Anda di halaman 1dari 26

1

MUKADIMAH

َُْٛ‫َٓ ِِ ْٓ لَ ْج ٍِ ُى ُْ ٌَ َؼٍَّ ُى ُْ رَزَّم‬٠ِ‫ اٌَّز‬ٍَٝ‫ت َػ‬ َ ِ‫ا ُوز‬َُِٕٛ ‫َٓ آ‬٠ِ‫ب اٌَّز‬َٙ ُّ٠َ‫ب أ‬٠َ
ّ ِ ٌ‫ ُى ُُ ا‬١ْ ٍَ‫ت َػ‬
َ ِ‫ب َُ َو َّب ُوز‬١َ ‫ص‬
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa (di bulan
Ramadhan) sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu
(menjadi lebih) bertaqwa.“ (QS. Al-Baqoroh : 183)
Bulan suci Ramadhan kembali akan segera datang untuk menyapa dan menyambut orang-
orang beriman. Semoga Allah berkenan untuk mempertemukan kita semua dengan bulan
yang istimewa tersebut, amiiin yaa Robbal ‘Aalamiin.
Bulan Ramadhan - bagi orang-orang beriman - adalah bulan yang istemewa dan bahkan
paling istemewa. Karena Allah SWT dengan sengaja memberikan berbagai keistimewaan
dan beragam keutamaan di bulan tersebut yang tidak Allah berikan di bulan-bulan yang lain.
Oleh karenanya, Ramadhan adalah merupakan momentum yang sangat istimewa bagi
orang-orang beriman dalam upaya perbaikan dan perubahan diri untuk mencapai tingkat
keimanan dan ketaqwaan yang lebih tinggi.
Untuk itu berbahagialah bagi yang dapat mengoptimalkan diri untuk memanfaatkan
momentum yang istimewa ini. Semoga Allah berkenan meng-karuniakan berbagai
keistimewaan yang memang Allah SWT siapkan dan sediakan pada bulan Ramadhan ini.
Sehingga setelah Ramadhan nanti akan menjadi manusia baru yang tingkat keimanannya
dan ketaqwaannya jauh lebih baik dari yang sebelumnya.
Dengan segala keterbatasan, selanjutnya akan diuraikan berbagai hal tentang ibadah
Ramadhan. Mulai dari persiapan untuk menyambut kedatangannya, fadhilah bulan
Ramadhan, fiqih puasa, amaliayah di bulan Ramadhan dan pasca Ramadhan. Dengan
harapan dapat dijadikan panduan praktis bagi upaya kita semua untuk memanfaatkan
momentum istimewa datangnya bulan mulia ini dengan sebaik-baiknya.

Surabaya, 3 Sya’ban 1439


KH. Muhammad Shaleh Drehem
Ketua IKADI Jawa Timur

2
DAFTAR ISI

Mukadimah

Persiapan Menjelang Ramadhan

Keutamaan Puasa dan Bulan Ramadhan

Fiqih Puasa

Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan

Amaliyah Selama Ramadhan

Fiqih I’tikaf

Amaliyah Pasca Ramadhan

Fiqih Mudik/Safar

3
PERSIAPAN MENJELANG RAMADHAN
Untuk dapat teraihnya berbagai keistimewaan, keutamaan dan fadhilah yang ada di bulan
Ramadhan, maka sangat penting untuk dilakukan berbagai persiapan untuk menyambut
kedatangannya:
1. Persiapan ma’nawiyah (spiritual)
Persiapan ma’nawiyah bisa dilakukan dengan memperbanyak ibadah sebelum Ramadhan
tiba, seperti memperbanyak puasa sunnah, membaca Al Qur’an, berdo’a, berdzikir dan
lain-lain.
Rasulullah saw dalam mempersiapkan diri menghadapi datangnya bulan suci tersebut
telah memberikan contoh kepada umatnya, diantaranya dengan memperbanyak puasa
sunnah di bulan Sya’ban, sebagaimana diriwayatkan ‘Aisyah ra dalam hadits yang
diriwayatkan Bukhari dan Muslim:

َْ‫ش ْؼ َجب‬
َ ِٟ‫َب ًِب ف‬١‫ص‬ َ ِٟ‫ ف‬- َُ ٍَّ‫ع‬
ِ ُْٕٗ ِِ ‫ ٍش أ َ ْوض َ َش‬ْٙ ‫ش‬ َ – ُُٗ‫ز‬٠ْ َ ‫ َِب َسأ‬َٚ
َ َٚ ِٗ ١ْ ٍَ‫ هللاُ َػ‬ٍَٝ‫ص‬
Artinya: “Dan aku tidak melihat Rasulullah – shallallahu ‘alahi wasallam – berpuasa
disuatu bulan yang lebih banyak dari pada puasanya di bulan Sya’ban “ bahkan beliau
‘Aisyah juga mengatakan :

َ‫لَمَ ٌَكَنَ النَبًََ – صَلَى للاَ عَلٌََهَ وَسَلَمَ – ٌَصَوَمَ فًََ شَهَرَ أَكَثَرَ مَنَ شَعَبَانَ فَاَنَهَ كَان‬
َ‫ٌَصَوَمَهَ كَلَه‬
Artinya: “Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – tidak pernah berpuasa dalam suatu bulan
yang lebih banyak dari pada puasa di bulan Sya’ban, sesungguhnya beliau puasa satu
bulan penuh “
2. Persiapan fikriyah (akal)
Persiapan fikriyah dapat dilakukan dengan mendalami ilmu, khususnya ilmu yang
berkaitan dengan ibadah Ramadhan, dan lebih khusus lagi ilmu yang terkait dengan
puasa, agar memiliki wawasan yang benar tentang Ramadhan dan puasa Ramadhan,
hingga nantinya ketika menjalani ibadah Ramadhan dapat melakukannya dengan optimal
dan dapat meraih hasil yang maksimal.
3. Persiapan jasadiyah (fisik) dan maliyah (materi)
Persiapan jasadiyah dapat dilakukan menjaga kesehatan, diantaranya dengan cara
berolahraga, menjaga kebersihan rumah dan lingkungan, dan hanya mengkonsumsi
makanan dan minuman yang halal, sehat dan menyehatkan. Ini penting karena rangkaian
ibadah yang telah terformat selama Ramadhan hanya akan bisa dilaksanakan dengan
optimal oleh orang yang mempunyai kesehatan prima. Adapun persiapan maliyah bisa
dilakukan dengan menabung sebagian harta kita sebagai bekal berinfaq selama
Ramadhan.

4
KEUTAMAAN PUASA DAN BULAN RAMADHAN
1. Puasa adalah sarana pengendali syahwat. Rasulullah saw bersabda:

ُٓ ‫ص‬ َ َ‫َط ٌِ ٍْج‬


َ ‫أ َ ْح‬َٚ ‫ص ِش‬ ُّ ‫طْ فَأَُِّٗ أَغ‬َّٚ َ‫َز َض‬١ٍْ َ‫ع ِِ ْٕ ُى ُْ ْاٌجَب َءح َ ف‬
َ ‫طب‬َ َ ‫ة َِ ْٓ ا ْعز‬ ِ ‫شجَب‬ َّ ٌ‫َب َِ ْؼش ََش ا‬٠
‫ َجبء‬ِٚ ٌَُٗ َُِّٗٔ‫ َِ فَا‬ْٛ ‫ص‬ َّ ٌ‫ ِٗ ِثب‬١ْ ٍَ‫ ْغز َ ِط ْغ فَ َؼ‬٠َ ُْ ٌَ ْٓ َِ َٚ ِ‫ٌِ ٍْفَ ْشط‬
Artinya: “Wahai para pemuda, jika ada diantara kalian telah mampu untuk menikah
adalah maka nikahlah, karena dengan menikah ia akan lebih mampu untuk
menundukkan pandangan dan lebih mampu untuk menjaga kemaluan, dan jika belum
mampu maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa itu obat .“ (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Puasa adalah sarana penghapus dosa. Rasulullah saw bersabda:

ِٗ ‫غ ِف َش ٌَُٗ َِب رَمَذ َََّ ِِ ْٓ رَ ْٔ ِج‬


ُ ‫غبثًب‬ ْ َٚ ‫ َّبًٔب‬٠‫عبَْ ِئ‬
َ ‫اح ِز‬ َ َِ ‫بَ َس‬
َ ‫ص‬َ ْٓ َِ
Artinya: “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan atas dasar keimanan dan karena
semata-mata mencari ridho Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.“
(HR. Bukhari dan Muslim)
3. Puasa adalah sarana untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Rasulullah saw
bersabda:

ِٗ ّ‫بء َس ِث‬ ْ ِ‫بْ فَ ْش َحخ ِػ ْٕذَ ف‬


ِ َ‫فَ ْش َحخ ِػ ْٕذَ ٌِم‬َٚ ِٖ ‫ط ِش‬ ِ َ ‫صبئِ ُِ فَ ْش َحز‬
َّ ٌٍِ
Artinya: “Bagi seorang yang berpuasa ada dua kebahagiaan; kebahagiaan ketika
berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya.“ (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Puasa akan menjadi pemberi syafaat bagi pelakunya di hari kiamat. Rasulullah saw
bersabda:

‫َب َِ ِخ‬١‫ ََ ْاٌ ِم‬ْٛ َ٠ ‫بْ ٌِ ٍْؼَ ْج ِذ‬ ُ ‫ ْاٌمُ ْش‬َٚ َُ ‫َب‬١‫ص‬
ِ َ‫َ ْشفَؼ‬٠ ْ‫آ‬ ّ ِ ٌ‫ا‬
Artinya: “Puasa dan Al-Qur’an akan memberikan syafaat bagi seorang hamba di hari
kiamat.“ (HR. Hakim)
5. Puasa adalah perisai dari api neraka. Rasulullah saw bersabda:

َ‫الصَوَمَ جَنَةَ ٌَسَتَجَنَ بَهَا الَعَبَدَ مَنَ النَار‬


Artinya: “Puasa adalah perisai yang dengannya seseorang akan membentengi dirinya
dari neraka.“ (HR. Thobroni)
6. Puasa adalah ibadah yang tidak ada tandingnya. Rasulullah saw bersabda kepada Abu
Umamah:

ٌَُٗ ًَ ْ‫ َِ فَأَُِّٗ ََل ِِض‬ْٛ ‫ص‬


َّ ٌ‫ َْه ِثب‬١ٍَ‫َػ‬
Artinya: “Berpuasalah anda, sesungguhnya puasa adalah ibadah yang tidak tertandingi.“
(HR. Nasai)

5
7. Pada setiap Ramadhan tiba, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan
syetan-syetan dibelenggu. Rasulullah saw bersabda:

ُٓ ١‫بغ‬ ْ َ‫ص ِفّذ‬


َّ ٌ‫د ا‬
ِ َ١‫ش‬ ِ ٌَّٕ‫اة ا‬
ُ َٚ ‫بس‬ ُ َٚ ‫اة ْاٌ َجَّٕ ِخ‬
ْ َ‫غ ٍِّم‬
ُ َْٛ ‫ذ أَث‬ ُ َْٛ ‫ذ أَث‬
ْ ‫بْ فُ ِز ّ َح‬
ُ ‫ع‬َ َِ ‫ئِرَا َجب َء َس‬
Artinya: “Jika datang bulan Ramadhan, dibukalah pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-
pintu neraka serta dibelenggu syetan-syetan.“ (HR. Bukhori dan Muslim)
8. Di salah satu malam Ramadhan ada Lailatul Qadr yang lebih baik dari seribu bulan,
sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Qadr.
9. Besarnya potensi terkabulkannya do’a di bulan Ramadhan. Rasulullah saw bersabda:

َ‫لَكَلَ مَسَلَمَ دَعَوَةَ مَسَتَجَابَةَ ٌَدَعَوَ بَهَا فًََ رَمَضَان‬


Artinya: “Bagi setiap muslim do’a yang terkabul yang dilakukannya di bulan Ramadhan.“
(HR. Malik dan Ahmad)
10.Malam Ramadhan adalah malam pembebasan dari api neraka, sebagaimana sabda
Rasulullah saw:

َ َِ ‫ٍَ ٍخ ِِ ْٓ َس‬١ْ ٌَ ًِّ ‫ ُو‬ْٟ ِ‫ئِ َّْ ِلِلِ ف‬


ِ ٌٕ‫عبَْ ِػزْمَب ًء َِِٓ ا‬
‫َبس‬
Artinya: “Pada setiap malam di bulan Ramadhan Allah menetapkan orang-orang yang
dibebaskan dari neraka.“ (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

FIQIH PUASA
Syarat-syarat puasa
Syarat wajib puasa:
1. Islam 2. Baligh 3. Berakal 4. Mampu 5. Mukim 6. Tidak haidh dan tidak nifas
Syarat sah puasa:
1. Niat 2. Dilaksanakan pada waktunya

Hal-hal yang membatalkan puasa:


1. Makan dan minum dengan sengaja. Jika makan dan minum tersebut tidak disengaja,
maka tidak membatalkan puasa. Rasulullah saw bersabda:

ُٖ‫عمَب‬ ْ َ ‫ َُِٗ فَأَِّ َّب أ‬ْٛ ‫ص‬


َّ َُّٗ َ‫غؼ‬
َ َٚ ُ‫َّللا‬ َ َُّ ِ‫ُز‬١ٍْ َ‫ة ف‬
َ ‫ ش َِش‬ْٚ َ ‫صبئُِ فَأ َ َو ًَ أ‬ َ ‫َِ ْٓ َٔغ‬
َ َٛ ُ٘ َٚ ِٟ
Artinya: “Barang siapa yang terlupa sedang ia berpuasa,kemudian ia makan atau minum,
maka hendaknya ia meneruskan puasanya, karena sesungguhnya ia telah diberi makan
dan minum Allah.“ (HR. Jama’ah)
2. Muntah dengan sengaja. Rasulullah saw bersabda:

6
َ‫مَنَ ذَرَعَهَ الَقًََءَ فَلٌََسَ عَلٌََهَ قَضَاءَ وَمَنَ اسَتَقَاءَ عَمَدَا فَلٌََقَض‬
Artinya: “Barang siapa yang muntah dengan tidak sengaja maka tidak diwajibkan
baginya qadha, dan barang siapa yang muntah dengan sengaja maka wajib baginya
untuk mengqadha.“ (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Hakim)
3. Istimna’ (onani/masturbasi), yaitu mengeluarkan mani dengan sengaja
4. Haidh dan nifas
5. Berhubungan suami istri

Qodho’, Fidyah, dan Kafarah bagi yang Tidak Berpuasa


Meng-qodho’ puasa artinya mengganti hutang puasa pada hari-hari yang lain diluar
Ramadhan. Qodho’ puasa bias dimulai semenjak awal bulan Syawal hingga akhir bulan
Sya’ban, selain pada hari-hari yang diharamkan untuk berpuasa seperti hari ‘Id dan hari-hari
Tasyriq. Dan pelaksanaan qodho’ diutamakan untuk disegerakan.
Adapun fidyah adalah pengganti puasa untuk orang-orang yang sudah tidak lagi mampu
berpuasa, dan besarnya minimal 1/4 sha, atau 1 mud, atau sekitar 7 ons beras, untuk 1 hari
tidak berpuasa. Lebih baik jika lebih dari itu. Dapat juga dalam bentuk makanan matang atau
yang senilai harganya.
Adapun kafaroh adalah denda yang dikenakan bagi yang berhubungan suami istri (berjimak)
pada siang Ramadhan, dalam bentuk secara berurutan sebagai berikut:
1. Memerdekakan budak. Apabila tidak mampu/tidak ada, maka:
2. Berpuasa 2 (dua) bulan berturut-turut. Apabila tidak mampu, maka:
3. Memberikan makan kepada 60 (enam puluh) orang miskin, masing-masing sejumlah
sama dengan fidyah.

Berikut ini orang-orang yang tidak berpuasa berikut konsekuensinya:


1. Yang tidak wajib berpuasa dan tidak sah puasanya:
 Orang kafir
 Orang gila
2. Yang wajib berbuka dan wajib qodho’:
 Wanita nifas dan haidh
3. Yang boleh berbuka dan wajib qodho’:
 Orang sakit
 Musafir
 Wanita hamil/menyusui, apabila berat untuk berpuasa (menurut ulama Hanafiyah)
atau khawatir atas dirinya (menurut mayoritas ulama)
 Pekerja berat yang tidak mampu untuk berpuasa, dan ada alternatif pekerjaan lain
selepas Ramadhan

7
4. Yang boleh berbuka dan wajib fidyah:
 Yang lanjut usia dan berat untuk berpuasa
 Yang sakit dan tidak ada harapan sembuh
 Wanita hamil/menyusui, apabila berat untuk berpuasa (menurut Ibnu Abbas dan Ibnu
Umar)
 Pekerja berat yang tidak mampu untuk berpuasa, dan tidak ada alternatif pekerjaan
lain selepas Ramadhan
5. Yang batal puasa dan wajib qodho’:
 Yang makan dan minum dengan sengaja
6. Yang tidak berpuasa dan wajib qodho’ dan fidyah:
 Wanita hamil/menyusui yang khawatir atas dirinya dan janinnya (menurut mayoritas
ulama selain ulama Hanafiyah)
 Yang mengakhirkan qodho’ puasa hingga datangnya Ramadhan berikutnya
7. Yang batal puasa dan wajib qodho’ dan kafaroh:
 Berhubungan suami istri di siang hari Romadhon

Catatan mengenai wanita hamil/menyusui yang tidak berpuasa:


Karena ada 3 (tiga) fatwa dari para ulama mengenai konsekuensi bagi wanita
hamil/menyusui yang tidak berpuasa disebabkan berat untuk berpuasa (sebagaimana
disebutkan diatas), maka kita bisa menyikapinya sebagai berikut:
 Apabila ia wanita yang sering hamil, seyogyanya ia membayar fidyah, sebagaimana
fatwa Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.
 Apabila ia wanita yang tidak terlalu sering hamil dan mampu untuk meng-qodho’, maka
seyogyanya ia meng-qodho’ hutang puasanya, sebagaimana fatwa para ulama
Hanafiyah.
 Apabila dengan meng-qodho’, iapun mempunyai keleluasaan harta, seyogya sambil
meng-qodho’ disertai dengan membayar fidyah, sebagaimana fatwa para ulama
Syafiiyah dan Hanabilah.

PENETAPAN AWAL DAN AKHIR RAMADHAN

Ada dua metode yang dijadikan dasar oleh para ulama untuk menentukan masuknya awal
Ramadhan, yaitu:
1. Metode rukyatul hilal (dengan melihat hilal), dan bila hilal terhalang sehingga tidak
terlihat pada saat dilakukan rukyah, maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi tiga
puluh hari. Hal tersebut berdasarkan sabda Rasulullah saw:

َ َ ‫ا ِػذَّح‬ٍُِّٛ ‫ ُى ُْ فَأ َ ْو‬١ْ ٍَ‫ َػ‬ٟ


َٓ١ِ‫ش ْؼ َجبَْ ص َ ََلص‬ ُ ْْ ِ ‫ ِز ِٗ فَا‬٠َ ْ‫ا ٌِ ُشؤ‬ٚ‫أ َ ْف ِط ُش‬َٚ ِٗ ‫ ِز‬٠َ ْ‫ا ٌِ ُشؤ‬ُِٛ ٛ‫ص‬
َ ّ‫غ ِج‬ ُ

8
Artinya: “Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah ( berhari rayalah )
kalian karena melihat hilal, jika hilal tidak nampak atas kalian, maka sempurnakanlah
jumlah hari bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari “ (HR. Bukhori dan Muslim)
Pada metode inipun, sebagian ulama memakai prinsip wihdatul mathali’ (kesamaan masa
terbit), dalam arti: apabila ada seorang muslim melihat hilal di suatu daerah, maka umat
Islam di daerah lain berkewajiban untuk menyesuaikan. Dan sebagian ulama lain
memakai prinsip ikhtilaful mathali’ (perbedaan masa terbit), dalam arti: apabila seorang
muslim di suatu daerah melihat hilal, maka tidak mewajibkan ummat Islam didaerah lain
yang belum melihat hilal untuk berpuasa karenanya.
2. Metode hisab, yaitu mentakdirkan adanya hilal (dengan ilmu falak). Metode ini
didasarkan pada sabda Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam:

ُ ْْ ِ ‫ُٖ فَا‬ْٚ ‫ ر َ َش‬َّٝ‫ا َحز‬ٚ‫ ََل ر ُ ْف ِط ُش‬َٚ ‫ ََل َي‬ِٙ ٌ‫ا ْا‬ْٚ ‫ ر َ َش‬َّٝ‫ا َحز‬ُِٛ ٛ‫ص‬
ٌَُٗ ‫ا‬ٚ‫ ُى ُْ فَب ْلذ ُُس‬١ْ ٍَ‫غ َُّ َػ‬ ُ َ ‫ََل ر‬
Artinya: “Janganlah kalian berpuasa sebelum melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka
(berhari raya) sebelum melihat hilal, dan jika mendung menyelimuti kalian, maka
perkirakanlah hilal itu.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Mutharrif bin Abdullah bin Assyikhir ( tokoh tabi’in ), Abul Abbas bin Suraij, Ibnu
Qutaibah dan lainnya mengatakan: makna ‫ فاقدروا له‬ialah: ‘perkirakan hilal itu dengan
berdasar hisab/ilmu falak’.
Pada metode ini, sebagian ulama memakai prinsip wujudul hilal, dalam arti: apabila hilal
sudah wujud (ada) diatas ufuk dengan tanpa melihat tinggi posisinya , maka ditetapkan
keesokan hari sudah masuk bulan Ramadhan. Dan sebagian ulama lain memakai prinsip
imkaniyaturrukyah, dalam arti bahwa keberadaan hilal diatas ufuk tersebut harus dalam
posisi yang memungkinkan untuk dirukyah, agar bisa dijadikan ukuran penentuan
masuknya bulan Ramadhan.
Yang penting untuk dicatat, dalam sejarah Islam perbedaan metode-metode ini ternyata
hanya ada dalam bentuk wacana dan teori, tetapi dalam aplikasinya belum pernah ada
dalam satu negara atau satu daerah terjadi perbedaan dalam mengawali puasa Ramadhan
atau mengakhirinya (ber-‘Idul Fithri). Hal tersebut disebabkan karena penentuan awal bulan
termasuk dalam kategori masalah ijtihadiyah yang hasilnya nisbi (ada kemungkinan benar
atau salah), sementara kebersamaan dan persatuan antar umat Islam adalah sebuah
kepastian. Disamping itu, juga sesuai dengan sabda Rasulullah saw (yang artinya): “Puasa
adalah di hari dimana kalian semua berpuasa, berbuka adalah di hari dimana kalian semua
berbuka, dan ‘Idul Adha adalah di hari kalian semua berkurban.” (HR At-Tirmidzi)

9
AMALIYAH SELAMA RAMADHAN

Diantara amaliyah selama Ramadhan yang semestinya kita lakukan adalah sebagai berikut:

1. Berpuasa
Puasa adalah amaliyah terpenting dan teristimewa dalam bulan Romadhan, karena ia
bisa berfungsi sebagai sarana penghapus dosa, disamping ia adalah amal yang tidak ada
bandingnya disebabkan karena kebaikannya akan dilipatgandakan dengan kelipatan yang
tidak terhingga. Rasulullah saw bersabda:

ٌَُٗ ًَ ْ‫َ ِبَ فَأَُِّٗ ََل ِِض‬١‫ص‬


ّ ِ ٌ‫ َْه ثِب‬١ٍَ‫َػ‬
Artinya: “Berpuasalah anda, sesungguhnya puasa itu tidak ada bandingnya.“ (HR. Nasai)
Dan agar kebaikan-kebaikan puasa tersebut bisa kita raih secara optimal, maka
hendaknya kita memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
 Berwawasan yang benar tentang puasa dengan mengetahui serta menjaga rambu-
rambunya
 Bersungguh-sungguh melakukan puasa dengan menepati aturan-aturannya
 Menjahui hal-hal yang dapat mengurangi atau bahkan menggugurkan nilai puasa,
seperti perbuatan sia-sia dan perbuatan haram
 Tidak meninggalkan puasa dengan sengaja walaupun sehari
 Makan sahur dan men-ta’khirkannya. Rasulullah saw bersabda :

ً‫س ثَ َش َوخ‬ٛ َّ ٌ‫ ا‬ِٟ‫ا فَا ِ َّْ ف‬ٚ‫غ َّح ُش‬


ِ ‫غ ُح‬ َ َ‫ر‬
Artinya: “Makan sahurlah kalian, karena dalam makan sahur itu barokah.” (HR.
Bukhori dan Muslim)

ُْٕٗ ِِ َُٗ‫ َحب َجز‬ٟ ِ ‫ ْم‬٠َ َّٝ‫ع ْؼُٗ َحز‬


َ ‫ع‬ ِ ْ َٚ ‫ع ِّ َغ أ َ َحذُ ُو ُْ اٌ ِّٕذَا َء‬
َ َ٠ ‫ ِذ ِٖ فَ ََل‬٠َ ٍَٝ‫اْلَٔب ُء َػ‬ َ ‫ِئرَا‬
Artinya: “Jika seorang diantara kalian mendengan adzan, sedangkan bejana ada
ditangannya, maka janganlah ia meletakkannya sebelum mewujudkan
kehendaknya.” (HR. Hakim)
 Berbuka dan menyegerakannya

ْ ‫ا ْاٌ ِف‬ٍُٛ‫ ٍْش َِب َػ َّج‬١‫بط ِث َخ‬


‫ط َش‬ ُ ٌَّٕ‫ضَ ا ُي ا‬٠َ ‫ََل‬
Artinya: “Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan
berbuka.” (HR. Bukhori dan Muslim)
 Berdo’a, terutama pada saat berbuka
ْ ِ‫صبئِ ُِ ِػ ْٕذَ ف‬
ُّ‫ح ً َِب ر ُ َشد‬َْٛ ‫ط ِش ِٖ ٌَذَػ‬ َّ ٌٍِ َّْ ِ‫ئ‬
Artinya: “Bagi seorang yang berpuasa ada waktu berdo’a yang tidak ditalak, yaitu
ketika berbuka.” (HR. Ibnu Majah)

10
ْ َّ ٌ‫ح ُ ْا‬َْٛ ‫دَػ‬َٚ ‫غبفِ ِش‬
َِ ْٛ ٍُ‫ظ‬ َ ُّ ٌ‫ح ُ ْا‬َْٛ ‫دَػ‬َٚ ُِ ِ‫صبئ‬
َّ ٌ‫ح ُ ا‬َْٛ ‫د ؛دَػ‬
ٍ ‫د ُِ ْغز َ َجبثَب‬ ُ ‫ص َ ََل‬
ٍ ‫ا‬َٛ ‫س دَ َػ‬
Artinya: “Ada tiga macam doa yang mustajab, yaitu doa orang yang sedang puasa,
doa musafir dan doa orang yang teraniaya.” (HR Baihaqi)

2. Menghidupkan malam dengan sholat (qiyam Ramadhan)


Ramadhan disamping disebut dengan syahrusshiyam juga disebut dengan syahrulqiyam,
hal tersebut disebabkan karena adanya perintah Rasulullah saw untuk menghidupkan
malam Ramadhan dengan shalat malam yang kemudian disebut dengan istilah shalat
tarawih. Rasulullah saw bersabda :

ِٗ ‫غ ِف َش ٌَُٗ َِب رَمَذ َََّ ِِ ْٓ رَ ْٔ ِج‬


ُ ‫غبثًب‬ ْ َٚ ‫ َّبًٔب‬٠ِ‫عبَْ ئ‬
َ ِ‫احز‬ َ َ‫َِ ْٓ ل‬
َ َِ ‫بَ َس‬
Artinya: “Barang siapa yang menghidupkan malam ( shalat malam ) di bulan Ramadhan
karena iman dan karena Allah (ikhlas), maka akan diampuni duosa-dosanya yang lalu.”
(HR. Bukhori dan Muslim)
Apa hukum sholat tarawih, dan apakah harus dilakukan secara berjamaah di masjid?
Merupakan anjuran Nabi saw menghidupkan malam Ramadhan dengan memperbanyak
shalat. Sebagaimana hal itu juga dapat terpenuhi dengan mendirikan tarawih disepanjang
malamnya. Fakta adanya pemberlakukan shalat tarawih secara turun temurun sejak Nabi
saw hingga sekarang merupakan dalil yang tidak dapat dibantah akan masyru’iyahnya.
Oleh karenanya para ulama menyatakan konsensus dalam hal tersebut. Rasulullah saw
bersabda (yang artinya): Dari Abu Hurairah menceritakan, bahwa Nabi saw sangat
menganjurkan qiyam Ramadhan dengan tidak mewajibkannya. Kemudian Nabi saw
bersabda (yang artinya): ”Siapa saja yang mendirikan shalat di malam Ramadhan penuh
dengan keimanan dan harapan maka ia diampuni dosa-dosa yang telah lampau.“
(Muttafaq ‘alaihi, lafazh imam Muslim dalam shahihnya: 6/40)
Pada awalnya shalat tarawih dilaksanakan Nabi saw dengan sebagian sahabat secara
berjamaah di masjid Nabawi, namun setelah berjalan tiga malam, Nabi saw membiarkan
para sahabat melakukan tarawih secara sendiri-sendiri, sebagaimana diceritakan oleh
‘Aisyah dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim yang artinya: “Suatu
saat ditengah malam Rasulullah saw keluar untuk shalat di masjid, maka beberapa
sahabat pun bermakmum kepada Rasulullah saw. Berita tersebut kemudian menjadi
pembicaraan diantara para shahabat di pagi hari, maka pada malam kedua jumlah
shahabat yang bermakmum kepada Rasulullah saw bertambah lebih banyak dari
sebelumnya. Berita tersebut kemudian menjadi pembicaraan diantara sahabat, maka
pada malam yang ketiga jumlah yang bermakmum pun bertambah banyak. Ketika jumlah
jama’ah pada malam keempat bertambah sehingga masjid tidak dapat menampungnya,
Rasulullahpun tidak keluar untuk meng-imami shalat di malam tersebut hingga keluar
untuk shalat shubuh. Kemudian setelah selesai shalat shubuh, Rasulullah saw menghadap
kepada para shahabat dan bersabda:

11
َ ‫ذُ أ َ ْْ ر ُ ْف َش‬١‫ َخ ِش‬ِّٟٕ ‫ َِ َىبُٔ ُى ُْ ٌَ ِى‬ٟ
‫ب‬َٙ ْٕ ‫ا َػ‬ٚ‫ ُى ُْ فَز َ ْؼ ِج ُض‬١ْ ٍَ‫ض َػ‬ َّ ٍَ‫ف َػ‬
َ ‫َ ْخ‬٠ ُْ ٌَ َُِّٗٔ‫فَا‬
Artinya: “Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku untuk shalat bersama kalian, akan
tetapi aku khawatir untuk dianggap sebagai kewajiban, dan kalian tidak sanggup
melaksanakannya .”
Hingga di kemudian hari, ketika Umar bin Khattab menyaksikan adanya fenomena shalat
tarawih yang terpencar-pencar dalam masjid Nabawi, terbesit dalam diri Umar untuk
menyatukannya sehingga terbentuklan shalat Tarawih berjamaah yang dipimpin Ubay bin
Kaab. Sebagaimana terekam dalam hadits muttafaq alaihi riwayat ‘Aisyah ( al-Lu’lu’ wal
Marjan: 436). Dari sini mayoritas ulama menetapkan sunnahnya pemberlakukan shalat
tarawih secara berjamaah ( lihat syarh Muslim oleh Nawawi : 6/39)
Berapa jumlah rakaat sholat tarawih?
Mengenai sholat tarawih yang dilaksanakan Rasulullah saw, ‘Aisyah ra berkata :

ٍَٝ‫ ِْش ِٖ َػ‬١‫ َغ‬ْٟ ِ‫ ََل ف‬َٚ َْ‫عب‬ َ َِ ‫ َس‬ْٟ ِ‫ذُ ف‬٠ْ ‫َ ِض‬٠ َُ ٍَّ‫ع‬ َ َٚ ِٗ ١ْ ٍَ‫ هللاُ َػ‬ٍَّٝ‫ص‬
َ ِ‫ ُي هللا‬ْٛ ‫ع‬ ُ ‫َِب َوبَْ َس‬
‫ب‬َٙ ُٕ‫ُ ْح ِغ‬٠َٚ ‫ب‬َٙ ٍُ١ْ ‫ُ ِط‬٠ - َُ ‫غ ََل‬ َّ ٌ‫ ِٗ ا‬١ْ ٍَ‫ َػ‬- َُّٕٗ‫ َػ ْش َشح َ َس ْوؼَخً ٌَ ِى‬َٜ‫ا ِْحذ‬
َّ ٌ‫ا‬َٚ ُ ‫ص ََلح‬
Artinya: “Rasulullah saw tidak pernah shalat di malam Ramadhan atau di selainnya lebih
dari sebelas raka’at, tetapi beliau shalat dengan panjang dan bagus.” (HR. Bukhori dan
Muslim)
Adapun pada masa sahabat, setelah Rasulullah saw wafat dan tidak ada lagi
kekhawatiran “akan anggapan wajibnya shalat tarawih“, Umar bin Khatthab menghimpun
ummat Islam untuk shalat - malam Ramadhan - dengan berjama’ah dengan menunjuk
Ubai bin Ka’ab dan Tamim bin Aus Ad Dari untuk menjadi imam. Dan ternyata Ubai dan
Tamim mengimami shalat dengan jumlah 21 (dua puluh satu) dan 23 (dua puluh tiga)
roka’at. Riwayat 21 roka’at terdapat di Mushanaf Abdurrozaq, dan riwayat 23 roka’at
terdapat di Sunan Al Baihaqi , keduanya dengan sanad yang shahih.
Lalu bagaimana kita menyikapinya? Ibnu Hajar Al ‘Asqolani berkata: “Sesungguhnya
perbedaan jumlah roka’at tersebut adalah perbedaan variatif sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan, di satu waktu mereka shalat 11 roka’at, di waktu lain mereka shalat 21
roka’at dan dalam kesempatan lain mereka shalat 23 roka’at, sesuai dengan semangat
dan kemampuan mereka. Jika mereka shalat 11 roka’at, mereka shalat dengan sangat
panjang sehingga mereka bertumpu pada tongkat, dan apabila mereka shalat 23 roka’at,
maka mereka shalat dengan bacaan yang pendek sehingga tidak memberatkan jama’ah.“
Mayoritas ulama – termasuk empat Imam madzhab - berpendapat bahwa shalat
malam/tarawih, termasuk shalat sunnah yang tidak ada batas maksimal jumlah
raka’atnya, meskipun sebagian mengatakan bahwa ada jumlah roka’at tertentu yang
lebih utama dari jumlah yang lain.
Sesungguhnya persatuan, kebersamaan, kelembutan hati, kesucian hati adalah tujuan
dari disyariatkannya ibadah – termasuk shalat – yang telah disepakati para ulama,
sementara jumlah roka'at tarwih adalah hal yang diperselisihkan. Untuk itu mestinya kita

12
harus lebih mengedepankan kebersamaan dan persatuan - yang merupakan tujuan dari
shalat – daripada sibuk untuk saling berbantah tentang jumlah roka'at tarwih – yang
masih diperselisihkan -, yang karenanya justru berpotensi munculnya perpecahan dan
saling membenci
Dari itulah, seyogyanya kenyataan adanya perbedaan antar ulama dalam jumlah rokaat
tarwih tersebut, mestinya justru harus kita terima sebagai suatu bentuk "keleluasaan"
bagi umat Islam, untuk dapat memilih mana yang lebih kondusif baginya sesuai dengan
kondisi dan kebutuhannya, dan hal itulah barangkali termasuk yang dikehendaki oleh
cucu Abu Bakr Imam Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar ketika berkata:

‫ َس ْح َّخ‬- َُ ٍَّ‫ع‬
َ َٚ ِٗ ١ْ ٍَ‫ هللاُ َػ‬ٍَّٝ‫ص‬
َ - ِ‫ ِي هللا‬ْٛ ‫ع‬
ُ ‫ة َس‬ ْ َ‫ف أ‬
ِ ‫ص َحب‬ ْ َّْ ‫ِئ‬
َ ‫اخ ِز ََل‬
Artinya: "Sesungguhnya perbedaan pendapat para sahabat Rasulullah saw (dalam cabang
ibadah) itu adalah rahmat.”
Dan untuk itu, semestinya kita tidak terpancing untuk dengan mudah menyalahkan
saudara kita yang kebetulan berbeda dalam jumlah roka'at dalam shalat .
Dan karenanya, tidak seyogyanya kita mempermasalahkan saudara kita yang shalat
tarwih dengan 11 roka'at, 13 roka'at, 21 rokaat, 23 rokaat atau berapa saja yang
dikehendaki sesuai dengan kondisinya, justru yang semestinya harus kita perhatikan
adalah bagaimana kita harus berupaya untuk membantu saudara-saudara kita yang
belum mau shalat agar mau shalat bersama kita.
3. Berinfaq, bershadaqah, dan memberi buka
Berinfaq, bershadaqoh, dan memberi buka kepada orang yang berpuasa terutama di
bulan Romadhan adalah bentuk amal yang dijanjikan pahala besar, sebagaimana
disabdakan Rasulullah saw:

َ‫أفضلَ الصدقةَ صدقةَ رمضان‬


Artinya: “Sebaik-baik shadaqoh adalah shadaqoh di bulan Ramadhan.” (HR. Baihaqi dan
Tirmidzi) Dan Rasulullah pun memberikan contoh terbaik dalam hal ini, sebagai
disebutkan dalam hadits:

ُ ‫َ ُى‬٠ ‫دُ َِب‬َٛ ‫ َوبَْ أ َ ْج‬َٚ ‫ ِْش‬١‫بط ثِ ْبٌ َخ‬


ِٟ‫ْ ف‬ٛ ِ ٌَّٕ‫دَ ا‬َٛ ‫عٍَّ َُ أ َ ْج‬ َّ ٍَّٝ‫ص‬
َ َٚ ِٗ ١ْ ٍَ‫َّللاُ َػ‬ ُّ ِ‫َوبَْ إٌَّج‬
َ ٟ
َْ‫عب‬ َ َِ ‫َس‬
Artinya: “Rasulullah saw adalah orang yang paling pemurah dalam kebaikan dan lebih
pemurah lagi di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)
Dan Rasulullah saw bersabda:

‫ئًب‬١ْ ‫ش‬
َ ُِ ِ‫صبئ‬ ُ ُ‫َ ْٕم‬٠ ‫ َْش أََُّٔٗ ََل‬١‫صبئِ ًّب َوبَْ ٌَُٗ ِِضْ ًُ أ َ ْج ِش ِٖ َغ‬
َّ ٌ‫ص ِِ ْٓ أ َ ْج ِش ا‬ َّ َ‫َِ ْٓ ف‬
َ ‫ط َش‬
Artinya: “Barang siapa yang memberi ifthor kepada yang berpuasa, maka ia akan
mendapatkan pahala senilai pahala yang didapatkan orang yang berpuasa itu tanpa
mengurangi pahala yang berpuasa sedikitpun.” (HR. Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah)

13
4. Banyak membaca Al-Qur’an
Membaca Al-Qur’an adalah amal yang diperintahkan untuk dilakukan setiap muslim
setiap hari dan lebih ditekankan lagi pada bulan Romadhan, hal tersebut karena
Romadhan adalah bulan diturunkannya al Qur’an dan pada setiap Romadhan malaikat
Jibril as senantiasa datang kepada Rasulullah saw untuk bertadarrus al Qur’an
bersamanya.
Dan membaca Al-Qur’an adalah aktivitas yang senantiasa menguntungkan, sebagaimana
firman Allah swt dalam surat Faathir ayat 29-30 :

ً‫َخ‬١ِٔ‫ َػ ََل‬َٚ ‫ا ِِ َّّب َسصَ ْلَٕب ُ٘ ُْ ِع ًّشا‬ُٛ‫أ َ ْٔفَم‬َٚ َ ‫ص ََلح‬


َّ ٌ‫ا ا‬ُِٛ ‫أَلَب‬َٚ ِ‫َّللا‬ َّ ‫بة‬َ َ ‫َْ ِوز‬ٍُْٛ‫َز‬٠ َٓ٠ِ‫ِئ َّْ اٌَّز‬
‫س‬ٛ‫ش ُى‬ َ ‫س‬ُٛ‫ع ٍِ ِٗ ئَُِّٔٗ َغف‬ َ ‫ ُْ أ ُ ُج‬ُٙ َ١ّ‫ ِف‬َٛ ُ١ٌِ -‫س‬ٛ
ْ َ‫ذَ ُ٘ ُْ ِِ ْٓ ف‬٠‫َ ِض‬٠َٚ ُْ ُ٘ ‫س‬ٛ َ ُ‫بسح ً ٌَ ْٓ رَج‬
َ ‫َْ رِ َج‬ٛ‫َ ْش ُج‬٠
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang senantiasa membaca kitab Allah dan
mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian rizqi yang Kami anugerahkan kepada
mereka dengan diam-diam dan terang terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan
yang tidak merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala meraka dan
menambah kepada mereka karuniaNya, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Mensyukuri.”
5. Bertaubat
Allah swt melalui firmanNya dalam Al-Qur’an telah memerintakan ummat Islam untuk
bertaubat (QS. 3:133 / 24:31), dan bulan Romadhan adalah waktu yang sangat tepat
untuk dimanfaatkan memohon ampunan dari Allah swt, karena banyaknya ampunan
yang Allah akan berikan kepada hambaNya pada bulan tersebut bahkan banyak orang-
orang yang akan Allah bebaskan dari api neraka, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah
saw dalam sabdanya:

َ‫إنَ ِلَ فًَ كلَ لٌلةَ منَ رمضانَ عتقاءَ منَ النار‬
Artinya: “Sesungguhnya setiap malam dari bulan Romadhan, Allah menetapkan orang-
orang yang dibebaskan dari neraka “ (HR.Tirmidzi & Ibnu Majah)
Dan syarat-syarat taubat adalah sebagai berikut:
1. Segera meninggalkan perbuatan dosa
2. Menyesal atas dosa yang telah dilakukan
3. Bertekat untuk tidak mengulang kembali
4. Taubat tersebut dilakukan dengan niat ikhlas/karena Allah
5. Dialakukan sebelum pintu taubat tertutup (sebelum ajal)
6. Apabila dosa/kesalahan berkaitan dengan sesama manusia, maka harus diupayakan
untuk diselesaikan
6. Memperhatikan aktivitas sosial dan dakwah
Pada setiap Ramadhan tiba, kita akan menyaksikan suasana religius terlihat dimana-
mana, dengan meningkatnya kesadaran hampir setiap orang beriman untuk lebih

14
mendekatkan diri kepada Allah dan dengan tumbuh suburnya perilaku keagamaan
dimana-mana.
Kesempatan inilah yang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para da’i untuk
melakukan dakwah, membuka pintu-pintu hidayah dan menebar kasih sayang bagi
sesama, memakmurkan masjid-masjid dengan aktivitas keagamaan; taklim, kajian kitab,
diskusi, ceramah dan lain-lain.
Dan berbeda dengan kesan dan perilaku umum sebagian orang tentang Ramadhan,
Rasulullah saw justru menjadikan bulan Romadhan sebagai bulan yang penuh dengan
aktifitas dakwah dan sosial, hal tersebut bisa disimpulkan dari peristiwa-peristiwa besar
yang terjadi di bulan Ramadhan, seperti perang Badar (tahun 2 H), Pembukaan kota
Makkah (tahun 8 H), Perang Tabuk (tahun 9 H), pengiriman enam sariyah (pengiriman
pasukan perang yang tidak beliau sertai), penghancuran Masjid Dhiror dan yang lainnya.
Banyak aktivitas sosial yang bermanfaat bagi masyarakat luas yang bisa kita lakukan
terutama selama bulan Ramadhan, misalnya: menyelenggarakan bakti sosial di daerah-
daerah yang membutuhkan (daerah bencana dan pemukiman miskin misalnya) dengan
memeberikan santunan berupa makanan, pakaian, kesehatan atau yang lainnya yang
memang mereka butuhkan.
7. Meningkatkan ibadah pada 10 hari terakhir
Malam-malam 10 terakhir Ramadhan adalah malam yang terbaik sepanjang tahun,
karena di salah satu malamnya ada malam Lailatul Qodar.
Rasulullah saw telah memberikan teladan kepada kita, dengan meningkatkan ibadah
pada hari terakhir Romadhan dengan ber-i’tikaf di masjid siang dan malam. Ini beliau
lakukan semenjak beliau hijrah ke Madinah hingga beliau wafat (sebagaimana
diriwayatkan oleh istri beliau ‘Aisyah dalam hadits riwayat Bukhori dan Muslim).
Kemudian beliau memerintahkan kita untuk bersungguh-sungguh mencari malam Lailatul
Qodar pada sepuluh malam akhir Romadhan dengan sabdanya:

ِ َٚ َ ‫ ْاٌ َؼ ْش ِش ْاْل‬ِٟ‫َ٘ب ف‬ٛ‫غ‬


َ َِ ‫اخ ِش ِِ ْٓ َس‬
َْ‫عب‬ ُ ِّ َ ‫ْاٌز‬
Artinya: “Carilah malam Lailatur Qodr di sepuluh akhir dari bulan ramadhan.” (HR.
Bukhari)
8. Membayar zakat fitrah
Sebagai penutup dari amaliyah Romadhan, kita diwajibkan untuk mengeluarkan zakat
Fitrah atas nama diri kita dan atas nama mereka yang dibawah tanggung jawab kita,
termasuk atas nama anak kita yang masih kecil, sebagaimana disebutkan dalam hadits:

َ‫فرضَ رسولَ للاَ صلى للاَ علٌهَ وسلمَ زكاةَ الفطرَ صاعا منَ شعٌرَ على العبد‬
َ‫والحرَ والذكرَ واألنثى والصغٌرَ والكبٌرَ منَ المسلمٌن‬

15
Artinya: “Rasulullah saw mewajibkan zakat fitrah satu sha’ kurma atau gandum, kepada
budak, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil dan orang dewasa dari ummat
Islam.” ( HR. Bukhari dan Muslim)
Dan diantara fungsi zakat fithrah ialah untuk mensucikan/membersihkan puasa kita dari
kata-kata yang kotor atau perbuatan sia-sia yang mungkin telah kita lakukan selama
berpuasa dan sebagai bantuan bagi fakir miskin , sebagaimana sabda Rasulullah saw:

ٓ١ َ َّ ٍْ ٌِ ً‫غ ْؼ َّخ‬
ِ ‫غب ِو‬ ُ َٚ ‫ش‬ َّ َٚ ِٛ ‫صبئِ ُِ ِِ ْٓ اٌٍَّ ْغ‬
ِ َ‫اٌشف‬ ُ
َّ ٌٍِ ً ‫ َشح‬ْٙ ‫غ‬
Artinya: “Menyucikan bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan dari kata-kata
yang kotor.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Berapakah besarnya zakat fitrah yang harus kita keluarkan?


Besarnya zakat fithrah yang harus dikeluarkan adalah sebesar 1 ( satu ) sha’ atau kurang
lebih 2,5 kg dari makanan pokok/beras. Dan tentu diperbolehkan dan lebih baik kalau
memberi tambahan dari kadar/ketentuan tersebut, jika dimaksudkan untuk memberi
santunan lebih kepada fakir miskin.
Dan menurut ulama’ madzhab Hanafi dan diriwayatkan dari Hasan Al Bashri dan Umar
bin Abdil Aziz, diperbolehkan juga untuk mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk
nilai/uang, jika lebih bernilai dan lebih bermanfaat bagi penerima/fakir miskin. Namun
untuk menjaga ashalah (orisinalitas) dan demi keluar dari perbedaan, sangat ditekankan
untuk mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk makanan pokok/beras dan sedapat
mungkin dengan kualitas yang terbaik.
Kepada siapakah zakat fitrah dibagikan?
Yang berhak menerima zakat fitrah (menurut Aimmah madzahib) adalah 8 (delapan)
golongan sesuai dengan surat At Taubah 60. Namun demikian, diutamakan dan
diprioritaskan untuk fakir miskin.
Kapan kita membayar zakat fitrah?
Sebaiknya zakat fitrah dikeluarkan paling cepat 2 (dua) hari sebelum ‘Id dan paling lambat
sebelum shalat ‘Ied, sebagaimana dilakukan oleh para sahabat Rasullullah saw.

FIQIH I’TIKAF

Secara bahasa i’tikaf berarti menetap, mengurung diri atau menahan diri (QS. 2:187). Dan
menurut pengertian syar’i i’tikaf diartikan: menetapnya seorang muslim/muslimah yang
berakal sehat yang tidak sedang berhadats besar di dalam masjid untuk melakukan
ketaatan kepada Allah dengan cara-cara tertentu.

16
Para ulama telah sepakat, bahwa i’tikaf adalah salah satu bentuk ketaatan dan taqarrub
(mendekatkan diri) kepada Allah yang sangat dianjurkan, baik bagi laki-laki maupun
perempuan, khususnya di bulan Ramadhan (QS. 2:187, HR. Bukhari dan Muslim).
Hukum i’tikaf:
Mengenai hukum i’tikaf, para ulama membaginya menjadi dua macam: wajib dan sunnah.
I’tikaf wajib ialah i’tikaf yang disertai dengan nadzar, hal itu disebabkan karena menepati
nadzar itu adalah wajib (QS. 22: 29, HR. Bukhari, An Nasai dan yang lain). Sedangkan i’tikaf
sunnah ialah i’tikaf yang dilakukan oleh seorang muslim secara sukarela dalam rangka
bertaqarrub kepada Allah dan dalam rangka berqudwah pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam.
Adapun i’tikaf di bulan Ramadhan, khususnya di sepuluh hari terakhir, hukumnya adalah
sunnah muakkadah.
Apa hukum i’tikaf bagi wanita muslimah?
I’tikaf disunnahkan bagi muslim maupun muslimah. Namun bagi muslimah jika hendak
beri’tikaf di masjid hendaknya dilakukan bersama suaminya atau mendapat izin darinya. Jika
belum punya suami, maka harus mendapat izin dari orang tua atau mahramnya. Dan dalam
pelaksanaannya tidak menimbulkan fitnah.
Syarat dan rukun i’tikaf:
1. Beragama Islam
2. Berakal/mumayyiz
3. Suci dari hadats besar ( junub, haidh dan nifas )
4. Berniat
5. Dilaksanakan di masjid
Berapa lama kita melakukan i’tikaf?
I’tikaf wajib harus dilaksanakan sesuai dengan nadzar yang telah diucapkan. Sedangkan
i’tikaf sunnah, tidak ada batasan waktu tertentu untuk pelaksanaannya, seberapapun
lamanya seseorang berada di masjid untuk menetap dalam batas yang wajar (yakni yang
cukup untuk dikatakan sebagai menetap) dengan niat untuk i’tikaf, maka hukumnya sah
sebagai i’tikaf yang insya Allah berpahala, selama ia tetap berada dalam masjid.
Adapun cara memulai i’tikaf, maka kapanpun ia masuk masjid dengan niat untuk i’tikaf,
maka sejak saat itu berarti ia telah mulai i’tikaf sampai ia keluar dari masjid. Adapun yang
hendak beri’tikaf selama sepuluh akhir Ramadhan, maka seyogyanya ia mulai masuk masjid
sebelum waktu terbenamnya matahari pada hari kedua puluh ramadhan, dan meng-
akhirinya dengan keluar dari masjid setelah terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan
tersebut.

17
Yang disunnahkan dalam i’tikaf:
1. Banyak melakukan ibadah sunnah, seperti shalat, membaca Al-Qur’an, bertasbih,
bertahmid, bertahlil, bertakbir, beristighfar, berdo’a dan bentuk-bentuk ketaatan
lainnya.
2. Mengkaji dan mengikuti kajian ilmu-ilmu syar’i
3. Seyogyanya melakukan ibadah-ibadah tersebut diatas dengan sendiri
Yang dimakruhkan dalam i’tikaf :
1. Banyak melakukan hal-hal yang tidak terkait dengan kepentingan i’tikaf
2. Banyak berkumpul untuk bersenda gurau dan semacamnya
3. Berdiam diri dengan menganggap hal tersebut adalah suatu bentuk kegiatan i’tikaf
Yang mubah (boleh dilakukan) dalam i’tikaf:
1. Menemui keluarga yang menjenguk
2. Keluar masjid untuk melakukan keperluan yang tidak mungkin untuk dihindarkan
3. Makan, minum dan tidur di dalam masjid dengan keharusan untuk menjaga kebersihan
dan kerapiannya
Yang membatalkan i’tikaf:
1. Keluar dari masjid dengan sengaja tanpa ada keperluan yang diperbolehkan
2. Melakukan hubungan suami istri
3. Hilangnya akal karena mabuk atau gila
4. Haidh atau nifas
5. Murtad

AMALIYAH PASCA RAMADHAN

1. ‘Idul Fitri
Ada dua ‘Id (Hari Raya) bagi umat Islam, yaitu ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha, yang keduanya
adalah bagian dari syiar Islam yang seyogyanya dihidupkan.
Hukum ‘Id:
1. Diharamkan untuk berpuasa di 2 ( dua ) hari ‘Ied, sebagaimana disebutkan dalam
hadits :

ْ ‫ َِ ْاٌ ِف‬ْٛ َ٠ ِْٓ ١َِ ْٛ َ٠ َ‫َ ِب‬١‫ص‬


‫ َِ إٌَّ ْح ِش‬ْٛ َ٠َٚ ‫ط ِش‬ ِ ْٓ ‫نهى النبًَ صلى للاَ علٌهَ وسلمَ َػ‬
Artinya: “Nabi saw melarang untuk berpuasa di dua hari ; Idul Fithri dan Idul Adha.“
(HR. Bukhari dan Muslim)
2. Disunnahkan bagi semua orang beriman (laki-laki dan perempuan) untuk keluar
melaksanakan shalat ‘Ied, sebagaimana sabda Rasulullah saw dalam hadits Ummi
‘Athiyyah :

18
ٝ‫ظ َح‬ ْ َ ‫ ْاْل‬َٚ ‫ط ِش‬ ْ ‫ ْاٌ ِف‬ِٟ‫ َّٓ ف‬ُٙ ‫عٍَّ َُ أ َ ْْ ُٔ ْخ ِش َج‬ َّ ٍَّٝ‫ص‬
َ َٚ ِٗ ١ْ ٍَ‫َّللاُ َػ‬ َّ ‫ ُي‬ٛ‫ع‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫أ َ َِ َشَٔب َس‬
َّ ٌ‫َ ْؼز َ ِض ٌَْٓ ا‬١َ‫َّط ف‬
َْ‫ ْذ‬َٙ ‫َ ْش‬٠َٚ َ ‫ص ََلح‬ ُ ١‫س فَأ َ َِّب ْاٌ ُح‬ُٚ ِ ‫د ْاٌ ُخذ‬ َ ١‫ ْاٌ ُح‬َٚ َ‫ارِك‬َٛ َ‫ْاٌؼ‬
ِ ‫ا‬َٚ َ‫ر‬َٚ ‫َّط‬
‫ َْش‬١‫ْاٌ َخ‬
Artinya: “Kita diperintah Rasulullah saw untuk mengeluarkan mereka pada hari raya
Fithri dan Qurban; wanita-wanita yang baru baligh, wanita haidh dan wanita yang
dipingit. Dan agar wanita-wanita haidh tidak mendekat ke mushalla dan
menyaksikan kebaikan.“ (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Disunnahkan untuk dilaksanakan shalat ‘Id secara berjamaah di Mushalla (lapangan),
dengan takbir 7 (tujuh) kali pada roka’at pertama dan 5 (lima) kali pada roka’at
kedua, sebagaimana diriwayatkan dari para sahabat, seperti Umar, Utsman, Ali, Abu
Hurairoh, Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit dlan yang lainnya.
4. Disunnahkan bagi Imam untuk berkhutbah setelah shalat ‘Id
5. Tidak ada shalat qobliyah dan ba’diyah di mushalla

Adab ‘Id :
1. Mandi sebelum keluar untuk shalat ‘Id
2. Makan sebelum berangkat shalat ‘Idul Fithri
3. Bertakbir dimulai ketika berangkat menuju mushalla dan berhenti ketika imam
datang
4. Memakai pakaian yang terbaik
5. Kembali dari mushalla dengan tidak melalui jalan yang dilalui ketika berangkat

2. Puasa Enam Hari di Bulan Syawal


Disunnahkan atas orang beriman untuk berpuasa 6 (enam) hari di bulan Syawal,
sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Ayyub Al Anshari, bahwa Rasulullah bersabda:

ِ ‫ا ٍي َوبَْ َو‬ََّٛ ‫عبَْ ص ُ َُّ أَرْجَ َؼُٗ ِعز ًّب ِِ ْٓ ش‬


‫َ ِبَ اٌذَّ ْ٘ ِش‬١‫ص‬ َ َِ ‫بَ َس‬
َ ‫ص‬َ ْٓ َِ
Artinya: “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan., kemudian disambungnya dengan
puasa 6 (enam) hari di bulan Syawal, maka sebagaimana berpuasa selama satu tahun.”
(HR. Muslim)
Dan disunnahkan untuk dilakukukan puasa ini sesegera mungkin, dimulai pada hari
kedua dari bulan Syawal secara berurutan, meskipun diperkenankan juga untuk
dilakukan dengan cara tidak berurutan, sebagaimana juga diperkenankan untuk
dilakukan di tengah bulan atau di akhir bulan.

19
FIQIH MUDIK/SAFAR

Ada beberapa adab yang seyogyanya diketahui dan diperhatikan untuk dilakasanakan oleh
pemudik/musafir, agar safarnya diberkahi Allah SWT, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Mengharap ridho Allah SWT
Tetapkanlah niat untuk mengharapkan ridho Allah SWT semenjak anda memutuskan
untuk safar, dan jauhkanlah segala keinginan mendapatkan kesenangan duniawi, seperti
membanggakan diri, karena hal tersebut akan merusak pahala amal kebaikan. Allah
berfirman:

َ َ‫قلَإنَصَلتًَونسكًَومحٌايَومماتًََِلَربَالعالمٌن‬
Artinya: “Katakanlan wahai Muhammad, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah.” (QS. 6 : 162)
2. Berbekal dengan yang halal
Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Baik, dan Ia hanya menerima yang baik-baik saja,
untuk itu berbekalah hanya dengan harta yang halal, karena harta haram akan menjadi
penghalang terkabulnya do’a (lihat Shohih Muslim 1015) dan akan mendatangkan murka
Allah. Rasulullah saw bersabda:

َ ‫ ْم َج ًُ ئِ ََّل‬٠َ ‫ّت ََل‬١ِ ‫غ‬


‫ّجًب‬١ِ ‫غ‬ َ َ‫َّللا‬
َّ َّْ ‫ِئ‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah Dzat Yang Maha Baik dan Ia hanya menerima yang baik.”
(HR. Muslim)
3. Menulis wasiat
Disunnahkan bagi yang akan safar untuk menulis wasiat (hak-haknya yang ada pada
orang lain dan kewajiban-kewajibannya yang belum ditunaikan). Rasulullah saw
bersabda:

ِ َٚ َٚ ‫ ِْٓ ئِ ََّل‬١َ‫ٍَز‬١ْ ٌَ ُ‫ذ‬١ِ‫َج‬٠ ِٗ ١ِ‫ ف‬ٟ


‫ثَخ‬ُٛ‫َّزُُٗ َِ ْىز‬١‫ص‬ ِ ُ٠ ْْ َ ‫ذُ أ‬٠‫ُ ِش‬٠ ‫ء‬َٟ
َ ‫ص‬ٛ ْ ‫ب ُِ ْغ ٍِ ٍُ ٌَُٗ ش‬
ٍ ‫َِب َح ُّك ْاِ ِش‬
َُٖ‫ِػ ْٕذ‬
Artinya: “Seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkan, maka ia
sudah harus menulis wasiatnya bila ingin menginap/ safar dua malam.“ (HR. Bukhori dan
Muslim)
4. Mencari teman yang baik
Orang yang akan bepergian dianjurkan untuk tidak bepergian seorang diri tanpa ada yang
menemaninya, dan untuk itu hendaklan mencari teman yang baik, agar terjaga dari
berbuat kesalahan selama dalam perjalanan. Rasulullah saw bersabda :

َُٖ‫ ْحذ‬َٚ ًٍ ١ْ ٍَ‫بس َسا ِوت ِث‬


َ ‫ع‬َ ‫ ْحذَ ِح َِب أ َ ْػٍَ ُُ َِب‬َٛ ٌ‫ ْا‬ٟ‫بط َِب ِف‬
ُ ٌَّٕ‫ ْؼٍَ ُُ ا‬٠َ ْٛ ٌَ

20
Artinya: “Seandainya orang mengetahui bahaya dalam kesendirian sebagaimana yang
aku ketahui, niscaya tidak akan ada orang yang melakukan perjalanan sendirian pada
waktu malam hari.“ (HR. Bukhori)

ُ ْٕ َ١ٍْ َ‫ ٍِ ِٗ ف‬١ٍِ ‫ٓ َخ‬٠ِ


ًُ ٌِ ‫ُخَب‬٠ ْٓ َِ ُْ ‫ظ ْش أ َ َحذُ ُو‬ ِ ‫ د‬ٍَٝ‫اٌش ُج ًُ َػ‬
َّ
Artinya: “Seseorang itu mengikuti aga teman dekatnya, oleh karena itu hendaklah kalian
memperhatikan siapa yang akan kalian jadikan teman dekat.” (HR. Abu Daud)
5. Berpamitan
Disunnahkan bagi orang yang hendak bepergian untuk berpamitan kepada kerabatnya
dan tetangganya. Rasulullah saw bersabda:

َ‫مَنَ أَرَادَ سَفَرَا فَلٌََقَلَ لَمَنَ ٌَخَلَفَ أَسَتَوَدَعَكَمَ للاَ الَذَيَ لَ تَضٌََعَ وَدَائَعَه‬
Artinya: “Barang siapa yang akan mengadakan perjalanan, hendaklah mengatakan
kepada orang yang akan ditinggalkan : ‘Aku titipkan kalian kepada Allah, Dzat yang tidak
menyia-nyiakan titipan yang dipasrahkan kepada-Nya.“ (HR. Ahmad)
Dan disunnahkan bagi yang dipamiti mengatakan:

َ ْٕ ‫ض ُ َّب ُو‬١ْ ‫ َْش َح‬١‫غ َش ٌَ َه ْاٌ َخ‬


َ‫ذ‬ َّ َ٠َٚ ‫ َغفَ َش رَ ْٔ َج َه‬َٚ َٜٛ ‫َّللاُ اٌز َّ ْم‬
َّ ‫دَ َن‬َّٚ َ‫ص‬
Artinya: “Semoga Allah membekalimu ketaqwaan, mengampuni dosa-dosamu dan
memudahkanmu untuk melakukan kebaikan dimanapun engkau berada.“ (HR. Tirmidzi)
6. Berdo’a ketika keluar dari rumah
Disunnahkan bagi seorang musafir ketika keluar dari rumahnya untuk membaca do’a
sebagai berikut :

ِ‫بلِل‬ َّ ٍَٝ‫ َّو ٍْذُ َػ‬َٛ َ ‫َّللاِ ر‬


َّ ِ‫ح َ ئِ ََّل ث‬َّٛ ُ‫ ََل ل‬َٚ ‫ َي‬ْٛ ‫َّللاِ ََل َح‬ َّ ُِ ‫ثِ ْغ‬
Artinya: “Dengan nama Allah, aku berserah diri kepada-Nya, tiada daya dan upaya
kecuali hanya dengan bantuan-Nya.“ (HR. Abu Daud)
7. Membaca do’a safar
Disunnahkan bagi seorang musafir ketika mau berangkat untuk membaca do’a safar
sebagai berikut:

‫ وإنا‬،‫َّللا َأكبر ََّللا َأكبر ََّللا َأكبر َسَبحانَ الذي سخرَ لنا هذا وما كنا لهَ مقرنٌن‬
‫ ومنَ العملَ ما‬،‫ اللهمَ إنا نسؤلكَ فً سفرنا هذا البرَ والتقوى‬.َ‫إلى ربنا لمنقلبون‬
ً‫ اللهمَ أنتَ الصاحبَ ف‬،‫ اللهمَ هونَ َعلٌنا سفرنا هذا واطوَ عنا بعده‬.‫ترضى‬
،‫ وكآبةَ المنظر‬،‫ اللهمَ إنً أعوذَ بكَ منَ وعثاءَ السفر‬.َ‫ والخلٌفةَ فً األهل‬،‫السفر‬
َ‫وسوءَ المنقلبَ فً المالَ واألهل‬
Artinya: “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Maha Suci Dzat Yang
menundukkan kendaraan ini untuk kami, padahal sebelumnya kami tidak mampu

21
menguasainya, sesungguhnya kami akan kembali kepada Robb kami. Ya Allah, kami
memohon kebaikan, ketaqwaan dan kemampuan untuk melaksakan amalan yang
Engkau ridhoi dalam perjalanan kami ini,. Ya Allah, ringankanlah perjalanan kami ini dan
dekatkanlah jaraknya. Ya Allah, Engkau adalah Dzat yang menjaga teman kami dalam
perjalanan ini dan Dzat yang menjaga keluarga yang kami tinggalkan. Ya Allah, aku
berlindung kepadaMu dari kesulitan perjalanan, dari musibah buruk selama dalam
perjalanan dan bencana pada harta benda dan keluarga pada waktu kepulangan kami “.
Dan dalam perjalan pulang dilanjutkan dengan do’a sebagai berikut:

َ‫ لربنا حامدون‬، َ‫ عابدون‬، َ‫ تائبون‬، َ‫آٌبون‬


Artinya: “Kami adalah orang-orang yang pulang, bertaubat, beribadah kepada-Nya dan
memuji-Nya.“ (HR. Muslim)
8. Memilih ketua rombongan
Disunnahkan bila ada rombongan yang mengadakan perjalanan, untuk mengangkat salah
seorang diantara mereka menjadi pemimpin rombongan. Rasulullah saw bersabda:

َ ُْ ُ٘ َ‫ا أ َ َحذ‬ٚ‫ُ َإ ِ ِّ ُش‬١ٍْ َ‫عفَ ٍش ف‬


َ ِٟ‫ِئرَا خ ََش َط ص َ ََلصَخ ف‬
Artinya: “Jika ada 3 orang yang mengadakan perjalanan, maka hendaklah mereka
mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin.“ (HR. Abu Dawud)
9. Berdo’a ketika singgah di suatu tempat
Bila singgah disuatu tempat, disunnahkan untuk membaca do’a sebagai berikut:

َ‫د ِِ ْٓ ش ِ َّش َِب َخٍَك‬


ِ ‫َّللاِ اٌزَّب َِّب‬
َّ ‫د‬ ُ َ‫أ‬
ِ ‫رُ ِث َى ٍِ َّب‬ٛ‫ػ‬
Artinya: “Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk
yang diciptakan oleh-Nya.“ (HR. Muslim)
10. Bertakbir ketika melewati jalan naik
Dianjurkan bagi seorang musafir untuk bertakbir ketika sedang melewati jalan menanjak
dan bertasbih ketika melewati jalan menurun, demikianlah yang biasa dilakukan oleh
shahabat Rasul saw:

َ ‫ ِئرَا َٔضَ ٌَْٕب‬َٚ ‫ص ِؼ ْذَٔب َوج َّْشَٔب‬


‫عج َّْحَٕب‬ َ ‫ُوَّٕب ِئرَا‬
Artinya: “Ketika kami melewati jalan naik kami bertakbir, dan apabila kami melewati
jalan turun kami bertasbih.“ (HR. Bukhori)
11. Memperbanyak do’a dalam perjalanan
Do’a musafir adalah do’a mustajab/ terkabul, maka hendaknya memperbanyak do’a
dalam safarnya. Rasulullah saw bersabda:

َ ُّ ٌ‫ح ُ ْا‬َْٛ ‫دَػ‬َٚ َٛ


ُ ‫ح‬َْٛ ‫دَػ‬َٚ ‫غبفِ ِش‬ ْ َّ ٌ‫ح ُ ْا‬َْٛ ‫ َّٓ دَػ‬ِٙ ١ِ‫د ُِ ْغز َ َجبثَبد ََل ش ََّه ف‬
ِ ٍُ‫ظ‬ ُ ‫ص َ ََل‬
ٍ ‫ا‬َٛ ‫س دَ َػ‬
َ ِٖ ‫ٌَ ِذ‬َٚ ٍَٝ‫ا ٌِ ِذ َػ‬َٛ ٌ‫ْا‬

22
Artinya: “Ada tiga do’a yang dikabulkan tanpa perlu diragukan, yaitu: do’a orang yang
teraniaya, do’a orang yang sedang safar dan do’a orang tua atas anaknya.“ (HR. Abu
Daud dan Ibnu Majah)
12. Ber-amar ma’ruf nahi munkar
Amar ma’ruf nahi munkar adalah tanggung jawab setiap muslim, untuk itu kapanpun dan
dimanapun ia berada termasuk ketika safar ia berkewajiban untuk melakukannya sesuai
dengan kemampuannya

َ َ‫َ ْجؼ‬٠ ْْ َ ‫َّللاُ أ‬


‫ش‬ ِ ‫َ ِذ ِٖ ٌَزَأ ْ ُِ ُش َّْ ثِ ْبٌ َّ ْؼ ُش‬١ِ‫ ث‬ِٟ‫ َٔ ْفغ‬ِٞ‫اٌَّز‬َٚ
َّ َّٓ ‫ ِش َى‬ُٛ١ٌَ ْٚ َ ‫ َّْ َػ ْٓ ْاٌ ُّ ْٕ َى ِش أ‬ُٛ َٙ ْٕ َ ‫ٌَز‬َٚ ‫ف‬ٚ
ُْ ‫بة ٌَ ُى‬ ُ ‫ ُى ُْ ِػمَبثًب ِِ ُْٕٗ ص ُ َُّ ر َ ْذ‬١ْ ٍَ‫َػ‬
ُ ‫ُ ْغز َ َج‬٠ ‫َُٔٗ فَ ََل‬ٛ‫ػ‬
Artinya: “Demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, kalian semua melaksanakan amar
ma’ruf dan nahi munkar atau kalau tidak Allah akan menimpakan siksa-Nya kepada
kalian, setelah itu kalian berdo’a kepada-Nya namun Dia tidak mengabulkan do’a kalian.“
(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
13. Melaksanakan segala kewajiban dan menjahui segala kemaksiatan
Allah berfirman:

َ ‫وماَآتاكمَالرسولَفخذوهَوماَنهاكمَعنهََفانتهوا‬
Artinya: “Dan apa yang dibawa Rasul kepadamu ambillah/laksanakanlah dan apa yang
dilarang tinggalkanlah.“ (QS. 59 : 7)
14. Berakhlak mulia
Rasulullah saw bersabda:

َ ‫ َّبًٔب أ َ ْح‬٠ِ‫َٓ ئ‬١ِِِٕ ْ‫أ َ ْو َّ ًُ ْاٌ ُّإ‬


‫ ُْ ُخٍُمًب‬ُٙ ُٕ‫غ‬
Artinya: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling sempurna
akhlaknya.“ (HR. Abu Daud)
15. Menolong yang kesulitan
Rasulullah saw bersabda:

َ ‫ َِ ْٓ ََل‬ٍَٝ‫ؼُ ْذ ِث ِٗ َػ‬١َ ٍْ َ‫ ٍش ف‬ْٙ ‫ظ‬


ْٓ ِِ ًْ‫ َِ ْٓ َوبَْ ٌَُٗ فَع‬َٚ ٌَُٗ ‫ َش‬ْٙ ‫ظ‬ َ ًُ ‫ع‬
ْ َ‫َِ ْٓ َوبَْ َِ َؼُٗ ف‬
َ ٌَُٗ َ‫ َِ ْٓ ََل صَ اد‬ٍَٝ‫ؼُ ْذ ِث ِٗ َػ‬١َ ٍْ َ‫صَ ا ٍد ف‬
Artinya: “Barang siapa yang mempunyai kelebihan kendaraan, maka hendaklah ia
berikan kepada yang tidak mempunyai kendaraan, dan barang siapa yang mempunyai
kelebihan bekal, maka hendaklah ia memberikan kepada yang tidak mempunyai bekal.“
(HR. Muslim)
16. Segera kembali setelah urusan selesai
Rasulullah saw bersabda:

23
ُْ ‫ أ َ َحذُ ُو‬ٝ‫ع‬ ِ ‫طؼَخ ِِ ْٓ ْاٌؼَزَا‬
َ َٚ َُِٗ َْٛ ٔ ُْ ‫َ َّْٕ ُغ أ َ َحذَ ُو‬٠ ‫ة‬
َ َ‫ش ََشاثَُٗ فَاِرَا ل‬َٚ َُِٗ ‫غؼَب‬ ْ ِ‫غفَ ُش ل‬ َّ ٌ‫ا‬
َ ِٗ ٍِ ْ٘ َ ‫ أ‬ٌَِٝ‫ُؼَ ِ ّج ًْ ئ‬١ٍْ َ‫ َّزَُٗ ف‬ْٙ َٔ
Artinya: “Safar merupaka siksaan, karena menghalangi seseorang untuk bisa menikmati
tidur, makan, dan minum, maka jika diantara kalian telah menyelesaikan keperluannya,
hendaklah segera kembali ke keluarganya.“ (HR. Bukhori dan Muslim)
17. Tidak langsung masuk rumah di malam hari

ْٚ َ ‫ ُْ أ‬ُٙ ََُّٔٛ ‫زَخ‬٠َ ‫ ًَْل‬١ٌَ ٍَُْٗ٘ َ ‫اٌش ُج ًُ أ‬ ْ َ٠ ْْ َ ‫عٍَّ َُ أ‬


َّ َ‫ط ُشق‬ َّ ٍَّٝ‫ص‬
َ َٚ ِٗ ١ْ ٍَ‫َّللاُ َػ‬ َّ ‫ ُي‬ٛ‫ع‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫ َس‬َٝٙ َٔ
ُْ ِٙ ِ‫ظ َػض َ َشار‬ ُ ِّ َ ‫ ٍْز‬٠َ
Artinya: “Rasulullah saw melarang seorang laki-laki yang baru datang dari bepergian
untuk memasuki rumahnya pada malam hari dengan maksud mencari-cari kesalahan
atau kekurangan.“ (HR. Muslim)
18. Melaksanakan sholat dua roka’at

ِٗ ١ِ‫عفَ ٍش ثَذَأ َ ثِ ْبٌ َّ ْغ ِج ِذ فَ َش َو َغ ف‬


َ ْٓ ِِ ََِ ‫عٍَّ َُ ئِرَا لَذ‬ َّ ٍَّٝ‫ص‬
َ َٚ ِٗ ١ْ ٍَ‫َّللاُ َػ‬ ُ ‫َوبَْ َس‬
َ ِ‫ ُي هللا‬ْٛ ‫ع‬
ِْٓ ١َ‫َس ْوؼَز‬
Artinya: “Adalah Rasulullah saw ketika datang dari perjalanan mendatangi masjid
terlebih dahulu lalu melaksanakan sholat 2 roka’at.“ (HR. Bukhori dan Muslim)
19. Membawa oleh-oleh
Disunnahkan bagi yang bepergian untuk membawa oleh-oleh. Rasulullah saw bersabda :

َ ‫ا‬ُّٛ‫ا ر َ َحبث‬ْٚ َ‫بد‬َٙ َ ‫ر‬َٚ


Artinya: “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, karena hal itu akan membuat kalian
saling mencintai.“ (HR. Baihaqi)

Rukhsah (Keringanan) dalam Safar


Ada beberapa keringanan yang diberikan kepada orang musafir, diantaranya sebagai berikut
:
1. Mengqoshor (memendekkan) shalat
2. Menjama’ (menggabungkan) shalat
3. Tidak berpuasa Ramadhon dengan ketentuan wajib qodho’
4. Mengerjakan shalat sunnah diatas kendaraan dengan menghadap sesuai arah
kendaraan
5. Mengusap sepatu selama tiga hari tiga malam

24
Meng-qashar dan Menjama’ Shalat
Diperbolehkan bagi seorang musafir untuk mengqoshar (memendekkan) shalat yang
berjumlah 4 roka’at menjadi 2 roka’at (shalat dhuhur, ashar dan isyak) dan menjamak /
menggabungkan dua shalat di satu waktu (antara dhuhur dengan ashar dan maghrib dengan
isya’), baik di waktu yang pertama (jamak taqdim) atau di waktu yang kedua (jamak ta’khir),
berdasarkan Al Qur’an dan As-Sunnah.
Waktu memulai mengqoshor sholat: Para ulama sepakat bahwa seorang musafir baru
diperkenankan untuk mengqoshar sholat, apabila ia telah meninggalkan kampungnya ( Al
Ijma’ karya Ibnu Mundzir ), berdasarkan hadits Anas ra :

َ ِْٓ ١َ‫فَ ِخ َس ْو َؼز‬١ْ ٍَ‫ ْاٌ ُح‬ِٞ‫ثِز‬َٚ ‫َٕ ِخ أ َ ْسثَؼًب‬٠ِ‫عٍَّ َُ ِث ْبٌ َّذ‬ َّ ٍَّٝ‫ص‬
َ َٚ ِٗ ١ْ ٍَ‫َّللاُ َػ‬ ُّ ُ‫ذ‬١ْ ٍَّ‫ص‬
ّ ِ‫ َش َِ َغ إٌَّج‬ْٙ ‫اٌظ‬
َ ِٟ َ
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah saw melaksanakan sholat dhuhur di Madinah 4 roka’at
dan melaksanakan sholat ashar di Dzul Hulaifah 2 roka’at.“ ( HR. Bukhori )
Cara mengqoshar dan menjamak sholat: Apabila seorang musafir telah meninggalkan
kampungnya dan tiba waktu shalat dhuhur, maka ia bisa menjamak sekaligus meng-qoshar
dhuhur dan ashar (secara berurutan) diwaktu tersebut, atau menta’khirkan hingga tiba
waktu ashar kemudian menjamak sekaligus meng-qoshor dhuhur dan ashar di waktu ashar,
demikian pula ia bisa melakukan hal yang sama untuk sholat maghrib dan isyak.
Ada tiga kondisi bagi seseorang untuk menjamak atau mengqoshar sholat dalam
perjalanan:
Pertama : Jika musafir dalam keadaan jalan pada waktu shalat yang pertama (dhuhur atau
maghrib) dan singgah pada waktu shalat yang kedua (Ashar atau Isyak), seyogyanya ia
menjamak shalatnya dengan cara jamak ta’khir, menjamak seperti ini serupa dengan
menjamak shalat di Muzdalifah pada saat haji.
Kedua : Jika musafir singgah diwaktu shalat yang pertama dan dalam keadaan jalan diwaktu
shalat yang kedua, maka seyogyanya ia menjamak shalatnya dengan cara jamak taqdim,
menjamak shalat seperti ini serupa dengan menjamak shalat di Arofah waktu haji.
Ketiga : Jika musafir singgah di setiap waktu shalat, maka yang sering dilakukan Rasulullah
saw tidak menjamak shalat, melainkan shalat pada waktunya masing-masing dengan cara di
qoshar, beginilah yang dilakukan Rasulullah saw ketika berada di Mina pada hari Tarwiyah.
Shalatnya seorang musafir dibelakang mukim (tidak safar) dan sebaliknya: Seorang
musafir diperkenankan untuk bermakmum kepada seorang mukim dengan kewajiban
menyempurnakan shalatnya sebagaimana shalatnya imam, dan sebaliknya seorang mukim
diperkenankan untuk bermakmum kepada seorang musafir dengan kewajiban
menyempurnakan shalatnya (menambah 2 roka’at lagi, jika imam salam).
----------- o0o -----------

25
Sekilas Kegiatan IKADI Jawa Timur:
1. Pengajian Ahad Pagi
2. Pembinaan Dai dan Guru Al Quran
3. Kursus Agama Islam
4. Konsultasi Agama dan Keluarga
5. Dakwah Media
6. Korps Mubaligh IKADI (KMI)
7. Program Tahfidz Al Quran
8. Layanan Pengurusan Jenazah, Dll.
Kantor IKADI Jawa Timur: Jl. Frontage Timur A. Yani No. 153 Surabaya,Telepon: 031-8411676
Website: ikadijatim.org Email: ikadijatim@gmail.com

26

Anda mungkin juga menyukai