DELLA EDRIA
F24062797
2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Della Edria. F24062797. Penentuan Umur Simpan Minuman Fungsional
Cinna-Ale Instan dengan Metode Arrhenius. Di bawah bimbingan Prof. Dr.
Ir. Maggy T. Suhartono dan Dr. Ir. M. Arpah, MSi. 2010
RINGKASAN
i
PENENTUAN UMUR SIMPAN MINUMAN FUNGSIONAL CINNA-ALE
INSTAN DENGAN METODE ARRHENIUS
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
DELLA EDRIA
F24062797
2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
ii
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
DELLA EDRIA
F24062797
Menyetujui,
Bogor, 4 Agustus 2010
iii
SURAT PERNYATAAN
iv
RIWAYAT HIDUP
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT., pemilik segala cinta,
kasih sayang, rahmat, dan segala yang ada di alam semesta ini. Atas rahmat dan
Ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul PENENTUAN
UMUR SIMPAN MINUMAN FUNGSIONAL CINNA-ALE INSTAN
DENGAN METODE ARRHENIUS ini. Skripsi ini disusun sebagai tugas akhir
strata S1 pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi
Pertanian Bogor, Institut Pertanian Bogor.
Dukungan dan bantuan baik moril maupun materil dari berbagai pihak
sangatlah berarti bagi penulis. Penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Mama dan Papa, atas seluruh panjatan doa, curahan kasih sayang, perhatian,
pengertian, dukungan, dan kepercayaannya sehingga dapat memotivasi
penulis untuk menjadi pribadi yang pantang menyerah. Pengorbanan, nasihat,
cinta kasih, dan ketulusan Mama dan Papa adalah warisan terindah yang
takkan lekang oleh waktu.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono, selaku dosen pembimbing Iyang dengan
kesabaran membimbing dan mengarahkan penulis selama mengenyam
pendidikan di Ilmu dan Teknologi Pangan hingga terselesaikannya skripsi ini.
3. Bapak Dr. Ir. M. Arpah, M.Si., , selaku dosen pembimbing Iyang dengan
kesabaran membimbing dan mengarahkan penulis selama mengenyam
pendidikan di Ilmu dan Teknologi Pangan hingga terselesaikannya skripsi ini.
4. Bapak Dr. Ir. Yadi Haryadi, M.Sc. selaku dosen penguji yang telah
meluangkan waktunya untuk menguji penulis dan memberikan masukan untuk
perbaikan skripsi ini.
5. Kakak-kakakku terhebat, Andrianto Asasto Saroyo dan Indra Susatyo, kalian
adalah contoh terbaikku.
6. Adikku tersayang, Ivanna Edria yang selalu ada untukku, mendengar semua
curahan hati meskipun kita terpisah jarak.
7. Idham Fitriadi N, yang telah diberi kesabaran ekstra untuk menemani, selalu
setia mendampingi dan membuat hidup menjadi semakin berwarna.
vi
8. SC “Shobat Cihuy”, Andin, Agnes, Astri, Nana, Adawiyahw, DiDi, MirMir,
Uut, atas persahabatan yang indah sejak 5 tahun silam.
9. Eri, Helen, Sadek, Henni, Yua, Laras, tante Dyah, Aan, Stefanus, Yogi, Abdi.
Jadilah seperti matahari yang senantiasa memberikan sinar-Nya tanpa
menuntut untuk disinari, jangan menjadi lilin yang menyinari orang lain
sedangkan dia sendiri kehabisan energi. Semoga kesuksesan kita raih bersama.
10. Bletok Bang Lupus Crew (Adit, Dzikri, Ius, Laras). Kerja sama kita bukanlah
suatu kebetulan. Ada skenario besar yang telah dirancang oleh Yang Maha
Besar. Jauh dari kalian membuat hidup ini seperti ada yang hilang
11. Teman-teman seperjuangan ITP 43, atas segala jatuh bangun bersama meniti
jalan selama menempuh pendidikan di ITP. Perjalanan kita bukanlah waktu
yang singkat untuk mengukir kenangan, namun bukanlah waktu yang singkat
pula untuk berbuat kesalahan. Mohon maaf atas segala khilaf.
12. Penghuni Puri Fikryah (Mba Ryu, Achie, Sars, Mba peye). Segala kenangan
indah akan terukir selalu di hati.
13. ASTAGA Peduli Pendidikan yang telah sepenuh hati mendukung penulis
dalam melewati pendidikan kuliah di IPB
14. Bapak dan Ibu dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan serta para
karyawan yang begitu sabar menghadapi kami agar menjadi lebih baik.
15. Pak Gatot, Bu Rubiyah, Bu antin, Pak Wahid, Pak Sob, Mba Darsih, Pak
Rozak, Pak Taufik, Pak Sidik, Pak Yahya, dan semua komunitas laboratorium
ITP atas kebaikan hati dan kesabarannya dalam menghadapi penelitian kami.
16. Karyawan Perpustakan PITP atas keramahan dan bantuannya dalam
menyediakan buku-buku yang dibutuhkan oleh kami.
17. Semua pihak yang telah hadir dalam kehidupan penulis, atas bantuan moril
dan materil yang diberikan. Kalian adalah semangat dan inspirasiku.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari berbagai pihak. Semoga tulisan ini dapat membantu bagi yang
memerlukannya.
Bogor, Agustus 2010.
Penulis
vii
DAFTAR ISI
RINGKASAN ...........................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iii
SURAT PERNYATAAN .......................................................................................iv
RIWAYAT HIDUP ................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ............................................................................................vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................xi
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................xii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiii
I. PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
A. LATAR BELAKANG .................................................................................. 1
B. TUJUAN ....................................................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 4
A. MINUMAN FUNGSIONAL CINNA-ALE INSTAN ................................... 4
B. MINUMAN ................................................................................................ 13
1. Minuman Ringan ..................................................................................... 14
2. Minuman Serbuk ..................................................................................... 17
3. Effervescent ............................................................................................. 19
C. RADIKAL BEBAS ..................................................................................... 21
1. Pembentukan Radikal Bebas ................................................................... 22
2. Beberapa Jenis Radikal Bebas ................................................................. 24
3. Dampak Negatif Radikal Bebas .............................................................. 26
D. ANTIOKSIDAN ........................................................................................ 27
1. Mekanisme Antioksidasi ......................................................................... 28
2. Jenis Antioksidan..................................................................................... 29
E. REMPAH-REMPAH SEBAGAI ANTIOKSIDAN ALAMI ..................... 32
F. STABILITAS BAHAN PANGAN DAN AKTIVITAS AIR (aW) ............. 33
G. PENGEMASAN ......................................................................................... 35
1. Pengertian Pengemasan .......................................................................... 35
viii
2. Beberapa Jenis dan Sifat Bahan Kemasan............................................... 36
H. PENDUGAAN UMUR SIMPAN ............................................................... 39
1. Pengertian Umur Simpan ........................................................................ 39
2. Dasar Penurunan Mutu ............................................................................ 41
3. Perumusan Model Umur Simpan ............................................................ 42
III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN ........................................................ 49
A. BAHAN DAN ALAT ................................................................................. 49
B. METODE PENELITIAN ........................................................................... 49
1. Proses Produksi Minuman Fungsional Cinna-Ale Instan ........................ 49
2. Perubahan Mutu Minuman Cinna-Ale Instan Selama Penyimpanan ...... 51
3. Pendugaan Umur Simpan dengan Metode Arrhenius ............................. 52
4. Penentuan Parameter Kritis ..................................................................... 53
5. Transformasi Nilai Umur Simpan Menjadi Waktu Kadaluarsa .............. 53
C. PROSEDUR ANALISIS ............................................................................ 54
1. Analisis Kadar Air (AOAC, 1995) .......................................................... 54
2. Analisis Kadar Abu (AOAC, 1995) ........................................................ 54
3. Analisis Kadar Lemak, Metode Soxhlet (AOAC, 1995) ......................... 54
4. Analisis Kadar Nitrogen, Metode Mikro Kjehldal (AOAC, 1995) ......... 54
5. Analisis Kadar Karbohidrat Metode by Difference ................................. 54
6. Analisis Kadar VRS (Volatile Reducing Substance) (Zein, 1998) .......... 56
7. Pengukuran Aktivitas Antioksidan Menggunakan DPPH (Emmons, et
al., 1999) ................................................................................................. 56
8. Warna (Metode Hunter) ......................................................................... 57
9. Kelarutan (SNI 01-4239-1996) ............................................................... 57
10. Uji Organoleptik .................................................................................... 58
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 59
A. KARAKTERISTIK PRODUK ................................................................... 59
B. KINETIKA PERUBAHAN MUTU SELAMA PENYIMPANAN ............ 61
1. Aktivitas Antioksidan Minuman Cinna-Ale Instan ................................ 62
2. Kelarutan Minuman Cinna-Ale Instan .................................................... 65
3. Kecerahan Serbuk Cinna-Ale Instan ...................................................... 66
4. Kadar Volatile Reducing Substance Minuman Cinna-Ale Instan ........... 68
ix
5. Kadar Air Minuman Cinna-Ale Instan ................................................... 69
6. Korelasi Data Organoleptik dan Data Kuantitatif .................................. 70
C. UMUR SIMPAN ......................................................................................... 73
1. Penentuan Nilai Kritis ............................................................................. 73
2. Penentuan Orde Reaksi............................................................................ 75
3. Penghitungan Umur Simpan pada Suhu Penyimpanan Berdasarkan Orde
Reaksi Terpilih ........................................................................................ 77
a. Aktivitas Antioksidan Minuman Cinna-Ale Instan ......................... 77
b. Kelarutan Minuman Cinna-Ale Instan ............................................ 79
c. Kecerahan Serbuk Cinna-Ale Instan ............................................... 81
d. Kadar Volatile Reducing Substance Minuman Cinna-Ale Instan ... 82
e. Kadar Air Minuman Cinna-Ale Instan ............................................ 84
D. VALIDASI REAKSI PERUBAHAN MUTU MELALUI PERHITUNGAN
ENERGI AKTIVASI ................................................................................. 86
E. KRITERIA PARAMETER YANG DIPILIH UNTUK DIHITUNG UMUR
SIMPANNYA ............................................................................................ 90
F. SIMULASI PENDUGAAN UMUR SIMPAN DAN MASA
KADALUARSA PRODUK PADA PARAMETER TERPILIH ............... 91
1. Perhitungan Umur Simpan pada Parameter Terpilih dengan Metode
Arrhenius ................................................................................................. 92
2. Transformasi Umur Simpan menjadi Waktu Kadaluarsa ....................... 94
G. PENGENDALIAN UMUR SIMPAN PRODUK ....................................... 96
V. KESIMPULAN ................................................................................................. 98
1. Kesimpulan ............................................................................................. 98
2. Saran ....................................................................................................... 99
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 100
LAMPIRAN ........................................................................................................ 106
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jenis rempah, komponen mayor dan khasiat beberapa rempah yang
digunakan dalam pembuatan minuman Cinna-Ale instan................... 12
Tabel 2. Analisis sifat fisik alumunium foil (Laporan hasil uji laboratorium
uji dan kalibrasi BBKK, 2009) ........................................................... 38
Tabel 3. Hasil pengujian analisis proksimat dan standar SNI minuman
serbuk tradisional (SNI 01-4320-1996) (BSN, 1996 b) ....................... 59
Tabel 4. Perubahan tingkat kelarutan Cinna-Ale instan di berbagai suhu
penyimpanan ....................................................................................... 66
Tabel 5. Nilai awal dan nilai kritis minuman fungsional Cinna-Ale instan
berdasarkan beberapa parameter ......................................................... 75
Tabel 6. Persamaan reaksi hubungan antara perubahan mutu dan suhu
penyimpanan pada orde reaksi nol dan orde reaksi satu ..................... 76
Tabel 7. Nilai konstanta perubahan mutu dan umur simpan Cinna-Ale instan
berdasarkan parameter kadar aktivitas antioksidan pada orde reaksi
terpilih ................................................................................................. 78
Tabel 8. Nilai konstanta perubahan mutu dan umur simpan Cinna-Ale instan
berdasarkan parameter kelarutan pada orde reaksi terpilih ................. 80
Tabel 9. Nilai konstanta perubahan mutu dan umur simpan Cinna-Ale instan
parameter kecerahan serbuk pada orde reaksi terpilih ........................ 81
Tabel 10. Nilai konstanta perubahan mutu dan umur simpan Cinna-Ale instan
berdasarkan kadar VRS pada orde reaksi terpilih ............................... 83
Tabel 11. Nilai konstanta perubahan mutu dan umur simpan Cinna-Ale instan
berdasarkan parameter kadar air pada orde reaksi terpilih ................. 84
Tabel 12. Tabulasi umur simpan Cinna-Ale instan di suhu pengamatan pada
orde reaksi terpilih .............................................................................. 86
Tabel 13. Nilai energi aktivasi (Ea) berbagai parameter mutu Cinna-Ale
instan ................................................................................................... 88
Tabel 14. Nilai koefisien determinasi (R2), nilai energi aktivasi dan umur
simpan beberapa parameter pengamatan di orde reaksi terpilih ......... 90
Tabel 15. Nilai K, (1/T), k dan ln k pada 3 titik suhu penyimpanan parameter
aktivitas antioksidan orde reaksi satu.................................................. 93
Tabel 16. Nilai k, ln k dan umur simpan pada suhu 200C dan 250C
berdasarkan persamaan Arrhenius ...................................................... 95
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1
simpan produk, kemudahan dalam distribusi dan peningkatan harga jual produk.
Atas dasar itulah muncul produk Cinna-Ale yang memanfaatkan teknologi
instanisasi yang disebut bir pletok instan. Kelebihan lain dari bir pletok instan
adalah ringkas, awet, higienis dan praktis.
Rentang waktu antara masa produksi dengan konsumsi membuat produk
Cinna-Ale instan perlu disimpan terlebih dahulu. Selama masa penyimpanan
dapat terjadi penurunan pada beberapa karakteristik mutu Cinna-Ale instan.
Penurunan mutu dan aktivitas antioksidan produk dapat menurunkan umur
simpan produk. Pencantuman informasi tentang waktu kadaluarsa suatu produk
pangan adalah kewajiban bagi produsen. Hal ini telah ditetapkan dalam Undang-
undang RI No. 3 tahun 1992 tentang kesehatan. Undang-undang ini menyatakan
setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib memberi label yang berisi
tentang informasi bahan pangan yang dipakai, komposisi, tanggal, bulan dan
tahun kadaluarsa serta ketentuan lainnya. Pencantuman waktu kadaluarsa akan
memberikan informasi kepada konsumen tentang batas waktu konsumsi suatu
makanan. Masa kadaluarsa akan memberikan informasi bagi distributor atau
penjual agar dapat mengatur stok barang dan membantu dalam pengawasan mutu
produk bagi pihak produsen.
Pendugaan umur simpan merupakan salah satu cara untuk mengetahui
tingkat ketahanan produk selama masa penyimpanan. Lama penyimpanan suatu
produk sebelum dikonsumsi dapat diketahui melalui pendugaan umur simpan.
Penentuan umur simpan produk pangan dapat dilakukan dengan metode Extended
Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage Studies (ASS). ESS adalah
penentuan tanggal kadaluarsa dengan cara menyimpan seri produk pada kondisi
normal sehari-hari dan dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutu hingga
mencapai mutu kadaluarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun pelaksanaannya
lama dan analisis karakteristik mutu yang dilakukan relatif banyak. ASS adalah
penentuan waktu kadaluarsa dengan penerapan kondisi lingkungan yang
memungkinkan reaksi penurunan mutu produk pangan berlangsung lebih cepat.
Keuntungan metode ini adalah waktu pengujian yang relatif singkat.
2
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perubahan bahan pangan
adalah suhu. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi akan semakin
cepat. Penentuan kecepatan reaksi kimia bahan pangan yang berhubungan dengan
suhu dapat dilakukan dengan metode Arrhenius. Penentuan umur simpan yang
dilakukan pada penelitian ini adalah dengan metode Accelerated Storage Studies
(ASS) dan model yang dipakai adalah model Arrhenius. Pemakaian model ini
didasarkan pada waktu pelaksanaan yang singkat dan metode pengukuran yang
sederhana (Floros, 1993).
B. TUJUAN
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
4
Pembuatan formula ini terinspirasi dari minuman tradisional mayarakat
Betawi, yaitu Bir Pletok. Keunggulan Cinna-Ale dibandingkan dengan Bir Pletok
dan minuman rempah lainnya yang telah ada dipasaran adalah : (a) beberapa jenis
rempah sebagai bahan baku utama memiliki efek fisiologis terhadap tubuh, (b)
kombinasi dengan bahan lain dalam jumlah sedikit memperkuat khasiat minuman,
(c) ukuran atau jumlah rempah dalam formula telah distandarkan. Menurut
Dulimarta (2000), karakteristik minuman Cinna-Ale antara lain berwarna merah,
aroma yang dominan adalah jahe dan kayu manis, berasa hangat di badan dan
pedas. Proses pembuatan Cinna-Ale relatif sederhana. Rempah-rempah
dihancurkan, diekstraksi dengan menggunakan air mendidih dan dilakukan
pemisahan antara ekstrak dengan ampas.
Cinna-Ale adalah minuman yang memiliki khasiat sebagai stimulan atau
penyegar dan sebagai minuman kesehatan. Khasiat Cinna-Ale diperoleh dari zat
aktif rempah-rempah yang terkandung di dalamnya, seperti zingerberin, gingerol,
oleoresin, brazilin, kumarin, eugenol dan masih banyak lagi. Menurut Dulimarta
(2000), dari ketujuhbelas rempah tersebut yang memiliki jumlah yang besar
dalam penggunaannya adalah jahe, kayu secang, kayu manis dan cabe jawa.
Rempah-rempah yang memiliki kemampuan sebagai antioksidan diantaranya
pala, cengkeh, jahe, kayu manis, kapulaga, lada hitam dan lada putih.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Damayanti (2004),
minuman Cinna-Ale bersifat fungsional karena memiliki kemampuan sebagai
antioksidan dan antibakteri. Secara khusus antioksidan dapat berfungsi sebagai
penangkap radikal bebas, membentuk kompleks dengan logam prooksidan, bahan
pereduksi, dan memutuskan formasi oksigen, sehingga dapat melindungi tubuh
dari penyakit seperti kanker, penyakit jantung koroner dan diabetes (Azuma et al.,
1999). Yasni (2001) membuktikan kemampuan minuman Cinna-Ale sebagai
minuman fungsional antihiperkolesterolemia. Percobaan yang dilakukan secara in
vivo terhadap tikus Sprague Dawley berpotensi sebagai minuman yang dapat
meningkatkan fungsi fisiologis tubuh dengan menurunkan kandungan kolesterol
dan trigliserida serum darah. Menurut Agusta (2000), kayu manis, kayu secang,
5
dan cengkeh merupakan rempah-rempah yang efektif sebagai antimikroba.
Kandungan senyawa antimikroba mampu meningkatkan umur simpan produk.
Hal ini telah dibuktikan oleh Damayanti (2004), bahwa ekstrak campuran rempah
Cinna-Ale memiliki aktivitas antibakteri terutama terhadap bakteri patogen dan
perusak E. coli, S. typhimurium, P. aeruginosa dan S. aureus.
Berikut adalah rempah-rempah yang digunakan dalam pembuatan Cinna-
Ale instan beserta komponen aktif dan khasiatnya :
1. Jahe (Ginger)
Jahe adalah rimpang dari tanaman Zingiber officionale Roscoe, yang
termasuk dalam famili Zingiberaceae. Menurut Agusta (2000), sifat khas jahe
disebabkan adanya minyak atsiri dan oleoresin. Minyak atsiri jahe berupa
cairan kental berwarna hijau sampai kekuningan dan beraroma khas jahe.
Rimpang jahe pada umumya mengandung atsiri 0.25%-3.3% yang terdiri dari
zingiberin, kurkumin dan phelladrin (Guzman dan Siemonsma, 1999).
Oleoresin pada jahe sebesar 4.3-6.0%, mengandung komponen pemberi rasa
pedas pada jahe seperti gingerol (33-45%), shogaol, dan gingeron (Agusta,
2000). Ekstrak jahe juga dapat menyembuhkan sakit reumatik, disentri bakteri
yang akut, penyakit malaria, radang, influensa, batuk dan pendarahan.
Rimpang ini juga dapat merangsang nafsu makan, memperlancar pencernaan
dan mengurangi asam perut karena ada zat antioksidan yang merangsang
selaput lendir dan usus. Herlina, et al.(2002) membuktikan bahwa ekstrak jahe
dapat menghambat waktu terjadinya oksidasi lipida dari 20 detik menjadi 10
menit. Muchtadi dan Sugiono, 1992 menyatakan bahwa ekstrak jahe
mempunyai daya antioksidan yang dapat dimanfaatkan untuk mengawetkan
minyak dan lemak.
2. Kayu Secang (Sepang)
Secang (Caesalpinia sappan Linn) termasuk ke dalam famili
Leguminoseae. Kandungan kimia secang adalah brazilin, tanin (asam tanat),
asam galat, resin, resorsin, brazilin, brazilein, sappanin, dan pigmen (sappan
merah) (Maharani, 2003). Secang dapat digunakan sebagai sumber zat warna
6
alami karena mengandung brazilin yang berwarna merah dan mudah larut
dalam air panas. Selain sebagai bahan pewarna, brazilin kayu secang
mempunyai aktivitas sebagai antibakteri dan bakteriostatik. Brazilin yang
merupakan komponen terbesar dari kayu secang merupakan senyawa
antioksidatif yang memiliki gugus catechol pada struktur kimianya.
Berdasarkan sifat antioksidannya, brazilin merupakan pelindung terhadap
bahaya radikal bebas pada sel. Menurut Sanusi (1999), kelompok senyawa
fenol homoisoflavanoid diduga bertanggung jawab atas khasiat obat pepagan
dan kayunya. Batang dan daunnya mengandung alkaloid dan tanin, serta
banyak mengandung saponin dan fitosterol. Kayu ini digunakan sebagai obat
untuk muntah darah, berak darah atau luka luar yang berdarah, diare, disentri,
menurunkan kolesterol dalam darah dan antibiotik (Sanusi, 1999).
3. Cabe Jawa (Long Pepper)
Lada panjang (Piper retrofractum Vahl.) atau lebih dikenal dengan
nama cabe jawa atau cabe puyang merupakan tanaman asli Indonesia dan
tumbuh menyebar di mana-mana. Rasa cabe jawa ini lebih pedas dibandingkan
dengan jenis lada panjang lainnya. Menurut Winarto (2008), rasa pedas ini
disebabkan oleh senyawa piperin dan piperanin. Cabe jawa juga mengandung
minyak atsiri yang terdiri atas linalool, terpenil asetat, sitronelil asetat dan
sitral (Sait, 1992). Cabe jawa dapat digunakan untuk mengobati demam,
tekanan darah rendah, sukar bersalin, perut mulas, beri-beri, influensa,
lambung lemah dan masuk angin (Winarto, 2008).
4. Kayu Manis (Cinnamon)
Kayu manis merupakan tumbuhan berdaun rimbun dan termasuk famili
Lauraceae. Kulit kayu manis kering yang bermutu baik pada umumnya
mengandung minyak atsiri, pati, getah, resin, fixed oil, tanin, selulosa, pigmen,
kalium oksalat, dan mineral (Rismunandar dan Paimin, 2001). Komponen
utama flavor pada kayu manis adalah sinamaldehid berkisar 70-75%, yang
bukan termasuk ke dalam golongan fenol. Komponen minor flavor yaitu
eugenol, safrol, aceteugenol, dan kumarin mengandung gugus fenol dan
7
penting untuk memberi cita rasa khas flavor alami kayu manis. Kayu manis
mampu berperan sebagai antioksidan karena mengandung senyawa tanin dan
eugenol (King, 2000). Rempah ini dimanfaatkan sebagai obat sariawan, encok,
tekanan darah tinggi, asma, masuk angin dan antidiare.
5. Sereh (Lemongrass)
Sereh termasuk famili Gramineae dengan kandungan utama minyak
sereh adalah sitral dengan jumlah 66%-85%. Sitral dapat digunakan sebagai
bahan dasar pembuatan vitamin, dan bahan aroma sintetis. Komponen kimia
lainnya adalah metil heptenon, metil heptenol, decylaldehid, nerol, geraniol,
dan farnesol. Sereh dapat dimanfaatkan untuk mengobati sakit kepala, otot dan
sendi ngilu, batuk nyeri lambung, diare, antiradang dan memperlancar sirkulasi
darah. Rempah ini dapat juga digunakan untuk membantu pencernaan,
mengurangi tekanan darah dan mencegah flatulensi (Santoso, 2008).
6. Lada Hitam (Black Pepper) dan Lada Putih (White Pepper)
Lada hitam adalah buah lada yang masih mempunyai kulit yang
berwarna hitam hasil fermentasi dan penjemuran. Lada putih adalah buah lada
yang tidak mempunyai kulit lagi dan telah dikeringkan. Biji lada memiliki dua
sifat yang khas yaitu berasa pedas dan aroma yang khas. Rasa pedas lada
diakibatkan oleh adanya piperin, piperanin, dan chavicin yang merupakan
persenyawaan dari piperin dengan semacam alkaloida (Rismunandar dan Riski,
2003). Chavicin banyak terdapat dalam daging biji lada dan tidak hilang
walaupun biji yang masih berdaging dijemur hingga menjadi lada hitam. Oleh
karena itu, lada hitam lebih pedas dibandingkan lada putih. Lada mengandung
komponen monoterpen dan sesuiterpen. Kandungan piperin lada hitam berkisar
antara 3-8%, piperilin 0.2-0.3% dan 0.2-1.6%. Secara umum, lada bersifat
sebagai antobakteri dan dapat digunakan untuk mengobati haid tidak teratur,
masuk angin, influenza, demam serta tekanan darah rendah (Farrel, 1990).
7. Pandan (Pandanus)
Daun pandan yang berwarna hijau sering digunakan sebagai pengharum
dan pemberi zat warna alami dalam bahan pangan. Daun pandan mengandung
8
klorofil, yang selain berfungsi sebagai pigmen, juga berkhasiat sebagai
antioksidan. Aroma daun pandan bukan golongan minyak eteris atau minyak
atsiri tetapi merupakan cairan yang langsung menguap dari jaringan epidermis.
Menurut Muchtadi (2006), pandan memiliki komponen aroma spesifik dalam
bentuk alkil fenol dan 2-asetil-1-pirolin. Khasiat daun ini diantaranya untuk
antiarteosklerosis, mengobati encok dan urat syaraf yang tegang.
8. Cengkeh (Clove)
Cengkeh tergolong ke dalam famili Myrtaceae. Komponen utama
minyak esensial cengkeh adalah fenol eugenol. Sekitar 99% minyak yang
terdapat pada cengkeh terdiri atas 70%-90% eugenol, lebih dari 17% eugenol
asetat, dan caryophyllene sesquiterpenes (terutama beta-caryophyllene, 5-12%)
(Ningsih, 2001). Minyak cengkeh memiliki fungsi antiseptik dan digunakan
dalam pembuatan pasta gigi (Farrel, 1990). Bunga cengkeh digunakan untuk
mengobati masuk angin, batuk dan mata terasa sakit.
9. Kembang Pala (Mace) dan Biji Pala (Nutmeg)
Biji pala berwarna keabu-abuan, berbentuk oval, beberapa berbentuk
bulat dengan ukuran bervariasi. Komposisi kimia kembang pala hampir sama
dengan biji pala yang terdiri atas pati, minyak lemak dan ekstrak alkohol,
mineral, protein dan minyak atsiri. Lemak yang terkandung dalam rempah ini
terdiri atas trimyristin, palmitin, olein, dan linolein serta fraksi tidak
tersabunkan seperti myristisin. Aroma dan warna pada pala berasal dari
kandungan safrole dan myristisin serta monoterpen. Safrole dan myristisin
merupakan senyawa eter aromatis yang menimbulkan flavor yang kuat pada
pala (Santoso, 2008). Kandungan minyak atsiri pada biji pala sebesar 16%
dan fixed oil sebesar 24-30% yang terdiri dari trimiristisin, asam oleat, asam
linoleat, komponen tak tersabunkan, dan resin. Kembang pala mengandung
monoterpen (87.5%), monoterpen alkohol, dan komponen aromatik lainnya.
Hirasa et al. (1998) menyatakan ekstrak pala mempunyai sifat antimikroba
terhadap Enterobacter aerogenes, L. plantarum, Brevibacterium dan
Achromobacter, Micrococcus flavus, dan B. subtilis. Kegunaan biji pala
9
dalam pengobatan tradisional adalah untuk menghentikan muntah-muntah dan
menghilangkan rasa sakit sewaktu haid. Biji pala juga berkhasiat untuk kejang
lambung dan encok (Sugiyono, et al., 2001).
10. Adas Manis (Anise)
Adas manis adalah biji dari tanaman Pimpinella anisum L. yang
termasuk dalam famili Umbelliferae. Minyak esensial adas manis
mengandung tidak kurang dari 80% anethole, 7.5% fenchone, dan tidak lebih
dari 10% estragole. Minyak esensial adas manis juga mengandung alfa-
pinene, limonene, p-cymene, beta-pinene, dan beta-myrcene (EMEA, 2008).
Dosis 0,05 ml sampai 0,30 ml adas manis berkhasiat untuk mengatasi sakit
perut, mual, muntah, diare, dan nyeri haid (Hartini, et al., 2007).
11. Kapulaga (Elettaria Cardamomum)
Kapulaga memiliki bentuk buah yang pipih, berwarna cokelat dan di
ujungnya terdapat aril berwarna putih yang rasanya manis. Biji ini
mempunyai rasa campuran antara lada dan jahe bila dikunyah. Biji tersebut
mengandung minyak atsiri sebanyak 10%. Komponen mayor minyak atsiri
kapulaga adalah 25-40% sineol dan α-terpinyl asetat (28-34%). Kapulaga
juga mengandung komponen d-borneol, mirsen, limonene, linalool, dan d-
champor yang memberikan rasa dan aroma pada rempah ini (Agusta, 2000).
Kandungan fixed oil pada kapulaga sebesar 1-2% yang terdiri dari glyserida,
oleat, stearat, linoleat, palmitat, caprilyc acid. Kapulaga dapat dipergunakan
sebagai tanaman obat penyakit radang amandel, tenggorokan, gatal-gatal,
perut mulas, sesak nafas, keletihan dan demam. Selain itu, dapat juga
digunakan untuk penyakit muntah-muntah, sakit dalam tulang, influenza,
reumatik dan batuk (Farrel, 1990 ).
12. Kapulaga Kecil (Amomum Cardamomum)
Kardamon Malabar atau disebut juga kradamom yang lebih kecil,
termasuk golongan Scitamineae, famili Zingiberaceae. Kardamon jenis ini
mengandung borneol dan d-kamfor, sabinen, terpinen, 1-terpen-4-ol, 1-
terpen-4-il format dan asetat, serta memiliki khasiat daya karminatif atau
10
laksatif (untuk mencuci perut), sebagai stimulan dan mengobati gangguan
lambung dan antikejang perut (Santoso, 2008).
13. Jintan Hitam (Caraway Seed)
Jintan hitam adalah buah kering dari Carum carvi L., yang
mengandung 3-7% minyak atsiri yang terdiri atas anethole (15-22%), karvon,
limonene, dihidrokarvon, karveol, dihidrokarveol, asetaldehida dan furol.
Jinten hitam mampu mengatasi radang pada selaput lendir mata, batuk rejan,
keputihan, lepra, radang hidung, sembelit, encok, digigit serangga dan
influenza (Achyad et al., 2000). Kandungan zat pada jintan hitam berkhasiat
untuk mengatasi karminativ (adanya gas dalam saluran pencernaan) dengan
dosis sekitar 1-2 gram. Hasil penelitian Houghton, et al. (1995) menunjukkan
jinten hitam meningkatkan rasio antara sel-T penolong dan sel-T penekan
sebesar 55% dengan pencapaian aktivitas sel pembunuh alami sebesar 30%.
14. Pekak (Anise China Star)
Pekak atau adas bintang termasuk ke dalam famili Magnoliaceae.
Aroma dan flavor pekak mirip dengan aroma dan flavor adas manis. Minyak
atsiri yang terkandung pada pekak sebesar 8-9%. Komponen mayornya
adalah anetole (88-90%), sedangkan komponen minornya metal kavikol,
pinene, limonene, dan phellandrene (Agusta, 2000). Pekak dapat
dimanfaatkan untuk menghindari masuk angin dan perut kembung (Farrel,
1990).
15. Kayu Mesoyi (Mesoi)
Kulit kayu mesoyi berwarna cokelat, beraroma khas dan tajam, dan
rasa yang cenderung kurang disukai. Bau aromatis yang dihasilkan
menyebabkan bahan tanaman ini sering digunakan bersama-sama dengan
cengkeh. Komponen utama minyak kayu mesoyi adalah persenyawaan
mesoyi-lakton, pinen, benzyl benzoate, eugenol dan terpenoid. Mesoyi lakton
terkandung secara dominan di dalam minyak atsiri mesoyi terdiri dari lakton
I berkisar 55-80% dan lakton II berkisar 5-20%. Senyawa ini merupakan
komponen pembentuk mesoyi yang sangat khas. Hasil penelitian Reapina
11
(2007) menunjukkan mesoyi bersifat antibakteri terhadap Salmonella
thypimurium dan Bacillus cereus. Kayu mesoyi juga berkhasiat untuk batuk
yang tidak mengeluarkan dahak, mencret, mulas, encok, menghangatkan
badan serta dapat mengharumkan badan (Iskandar dan Ismanto, 2001).
Tabulasi jenis rempah, komponen mayor yang terkandung dan khasiat
beberapa rempah yang digunakan dalam pembuatan minuman Cinna-Ale
instan terdapat dalam Tabel 1.
Tabel 1. Jenis rempah, komponen mayor dan khasiat beberapa rempah yang
digunakan dalam pembuatan minuman Cinna-Ale instan
Jenis Jumlah Komponen
No. Khasiat Sumber Acuan
Bahan (%) Bioaktif
Meningkatkan sistem
Gingerol Zakaria, et al., (2000),
1 Jahe 19.63 imun, memperlancar
33-45% Herlina et al., (2002)
pencernaan, antioksidan
Kayu Brazilin Antibakteri dan
2 21.14 Sanusi, (1999)
secang 44-60% bakteriostatik
Antihipotensi, mengobati
3 Cabe jawa 19.63 Sitral 24.3% Sait, (1992)
demam, sakit perut
Sinamaldehid
4 Kayu manis 6.54 Antioksidan King, (2000)
70-75%
Antihipertensi,
antiflatulensi,
5 Sereh 6.54 Sitral 66-85% Santoso, (2008)
memperlancar
pencernaan
6 Lada putih 3.27 Piperin 3-5% Antibakteri Farrel, (1990)
7 Lada hitam 3.27 Piperin 3-8% Antibakteri Farrel, (1990)
8 Pandan 3.27 Klorofil Antiarteosklerosis Muchtadi, (2006)
9 Cengkeh 3.27 Eugenol 70-90% Antiseptik Farrel, (1990)
12
Tabel 2. Jenis rempah, komponen mayor dan khasiat beberapa rempah yang
digunakan dalam pembuatan minuman Cinna-Ale instan (lanjutan)
Jenis Jumlah Komponen
No. Khasiat Sumber Acuan
Bahan (%) Bioaktif
Kembang Monoterpen
10 3.27 Antimikroba Hirasa et al., (1998)
pala 87.5%
Trimisristisin Mengobati kejang Sugiyono, et al.,
11 Biji pala 3.27
24-30% lambung, susah tidur (2001)
Mengobati sakit perut,
Anethole
12 Adas manis 1.64 muntah, mual, diare, Hartini, et al.,(2007)
> 80%
nyeri haid
Sineol Mengobati muntah,
13 Kapulaga 1.64 Farrel, (1990)
25-40% batuk, reumatik
Antikarminativ dan
Kapulaga Borneol
14 0.99 laksatif, mengobati Farrel, (1990)
kecil 24-35%
gangguan lambung
Antikarminativ,
Anethole Houghton, et al.,
15 Jintan hitam 0.99 meningkatkan sistem
15-22% (1995)
imun dalam tubuh
Anethole masuk angin dan perut
16 Pekak 0.99 Farrel, (1990)
88-90% kembung
Antibakteri terhadap
Kayu Mesoyi lakton I :
17 0.65 Salmonella thypimurium Reapina, (2007)
Mesoyi 55-80%
dan Bacillus cereus
B. MINUMAN
13
tubuh, memperoleh kesehatan dan kenikmatan. Menurut Sugiyono (2007),
beberapa jenis minuman diantaranya air minum (water beverages), minuman
berkafein (kokoa, kopi, teh), minuman yang memabukkan (bir dan wine), susu,
jus buah dan sayuran, dan minuman ringan. Perkembangan zaman menuntut
segala macam minuman disajikan dalam bentuk yang siap saji dan siap santap,
ringkas, praktis, awet dan menarik. Beberapa produk minuman kini telah
disediakan dalam bentuk hancuran (teh,kopi), celup, serbuk instan, dan
effervescent.
1. Minuman Ringan
Minuman ringan sering pula disebut sebagai soda, pop, soda pop, coke,
minuman soda, atau minuman manis adalah minuman tidak beralkohol baik
berkarbonasi maupun nonkarbonasi. Minuman ini mengandung sirup, pemanis,
asam, esense atau konsentrat buah. Beberapa minuman ringan diantaranya
minuman rasa cola, minuman rasa buah, ginger ale, root beer, dan air soda.
Kopi, teh, susu, kokoa dan jus (buah dan sayur) tidak termasuk ke dalam
minuman ringan. Klasifikasi jenis minuman ringan terdiri atas :
a. minuman bergas (carbonated). Golongan ini dapat mengandung gula, asam,
perisa, flavor dan konsentrat.
b. Minuman tidak bergas (still). Jenis ini dapat ditambah bubur buah-buahan
(pulp) atau perisa.
c. Minuman bergas yang tidak mengandung gula, asam atau perisa misalnya air
soda.
Green (1981) menggolongkan minuman ringan menjadi tiga kategori yaitu
minuman berkarbonat baik mengandung asam maupun tidak seperti cola,
minuman berflavor buah atau tidak, dan golongan yang mencakup sari buah
dan air soda. Persyaratan minuman ringan menurut Green (1981) antara lain :
1. Campuran minuman yang tidak menimbulkan after taste yang kurang
disukai
2. Menggunakan air yang memenuhi standar
14
3. Disuguhkan dalam keadaan yang cukup dingin
4. Jika digunakan es sebagai pendingin maka es yang digunakan todak mudah
mencair
5. Karbonasi yang cukup bisa memberikan efek yang menyegarkan
6. Wadah yang bersih dan jernih
Bahan baku yang dibutuhkan dan teknik yang digunakan untuk
pembuatan minuman ringan nonkarbonasi hampir sama dengan minuman
ringan berkarbonasi. Perlakuan panas yang biasa digunakan untuk produk ini
adalah pasteurisasi (Sugiyono, 2007). Bahan-bahan penyusun minuman ringan
antara lain air, pemanis, asam, gum, pewarna dan perisa. Persentase air dalam
minuman ringan bisa mencapai 90% sehingga kualitas air yang digunakan
dalam industri minuman ringan harus terkontrol. Pemanis berperan terhadap
cita rasa minuman ringan dan bertindak sebagai pengikat komponen flavor.
Pemanis yang digunakan untuk minuman ringan dapat berupa gula sukrosa
atau pemanis buatan seperti sakarin, asesulfam, dan aspartam. Konsentrasi
akhir pemanis dalam minuman ringan mencapaia 8-14%.
Asam merupakan komponen penting ketiga setelah air dan gula.
Keasaman dapat meningkatkan cita rasa dan juga bertindak sebagai pengawet,
Penambahan asam dapat menurunkan nilai pH, menegaskan rasa dan warna,
serta menghambat pertumbuhan mikroba (Potty, 1979). Asam yang umumnya
digunakan dalam minuman ringan adalah asam sitrat, asam benzoat asam
malat, dan asam fumarat. Flavor merupakan suatu kombinasi dari rasa, bau,
aroma dan kesan di mulut (taste, smell and mouthfeel). Menurut Potty (1979),
flavor yang digunakan untuk minuman ringan harus memenuhi persyaratan
tertentu antara lain mempunyai sifat kelarutan yang tinggi, kompak,
memperbaiki cita rasa yang menyenangkan, tidak menimbulkan rasa yang
tidak disukai, serta stabil terhadap asam, panas, dan cahaya. Konsentrat
merupakan bahan inti yang memberikan rasa dan aroma yang khas serta
penampakan yang menarik terhadap produk minuman.
15
Pada minuman berkarbonasi, minuman ditambahkan karbondioksida.
Karbondioksida berfungsi sebagai penyegar, pengawet, dan memperkuat flavor
minuman. Gas CO2 tidak berwarna dan tidak berbau tajam, dan biasanya
ditambahkan pada minuman untuk memperoleh mouthfeel dan rasa yang khas.
Penambahan gas CO2 dalam pembuatan minuman ringan berkarbonat akan
menurunkan pH karena larut dalam air hingga membentuk asam karbonat.
Menurut Thorner dan Herzberg (1978), CO2 berbentuk gas pada suhu dan
tekanan normal, bersifat asam sehingga dapat menghambat pertumbuhan
kapang, tidak berwarna, tidak berbau dan pada tekanan 50 atm berubah
menjadi cair. Satuan karbondioksida dalam industri minuman ringan adalah
volume, satu volume CO2 didefinisikan sebagai jumlah CO2 yang terlarut
dalam satu unit volume air pada tekanan atmosfer (760 mmHg) dan suhu
15.50C. Larutan sirup yang telah dicampur dengan flavor dan kosentrat tertentu
akan dialirkan ke tangki pencampur dalam karbonator untuk dilakukan proses
pencampuran denga air. Mesin yang digunakan dalam proses pecampuran ini
adalah DBC (Deaerator Beverages Carbcooler) yang dilengkapi dengan mesin
pendingin berkompresor untuk menurunkan suhu. Proses singkat pembuatan
minuman ringan berkarbonasi ditunjukkan pada Gambar 2.
16
Salah satu jenis minuman ringan yang cukup terkenal adalah root beer
atau sarsaparila . Root beer bersoda manis, tidak mengandung alkohol, dibuat
dari berbagai akar tanaman dan rempah-rempah. Rasa utama minuman ini
berasal dari tanaman sassafras (atau kulit pohon sassafras) dan biasanya
ditambahkan vanili, wintergreen, ceri, pala, akasia, adas manis, tetes tebu,
kayu manis, cengkeh dan madu. Pada awalnya root beer mengandung sedikit
alkohol dan digunakan sebagai obat untuk keluhan mulut, termasuk sakit
tenggorokan, batuk dan sariawan. Selain root beer, minuman ringan berbasis
rempah yang banyak dikonsumsi adalah ginger-ale atau limun jahe. Minuman
ini menjadi populer sebagai minuman ringan pengganti minuman beralkohol
sejak kebijakan pemerintah di negara maju membatasi penggunaan dan
perdagangan minuman beralkohol sehingga biasa digunakan sebagai pengganti
champagne atau pelengkap koktail. Kandungan jahe dapat membantu
mengatasi masalah perut, menghangatkan badan, dan bersifat tonik (penyegar)
2. Minuman Serbuk
Kebutuhan akan minuman serbuk minuman ringan nonkarbonasi dan
berkarbonasi telah sejak lama dibutuhkan dan semakin meningkat setiap
tahunnya. Kepedulian manusia terhadap botol dan kaleng bekas minuman
berkarbonasi menjadikan kebutuhan akan minuman ini semakin meningkat.
Untuk diterima dimasyarakat, serbuk minuman harus mudah dilarutkan di
dalam air dingin, memiliki rasa dan penampakan yang sama seperti minuman
berkarbonasi dalam kaleng atau botol. Salah satu hal yang penting untuk
produk minuman ini adalah waktu pelarutan serbuk di dalam air dingin.
Serbuk minuman tradisional menurut Standar Nasional Indonesia (SNI)
adalah produk bahan minuman berbentuk serbuk atau granula yang dibuat dari
campuran gula dan rempah-rempah dengan atau tanpa penambahan bahan
makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan. Sediaan instan
adalah suatu sediaan yang siap dikonsumsi (siap saji) dengan penambahan air
hangat atau air panas dan penambahan satu atau lebih bahan tambahan,
sehingga sediaan instan lebih disukai oleh masyarakat dan rasanya juga lebih
17
enak. Instanisasi membuat produk mudah dibawa, dapat disimpan sehingga
dapat mempermudah pendistribusian produk, dan memperpanjang umur
simpan produk. Serbuk instan yang diperoleh harus memenuhi syarat yaitu
mudah dituang tanpa tersumbat, tidak higroskopis dan tidak menggumpal,
mudah dibasahi dan cepat larut. Sediaan instan berlangsung melalui proses
berulang serbuk yang diperoleh dan diakhiri dengan pengeringan. Pembuatan
sediaan instan dilakukan dengan penambahan komponen pangan lain atau
bahan tambahan pangan seperti gula. Penambahan gula digunakan untuk
kristalisasi, bahan pengawet, pemanis serta penambah energi.
Beberapa teknik yang digunakan untuk pembuatan minuman instan
diantaranya kristalisasi, spray drying, cool drying dan mikroenkapsulasi.
Menurut Iskandar dan Tajudin (1990), kristalisasi adalah suatu proses
pemisahan dengan cara pemekatan larutan sampai konsentrasi bahan yang
terlarut (solute) menjadi lebih besar daripada pelarutnya pada suhu yang sama.
Pembuatan gula semut dapat dilakukan dengan cara melarutkan gula dalam air.
Menurut Cahyono (2005), 1 kg sampai 3 kg gula pasir dilarutkan dengan 1 L
air untuk membuat larutan gula. Kemudian dilakukan proses penyaringan,
pemekatan larutan dengan pemanasan dan pendinginan yang disertai
pengadukan dengan cepat untuk pembentukan serbuk. Proses kristalisasi akan
menghasilkan serbuk berwarna kuning kecoklatan hingga coklat dan kadar air
maksimum 3.0%. Keunggulan instanisasi dengan gula semut dibandingkan
dengan teknologi (spray drying) adalah mudah, murah, peralatan sederhana
dan tidak dibutuhkan kemampuan operator yang tinggi, sehingga bisa
diterapkan pada industri kecil dan rumah tangga dan industri menengah.
Mikroenkapsulasi adalah suatu proses penyalutan bahan inti yang
berbentuk cair atau padat dengan menggunakan suatu bahan penyalut khusus
yang membuat partikel inti mempunyai sifat fisika dan kimia yang
dikehendaki. Bahan penyalut berfungsi sebagai dinding pembungkus bahan inti
untuk melindungi bahan terbungkus dari faktor-faktor yang dapat menurunkan
kualitas bahan tersebut (Rosenberg et al., 1990). Teknik enkapsulasi mampu
18
melindungi komponen mudah rusak akibat perlakuan panas dan hentakan
mekanis namun, teknik ini akan memberikan penampakan flavor yang
mungkin akan berbeda dari bahan alaminya dan biaya proses yang relatif
mahal (Cahyono, 2005).
Proses pembuatan serbuk minuman berkarbonasi sama seperti
pembuatan serbuk sumber karbonasi. Serbuk sumber karbonasi dibuat dengan
teknik cogrinding kalsium karbonat dengan asam anhidrat (malat, fumarat,
sitrat) sekitar 1-20%. Proses cogrinding akan menghasilkan partikel kalsium
karbonat berukuran 100 milimikron sampai 10 mikron. Pencampuran serbuk
sumber karbonasi dengan flavor dan pemanis untuk menghasilkan konsentrat
minuman serbuk berkarbonasi. Karbondioksida yang dilepaskan merupakan
reaksi antara asam dan kalsium karbonat.
3. Effervescent
Tablet effervescent dalam dunia farmasi didefinisikan tablet tanpa
penyalut yang terdiri dari satu atau lebih asam organik dan senyawa garam
karbonat yang bila dilarutkan dalam air akan menghasilkam gas
karbondioksida (Lindberg, 1992). Effervescent juga dapat diterapkan dalam
dunia pangan yaitu sebagai flavoured beverage effervescent. Flavoured
beverage effervescent didefinisikan sebagai bentuk sediaan yang menghasilkan
gelembung gas sebagai hasil reaksi kimia dalam larutan (Mohrle, 1989). Gas
yang dihasilkan umumnya adalah karbondioksida meskipun pada beberapa
formulasi, gas yang dihasilkan adalah oksigen.
Flavored beverage effervescent adalah sediaan effervescent yang
digunakan untuk membuat minuman ringan secara praktis, yaitu dengan
mencampurkan serbuk atau tablet effervescent ke dalam air. Gas yang
dihasilkan saat pelarutan effervescent memberikan efek sparkle (rasa seperti
soda). Reaksi yang terjadi pada pelarutan effervescent adalah reaksi antara
senyawa asam dan senyawa karbonat untuk menghasilkan gas karbondioksida.
Reaksi ini dikehendaki terjadi secara spontan ketika effervescent dilarutkan ke
19
dalam air. Oleh karena itu kadar air bahan baku dan kelembaban lingkungan
perlu dikendalikan tetap rendah untuk mencegah penguraian atau
ketidakstabilan produk. Sekali terinisiasi, reaksi akan terus berlangsung terus
secara cepat karena hasil reaksinya adalah air (Mohrle, 1989). Oleh karena itu
bahan baku yang dipilih dalam bentuk anhidrat atau dalam bentuk hidrat yang
stabil. Penggunaan bahan baku dalam bentuk anhidrat memiliki kelebihan
daripada bentuk hidrat yang stabil karena dapat berperan sebagai penyerap uap
air.
Komponen utama minuman effervescent ialah asam dan senyawa
karbonat. Senyawa asam yang lebih banyak digunakan dalam bentuk serbuk
atau tablet effervescent adalah asam sitrat karena tersedia berlimpah di alam,
bentuk granular atau serbuknya dapat diperoleh secara komersial dan harganya
relatif murah dibandingkan asam makanan lain. Ada dua bentuk sediaan asam
sitrat di pasaran yaitu bentuk anhidrat dan bentuk monohidrat. Penanganan dan
penyimpanan asam sitrat memerlukan perhatian khusus karena bersifat sangat
higroskopis. Senyawa karbonat yang banyak digunakan dalam formulasi
effervescent adalah garam karbonat kering karena kemampuannya untuk
menghasilkan karbondioksida.
Pembuatan effervescent memerlukan kondisi lingkungan yang khusus,
yaitu ruangan ber-RH maksimal 25 % dan temperatur maksimal 25ºC yang
dimaksudkan untuk menjaga kestabilan produk effervescent (Lindberg, 1992).
Pada RH dan temperatur yang lebih tinggi, sediaan effervescent bersifat kurang
stabil karena dapat menyerap uap air dari lingkungan sehingga memicu
terjadinya reaksi effervescing yang tidak dikehendaki. Setelah proses
pencampuran selesai, produk effervescent harus segera dikemas primer dengan
kemasan yang hermetis (kedap uap air dan gas). Penyimpanan produk
effervescent dapat dilakukan pada ruangan yang ber-RH dan temperatur
rendah.
20
C. RADIKAL BEBAS
21
Radikal bebas juga dapat terbentuk ketika ikatan kovalen putus dan jika satu
elektron dari setiap pasangan berbagi dengan setiap atom, yang prosesnya dikenal
dengan nama hemolytic fission (Halliwell dan Gutteridge, 1999).
CH + OH CH + H2O
22
Radikal bebas secara umum berkesinambungan dibuat oleh tubuh kita
(Wijaya, 1996) :
a. Umumnya sebagai reaksi redoks biokimiawi yang melibatkan oksigen,
sebagai bahan dari metabolisme sel normal. Ketika terjadi proses oksidasi
molekul dengan oksigen, molekul oksigen dengan sendirinya membentuk
senyawa intermediet yang tereduksi. Beberapa senyawa intermediet
tersebut merupakan radikal bebas.
O2 + e- + H+ HO2 (hidroperoksil radikal)
HO2 H+ + O2- (superoksida radikal)
O2- + 2H+ + e- H2O2 (hidrogen peroksida)
H2O2 + e- OH- + OH- (hidroksil radikal)
Menurut Karyadi (2009), secara umum sebagai senyawa intermediet,
radikal bebas tersebut tidak berumur lama, tetapi dalam jangka waktu
yang pendek itu, bila radikal bebas dapat bertemu dengan DNA, enzim,
asam lemak tak jenuh, maka hal ini akan mengawali terjadinya kerusakan
sel.
b. Oleh proses fagositosis, sebagai bagian dari reaksi inflamatori yang
terkontrol. Proses fagositosis akan menghasilkan sejumlah besar
superoksida sebagai bagian dari mekanisme yang bertujuan untuk
membunuh mikroorganisme asing. Pada inflamasi kronis, mekanisme
perlindungan yang normal ini akan bersifat merusak.
c. Sebagian respon terhadap radiasi, sinar ultraviolet, polusi lingkungan,
asap rokok, hiperoksida, olahraga yang berlebihan dan iskemia. Radiasi
elektromagnetik dengan panjang gelombang rendah (misalnya sinar
gamma) dapat memecah air (H2O) dalam tubuh kita untuk menghasilkan
radikal hidroksil (OH). Radikal ini akan menyerang semua molekul yang
berdekatan dengannya, dan menimbulkan reaksi berantai.
Bahan pangan tercemar yang dikonsumsi dan masuk ke dalam tubuh
juga dapat mengakibatkan terbentuknya radikal bebas dalam tubuh. Senyawa
logam seperti Pb, akan mengkatalis terbentuknya hidroksil radikal bila bertemu
23
dengan peroksida. Senyawa pemutih bahan pangan seperti benzoil peroksida
dalam tubuh dapat dirubah menjadi senyawa radikal yang telah diteliti
berperan dalam kerusakan DNA sehingga dapat menyebabkan terbentuknya
tumor atau kanker. Hidrokarbon aromatik yang mengkontaminasi bahan
pangan dari asap rokok, tanah, polusi udara dan air, bahan tambahan makanan,
melalui reaksi oksidasi, reduksi dan hidroksilasi akan diubah menjadi senyawa
epoksi yang bersifat elektrofil dan dapat menyerang DNA. Senyawa amin
heterosiklik yang terbentuk selama proses pemanggangan atau pembakaran,
bila masuk ke dalam tubuh akan berubah menjadi senyawa radikal yang dapat
bereaksi dengan rantai DNA. Senyawa pestisida seperti karbon tetraklorida,
paraquat dan diquat yang sering terdapat dalam produk sayur dan buah, dapat
juga menjadi radikal yang reaktif yang dapat menyebabkan peroksidasi lemak
(Zakaria, 1996).
24
tetapi merupakan senyawa pereduksi yang kuat untuk beberapa kompleks
besi seperti sitokrom c dan ferric-EDTA. Radikal ini akan segera
mengalami reaksi dismutase dengan katalisator superoksida dismutase
(SOD) membentuk hidrogen peroksida dan oksigen dalam larutan encer
(Gutteridge, 1995).
+ e-
O2 O2- (superoksida)
c. Hidroperoksil radikal (HO2-)
Hidroperoksil radikal merupakan bentuk terprotonasi dari O 2- yang
mempunyai kereaktifan lebih besar daripada O 2- itu sendiri. Hidroperoksil
radikal dapat menginisiasi peroksidasi asam lemak. Sejumlah hidroperoksil
radikal tetap ada bersama O2- meskipun pada pH fisiologis. Hidroperoksil
radikal dapat menembus membrane semudah H2O2 (Halliell dan
Gutteridge, 1990).
d. Hidrogen Peroksida (H2O2)
Hidrogen peroksida merupakan oksidan lemah yang relatif stabil,
tetapi dengan adanya ion logam transisi, maka senyawa ini akan
membentuk radikal yang reaktif. Senyawa ini akan segera bercampur
dengan air, dan diperlakukan seperti molekul air oleh tubuh, yang dapat
berdifusi melewati membrane sel. Hidrogen peroksida yang tidak
dikehandaki dihilangkan dari sel dengan bantuan enzim katalase, glutation
peroksidase (GSH) dan peroksidasi lainnya. (Gutteridge, 1995).
e. Oksida Nitrit (NO)
Oksida nitrit dapat berdifusi dengan mudah antar dan di dalam sel.
Oksida nitrit disintesis dalam organisme hidup karena adanya aktivitas
enzim Nitric Oxide Synthetase (NOSs) yang mengubah asam amino L-
arginin menjadi asam amino lain L-citrullin. Kondisi tertentu, oksida nitric
dapat bereaksi dengan radikal superoksida membentuk peroksinitrit
(ONOO-). Sel yang kelebihan oksida nitrit menyebabkan modifikasi ikatan
kovalen grup SH pada glyseraldehide-3-phospate dehidrogenase dan
25
merusak Fe-S protein di mitokondria. Tetapi efek tersebut kemungkinan
karena turunan oksida nitrit (N2O3, ONOO-) daripada oksida nitrit itu
sendiri (Halliwell dan Gutteridge, 1999).
Contoh dari radikal bebas yang lain adalah peroksil radikal (RO 2),
alkoksil radikal (RO), thiyl (RS, pusat sulfur radikal) dan triklorometil
(CCl3-, pusat karbon radikal) (Halliwell dan Gutteridge, 1999).
26
R-SH + OH R-S + H2O
2 R-S R-SS-R
Pembentukan ikatan disulfida menimbulkan ikatan intra dan antar molekul
protein, sehingga protein tersebut kehilangan fungsi fisiologisnya.
Radikal bebas merupakan salah satu penyebab kerusakan DNA.
Kerusakan ini dapat mengakibatkan terjadinya mutasi sel dan menimbulkan
penyakit kanker (Halliwell dan Gutteridge, 1999).
c. Autoimun
Autoimun adalah terbentuknya antibodi terhadap sel tubuh sendiri.
Adanya antibodi terhadap sel tubuh akan menyebabkan kerusakan jaringan
tubuh (Halliwell dan Gutteridge, 1999).
d. Penuaan Dini
Kerusakan jaringan oleh radikal bebas terjadi secara terus menerus,
perlahan lahan dan pasti. Hal ini disebabkan karena proses pemusnahan
radikal bebas dalam tubuh tidak dapat terjadi secara sempurna. Jaringan
yang rusak ini akan mengakibatkan terjadinya proses penuaan (Halliwell
dan Gutteridge, 1999).
e. Ateroskeloris
Oksidan LDL (low density lipoprotein) seperti kita ketahui
merupakan tahap awal terjadinya aterosklerosis. Serangan radikal hidroksil
pada PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) yang terdapat pada permukaan
LDL mengawali terjadinya reaksi peroksidasi lipid. Reaksi ini
menyebabkan modifikasi oksidatif dari PUFA dan degradasi
apolipoprotein B. (Wijaya, 1996).
D. ANTIOKSIDAN
27
konsentrasi kecil bila dibandingkan dengan bahan yang dapat teroksidasi, dapat
menghambat atau mencegah proses oksidasi dari bahan tersebut secara signifikan
(Halliwell dan Gutteridge, 1999). Menurut Karyadi (2009), antioksidan tubuh
dikelompokkan menjadi tiga yaitu antioksidan primer, antioksidan sekunder, dan
antioksidan tersier. Antioksidan primer berfungsi untuk mencegah pembentuk
senyawa radikal bebas baru. Antioksidan primer mengubah radikal bebas menjadi
molekul yang lebih stabil sebelum radikal bebas ini sempat bereaksi. Antioksidan
sekunder berfungsi menangkap senyawa bebas serta mencegah terjadinya reaksi
berantai. Antioksidan tersier berfungsi memperbaiki kerusakan sel-sel.
1. Mekanisme Antioksidasi
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan memiliki dua fungsi.
Fungsi pertama merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai
pemberi atom hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama
tersebut sering disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat
memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R*, ROO*) atau
mcngubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan
(A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding dengan radikal lipida.
Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat
laju autoksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan
rantai autoksidasi. Mekanisme yang berlangsung adalah pengubahan radikal
lipida ke bentuk lebih stabil (Gordon, 1990).
Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada
lipida dapat menghambat reaksi autoksidasi lemak dan minyak. Penambahan
tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi maupun
propagasi. Radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi tersebut
relatif stabil dan tidak mempunyai banyak energi untuk bereaksi dengan
molekul lipida lain membentuk radikal lipida baru (Gordon, 1990).
Inisiasi : R* + AH R + A*
Propagasi : ROO* + AH ROOH + A*
28
Besar konsentrasi antioksidan yang ditambahkan dapat berpengaruh
pada laju oksidasi. Konsentrasi tinggi mengakibatkan aktivitas antioksidan
grup fenolik sering lenyap bahkan antioksidan tersebut menjadi prooksidan.
Pengaruh jumlah konsentrasi pada laju oksidasi bergantung pada struktur
antioksidan. kondisi dan sampel yang akan diuji.
AH + O2 A* + HOO
AH + ROOH RO* + H20 - A*
2. Jenis Antioksidan
Menurut Halliwell dan Gutteridge (2000), pertahanan antioksidan
antara lain,
a. Zat yang secara katalitik menghilangkan radikal bebas dan senyawa
reaktif lainnya. Contoh, enzim superoksida dismutase (SOD), enzim
katalase, enzim peroksidase dan antioksidan spesifik dari thiol.
b. Protein yang meminimalkan kemampuan prooksidan seperti ion besi dan
tembaga dalam heme. Contohnya transferin, haptoglobin, haemopexin dan
etallothionein.
c. Protein yang dapat mencegah kerusakan biomolekul (termasuk kerusakan
oksidatif) dengan mekanisme lain seperti Heat Shock Protein
d. Zat atau senyawa bermassa rendah yang dapat menangkap ROS (Reactive
Oxygen Species) dan RNS (Reactive Nitrogen Species). Contohnya α-
tokoferol, dan gluthatione. Beberapa antioksidan berasal dari diet terutama
asam askorbat dan α-tokoferol.
Menurut Halliwell dan Gutteridge (2000), dalam cairan intraseluler
enzim yang berpartisipasi dalam proses degradasi senyawa ROS antara lain :
a. Enzim Superoksida Dismutase (SOD)
Semua CuZnSODs mengkatalisis reaksi yang sama yaitu
mempercepat dismutase O2- menurut reaksi :
O2- + O2- + 2H+ SOD
H2O2 + O2
Spesifitas SOD terhadap reaksinya dengan O2- sering digunakan untuk
menduga keterlibatan radikal ini dalam sistem biologis. Senyawa SODs
29
dapat bereaksi dengan OH, RO*, ROH* dan singlet oksigen, karena SODs
mengandung histidin dan rantai lain yang dapat bereaksi dengan molekul
tersebut. CuZnSOD bereaksi dengan peroksinitrit menjadi nitrat.
b. Enzim katalase
H2O2 yang dihasilkan dari proses dismutase O2- diurai dalam
keadaan aerob oleh dua tipe enzim. Katalase mengkatalisis langsung
dekomposisi H2O2 menjadi O2 menurut reaksi :
2 H2O2 2 H2O + 2 O2
Enzim peroksidase mengurai H2O2 dengan cara menggunakan H2O2 itu
untuk mengoksidasi substrat lain (SH2) menurut reaksi :
SH2 + H2O2 S + 2 H2O
Kebanyakan sel aerob mempunyai aktivitas katalase. Katalase dalam sel
darah merah dapat melindungi sel dari terbentuknya H2O2 karena
penghilangan O2- oleh autooksidasi dari hemoglobin.
c. Enzim glutation peroksidase (G-SH Px)
Glutation peroksidase menguraikan H2O2 menjadi H2O dengan
mengoksidasi G-SH (Glutation tereduksi) menurut reaksi :
30
Antioksidan berberat molekul rendah yang didapat dari diet antara lain
(Halliwell dan Gutteridge, 1999) :
a. Vitamin C
L-asam askorbat (vitamin C) merupakan antioksidan larut air yang
paling penting. Senyawa ini secara efektif menangkap O 2, OH*, peroksil
radikal, singlet oksigen dan dapat berperan dalam regenerasi vitamin E.
Keefektifan senyawa ini dalam menangkap peroksil radikal dalam cairan
dan plasma atau sitosol menjadikan senyawa ini dapat melindungi
biomembran dari kerusakan peroksidasi.
Vitamin C juga mampu menangkap HO2*, thiol oksisulfur radikal,
turunan ergothionine radikal, asam hipoklorit, asam peroksinitrit dan zat
nitrat, nitrosida radikal, O3, NO2, dan radikal yang disebabkan oleh
beberapa obat-obatan. Selain itu, merupakan substrat untuk askorbat
peroksidase yang merupakan enzim penting dalam penghilangan H2O2
pada kloroplas.
b. Vitamin E
Vitamin E merupakan penangkap radikal peroksil dan merupakan
antioksidan yang paling penting pada peroksidasi lipid pada binatang.
Tokoferol dan tokotrienol dapat menghambat peroksidasi lipid secara
efektif karena senyawa ini dapat menangkap lipid peroksil (LO 2) radikal
lebih cepat daripada reaksi radikal tersebut dengan rantai asam lemak atau
dengan protein membran menurut reaksi :
α TocH + LO2 Toc* + LO2H
Tokoferol juga dapat bereaksi dengan singlet oksigen dan dapat
melindungi membran dari senyawa ini, Senyawa α Toc bereaksi pelan
dengan O2* atau HO2* dan dapat bereaksi pula dengan peroksil radikal
lain untuk menghasilkan produk non radikal. Struktur molekulnya
mempunyai efek antioksidan yang efektif karena dapat mendonorkan atom
H dari gugus OH pada struktur cincinnya untuk membentuk radikal bebas.
Meskipun berbentuk radikal bebas, tetapi tidak reaktif karena elektron
31
yang tidak berpasangan dalam atom oksigen dilokalisasi pada cincin
aromatik sehingga meningkatkan stabilitas.
c. Karotenoid
Meskipun beberapa karotenoid memiliki efek antioksidan, tetapi
perhatian terpusat pada β-karoten yang mempunyai kemampuan
penangkapan efektif terhadap peroksil radikal dalam kondisi fisiologi dan
dapat menangkap singlet oksigen.Studi terbaru menyatakan β-karoten
mengindikasikan kemungkinan efek yang sinergis dengan vitamin E.
d. Flavonoid
Beberapa flavonoid yang mempunyai struktur fenolik yang hampir
sama dengan vitamin E, berperan sebagai antioksidan dalam sistem lemak,
bereaksi dengan O2*, lipid peroksil radikal dan membentuk kompleks besi
yang mencegah kereaktifan radikal O2*. Zat ini juga menjaga vitamin C,
terutama dengan adanya ion logam yang secara normal mempercepat
oksidasi asam askorbat, contohnya quercetin, morin, myricetin,
kaempferol, dan asam tanat yang diketahui mempunyai aktivitas
antioksidan (Kochar dan Rossell, 1995).
Fenol juga dilaporkan mempunyai efek kardioprotektif dengan
meminimalkan terjadinya oksidasi LDL secara in vivo. Derajat
hidroksilasi dan posisi relatif dari grup OH adalah faktor penting untuk
mengetahui kemampuan antioksidan. Komponen flavonoid ini banyak
terkandung pada rempah-rempah.
32
pada sel-sel tubuh), dan dapat berinteraksi dengan reaksi-reaksi fisiologis. Tidak
kurang dari 30 jenis rempah-rempah dan tumbuh-tumbuhan bumbu menunjukkan
aktivitas antioksidan, terutama fenolik (Kochar dan Rossell, 1995). Senyawa
antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik
yang dapat berupa golongan flavonoid (flavonol, isoflavon, ilavon, katekin dan
flavonon), derivat asam sinamal, kumarin, tokoferol dan asam organik
polifungsional (Pratt dan Hudson. 1992). Kandungan ini yang menyebabkan
rempah mempunyai kapasitas antimikroba, anti pertumbuhan sel kanker, dan
sebagainya.
Senyawa antioksidan alami polifenolik dapat beraksi sebagai (a)
pereduksi, (b) penangkap radikal bebas, (c) pengkelat logam, (d) peredam
terbentuknya singlet oksigen. Senyawa-senyawa fenolik volatil seperti eugenol,
thymol, kurkumin, kapsaisin dan lain-lain memiliki aktivitas antioksidan
menonjol, tapi memiliki odor yang terlalu kuat, sehingga membatasi kegunaannya
sebagai bahan tambahan pangan. Oleh karena itu, penelitian dialihkan pada isolasi
komponen aktif antioksidan dari fraksi-fraksi nonvolatil yang memiliki sifat
antioksidan, tidak berbau, berasa dan tidak berwama. Kemudian lebih lanjut
penelitian ditekankan pada senyawa-senyawa fenolik nonvolatil yang memiliki
aktivitas antioksidan (Dulimarta, 2000).
Bahan pangan adalah suatu sistem biologi dan kimia aktif yang kompleks
dan memerlukan kontrol yang ketat dalam pembuatannya, distribusi, dan kondisi
penyimpanan agar dapat menjaga keamanan, nilai sensori serta gizinya. Penyebab
kerusakan utama bahan pangan adalah mikroorganisme, enzim, perubahan kimia
yang disebabkan oleh air, panas, logam, udara, dan bahan kontaminan lainnya
atau kerusakan fisik lainnnya (Winarno, 1997). Pengaruh kadar air penting dalam
menentukan daya awet bahan pangan. Hal ini karena kadar air akan
33
mempengaruhi sifat fisik, sifat fisikokimia, perubahan kimia, kerusakan
enzimatis, dan kerusakan mikrobiologis (Winarno, 1997). Kadar air kritis
merupakan kadar air suatu produk dimana produk tersebut masih dapat diterima
oleh konsumen.
Air dalam bahan pangan dapat ditemukan dalam bentuk air bebas dan air
terikat. Air bebas dapat dengan mudah menghilang jika dilakukan pengeringan.
Air terikat sulit dibebaskan dengan cara penguapan atau pengeringan biasa.
Terdapat paling sedikit tiga bentuk yang berbeda. Pertama, air sebagai pelarut
untuk dispersi molekuler dari komponen-komponen kristaloid seperti gula, garam,
dan asam-asam yang memiliki berat molekul yang rendah atau sebagai medium
dispersi bagi molekul makro hidrofilik seperti protein, gum, dan fenolik
membentuk larutan koloid. Kedua, air diserap sebagai lapisan monokuler atau
polimolekuler yang tipis pada komponen padat atau dalam kapiler-kapiler halus
oleh kondensasi kapiler. Ketiga, air terikat secara kimia dalam bentuk hidrat
seperti monohidrat yang stabil dari dekstrosa, maltosa, dan laktosa (Buckle,
1995).
Air yang terkandung di dalam bahan makanan memiliki kaitan dengan
daya awet bahan tersebut. Pengurangan air yang tersedia melalui proses
penguapan dapat mengawetkan bahan pangan terhadap kerusakan mikrobiologis
atau kimiawi. Salah satu sifat fisikokimia yang berkaitan adalah aktivitas air (a w).
Saat keadaan normal, aw dapat diartikan sebagai perbandingan tekanan uap dalam
makanan pada kesetimbangan dengan tekanan uap air murni pada suhu yang sama
(Winarno, 1997). Winarno (1997) menyatakan bahwa aw (water activity) adalah
jumlah air bebas yang dapat digunakan mikroba untuk pertumbuhannya. Masing-
masing mikroba punya aw pertumbuhannya masing-masing.
Keterkaitan aw dengan ketahanan atau stabilitas makanan digambarkan
sebagai derajat kandungan air bebas yang terkandung dalam makanan dan
ketersediaannya untuk bertindak sebagai pelarut dan ikut dalam reaksi kimia dan
biokimia. Tingkat kritis aw dapat dikenali dari terjadinya kerusakan makanan yang
34
tidak dikehendaki, ditinjau dari segi keamanan dan kualitas. Hubungan aktivitas
air (aw) dengan laju kerusakan produk pangan seperti terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Hubungan aktivitas air (aw) dengan laju kerusakan produk pangan
(Labuza, 1982)
G. PENGEMASAN
1. Pengertian Pengemasan
Pengemasan sering juga disebut sebagai pewadahan, pembungkusan,
atau pengepakan. Pembungkusan berperan penting dalam mempertahankan
mutu suatu bahan pangan dan telah dianggap sebagai bagian integral dari
proses produksi. Menurut (Syarief dan Irawati, 1988), kemasan berfungsi
sebagai :
a. Wadah untuk menempatkan produk dan memberi bentuk, sehingga lebih
memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan distribusi.
b. Memberi perlindungan terhadap mutu produk dari kontaminasi luar dan
kerusakan.
c. Menambah daya tarik produk
Faktor yang perlu diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan
adalah sifat bahan pangan tersebut, keadaan lingkungan, dan sifat bahan
35
kemasan. Bahan pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda dalam
kepekaannya terhadap lingkungan. Produk pangan kering yang bersifat
higroskopis harus dilindungi terhadap masuknya uap air. Umumnya produk
pangan kering mempunyai kadar air rendah, sehingga harus dikemas dengan
kemasan yang mempunyai daya tembus atau permeabilitas uap air yang
rendah untuk menghambat penurunan mutu produk seperti menjadi tidak
renyah (Buckle, 1995).
Pemilihan bahan kemasan, berkaitan dengan informasi dan
persyaratan yang dibutuhkan oleh produk, seperti penyebab kerusakan
produk dan reaksi yang akan dialami produk dalam kemasan tersebut
sebelum dikonsumsi. Kerusakan yang paling umum terjadi pada bahan
pangan adalah perubahan kadar air, pengaruh gas dan cahaya. Perubahan
kadar air produk akan menyebabkan pertumbuhan jamur dan bakteri,
penggumpalan pada produk serbuk, serta pelunakan pada produk kering.
Bahan makanan yang beraroma tinggi umumnya memerlukan kemasan yang
dapat menahan keluarnya komponen volatil (Syarief dan Irawati, 1988).
36
sebaliknya melalui lapisan plastik. Adanya perpindahan senyawa-senyawa
tersebut dapat menimbulkan berbagai penyimpangan organoleptik (Winarno,
1997).
Beberapa jenis plastik yang dapat dibuat sebagai kemasan produk
instan adalah High Density Polyethylene (HDPE), Polyprophylene (PP), dan
Polyethylene Terephtalat (PET). Masing-masing jenis plastik tersebut
memiliki sifat yang berbeda. HDPE tergolong jenis plastik polietilen.
Polietilen mudah dibentuk, lemas, mudah ditarik; daya rentang tinggi tanpa
sobek; tahan terhadap asam, basa, alkohol, deterjen dan bahan kimia lainnya;
penampakannya bervariasi dari jernih (transparan), berminyak, sampai keruh;
transmisi gas tinggi, sehingga tidak cocok untuk mengemas bahan makanan
yang beraroma; kedap air dan uap air; dan mudah digunakan sebagai
laminasi. Polietilen tergolong poliolefin dan dibuat dari proses polimerisasi
adisi gas etilen.
Polipropilen (PP) juga termasuk ke dalam jenis plastik poliefilen dan
merupakan polimer dari propilen. Sifat-sifat utama propilen diantaranya
ringan (densitas 0.9 g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih
dalam bentuk film, lebih kaku dari polietilen dan tidak gampang sobek,
mempunyai kekuatan tarik lebih besar dari PE (pada suhu rendah akan rapuh
dan tidak dapat digunakan untuk kemasan beku), permeabilitas uap air
rendah, permeabilitas gas sedang, tahan terhadap suhu tinggi sampai dengan
1500C, titik leburnya tinggi, tahan terhadap asam kuat, basa dan minyak
(Syarief dan Irawati, 1988). Sifat-sifat polipropilen dapat diperbaiki dengan
cara memodifikasinya menjadi OPP (oriented polypropilene) jika dalam
proses pembuatannya ditarik satu arah atau BOPP (biaxally oriented
polypropilene) jika dalam proses pembuatannya ditarik dua arah.
Metalizing adalah teknik untuk membuat membran tipis dengan
menyalurkan logam melalui permukaan kertas atau plastik film dalam
kondisi vakum. Walaupun lapisan penglogaman ini tipis, sekitar 300-1000 Å
(0.03-0.1 μm), tetapi dapat meningkatkan perlindungan, menahan bau,
37
memberikan efek kilap dan menahan gas (Matsumoto, 2007). Logam yang
biasa digunakan untuk metalasi adalah alumunium. Kemurnian alumunium
yang digunakan adalah 99.9%, diameter wire alumunium sebesar 1.96 mm
dan biasanya ketebalan kurang dari 0.15 mm. Proses metilasi dilakukan
dengan melelehkan dan menguapkan alumunium wire pada suhu 15000C.
Uap alumunium akan melapisi film plastik yang berputar pada sebuah rol
pendingin bersuhu sekitar 150C. Rol pendingin diatur pada suhu tersebut agar
film tidak meleleh ketika terkena uap alumunium yang panas.
Alumunium memiliki sifat hermetis, fleksibel, dan tidak tembus
cahaya. Ketebalan alumunium foil menentukan sifat protektifnya.
Berdasarkan pengujian fisik yang telah dilakukan terhadap bahan kemasan
alumunium foil dengan tiga ketebalan yang berbeda oleh Balai Besar Kimia
dan Kemasan (BBKK) pada tahun 2009. Pengujian ini meliputi densitas,
gramatur, laju transmisi gas oksigen (O2TR), dan laju transmisi uap air
(WVTR).
Tabel 3. Analisis sifat fisik alumunium foil (Laporan hasil uji laboratorium
uji dan kalibrasi BBKK, 2009)
WVTR* O2TR**
Jenis Ketebalan Densitas Gramatur
2 2
(g/m2/24 (cc/m2/24
Kemasan (mm) (g/cm ) (g/m )
jam) jam)
0.05 0.721 36.037 0.5749 0.8492
Alumunium
0.08 1.058 84.617 0.1298 0.2933
Foil
0.10 1.103 110.273 0.0768 0.3199
*Suhu = 37.8 0C, RH = 100% ** Suhu = 21 0C, RH = 55%
38
rendah. Permeabilitas dan ketebalan kemasan juga berkaitan dengan densitas
dan gramatur. Semakin rendah ketebalan alumunium foil, semakin kecil pula
densitas dan gramatur. Menurut Matsumoto (2007), ketebalan kemasan
menentukan laju transmisi gas oksigen (O2TR) dan uap air (WVTR) kemasan.
Alumunium foil dengan ketebalan 0.05 mm memiliki nilai WVTR dan O 2TR
yang paling tinggi dibandingkan dengan ketebalan lainnya. Hal ini berarti jenis
alumunium ini paling mudah ditembus oleh oksigen dan uap air dari lingkungan
selama penyimpanan.
Berbeda dengan hasil analisis nilai O2TR terhadap masing-masing
kemasan. Nilai O2TR paling tinggi terdapat pada kemasan alumunium foil
dengan ketebalan 0.05 mm dan menunjukkan nilai terendah pada kemasan
alumunium foil dengan ketebalan 0.08 mm. Berbeda dengan pernyataan
Robertson (1993) bahwa kuantitas dari difusi gas sebanding dengan ketebalan
lapisan. Hal ini dapat disebabkan beberapa faktor diantaranya keanekaragaman
struktur molekul penyusun lembaran atau film dan tingkat kepolaran. Plastik
yang dilapisi logam (metalized plastic) dapat meningkatkan penampilan dan
mengurangi transmisi. Plastik ini dapat melindungi produk dari cahaya.
Penggunaan plastik ini antara lain untuk mengemas kopi, makanan kering, keju,
dan roti panggang (Matsumoto, 2007).
39
sebagai waktu antara produksi dan pengemasan produk dengan waktu saat
produk mencapai titik tertentu yang tidak dapat diterima di bawah kondisi
lingkungan tertentu. Suatu produk dikatakan berada pada kisaran umur
simpannya bila kualitas produk secara umum dapat diterima untuk tujuan
seperti yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih
memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan (Arpah dan Syarief, 2000).
Hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam
produk makanan bersifat akumulatif dan irreversible (tidak dapat balik)
selama penyimpanan, sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut
mengakibatkan mutu makanan tidak dapat diterima lagi. Jangka waktu
akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu makanan tidak lagi dapat
diterima disebut sebagai jangka waktu kadaluarsa. Bahan pangan disebut
rusak apabila bahan pangan tersebut telah kadaluarsa, yaitu telah melampaui
masa simpan optimumnya dan pada umumnya makanan tersebut telah
mengalami penurunan mutu gizi meskipun penampakannya masih bagus
(Syarief dan Halid, 1993).
Penentuan batas kadaluarsa dapat dilakukan dengan menggunakan
metode-metode tertentu. Menurut Ellis di dalam Man dan Jones (1994),
penentuan umur simpan produk dilakukan dengan mengamati produk selama
penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh
konsumen. Penentuan umur simpan didasarkan atas faktor-faktor yang
mempengaruhi umur simpan produk pangan. Faktor-faktor tersebut
diantaranya keadaan alamiah (sifat makanan), mekanisme berlangsungnya
perubahan (misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen), serta kemungkinan
terjadinya perubahan kimia (internal dan eksternal). Faktor lain adalah ukuran
kemasan (volume), kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban), serta
daya tahan kemasan selama transit dan sebelum digunakan terhadap keluar
masuknya gas, air, dan bau termasuk perekatan, penutupan, dan bagian-bagian
yang terlipat (Astawan, 2007). Penentuan umur simpan penting dalam proses
penyimpanan suatu produk. Pengetahuan mengenai umur simpan produk akan
40
dapat mempermudah perancangan sistem pengemasan dan penyimpanan yang
sesuai (Syarief dan Halid, 1993).
41
deteriorasi yang berlangsung. Analisis-analisis yang dilakukan meliputi
analisis fisik, analisis kimia, serta analisis organoleptik.
Perubahan tingkat efek deteriorasi kemudian dihubungkan dengan
perubahan mutu produk atau lebih tepat dengan usable quality. Oleh karena
itu, usable quality menurun selama penyimpanan maka pada saat nilainya
akan mendekati titik tertentu dimana kualitas yang diharapkan tersebut tidak
dimiliki lagi oleh produk pangan itu (Arpah, 2001). Suatu produk memiliki
usable quality 100% pada saat segera setelah selesai diproduksi. Penurunan
laju usable quality disebabkan oleh reaksi deteriorasi yang berlangsung dalam
produk. Penentuan waktu kadaluarsa tidak selalu diputuskan berdasarkan
usable quality 0%, tetapi dapat juga lebih besar dari itu. Beberapa jenis
produk tertentu seperti produk-produk farmasi menggunakan kriteria
kadaluarsa pada titik penurunan usable quality sampai dengan 85% (Arpah,
2001). Analisis penurunan mutu memerlukan beberapa pengamatan yaitu,
harus ada parameter yang diukur secara kuantitatif dan parameter tersebut
mencerminkan keadaan mutu dari produk yang dikemas. Parameter mutu
dapat berupa hasil pengukuran kimiawi, uji organoleptik, uji kadar vitamin C,
uji cita rasa, tekstur, warna, total mikroba dan sebagainya. Parameter
penurunan mutu didasarkan pada parameter yang paling sensitif terhadap
mutu suatu produk (Syarief dan Halid, 1993).
42
yang sering disebut sebagai metode konvensional adalah penentuan tanggal
kadaluarsa dengan cara menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal
sehari-hari dan dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga
mencapai tingkat mutu kadaluarsa. Pendugaan umur simpan produk dilakukan
dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan
yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen.
Metode ASS merupakan metode yang menggunakan suatu kondisi
lingkungan yang dapat mempercepat (Accelerated) terjadinya reaksi-reaksi
penurunan mutu produk pangan. Keuntungan metode ini yaitu waktu
pengujian yang relatif singkat, namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi
yang tinggi (Arpah, 2001). Metode akselerasi pada dasarnya adalah metode
kinetik yang disesuaikan untuk produk pangan tertentu. Model yang
diterapkan pada penelitian akselerasi ini menggunakan dua cara pendekatan.
Pertama, pendekatan kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu
cara pendekatan yang diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan
kadar air atau aktifitas air sebagai kriteria kadaluarsa. Kedua, pendekatan semi
empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius, yaitu suatu cara pendekatan
yang menggunakan teori kinetika yang pada umumnya mempunyai orde
reaksi nol atau satu untuk produk pangan (Arpah, 2001).
Menurut Syarif dan Halid (1993), suhu merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap perubahan mutu pangan. Suhu ruangan yang konstan
akan lebih baik dibandingkan dengan suhu ruangan yang berubah-ubah.
Pendugaan umur simpan seharusnya dilakukan di ruangan dengan suhu tetap.
Metode Arrhenius baik untuk diterapkan dalam penyimpanan produk pada
suhu penyimpanan yang relatif stabil dari waktu ke waktu. Menurut Arpah
(2001), persamaan Arrhenius menunjukkan ketergantungan laju reaksi
deteriorasi terhadap suhu yang dirumuskan sebagai berikut :
43
keterangan :
k = konstanta penurunan mutu
ko = konstanta (tidak bergantung pada suhu)
Ea = energi aktivasi (Kal/mol)
T = suhu mutlak (K)
R = konstanta gas (1,986 Kal/mol K)
Persamaan di atas diubah menjadi :
ln K -Ea/R
1/T
44
Lebih lanjut, besarnya nilai energi aktivasi dapat digolongkan menjadi tiga,
yaitu :
a. Kecil (Ea 2-15 Kal/mol), kerusakan produk diakibatkan karena kerusakan
karotenoid, klorofil atau oksidasi asam lemak.
b. Sedang (Ea 15-30 Kal/mol), kerusakan produk diakibatkan karena
kerusakan vitamin, kerusakan pigmen yang larut air dan reaksi Maillard.
c. Besar (Ea 50-100 Kal/mol), kerusakan produk diakibatkan karena
denaturasi enzim, inaktivasi mikroba dan sporanya.
Labuza (1982) menyatakan penilaian tentang umur simpan dapat
dilakukan dengan kondisi dipercepat (accelerated shelf life test) yang
selanjutnya dapat memprediksi umur simpan yang sebenarnya. Metode ini
dapat dilakukan dengan mengkondisikan bahan pangan pada suhu dan
kelembaban relatif yang tinggi, sehingga kadar air kritis lebih cepat tercapai.
Penentuan umur simpan dengan metode Arrhenius termasuk ke dalam metode
akselerasi ini.
Semakin sederhana model yang digunakan untuk menduga umur
simpan, maka semakin banyak asumsi yang dipakai. Asumsi-asumsi yang
digunakan dalam pendugaan umur simpan metode Arrhenius ini adalah :
a. Perubahan faktor mutu hanya ditentukan oleh satu macam reaksi saja.
b. Tidak terjadi faktor lain yang mengakibatkan perubahan mutu.
c. Proses perubahan mutu dianggap bukan merupakan akibat proses-proses
yang terjadi sebelumnya.
d. Suhu selama penyimpanan tetap atau dianggap tetap.
Beberapa asumsi dasar yang sering digunakan dalam penghitungan
masa simpan menurut Floros dan Granasekharan (1993) sebagai berikut :
a. Mekanisme yang terjadi bergantung pada faktor lingkungan (tekanan
parsial, kelembaban relatif, dan suhu) dan faktor komposisi (pH,
konsentrasi, aktivitas air, dan sebagainya).
b. Laju penurunan mutu ditentukan dengan menghubungkan beberapa hasil
pengukuran objektif dengan hasil penilaian organoleptik dan toksikologi.
45
c. Kemasan diasumsikan bebas dari kebocoran, sehingga karakteistik
penyerapan hanya bergantung pada bahan kemasan saja.
Menurut Labuza (1982), reaksi kehilangan mutu pada makanan
banyak dijelaskan oleh reaksi nol dan satu, dan sedikit pada orde reaksi lain.
a. Reaksi Orde Nol
Penurunan mutu orde reaksi nol adalah penurunan mutu yang
konstan. Reaksi yang termasuk pada ordo nol, laju reaksinya tidak
tergantung pada konsentrasi pereaksinya, dengan kata lain reaksi
berlangsung dengan laju yang tetap. Jenis reaksi ordo nol tidak terlalu
umum terjadi. Tipe kerusakan yang mengikuti kinetika reaksi orde nol
meliputi reaksi kerusakan enzimatis, pencoklatan enzimatis, dan oksidasi.
Adapun contoh reaksi ordo nol lainnya adalah reaksi gas pada permukaan
logam, reaksi dengan katalis enzim pada konsentrasi substrat tinggi, reaksi
fotosintesisi pada hijau daun di siang hari, dan reaksi glukosa dengan
hemoglobin pada darah.
Implikasi dari orde reaksi nol adalah kecepatan penurunan mutu
berlangsung secara tetap pada suhu konstan dan digambarkan dengan
persamaan berikut :
sehingga menjadi :
46
Grafik hubungan waktu penyimpanan dengan perubahan mutu pada
ordo nol adalah berupa garis lurus, dengan slope kemiringan k yang
nilainya konstan. Bentuk umum grafik tersebut terdapat pada Gambar 5.
sehingga menjadi :
47
Grafik ordo satu berupa kurva (bukan garis lurus), namun akan
membentuk garis lurus dalam persamaan logaritmanya, dengan slope
kemiringan k yang nilainya tidak konstan seperti terlihat pada Gambar 6.
Gambar 6. (a) Grafik hubungan waktu dan perubahan mutu ordo satu
(b) Grafik hubungan waktu dan logaritma perubahan mutu ordo
satu (Arpah dan Rahayu, 2003)
48
III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN
B. METODE PENELITIAN
49
instanisasi gula semut. Formulasi minuman Cinna-Ale diadaptasi dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Dulimarta (2000) dengan nomor paten
P002001 00054.. Tahap kristalisasi menggunakan gula pasir dengan
perbandingan gula terhadap filtrat Cinna-Ale (2:1). Diagram alir pembuatan
minuman fungsional Cinna-Ale instan seperti terlihat pada Gambar 7.
Rempah-Rempah
Pemilahan
Pembersihan
Penimbangan
Penghancuran
Kristalisasi
Cinna-Ale Instan
50
Cinna-Ale Analisis Awal / H0
1. Proksimat
Terkemas Metalized Plastic Tanpa Kemasan 2. Kadar Antioksidan
DPPH
Simpan Simpan 3. Kadar VRS
4. Kecerahan Serbuk
5. Kelarutan
T = 350C T = 450C T = 550C T = 280C 6. Organoleptik
t = 50 hari t = 35 hari t = 15 hari t = 10 hari
Analisis
1. Kadar air
2. Kadar antioksidan
3. Kadar VRS
4. Kecerahan Serbuk
5. Kelarutan
6. Organoleptik
51
3. Pendugaan Umur Simpan dengan Metode Arrhenius
Model Arrhenius merupakan jenis pendekatan yang
mengkuantifikasikan pengaruh suhu terhadap reaksi deteriorasi. Persamaan
Arrhenius menunjukkan kebergantungan konstanta laju reaksi terhadap suhu
dalam kisaran suhu yang luas.
Persamaan model Arrhenius :
keterangan :
k = konstanta penurunan mutu
ko = konstanta (tidak bergantung pada suhu)
Ea = energi aktivasi (Kal/mol)
T = suhu mutlak (K)
R = konstanta gas (1,986 Kal/mol K)
Dengan mengubah persamaan tersebut di atas maka menjadi :
52
Keterangan :
t = prediksi umur simpan (hari)
Ao = nilai mutu awal
At = nilai mutu produk yang tersisa setelah waktu t
k = konstanta penurunan mutu pada suhu normal
C. PROSEDUR ANALISIS
53
Penetapan kadar air dilakukan dengan metode oven. Prinsip dari
metode ini adalah menguapkan air yang ada dalam bahan pangan dengan
pemanasan. Cawan kosong dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C selama
10 menit. Sebanyak 1 - 2 gram sampel ditimbang di dalam cawan yang telah
dikeringkan dan diketahui bobotnya, lalu dikeringkan dalam oven pada suhu
700C, 25 mmHg selama 2 jam. Lalu didinginkan dalam desikator dan
ditimbang sampai bobot konstan. Kadar air dihitung dengan persamaan :
54
Keterangan :
A = Berat labu lemak + lemak hasil ekstraksi (g)
B = Berat labu lemak kosong (g)
55
aerasi tersebut segera ditambahkan 5 ml H2SO4 6N, dan 3 ml KI 20%. Isi labu
reaksi dituangkan ke dalam erlenmeyer. Titrasi dilakukan dengan
menggunakan Natrium tiosulfat (Na2S203) 0.02N sampai terbentuk warna
kuning muda. Indikator kanji ditambahkan pada akhir penitrasi. Titrasi
dihentikan apabila warna biru hilang. Hal yang sama juga dilakukan terhadap
blanko. Kadar VRS dihitung dengan persamaan
Keterangan :
a = ml titran untuk menitrasi blanko
b = ml titran untuk menitrasi contoh
N = normalitas Na-tiosulfat
56
Keterangan :
C = kapasitas antioksidan dari kurva standar (mg/g)
FP = Faktor Pengenceran
M = Bobot sampel kering (g)
FK = Faktor konversi
57
beserta residu dikeringkan dalam oven 1050C selama 3 jam, dibiarkan dlam
desikator dan ditimbang.
Keterangan :
a = berat kertas saring + residu (g)
b = berat kertas saring kering (g)
c = berat sampel awal (g)
d = kadar air sampel (%bb)
58
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISTIK PRODUK
Tabel 4. Hasil pengujian analisis proksimat dan standar SNI minuman serbuk
tradisional (SNI 01-4320-1996) (BSN, 1996 b)
No. Parameter SNI 01-4320-1996 Pengujian
Keadaan :
- Bau Normal Normal
1.
- Rasa Normal Normal
- Warna Normal Normal
2. Kadar air (% bb) Maks. 3.0 0.90
3. Kadar abu (% bb) Maks 1.5 0.36
4. Kadar Lemak Kasar (% bb) - 0.52
5. Kadar Protein (% bb) - 2.40
6. Kadar Karbohidrat (%bb) - 95.83
59
Gambar 9. Cinna-Ale instan (a) Serbuk (b) Terkemas metalized plastic
60
INFORMASI NILAI GIZI
61
tinggi suhu, maka reaksi akan meningkat dua kali lipat. Berdasarkan teori
tersebut, pada penelitian ini ditetapkan bahwa pengambilan dan pengukuran
parameter mutu produk pada suhu 350C setiap 10 hari , 450C setiap 7 hari , dan
550C setiap 3 hari . Selain pengukuran sampel pada ketiga inkubator tersebut,
dilakukan pula pengukuran perubahan parameter mutu produk yang disimpan di
suhu ruang (280C) dengan kondisi terbuka atau tanpa kemasan. Hal ini dilakukan
untuk mengetahui umur simpan Cinna-Ale instan dengan kondisi terbuka dan
disimpan di suhu ruang.
62
2
(Ablanko-Asampel)
y = 0.018x - 0.489
1.5
R² = 0.995
Absorbansi
1
0.5
0
0 20 40 60 80 100 120
Konsentrasi Asam Askorbat (ppm)
526.47
Aktivitas Antioksidan
400
300
200
100
0
serbuk jahe serbuk serbuk Cinna Ale
kunyit asam temulawak Instan
63
Secara umum, aktivitas antioksidan menurun seiring dengan semakin
lamanya waktu simpan pada masing-masing suhu penyimpanan. Aktivitas
antioksidan pada penyimpanan suhu ruang (280C) mengalami penurunan yang
tajam. Hal ini disebabkan produk tidak dikemas, sehingga komponen
polifenol mudah teroksidasi oleh oksigen, panas, cahaya, katalisator logam,
maupun enzim-enzim seperti polifenol oksidase yang dapat mempercepat
terjadinya reaksi tersebut. Adanya oksidan seperti oksigen akan menyebabkan
senyawa flavonoid dalam minuman mendonorkan gugus hidroksilnya (-OH)
untuk mempertahankan kestabilan minuman. Senyawa flavonoid tersebut
akhirnya kehilangan gugus –OH yang mengakibatkan kehilangan kemampuan
mendonorkan elektron untuk menetralkan senyawa radikal (Pratt dan Hudson,
1992). Penurunan aktivitas antioksidan juga terjadi pada penyimpanan produk
di suhu lainnya. Penurunan aktivitas antioksidan Cinna-Ale instan terkemas
metalized plastic disebabkan adanya senyawa oksigen residual di dalam
kemasan. Suhu penyimpanan (panas) juga akan merusak kestabilan senyawa
flavonoid yang tekandung dalam produk. Perubahan kadar antioksidan selama
penyimpanan seperti terlihat pada Lampiran 1 dan Gambar 13.
600.00
526.47
Kadar Antioksidan
(AEAC/g sampel)
550.00
500.00 485.08
450.00
471.80
400.00 413.08
350.00
310.75
300.00
0 10 20 30 40 50 60
lama penyimpanan (hari)
Suhu 280C tanpa kemasan Suhu 450C terkemas metalized plastic
Suhu 350C terkemas metalized plastic Suhu 550C terkemas metalized plastic
64
2. Kelarutan Minuman Cinna-Ale Instan
Tingkat kelarutan merupakan salah satu parameter yang penting untuk
produk serbuk, terutama minuman instan. Pengukuran tingkat kelarutan
dilakukan dengan metode gravimetri. Tingkat kelarutan serbuk instan
merupakan kemampuan untuk merehidrasi, sehingga seluruh komponen
terlarut dapat larut dengan baik. Semakin besar nilai kelarutan berarti produk
tersebut akan semakin cepat larut, mempermudah konsumen dalam penyajian
produk, dan mengindikasikan mutu produk semakin baik. Kelarutan produk
dipengaruhi oleh ukuran partikel dan kadar air produk. Semakin kecil ukuran
partikel, maka luas permukaan semakin besar dan mudah larut.
Koswara (1995), mengatakan bahwa pada produk berbentuk tepung
konsentrat (instan), semakin tinggi kadar air produk, semakin sulit produk
dilarutkan dalam air karena produk cenderung membentuk butiran yang lebih
besar tetapi tidak porous. Produk awal Cinna-Ale instan yang berbentuk
butiran kecil, halus, dan berpori diperoleh dari proses pembuatan produk yang
telah optimal. Kelarutan menentukan mutu dari produk serbuk dengan
komponen volatil yang tinggi. Semakin besar kelarutan maka diharapkan akan
semakin banyak komponen flavor terlarut.
Semakin lama waktu penyimpanan, kelarutan akan semakin menurun.
Hal ini disebabkan terjadinya peningkatan kadar air pada produk yang
menyebabkan terjadinya perubahan struktur fisik serbuk Cinna-Ale instan,
dari serbuk halus, kecil dan berpori menjadi butiran yang lebih besar tetapi
tidak porous. Berdasarkan penelitian, tidak terjadi penurunan yang tajam pada
parameter ini. Tingkat kelarutan awal produk bernilai 97.34%. Penurunan
kelarutan berlangsung fluktuatif namun tidak signifikan berdasarkan uji
Anova yang dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil lengkap uji Duncan
terdapat pada Lampiran 3. Fluktuasi ini dapat disebabkan oleh waktu
pengadukan yang kurang dikontrol sehingga menyebabkan perbedaan jumlah
65
produk yang terlarut dalam waktu tertentu. Hasil lengkap perubahan kelarutan
selama penyimpanan seperti terlihat pada Tabel 4.
Tabel 5. Perubahan tingkat kelarutan Cinna-Ale instan di berbagai suhu penyimpanan
Kelarutan serbuk Cinna-Ale instan (g/100g bk)
Hari Suhu Hari Suhu Hari Suhu Hari Suhu
ke- 280C ke- 350C ke- 450C ke- 550C
0 97.37a 0 97.38 a 0 97.37 a 0 97.37 a
2 97.37 a 10 96.39 a 7 96.94 a 3 96.78 b
4 97.31 a 20 96.92 a 14 96.34 a 6 96.82 b
6 96.51 b 30 95.73 a 21 97.49 a 9 96.53 b
8 96.45 b 40 95.41 a 28 95.97 a 12 96.53 b
10 96.04 b 50 95.51 a 35 95.73 a 15 96.46 b
Keterangan : a,b huruf yang sama menunjukkan sampel tidak berbeda nyata pada elang kepercayaan
95%. Huruf yang berbeda menunjukkan sampel yang berbeda nyata pada selang
kepercayaan 95%.
66
brazilein berwarna kuning, pada pH 6-7 berwarna merah, dan pada pH di atas
8 berwarna merah keunguan (Adawiyah dan Indriati, 2003).
Penelitian ini mengamati perubahan warna selama penyimpanan di
tingkat suhu yang berbeda. Perubahan intensitas warna diukur dengan alat
chromameter dengan sistem notasi Hunter. Menurut Clysdale, et al., (1998),
penampakan visual yang baik akan berkolerasi dengan nilai L yang tinggi.
Kecerahan Cinna-Ale instan secara umum menunjukkan penurunan warna
Cinna-Ale instan atau menjadi lebih gelap. Hal ini berkaitan dengan
kandungan air di dalam produk. Ketika produk disimpan, serbuk Cinna-Ale
mengalami penyerapan air dan gas melalui pori-pori kemasan.Hasil lengkap
perubahan kecerahan serbuk Cinna-Ale terlihat pada Lampiran 3.
Perubahan warna yang terjadi pada serbuk Cinna-Ale instan
dipengaruhi oleh beberapa hal selama proses produksi maupun penyimpanan.
Pemanasan dengan suhu yang tinggi menyebabkan terjadinya dekomposisi
dan perubahan struktur pigmen. Perubahan kecenderungan warna dapat pula
disebabkan oleh perubahan kimia, oksidasi flavonol dan oksidasi brazilin.
Kondisi suhu penyimpanan berpengaruh terhadap warna produk yang
berkaitan dengan ekspos cahaya, transmisi uap air, dan oksigen dari
lingkungan yang mempercepat terjadinya reaksi oksidasi. Penurunan tingkat
kecerahan serbuk ditunjukkan pada Gambar 14.
55.00
51.17
Tingkat Kecerahan
50.00 49.58
49.07
48.19
45.00
43.06
40.00
0 10 20 30 40 50 60
Lama Penyimpanan (Hari)
Suhu 280C tanpa kemasan
Suhu 450C terkemas metalized plastic
Suhu 350C terkemas metalized plastic
Suhu 550C terkemas metalized plastic
67
Gambar 14. Perubahan tingkat kecerahan Cinna-Ale instan selama
penyimpanan di berbagai suhu penyimpanan
4. Kadar Volatile Reducing Substance Minuman Cinna-Ale Instan
Volatile Substance dihasilkan dari komponen organik alami pada
minyak atsiri pada tanaman rempah yang bersifat volatil, sehingga
memberikan aroma spesifik (Raineccius, 1994). Komponen aroma Cinna-Ale
instan merupakan komponen volatil yang selama penyimpanan mengalami
perubahan komponen di dalam serbuk Cinna-Ale. Diduga selama
penyimpanan, masuknya oksigen akan menimbulkan interaksi dengan serbuk
Cinna-Ale. Selain itu, terjadi transmisi gas keluar yang menyertakan
komponen volatil. Penurunan kadar volatile substance akan berdampak pada
menurunnya ketajaman aroma khas rempah. Penurunan kadar komponen
volatil dapat diukur dengan menggunakan VRS apparatus. Kadar VRS
memiliki kecenderungan menurun pada berbagai suhu penyimpanan yang
digunakan. Semakin tinggi suhu penyimpanan, semakin tinggi pula penurunan
kadar VRS selama masa penyimpanan. Semakin lama produk disimpan, maka
penguapan bahan-bahan volatil yang dikandungnya akan semakin besar
(Labuza,1982). Kadar VRS awal produk Cinna-Ale instan sebesar 10.54
Meq/g. Hasil lengkap perubahan kadar VRS selama penyimpanan seperti
terlihat pada Lampiran 4 dan ditunjukkan pada Gambar 15.
11.0
10.54
10.16
10.0
Kadar VRS
9.70
9.0 8.93
8.70
8.0
0 10 20 30 40 50 60
Lama Penyimpanan (Hari)
Suhu 280C tanpa kemasan Suhu 450C terkemas metalized plastic
Suhu 350C terkemas metalized plastic Suhu 550C terkemas metalized plastic
68
Gambar 15. Kadar VRS Cinna-Ale instan selama penyimpanan di berbagai
suhu penyimpanan
5. Kadar Air Minuman Cinna-Ale Instan
Kadar air merupakan parameter dalam pengawasan proses
pengeringan dan terkadang digunakan sebagai standar mutu pada beberapa
peraturan internasional untuk produk serbuk. Hal tersebut dikarenakan serbuk
memiliki sifat higroskopis tinggi, sehingga dapat mengikat air dari luar dan
menyebabkan penggumpalan. Kadar air awal produk Cinna-Ale instan sebesar
0.90 dan selama penyimpanan akan terus bertambah, sehingga memungkinkan
kerusakan produk berupa penggumpalan. Perubahan sifat fisik sangat nyata
untuk produk bumbu kering jika kadar air meningkat. Bumbu instan akan
mengalami aglomerasi. Hal ini disebabkan peningkatan daya kohesi dan
kompresibilitas serta menurunkan densitas kamba (Hirasa et al., 1998).
Berdasarkan pengamatan, terjadi kenaikan kadar air selama
penyimpanan di semua suhu penyimpanan. Semakin tinggi suhu
penyimpanan, maka tingkat kenaikan kadar air produk akan semakin
meningkat. Namun, peningkatan kadar air Cinna-Ale instan tidak terlalu
besar. Hal ini dipengaruhi oleh rendahnya permeabilitas kemasan metalized
plastic terhadap uap air. Hasil perubahan kadar air selama penyimpanan
seperti terlihat pada Lampiran 5 dan ditunjukkan pada Gambar 16.
1.60
1.56
1.50
1.40
Kadar Air (%)
1.30 1.29
1.20
1.10 0.98
1.00
0.90 0.963
0.80 0.91
0 10 20 30 40 50 60
Lama Penyimpanan (Hari)
Suhu 280C tanpa kemasan Suhu 450C terkemas metalized plastic
Suhu 350C terkemas metalized plastic Suhu 550C terkemas metalized plastic
69
Gambar 16. Perubahan kadar air Cinna-Ale instan selama penyimpanan di
berbagai suhu penyimpanan
6. Korelasi Data Organoleptik dan Data Kuantitatif
Junilgaard (1999) menyatakan bahwa evaluasi sensori dilakukan
terhadap beberapa atribut pada produk pangan yaitu penampakan, aroma,
konsistensi dan tekstur, serta rasa. Lebih lanjut, evaluasi sensori dapat
digunakan untuk berbagai tujuan seperti pemeliharaan mutu produk, optimasi,
dan peningkatan mutu produk, pengembangan produk baru, dan pendugaan
pasar yang potensial. Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa parameter
kinetik hanya dapat diturunkan dari persamaan mekanistik dan semi empiris
sehingga tidak layak diturunkan dari hasil pengujian umur simpan yang
didasarkan pada uji organoleptik (yang berdasarkan teori statistika) (Arpah,
2007). Namun, data organoleptik dapat dikorelasikan dengan data kualitatif.
Data organoleptik menjadi data pendukung data hasil penelitian kimia, fisik
dan mikrobiologi.
Uji rating kesukaan dilakukan terhadap penampakan, aroma dan
kecerahan serbuk Cinna-Ale instan. Panelis yang digunakan 30 orang panelis
tidak terlatih (Waysima dan Adawiyah, 2008). Sampel yang diberikan kepada
panelis yaitu Cinna-Ale instan terkemas metalized plastic yang disimpan pada
suhu 300C, 450C, dan 550C serta Cinna-Ale instan tanpa kemasan yang
disimpan di suhu ruang (280C). Penilaian panelis terhadap aroma serbuk
dituliskan dalam bentuk skala hedonik 1-7 dengan tingkat kesukaan yang
semakin meningkat seiring semakin tingginya angka skala. Skala tingkat
kesukaan yang digunakan adalah 1) Sangat tidak suka, 2) Tidak suka, 3) Agak
tidak suka, 4) Netral, 5) Agak suka, 6) Suka, 7) Sangat suka
Penampakan awal Cinna-Ale instan berupa serbuk halus. Selama
penyimpanan, serbuk Cinna-Ale akan mengalami perubahan seperti serbuk
menjadi lebih besar dan warna menjadi lebih gelap. Hasil penilaian kesukaan
panelis terhadap penampakan umum cenderung menurun dengan semakin
lama waktu penyimpanan. Kesukaan panelis menurun karena dipengaruhi
70
oleh serbuk Cinna-Ale yang semakin lama terlihat semakin besar tetapi belum
menggumpal. Selain itu, serbuk Cinna-Ale dirasakan agak kasar. Skor
penampakan awal serbuk Cinna-Ale instan sebesar 6.23, yang berarti panelis
menyukai penampakan produk ini. Penurunan yang terjadi pada Cinna-Ale
terkemas metalized plastic yang disimpan di suhu 350C, 450C, dan 550C di
akhir pengamatan berturut-turut sebesar 5.47, 5.30, dan 5.43. Produk yang
mengalami penurunan kualitas penampakan ini agak disukai oleh panelis.
Skor Cinna-Ale instan tanpa kemasan yang disimpan di suhu ruang (280C)
sebesar 3.83. Skor ini menandakan produk sudah agak tidak disukai oleh
panelis, namun masih dapat diterima. Berdasarkan uji Kruskall Wallis
terhadap skor penampakan, sampel berbeda nyata di setiap hari pengamatan
pada berbagai suhu pada selang kepercayaan 95%.. Data uji organoleptik
penampakan seperti terlihat pada Lampiran 6 dan hasil uji Kruskal-Wallis
seperti terlihat pada Lampiran 7.
Komponen aroma Cinna-Ale instan merupakan komponen volatil yang
selama penyimpanan mengalami perubahan komponen di dalam serbuk
Cinna-Ale. Kualitas serbuk rempah-rempah umumnya dinilai melalui
aromanya oleh panelis berpengalaman. Skor hedonik awal atribut warna
sebesar 6.87 yang menunjukkan panelis sangat menyukai aroma dari produk
ini. Selama penyimpanan, aroma serbuk Cinna-Ale mengalami penurunan
berdasarkan uji hedonik. Kesukaan panelis pada akhir penyimpanan produk
terkemas yang disimpan di suhu 350C, 450C, dan 550C berturut-turut sebesar
5.97, 5.60, dan 5.53. Cinna-Ale instan tanpa kemasan yang disimpan pada
suhu ruang (280C) memiliki skor 4.53. Hasil tersebut menunjukkan panelis
mampu mengetahui adanya perubahan aroma yang bersumber dari komponen
volatil produk. Perubahan kesukaaan panelis dari menyukai aroma produk
menjadi suka hingga agak suka disebabkan karena penurunan aroma.
Panelis agak menyukai aroma serbuk Cinna-Ale tanpa kemasan yang
disimpan di suhu ruang. Aroma awal serbuk Cinna-Ale tajam dan
menyegarkan, namun selama penyimpanan aroma menjadi semaki pudar.
71
Aroma rempah-rempah serbuk Cinna-Ale sudah tidak terbaui lagi pada
penyimpanan di suhu ruang di hari kesepuluh. Hal ini disebabkan komponen
volatil yang disimpan tanpa kemasan lebih banyak yang menguap. Hasil uji
kesukaan terhadap aroma berbanding lurus dengan hasil analisis kualitatif
Volatile Reducing Substance yang juga menunjukkan penurunan dengan
semakin tinggi suhu dan lama penyimpanan. Berdasarkan uji Kruskall-Wallis
terhadap skor aroma, sampel berbeda nyata pada setiap hari pengamatan di
masing-masing suhu penyimpanan pada selang kepercayaan 95%.. Data uji
organoleptik aroma seperti terlihat pada Lampiran 8 dan hasil uji Kruskall-
Wallis seperti terlihat pada Lampiran 9.
Warna sangat menentukan mutu suatu bahan pangan, bahkan sebelum
faktor lain dipertimbangkan maka secara visual faktor warna tampil lebih
dulu. Kesukaan panelis pada akhir penyimpanan produk terkemas yang
disimpan di suhu 350C, 450C, dan 550C berturut-turut sebesar 4.87, 4.77, dan
4.70. Cinna-Ale instan tanpa kemasan yang disimpan pada suhu ruang (28 0C)
memiliki skor 3.37. Hasil tersebut menunjukkan panelis mampu mengetahui
adanya perubahan warna produk. Perubahan kesukaaan panelis dari menyukai
warna produk menjadi agak suka hingga netral disebabkan karena selama
penyimpanan serbuk menjadi lebih gelap dan tidak cerah. Panelis agak tidak
menyukai kecerahan serbuk Cinna-Ale tanpa kemasan yang disimpan di suhu
ruang. Hasil uji kesukaan terhadap warna berbanding lurus dengan hasil
analisis warna metode chromameter yang juga menunjukkan penurunan
dengan semakin tinggi suhu dan lama penyimpanan. Berdasarkan uji
Kruskall-Wallis terhadap skor warna, sampel berbeda pada setiap hari
pengamatan di masing-masing suhu penyimpanan pada selang kepercayaan
95%. Data uji organoleptik warna seperti terlihat pada Lampiran 10 dan hasil
uji Kruskall-Wallis seperti terlihat pada Lampiran 11.
72
C. UMUR SIMPAN
73
Penetapan batas minimum mutu adalah sebesar 85% aktivitas
antioksidan yaitu sebesar 447.50 ppm AEAC untuk tetap mengklaim produk
ini sebagai minuman fungsional kaya antioksidan. Hal ini bertujuan ketika
waktu kadaluarsa berakhir, produk yang berada di tangan konsumen masih
mengandung antioksidan. Nilai 447.50 ppm merupakan cut off level yang
ditetapkan pada saat produk dinyatakan telah berakhir umur simpannya. Nilai
ini masih memenuhi persyaratan US-FDA yang mengatur produk dengan
klaim antioksidan. Produk yang diklaim sebagai pangan tinggi antioksidan
harus mengandung 20% atau lebih dari nilai RDI (Reference Daily Intakes)
per sajian (FDA, 2008). Aktivitas antioksidan minuman Cinna-Ale instan
dinyatakan dalam ppm AEAC (Asam Ascorbic Acid Equivalent Antioxidant
Capacity) atau setara dengan vitamin C, sehingga digunakan RDI vitamin C
yaitu sebesar 60 mg. Pembuktian kesetaraan aktivitas antioksidan di produk
akhir dengan peraturan klaim tinggi antioksidan US FDA sebagai berikut :
High antioxidant = 20% RDI vitamin C = 20% x 60 mg = 12 mg per sajian
Batas aktivitas antioksidan produk akhir sebesar 447.50 ppm AEAC atau
447.50 mg AEAC / 1000 g produk.
Jumlah per sajian = 30 g Cinna-Ale instan.
Pada produk akhir terkandung =
74
parameter kadar air sebesar 3% mengikuti syarat SNI 01-4320-1996.
Penetapan kadar 3% juga untuk menjaga produk yang diterima oleh
konsumen dari pertumbuhan kapang maupun mikroba patogen khususnya
yang dapat tumbuh dalam lingkungan anaerob. Tabulasi nilai kritis Cinna-Ale
instan seperti dilihat pada Tabel 5.
Tabel 6. Nilai awal dan nilai kritis minuman fungsional Cinna-Ale instan
berdasarkan beberapa parameter
Parameter Nilai Awal Nilai Kritis Sumber Acuan
Aktivitas 526.47 ppm 447.50 ppm 85% usable quality
Antioksidan AEAC AEAC (Arpah, 2001)
85% usable quality
Kelarutan 97.37% 82.76%
(Arpah, 2001)
Kecerahan 85% usable quality
51.17 43.50
serbuk (Arpah, 2001)
Kadar Air 0.91%. 3.00% SNI 01-4320-1996
Kadar VRS 10.54 meq/g 5.00 meq/g US Standar (FAO)
75
R2 semakin mendekati 1, korelasi antardata akan semakin baik. Kurva orde
reaksi kelima parameter pengamatan di masing-masing suhu penyimpanan
terdapat pada Lampiran 6. Nilai persamaan grafik dan nilai R2 parameter mutu
di berbagai penyimpanan terdapat pada Tabel 6.
76
55** Y = -0.107x + 10.451 0.986 Y = -0.011x + 2.348 0.991
Keterangan : * produk tanpa kemasan **) produk terkemas
)
a. Aktivitas Antioksidan
Aktivitas antioksidan Cinna-Ale instan pada produk awal
tergolong tinggi yaitu sebesar 526.47 ppm AEAC. Penetapan batas
minimum aktivitas antioksidan berdasarkan 85% usable quality yaitu
sebesar 447.50 ppm AEAC. Berdasarkan perhitungan sebelumnya,
perubahan aktivitas antioksidan mengikuti orde reaksi satu.
Produk dengan penyimpanan pada 280C dengan kondisi tanpa
kemasan memiliki nilai k dan umur simpan :
Ao = 526.47 ppm AEAC
77
At = 386.59 ppm AEAC
A = 447.50 ppm AEAC
t = 10 hari
Dengan cara yang sama, diperoleh nilai k dan umur simpan produk
pada suhu penyimpanan 350C, 450C, 550C dengan kondisi terkemas
metalized plastic seperti pada Tabel 7. Berdasarkan Tabel 7 diketahui
bahwa nilai k produk di suhu 280C tanpa kemasan memiliki nilai k yang
lebih besar dibandingkan dengan nilai k suhu penyimpanan yang lebih
tinggi dengan kondisi produk terkemas. Berdasarkan orde reaksi satu,
produk yang disimpan di suhu 280C tanpa kemasan menunjukkan tingkat
kerusakan yang terjadi paling cepat dibandingkan kondisi penyimpanan
pada suhu 350C, 450C, dan 550C dengan kondisi terkemas.
78
Besarnya nilai k berpengaruh terhadap umur simpan produk.
Berdasarkan penghitungan umur simpan produk di masing-masing suhu
penyimpanan mengikuti orde reaksi satu, diketahui bahwa semakin tinggi
suhu penyimpanan maka umur simpan Cinna-Ale instan semakin singkat.
Hal ini bisa dilihat bahwa produk terkemas yang disimpan pada suhu 35 0C
umur simpannya 33 hari, pada suhu 450C umur simpannya 24 hari, dan
pada suhu 550C umur simpannya 10 hari. Umur simpan Cinna-Ale yang
disimpan di suhu ruang tanpa kemasan lebih rendah yaitu 5 hari.
Berdasarkan perhitungan nilai k dan umur simpan produk, semakin tinggi
suhu penyimpanan akan menyebabkan semakin tinggi nilai kelajuan reaksi
(k) dan semakin singkat umur simpan produk. Data di atas juga
menunjukkan pengemasan berpengaruh terhadap umur simpan Cinna-Ale
instan. Meskipun produk disimpan di suhu yang lebih rendah (28 0C), jika
tidak dikemas, maka umur simpan produk akan jauh lebih singkat. Hal ini
terjadi karena produk tidak memiliki penghalang, sehingga produk
mengalami kontak langsung dengan faktor deteriorasi.
79
Dengan cara yang sama, diperoleh nilai k dan umur simpan produk
pada suhu penyimpanan 350C, 450C, 550C dengan kondisi terkemas
metalized plastic seperti pada Tabel 8 :
80
Data di atas juga menunjukkan pengemasan berpengaruh terhadap umur
simpan Cinna-Ale instan. Meskipun produk disimpan di suhu yang lebih
rendah (280C), jika tidak dikemas dengan metalized plastic, maka umur
simpan produk akan jauh lebih singkat.
Dengan cara yang sama, diperoleh nilai k dan umur simpan produk
pada suhu penyimpanan 350C, 450C, 550C dengan kondisi terkemas
metalized plastic seperti pada Tabel 9. Nilai k untuk suhu penyimpanan
280C tanpa kemasan memiliki nilai k yang lebih besar dibandingkan
dengan nilai k suhu penyimpanan yang lebih tinggi pada produk terkemas.
Tabel 10. Nilai konstanta perubahan mutu dan umur simpan Cinna-Ale
instan parameter kecerahan serbuk pada orde reaksi terpilih
Parameter Mutu Suhu ( C ) Nilai k Umur Simpan (hari)
28* 0.545 14
35** 0.104 74
Kecerahan serbuk
45** 0.146 52
55** 0.261 29
Keterangan : *) produk tanpa kemasan **) produk terkemas
81
Besarnya nilai k berpengaruh terhadap umur simpan produk.
Berdasarkan penghitungan umur simpan produk di masing-masing suhu
penyimpanan mengikuti orde reaksi nol, diketahui bahwa semakin tinggi
suhu penyimpanan maka umur simpan Cinna-Ale instan semakin singkat.
Cinna-Ale yang disimpan di suhu ruang tanpa kemasan memiliki umur
simpan yang lebih rendah yaitu hanya 14 hari berdasarkan kecerahan
serbuknya. Berdasarkan perhitungan nilai k dan umur simpan produk,
semakin tinggi suhu penyimpanan akan menyebabkan semakin tinggi nilai
kelajuan reaksi (k) dan semakin singkat umur simpan produk. Data di atas
juga menunjukkan pengemasan berpengaruh terhadap umur simpan
Cinna-Ale instan. Meskipun produk disimpan di suhu yang lebih rendah
(280C), jika tidak dikemas dengan metalized plastic, maka umur simpan
produk akan jauh lebih singkat.
82
Dengan cara yang sama, diperoleh nilai k dan umur simpan
produk pada suhu penyimpanan 350C, 450C, 550C dengan kondisi
terkemas metalized plastic seperti pada Tabel 10. Nilai k untuk suhu
penyimpanan 280C tanpa kemasan memiliki nilai k yang lebih besar
dibandingkan dengan nilai k suhu penyimpanan yang lebih tinggi dengan
kondisi produk terkemas. Berdasarkan orde reaksi satu, besarnya nilai k
pada produk yang disimpan di suhu 280C tanpa kemasan menunjukkan
tingkat kerusakan paling cepat dibandingkan dengan kondisi penyimpanan
pada suhu 350C, 450C, dan 550C dengan kondisi terkemas.
Tabel 11. Nilai konstanta perubahan mutu dan umur simpan Cinna-Ale
instan berdasarkan kadar VRS pada orde reaksi terpilih
Parameter Mutu Suhu ( C ) Nilai k Umur Simpan (hari)
28* 0.012 63
35** 0.002 376
Kadar VRS
45** 0.005 141
55** 0.011 67
) )
Keterangan : * produk tanpa kemasan ** produk terkemas
83
deteriorasi parameter kadar VRS yaitu uap air dan udara (oksigen) yang
menguapkan komponen volatil produk.
Dengan cara yang sama, diperoleh nilai k dan umur simpan produk
pada suhu penyimpanan 350C, 450C, 550C dengan kondisi terkemas
metalized plastic seperti pada Tabel 11.
Tabel 12. Nilai konstanta perubahan mutu dan umur simpan Cinna-Ale
instan berdasarkan parameter kadar air pada orde reaksi terpilih
28* 0.042 28
Kadar Air
35** 0.005 247
84
45** 0.006 204
55** 0.024 51
Keterangan : *) produk tanpa kemasan **) produk terkemas
Berdasarkan Tabel 11, dapat diketahui bahwa nilai k untuk suhu
penyimpanan 280C tanpa kemasan memiliki nilai k yang lebih besar
dibandingkan dengan nilai k suhu penyimpanan yang lebih tinggi dengan
kondisi produk terkemas. Besarnya nilai k berpengaruh terhadap umur
simpan produk. Berdasarkan penghitungan umur simpan produk di
masing-masing suhu penyimpanan mengikuti orde reaksi satu, diketahui
bahwa semakin tinggi suhu penyimpanan maka umur simpan Cinna-Ale
instan semakin singkat. Hal ini bisa dilihat bahwa produk terkemas yang
disimpan pada suhu 350C umur simpannya 247 hari, pada suhu 450C umur
simpannya 204 hari, dan pada suhu 550C umur simpannya 51 hari.
Berdasarkan perhitungan nilai k dan umur simpan produk, semakin tinggi
suhu penyimpanan akan menyebabkan semakin tinggi nilai kelajuan reaksi
(k) dan semakin singkat umur simpan produk. Hal ini berkaitan dengan
semakin cepatnya peningkatan kadar air dalam bahan pangan. Semakin
meningkatnya suhu, semakin tinggi pula uap air dan udara yang dapat
melewati kemasan. Uap air dan udara yang melewati kemasan akan masuk
dan terserap oleh produk. Hal ini sesuai dengan Labuza (1982), semakin
tinggi suhu, laju reaksi berjalan semakin cepat.
Menurut Labuza (1982), semakin tinggi suhu maka laju transmisi
uap air ke dalam kemasan juga semakin tinggi. Semakin meningkatnya
suhu, semakin tinggi pula uap air dan udara yang dapat melewati
kemasan. Uap air dan udara yang melewati kemasan akan masuk dan
terserap oleh produk. Data di atas menunjukkan pengemasan berpengaruh
terhadap umur simpan Cinna-Ale instan. Meskipun produk disimpan di
suhu yang lebih rendah (280C), jika tidak terkemas metalized plastic,
maka umur simpan produk akan jauh lebih singkat. Hal ini terjadi karena
produk tidak memiliki penghalang, sehingga produk mengalami kontak
85
langsung dengan faktor deteriorasi, terutama uap air yang meningkatkan
kadar air pada produk. Umur simpan Cinna-Ale instan di suhu
pengamatan pada orde reaksi terpilih ditabulasikan dalam Tabel 12.
Tabel 13. Tabulasi umur simpan Cinna-Ale instan di suhu pengamatan
pada orde reaksi terpilih
86
Energi aktivasi adalah energi minimum yang harus dipenuhi agar reaksi
dapat berjalan. Menurut Labuza (1982), energi aktivasi reaksi adalah konstanta
yang nilainya tetap untuk suatu jenis reaksi tertentu serta tidak dipengaruhi oleh
perubahan suhu. Energi aktivasi perlu diketahui untuk memprediksi reaksi yang
terjadi pada perubahan mutu serta untuk melakukan validasi mengenai reaksi
yang terjadi. Pengaruh suhu terhadap kinetika proses kadaluarsa guna
mendapatkan energi aktivasi reaksi dapat dilakukan dengan dua jenis pendekatan,
pertama pendekatan model Arrhenius dan kedua pendekatan model Linear
(Labuza, 1982). Pendekatan Arrhenius dilakukan dengan menunjukkan
ketergantungan konstanta laju reaksi terhadap suhu yang lebar. Pendekatan model
linear dilakukan bila tidak tersedia banyak data untuk kisaran suhu yang lebar
atau bila pengaruh suhu hanya akan dilihat pada suatu kisaran yang sempit.
Pendekatan linear juga digunakan untuk menghitung energi aktivasi hasil
perhitungan umur simpan yang menerapkan metode organoleptik (Arpah, 2007).
Menurut Lund (1975) di dalam Arpah (2007), kisaran energi aktivasi
dalam produk pangan antara 2 kkal/mol hingga 150 kkal/mol. Kisaran ini
kemudian dibagi menjadi tiga golongan reaksi yaitu reaksi dengan energi aktivasi
rendah (2 kkal/mol-15 kkal/mol), seperti pada reaksi oksidasi lipida dan reaksi
degradasi vitamin. Kedua, reaksi dengan energi aktivasi sedang (15 kkal/mol-30
kkal/mol), seperti reaksi pencoklatan non-enzimatik. Ketiga, reaksi dengan energi
aktivasi tinggi (30 kkal/mol-150 kkal/mol). Labuza (1982), yang mempelajari
reaksi pencoklatan pada susu bubuk melaporkan nilai energi aktivasi yang lebih
tinggi dari kisaran yang telah diberikan Lund (1975). Dilaporkan pula nilai energi
aktivasi degradasi vitamin C di dalam larutan adalah 12.9 kkal/mol. Beberapa
peneliti melaporkan nilai energi aktivasi yang lebih besar dari kisaran yang telah
diberikan oleh Lund (1975). Salah satunya, energi aktivasi dari reaksi pencoklatan
nonenzimatik berkisar antara 28 kkal/mol hingga 40 kkal/mol (Arpah, 2007).
Interpretasi Ea (energi aktivasi) dapat memberikan gambaran mengenai
besarnya pengaruh suhu terhadap reaksi. Nilai energi aktivasi diperoleh dari slope
grafik garis lurus hubungan ln K dengan (1/T). Energi aktivasi yang besar
87
menunjukkan perubahan nilai ln K yang besar dengan hanya perubahan beberapa
derajat dari suhu, sehingga nilai slope akan besar (Arpah, 2001). Persamaan
Arrhenius dengan menghubungkan kebergantungan laju reaksi deteriorasi
terhadap suhu yang dirumuskan sebagai berikut (Labuza, 1982) :
Keterangan :
ko = konstanta laju absolute
k = konstanta laju reaksi pada suhu T
Ea = Energi aktivasi (kkal/mol)
R = konstanta gas ideal (1.986 kal.K-1.mol -1)
T = suhu absolute (K)
Nilai energi aktivasi diperoleh dengan menggunakan persamaan Arrhenius
yang diperoleh pada perhitungan sebelumnya. Persamaan Arrhenius pada
parameter kadar air (orde reaksi satu) yaitu ln k = -7881 (1/T) + 20.05, sehingga
diketahui bahwa nilai slope (Ea/R) adalah -7881, maka nilai Energi aktivasi :
Melalui cara yang sama, diperoleh nilai energi aktivasi untuk parameter
mutu Cinna-Ale lainnya. Tabel 13 berikut menunjukkan energi aktivasi untuk
kelima parameter mutu Cinna-Ale instan.
Tabel 14. Nilai energi aktivasi (Ea) berbagai parameter mutu Cinna-Ale instan
Persamaan Arrhenius Slope Ea
Parameter
(Orde Reaksi Terpilih) (Ea/R) (kkal/mol)
Aktivitas Antioksidan ln k = -5954 (1/T) + 13.91 5954 11.82
Kelarutan ln k = -2450 (1/T) + 0.089 2450 4.87
Kecerahan Serbuk ln k = 1633 (1/T) - 6.983 1633 3.24
Kadar Air ln k = -7881 (1/T) + 20.05 7881 15.65
88
Kadar VRS ln k = -8692 (1/T) + 22.02 8692 17.26
89
E. KRITERIA PARAMETER YANG DIPILIH UNTUK DIHITUNG UMUR
SIMPANNYA
Tabel 15. Nilai koefisien determinasi (R2), nilai energi aktivasi dan umur simpan
beberapa parameter pengamatan di orde reaksi terpilih
Parameter R2 Ea Umur Simpan (hari)
(kkal/mol) 350C 450C 550C
Aktivitas Antioksidan 0.906 11.82 33 24 10
Kelarutan 0.998 4.87 74 52 29
Kecerahan serbuk 0.165 3.24 422 334 259
Kadar VRS 0.995 17.26 376 141 67
Kadar Air 0.826 15.65 247 204 51
90
jika mengikuti umur simpan produk dengan parameter ini, maka klaim
antioksidan yang ingin ditawarkan pada produk tidak dapat diberlakukan karena
akan terjadi penurunan antioksidan hingga melewati syarat yang ditetapkan oleh
US-FDA. Bila tetap mengikuti umur simpan berdasarkan parameter kelarutan,
maka produsen akan dirasa membohongi konsumen mengenai klaim antioksidan.
Maka, dengan tetap mempertahankan klaim tinggi antioksidan pada produk dan
memberikan kualitas yang terbaik bagi konsumen dipilih parameter aktivitas
antioksidan sebagai parameter pembatas dalam pendugaan umur simpan.
91
Waktu kadaluarsa produk terkemas plastik polietilen kerapatan rendah yang
disimpan pada suhu penyimpanan 270C adalah 355 hari, produk terkemas
polietilen kerapatan tinggi yang disimpan pada suhu 18 0C adalah 305 hari, dan
produk terkemas polipropilena yang disimpan pada suhu 18 0C adalah 296 hari.
Junaedi (2005) menentukan umur simpan tepung pala yang dikemas dengan
plastik polipropilen berdasarkan kandungan volatile oil. Penyimpanan tepung pala
yang direkomendasikan pada suhu 200C karena mampu mempertahankan umur
simpan tepung pala hingga 136 hari. Pendugaan umur simpan kopi instan merek
tertentu pernah dilakukan oleh Wijaya (2007) dengan parameter kritis kadar air.
Masa simpan kopi instan tersebut 21 bulan pada penyimpanan di suhu ruang.
92
Grafik dari hubungan ln k (sebagai ordinat y) dengan (1/T) sebagai
absis x, akan memberikan persamaan garis lurus seperti y = a + bx. Slope atau
b akan sama dengan (Ea/RT) dan intersep atau a akan sama dengan ln ko.
Nilai suhu pada persamaan Arrhenius adalah dalam skala Kelvin (K).
Konversi skala derajat Celcius menjadi skala Kelvin dilakukan dengan
menambah nilai pada skala derajat Celcius dengan 273, seperti pada Tabel 15.
Tabel 16. Nilai K, (1/T), k dan ln k pada 3 titik suhu penyimpanan parameter
aktivitas antioksidan orde reaksi satu
Suhu (0C) Suhu (K) (1/T) Slope (k) Ln k
35 308 0.0032 0.0049 -5.3103
45 318 0.0031 0.0066 -5.0261
55 328 0.0030 0.0162 -4.1246
93
0
-10.0030 0.0031 0.0031 0.0032 0.0032 0.0033 0.0033
-2
y = -5954.x + 13.91
ln k
-3
R² = 0.906
-4
-5
-6
1/T (K)
Gambar 17. Grafik Plot Arrhenius Hubungan nilai ln k dan (1/T) Parameter
Aktivitas Antioksidan Orde reaksi Satu
Berikut ini akan dihitung umur simpan Cinna-Ale instan terkemas
metalized plastic yang disimpan pada suhu ruang (280C atau 3010C), sebagai
salah satu saran penyimpanan produk ini.
ln k = -5954 (1/T) + 13.91
ln k = -5954 (1/301) + 13.91
ln k = -5.8707
k = 0.0028
Setelah diketahui nilai k, umur simpan Cinna-Ale instan pada suhu 280C
berdasarkan parameter antioksidan orde reaksi satu adalah
94
Transformasi umur simpan menjadi waktu kadaluarsa dapat dilakukan
pada penyimpanan yang dipercepat seperti ASLT atau ASS, sedangkan jika
digunakan penyimpanan ESS, transformasi tidak dapat dilakukan. Terdapat
beberapa cara untuk merubah umur simpan menjadi waktu kadaluarsa, namun
cara numerik seperti yang akan diterapkan pada penelitian ini adalah cara
yang paling baik untuk memberikan pengertian tentang prinsip perubahan
nilai umur simpan (pada kondisi tertentu) menjadi waktu kadaluarsa. Umur
simpan pada kondisi tertentu sebenarnya juga adalah waktu kadaluarsa. Hanya
saja, waktu kadaluarsa ini diperhitungkan hanya pada satu kondisi spesifik,
misalnya 350C, 450C, atau 550C, sedangkan waktu kadaluarsa sudah bersifat
umum (Arpah dan Rahayu, 2003).
Hal ini memungkinkan karena kondisinya sudah diperhitungkan secara
kumulatif. Cinna-Ale instan paskaproduksi akan mengalami penyimpanan di
gudang, kondisi distribusi, serta penyimpanan di retail sebelum sampai ke
tangan konsumen, sehingga diperlukan transformasi umur simpan menjadi
waktu kadaluarsa dengan memperhitungkan kondisi penyimpanan. Dengan
demikian diharapkan kedua suhu tersebut akan berpengaruh masing-masing
50% dari penentuan waktu kadaluarsa Cinna-Ale instan. Transformasi ini
dilakukan dengan menggunakan persamaan Arrhenius di atas. Perhitungan
nilai k dan lama simpan (t) pada suhu 20 0C dan 250C sama seperti di atas,
sehingga diperoleh nilai k dan t yang terdapat pada Tabel 16 :
Tabel 17. Nilai k, ln k dan umur simpan pada suhu 20 0C dan 250C
berdasarkan persamaan Arrhenius
Suhu (0C) Suhu (K) Ln k K Umur Simpan (hari)
0 293 -6.4108 0.0016 99
25 298 -6.0699 0.0023 70
95
berdasarkan parameter aktivitas antioksidan dapat dihitung dengan merata-
ratakan kedua umur simpan tersebut sebagai berikut :
96
fungsional yang mengandung antioksidan. Beberapa saran dapat diajukan untuk
mempertahankan kandungan antioksidan Cinna-Ale instan dalam jangka waktu
yang lebih lama dari hasil penelitian kali ini. Penggunaan metalized plastic yang
digunakan dalam penelitian kali ini yaitu dengan ketebalan 0.05 mm ternyata
masih kurang memberikan perlindungan terhadap kandungan antioksidan produk,
sehingga dibutuhkan kemasan metalized plastic yang lebih tebal (0.08 mm).
Kemasan metalized plastic yang lebih tebal akan memberikan perlindungan yang
lebih tinggi. Semakin tebal metalized plastic, permeabilitas uap air dan oksigen
akan semakin rendah (BBKK, 2009).
Teknik pengemasan yang masih manual dan tanpa penghampaan udara
akan memberikan peluang bagi produk mengalami reaksi oksidasi. Komponen
flavonoid sebagai sumber antioksidan akan bereaksi dengan oksigen yang
terperangkap di dalam kemasan. Masalah ini dapat dikendalikan dengan
melakukan pengemasan vakum, sehingga tidak ada udara yang tersisa di dalam
kemasan. Penurunan aktivitas antioksidan produk Cinna-Ale instan akibat reaksi
oksidasi juga dapat diatasi dengan mengganti oksigen yang tersisa di dalam
kemasan dengan gas inert seperti gas nitrogen. Selain itu, dapat pula ditambahkan
deoxidizer di dalam kemasan (Hirasa et al., 1998).
Alternatif lain yang dapat dilakukan untuk mempertahankan kestabilan
aktivitas antioksidan adalah dengan teknik mikroenkapsulasi. Mikroenkapsulasi
adalah suatu proses penyalutan bahan inti yang berbentuk cair atau padat dengan
menggunakan suatu bahan penyalut khusus yang membuat partikel inti
mempunyai sifat fisika dan kimia yang dikehendaki. Bahan penyalut berfungsi
sebagai dinding pembungkus bahan inti untuk melindungi bahan terbungkus dari
faktor-faktor yang dapat menurunkan kualitas bahan tersebut (Rosenberg et al.,
1990). Komponen antioksidan seperti flavonoid, gingerol, zingiberin, brazilin
harus diperangkap dalam bahan pengisi, sehingga komponen tersebut dapat
terlindung dari udara dan cahaya. Teknik enkapsulasi, selain melindungi
komponen antioksidan akan melindungi komponen volatil dan pigmen warna
alami, sehingga mampu meningkatkan umur simpan produk. Kerugian jika
97
menggunakan teknologi mikroenkapsulasi adalah penampakan flavor yang
mungkin akan berbeda dari bahan alaminya dan biaya proses yang relatif mahal
(Cahyono, 2005).
1. Kesimpulan
Karakteristik mutu awal Cinna-Ale instan yang diujikan pada penelitian ini
memiliki kadar air 0.90%, kadar abu 0.36%, kadar lemak kasar 0.52%, kadar
protein 2.40%, dan kadar karbohidrat 95.83%. Total energi dalam satu kemasan
sebesar 122 kkal. Hasil analisis ini sesuai dengan kisaran mutu minuman serbuk
tradisional yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional. Penyimpanan
Cinna-Ale instan terkemas metalized plastic dilakukan pada tiga inkubator dengan
suhu 350C, 450C, dan 550C serta produk tanpa kemasan pada suhu ruang (280C).
Semakin lama penyimpanan dan semakin tinggi suhu penyimpanan
menyebabkan peningkatan kadar air serta penurunan kadar volatile reducing
substance, kadar antioksidan, kelarutan, dan kecerahan serbuk. Kemasan
mempengaruhi Cinna-Ale instan selama penyimpanan. Produk tanpa kemasan
akan mengalami kerusakan mutu yang lebih cepat dibandingkan produk terkemas
metalized plastic. Energi aktivasi aktivitas antioksidan, kelarutan, dan kecerahan
serbuk tergolong rendah berturut-turut 11.82 kkal/mol, 4.87 kkal/mol dan 3.24
kkal/mol. Kadar air dan kadar VRS tergolong dalam kelompok energi aktivasi
sedang dengan nilai 15.65 kkal/mol dan 17.26 kkal/mol.
98
Parameter kritis yang ditetapkan dalam pendugaan umur simpan Cinna-Ale
instan ini adalah aktivitas antioksidan, mengingat produk ini ingin diklaim sebagai
minuman fungsional. Nilai titik kritis aktivitas antioksidan sebesar 447.50 ppm
AEAC yang ditentukan berdasarkan 85% usable quality. Persamaan Arrhenius
untuk Cinna-Ale instan dengan parameter antioksidan yaitu ln k = -5954 (1/T) +
13.91. Persamaan Arrhenius ini memberikan energi aktivasi (Ea) sebesar 11.82
kkal/mol. Cinna-Ale instan terkemas metalized plastic bila disimpan pada suhu
280C memiliki umur simpan 58 hari dan bila produk disimpan di supermarket
memiliki umur simpan 84 hari.
2. Saran
99
DAFTAR PUSTAKA
Achyad, D.E. dan R. Rasyidah. 2000. Jintan Hitam (Nigella sativa L.).
www.asiamaya.com (20 Juli 2006).
Adawiyah, D. R. dan Indriati. 2003. Color stability of natural pigment from secang
woods (Caesalpinia sappan L.). Proceeding of the 8th Asean Food Conference.
Hanoi 8-11 October 2003.
Agusta, A. 2000. Minyak Atsiri Tumbuhan Tropika Indonesia. Institut Teknologi
Bandung. Bandung.
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis 16th edition. Assosiation of Analytical
Chemistry. Washington D.C.
Arpah, M. dan Syarief, R. 2000. Evaluasi Model-Model Pendugaan Umur Simpan
Pangan dari Difusi Hukum Fick Undireksional. Buletin Teknologi dan Industri
Pangan. 11(1):11.
Arpah, M. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Umur Kadaluarsa Produk. Program
Studi Ilmu Pangan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Arpah, M dan Rahayu W. P. 2003. Bahan Pelatihan : Pengantar Teori Penentuan
Kadaluarsa Pangan. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fateta IPB. Bogor.
Astawan, M. 2007. Awas, Bencana dalam Makanan Kedaluarsa.
http://www.depkes.go.id. [4 Desember 2007].
100
Azuma, K., M. Nakayama, M. Koshioka, K. Ippoushi, Y.Yamaguchi, K. Kohata, Y.
Yamauchi, H. Ito dan H. Higashio. 1999. Phenolic antioxidants from the leaves of
Corchourus olitorus L. J. Agric. Food Chem. Vol. 47 : 3963-3966.
[BBKK]. Balai Besar Kimia dan Kemasan. 2009. Laporan Hasil Uji Laboratorium
Uji dan Kalibrasi : Kemasan. Jakarta
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1996a. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-
4239-1996. Tepung Tapioka. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1996b. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-
4320-1996. Minuman Serbuk Tradisional. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.
Buckle, K. A. 1995. Ilmu Pangan. Terjemahan Hari Purnomo dan Adiono.
Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Cahyono, D. 2005. Aplikasi Teknik Kokristalisasi dalam Pembuatan Minuman Instan
dari Ekstrak Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.). Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Clysdale, F. M. 1998. Color : origin, stability, measurement, and quality. Di dalam :
Herbs : Botany, Biochemistry, and Production of Beverage. M. N Clifford dan K.
C Wilson (eds.). Croom Helm Ltd. London. pp 11-17
Damayanti, E. 2004. Mempelajari Aktivitas Antioksidan dan Antimikroba dari
Ekstrak Campuran Rempah dan Minuman Cinna-Ale. Skripsi. Jurusan Teknologi
Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Dulimarta, H. S. 2000. Kajian Stabilitas Beberapa Formulasi Bir Pletok (Minuman
Khas Betawi) dan Pengaruhnya Selama Penyimpanan. Skripsi. Jurusan Teknologi
Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ellis, M. J. 1994. The methodology of shelf life determination. Di dalam : Man, C.
M. D., Jones, A. A. (eds.). Shelf Life Evaluation of Foods. Blackie Academic and
Proffesional. London. pp 27-39.
[EMEA] European Medicines Agency Evaluation of Medicines for Human Use.
2008. Assesment Report on Foeniculum vulgare Mill. EMEA. London.
Emmons, C. L., D. M. Peterson dan G. L Paul. 1999. Antioxidant capacity of oat
(Avena sativa L.) extracts in vitro antioxidant activity of phenolic and tocol
antioxidants. J. Agriculture. Food Chem. Vol 47 : 4894-4898.
[FAO]. Food and Agriculture Organization. 2005. Spices : Oleoresin and Bioactive
Compound for Marketing. Rome
[FDA]. Food Drugs Administration. 2008. Guidance for Industry, Food Labeling :
Nutrient Content Claims. U.S. Department of Health and Human Services.
Rockvilles.
101
Farrel, K. T. 1990. Spices, condiments, and Seasonings. The AVI Publ.Co., Inc.
Westport, Connecticut.
Floros, J. D. dan Granasekharan, V. 1993. Shelf Life Prediction of Packaged Foods
Chemical, Biologycal, Physical and Nutrition Aspects. Elsevier. London.
Gordon, M. H. 1990. The mechanism of antioxidant activity in vitro. Di dalam : Food
Antioxidants. B.J.F. Hudson (ed). Elseviere Appl. Sci. London. pp 1-18.
Green, D. W. 1981. Postmix Dispensing Technology. Di dalam : H. W. Houghton
(ed). Development in Drinks, Soft DrinksTechnology. Spplied Science,
Publishers Ltd, London. pp 31-50.
Guzman dan Siemonsma. 1999. Plant Resources of South East Asia : Spices. Prosea.
Bogor.
Halliwell, B. dan J. M. C Gutteridge. 1999. Free Radicals in Biology and Medicine
3rd Edition. Oxford University Press. Oxford.
Hartini, Y. S., dkk. 2007. Daya Antibakteri Campuran Ekstrak Etanol Buah Adas
(Foeniculum vulgare Mill.) dan Kulit Batang Pulsari. Balai Penelitian Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta. Yogyakarta.
Hariyadi, P. 2004. Prinsip-prinsip pendugaan masa kadaluwarsa dengan metode
Accelerated Shelf Life Test. Pelatihan Pendugaan Waktu Kadaluwarsa (Shelf
Life). Bogor, 1−2 Desember 2004. Pusat Studi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian
Bogor.
Herlina, R., Murhananto, J. Endah, T. Listyarini dan S.T. Pribadi. 2002. Khasiat dan
Manfaat Jahe si Rimpang Ajaib. Agro Media Pustaka. Jakarta.
Hermanianto, J., M. Arpah, dan Wijaya K. 2000. Penentuan umur simpan produk
ekstrusi dari hasil samping penggilingan padi (menir dan bekatul) dengan
menggunakan metode konvensional, kinetika arrhenius dan sorpsi isothermis.
Buletin Teknologi dan Industri Pangan XI : (2).
Hine, D. J. 1997. Modern Packaging, Packaging, and Distribution System for Food.
Blackie Academic and Proffesional. London.
Houghton, P. J., Gibbs, dan Zarka. 1995. Fixed oil of inhibit eicosanoid generation in
leucocytes and membrane lipid peroxidation. Planta-Med.61(1) : 33-36
Irawadi T. T. 2005. Diktat Kuliah Kimia. Departemen Kimia, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Iskandar, A. dan Tajudin B. 1990. Kristalisasi. Agroindustri Press. Bogor.
102
Iskandar, M. I., dan Agus Ismanto. 2001. Tinjauan Beberapa Sifat dan Manfaat
Tumbuhan Mesoyi (Massoia aromaticum Becc.). Warta Tumbuhan Obat
Indonesia. 2 (5) : 23-29.
Junaedi, Ari. 2005. Penentuan Umur Simpan Tepung Pala yang Dikemas Plastik
Propilen dengan Metode Arrhenius. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Karyadi, E. 2009. Antioksidan, Resep Sehat dan Umur Panjang.
http://www.indomedia.com/intisari/2009/juni/anyioks.htm. [20Januari2010]
Hirasa, Kenji dan Mitsuo T. 1998. Spice Science and Technology. Lion Corporation.
Jepang.
King, R. A. 2000. The Role of Polyphenol in Human Health. Di dalam : J. D.
Brooker (ed). Tannins in Livestock and Human Nutrition. ACIAR Proceedings
No. 92.
Kochar, S. P. and J. B. Rossell. 1995. Detection, estimation, and evaluation of
antioxidant in food systems. Di dalam : Hudson, B.J.F. (ed.) Food Antioxidants.
Elseviere Apllied Science. New York. pp 19-64.
Koswara, S. 1995. Jahe dan Hasil Olahannya. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Labuza, T. P. 1982. Open Shelf-Life Dating of Foods. Food Science and Nutrition.
Press Inc., Westport. Connecticut.
Lindberg. 1992. Effervescent Pharmaceuticals. Di dalam Swarbricck, J., Boylan,
J.C (eds.). Encyclopedia of Pharmaceutical Technology. Marcel Dekker, Inc.,
New York. pp 45-65.
Lund, D. B. 1975. Effect of heat processing on nutrients. Di dalam : M. Arpah (ed).
Penetapan Kadaluarsa Pangan. Program Studi Ilmu Pangan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Mohrle, R. 1989. Effervescent Tablets. Di dalam : Lieberman, H.A., Lachman,L.,
(eds). Pharmaceutical Dosage Form Tablet. pp 287-295
Junilgaard, M. 1999. Sensory Evaluation Techniques 3 rd Edition. CRC Press. New
York.
Matsumoto, K. 2007. High barrier metallized laminates for food packaging. Journal
of Plastic Film and Sheeting. 3 (1) : 41-47.
Maharani K. 2003. Stabilitas Pigmen Brazilin pada Kayu Secang (Caesalpinia
sappan L.). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
103
Molyneux P. 2004. The use of the stable free radical diphenyl-picryl hydrazyl (dpph)
for estimate antioxidant activity. J. Sci. Technology. 26 (2) : 211-219.
Muchtadi, D. 2006. Makanan Fungsional. Pengendalian dan Perancangannya. Kursus
Singkat Makanan Fungsional. Yogyakarta, 8-9 Juli 1996.
Muchtadi, T. R. 1997. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi
IPB. Bogor.
Muchtadi, T. R. dan Sugiono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Petunjuk
Laboratorum. PAU Pangan dan Gizi IPB. Bogor.
Ningsih, K. 2001. Tantangan Pengembangan dan Fakta Jenis Tanaman Rempah.
Yayasan Prosea. Bogor.
Patras, A., Brunton, N. P., dan Tiwari. 2009. Effect of thermal processing on
anthocyanin stability in foods; mechanism and kinetics of degradation. Trends in
Food Science and Technology. (7) : 11-21 (available online).
Potty, V. H. 1979. Soft Beverage Industry. Di dalam :Venkanarayana, V. Food
Industry. The Chemical Engineering Education Development Centre, Madras. Pp
11-32.
Pratt, D. E. dan Hudson, B. J. F. 1992. Natural antioxidant not exploited
commercially. Di dalam : Hudson, B.J.F. (ed). Food Antioxidants. Elsevier
Apllied Science. New York. pp 171-192.
Raineccius, G. A. 1994. Source Book of Flavors, 2nd. Chapman and Hall. Newyork.
Reapina, E. 2007. Kajian Aktivitas Antimikroba Ekstrak Kulit Kayu Mesoyi
(Cryptocaria massoia) terhadap Bakteri Patogen dan Pembusuk Pangan. Skripsi.
Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Rismunandar dan F. B. Paimin. 2001. Kayu Manis : Budi Daya dan Pengolahan.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Rismunandar dan Risk, M.H. 2003. Lada, Budidaya dan Tata Niaga. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Robertson, G. L. 1993. Predicting the shelf life of packaging foods. Di dalam : Liang,
O. B., A. Buchanan dan D. Fardiaz (ed). Development of Food Science
Technology in South East Asia. IPB Press.
Rosenberg, M., Kopelman, J dan Talman, Y. 1990. Factors Affecting Retention in
Spray Drying Microencapsulation of Volatile Materials. Israel Institute of
Technology, Haifa, Israel.
104
Roni, M. A. 2008. Formulasi Minuman Herbal Instan Antioksidan Dari Campuran
Teh Hijau, Pegagan, dan Daun Jeruk Purut. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan
dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sait, S. 1992. Potensi minyak atsiri cabe jawa sebagai sumber bahan obat. Warta
Tumbuhan Obat Indonesia. 1(3): 21-22.
Santoso, H. B. 2008. Ragam dan Khasiat Tanaman Obat. Agromedia Pustaka.
Jakarta.
Sanusi, M. 1999. Penelitian Zat Warna Kayu Sappang Asal Sulawesi Selatan. Balai
Penelitian Kimia. Ujung Pandang.
Sharma, Om P., dan Bhat Tej K. 2009. DPPH antioxidant assay revisited. J Food
Chem. 113: 1202-1205.
Singh, R. P. 1994. Scientific principles of shelf life evaluation. Di dalam : Shelf Life
Evaluation of Foods. CMD Man dan AA Jones (Eds.). Blackie Academic and
Professional. Glasgow. pp 3-24.
Sugiyono. 2001. Proses produksi sari buah pala instan. Buletin Teknologi dan
Industri Pangan. 9(2):47.
Sugiyono. 2007. Teknologi Pengolahan Pangan : Beverages. Ilmu dan Teknologi
Pangan, IPB. Bogor.
Sumarsono dan Nurwanto, A. 2005. Pengaruh Suhu Penyimpanan dan Jenis Plastik
Pengemas terhadap Waktu Kadaluarsa Bahan Makanan Campuran untuk Anak
Balita. Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia LIPI Yogyakarta.
Yogyakarta, 10 September 2005.
Syarief, R. dan Irawati, A. 1988. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian.
Mediyatama Perkasa. Jakarta.
Syarief, R., Halid, H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Laboratorium Rekayasa
Proses Pangan, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Thorner, M. E and R. J. Herzberg. 1978. Non-alcoholic Food Service Hand Book.
AVI Publ. Co., Westport, Connecricut.
[UU] Undang-Undang. 2009a. PP Nomor 69 tahun 2009 : Tentang Label dan Iklan
Pangan. Kantor Menteri Negara Urusan Pangan. Jakarta.
[UU] Undang-Undang. 1992b. UU RI No. 3 tahun 1992 : Tentang Kesehatan. Jakarta.
Waysima dan Adawiyah, D. R. 2008. Penuntun Praktikum Evaluasi Sensori.
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
105
Wijaya, A. 1996. Radikal bebas dan Parameter Status Antioksidan. Forum
Diagnosticum No. 1/1996. Laboratorium Klinik Prodia. Bogor
Wijaya, C. H. 2007. Pendugaan Umur Simpan Produk Kopi Instan Formula Merk-Z
dengan Metode Arrhenius. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia. Jakarta.
Winarto, W. P.2008. Cabe Jawa si Pedas Berkhasiat Obat. Agromedia Pustaka.
Jakarta.
Yasni, S. 2001. Khasiat Cinna-Ale sebagai Pencegah Penyakit Degeneratif. Prosiding
Seminar. Pusat Kajian Makanan Tradisional. Teknologi Pangan dan Gizi. Jakarta
14 Agustus 2001.
Zakaria, F. R. 1996. Sintesa Senyawa Radikal dan Elektrofil dalam dan oleh Senyawa
Radikal dan Komponen Pangan : Reaksi Biomolekuler, Dampak terhadap
Kesehatan dan Penangkalan. Kerjasama PAU IPB dengan Kedutaan Besar
Prancis. Zakaria, et al. (eds). Jakarta. April 1996.
Zein, N. M. 1998. Pengolahan Kopi. Agroindustri Press. Bogor.
LAMPIRAN
106
75 0.792 1.640 0.848
80 0.718 1.640 0.922
85 0.569 1.640 1.071
90 0.458 1.640 1.182
95 0.373 1.640 1.267
100 0.287 1.640 1.353
105 0.209 1.640 1.431
KADAR ANTIOKSIDAN SERBUK CINNA-ALE INSTAN (g/100g BK) SUHU RUANG (280C) (A)
Hari ke-
Sampel
0 2 4 6 8 10
A11 526.64 498.76 460.93 426.63 413.29 387.16
A12 526.91 498.49 460.39 426.63 412.74 389.62
A21 526.30 496.22 456.81 426.97 412.16 384.52
A22 526.02 495.95 457.09 427.19 412.70 385.07
Rata-rata 526.47±039 497.36±1.48 458.81±2.16 426.86±0.28 412.72±0.46 386.59±2.32
KADAR ANTIOKSIDAN SERBUK CINNA-ALE INSTAN (g/100g BK) SUHU 350C (B)
Hari ke-
Sampel
0 10 20 30 40 50
B11 526.64 494.55 459.73 458.08 425.45 411.38
B12 526.91 494.28 459.18 458.36 425.45 411.11
B21 526.30 496.85 462.01 449.87 428.70 411.50
B22 526.02 497.40 462.29 450.14 428.15 410.95
Rata-rata 526.47±0.39 495.77±1.59 460.80±1.58 454.11±4.75 426.94±1.73 411.24±0.25
107
Hari ke-
Sampel
0 7 14 21 28 35
C11 526.64 485.57 465.64 451.41 436.14 416.32
C12 526.91 485.29 466.19 451.68 437.24 415.77
C21 526.30 491.27 462.68 457.43 435.10 420.48
C22 526.02 490.99 462.13 457.16 434.83 421.03
Rata-rata 526.47±0.39 488.28±3.29 464.16±2.05 454.42±3.32 435.83±1.10 418.40±2.74
KADAR ANTIOKSIDAN SERBUK CINNA-ALE INSTAN (g/100g BK) SUHU 550C (D)
Hari ke-
Sampel
0 3 6 9 12 15
D11 526.64 492.25 441.14 437.54 424.23 418.16
D12 526.91 491.43 441.69 437.00 423.41 417.34
D21 526.30 495.61 436.06 429.25 421.45 408.27
D22 526.02 496.15 436.61 428.98 421.99 408.54
Rata-rata 526.47±0.39 493.86±2.37 438.88±2.95 433.19±4.72 422.77±1.28 413.08±5.41
KELARUTAN SERBUK CINNA-ALE INSTAN (g/100g BK) SUHU RUANG (280C) (A)
Hari ke-
Sampel
0 2 4 6 8 10
A11 97.67 97.19 97.37 96.11 96.25 95.92
A12 97.11 97.00 96.99 96.05 96.05 96.12
A21 97.32 97.98 97.13 96.87 96.68 96.35
A22 97.38 97.31 97.75 96.99 96.79 95.79
Rata-rata 97.37±0.23 97.37±0.43 97.31±0.33 96.51±0.50 96.45±0.35 96.04±0.24
108
KELARUTAN SERBUK CINNA-ALE INSTAN (g/100g BK) SUHU 450C (B)
Hari ke-
Sampel
0 7 14 21 28 35
C11 97.67 96.73 96.20 97.23 95.69 95.78
C12 97.11 97.49 96.27 97.69 95.49 95.74
C21 97.32 96.75 96.60 98.01 96.12 95.49
C22 97.38 96.79 96.30 97.02 96.57 95.90
Rata-rata 97.37±0.23 96.94±0.37 96.34±0.18 97.48±0.45 95.97±0.48 95.73±0.18
a. Suhu 280C
109
b. Suhu 350C
HASIL ANALISIS RAGAM
The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for Y1
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 18
Error Mean Square 0.195749
Number of Means 2 3 4 5 6
Critical Range .6573 .6896 .7100 .7242 .7345
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Mean N PERLK
A 97.37 4 0
A
B A 96.92 4 20
B
B C 96.39 4 10
C
D C 95.51 4 50
D C 95.73 4 30
D
D 95.41 4 40
Lampiran 4. Hasil Uji ANOVA (DUNCAN) Tingkat Kelarutan Cinna-Ale instan
a. Suhu 450C
HASIL ANALISIS RAGAM45
The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for Y1
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 17
Error Mean Square 213.0776
Number of Means 2 3 4 5 6
Critical Range 22.37 23.47 24.16 24.63 24.98
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N PERLK
A 97.49 4 21
A 97.37 4 0
A 96.94 4 7
A 96.34 4 14
A
A 95.97 4 28
B 95.73 3 35
110
b. Suhu 550C
HASIL ANALISIS RAGAM 55
The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for Y1
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 18
Error Mean Square 0.078679
Number of Means 2 3 4 5 6
Critical Range .4167 .4372 .4502 .4591 .4657
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Mean N PERLK
Grouping
A 97.3700 4 0
B 96.8175 4 6
B
B 96.7800 4 3
B
B 96.5325 4 12
B
B 96.5325 4 9
B
B 96.4600 4 15
Lampiran 5. Data Perubahan Kecerahan di Berbagai Suhu Selama Penyimpanan
NILAI KECERAHAN (L) SERBUK CINNA-ALE INSTAN SUHU RUANG (280C) (A)
Hari ke-
Sampel
0 2 4 6 8 10
A11 51.16 50.32 49.01 47.72 45.84 45.67
A12 51.16 50.33 49.02 47.71 45.84 45.66
A21 51.18 50.39 49.11 47.98 45.62 44.24
A22 51.18 50.41 49.09 47.97 45.63 44.25
Rata-rata 51.17±0.02 50.36±0.05 49.06±0.06 47.85±0.18 45.73±0.15 44.96±1.00
111
NILAI KECERAHAN (L) SERBUK CINNA-ALE INSTAN SUHU 450C (C)
Hari ke-
Sampel
0 7 14 21 28 35
B11 51.16 51.06 48.92 46.42 44.57 42.79
B12 51.16 51.05 48.92 46.43 44.58 42.80
B21 51.19 50.99 49.06 46.94 44.81 42.45
B22 51.18 50.98 49.07 46.94 44.82 42.44
Rata-rata 51.17±0.02 51.02±0.05 48.99±0.10 46.68±0.36 44.70±0.177 42.62±0.25
KADAR VRS SERBUK CINNA-ALE INSTAN (g/100g BK) SUHU RUANG (280C) (A)
Hari ke-
Sampel
0 2 4 6 8 10
A11 10.42 9.80 9.80 9.57 9.19 9.08
A12 10.55 10.19 9.87 9.46 9.07 8.98
A21 10.78 10.24 10.19 9.88 9.89 9.57
A22 10.39 10.63 9.98 10.16 9.75 9.80
Rata-rata 10.54±0.17 10.22±0.34 9.96±0.17 9.77±0.32 9.48±0.41 9.36±0.39
KADAR VRS SERBUK CINNA-ALE INSTAN (g/100g BK) SUHU 350C (B)
Hari ke-
Sampel
0 10 20 30 40 50
B11 10.42 10.09 9.99 9.50 9.39 9.10
B12 10.55 9.99 9.80 9.60 9.59 9.30
B21 10.78 10.39 10.09 10.09 10.08 9.89
B22 10.39 10.29 10.29 10.10 9.80 9.88
Rata-rata 10.54±0.17 10.19±0.18 10.04±0.21 9.82±0.32 9.72±0.29 9.54±0.41
112
KADAR VRS SERBUK CINNA-ALE INSTAN (g/100g BK) SUHU 450C (C)
Hari ke-
Sampel
0 7 14 21 28 35
C11 10.42 9.99 9.49 9.29 8.79 8.71
C12 10.55 9.80 9.59 9.10 9.00 8.41
C21 10.78 10.29 9.89 9.50 9.20 9.01
C22 10.39 10.19 10.00 9.50 8.91 8.91
Rata-rata 10.54±0.17 10.07±0.22 9.74±0.24 9.35±0.19 8.97±0.17 8.76±0.26
KADAR VRS SERBUK CINNA-ALE INSTAN (g/100g BK) SUHU 550C (D)
Hari ke-
Sampel
0 3 6 9 12 15
D11 10.42 9.99 9.40 9.20 8.90 8.80
D12 10.55 9.80 9.60 9.30 9.09 8.70
D21 10.78 10.29 9.90 9.70 9.30 9.11
D22 10.39 10.39 10.00 9.50 9.30 9.10
Rata-rata 10.54±0.17 10.12±0.27 9.73±0.27 9.42±0.22 9.15±0.19 8.93±0.21
KADAR AIR SERBUK CINNA-ALE INSTAN (g/100g BK) SUHU RUANG (280C) (A)
Hari ke-
Sampel
0 2 4 6 8 10
A11 0.90 0.91 1.05 1.08 1.21 1.35
A12 0.91 0.91 1.05 1.13 1.17 1.33
A21 0.91 0.92 1.06 1.08 1.21 1.45
A22 0.91 0.91 1.07 1.10 1.25 1.40
Rata-rata 0.91±0.005 0.91±0.003 1.06±0.007 1.10±0.024 1.21±0.034 1.38±0.055
KADAR AIR SERBUK CINNA-ALE INSTAN (g/100g BK) SUHU 350C (B)
Hari ke-
Sampel
0 10 20 30 40 50
B11 0.90 0.96 0.97 1.06 1.10 1.19
B12 0.91 0.96 1.00 1.05 1.09 1.16
B21 0.91 0.98 1.00 1.03 1.07 1.14
B22 0.91 0.93 0.99 1.02 1.08 1.13
113
Rata-rata 0.91±0.005 0.96±0.018 0.99±0.012 1.04±0.017 1.09±0.019 1.16±0.029
KADAR AIR SERBUK CINNA-ALE INSTAN (g/100g BK) SUHU 450C (C)
Hari ke-
Sampel
0 7 14 21 28 35
C11 0.90 0.92 0.97 1.01 1.04 1.08
C12 0.91 0.93 0.97 1.02 1.05 1.10
C21 0.91 0.96 1.00 1.03 1.07 1.15
C22 0.91 0.95 0.99 1.03 1.07 1.12
Rata-rata 0.91±0.005 0.94±0.019 0.98±0.017 1.02±0.007 1.06±0.013 1.11±0.030
KADAR AIR SERBUK CINNA-ALE INSTAN (g/100g BK) SUHU 550C (D)
Hari ke-
Sampel
0 3 6 9 12 15
D11 0.90 0.96 1.03 1.12 1.20 1.29
D12 0.91 0.94 1.03 1.11 1.23 1.29
D21 0.91 0.96 1.04 1.12 1.15 1.29
D22 0.91 0.96 1.03 1.13 1.10 1.29
Rata-rata 0.91±0.005 0.96±0.009 1.03±0.006 1.12±0.007 1.17±0.058 1.29±0.002
114
Lampiran 8. Kurva orde reaksi kelima parameter pengamatan di masing-masing suhu penyimpanan
a. Aktivitas Antioksidan
115
116
b. Kelarutan
117
118
c. Kadar Kecerahan Serbuk
119
120
d. Kadar VRS
121
122
e. Kadar Air
123
124
Lampiran 9. Data Organoleptik Penampakan
125
Lampiran 7. Data Organoleptik Penampakan (Lanjutan)
133
Lampiran 10. Hasil Uji Kruskall-Wallis Skor Penampakan
a. Suhu 350C
Kruskal-Wallis Test
Ranks
Test Statisticsa,b
perlakuan N Mean Rank
respon 1,00 30 109,77 respon
2,00 30 107,52 Chi-Square 19,174
3,00 30 92,20 df 5
4,00 30 90,57 Asymp. Sig. ,002
5,00 30 78,12
a. Kruskal Wallis Test
6,00 30 64,83
Total 180 b. Grouping Variable: perlakuan
b. Suhu 450C
Kruskal-Wallis Test
Ranks
Test Statisticsa,b
perlakuan N Mean Rank
suhu_45 1,00 30 116,27 suhu_45
2,00 30 107,83 Chi-Square 33,475
3,00 30 99,78 df 5
4,00 30 88,73 Asymp. Sig. ,000
5,00 30 74,97
6,00
a. Kruskal Wallis Test
30 55,42
Total 180 b. Grouping Variable: perlakuan
c. Suhu 550C
Kruskal-Wallis Test
Ranks
Test Statisticsa,b
perlakuan N Mean Rank
suhu_55 1,00 30 109,50 suhu_55
2,00 30 105,05 Chi-Square 19,003
3,00 30 96,30 df 5
4,00 30 87,60 Asymp. Sig. ,002
5,00 30 82,30
a. Kruskal Wallis Test
6,00 30 62,25
Total 180 b. Grouping Variable: perlakuan
d. Suhu 280C
Kruskal-Wallis Test
Test Statisticsa,b
Ranks
134
Lampiran 11. Data Organoleptik Aroma
135
Lampiran 9. Data Organoleptik Aroma (Lanjutan)
136
Lampiran 12. Hasil Uji Duncan Skor Aroma
a. Suhu 350C
Kruskal-Wallis Test
Ranks Test Statisticsa,b
perlakuan N Mean Rank suhu_
suhu_35warna 1,00 30 116,18 35warna
2,00 30 108,53 Chi-Square 34,132
3,00 30 102,32 df 5
4,00 30 84,78
Asymp. Sig. ,000
5,00 30 74,40
6,00
a. Kruskal Wallis Test
30 56,78
Total 180 b. Grouping Variable: perlakuan
0
b. Suhu 45 C
Kruskal-Wallis Test
Ranks Test Statisticsa,b
perlakuan N Mean Rank suhu_
suhu_45warna 1,00 30 115,60 45warna
2,00 30 103,80 Chi-Square 21,532
3,00 30 99,23
df 5
4,00 30 81,80
Asymp. Sig. ,001
5,00 30 75,47
6,00 30 67,10
a. Kruskal Wallis Test
Total 180 b. Grouping Variable: perlakuan
c. Suhu 550C
Kruskal-Wallis Test
Ranks Test Statisticsa,b
perlakuan N Mean Rank suhu_
suhu_55aroma 1,00 30 110,48
55aroma
2,00 30 103,18 Chi-Square 16,672
3,00 30 97,77
df 5
4,00 30 83,98
Asymp. Sig. ,005
5,00 30 81,13
6,00 30 66,45 a. Kruskal Wallis Test
Total 180 b. Grouping Variable: perlakuan
d. Suhu 280C
Kruskal-Wallis Test
Ranks Test Statisticsa,b
perlakuan N Mean Rank suhu_
suhu_28aroma 1,00 30 132,85 28aroma
2,00 30 125,20 Chi-Square 98,109
3,00 30 120,12 df 5
4,00 30 69,63
Asymp. Sig. ,000
5,00 30 62,25
6,00
a. Kruskal Wallis Test
30 32,95
Total 180 b. Grouping Variable: perlakuan
137
Lampiran 13. Data Organoleptik Warna
138
Lampiran 11. Data Organoleptik Warna (Lanjutan)
139
Lampiran 14. Hasil Uji Duncan Skor Warna
a. Suhu 350C
Kruskal-Wallis Test
Ranks Test Statisticsa,b
perlakuan N Mean Rank
suhu_35warn 1,00 30 118,27
suhu_35warn
2,00 30 100,72
Chi-Square 29,239
3,00 30 99,18 df 5
4,00 30 88,58 Asymp. Sig. ,000
5,00 30 81,82
a. Kruskal Wallis Test
6,00 30 54,43
Total 180 b. Grouping Variable: perlakuan
b. Suhu 450C
Kruskal-Wallis Test
Ranks Test Statisticsa,b
perlakuan N Mean Rank suhu_
suhu_45warna 1,00 30 122,10 45warna
2,00 30 110,77 Chi-Square 39,933
3,00 30 91,87 df 5
4,00 30 86,20
Asymp. Sig. ,000
5,00 30 81,80
6,00
a. Kruskal Wallis Test
30 50,27
Total 180 b. Grouping Variable: perlakuan
c. Suhu 550C
Kruskal-Wallis Test
Ranks Test Statisticsa,b
perlakuan N Mean Rank suhu_
suhu_55warna 1,00 30 128,17 55warna
2,00 30 98,52 Chi-Square 39,530
3,00 30 96,42 df 5
4,00 30 90,52
Asymp. Sig. ,000
5,00 30 75,48
a. Kruskal Wallis Test
6,00 30 53,90
Total 180 b. Grouping Variable: perlakuan
d. Suhu 280C
Kruskal-Wallis Test
Ranks Test Statisticsa,b
perlakuan N Mean Rank suhu_
suhu_28warna 1,00 30 148,95 28warna
2,00 30 125,50 Chi-Square 85,805
3,00 30 81,10 df 5
4,00 30 71,65
Asymp. Sig. ,000
5,00 30 66,70
a. Kruskal Wallis Test
6,00 30 49,10
Total 180 b. Grouping Variable: perlakuan
140