Oleh:
Nama: Putra Ramadani
NIM: 1774201179
Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning
E-mail: putraramadani111@gmail.com
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
1
Nelly Yusra,“Aborsi dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Perempuan, Agama dan Gender,
Vol. 11 No. 1, 2012, hal. 1
2
Budi Utomo dkk, Angka Aborsi dan Aspek Psiko-Sosial di Indonesia, Studi di 10 kota Besar
dan 6 Kabupaten, Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia, Jakarta,2002, h. 7
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya seseorang dari kamu dikumpulkan
penciptaannya di dalam perut ibunya selama empat puluh hari. Setelah genap empat
puluh hari kedua, terbentuklah segumpal darah beku. Ketika genap empat puluh
hari ketiga , berubahlah menjadi segumpal daging. Kemudian Allah mengutus
malaikat untuk meniupkan ruh, serta memerintahkan untuk menulis empat perkara,
yaitu penentuan rizki, waktu kematian, amal, serta nasibnya, baik yang celaka,
maupun yang bahagia.” (Bukhari dan Muslim)
Dalam hal ini, para ulama berselisih tentang hukumnya dan terbagi menjadi
tiga pendapat:
a. Pendapat Pertama:
b. Pendapat kedua:
c. Pendapat ketiga:
4
Maria Ulfah Ansor, Fikih Aborsi : Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan, Kompas,
2006, hlm. 93
wanita sehingga siap menerima kehidupan, maka merusak wujud ini adalah
tindakan kejahatan. Pendapat ini dianut oleh Ahmad Dardir, Imam Ghazali, dan
Ibnu Jauzi.5
Adapun status janin yang gugur sebelum ditiup ruhnya (empat bulan) , telah
dianggap benda mati, maka tidak perlu dimandikan, dikafani, ataupun disholati.
Sehingga bisa dikatakan bahwa menggugurkan kandungan dalam fase ini tidak
dikatagorikan pembunuhan, tapi hanya dianggap merusak sesuatu yang
bermanfaat.6
Secara umum, para ulama telah sepakat bahwa menggugurkan janin setelah
peniupan ruh hukumnya haram. Peniupan ruh terjadi ketika janin sudah berumur
empat bulan dalam perut ibu. Ketentuan ini berdasarkan hadist Ibnu Mas’ud di atas.
Janin yang sudah ditiupkan ruh dalam dirinya, secara otomatis pada saat itu, dia
telah menjadi seorang manusia, sehingga haram untuk dibunuh. Namun jika ada
sebab-sebab darurat, seperti jika janin nantinya akan membahayakan ibunya jika
lahir nanti, maka dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat:
a. Pendapat pertama:
Kelompok ini juga mengatakan bahwa kematian ibu masih diragukan, maka
tidak boleh membunuh janin yang sudah ditiup ruhnya, hanya karena sesuatu yang
meragukan. Selain itu, mereka memberikan permisalan bahwa jika sebuah perahu
akan tenggelam, sedangkan keselamatan semua perahu tersebut bisa terjadi jika
sebagian penumpangnya dilempar ke laut, maka hal itu juga tidak dibolehkan.
5
ibid., hlm.95
6
Ahmad Zain An-Najah, “Menggugurkan Janin Sebelum Peniupan Ruh, Haram ?”, diakses dari
https://www.hidayatullah.com/konsultasi/fikihkontemporer/read/2010/01/29/5355/menggugurka
n-janin-sebelum-peniupan-ruh-haram.html , pada tanggal 25 September 2017 pukul 19.15.
b. Pendapat Kedua:
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Anshor, Maria Ulfah. 2006. Fikih Aborsi : Wacana Penguatan Hak Reproduksi
Perempuan. t.tp :Penerbit Kompas.
Utomo, Budi dkk, 2002. Angka Aborsi dan Aspek Psiko-Sosial di Indonesia: Studi
di 10 Kota Besar dan 6 Kabupaten. Jakarta: Pusat Penelitian Kesehatan
Universitas Indonesia.
Yusra, Nelly. 2012. Aborsi dalam Perspektif Hukum Islam: Jurnal Perempuan,
Agama dan Gender, Vol. 11, No. 1, hlm. 1-19.
Zain An-Najah, Ahmad. 2010. Menggugurkan Janin Sebelum Peniupan Ruh,
Haram ?. Diambil dari: https://www.hidayatullah.com/konsultasi/fikih
kontemporer/read/2010/01/29/5355/menggugurkan-janin-sebelumpeniupan-
ruh-haram.html. (25 September 2017)