Anda di halaman 1dari 6

KASUS PRODUKSI DAN PEREDARAN OBAT GENERIK PALSU

I. Detail Kasus

Pola penjualan dan distribusi obat yang tidak teratur serta perilaku masyarakat yang
mudah mendapat obat dan ingin cepat sembuh, membuat maraknya peredaran obat yang
menyalahi aturan. Hal tersebut dapat mengakibatkan peluang masuknya obat palsu atau obat
dengan zat aktif tidak sesuai sehingga dapat mengancam atau membahayakan nyawa
konsumen. Pada tanggal 12 Juni 2014, pabrik obat generik palsu dibongkar oleh Direktorat
Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya di kawasan pergudangan Akong Jalan Karet Jaya
1 No 90, Kec. Sepatan, Kabupaten Tangerang. Dalam kasus tersebut ditemukan sebanyak 18
juta butir obat merk Tramadol HCL 50 mg yang dinyatakan palsu dan diperkirakan senilai Rp
6 miliar. Selain mengamankan dua pelaku, tim penggerebekan juga menyita belasan mesin
produksi dan ratusan kilogram bahan baku obat berbagai merk seperti Lactochem,
Microcrystalline Cellulose Powder, Magnesium, dan kemasan obat Tramadol HCL 50 mg
yang juga dipalsukan. Dalam satu hari, pabrik obat generik palsu tersebut bisa memproduksi
7 juta butir obat Tramadol HCL palsu. Obat ilegal itu kemudian diedarkan pemilik pabrik di
daerah Jabotabek. Obat Tramadol HCL 50 mg merupakan obat relaksan otot. Obat generik
palsu ini memiliki efek samping yang sangat berbahaya dan berdampak merusak organ tubuh
bagi yang mengkonsumsinya. http://poskotanews.com/2014/06/23/hl-pabrik-obat-generik-
palsu-digerebek/

Pada tahun 2012, obat-obatan yang terkait dengan terapi disfungsi ereksi yang dikenal
dengan sebutan PDE5 Inhibitor (Phosphodiesterase type 5 inhibitor) atau Sildenafil menjadi
salah satu dari obat yang kerap dipalsukan. Hasil riset Victory Project yang dipimpin oleh
Akmal Taher ini mengambil sample sebanyak 518 jumlah tablet dari 157 outlet menunjukan
bahwa tingkat pemalsuan obat jenis ini mencapai 45 persen dan yang juga perlu menjadi
perhatian dari hasil riset ini adalah penetrasi penyebaran obat palsu PDE5 inhibitor ternyata
juga menembus apotek. Dari hasil pengujian menunjukkan 518 jumlah tablet yang diuji
menunjukkan obat palsu jenis PDE5 yang dijual di pinggir jalan 100 % palsu, sedangkan dari
toko obat 56 % palsu, melalui via internet 33 % palsu dan apotek sebanyak 13 %. Kandungan
berbahaya dari obat palsu sangat merugikan kesehatan. Karena didalamnya mungkin
mengandung zat berbahaya atau tidak dibuat dengan takaran sebenarnya, berkisar dari sangat
kecil hingga sangat berlebihan, pasti berakibat pada pengobatan pasien, bisa tidak kunjung
sembuh, resisten terhadap pengobatan, sehingga kondisi makin memburuk bahkan
menimbulkan kematian. Oleh karena itu perdaran obat palsu perlu dihentikan atau dicegah
agar peredaran obat palsu dan ilegal tersebut tidak meluas dengan memberikan pengawasan.
Salah satu cara penekanan peredaran obat palsu adalah dengan memberikan edukasi kepada
masyarakat. Masyarakat diminta kritis dan cerdas akan bahaya obat palsu dan ilegal tersebut.

http://ikatanapotekerindonesia.net/news/public-warning/obat-palsu-mulai-masuk-apotek

II. Analisis Etik atau Peraturan

Dalam proses produksi maupun peredaran obat, tentunya tidak dapat dipisahkan dari
peran pelaku usaha di bidang obat yang memproduksi, mendistribusikan maupun yang
menjual obat hingga sampai ke tangan konsumen. Dalam Bab II telah disampaikan bahwa
pelaku usaha tidak hanya diartikan sebatas pembuat/pabrik yang menghasilkan produk saja
tetapi diartikan secara luas, yaitu termasuk didalamnya mereka yang terkait dengan
penyampaian/peredaran produk hingga sampai ke tangan konsumen.
Selain proses produksi obat, proses peredaran atau pendistribusian obat hingga sampai
ke tangan konsumen juga telah diatur secara resmi dalam peraturan-peraturan tertentu.
Pengertian peredaran menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1010/MENKES/PER/XI/2008 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor1120/MENKES/PER/XII/2008 tentang Registrasi Obat adalah
setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan obat, baik dalam
rangka perdagangan, bukan perdagangan, atau pemindahtanganan.
Setiap obat yang akan diedarkan di wilayah Indonesia, sebelumnya harus melakukan
registrasi untuk memperoleh izin edar. Izin Edar adalah bentuk persetujuan registrasi obat
untuk dapat diedarkan di wilayah Indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan registrasi
adalah prosedur pendaftaran dan evaluasi obat untuk mendapatkan izin edar. Ketentuan
tentang registrasi obat diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.10.11.08481 Tahun 2011 tentang Kriteria dan Tata
Laksana Registrasi Obat.
Adapun dijelaskan di Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
mengenai peredaran obat palsu adalah sebagai berikut:
 Pasal 98 :
o Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang
mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat
dan bahan yang berkhasiat obat.
o Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi,
pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu
pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
 Pasal 106
Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat
izin edar
 Pasal 108
Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat,
pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat,
bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan
 Pasal 196
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan
keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi
dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)

Adanya peraturan perundang- undangan yang mengakui dan melindungi hak-hak


konsumen, serta pengaturan kewajiban dan tanggungjawab pelaku usaha dari produksi
hingga sampai ke tangan konsumen merupakan cakupan- cakupan yang termasuk dalam
kebijakan pemberdayaan konsumen seperti yang telah disampaikan pada bab II. Oleh sebab
itu, seharusnya sudah tidak ada lagi celah untuk peredaran obat palsu, jika pelaku usaha,
konsumen dan pemerintah memenuhi kewajiban dan tanggungjawabnya dalam peredaran
obat dimasyarakat.

Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya peredaran obat palsu di masyarakat


diantaranya yaitu :
1). Faktor Pelaku Usaha :
a. Ingin memperoleh keuntungan yang besar
b. Kurangnya kesadaran terhadap kewajiban dan tanggungjawab pelaku usaha

2). Faktor konsumen :


a. Kurangnya pengetahuan konsumen tentang obat dan adanya keyakinan masyarakat
terhadap obat bermerek daripada obat generik
b. Tingkat Pendidikan dan Kondisi Ekonomi Konsumen Obat
c. Kurangnya kesadaran terhadap hak-hak konsumen obat
3). Faktor Pengawasan peredaran obat :
a. Cakupan wilayah peredaran obat yang luas
b. Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) dan sarana prasarana

III. Saran, Solusi, atau Rekomendasi

Dalam usaha untuk melindungi konsumen dari bahaya peredaran obat palsu,
dibutuhkan adanya upaya-upaya pemberdayaan konsumen. Pemberdayaan konsumen
menyadarkan konsumen obat untuk lebih aktif, mandiri, dan peduli dengan apa yang
menjadi hak-haknya sebagai konsumen obat, sehingga dapat menghindarkan dirinya dari
peredaran obat palsu yang terjadi di masyarakat. Selain itu, masyarakat harus lebih berhati-
hati lagi membeli obat. Jika ada keraguan terhadap keaslian obat, jangan ragu untuk
bertanya kepada dokter, apoteker, atau langsung ke produsen pembuat obat dan juga dapat
menyampaikan ke pihak berwenang.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh BPOM untuk meningkatkan
efektivitas pemberantasan produk ilegal termasuk palsu dengan memaksimalkan sumber
daya yang ada, sebagai berikut:
1. Mengefektifkan monitoring/pelaporan obat terutama obat keras dari industri farmasi
ke PBF, demikian juga dari PBF ke seluruh jalur di fasilitas pelayanan kefarmasian
dan kesehatan.
2. Mengintensifkan inspeksi pada fasilitas pelayanan kefarmasian dan kesehatan.
3. Memperkuat kerja sama dengan POLRI untuk penanganan kasus peredaran obat ilegal
termasuk palsu.
4. Melakukan kemitraan dan sinergi dengan Kementerian Kesehatan Dan Pemerintah
Daerah.
5. Meningkatkan sinergi dan koordinasi dengan instansi terkait, utamanya Dinas
Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, untuk pengawasan sarana
pelayanan kesehatan/kefarmasian serta mengefektifkan tindak lanjut pengawasan.
6. Pemanfaatan teknologi informasi untuk meningkatkan efektivitas
pelaporan/monitoring distribusi obat dan rekomendasi sanksi administrasi secara
transparan sehingga menimbulkan efek jera.
7. Meningkatkan berbagai operasi gabungan terkait peredaran obat ilegal termasuk palsu
dengan dukungan POLRI Dan Pemerintah Daerah.

Saat ini, dalam rangka menertibkan obat ilegal termasuk palsu di peredaran, Badan
POM telah melakukan berbagai upaya antara lain:

1. Membuat Surat Edaran kepada seluruh sarana pelayanan kefarmasian dan fasilitas
pelayanan kesehatan (Apotek, Klinik, Toko Obat, Rumah Sakit, dan Puskesmas)
untuk menjamin pengadaan hanya berasal dari tempat resmi dan diserahkan kepada
pasien sesuai aturan yang berlaku.
2. Menginstruksikan kepada seluruh Balai Besar/Balai POM di Indonesia untuk
melakukan penertiban pengadaan dan penyaluran dalam rangka peredaran obat di
Indonesia.
3. Melakukan sampling secara intensif terhadap produk obat di sarana pelayanan
kesehatan.
4. Memperkuat sinergi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk memberikan
sanksi lebih tegas kepada sarana pelayanan kefarmasian yang melanggar peraturan.
5. Revitalisasi Satuan Tugas Pemberantasan Obat dan Makanan Ilegal yang telah
diresmikan oleh Bapak Wakil Presiden pada Tahun 2011.
6. Mengaktifkan peran Single Point of Contact dari setiap Industri Farmasi agar
meningkatkan kontribusinya dalam penanggulangan obat palsu.
7. Bekerja sama dengan asosiasi profesi untuk memberikan pembinaan kepada
anggotanya.

Anda mungkin juga menyukai