Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN KASUS BEDAH

APENDISITIS KRONIK

Disusun Oleh :

DEWI AMALIA

NPM : 09700301

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA


SURABAYA

TAHUN AJARAN

2013-2014
BAB I

LAPORAN KASUS APENDISITIS KRONIK

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama Penderita : Ny. Sulastri
Umur : 50 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SD
Status : Menikah
Alamat : Damarsi 05/02, Buduran, Sidoarjo
Tanggal MRS : 27 Juni 2013
Tanggal Pemeriksaan : 27 Juni 2013
Tanggal KRS : 5 juli 2013
No.Rekam Medik : 159-11-57

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan terhadap pasien
A. Keluhan Utama : Pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah
B. Anamnesis Khusus : Pasien dirawat sejak 3 hari yang lalu dengan keluhan nyeri perut
kanan bawah, demam, mual muntah, napsu makan menurun
C. Riwayat Penyakit : Pasien dirawat sejak 3 hari yang lalu dengan keluhan nyeri pada
perutnya, nyeri terus bertambah hingga menjalar sampai ke perut sebelah kanan bawah.
Nyeri dirasakan terus menerus dan dirasakan 3 hari sebelum ke rumah sakit. Selain nyeri
juga mengeluh rasa mual dan muntah. Disertai demam tinggi ketika nyeri dirasakan.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang berpenyakit seperti ini
F. Riwayat Pengobatan
Sering minum obat maag “promag”
G. Riwayat Sosial Ekonomi
Ibu rumah tangga
Tidak ada riwayat mengkonsumsi alcohol
Tidak ada riwayat merokok

III. PEMERIKSAAN FISIK


1. Pemeriksaan Umum
a. Keadaan Umum : lemah
b. Kesadaran : komposmentis (GCS 4-5-6)
c. Tanda Vital : TD : 150/90 mmHg
N : 77 x/mnt
RR : 18 x/mnt
Tax : 36 °C
A/I/C/D : -/-/-/-
d. Kulit : Turgor kulit normal, elastisitas baik, tidak ada
Ruam, tidak ada ptekie, tidak ada nodul, tidak ada
tanda infeksi.
e. Kelenjar Limfe : Tidak ada pembesaran kelenjar limfe di leher,
Aksila, dan inguinal
f. Otot : Tidak terdapat atrofi otot
g. Tulang : Tidak ada deformitas
2. Pemeriksaan Keadaan Umum
a. Kepala
Bentuk : bulat, simetris
Rambut : panjang beruban, warna hitam tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, tidak ada edema
Pada daerah palpebra pada kedua mata
Hidung : tidak ada sekret, tidak ada bau, tidak ada perdarahan
Telinga : tidak ada secret, tidak ada bau, tidak ada perdarahan
Mulut : tidak sianosis
Lidah : tidak kotor, tidak hiperemi
b. Leher
Inspeksi : simetris, tidak tampak pembesaran KGB leher
Palpasi : tidak teraba pembesaran KGB leher
Kaku kuduk : tidak ada
c. Dada
RH : -/-
WH : -/-
S1 S2 : Tunggal
d. Paru
Inspeksi : simetris
Palpasi : fremitus raba (+) normal
Perkusi : sonor
Auskultasi : RH (-), WH (-)
e. Abdomen
Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada
bising usus. Nyeri/kenyamanan nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus,
yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney. Berat badan sebagai
indikator untuk menentukan pemberian obat. Aktivitas/istirahat : Malaise. Eliminasi
Konstipasi pada awitan awal dan kadang-kadang terjadi diare
Hepar : tidak teraba , tidak ada nyeri tekan
Limpa : tidak teraba, tidak ada nyeri tekan
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus (-) normal
Perkusi : timpani disekuruh lapang abdomen
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, ada nyeri tekan, turgor kulit
f. Ektremitas
Superior : akral hangat -/-, edema -/-
Inferior : akral hangat -/-, edema -/-

3. Pemeriksaan Fisik khusus

a. Inspeksi, pada apendisitis kronis ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga


pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
b. Palpasi, pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan
kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan
nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila
tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan
bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).
c. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator, pemeriksaan ini juga dilakukan untuk
mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan
otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul
kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m.
psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji
obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi
terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang
merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri.
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika.
d. Pemeriksaan colok dubur, pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk
menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan
pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak
didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Hasil Laboratorium
Hasil laboratorium pada tanggal 1 juli 2013
PEMERIKSAAN METODE HASIL
HEMATOLOGI
Faal Hemostasis
PPT 12,1
Control PPT 11,7
KPPT/APTT 26,1
Control KPPT/APPT 28,2

KIMIA KLINIK
ELEKTROLIT
Natrium ISE 146
Kalium ISE 3.7
Chlorida ISE 107

V. DIAGNOSA KERJA
apendisitis kronis eksaserbasi akut melihat adanya riwayat nyeri perut kanan bawah sejak
dua tahun yang lalu.

VI. PLANNING
Pemeriksaan laboratorium :
a. Cek ulang DL (Darah Lengkap)
b. USG
c. Foto BOF
Planning terapi

a. Non medikamentosa
- Bedrest
- Asupan gizi
- Diet bebas TKTP
- Mobilisasi jalan
b. Medikamentosa
- Ceftriaxone 2x1 g (iv)
- Metronidazole 3x500 mg
- Metarnizole 3x1 g (iv)
- Ondaceton 3x8 mg
- Omeprazole 3x40 mg

Planning monitoring

a. Evaluasi vital sign


b. Evaluasi komplikasi

Planning edukasi

a. Menjelaskan pada pasien mengenai penyakitnya


b. Menjelaskan pada pasien mengenai pentingnya faktor-faktor pencetus
c. Menjelaskan pada pasien pentingnya berobat dan control

VII. PROGNOSIS
Dubia ad bonam
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Pustaka
1. Apendisitis Kronik
a. Definisi

Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Pada masyarakat umum,sering juga disebut dengan
istilah radang usus buntu. Akan tetapi, istilah usus buntu yang selama ini dikenal dan digunakan
di masyarakat kurang tepat, karena yang merupakan usus buntu sebenarnya adalah sekum
(caecum). Sedangkan apendiks atau yang sering disebut juga dengan umbai cacing adalah organ
tambahan pada usus buntu. Umbai cacing atau dalam bahasa Inggris, vermiform appendix (atau
hanya appendix) adalah ujung buntu tabung yang menyambung dengan caecum

Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat : riwayat
nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopikdan
mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah apendektomi. Kriteria mikroskopik apendiksitis
kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks,
adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens
apendisitis kronik antara 1-5 persen.

b. Patofisiologi

Obstruksi lumen Appendiks adalah titik awal munculnya gangren atau perforasi
appendisitis. Walau bagaimanapun pada beberapa kasus appendisitis yang dini lumen appendiks
masih utuh walaupun sudah ada inflamasi mukosa dan hiperplasia limfoid. Agen infeksi seperti
virus (terbanyak) akan mengawali respon inflamasi pada lumen appendiks yang sempit sehingga
timbul obstruksi luminal. Obstruksi dengan sekresi mukosa yang terus menerus dan eksudat
inflamasi akan meningkatkan tekanan intraluminal, ini akan menghambat aliran limfa. Luminal
Capacity Appendic adalah 0.1 ml, bila sekresinya 0.5ml sahaja distal terhadap obstruksi akan
meningkatkan tekanan intraluminal 50cm H20.5,6

Mukosa dari appendiks mempunyai sifat khusus dimana ia masih dapat menghasilkan
sekresi pada tekanan yang tinggi sehingga distensi dari lumen akan terus meningkat. Distensi ini
akan merangsang ujung saraf viseral yang mensarafi appendiks sehingga muncul nyeri. Nyeri
awalnya dirasakan pada umbilikal dan kwadran bawah epigastrium dengan nyerinya yang
tumpul dan difus. Nyeri ini dirasakan pada umbilikal karena persarafan appendiks berasal dari
Thorakal 10 yang lokasinya pada umbilikal. Maka nyeri pada umbilikal merupakan suatu
Reffered Pain.5,6 Distensi dari appendiks juga akan meningkatkan peristalsis usus sehingga
menimbulkan nyeri kolik. Distensi appendiks dengan mukus ini dikenali dengan Mucocele
Appendiks. Selain faktor-faktor ini kuman komensal dalam appendiks yang bermultiplikasi juga
akan meningkatkan distensi dari appendiks. Pada kondisi ini resolusi dapat terjadi dengan
spontan atau dengan antibiotik. Apabila penyakitnya berlanjut, distensi appendiks yang semakin
bertambah ini akan menyebabkan obstruksi vena dan iskemia pada dinding appendiks.

Tekanan dalam lumen yang semakin meningkat akan meningkatkan tekanan vena dan
menyebabkan oklusi venula dan kapiler, tetapi aliran arteriol tidak terganggu sehingga akan
menimbulkan kongesti vaskular appendiks. Kongesti ini akan menimbulkan refleks nausea dan
muntah diikuti dengan nyeri viseral ynag semakin meningkat. Selanjutnya apabila serosa dari
appendiks mulai terganggu ,diikuti dengan kehadiran Muscularis Hiatus dan peritonitis lokal,
akan menimbulkan gejala nyeri alih ke kuadran kanan bawah. Bila invasi dari bakteri bertambah
dalam, akan muncul gejala-gejala demam, takikardia dan leukositosis akibat absorbsi toxin
bakteri dan produk dari jaringan yang mati.

Peritonitis merupakan komplikasi yang sangat dikwatirkan pada appendisitis akut.


Peritonitis terjadi akibat migrasi bebas bakteri melalui dinding appendiks yang iskemik, perforasi
gangren appendiks atau melalui abses appendiks yang lanjut. Faktor-faktor yang mempermudah
terjadinya peritonitis adalah usia lanjut, immunosupresi, diabetes mellitus, obstruksi fecalit pada
lumen appendiks, pelvic appendic dan riwayat operasi abdomen, karena ini mengurangi
kemampuan omentum untuk menutupi penyebaran kontaminan peritonitis.Pasien dengan faktor-
faktor di atas lebih mudah mengalami perburukan klinis yang berakhir dengan peritonitis diffuse
dan Sindroma Septik Sistemik.
B. Dasar Penegak Diagnosa

Karakter klinis dari appendisitis dapat bervariasi, namun umumnya ditampikan dengan
riwayat sakit perut yang samar-samar, dimana dirasakan pertama kali di ulu hati. Mungkin
diikuti mual dan muntah, demam ringan. Nyeri biasanya berpindah dari fossa ilaka kanan setelah
beberapa jam, sampai dengan 24 jam. Titik maksimal nyeri adalah pada sepertiga dari umblikus
ke fossa ilaka kanan, itu disebut titik Mc Burney. Nyeri biasanya tajam dan diperburuk dengan
gerakan (seperti batuk dan berjalan). Nyeri pada titik Mc Burney juga dirasakan pada penekanan
iliaka kiri, yang biasa disebut tanda Rovsing. Posisi pasien dipengaruhi oleh posisi dari
apendiks. Jika apendiks ditemukan di posisi retrosekal (terpapar antara sekum dan otot psoas)
nyeri tidak terasa di titik Mc Burney, namun ditemukan lebih ke lateral pinggang. Jika apendiks
terletak retrosekal nyeri jika ilaka kiri ditekan tidak terasa. Ketika apendiks dekat dengan otot
psoas, pasien datang dengan pinggul tertekuk dan jika kita coba meluruskan maka akan terjadi
nyeri pada lokasi apendiks (tanda psoas). Ketika apendiks terletak retrosekal maka bisa
menyebabkan iritasi pada ureter sehingga darah dan protein dapat ditemukan dalam urinalisis.
Jika apendiks terletak di pelvis, maka tanda klinik sangat sedikit, sehingga harus dilakukan
pemeriksaan rektal, menemukan nyeri dan bengkak pada kanan pemeriksaan. Jika apendiks
terletak di dekat otot obturator internus, rotasi dari pinggang meningkatkan nyeri pada pasien
(tanda obturator). Hiperestesia kutaneus pada daerah yang dipersarafi oleh saraf spinal kanan
T10,T11 dan T12 biasanya juga mengikuti kejadian appendisitis akut. Jika apendiks terletak di
depan ileum terminal dekat dengan dinding abdominal, maka nyeri sangat jelas. Jika apendiks
terletak di belakang ileum terminal maka diagnosa sangat sulit, tanda-tanda yang ada samar dan
nyeri terletak tinggi di abdomen.

Rovsing’s sign Positif jika dilakukan palpasi dengan


tekanan pada kuadran kiri bawah dan
timbul nyeri pada sisi kanan.
Psoas sign atau Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian
Obraztsova’s sign dilakukan ekstensi dari panggul kanan.
Positif jika timbul nyeri pada kanan bawah.
Obturator sign Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan
dilakukan rotasi internal pada panggul.
Positif jika timbul nyeri pada hipogastrium
atau vagina.
Dunphy’s sign Pertambahan nyeri pada tertis kanan
bawah dengan batuk
Ten Horn sign Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi
lembut pada korda spermatic kanan
Kocher (Kosher)’s Nyeri pada awalnya pada daerah
sign epigastrium atau sekitar pusat, kemudian
berpindah ke kuadran kanan bawah.
Sitkovskiy Nyeri yang semakin bertambah pada perut
(Rosenstein)’s sign kuadran kanan bawah saat pasien
dibaringkan pada sisi kiri
Bartomier- Nyeri yang semakin bertambah pada
Michelson’s sign kuadran kanan bawah pada pasien
dibaringkan pada sisi kiri dibandingkan
dengan posisi terlentang
Aure-Rozanova’s Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit
sign trianglekanan (akan positif Shchetkin-
Bloomberg’s sign)
Blumberg sign Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi
pada kuadran kanan bawah kemudian
dilepaskan tiba-tiba
Bartomier- Nyeri yang semakin bertambah pada
Michelson’s sign kuadran kanan bawah pada pasien
dibaringkan pada sisi kiri dibandingkan
dengan posisi terlentang
Aure-Rozanova’s Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit
sign trianglekanan (akan positif Shchetkin-
Bloomberg’s sign)
Blumberg sign Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi
pada kuadran kanan bawah kemudian
dilepaskan tiba-tiba

Pemeriksaan laboratorium didapati peningkatan sel darah putih. Pemeriksaan kehamilan


harus di kerjakan pada pasien wanita untuk menyingkirkan kasus-kasus kebidanan. Pemeriksaan
USG dikerjakan jika tanda-tanda klinik tidak jelas, pemeriksaan USG mempunyai sensitivitas
80% dan spesifitas 100%.

Pasien dengan keluhan nyeri perut kanan bawah mempunyai diagnosis banding apendisitis,
kolik saluran kemih, kelainan pada saluran pencernaan seperti divertikulitis, ileokolitis, typhoid,
serta keganasan. Demam pada pasien ini didahului oleh nyeri sehingga kemungkinan typhoid
dapat disingkirkan. Gejala buang air kecil dan besar tidak ada kelainan maka kolik saluran
kemih, divertikulitis, ileokolitis, maupun keganasan dapat disingkirkan. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan defans muskular pada region abdomen kanan bawah, dengan tanda psoas dan rovsing
yang positif, maka kemungkinan letak apendiks di daerah retrosekal. Nilai Modified Alvarado
Scoring System adalah 9 dari 10 sehingga pasien pasti didiagnosis apendisitis dan dilakukan
apendektomi. Diagnosis kerja pada pasien adalah apendisitis kronis eksaserbasi akut melihat
adanya riwayat nyeri perut kanan bawah sejak dua tahun yang lalu.

Pada saat operasi ditemukan apendiks yang terletak retrosekal retroperitoneal


sesuai dengan tanda yang didapatkan pada pemeriksaan fisik. Didapatkan pula appendiks yang
gangrenosa sehingga diagnosis post operasi adalah apendisitis gangrenosa. Apendisitis
gangrenosa merupakan stadium akhir dari apendisitis dimana terjadi nekrosis jaringan akibat
adanya gangguan aliran darah pada apendiks sehingga dapat terjadi perforasi. Terapi antibiotic
spektrum luas pada apendisitis sederhana dan supuratif hanya dilakukan profilaksis preoperatif.
DAFTAR PUSTAKA

1. Williams B A, Schizas A M P, Management of Complex Appendicitis. Elsevier.


2010. Surgery 28:11. p544048.

2. Andersson N, Griffiths H, Murphy J, et al. Is appendicitis familial? Br Med J


1979 Sep 22; 2: 697e8.

3. Heaton KW. In: Br Med J, Res Clin, eds. Aetiology of acute appendicitis 1987
Jun 27; 294:1632e3.

4. Bewes P. Appendicitis. [Internet] April 2003. [cited April 2011] E-Talc Issue 3.
Available from: http://web.squ.edu.om/med-
Lib/MED_CD/E_CDs/health%2520development/html/clients/beweshtml/bewes_0
1.htm

5. Soybel D. Appendix. In: Norton JA, Barie PS, Bollinger RR, et al. Surgery
Basic Science and Clinical Evidence. 2nd Ed. New York: Springer. 2008.

6. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, et al. Shwartz’s Principles of Surgery.
9th Ed. USA: McGrawHill Companies. 2010.

7. Appendicitis [Internet] [updated September 2010; cited April 2011]. Available


from: http://en.wikipedia.org/wiki/Appendicitis

8. Puylaert JB, Rutgers PH, Lalisang RI, et al. A prospective study


ofultrasonography in the diagnosis of appendicitis. N Engl J Med 1987 Sep 10;
317: 666e9.

9. Temple CL, Huchcroft SA, Temple WJ. The natural history of appendicitis in
adults. A prospective study. Ann Surg 1995 Mar; 221: 278-81.

10. Birnbaum BA, Wilson SR. Appendicitis at the millennium. Radiology 2000
May; 215: 337e48.

11. Skandalakis JE, Colborn GL, Weidman TA, et al. Editors. Skandalakis’
Surgical Anatomy. USA: McGrawHill. 2004.

12. Russell RCG, Williams NS, Bulstrode CJK. Editors. Bailey and Love’s Short
Practice of Surgery. 24th Ed. London: Arnold. 2004.
13. Patnalk VG, Singla RK, Bansal VK. Surgical Incisions-Their Anatomical
Basis. J Anat. Soc. India 50(2) 170-178 (2001)

14. Appendectomy. [Internet] [cited April 2011] Available from:


http://en.wikipedia.org/wiki/Appendectomy

15. Vermiform Appendix. [Internet] [cited April 2011] Available from:


http://en.wikipedia.org/wiki/vermiform_appendix

16. Peritonitis. [Internet] [cited April 2011] Available from:


http://en.wikipedia.org/wiki/peritonitis

Anda mungkin juga menyukai