Disusun oleh :
Nama : Winda Alfianti
NIM : 120210103068
Kelas :A
Kelompok :2
II. TUJUAN
Untuk mengetahui besarnya toleransi osmotik eritrosit hewan poikilotermik dan
homoiotermik terhadap berbagai tingkat kepekatan medium
b. Hewan Homoiotermik
Membius tikus
kemudian membedahnya di atas papan seksio
6 1% Krenasi Krenasi
7 2% Krenasi Krenasi
8 3% Krenasi Krenasi
VI. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini percobaan yang dilakukan adalah toleransi osmotik
eritrosit hewan poikilotermik dan homoiotermik terhadap berbagai tingkat kepekatan
medium. Medium/larutan yang digunakan dalam percobaan ini adalah NaCl dengan
berbagai konsentrasi, mulai dari 0,1%; 0,3%; 0,5%; 0,7%; 0,9%; 1%; 2%; dan 3% serta
aquades sebagai kontrol. Tujuan digunakannya larutan NaCl dengan berbagai beda
konsentrasi adalah untuk mengetahui perubahan bentuk eritrosit, mengalami hemolisis
atau krenasi. Sehingga variabel dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :
Variabel bebas : Konsentrasi larutan NaCl (0,1%; 0,3%; 0,5%; 0,7%;
0,9%; 1%; 2%; dan 3%), jenis hewan uji (poikiloterm
dan homoioterm)
Variabel kontrol : Jumlah tetes larutan NaCl yang diberikan
Variabel terikat : Keadaan sel eritrosit
Pada percobaan ini hewan yang digunakan adalah kadal yang merupakan
poikilotermik dan tikus yang merupakan hewan homoiotermik. Hewan poikilotermik
adalah hewan yang tidak mampu menyesuaikan dan mengatur suhu tubuhnya sedangkan
hewan homoiotermik adalah hewan yang mampu mengatur dan menyesuaikan suhu
tubuhnya terhadap lingkungan. Mula-mula kedua hewan tersebut dibius kemudian
dibedah hingga terlihat jantung dan pembuluh darahnya, kemudian pembuluh darahnya
ditusuk hingga darah keluar. Kemudian darah tersebut diletakkan pada kaca benda dan
pada masing-masing kaca benda yang sudah ditetesi darah kemudian masing-masing
ditetesi larutan NaCl dengan serial konsentrasi yang berbeda. Setiap kelompok bertugas
mengamati sel darah merah setiap hewan yang digunakan terhadap suatu serial
konsentrasi.
Dari hasil pengamatan didapatkan hasil bahwa untuk hewan poikilotermik, ketika
sel darahnya ditetesi NaCl dengan konsentrasi 0,15%, sel darah tersebut mengalami lisis.
Hal ini juga terjadi pada saat sel darah hewan poikilotermik ditetesi larutan NaCl dengan
konsentrasi 0,3%, 0,5% dan 0,7%. Hal tersebut terjadi karena larutan NaCl yang
diteteskan memiliki konsentrasi yang lebih rendah dari konsentrasi sel darah merah, atau
dengan kata lain dalam hal ini larutan NaCl bersifat hipotonik, sehingga larutan NaCl
masuk kedalam eritrosit dan menyebabkan eritrosit menggembung. Ketika membrane
eritrosit sudah tidak mampu lagi menahan tekanan zat pelarut yang masuk maka eritrosit
akan mengalami lisis. Dari data tersebut terdapat keganjalan dimana kadal yang
digunakan merupakan hewan poikilotermik, sedangkan hewan poikilotermik memiliki
eritrosit yang dapat isotonis dengan larutan NaCl 0,7%, jika eritrosit tersebut dapat
isotonis dengan NaCl 0,7%, maka seharusnya keadaan eritrosit pada saat ditetesi NaCl
0,7% adalh normal atau tetap, namun hal ini tidak sesuai dengan teori. Hal ini
kemungkinan karena kelalaian praktikan dalam menggunakan pipet tetes secara acak, ada
kemungkinan praktikan menggunakan pipet tetes milik NaCl konsentrasi tinggi dipakai
untuk mengambil NaCl 0,7% sehingga konsentrasi NaCl berubah dan konsentrasinya
meningkat. Sedangkan berdasarkan hasil pengamatan selanjutnya pada eritrosit yang
ditetesi NaCl 0,9% keadaannya normal dan tetap, hal ini tentu tidak sesuai dengan teori
dimana sel darah merah poikilotermik hanya isotonis dengan NaCl 0,7% bukan 0,9%.
Hal tersebut terjadi kemungkinan terjadi karena kelalaian praktikan seperti kesalahan
yang sudah dilakukan sebelumnya. Pada saat eritrosit hewan poikilotermik ditetesi
larutan NaCl dengan konsentrasi 1%, sel-sel eritrositnya mengalami krenasi, yaitu sel-sel
eritrosit mengkerut atau mengecil karena konsentrasi NaCl yang diberikan lebih tinggi
dan bersifat hipertonik sehingga cairan yang ada didalam sel akan terserap keluar dan
mengakibatkan eritrosit mengalami krenasi. Sedangkan ketika eritrosit ditetesi aquades,
sel eritrosit tersebut mengalami lisis dimana eritrositnya menggembung dan apabila
membrane eritrosit tidak kuat menahan tekanan cairan yang masuk maka eritrosit akan
mengalami lisis. Hal ini sesuai dengan teori dimana aquades memiliki konsentrasi lebih
rendah daripada cairan didalam eritrosit dan aquades bersifat hipotonik. Sehingga
mengakibatkan aquades terserap kedalam eriteosit dan lama-lama dapat mengakibatkan
eritrosit lisis.
Perlakuan berikutnya eritrosit ditetesi larutan NaCl 0,7% dan eritrosit tidak
mengalami perubahan atau normal, hal ini tidak sesuai teori dimana eritrosit hewan
homoiotermik isotonis dengan larutan NaCl 0,9% bukan larutan NaCl 0.7%, seharusnya
ketika ditetesi larutan NaCl 0,7% eritrosit mengalami lisis karena konsentrasi larutan
NaCl 0,7% lebih rendah dari cairan didalam eritrosit sehingga larutan NaCl masuk
kedalam eritrosit dan menyebabkan eritrosit lisis,hal tersebut bukan kesalahan praktikan
namun kemungkinan ini merupakan larutan yang masih dapat ditoleransi oleh eritrosit
hewan homoiotermik. Pengamatan selanjutnya eritrosit di tetesi dengan larutan NaCl
0,9% dan hal ini mengakibatkan eritrosit tidak mengalami perubahan artinya pada saat
ditetesi NaCl 0,9% eritrosit hewan homoiotermik bersifat normal atau tetap. Hal ini
sesuai dengan teori dimana eritrosit hewan homoiotermik dapat isotonis dengan NaCl
0,9%. Selanjutnya hasil pengamatan pada eritrosit yang ditetesi NaCl 1%, 2% dan 3%,
eritrosit mengalami krenasi, hal ini sesuai dengan teori dimana larutan NaCl yang
diteteskan memiliki konsentrasi lebih tinggi daripada cairan didalam eritrosit sehingga
larutan NaCl bersifat hipertonik terhadap eritrosit dan hal ini menyebabkan cairan yang
ada didalam eritrosit terserap keluar dan mengakibatkan eritrosit mengalami krenasi.
Pada pengamatan selanjutnya eritrosit ditetesi dengan akuades dan hal ini menyebabkan
eritrosit mengalami krenasi, hal ini tidak sesuai dengan teori karena seharusnya eritrosit
mengalami lisis, karena akuades memiliki konsentrasi lebih rendah dari cairan eritrosit
sehingga seharusnya akuades terserap masuk kedalam eritrosit dan menyebabkan eritrosit
menggembung dan mengalami lisis. Pemberian aquades sebagai kontrol dalam percobaan
ini seharusnya memberikan efek lisis pada sel eritrosit baik sel eritrosit tikus maupun sel
eritrosit kadal. Hal tersebut karena aquades merupakan larutan hipotonis bagi sel, artinya
aquades merupakan kontrol plasmolisis sempurna bagi semua sel.
Hewan poikilotermik lebih toleran terhadap larutan NaCl yang lebih pekat
sedangkan hewan homoiotermik lebih toleran terhadap larutan NaCl yang lebih encer,
hal tersebut dapat dibuktikan, yaitu ketika sama-sam diberi perlakuan dengan larutan
NaCl 0,7% eritrosit poikilotermik bersifat normal sedangkan eritrosit homoiotermik
mengalami juga normal. Namun larutan NaCl merupakan larutan isotonik bagi eritrosit
poikilotermik dan merupakan larutan hipotonik bagi eritrosit hewan homoiotermik
sehingga eritrosit poikilotermik lebih toleran terhadap NaCl encer daripada eritrosit
homoiotermik. Sedangkan pada saat diberi perlakuan dengan NaCl 0,9%, eritrosit
poikilotermik mengalami krenasi sedangkan eritrosit homoiotermik bersifat normal, hal
ini berati larutan NaCl 0,9% bersifat hipertonik bagi eritrosit hewan poikilotermik dan
bersifat isotonic bagi eritrosit hewan homoiotermik. Hal ini berati eritrosit hewan
homoiotermik lebih toleran terhadap larutan NaCl yang lebih pekat dari pada eritrosit
hewan poikilotermik.
VII. PENUTUP
7.1 KESIMPULAN
Dari percobaan diatas dapat disimpulkan bahwa kisaran toleransi osmotik
eritrosit hewan poikiloterm yaitu larutan NaCl dengan konsentrasi 0,7% saja dan
hewan homoioterm berkisar 0,7%-0.9%. Di mana isotonis untuk eritrosit hewan
poikiloterm adalah 0,7% dan untuk eritrosit hewan homoioterm adalah 0,9%.
Dengan demikian maka yang lebih toleran terhadap larutan yang lebih encer
daripada garam fisiologisnya adalah eritrosit hewan poikiloterm, dan yang lebih
toleran terhadap larutan yang lebih pekat daripada garam fisiologisnya adalah
eritrosit hewan homoioterm.
7.2 SARAN
Seharusnya pengamatan di bawah mikroskop menggunakan perbesaran yang
sama semua, sehingga ukuran sel eritrosit yang lisis, krenasi, dan normal bisa
terlihat.
DAFTAR PUSTAKA
Guyton AC. 1995. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit (Human Physiology and
Mechanism of disease). Diterjemahkan oleh Ken Ariata. Ed ke-3. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Lovita. 2011. Komposisi Dan Imbangan Bakteri Pada Pembuatan Yoghurt Terhadap Nilai
Hematologik Mencit. Biodiversitas.ISSN 9812-3265.Vol 2(1)
Mifbakhuddin.2010. Hubungan Antara Paparan Gas Buang Kendaraan (Pb) Dengan Kadar
Hemoglobin Dan Eritrosit Berdasarkan Lama Kerja Pada Petugas Operator Wanita
Spbu Di Wilayah Semarang Selatan. Jurnal Natur Indonesia. ISSN 1410-9379.Vol 6(2)
Safrida. 2010. Gambaran Diferensiasi Sel Darah Putih Tikus (Ratitus norvegicus) Betina Pada
Starvasi. Biodiversitas. ISSN 1416-8801. Vol 11(1). 18
Santoso, Putra. 2009. Buku Ajar Fisiologi Hewan. Padang : Universitas Andalas
Soewolo. 2000. Pengantar Fisiologi Hewan. Jakarta : Proyek Pengembangan Guru Sekolah
Menengah
Jurnal natur Indonesia. Oktober 2010
ISSN 1410-9379
Email: mifbakhuddin@yahoo.com
ABSTRAK
ISSN 9812-3265
ABSTRAK