyah Palembang)
52. dr. Suwandi Subki (Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuasin)
53. dr. H. Taufik. R. (Dinas Kesehatan Musi Banyu Asin)
54. drs. H. Z. Usman. W. (Dinas Kesehatan Kabupaten Bangkalan Selatan)
55. Prof. Dr. H. Wahyu. K (FK Universitas Malahayati Palembang)
56. dr. Yan Riyadi, MARS (IDIKabupaten Muara Enim)
57. H. Yasmin Parindra, SKM (Dinas Kesehatan Kabupaten OKU)
58. dr. Yuliandi Azhadi (IDI OKU Mawar)
59. dr. H. Yusdi (Dinas Kesehatan Propinsi Bengkulu)
60. dr. Z. Harahap, Sp.B (IDI Wilayah Jambi)
61. Zarkasih Amir (FK Universitas Sriwijaya Palembang)
62. Zurmeyni Syahril (Dharma Wanita Persatuan Dinkes Propinsi Sumatera Selatan)
63. Prof. Dr. drg. Retno Hayati (KKI)
64. drg. Oedijani (KKI)

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 72


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

KONTRIBUTOR
PENYUSUNAN DRAF BUKU
KEMITRAAN DALAM HUBUNGAN DOKTER-PASIEN
PERTEMUAN REGIONAL (SUMATERA UTARA, SUMATERA BARAT, RIAU,
DI ACEH, KEPULAUAN RIAU, BANGKA BELITUNG, BENGKULU)
DISELENGGARAKAN DI PADANG, 7 – 9 MEI 2006

01. Abna Hidayati (LKBN Antara Padang)


02. Alfernando (DPC SATMA PP Padang)
03. dr. Amren Rahim, M.Kes (Dinas Kesehatan Kabupaten Bieuen Aceh)
04. dr. Armansyah (Dinas Kesehatan Kabupaten Asahan Sumut)
05. dr. Asmairizal (Dinas Kesehatan Kabupaten Solok)
06. dr. H. Asniel Syanas, Sp.M (RSUD Arifin Arman (Pekan Baru)
07. dr. H. Azwar Ilyar, MSc (Dinas Kesehatan Kabupaten Solok)
08. H.A. Rivai Daulay (Dinas Kesehatan Kabupaten Tebing Tinggi Sumut)
09. drg. Bachtaruddin (Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Barat)
10. Chairil Usman (Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkulu)
11. dr. H. Charles Darwin (Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman)
12. Dahminiarni (Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Barat)
13. Dahniar, M.Kes (Dinas Kesehatan Kota Langsa Aceh)
14. dr. Dedi Ardinata, M.Kes (FK Universitas Sumatera Utara)
15. drg. Dedi Sumantri (PDGI Pengurus Wilayah Sumatera Barat)
16. Depitor Wiguna, SKM (Dinas Kesehatan Kota Padang)
17. dr. Desiosanu, MARS (Dinas Kesehatan Kabupaten Pasaman Sumbar)
18. drg. Dewi Elianora (FKG Unbrah)
19. Dirwansyah (Biro Sospol Sumatera Barat)
20. Edi Subroto, SKM, M.Kes (Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara)
21. dr. Efrida Aziz, MSc (RSUP Haji Adam Malik Medan)
22. dr. Eka Hanasarianto (Dinas Kesehatan Kota Tanjung Pinang)
23. dr. H. Fajar Wahono (Dinas Kesehatan Kabupaten Indragiri Hulu)
24. dr. Faurizalin (Kepala Dinas Kesehatan Tanah Datar)
25. dr. Fauziah Elytha (Dinas Kesehatan Kota Bukittinggi)
26. Gustiar Anra, SE (Dinas Kesehatan dan Sosial Padang)
27. drg. Hadi Suprianto, M.Kes (PDGI Padang)
28. dr. T. Ibnu Alfertaly (IDI Wilayah Sumatera Utara)
29. Ibnu Maulana (KNPI Padang)
30. Idra Zafri (Dinas Kesehatan Kota Lima Puluh Kota Sumatera Barat)
31. Idra Putri (Radio Padang FM)
32. dr. Idris (Dinas Kesehatan Kota Batam)
33. dr. Irmansyah (PDGI Wilayah Sumatera Utara)
34. Irnal Safei, SKM (Dinas Kesehatan Kota Batam)
35. Jarnas Syarif (IDI Wilayah Riau)
36. dr. J. Noeiz, Sp.P (Biro Hukum dan Ham Pemda Sumatera Barat)
37. dr. Jhan Lihar Purba, M.Kes
38. drs. Martin Suhendri, Apt (ISFI DPD Sumatera Barat)

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 73


KONSIL KEDOKTERAN
INDONESIA

39. drg. Masra (PDGI Wilayah Sumatera Barat)


40. Mahyuddin Soelaiman (Perhuki Sumatera Barat)
41. Marius, Sp.B (IBI Sumatera Barat)
42. Marzuki, SKM, M.Kes (Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh)
43. dr. Hj. Messy Yulieday, MARS (Dinas Kesehatan Kabupaten Payakumbuh
Sumbar)
44. dr. H. Mirsal. B. (Dinas Kesehatan Kabupaten Psisir Selatan)
45. drs. Mulyadi (RRI Padang)
46. dr. M. Yulis Hamidy, M.Kes (FK Universitas Riau Pekanbaru)
47. Neneng (Koran Padang Ekspres)
48. dr. Nawawi Widjaja (Dinas Kesehatan Kabupaten Karimun)
49. Ir. Nurlis Muis (Bundo Kandung Sumatera Barat)
50. dr. Rafly Rasul (Dinas Kesehatan Kabupaten Solok)
51. dr. RH. Sianturi (Dinas Kesehatan Kabupaten Sibolga)
52. dr. Rini Hermi Yati (Dinas Kesehatan Kota Pekan Baru)
53. dr. H. Risman Utik (Dinas Kesehatan Kota Padang Panjang)
54. Hj. Rosmini. S. (Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Barat)
55. dr. Rosmini Syahril (PDKI Sumatera Barat)
56. drg. Ruhul Aflah (Dinas Kesehatan Propinsi Riau)
57. dr. H. Salman Syam, MKM (Dinas Kesehatan Kabupaten Agam)
58. drg. Sauhari, MARS (Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara)
59. Sri Siswati (Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Barat)
60. dr. H. Syafruddin Alin (IDI Wilayah Sumatera Barat)
61. dr. Hj. Syahrul (PKK)
62. Syahrian (Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Barat)
63. drg. Sylfianti (PDGI Wilayah Sumatera Barat)
64. dr. Hj. Tetty Rumondang (Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Selatan)
65. dr. Waldy Saragih (Dinas Kesehatan dan Kesos)
66. dr. Yasril Darsono (FK BR)
67. dr. Yunier Salim, MARS (Dinas Kesehatan Kabupaten Dharmaby)
68. drs. Yutiardy Rivai, Apt (Dinas Kesehatan Kabupaten Pariaman)
69. Zachrul Adly (Dinas Kesehatan Kabupaten Pasaman Barat)
70. drg. Zahi Mubarah (PDGI Kabupaten Aceh)

Sekretariat :
- Sjarifuddin Usman
- Sri Gunadi
- Samsu Hidayat
- R Bimo Satrio Rahardjo
- Mathilda Marpaung
- Agus Wihartono
- Yanthi Brihtsanthi

Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien 74

Anda mungkin juga menyukai