MUKADIMAH
ََُْٛٓ ِِ ْٓ لَ ْج ٍِ ُى ُْ ٌَ َؼٍَّ ُى ُْ رَزَّم٠ِ اٌَّزٍَٝت َػ َ ِا ُوزَُِٕٛ َٓ آ٠ِب اٌَّزَٙ ُّ٠َب أ٠َ
ّ ِ ٌ ُى ُُ ا١ْ ٍَت َػ
َ ِب َُ َو َّب ُوز١َ ص
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa (di bulan
Ramadhan) sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu
(menjadi lebih) bertaqwa.“ (QS. Al-Baqoroh : 183)
Bulan suci Ramadhan kembali akan segera datang untuk menyapa dan menyambut orang-
orang beriman. Semoga Allah berkenan untuk mempertemukan kita semua dengan bulan
yang istimewa tersebut, amiiin yaa Robbal ‘Aalamiin.
Bulan Ramadhan - bagi orang-orang beriman - adalah bulan yang istemewa dan bahkan
paling istemewa. Karena Allah SWT dengan sengaja memberikan berbagai keistimewaan
dan beragam keutamaan di bulan tersebut yang tidak Allah berikan di bulan-bulan yang lain.
Oleh karenanya, Ramadhan adalah merupakan momentum yang sangat istimewa bagi
orang-orang beriman dalam upaya perbaikan dan perubahan diri untuk mencapai tingkat
keimanan dan ketaqwaan yang lebih tinggi.
Untuk itu berbahagialah bagi yang dapat mengoptimalkan diri untuk memanfaatkan
momentum yang istimewa ini. Semoga Allah berkenan meng-karuniakan berbagai
keistimewaan yang memang Allah SWT siapkan dan sediakan pada bulan Ramadhan ini.
Sehingga setelah Ramadhan nanti akan menjadi manusia baru yang tingkat keimanannya
dan ketaqwaannya jauh lebih baik dari yang sebelumnya.
Dengan segala keterbatasan, selanjutnya akan diuraikan berbagai hal tentang ibadah
Ramadhan. Mulai dari persiapan untuk menyambut kedatangannya, fadhilah bulan
Ramadhan, fiqih puasa, amaliayah di bulan Ramadhan dan pasca Ramadhan. Dengan
harapan dapat dijadikan panduan praktis bagi upaya kita semua untuk memanfaatkan
momentum istimewa datangnya bulan mulia ini dengan sebaik-baiknya.
2
DAFTAR ISI
Mukadimah
Fiqih Puasa
Fiqih I’tikaf
Fiqih Mudik/Safar
3
PERSIAPAN MENJELANG RAMADHAN
Untuk dapat teraihnya berbagai keistimewaan, keutamaan dan fadhilah yang ada di bulan
Ramadhan, maka sangat penting untuk dilakukan berbagai persiapan untuk menyambut
kedatangannya:
1. Persiapan ma’nawiyah (spiritual)
Persiapan ma’nawiyah bisa dilakukan dengan memperbanyak ibadah sebelum Ramadhan
tiba, seperti memperbanyak puasa sunnah, membaca Al Qur’an, berdo’a, berdzikir dan
lain-lain.
Rasulullah saw dalam mempersiapkan diri menghadapi datangnya bulan suci tersebut
telah memberikan contoh kepada umatnya, diantaranya dengan memperbanyak puasa
sunnah di bulan Sya’ban, sebagaimana diriwayatkan ‘Aisyah ra dalam hadits yang
diriwayatkan Bukhari dan Muslim:
َْش ْؼ َجب
َ َِٟب ًِب ف١ص َ ِٟ ف- َُ ٍَّع
ِ ُْٕٗ ِِ ٍش أ َ ْوض َ َشْٙ ش َ – ُُٗز٠ْ َ َِب َسأَٚ
َ َٚ ِٗ ١ْ ٍَ هللاُ َػٍَٝص
Artinya: “Dan aku tidak melihat Rasulullah – shallallahu ‘alahi wasallam – berpuasa
disuatu bulan yang lebih banyak dari pada puasanya di bulan Sya’ban “ bahkan beliau
‘Aisyah juga mengatakan :
َلَمَ ٌَكَنَ النَبًََ – صَلَى للاَ عَلٌََهَ وَسَلَمَ – ٌَصَوَمَ فًََ شَهَرَ أَكَثَرَ مَنَ شَعَبَانَ فَاَنَهَ كَان
ٌََصَوَمَهَ كَلَه
Artinya: “Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – tidak pernah berpuasa dalam suatu bulan
yang lebih banyak dari pada puasa di bulan Sya’ban, sesungguhnya beliau puasa satu
bulan penuh “
2. Persiapan fikriyah (akal)
Persiapan fikriyah dapat dilakukan dengan mendalami ilmu, khususnya ilmu yang
berkaitan dengan ibadah Ramadhan, dan lebih khusus lagi ilmu yang terkait dengan
puasa, agar memiliki wawasan yang benar tentang Ramadhan dan puasa Ramadhan,
hingga nantinya ketika menjalani ibadah Ramadhan dapat melakukannya dengan optimal
dan dapat meraih hasil yang maksimal.
3. Persiapan jasadiyah (fisik) dan maliyah (materi)
Persiapan jasadiyah dapat dilakukan menjaga kesehatan, diantaranya dengan cara
berolahraga, menjaga kebersihan rumah dan lingkungan, dan hanya mengkonsumsi
makanan dan minuman yang halal, sehat dan menyehatkan. Ini penting karena rangkaian
ibadah yang telah terformat selama Ramadhan hanya akan bisa dilaksanakan dengan
optimal oleh orang yang mempunyai kesehatan prima. Adapun persiapan maliyah bisa
dilakukan dengan menabung sebagian harta kita sebagai bekal berinfaq selama
Ramadhan.
4
KEUTAMAAN PUASA DAN BULAN RAMADHAN
1. Puasa adalah sarana pengendali syahwat. Rasulullah saw bersabda:
َب َِ ِخ١ ََ ْاٌ ِمْٛ َ٠ بْ ٌِ ٍْؼَ ْج ِذ ُ ْاٌمُ ْشَٚ َُ َب١ص
ِ ََ ْشفَؼ٠ ْآ ّ ِ ٌا
Artinya: “Puasa dan Al-Qur’an akan memberikan syafaat bagi seorang hamba di hari
kiamat.“ (HR. Hakim)
5. Puasa adalah perisai dari api neraka. Rasulullah saw bersabda:
5
7. Pada setiap Ramadhan tiba, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan
syetan-syetan dibelenggu. Rasulullah saw bersabda:
FIQIH PUASA
Syarat-syarat puasa
Syarat wajib puasa:
1. Islam 2. Baligh 3. Berakal 4. Mampu 5. Mukim 6. Tidak haidh dan tidak nifas
Syarat sah puasa:
1. Niat 2. Dilaksanakan pada waktunya
6
َمَنَ ذَرَعَهَ الَقًََءَ فَلٌََسَ عَلٌََهَ قَضَاءَ وَمَنَ اسَتَقَاءَ عَمَدَا فَلٌََقَض
Artinya: “Barang siapa yang muntah dengan tidak sengaja maka tidak diwajibkan
baginya qadha, dan barang siapa yang muntah dengan sengaja maka wajib baginya
untuk mengqadha.“ (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Hakim)
3. Istimna’ (onani/masturbasi), yaitu mengeluarkan mani dengan sengaja
4. Haidh dan nifas
5. Berhubungan suami istri
7
4. Yang boleh berbuka dan wajib fidyah:
Yang lanjut usia dan berat untuk berpuasa
Yang sakit dan tidak ada harapan sembuh
Wanita hamil/menyusui, apabila berat untuk berpuasa (menurut Ibnu Abbas dan Ibnu
Umar)
Pekerja berat yang tidak mampu untuk berpuasa, dan tidak ada alternatif pekerjaan
lain selepas Ramadhan
5. Yang batal puasa dan wajib qodho’:
Yang makan dan minum dengan sengaja
6. Yang tidak berpuasa dan wajib qodho’ dan fidyah:
Wanita hamil/menyusui yang khawatir atas dirinya dan janinnya (menurut mayoritas
ulama selain ulama Hanafiyah)
Yang mengakhirkan qodho’ puasa hingga datangnya Ramadhan berikutnya
7. Yang batal puasa dan wajib qodho’ dan kafaroh:
Berhubungan suami istri di siang hari Romadhon
Ada dua metode yang dijadikan dasar oleh para ulama untuk menentukan masuknya awal
Ramadhan, yaitu:
1. Metode rukyatul hilal (dengan melihat hilal), dan bila hilal terhalang sehingga tidak
terlihat pada saat dilakukan rukyah, maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi tiga
puluh hari. Hal tersebut berdasarkan sabda Rasulullah saw:
8
Artinya: “Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah ( berhari rayalah )
kalian karena melihat hilal, jika hilal tidak nampak atas kalian, maka sempurnakanlah
jumlah hari bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari “ (HR. Bukhori dan Muslim)
Pada metode inipun, sebagian ulama memakai prinsip wihdatul mathali’ (kesamaan masa
terbit), dalam arti: apabila ada seorang muslim melihat hilal di suatu daerah, maka umat
Islam di daerah lain berkewajiban untuk menyesuaikan. Dan sebagian ulama lain
memakai prinsip ikhtilaful mathali’ (perbedaan masa terbit), dalam arti: apabila seorang
muslim di suatu daerah melihat hilal, maka tidak mewajibkan ummat Islam didaerah lain
yang belum melihat hilal untuk berpuasa karenanya.
2. Metode hisab, yaitu mentakdirkan adanya hilal (dengan ilmu falak). Metode ini
didasarkan pada sabda Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam:
ُ ْْ ِ ُٖ فَاْٚ ر َ َشَّٝا َحزٚ ََل ر ُ ْف ِط ُشَٚ ََل َيِٙ ٌا ْاْٚ ر َ َشَّٝا َحزُِٛ ٛص
ٌَُٗ اٚ ُى ُْ فَب ْلذ ُُس١ْ ٍَغ َُّ َػ ُ َ ََل ر
Artinya: “Janganlah kalian berpuasa sebelum melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka
(berhari raya) sebelum melihat hilal, dan jika mendung menyelimuti kalian, maka
perkirakanlah hilal itu.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Mutharrif bin Abdullah bin Assyikhir ( tokoh tabi’in ), Abul Abbas bin Suraij, Ibnu
Qutaibah dan lainnya mengatakan: makna فاقدروا لهialah: ‘perkirakan hilal itu dengan
berdasar hisab/ilmu falak’.
Pada metode ini, sebagian ulama memakai prinsip wujudul hilal, dalam arti: apabila hilal
sudah wujud (ada) diatas ufuk dengan tanpa melihat tinggi posisinya , maka ditetapkan
keesokan hari sudah masuk bulan Ramadhan. Dan sebagian ulama lain memakai prinsip
imkaniyaturrukyah, dalam arti bahwa keberadaan hilal diatas ufuk tersebut harus dalam
posisi yang memungkinkan untuk dirukyah, agar bisa dijadikan ukuran penentuan
masuknya bulan Ramadhan.
Yang penting untuk dicatat, dalam sejarah Islam perbedaan metode-metode ini ternyata
hanya ada dalam bentuk wacana dan teori, tetapi dalam aplikasinya belum pernah ada
dalam satu negara atau satu daerah terjadi perbedaan dalam mengawali puasa Ramadhan
atau mengakhirinya (ber-‘Idul Fithri). Hal tersebut disebabkan karena penentuan awal bulan
termasuk dalam kategori masalah ijtihadiyah yang hasilnya nisbi (ada kemungkinan benar
atau salah), sementara kebersamaan dan persatuan antar umat Islam adalah sebuah
kepastian. Disamping itu, juga sesuai dengan sabda Rasulullah saw (yang artinya): “Puasa
adalah di hari dimana kalian semua berpuasa, berbuka adalah di hari dimana kalian semua
berbuka, dan ‘Idul Adha adalah di hari kalian semua berkurban.” (HR At-Tirmidzi)
9
AMALIYAH SELAMA RAMADHAN
Diantara amaliyah selama Ramadhan yang semestinya kita lakukan adalah sebagai berikut:
1. Berpuasa
Puasa adalah amaliyah terpenting dan teristimewa dalam bulan Romadhan, karena ia
bisa berfungsi sebagai sarana penghapus dosa, disamping ia adalah amal yang tidak ada
bandingnya disebabkan karena kebaikannya akan dilipatgandakan dengan kelipatan yang
tidak terhingga. Rasulullah saw bersabda:
10
ْ َّ ٌح ُ ْاَْٛ دَػَٚ غبفِ ِش
َِ ْٛ ٍُظ َ ُّ ٌح ُ ْاَْٛ دَػَٚ ُِ ِصبئ
َّ ٌح ُ اَْٛ د ؛دَػ
ٍ د ُِ ْغز َ َجبثَب ُ ص َ ََل
ٍ اَٛ س دَ َػ
Artinya: “Ada tiga macam doa yang mustajab, yaitu doa orang yang sedang puasa,
doa musafir dan doa orang yang teraniaya.” (HR Baihaqi)
11
َ ذُ أ َ ْْ ر ُ ْف َش١ َخ ِشِّٟٕ َِ َىبُٔ ُى ُْ ٌَ ِىٟ
بَٙ ْٕ ا َػٚ ُى ُْ فَز َ ْؼ ِج ُض١ْ ٍَض َػ َّ ٍَف َػ
َ َ ْخ٠ ُْ ٌَ َُِّٗٔفَا
Artinya: “Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku untuk shalat bersama kalian, akan
tetapi aku khawatir untuk dianggap sebagai kewajiban, dan kalian tidak sanggup
melaksanakannya .”
Hingga di kemudian hari, ketika Umar bin Khattab menyaksikan adanya fenomena shalat
tarawih yang terpencar-pencar dalam masjid Nabawi, terbesit dalam diri Umar untuk
menyatukannya sehingga terbentuklan shalat Tarawih berjamaah yang dipimpin Ubay bin
Kaab. Sebagaimana terekam dalam hadits muttafaq alaihi riwayat ‘Aisyah ( al-Lu’lu’ wal
Marjan: 436). Dari sini mayoritas ulama menetapkan sunnahnya pemberlakukan shalat
tarawih secara berjamaah ( lihat syarh Muslim oleh Nawawi : 6/39)
Berapa jumlah rakaat sholat tarawih?
Mengenai sholat tarawih yang dilaksanakan Rasulullah saw, ‘Aisyah ra berkata :
ٍَٝ ِْش ِٖ َػ١ َغْٟ ِ ََل فَٚ َْعب َ َِ َسْٟ ِذُ ف٠ْ َ ِض٠ َُ ٍَّع َ َٚ ِٗ ١ْ ٍَ هللاُ َػٍَّٝص
َ ِ ُي هللاْٛ ع ُ َِب َوبَْ َس
بَٙ ُُٕ ْح ِغ٠َٚ بَٙ ٍُ١ْ ُ ِط٠ - َُ غ ََل َّ ٌ ِٗ ا١ْ ٍَ َػ- َُّٕٗ َػ ْش َشح َ َس ْوؼَخً ٌَ ِىَٜا ِْحذ
َّ ٌاَٚ ُ ص ََلح
Artinya: “Rasulullah saw tidak pernah shalat di malam Ramadhan atau di selainnya lebih
dari sebelas raka’at, tetapi beliau shalat dengan panjang dan bagus.” (HR. Bukhori dan
Muslim)
Adapun pada masa sahabat, setelah Rasulullah saw wafat dan tidak ada lagi
kekhawatiran “akan anggapan wajibnya shalat tarawih“, Umar bin Khatthab menghimpun
ummat Islam untuk shalat - malam Ramadhan - dengan berjama’ah dengan menunjuk
Ubai bin Ka’ab dan Tamim bin Aus Ad Dari untuk menjadi imam. Dan ternyata Ubai dan
Tamim mengimami shalat dengan jumlah 21 (dua puluh satu) dan 23 (dua puluh tiga)
roka’at. Riwayat 21 roka’at terdapat di Mushanaf Abdurrozaq, dan riwayat 23 roka’at
terdapat di Sunan Al Baihaqi , keduanya dengan sanad yang shahih.
Lalu bagaimana kita menyikapinya? Ibnu Hajar Al ‘Asqolani berkata: “Sesungguhnya
perbedaan jumlah roka’at tersebut adalah perbedaan variatif sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan, di satu waktu mereka shalat 11 roka’at, di waktu lain mereka shalat 21
roka’at dan dalam kesempatan lain mereka shalat 23 roka’at, sesuai dengan semangat
dan kemampuan mereka. Jika mereka shalat 11 roka’at, mereka shalat dengan sangat
panjang sehingga mereka bertumpu pada tongkat, dan apabila mereka shalat 23 roka’at,
maka mereka shalat dengan bacaan yang pendek sehingga tidak memberatkan jama’ah.“
Mayoritas ulama – termasuk empat Imam madzhab - berpendapat bahwa shalat
malam/tarawih, termasuk shalat sunnah yang tidak ada batas maksimal jumlah
raka’atnya, meskipun sebagian mengatakan bahwa ada jumlah roka’at tertentu yang
lebih utama dari jumlah yang lain.
Sesungguhnya persatuan, kebersamaan, kelembutan hati, kesucian hati adalah tujuan
dari disyariatkannya ibadah – termasuk shalat – yang telah disepakati para ulama,
sementara jumlah roka'at tarwih adalah hal yang diperselisihkan. Untuk itu mestinya kita
12
harus lebih mengedepankan kebersamaan dan persatuan - yang merupakan tujuan dari
shalat – daripada sibuk untuk saling berbantah tentang jumlah roka'at tarwih – yang
masih diperselisihkan -, yang karenanya justru berpotensi munculnya perpecahan dan
saling membenci
Dari itulah, seyogyanya kenyataan adanya perbedaan antar ulama dalam jumlah rokaat
tarwih tersebut, mestinya justru harus kita terima sebagai suatu bentuk "keleluasaan"
bagi umat Islam, untuk dapat memilih mana yang lebih kondusif baginya sesuai dengan
kondisi dan kebutuhannya, dan hal itulah barangkali termasuk yang dikehendaki oleh
cucu Abu Bakr Imam Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar ketika berkata:
َس ْح َّخ- َُ ٍَّع
َ َٚ ِٗ ١ْ ٍَ هللاُ َػٍَّٝص
َ - ِ ِي هللاْٛ ع
ُ ة َس ْ َف أ
ِ ص َحب ْ َّْ ِئ
َ اخ ِز ََل
Artinya: "Sesungguhnya perbedaan pendapat para sahabat Rasulullah saw (dalam cabang
ibadah) itu adalah rahmat.”
Dan untuk itu, semestinya kita tidak terpancing untuk dengan mudah menyalahkan
saudara kita yang kebetulan berbeda dalam jumlah roka'at dalam shalat .
Dan karenanya, tidak seyogyanya kita mempermasalahkan saudara kita yang shalat
tarwih dengan 11 roka'at, 13 roka'at, 21 rokaat, 23 rokaat atau berapa saja yang
dikehendaki sesuai dengan kondisinya, justru yang semestinya harus kita perhatikan
adalah bagaimana kita harus berupaya untuk membantu saudara-saudara kita yang
belum mau shalat agar mau shalat bersama kita.
3. Berinfaq, bershadaqah, dan memberi buka
Berinfaq, bershadaqoh, dan memberi buka kepada orang yang berpuasa terutama di
bulan Romadhan adalah bentuk amal yang dijanjikan pahala besar, sebagaimana
disabdakan Rasulullah saw:
ئًب١ْ ش
َ ُِ ِصبئ ُ َُ ْٕم٠ َْش أََُّٔٗ ََل١صبئِ ًّب َوبَْ ٌَُٗ ِِضْ ًُ أ َ ْج ِش ِٖ َغ
َّ ٌص ِِ ْٓ أ َ ْج ِش ا َّ ََِ ْٓ ف
َ ط َش
Artinya: “Barang siapa yang memberi ifthor kepada yang berpuasa, maka ia akan
mendapatkan pahala senilai pahala yang didapatkan orang yang berpuasa itu tanpa
mengurangi pahala yang berpuasa sedikitpun.” (HR. Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah)
13
4. Banyak membaca Al-Qur’an
Membaca Al-Qur’an adalah amal yang diperintahkan untuk dilakukan setiap muslim
setiap hari dan lebih ditekankan lagi pada bulan Romadhan, hal tersebut karena
Romadhan adalah bulan diturunkannya al Qur’an dan pada setiap Romadhan malaikat
Jibril as senantiasa datang kepada Rasulullah saw untuk bertadarrus al Qur’an
bersamanya.
Dan membaca Al-Qur’an adalah aktivitas yang senantiasa menguntungkan, sebagaimana
firman Allah swt dalam surat Faathir ayat 29-30 :
َإنَ ِلَ فًَ كلَ لٌلةَ منَ رمضانَ عتقاءَ منَ النار
Artinya: “Sesungguhnya setiap malam dari bulan Romadhan, Allah menetapkan orang-
orang yang dibebaskan dari neraka “ (HR.Tirmidzi & Ibnu Majah)
Dan syarat-syarat taubat adalah sebagai berikut:
1. Segera meninggalkan perbuatan dosa
2. Menyesal atas dosa yang telah dilakukan
3. Bertekat untuk tidak mengulang kembali
4. Taubat tersebut dilakukan dengan niat ikhlas/karena Allah
5. Dialakukan sebelum pintu taubat tertutup (sebelum ajal)
6. Apabila dosa/kesalahan berkaitan dengan sesama manusia, maka harus diupayakan
untuk diselesaikan
6. Memperhatikan aktivitas sosial dan dakwah
Pada setiap Ramadhan tiba, kita akan menyaksikan suasana religius terlihat dimana-
mana, dengan meningkatnya kesadaran hampir setiap orang beriman untuk lebih
14
mendekatkan diri kepada Allah dan dengan tumbuh suburnya perilaku keagamaan
dimana-mana.
Kesempatan inilah yang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para da’i untuk
melakukan dakwah, membuka pintu-pintu hidayah dan menebar kasih sayang bagi
sesama, memakmurkan masjid-masjid dengan aktivitas keagamaan; taklim, kajian kitab,
diskusi, ceramah dan lain-lain.
Dan berbeda dengan kesan dan perilaku umum sebagian orang tentang Ramadhan,
Rasulullah saw justru menjadikan bulan Romadhan sebagai bulan yang penuh dengan
aktifitas dakwah dan sosial, hal tersebut bisa disimpulkan dari peristiwa-peristiwa besar
yang terjadi di bulan Ramadhan, seperti perang Badar (tahun 2 H), Pembukaan kota
Makkah (tahun 8 H), Perang Tabuk (tahun 9 H), pengiriman enam sariyah (pengiriman
pasukan perang yang tidak beliau sertai), penghancuran Masjid Dhiror dan yang lainnya.
Banyak aktivitas sosial yang bermanfaat bagi masyarakat luas yang bisa kita lakukan
terutama selama bulan Ramadhan, misalnya: menyelenggarakan bakti sosial di daerah-
daerah yang membutuhkan (daerah bencana dan pemukiman miskin misalnya) dengan
memeberikan santunan berupa makanan, pakaian, kesehatan atau yang lainnya yang
memang mereka butuhkan.
7. Meningkatkan ibadah pada 10 hari terakhir
Malam-malam 10 terakhir Ramadhan adalah malam yang terbaik sepanjang tahun,
karena di salah satu malamnya ada malam Lailatul Qodar.
Rasulullah saw telah memberikan teladan kepada kita, dengan meningkatkan ibadah
pada hari terakhir Romadhan dengan ber-i’tikaf di masjid siang dan malam. Ini beliau
lakukan semenjak beliau hijrah ke Madinah hingga beliau wafat (sebagaimana
diriwayatkan oleh istri beliau ‘Aisyah dalam hadits riwayat Bukhori dan Muslim).
Kemudian beliau memerintahkan kita untuk bersungguh-sungguh mencari malam Lailatul
Qodar pada sepuluh malam akhir Romadhan dengan sabdanya:
َفرضَ رسولَ للاَ صلى للاَ علٌهَ وسلمَ زكاةَ الفطرَ صاعا منَ شعٌرَ على العبد
َوالحرَ والذكرَ واألنثى والصغٌرَ والكبٌرَ منَ المسلمٌن
15
Artinya: “Rasulullah saw mewajibkan zakat fitrah satu sha’ kurma atau gandum, kepada
budak, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil dan orang dewasa dari ummat
Islam.” ( HR. Bukhari dan Muslim)
Dan diantara fungsi zakat fithrah ialah untuk mensucikan/membersihkan puasa kita dari
kata-kata yang kotor atau perbuatan sia-sia yang mungkin telah kita lakukan selama
berpuasa dan sebagai bantuan bagi fakir miskin , sebagaimana sabda Rasulullah saw:
ٓ١ َ َّ ٍْ ٌِ ًغ ْؼ َّخ
ِ غب ِو ُ َٚ ش َّ َٚ ِٛ صبئِ ُِ ِِ ْٓ اٌٍَّ ْغ
ِ َاٌشف ُ
َّ ٌٍِ ً َشحْٙ غ
Artinya: “Menyucikan bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan dari kata-kata
yang kotor.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
FIQIH I’TIKAF
Secara bahasa i’tikaf berarti menetap, mengurung diri atau menahan diri (QS. 2:187). Dan
menurut pengertian syar’i i’tikaf diartikan: menetapnya seorang muslim/muslimah yang
berakal sehat yang tidak sedang berhadats besar di dalam masjid untuk melakukan
ketaatan kepada Allah dengan cara-cara tertentu.
16
Para ulama telah sepakat, bahwa i’tikaf adalah salah satu bentuk ketaatan dan taqarrub
(mendekatkan diri) kepada Allah yang sangat dianjurkan, baik bagi laki-laki maupun
perempuan, khususnya di bulan Ramadhan (QS. 2:187, HR. Bukhari dan Muslim).
Hukum i’tikaf:
Mengenai hukum i’tikaf, para ulama membaginya menjadi dua macam: wajib dan sunnah.
I’tikaf wajib ialah i’tikaf yang disertai dengan nadzar, hal itu disebabkan karena menepati
nadzar itu adalah wajib (QS. 22: 29, HR. Bukhari, An Nasai dan yang lain). Sedangkan i’tikaf
sunnah ialah i’tikaf yang dilakukan oleh seorang muslim secara sukarela dalam rangka
bertaqarrub kepada Allah dan dalam rangka berqudwah pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Adapun i’tikaf di bulan Ramadhan, khususnya di sepuluh hari terakhir, hukumnya adalah
sunnah muakkadah.
Apa hukum i’tikaf bagi wanita muslimah?
I’tikaf disunnahkan bagi muslim maupun muslimah. Namun bagi muslimah jika hendak
beri’tikaf di masjid hendaknya dilakukan bersama suaminya atau mendapat izin darinya. Jika
belum punya suami, maka harus mendapat izin dari orang tua atau mahramnya. Dan dalam
pelaksanaannya tidak menimbulkan fitnah.
Syarat dan rukun i’tikaf:
1. Beragama Islam
2. Berakal/mumayyiz
3. Suci dari hadats besar ( junub, haidh dan nifas )
4. Berniat
5. Dilaksanakan di masjid
Berapa lama kita melakukan i’tikaf?
I’tikaf wajib harus dilaksanakan sesuai dengan nadzar yang telah diucapkan. Sedangkan
i’tikaf sunnah, tidak ada batasan waktu tertentu untuk pelaksanaannya, seberapapun
lamanya seseorang berada di masjid untuk menetap dalam batas yang wajar (yakni yang
cukup untuk dikatakan sebagai menetap) dengan niat untuk i’tikaf, maka hukumnya sah
sebagai i’tikaf yang insya Allah berpahala, selama ia tetap berada dalam masjid.
Adapun cara memulai i’tikaf, maka kapanpun ia masuk masjid dengan niat untuk i’tikaf,
maka sejak saat itu berarti ia telah mulai i’tikaf sampai ia keluar dari masjid. Adapun yang
hendak beri’tikaf selama sepuluh akhir Ramadhan, maka seyogyanya ia mulai masuk masjid
sebelum waktu terbenamnya matahari pada hari kedua puluh ramadhan, dan meng-
akhirinya dengan keluar dari masjid setelah terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan
tersebut.
17
Yang disunnahkan dalam i’tikaf:
1. Banyak melakukan ibadah sunnah, seperti shalat, membaca Al-Qur’an, bertasbih,
bertahmid, bertahlil, bertakbir, beristighfar, berdo’a dan bentuk-bentuk ketaatan
lainnya.
2. Mengkaji dan mengikuti kajian ilmu-ilmu syar’i
3. Seyogyanya melakukan ibadah-ibadah tersebut diatas dengan sendiri
Yang dimakruhkan dalam i’tikaf :
1. Banyak melakukan hal-hal yang tidak terkait dengan kepentingan i’tikaf
2. Banyak berkumpul untuk bersenda gurau dan semacamnya
3. Berdiam diri dengan menganggap hal tersebut adalah suatu bentuk kegiatan i’tikaf
Yang mubah (boleh dilakukan) dalam i’tikaf:
1. Menemui keluarga yang menjenguk
2. Keluar masjid untuk melakukan keperluan yang tidak mungkin untuk dihindarkan
3. Makan, minum dan tidur di dalam masjid dengan keharusan untuk menjaga kebersihan
dan kerapiannya
Yang membatalkan i’tikaf:
1. Keluar dari masjid dengan sengaja tanpa ada keperluan yang diperbolehkan
2. Melakukan hubungan suami istri
3. Hilangnya akal karena mabuk atau gila
4. Haidh atau nifas
5. Murtad
1. ‘Idul Fitri
Ada dua ‘Id (Hari Raya) bagi umat Islam, yaitu ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha, yang keduanya
adalah bagian dari syiar Islam yang seyogyanya dihidupkan.
Hukum ‘Id:
1. Diharamkan untuk berpuasa di 2 ( dua ) hari ‘Ied, sebagaimana disebutkan dalam
hadits :
18
ٝظ َح ْ َ ْاْلَٚ ط ِش ْ ْاٌ ِفِٟ َّٓ فُٙ عٍَّ َُ أ َ ْْ ُٔ ْخ ِش َج َّ ٍَّٝص
َ َٚ ِٗ ١ْ ٍََّللاُ َػ َّ ُيٛع
َ َِّللا ُ أ َ َِ َشَٔب َس
َّ ٌَ ْؼز َ ِض ٌَْٓ ا١ََّط ف
َْ ْذَٙ َ ْش٠َٚ َ ص ََلح ُ ١س فَأ َ َِّب ْاٌ ُحُٚ ِ د ْاٌ ُخذ َ ١ ْاٌ ُحَٚ َارِكَٛ َْاٌؼ
ِ اَٚ َرَٚ َّط
َْش١ْاٌ َخ
Artinya: “Kita diperintah Rasulullah saw untuk mengeluarkan mereka pada hari raya
Fithri dan Qurban; wanita-wanita yang baru baligh, wanita haidh dan wanita yang
dipingit. Dan agar wanita-wanita haidh tidak mendekat ke mushalla dan
menyaksikan kebaikan.“ (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Disunnahkan untuk dilaksanakan shalat ‘Id secara berjamaah di Mushalla (lapangan),
dengan takbir 7 (tujuh) kali pada roka’at pertama dan 5 (lima) kali pada roka’at
kedua, sebagaimana diriwayatkan dari para sahabat, seperti Umar, Utsman, Ali, Abu
Hurairoh, Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit dlan yang lainnya.
4. Disunnahkan bagi Imam untuk berkhutbah setelah shalat ‘Id
5. Tidak ada shalat qobliyah dan ba’diyah di mushalla
Adab ‘Id :
1. Mandi sebelum keluar untuk shalat ‘Id
2. Makan sebelum berangkat shalat ‘Idul Fithri
3. Bertakbir dimulai ketika berangkat menuju mushalla dan berhenti ketika imam
datang
4. Memakai pakaian yang terbaik
5. Kembali dari mushalla dengan tidak melalui jalan yang dilalui ketika berangkat
19
FIQIH MUDIK/SAFAR
Ada beberapa adab yang seyogyanya diketahui dan diperhatikan untuk dilakasanakan oleh
pemudik/musafir, agar safarnya diberkahi Allah SWT, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Mengharap ridho Allah SWT
Tetapkanlah niat untuk mengharapkan ridho Allah SWT semenjak anda memutuskan
untuk safar, dan jauhkanlah segala keinginan mendapatkan kesenangan duniawi, seperti
membanggakan diri, karena hal tersebut akan merusak pahala amal kebaikan. Allah
berfirman:
َ َقلَإنَصَلتًَونسكًَومحٌايَومماتًََِلَربَالعالمٌن
Artinya: “Katakanlan wahai Muhammad, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah.” (QS. 6 : 162)
2. Berbekal dengan yang halal
Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Baik, dan Ia hanya menerima yang baik-baik saja,
untuk itu berbekalah hanya dengan harta yang halal, karena harta haram akan menjadi
penghalang terkabulnya do’a (lihat Shohih Muslim 1015) dan akan mendatangkan murka
Allah. Rasulullah saw bersabda:
20
Artinya: “Seandainya orang mengetahui bahaya dalam kesendirian sebagaimana yang
aku ketahui, niscaya tidak akan ada orang yang melakukan perjalanan sendirian pada
waktu malam hari.“ (HR. Bukhori)
َمَنَ أَرَادَ سَفَرَا فَلٌََقَلَ لَمَنَ ٌَخَلَفَ أَسَتَوَدَعَكَمَ للاَ الَذَيَ لَ تَضٌََعَ وَدَائَعَه
Artinya: “Barang siapa yang akan mengadakan perjalanan, hendaklah mengatakan
kepada orang yang akan ditinggalkan : ‘Aku titipkan kalian kepada Allah, Dzat yang tidak
menyia-nyiakan titipan yang dipasrahkan kepada-Nya.“ (HR. Ahmad)
Dan disunnahkan bagi yang dipamiti mengatakan:
وإنا،َّللا َأكبر ََّللا َأكبر ََّللا َأكبر َسَبحانَ الذي سخرَ لنا هذا وما كنا لهَ مقرنٌن
ومنَ العملَ ما، اللهمَ إنا نسؤلكَ فً سفرنا هذا البرَ والتقوى.َإلى ربنا لمنقلبون
ً اللهمَ أنتَ الصاحبَ ف، اللهمَ هونَ َعلٌنا سفرنا هذا واطوَ عنا بعده.ترضى
، وكآبةَ المنظر، اللهمَ إنً أعوذَ بكَ منَ وعثاءَ السفر.َ والخلٌفةَ فً األهل،السفر
َوسوءَ المنقلبَ فً المالَ واألهل
Artinya: “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Maha Suci Dzat Yang
menundukkan kendaraan ini untuk kami, padahal sebelumnya kami tidak mampu
21
menguasainya, sesungguhnya kami akan kembali kepada Robb kami. Ya Allah, kami
memohon kebaikan, ketaqwaan dan kemampuan untuk melaksakan amalan yang
Engkau ridhoi dalam perjalanan kami ini,. Ya Allah, ringankanlah perjalanan kami ini dan
dekatkanlah jaraknya. Ya Allah, Engkau adalah Dzat yang menjaga teman kami dalam
perjalanan ini dan Dzat yang menjaga keluarga yang kami tinggalkan. Ya Allah, aku
berlindung kepadaMu dari kesulitan perjalanan, dari musibah buruk selama dalam
perjalanan dan bencana pada harta benda dan keluarga pada waktu kepulangan kami “.
Dan dalam perjalan pulang dilanjutkan dengan do’a sebagai berikut:
22
Artinya: “Ada tiga do’a yang dikabulkan tanpa perlu diragukan, yaitu: do’a orang yang
teraniaya, do’a orang yang sedang safar dan do’a orang tua atas anaknya.“ (HR. Abu
Daud dan Ibnu Majah)
12. Ber-amar ma’ruf nahi munkar
Amar ma’ruf nahi munkar adalah tanggung jawab setiap muslim, untuk itu kapanpun dan
dimanapun ia berada termasuk ketika safar ia berkewajiban untuk melakukannya sesuai
dengan kemampuannya
َ وماَآتاكمَالرسولَفخذوهَوماَنهاكمَعنهََفانتهوا
Artinya: “Dan apa yang dibawa Rasul kepadamu ambillah/laksanakanlah dan apa yang
dilarang tinggalkanlah.“ (QS. 59 : 7)
14. Berakhlak mulia
Rasulullah saw bersabda:
23
ُْ أ َ َحذُ ُوٝع ِ طؼَخ ِِ ْٓ ْاٌؼَزَا
َ َٚ َُِٗ َْٛ ٔ ُْ َ َّْٕ ُغ أ َ َحذَ ُو٠ ة
َ َش ََشاثَُٗ فَاِرَا لَٚ َُِٗ غؼَب ْ ِغفَ ُش ل َّ ٌا
َ ِٗ ٍِ ْ٘ َ أٌَُِٝؼَ ِ ّج ًْ ئ١ٍْ َ َّزَُٗ فْٙ َٔ
Artinya: “Safar merupaka siksaan, karena menghalangi seseorang untuk bisa menikmati
tidur, makan, dan minum, maka jika diantara kalian telah menyelesaikan keperluannya,
hendaklah segera kembali ke keluarganya.“ (HR. Bukhori dan Muslim)
17. Tidak langsung masuk rumah di malam hari
24
Meng-qashar dan Menjama’ Shalat
Diperbolehkan bagi seorang musafir untuk mengqoshar (memendekkan) shalat yang
berjumlah 4 roka’at menjadi 2 roka’at (shalat dhuhur, ashar dan isyak) dan menjamak /
menggabungkan dua shalat di satu waktu (antara dhuhur dengan ashar dan maghrib dengan
isya’), baik di waktu yang pertama (jamak taqdim) atau di waktu yang kedua (jamak ta’khir),
berdasarkan Al Qur’an dan As-Sunnah.
Waktu memulai mengqoshor sholat: Para ulama sepakat bahwa seorang musafir baru
diperkenankan untuk mengqoshar sholat, apabila ia telah meninggalkan kampungnya ( Al
Ijma’ karya Ibnu Mundzir ), berdasarkan hadits Anas ra :
َ ِْٓ ١َفَ ِخ َس ْو َؼز١ْ ٍَ ْاٌ ُحِٞثِزَٚ َٕ ِخ أ َ ْسثَؼًب٠ِعٍَّ َُ ِث ْبٌ َّذ َّ ٍَّٝص
َ َٚ ِٗ ١ْ ٍََّللاُ َػ ُّ ُذ١ْ ٍَّص
ّ ِ َش َِ َغ إٌَّجْٙ اٌظ
َ ِٟ َ
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah saw melaksanakan sholat dhuhur di Madinah 4 roka’at
dan melaksanakan sholat ashar di Dzul Hulaifah 2 roka’at.“ ( HR. Bukhori )
Cara mengqoshar dan menjamak sholat: Apabila seorang musafir telah meninggalkan
kampungnya dan tiba waktu shalat dhuhur, maka ia bisa menjamak sekaligus meng-qoshar
dhuhur dan ashar (secara berurutan) diwaktu tersebut, atau menta’khirkan hingga tiba
waktu ashar kemudian menjamak sekaligus meng-qoshor dhuhur dan ashar di waktu ashar,
demikian pula ia bisa melakukan hal yang sama untuk sholat maghrib dan isyak.
Ada tiga kondisi bagi seseorang untuk menjamak atau mengqoshar sholat dalam
perjalanan:
Pertama : Jika musafir dalam keadaan jalan pada waktu shalat yang pertama (dhuhur atau
maghrib) dan singgah pada waktu shalat yang kedua (Ashar atau Isyak), seyogyanya ia
menjamak shalatnya dengan cara jamak ta’khir, menjamak seperti ini serupa dengan
menjamak shalat di Muzdalifah pada saat haji.
Kedua : Jika musafir singgah diwaktu shalat yang pertama dan dalam keadaan jalan diwaktu
shalat yang kedua, maka seyogyanya ia menjamak shalatnya dengan cara jamak taqdim,
menjamak shalat seperti ini serupa dengan menjamak shalat di Arofah waktu haji.
Ketiga : Jika musafir singgah di setiap waktu shalat, maka yang sering dilakukan Rasulullah
saw tidak menjamak shalat, melainkan shalat pada waktunya masing-masing dengan cara di
qoshar, beginilah yang dilakukan Rasulullah saw ketika berada di Mina pada hari Tarwiyah.
Shalatnya seorang musafir dibelakang mukim (tidak safar) dan sebaliknya: Seorang
musafir diperkenankan untuk bermakmum kepada seorang mukim dengan kewajiban
menyempurnakan shalatnya sebagaimana shalatnya imam, dan sebaliknya seorang mukim
diperkenankan untuk bermakmum kepada seorang musafir dengan kewajiban
menyempurnakan shalatnya (menambah 2 roka’at lagi, jika imam salam).
----------- o0o -----------
25
Sekilas Kegiatan IKADI Jawa Timur:
1. Pengajian Ahad Pagi
2. Pembinaan Dai dan Guru Al Quran
3. Kursus Agama Islam
4. Konsultasi Agama dan Keluarga
5. Dakwah Media
6. Korps Mubaligh IKADI (KMI)
7. Program Tahfidz Al Quran
8. Layanan Pengurusan Jenazah, Dll.
Kantor IKADI Jawa Timur: Jl. Frontage Timur A. Yani No. 153 Surabaya,Telepon: 031-8411676
Website: ikadijatim.org Email: ikadijatim@gmail.com
26