Anda di halaman 1dari 4

Sesudah Sekolah Minggu

indoprogress.com/2013/11/sesudah-sekolah-minggu/

Harian IndoPROGRESS

TUILISAN ini melengkapi tulisan Berto Tukan,[1] yang mengingatkan kita tentang sejarah
sekolah modern dalam hubungannya dengan masyarakat kapitalis-industri. Berto
menunjukkan hubungan intim antara ketidakadilan akses pendidikan dengan ketidakadilan
dalam dunia kerja sistem ekonomi kapitalisme. Sistem pendidikan modern dan mekanisme
proletarisasi subjek pendidikan adalah dua sisi dari mata uang yang sama; ketika lulus,
seorang sarjana hanya bisa memilih untuk menjual keahlian yang terbatas pada apa yang
telah diajarkan di sekolahnya. Karenanya, ia akan menjadi sebuah sekrup dari sebuah
mesin raksasa, tidak lebih. Pilihannya adalah menjadi setia atau terbuang dari sistem,
mengingat masih banyak sekrup-sekrup lain menanti.

Tulisan Berto tersebut hadir bukan tanpa konteks. Maraknya demonstrasi buruh pabrik
belakangan ini membuat kesal banyak kalangan, bukan saja pengusaha atau komandan
polisi, tetapi juga menganggu kenyamanan warga kelas menengah atas di ibukota.
Kabarnya, yang belakangan ini sering marah-marah di media sosial, yang juga
menyebabkan banyak ‘kelas menengah simpatik’ pembela kaum buruh juga marah-marah
terhadap kelompok yang disebut nyinyir atau ngehe ini. Tentu bagi banyak kalangan lain,
membela buruh pabrik dan tambang melalui facebook dan twitter adalah tugas mulia—dan
gampang juga: tinggal pencet tombol ‘post’, ‘tweet’, ‘share’ atau semacamnya.

Jadi persoalannya apa? Mengapa banyak orang suka sekali memeriahkan konflik diagonal,
yang tidak vertikal tapi juga bukan horisontal? Buruh kerah putih, paling tidak yang saya
tahu di Jabodetabek, walaupun tidak bebas dari ketertindasan sistem kapitalisme, coraknya
berbeda dan mampu menciptakan ruang ketahanan (resilience) yang lebih lebar[2]
sehingga kesengsaraannya bisa terkurangi. Buruh kerah putih harus menghadapi
penghisapan besar-besaran oleh developer perumahan serta penurunan kualitas hidup
akibat pemisahan ruang kerja dan ruang hunian yang menuntut perjalanan panjang antara
kantor dan rumah (dengan kata lain, antara ranah produksi dan reproduksi). Yang
belakangan ini juga punya andil dalam munculnya banyak sekali spektrum pekerjaan
informal (lihat Mingione, 1991 untuk landasan konsep ‘informal’), yang sering luput dari
pembahasan inteletual kiri –Marxis tulen, Marxis baru, Marxis hijau atau abu-abu, atau
apalah namanya) di Indonesia.

Dalam sistem ekonomi neoliberal[3] saat ini, sistem pengkotak-kotakkan kelas pekerja
kemudian tidak bisa disederhanakan menjadi persoalan dua dimensi antara besar upah dan
tingkat pendidikan. Banyak sekali faktor yang menentukan upah seseorang (lihat Gambar
1), yang selanjutnya menentukan harapan seorang ayah terharap anak laki-lakinya atau
seorang ibu terhadap calon menantu perempuannya. Sekeren apapun sekolah filsafat,
sehingga para mahasiswanya dapat menulis dengan indah baik puisi maupun artikel di
1/4
IndoPROGRESS, banyak ayah yang berharap anaknya sekolah teknik mesin atau teknik
sipil, menjadi pengacara atau menjadi dokter—plus masuk UI, ITB atau UGM, karena
apalah arti Itenas, UNIKOM, apalagi IKJ atau STF Driyarkara. Belakangan saya bicara
dengan beberapa teman perempuan yang sedang sekolah tinggi. Bukan bualan jika banyak
yang putus cinta lantaran ibunya pacar tidak suka perempuan yang sekolah lebih tinggi
daripada anak laki-lakinya. Ini bukan karena ibu-ibu ini tidak berpendidikan tinggi, tetapi
karena begitu banyak peran sosial dalam sistem reproduksi yang dibebankan kepada
perempuan dan jika tidak, akan mengurangi nilai upah riil. Yang belakangan ini adalah isu
yang dialami bukan saja buruh kerah biru, tetapi juga kerah putih.

Jika tidak ada usaha mencari isu-isu yang dapat meruntuhkan dinding batas kelompok-
kelompok pekerja, maka mengharapkan kelas menengah bersolidaritas terhadap
kesengsaraan buruh pabrik sama saja dengan berharap sebuah rezim militer tiba-tiba
meletakkan senjatanya. Ada kepanitiaan kolektif yang disebut negara, yang dapat dituntut
untuk menaikkan upah riil. Isu kenaikan upah tidak dapat dipisahkan dari pentingnya
kenaikan nilai upah. Bentuk intervensi negara, selain sistem ketenagakerjaan yang seadil-
adilnya, minimal berupa subsidi pendidikan, subsidi mobilitas (transportasi publik),
perumahan murah, pelayanan kesehatan dan sarana air-sanitasi. Jika upah naik, tetapi
harga barang dan jasa pokok naik juga, tidak ada kata sejahtera di negeri kita.

Kembali ke soal pengkotak-kotakan masyarakat akibat sistem pendidikan, hal ini ternyata
bukan cerita akhir peradaban kita. Solidaritas kaum sekolahan untuk mengajar anak-anak
jalanan misalnya, walau bentuknya adalah karitatif, perlu ditilik dari sudut pandang politik.
Upaya apapun yang berusaha menggantikan pelayanan yang hilang, yang seharusnya
disediakan negara, adalah bentuk aksi protes terhadap kesenjangan. Tentu upaya
semacam ini harus dilihat secara kritis—apakah langkah ini, misalnya, mampu mendorong
2/4
perubahan susunan geometris kekuasaan pada tingkat yang paling lokal? Yang saya
maksud adalah soal perbaikan daya tahan (resilience) dan kemampuan komunitas untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari secara swadaya. Sebagai contoh, para insinyur dan
arsitek di Brazil mampu mentransfer pengetahuan teknik mereka kepada kaum miskin
perkotaan untu bekerjasama menyediakan hunian susun delapan lantai yang relatif murah
dan berkualitas sangat baik.[4] Di atas kertas, hal ini sulit dicapai tanpa keahlian teknis,
modal yang besar serta teknologi yang canggih (dan pada umumnya mahal). Contoh lain, di
banyak negara, para ahli pertanian bekerjasama dengan petani untuk menghasilkan bibit
yang baik serta melestarikan keragaman hayati. Bentuk solidaritas ini tentu adalah hasil
interaksi–saya menyebutnya ‘interaksi diagonal’—yang panjang, dan sering menyakitkan
pula karena disertai oleh pengkhianatan, turunnya kepercayaan, dan hilangnya dorongan
untuk berkolaborasi.

Persoalannya kemudian, apakah contoh-contoh solidaritas kaum sekolahan ini dapat dibuat
ulang atau dilipat-gandakan melalui institusi negara? Banyak negara yang menyediakan
anggaran bagi pekerja sosial, misalnya. Setahu saya dulu, kerja praktik mahasiswa
arsitektur UGM dapat dilakukan di kampung-kampung kota, bandingkan dengan, misalnya,
ITB yang mengharuskan kerja praktik di konsultan arsitektur formal. Mengapa institusi
negara? Jawaban mudahnya: saya masih percaya perlunya keterlibatan institusi negara.
Institusi negara bisa diubah, watak kapitalis barangkali tidak, atau belum tentu. Ini bukan
soal jahat atau tidaknya kapitalisme; sebagian dari kita (yang sengsara) tahu apa
konsekuensi dari sistem ini. Namun jangan lupa, sistem ekonomi kapitalis pun hadir lewat
perjuangan kelas (pemodal) melalui institusi negara, si kepanitiaan kolektif yang bentuknya
bisa bermacam-macam itu—dus, bisa diubah.***

Kamar asrama di Heverlee, awal November 2013.

Prathiwi, sedang menyelesaikan studi doktoralnya di VLIR (Vlaamse Interuniversitaire


Raad) KU Leuven, Belgium

Kepustakaan

Ingleson, J. (1981). Worker Consciousness and Labour Unions in Colonial Java. Pacific
Affairs 54(3), 485-501.

Ingleson, J. (1988). Urban Java during the Depression. Journal of Southeast Asian Studies,
19, 292-309 doi:210.1017/S0022463400000576

Ingleson, J. (2001). The Legacy of Colonial Labour Unions in Indonesia. Australian Journal
of Politics and History 47(1), 85-100.

Ingleson, J. (2012). Fear of the kampung, fear of unrest: urban unemployment and colonial
policy in 1930s Java. Modern Asian Studies, 46(6), 1633-1671.

Mingione, E. (1991). Fragmented Societies: A Sociology of Economic Life beyond the


3/4
Market Paradigm. Oxford: Basil Blackwell.

[1] Berto Tukan, Sekolah Minggu, 2/11/2013, https://indoprogress.com/sekolah-minggu/

[2] Membaca laporan-laporan sejarah John Ingleson (1981, 1988, 2001, 2012), kita bisa
tahu bahwa ketika sistem pertanian, dalah hal ini di Jawa, masih relatif baik, ada juga ruang
resiliensi buruh pabrik di kota yang diciptakan oleh kuatnya jejaring urban-rural. Ingleson
menjelaskan kondisi yang bagaimana yang memungkinkan buruh berorganisasi dengan
solid.

[3] Lihat artikel Coen Husain Pontoh, Dari Kritik Neoliberalisme ke Kritik Kapitalisme-
Neoliberal, 4/10/2010, https://indoprogress.com/dari-kritik-neoliberalisme-ke-kritik-
kapitalisme-neoliberal/

[4] Mengenai hal ini, lihat tulisan saya: Prathiwi, Berhimpun Berkarya dan Berhuni Bersama-
Pengalaman Rakyat Brazil, 05/06/2013, LKIP Edisi 06, https://indoprogress.com/lkip/?
p=826

4/4

Anda mungkin juga menyukai