Pendahuluan
1. Latar Belakang
Kedokteran ala Hippocrates dikenal amat menjaga nilai-nilai profesionalisme.
Menurutnya, seorang dokter harus rapi, jujur, tenang, pengertian dan serius. Ia juga
menekankan pentingnya observasi dan pencatatan yang baik dan objektif mengenai
kesehatan pasien sehingga catatan tersebut dapat dialihkan kepada dokter lainnya dikemudian
hari apabila diperlukan. Ia mencatat dengan seksama setiap tanda dan gejala yang
ditimbulkan oleh berbagai penyakit. Ia juga memperluas pencariannya hingga ke riwayat
keluarga dan lingkungan tempat tinggal pasien. Baginya, kedokteran adalah sebuah seni
mengenai pengamatan dan pemeriksaan klinis.
Adapun menurut Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan) No.
554/Men.Kes/Per/XII/1982, etika kedokteran adalah norma yang berlaku bagi dokter dan
dokter gigi dalam menjalankan profesinya.Kode Etik Kedokteran menyangkut dua hal yang
harus diperhatikan, yaitu:
1. Etik jabatan kedokteran, yaitu menyangkut masalah yang berkaitan dengan sikap
dokter terhadap teman sejawat, para pembantunya serta terhadap masyarakat dan
pemerintah.
2. Etik asuhan kedokteran, yaitu menyangkut kehidupan sehari-hari dokter, yang
berhubungan dengan sikap dan tindakan seorang dokter terhadap penderita yang
menjadi tanggung jawabnya
2. Identifikasi Masalah
Masalah yang dapat dikemukakan dalam makalah ini adalah sebagai berikut, antara lain :
1. Apa manfaat yang didapat dari mempelajari etika kedokteran dan memahami
keterkaitan antara etika kedokteran dengan hukum?
2. Apakah aborsi termasuk dalam kasus pelanggaran etika kedokteran?
3. Apakah malpraktek termasuk dalam kasus pelanggaran etika kedokteran?
4. Apakah euthanasia termasuk dalam kasus pelanggaran etika kedokteran?
3. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa manfaat yang didapat dari mempelajari etika kedokteran dan memahami keterkaitan
antara etika profesi medis dengan hukum?
2. Apakah euthanasia termasuk dalam kasus pelanggaran etika kedokteran?
4. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk menjelaskan bahwa dalam setiap profesi
memiliki etika tersendiri yang digunakan untuk bertindak dan itu semua disusun berdasarkan
profesinya masing-masing.
Bab II. Landasan Teori
1. Etika
Bertens (1994) menjelaskan, Etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti
karakter, watak kesusilaan atau adat kebiasaan. Menurut Bartens ada tiga arti etika yang
dipakai dalam arti :
1. Nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya (sistem nilai dalam hidup manusia
perorangan/bermasyakat)
2. Kumpulan azas atau moral (kode etik)
3. Ilmu tentang yang baik atau yang buruk.
Etika dapat dibedakan ke dalam 2 kelompok, yaitu :
Etika umum : etika tentang kondisi-kondisi dasar dan umum, bagaimana manusia
harus bertindak secara etis.
Etika khusus : penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan khusus.
2. Profesi
Menurut De George, profesi adl pekerjaan yg dilakukan sbg kegiatan pokok utk
menghasilkan nafkah hidup dan mengandalkan suatu keahlian. Secara umum, ada beberapa
sifat yang melekat pada profesi, yaitu : adanya pengetahuan khusus, adanya kaidah dan
standar moral yang tinggi, dan mengabdi pada kepentingan masyarakat.
3. Etika Profesi
Etika profesi termasuk ke dalam kategori etika sosial. Agar seorang profesional tidak
merusak etika profesi, dibentuklah kode etik profesi.Menurut Sumaryono (1995), ada tiga
alasan kode etik perlu dirumuskan secara tertulis, antara lain :
1. Sebagai sarana kontrol sosial
2. Sebagai pencegah campur tangan pihak lain
3. Sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik
4. Etika Profesi Kedokteran
Menurut World Medical Association dalam Medical Ethics Manual, Etika kedokteran
berfokus terutama dengan masalah yang muncul dalam praktik pengobatan.
Beberapa prinsip dalam etika profesi kedokteran adalah sebagai berikut, antara lain :
belas kasih, bersedia membantu pasien mendapatkan pertolongan, kompetensi yang tinggi,
dan otonomi dokter dan otonomi klinik.
5. Euthanasia
Euthanasia berasal dari kata Yunani eu : baik dan thanatos : mati. Maksudnya adalah
mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit.
Euthanasia sering disebut : mercy killing (mati dengan tenang). Euthanasia bisa muncul dari
keinginan pasien sendiri, permintaan dari keluarga dengan persetujuan pasien (bila pasien
masih sadar), atau tanpa persetujuan pasien (bila pasien sudah tidak sadar).
Tindakan euthanasia dikategorikan menjadi :
1. Euthanasia aktif adalah: suatu tindakan mempercepat proses kematian, baik dengan
memberikan suntikan maupun melepaskan alat-alat pembantu medika, seperti:
melepaskan saluran zat asam, melepas alat pemacu jantung dan lain-lain.
2. Euthanasia pasif adalah: suatu tindakan membiarkan pasien/penderita yang dalam
keadaan tidak sadar (comma), karena berdasarkan pengamalan maupun ukuran medis
sudah tidak ada harapan hidup, atau tanda-tanda kehidupan tidak terdapat lagi
padanya, mungkin karena salah satu organ pentingnya sudah rusak atau lemah
3. Euthanasia volunteeren : penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat
kematian atas permintaan pasien.
4. Euthanasia involunter : jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam kedaan
tidak sadar di mana tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya.Dalam hal ini
dianggap famili pasien yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan
pengobatan.Perbuatan ini sulit dibedakan dengan pembunuhan kriminal.
Bab III. Pembahasan
2. Ilustrasi kasus
Pemberitaan mengenai kasus ini diawali pada tanggal 29 Agustus 2004. Saat itu,
detik.com dalam judul beritanya menyebutkan, ”Ny. Agian, Korban Malpraktik Masih
Tergeletak Lemas.” Berdasarkan keterangan dari suami Ny. Agian yang bernama Panca
Satriya Hasan Kusumo yang dimuat detik.com pada 3 September 2004, awal mula kasus ini
adalah sebagai berikut.
” Awalnya tak ada tanda-tanda yang mencurigakan dari kehamilan istri saya ini.
Setiap bulan istri saya memeriksakan kehamilan ke dokter Gunawan Muhamad, ahli
kandungan. Selama sekian bulan rutin diperiksa dokter Gunawan, ia diberikan beberapa
macam obat untuk kesehatan ibu dan anak. Tidak pernah ada gejala atau tanda-tanda
keracunan. Setelah kehamilan memasuki bulan ke-34, ia (Ny. Again) kembali diperiksa.
Hasil USG muncul kecurigaan dan keraguan dalam diagnosa terhadap kondisi janin dengan
alasan monitor terlalu kecil. Oleh dokter, istri saya disarankan melakukan pemeriksaan di
Jakarta yang lebih lengkap. Terus kami bawa ke RS Harapan Kita, hasilnya tidak ada
kelainan pada janin, kecuali tampak acitest pada ibu dan letak bayi sungsang.
Rekomendasinya agar segera dilakukan operasi caesar. Kemudian tanggal 20 Juli dilakukan
operasi caesar di RSI Bogor. Operasi berjalan selamat, karena kondisi kesehatan bayi kurang,
maka oleh pihak RSI bayi dirujuk di RS PMI Bogor untuk perawatan inkubator. Sedangkan
istri saya normal, tak ada masalah bahkan komunikasi berjalan dengan baik dan malam itu
dibawa ke Rumah Bersalin Yuliana untuk rawat inap. Keesokan harinya, saya diberitahu oleh
pihak Rumah Bersalin Yuliana, bahwa istri saya tekanan darah naik, dan langsung dibawa ke
RSI Bogor tanpa persetujuan saya. Saya diminta langsung ke RSI. Sampai di sana istri saya
sudah ditangani tim dokter, beberapa saat kemudian pihak RS memberikan satu resep untuk
ditebus, untuk menurunkan tekanan darah. Dan hasilnya setelah resep saya tebus, beberapa
saat dari situ saya tanya perkembangan lagi. Darahnya ternyata terlalu drop, 120/80. Wah
terlalu rendah, pihak rumah sakit meminta saya menebus resep lagi. Saya tebus resep di
rumah sakit itu. Saya tunggu beberapa saat. Pas ditensi, saya masuk, ternyata jadi 190/140.
Dokter bilang pak ini ketinggian, bapak harus beli lagi namanya dupamin cair. Dua ampul
plus pengantar untuk membeli darah dua kantong. Malam itu juga jam 12 saya berikan,
tanggal 21 Juli itu, saya berikan 2 ampul dupamin dan dua ampul kantong darah. Saya
menunggu lagi di luar, karena tak boleh di dalam. Sekitar setengah satu saya dipanggil masuk
ruangan dengan buru-buru, Pak-pak cepet-cepet. Pas saya masuk kedapatan istri saya
nampak seperti sudah mati. Saya shock, mereka panik. Saya lihat mereka panik, dengan
napas bantuan. Saya lihat kantong darah sudah kosong satu dan infus dupamin itu. Setelah
itu, saya lihat kira-kira 10 menit tanpa nadi dan napas. Tensi nol. Setelah kantong darah
kedua dan dupamin diperas, kira-kira sepuluh menit muncul nadi dan napas. Pas ditensi,
tensinya 60/40. Dari situlah dilanjutkan sampai kantong darah dan dupamin habis. Sampai
kira-kira tinggal seperempat, ditensi, tensinya tidak terkendali. 60, 90, 150., 180 terus sampai
250/210. Ya setelah selesai, di situlah akhir dari tindakan itu. Kemudian istri saya diamkan
dari jam 2 siang, katanya mau dirujuk ke ICU. Baru pada jam 8 malam, baru dapat ruang
ICU di rumah sakit PMI Bogor. Setelah masuk PMI, kemudian di ICU 8 hari dan dirawat
inap sampai 38 hari. Baru dapat kepastian tanggal 11 Agustus kalau perlu tindakan lanjutan.
Kemudian saya membawa istri saya ke RS Pertamina untuk MRI, karena beberapa hari itu
kondisinya spatik. Ternyata PMI membiarkan saja. Hanya melakukan pijat-pijat saja. Setelah
saya bawa ke RS Pertamina, baru pasti ada kerusakan otak, kanan kiri, otak kecil kanan dan
kiri, serta kerusakan pusat saraf otak yang permanen.”
Pada 7 September 2004, diberitakan bahwa Ny. Agian Isnauli tidak hanya
melaporkan dr Gunawan dari RS Islam Budi Agung ke Polda Jawa Barat dengan tuduhan
telah melakukan malpraktik saja. Tetapi, ia rencananya akan mengajukan gugatan perdata ke
Pengadilan Negeri (PN) Bogor.
Pada 17 September 2004, Hasan beraudiensi dengan anggota DPRD Kota Bogor. Saat
itu ia menyampaikan bahwa ia sudah mengeluarkan uang Rp. 60 Juta untuk membiayai
pengobatan istrinya dan masih berhutang Rp. 17 Juta lagi ke RS PMI Bogor. Ia mengatakan
bahwa tidak memiliki uang lagi untuk membiayai pengobatan istrinya, karena itu ia
memohon agar istrinya disuntik mati saja (euthanasia). Pada 27 September 2004, Menteri
Kesehatan A. Suyudi mengatakan bahwa euthanasia dilarang di Indonesia. Diwawancarai
pada hari yang sama, Hasan mengatakan bahwa apabila pemerintah melarang euthanasia,
maka dia minta pemerintah ikut menanggung biaya pengobatan istrinya, karena Ia merasa
tidak mampu lagi menyediakan dana untuk pengobatan istrinya. Polemik seputar
permohonan euthanasia ini mengundang komentar dari dr Marius Widjajarta dari Yayasan
Konsumen Kesehatan Indonesia. Menurutnya, apa yang dilakukan RS terhadap Ny Agian
sudah masuk kategori euthanasia pasif. Lebih lanjut Ia mengatakan, " Kalau orang yang tidak
punya uang dan membuat suatu pernyataan tidak mau dirawat, itu sudah merupakan
euthanasia pasif meskipun euthanasia dapat diancam hingga 12 tahun penjara."
Ternyata, pada 22 Oktober 2004 Hasan secara formal mengajukan permohonan
euthanasia terhadap istrinya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada hari itu juga Hasan
meminta penetapan euthanasia kepada Menteri Kesehatan. Namun untuk berjaga-jaga
sekiranya Menteri Kesehatan menolak permohonan tersebut, Hasan juga menyerahkan surat
kepada Menteri Kesehatan yang berisi permohonan keringanan biaya perawatan untuk
istrinya.
Pada 26 Oktober 2004, Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari menjenguk Ny. Agian
di RSCM. Ia mengatakan,”untuk selanjutnya, biaya perawatan dan pengobatan Ny Agian
akan kita tanggung. Mudah-mudahan gratis, kita akan bantu seluruh biaya." Namun, pada 10
November 2004 Hasan malah melaporkan Menteri Kesehatan ke polisi. Ia mengatakan
"Waktu kunjungannya, menkes menjanjikan akan mengcover biaya perawatan istri saya.
Tapi nyatanya tagihan baru terus berdatangan. Tagihan yang saya bawa ini saja sudah
menghabiskan biaya sekitar Rp 20 juta. Bahkan ada obat-obatan yang belum saya tebus."
Pada tanggal 6 Januari 2005 terjadi kejadian yang luar biasa. Ny. Agian yang
berbulan-bulan koma telah sadar kembali. Ny Agian telah bisa meninggalkan tempat tidurnya
dan melihat pemandangan dengan naik kursi roda; tentu saja masih dengan bantuan
kerabatnya. Dia juga sudah bisa mengunyah karedok (makanan Sunda, sejenis gado-gado)
dan sudah bisa berbicara. Menurut, Iskandar, kuasa hukumnya dari LBH Kesehatan, kondisi
Agian membaik setelah mendapatkan berbagai pengobatan alternatif dari Manado, Sumut,
Jabar hingga NTB. Jenis pengobatan alternatif itu misalnya pemijitan sistem refleksi dan
dengan bau-bauan. Menurut Iskandar pengobatan tradisional ini merupakan upaya keluarga.
"Tapi dokter tidak melarang," tandas Iskandar. Keluarga juga memberikan terapi
memperdengarkan lagu-lagu nostalgia kepada Agian. "Ny Agian jadi ingat anaknya dan ingat
pergaulannya dulu. Keluarga terus melakukan aneka terapi," kata Iskandar.
Pada 6 Januari 2005, Ny. Agian dapat melakukan aktifitas yang luar biasa. Ia dapat
membaca surat Al Fatihah hingga selesai dan menyanyi lagu dangdut Goyang Dombret.
Yanti, Perawat yang sehari-hari merawat Ny. Agian menceritakan, "Kira-kira seminggu
sebelum lebaran (November 2004), Ny Agian sudah menunjukkan keadaan yang baik. Secara
berangsur-angsur pulih dari tempat tidur duduk bersandar, duduk berjuntai, dan sekarang
sudah kuat menopang lehernya." Dr M Imam, dokter jaga di Stroke Unit RSCM
menambahkan, Ny Agian sudah mulai progesif. "Sudah sekitar 1 bulan terakhir ini. Dia
sudah bisa berkomunikasi dan menerima rangsang-rangsang dari luar," kata Imam.
Sedangkan ahli gizi Stroke Unit RSCM, Utih Arupah SKM, menyatakan, biaya makan per
hari Agian mencapai Rp 100 ribu. Setiap hari Ny. Agian diberi susu peptamin ensure, 6 buah
putih telor, sari buah, dan makan hapermuth 3 kali sehari. "Untuk kembali sembuh, Ny Agian
membutuhkan gizi yang prima. Karena itu ongkos makanannya pun mencapai Rp 100 ribu
per hari," katanya. "Pasien VIP biasanya nggak lebih dari segitu (Rp 100 ribu). Tapi ini kita
beri yang terbaik agar kondisinya semakin membaik," demikian menurut Utih. Ketua Umum
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Prof. Dr. Farid Anfasa Moeloek pada tanggal 7
Januari 2005 berkomentar bahwa apa yang terjadi pada Ny. Agian yang telah sadar dari
koma panjangnya adalah suatu mukjizat.
Pada tanggal 6 Januari 2005 itu pula Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari
menjenguk Ny. Agian kembali. Pada saat itu Ia mengatakan, "Tolong diberitakan ya! Orang
yang sudah hidup begini masa mau disuntik mati. Ini bagi kaum perempuan sangat
menyakitkan. LSM yang peduli perempuan diam saja.” Hasan saat itu tidak berada di tempat,
karena sedang menjadi relawan penolong korban tsunami di Aceh. Ketiadaan Hasan
membuat berbagai isu yang menjurus fitnah beredar. Salah satunya ialah isu yang
mengatakan bahwa kepergian Hasan ke Aceh ialah untuk menghindari kebencian Ny. Again.
Tetapi Ninda, aktivis LBH Kesehatan yang intens mendampingi Ny. Again, pada 7 Januari
2005 membantah isu tersebut. Pada 9 Januari 2005, Ninda memberitahu bahwa Ny. Agian
terus menerus memanggil nama Hasan. Hal mana membuktikan bahwa Ny. Agian justru
rindu pada suaminya, bukannya membencinya.
Setelah pulang dari Aceh, Hasan kembali membuat berita. Pada tanggal 11 Januari
2005 ia mengumumkan pada pers bahwa ia akan melaporkan Menteri Kesehatan Siti Fadillah
Supari ke Mabes Polri dengan tuduhan pencemaran nama baik. Ia merasa difitnah Menkes
yang menuduhnya lari dari tanggung jawab menjaga istrinya yang sedang sakit di RSCM
Agian Isna Nauli. Hasan menuturkan, berdasarkan pengakuan dua orang wanita dari LBH
kesehatan yang menemani Agian saat Menkes datang, Menkes menunjuk kedua wanita itu
dan menuduh mereka hanya mencari keuntungan belaka dari sakitnya Agian.
"Itu fitnah. 'Adik-adik' dari LBH Kesehatan itu justru yang selama ini telah
membantu saya. Saya sangat keberatan dengan itu," demikian kata Hasan.
Pada 5 Februari 2005 diberitakan bahwa kondisi kesehatan Ny. Agian semakin
membaik, bahkan tangan dan kakinya sudah bisa digerakan. Ny. Agian bahkan sudah bisa
menebar senyum dan mengenali siapa saja yang mengajaknya bicara. Mungkin karena
dianggap kondisinya sudah membaik, maka pada tanggal 7 Februari 2005, pihak RSCM
memindahkan Ny. Agian ke bangsal kelas III. Sebelumnya Ny. Agian dirawat di ruang
khusus stroke Soepardjo Roestam RSCM. Menurut keluarga dan LBH Kesehatan yang
mendampingi Ny. Agian, pemindahan dilakukan dengan paksa dikawal aparat kepolisian.
Menurut Ninda, dari LBH Kesehatan, pemindahan Ny Agian ini dilakukan secara mendadak.
Pihak keluarga sempat menentang pemindahan ini. Apalagi, saat itu suhu badan Ny Agian
panas dan demam. Ninda menyatakan, alasan para perawat di ruang Soepardjo Roestam
memindahkan Agian, karena Agian dinilai sudah tidak perlu perawatan secara medis lagi dan
hanya butuh terapi saja. "Saat dipindahkan, sejumlah anggota polisi mengawal dan bahkan
mereka berjaga di depan bangsal ini sampai Sabtu kemarin," jelasnya.
Dibandingkan saat dirawat di ruang khusus perawatan Soepardjo Roestam, kualitas
perawatan di bangsal kelas III jauh berbeda. Ny Agian kini dikumpulkan bersama dengan 30
pasien lainnya di bangsal itu. Dulu, Ny Agian berada di Ruang Soepardjo Roestam seorang
diri. Di bangsal ini juga tidak tampak ada peralatan medis semewah di ruang Soepardjo
Roestam.
Rencananya, kata Ninda, sebagai bentuk tidak terimanya keluarga atas pemindahan
Ny Agian ini, minggu ini pihak keluarga akan memindahkan Ny Agian ke luar negeri. Pihak
keluarga dan LBH Kesehatan juga menilai, RSCM sudah tidak serius lagi merawat Agian. Ini
terihat, dari tindakan para perawat yang kurang respek terhadap Agian.
"Memang, rencananya Bang Hasan (suami Agian) akan membawa Mami ke RS di
Luar Negeri minggu ini. Karena di sini dinilai sudah tidak serius. Tapi, fixed atau tidaknya
dipindahkan ke luar negeri, saya belum tahu," jelasnya. Sebelumnya, memang RSCM
meminta kepada keluarga untuk merawat Ny Agian di rumah, karena kondisi Agian sudah
membaik. Namun, saat itu Hasan mengaku belum siap. Seiring dengan kepindahan Ny
Agian ke bangsal kelas III, wartawan juga tidak diperbolehkan oleh perawat untuk menengok
atau mewawancarainya. Bila ingin melihat kondisi Ny. Agian, wartawan harus mendapat izin
tertulis dari RSCM.
Berita terakhir yang terkait dengan kasus ini dimuat di detik.com pada tanggal 20
Februari 2005. Dalam berita tersebut dikatakan bahwa untuk pemulihan kesehatannya Ny
Agian Isna Nauli akan diberangkatkan ke Kuba. Namun, karena masalah biaya yang
mencapai sekitar US$ 5.000, hal tersebut belum bisa dilakukan. Ketua LBH Kesehatan
Iskandar Sitorus mengatakan bahwa awalnya ada tiga negara yang akan dituju untuk
pemulihan kesehatan Ny Agian. Negara-negara tersebut adalah Kuba, Belanda dan Vatikan.
"Tapi di antara tiga negara tersebut yang lebih responsif adalah Kuba," katanya. Menurut
Sitorus, Ny Agian segera di berangkatkan ke Kuba jika uang tersebut terkumpul. "Tapi,
sampai saat ini kami masih mencari donatur untuk biayanya karena sampai saat ini belum
ada," ungkapnya.
1. Kesimpulan
Etika kedokteran dapat dikaitkan dengan hukum, moral, dan nilai agama. Etika
membuat standar perilaku yang lebih tinggi dibanding hukum, dan kadang etika
memungkinkan dokter perlu untuk melanggar hukum yang menyuruh melakukan tindakan
yang tidak etis. Euthanasia yang merupakann cara mempercepat kematian tidak dibenarkan.
Tugas dokter adalah menyembuhkan, bukan membunuh. Kebolehan euthanasia pasif itu
didasarkan atas pertimbangan bahwa pasien sebenarnya memang sudah tidak memiliki fungsi
organ-organ yang memberi kepastian hidup. Tuhan tidak memberikan beban kewajiban yang
manusia tidak sanggup memikulnya.Yang penting disini tidak ada unsur kesengajaan untuk
mempercepat kematian pasien.
2. Saran
Seorang profesional dalam bidang medis seharusnya mempertimbangkan etika dalam
menjalankan profesinya. Hal terpenting yang harus diterapkan adalah “menempatkan pasien
di urutan pertama”. Oleh karena itu, seorang dokter harus mementingkan kebutuhan pasien
dalam mendapatkan pertolongan dan bukan mementingkan keuntungan dirinya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA