Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar belakang

Golongan darah merupakan ciri khusus darah dari suatu individu karena

adanya perbedaan jenis karbohidrat dan protein pada permukaan membran sel

darah merah. Golongan darah ditentukan oleh jumlah zat (kemudian disebut

antigen) yang terkandung di dalam sel darah merah (Basyir, 2010).

Awalnya William Harvey telah melakukan transfusi darah pada penderita

kekurangan darah, tetapi banyak menyebabkan kematian dan ada juga yang

berhasil secara kebetulan. Juga sudah pernah dicoba memindahkan darah

binatang, seperti darah kelinci, darah domba tetapi menyebabkan kematian

(Basyir, 2010).

Lalu pada Tahun 1900 Dr. Karl Landsteiner mengumumkan penemuannya

tentang golongan darah manusia. Sejak penemuan inilah pemindahan darah

(transfusi) darah ini tidak lagi berbahaya, sudah dapat menolong penderita-

penderita yang kekurangan darah. Dengan ditemukannya golongan darah oleh

Dr. Karl Landsteiner, dapatlah dijelaskan sebab-sebab kematian yang dulu akibat

dari transfusi darah. Pada penyelidikannya juga dia dapat menemukan zat-zat

yang dapat menghalangi pembekuan darah, sehingga darah yang diambil dari

tubuh tidak segera membeku. Selain itu dia menemukan, bahwa dengan

penambahan larutan glukosa ke dalam darah dapat memperpanjang hidup

Erythrocyt di luar tubuh manusia. Dengan penemuan, darah sudah dapat disimpan

sebelum ditransfusikan ke dalam tubuh penderita (Basyir, 2010).


Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukanlah percobaan alel ganda ini

untuk mengetahui golongan darah yang dimiliki setiap individu dan mengetahui

frekuensi alel-alelnya dalam populasi tersebut.

I.2 Tujuan Percobaan

Tujuan percobaan ini adalah untuk menetapkan golongan darah masing-

masing individu dalam populasi kelas, menghitung frekuensi alel IA, IB, dan I0

dalam populasi kelas dan menghitung frekuensi genotip darah dalam populasi

kelas.

I.3 Waktu dan Tempat

Percobaan Alel Ganda ini dilakukan pada hari Jumat, 13 April 2018, pukul

14.00-17.00 WITA bertempat di Laboratorium Genetika, Departemen Biologi,

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin,

Makassar.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Tinjauan Umum

Alel adalah gen-gen yang terletak pada lokus yang sama (bersesuaian) dan

memiliki pekerjaan yang hampir sama dalam kromosom homolog. Dilihat dari

pengaruh gen pada fenotipe, alel memiliki pengaruh yang saling berlawanan

dalam pengekspresian suatu sifat. Di dalam suatu lokus, terdapat sepasang atau

lebih alel. Bila terdapat sepasang alel dalam suatu lokus, maka disebut alel

tunggal. Bila terdapat lebih dari satu pasang alel dalam satu lokus, maka disebut

alel ganda atau multiple alelomorfi (Bintang, 2012).

Bila seseorang mengatakan kata alel, yang terbayang adalah sepasang gen

yang terdiri dari dua anggota yang masing-masing terletak pada lokus (tempat)

yang sama dalam pasangan kromosom yang homolog. Sampai pembicaraan

sejauh ini orang beranggapan bahwa suatu lokus dalam sebuah kromosom itu

hanya ditempati oleh salah satu dari sepasang alel saja. Apabila sebuah lokus

dalam sebuah kromosom ditempati oleh beberapa atau suatu seri alel maka alel-

alel demikian disebut alel ganda (multiple alleles). Peristiwa ini dinamakan

sebagai multiple alelomorfi (Suryo, 2005).

Belum banyak yang mengetahui bahwa dalam alel itu ada yang disebut

sebagai alel ganda beserta contoh dan komponen-komponen yang terdapat

didalamnya. Contoh sederhananya adalah darah yang memberikan peranan amat

penting untuk kehidupan suatu organisme. Masyarakat luas sudah tidak asing lagi

dengan kata golongan darah atau transfusi darah atau bahkan tak heran dengan

berbagai variasi warna bulu pada kelinci. Namun pengetahuan mereka hanya
sebatas itu tanpa mengetahui apa hubungannya dengan alel ganda yang terdapat

pada gen. Alel ganda bukan hanya sebatas ada pada manusia melainkan pada

hewan dan tumbuhan pun alel ganda itu ada. Tetapi ada perbedaan antara alel

ganda pada manusia, hewan, dan tumbuhan (Siti, 2011).

II.2 Alel Ganda

Alel adalah gen yang memiliki lokus (posisi pada kromosom) yang sama,

tetapi memiliki sifat bervariasi yang disebabkan mutasi pada gen asli. Dari sudut

pandang genetika klasik, alel adalah bentuk alternatif dari gen dalam kaitannya

dengan ekspresi suatu sifat (fenotipe). Hanya ada dua alel untuk karakter-karakter

yang dipelajari oleh Mendel, namun sebagian besar gen terdapat dalam dua

bentuk alel atau lebih. Beberapa organisme ada yang memiliki lebih dari dua alel

untuk satu lokus. Tiga atau lebih alel yang terdapat pada satu lokus disebut alel

ganda. Umumnya tiap alel dapat menghasilkan fenotip yang berbeda dan pola

tertentu (Suryo, 2011).

Alel ganda adalah fenomena terjadinya tiga atau lebih alel dari suatu gen.

Umumnya satu gen tersusun dari dua alel alternatifnya. Alel ganda dapat terjadi

akibat mutasi yang menghasilkan banyak variasi alel. Misalkan gen A bermutasi

menjadi a1, a2, dan a3, yang masing-masing menghasilkan fenotip yang berbeda.

Dengan demikian mutasi gen A dapat menghasilkan empat macam varian, yaitu

A, a1, a2, dan a3. Contoh alel ganda, yaitu terjadi pada gen yang mengatur warna

rambut kelinci dan golongan darah manusia (Campbell, dkk., 2010).

Alel ganda terjadi karena timbulnya mutasi gen, tetapi gen yang bermutasi

tidak selalu menghasilkan varian yang sama. Misalnya, gen A bermutasi menjadi

a1 atau a2 atau a3, yang masing-masing menghasilkan fenotip yang berlainan.

Dengan demikian mutasi gen A dapat menghasilkan 4 macam varian, sedangkan


anggota alelnya bukan hanya 2 (dua), tetapi ada 4 (empat), yaitu: A, a1, a2 dan a3.

Alel yang anggotanya lebih dari dua disebut alel ganda (Anang, 2011).

Pengaruh peranan alel ganda dapat dilihat pada kelinci. Beberapa warna

dasar kulit kelinci disebabkan oleh suatu seri alel ganda (Suryo, 2005) yaitu:

1. c+ adalah alel yang menyebabkan kulit kelinci berambut abu-abu bercampur

kuning, cokelat dan dengan ujung rambut hitam. Kelinci ini merupakan

kelinci liar (normal).

2. cch adalah alel yang menyebabkan kulit kelinci berambut abu-abu perak, tanpa

warna kuning. Kelinci yang mempunyai fenotip ini disebut chinchilla.

3. ch adalah alel yang menyebabkan kulit kelinci berambut putih, kecuali telinga,

hidung, kaki, dan ekor berwarna hitam. Kelinci ini dinamakan kelinci

Himalaya.

4. c adalah alel yang menyebabkan kulit kelinci berwarna putih.

Berbagai percobaan perkawinan pada bermacam-macam kelinci itu

memberi petunjuk bahwa dominansi alel-alel tersebut ialah: c+ > cch > ch > c.

Perkawinan antara kelinci normal dengan chincilla menghasilkan keturunan F1

yang semuanya berupa kelinci normal. Tetapi keturunan F2 memperlihatkan

perbandingan fenotip = 3 normal : 1 chincilla. Ini memberikan pengertian bahwa

gen yang menyebabkan warna abu-abu dan chinchilla merupakan alel c+ dan c

(Suryo, 2005).

II.3 Sistem Penggolongan AB0

Pada permulaan abad ini (tahun 1900 dan 1901) K. Landsteiner

menemukan bahwa penggumpalan darah (aglutinasi) kadang-kadang terjadi

apabila eritrosit (sel darah merah) seseorang dicampur dengan serum darah orang

lain. Akan tetapi pada orang lain, campuran tadi tidak mengakibatkan
penggumpalan darah. Berdasarkan reaksi tadi, maka Landsteiner membagi orang

menjadi 3 golongan, ialah A, B dan 0. Golongan yang keempat jarang sekali

dijumpai yaitu golongan darah AB, telah ditemukan oleh dua orang mahasiswa

Landsteiner dalam tahun 1902, ialah A. V. Von Decastello dan A. Sturli

(Suryo, 2005).

Golongan darah menurut sistem AB0 dapat diwariskan dari orang tua

kepada anaknya, Land-Steiner (1996) membedakan darah manusia ke dalam

empat golongan yaitu A, B, AB dan 0. Penggolongan darah ini disebabkan oleh

macam antigen yang dikandung oleh eritrosit (sel darah merah), Adanya antigen

di dalam eritrosit ditentukan oleh suatu seri alel ganda yaitu lA, lB, dan I0. Populasi

penduduk hampir seluruh dunia memiliki ketiga buah alel tersebut, meskipun

penyebaran alelnya berbeda-beda (Suryo, 2011).

Golongan Darah Genotipe

A IA IA atau IA Ii

B IB IB atau IB Ii

AB IA IB

0 Ii

Tabel 2.1 Genotipe golongan darah AB0


(Suryo, 2005)

Sebagian besar gen yang ada dalam populasi sebenarnya hadir dalam lebih

dari dua bentuk alel. Golongan darah AB0 pada manusia merupakan satu contoh

dari alel berganda dari sebuah gen tunggal. Ada empat kemungkinan fenotip

untuk karakter ini. Golongan darah seseorang mungkin A, B, AB atau 0. Huruf-

huruf ini menunjukkan dua karbohidrat, substansi A dan substansi B, yang

mungkin ditemukan pada permukaan sel darah merah. Sel darah seseorang
mungkin mempunyai sebuah substansi (tipe A atau B), kedua-duanya (tipe AB),

atau tidak sama sekali (tipe 0) (Oktari, 2016).

Kesesuaian golongan darah sangatlah penting dalam transfusi darah. Jika

darah donor mempunyai faktor (A atau B) yang dianggap asing oleh resipien,

protein spesifik yang disebut antibodi yang diproduksi oleh resipien akan

mengikatkan diri pada molekul asing tersebut sehingga menyebabkan sel-sel

darah yang disumbangkan menggumpal. Penggumpalan ini dapat membunuh

resipien (Basyir, 2010).

II.4 Golongan Darah Sistem MNSs dan Rhesus

Dalam tahun 1927 K. Landsteiner dan P. Levine menemukan antigen baru

yang mereka sebut antigen-M dan antigen-N. Dikatakan bahwa sel darah merah

seseorang dapat mengandung salah satu atau kedua antigen tersebut. Jika

misalnya eritrosit seseorang yang mengandung antigen-M disuntikkan ke dalam

tubuh kelinci, maka darah kelinci akan membentuk zat anti-M dalam serum darah

kelinci. Apabila antiserum dari kelinci ini dipisahkan dan digunakan untuk

menguji darah orang yang mengandung antigen-M, maka eritrosit darah orang ini

akan menggumpal (Suryo, 2005).

Pada golongan darah ini tidak ada dominasi. Golongan darah ini

dikendalikan oleh lokus autosomal pada kromosom 4, dengan dua alel LM dan LN.

Anti-M dan anti-N adalah IgM dan sangat jarang menyebabkan gangguan pada

proses transfusi darah. Dengan kata lain tidak masalah seorang dengan golongan

darah M mendapatkan transfusi darah N (Oktari, 2016).

Berbeda dengan golongan darah sistem AB0, maka pada golongan darah

sistem MN, serum atau plasma darah orang tidak mengandung zat anti-M maupun

anti-N. Berhubung dengan itu golongan darah sistem MN tidak penting untuk
keperluan tranfusi darah, karena tidak ada bahaya penggumpalan darah.

Landsteiner dan Levine menyatakan bahwa kedua jenis antigen M dan N itu

ditentukan oleh sebuah gen yang memiliki dua alel (Suryo, 2005).

Golongan Antigen dalam Alel dalam


Genotipe
Darah eritrosit kromosom

M M LM LM LM

N N LN LN LN

MN M dan N LM dan LN LM LN

Tabel 2.2 Genotip dan Fenotip darah sistem MN


(Suryo, 2005)

Sistem MN Sistem MNSs

(menurut Landsteiner) (menurut Race-Sanger)

Gen: LM dan LN Gen: LMS, LMs, LNS, LNs

Fenotip Genotip Fenotip Genotip

MS LMSLMS atau LMSLMs


M LMLM
Ms LMs LMs

NS LNSLNS atau LNSLNs


N N
N L L
Ns LNs LNs

MNS LMSLNS atau LMS LNs atau

MN LMLN LMsLNS

MNs LMsLNs

Tabel 2.3 Pengelompokan jenis darah orang berdasarkan sistem MN dan MNSs
(Suryo, 2005)
Pada tahun 1947 R. R. Race dan R. Sanger telah menemukan adanya sub-

bagian Ss dari golongan darah MN, sehingga menurunnya golongan MN tidak

semudah seperti diduga semula. Contoh pertama tentang terdapatnya anti-S

diketahui di Sydney, Australia. Kini telah menjadi kenyataan bahwa kombinasi

MN dan Ss diwariskan sebagai kesatuan seperti MS, Ms, NS dan Ns. Race dan

Sanger menegaskan bahwa selain gen yang menentukan fenotip M dan N masih

terdapat gen lain yang letaknya amat dekat. Gen ini memiliki dua alel pula.

Berhubung dengan itu golongan darah sistem MN kini biasanya disebut sistem

MNSs (Suryo, 2011).

Rhesus adalah protein (antigen) yang terdapat pada permukaan sel darah

merah. Tidak berbeda dengan sistem penggolongan darah AB0, pada sistem

rhesus golongan darah seseorang dibedakan berdasarkan adanya antigen tertentu

dalam darah. Antigen yang digunakan untuk menggolongkan darah berdasarkan

rhesus disebut sebagai antigen D. Jika hasil tes darah seseorang menunjukkan

adanya antigen D dalam darahnya, ia termasuk Rh+. Sebaliknya, jika seseorang

tidak memiliki antigen D, ia termasuk Rh- (Basyir, 2010).

Sistem penggolongan berdasarkan rhesus ini ditemukan oleh Landsteiner

dan Wiener pada tahun 1940. Disebut rhesus karena saat itu Landsteiner-Wiener

melakukan riset dengan menggunakan darah kera 'rhesus' (Macaca mulatta), salah

satu spesies kera yang banyak dijumpai di India dan Cina. Penelitian itulah yang

menyimpulkan, sel darah merah yang mempunyai faktor protein (antigen) disebut

rhesus positif Rh+ dan Rh- untuk sel darah merah yang tidak memiliki faktor

protein (Swastini, dkk., 2016).

Insiden yang mengalami inkompatibilitas rhesus (yaitu rhesus negatif)

adalah 15% pada ras berkulit putih dan 5% berkulit hitam, jarang pada bangsa
Asia. Rhesus negatif pada orang Indonesia jarang terjadi, kecuali adanya

perkawinan dengan orang asing yang bergolongan rhesus negatif. Pada wanita

rhesus negatif yang melahirkan bayi pertama rhesus positif, risiko terbentuknya

antibodi sebesar 8%. Sedangkan insidens timbulnya antibodi pada kehamilan

berikutnya sebagai akibat sensitisitas pada kehamilan pertama sebesar 16%.

Tertundanya pembentukan antibodi pada kehamilan berikutnya disebabkan oleh

proses sensitisasi, diperkirakan berhubungan dengan respon imun sekunder yang

timbul akibat produksi antibodi pada kadar yang memadai. Kurang lebih 1%

dari wanita akan tersensitasi selama kehamilan, terutama trimester

ketiga (Sasmita, 2008).

II.5 Genetika Populasi

Genetika populasi adalah salah satu cabang ilmu genetika yang

mempelajari variasi genetik dalam suatu populasi. Cabang ilmu genetika ini

banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang, khususnya kesehatan, pemuliaan,

dan konservasi. Genetika populasi mengenali arti penting dari sifat kuantitatif,

karena cara menentukan penyebaran alel tersebut dilakukan secara matematis.

Salah satu saja frekuensi dari suatu gen diketahui dapat digunakan untuk

memprediksi frekuensi gen yang lain. Hal tersebut dapat diaplikasikan dalam

mendiagnosa penyakit genetik (Khoiriyah, 2014).

Populasi adalah suatu kelompok individu sejenis yang hidup pada suatu

daerah tertentu. Genetika populasi adalah cabang dari ilmu genetika yang

mempelajari gen-gen dalam populasi dan menguraikannya secara matematik

akibat dari keturunan pada tingkat populasi. Suatu populasi dikatakan seimbang

apabila frekuensi gen dan frekuensi genetik berada dalam keadaan tetap dari

setiap generasi. Hukum Hardy-Weinberg menyatakan bahwa frekuensi alel dan


frekuensi genotipe dalam suatu populasi akan tetap konstan, yakni berada dalam

kesetimbangan dari satu generasi ke generasi lainnya kecuali apabila terdapat

pengaruh-pengaruh tertentu yang mengganggu kesetimbangan tersebut. Pengaruh-

pengaruh tersebut meliputi perkawinan tak acak, mutasi, seleksi, ukuran populasi

terbatas, hanyutan genetik, dan aliran gen. Hal yang penting untuk dimengerti

bahwa di luar laboratorium, satu atau lebih pengaruh ini akan selalu ada. Oleh

karena itu, kesetimbangan Hardy-Weinberg sangatlah tidak mungkin terjadi di

alam. Kesetimbangan genetik adalah suatu keadaan ideal yang dapat dijadikan

sebagai garis dasar untuk mengukur perubahan genetik (Campbell, dkk., 2010).

Syarat berlakunya asas Hardy-Weinberg yaitu (Campbell, dkk., 2010):

1. Setiap gen mempunyai viabilitas dan fertilitas yang sama.

2. Perkawinan terjadi secara acak dan tidak terjadi mutasi gen atau frekuensi

terjadinya mutasi sama besar

3. Tidak terjadi migrasi

4. Jumlah individu dari suatu populasi selalu besar

Jika syarat-syarat yang diajukan dalam kesetimbangan Hardy-Weinberg

tadi banyak dilanggar, jelas akan terjadi evolusi pada populasi tersebut, yang akan

menyebabkan perubahan perbandingan alel dalam populasi tersebut. Definisi

evolusi sekarang dapat dikatakan sebagai perubahan dari generasi ke generasi

dalam hal frekuensi alel atau genotipe populasi (Campbell, dkk., 2010).
BAB III

METODE PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan

III.1.1 Alat

Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah kaca preparat, pipet tetes,

jarum lancet dan autoclick.

III.1.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah darah masing-masing

praktikan sebanyak 2 tetes, serum anti-A, anti-B dan kapas beralkohol.

III.2 Prosedur Kerja

Cara kerja dalam percobaan ini adalah sebagai berikut:

1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.

2. Digunakan kaca preparat sebanyak 1 buah untuk masing-masing praktikan.

3. Diambil darah praktikan dengan menggunakan autoclick kemudian tetesi pada

kaca preparat sebanyak 2 tetes.

4. Dibersihkan jari menggunakan kapas beralkohol agar tidak terjadi infeksi.

5. Diteteskan serum anti-A dan anti-B menggunakan pipet tetes di atas kaca

preparat dan aduk secara merata, diamkan selama 1 menit.

6. Diamati proses aglutinasi pada darah yang telah ditetesi serum anti-A dan anti-

B, kemudian menentukan golongan darahnya.

7. Dihitung frekuensi alel dan genotip darah populasi dalam kelas menggunakan

persamaan Hardy-Weinberg.
DAFTAR PUSTAKA

Basyir, M. 2010. Penggunaan Sensor Elektronik untuk Penentuan Golongan


Darah. Jurnal Litek. Vol: 7(2). Hal (4-7).

Campbell, N. A., Reece J. B., Urry, L. A., Cain, M. L., Wasserman, S. A.,
Minorsky, P. V., Jackson, R. B. 2010. Biologi Edisi Kedelapan Jilid
Satu. Jakarta. Erlangga.

Darmawati., Suryawati, E., dan Suhendri, E. 2005. Frekuensi dan Penyebaran Alel
Golongan Darah ABO Siswa SMUN 1 Suku Bangsa Melayu di
Kecamatan Rupat Kabupaten Bengkalis Riau. Jurnal Biogenesis. Vol:
1(2). Hal (66-69).

Khoiriyah, Y. N. 2014. Karakter Genetik Populasi Bedeng 61 B Desa Wonokarto


Kabupaten Lampung Timur Pasca Program Kodonisasi Pemerintah
Belanda. Jurnal Ilmiah Biologi. Vol: 2(2). Hal (132-137).

Oktari, A., dan Silvia N. D. 2016. Pemeriksaan Golongan Darah Sistem ABO
Metode Slide dengan Reagen Serum Golongan Darah A, B, O. Jurnal
Tekno Lab. Vol: 5(2). Hal (1-5).
Sasmita, C. 2008. Pengenalan Golongan Darah Jenis AB0 dengan
Mempergunakan Pemodelan Hidden Markov. Skripsi. Depok.
Universitas Indonesia.

Suryo. 2011. Genetika Manusia. Yogyakarta. UGM Press.

Suryo. 2005. Genetika Strata. Yogyakarta. UGM Press.

Anda mungkin juga menyukai