Anda di halaman 1dari 13

C.

Budaya Korea
Budaya Tradisional Korea diwarisi oleh rakyat Korea Utara dan Korea Selatan, walaupun
keadaan plitik yang berbeda telah menghasilkan banyak perbedaan dalam kebudayaan modern Korea.

 Budaya Perkawinan

Kebudayaan garis keluarga di Korea adalah berdasarkan atas sistem Patrilinial. Pria
memegang peranan penting dalam kesejahteraan keluarkan dan diwajibkan untuk bekerja. Wanita
diperbolehkan untuk bekerja hanya kalau diperbolehkan oleh suami atau jika hasil kerja suaminya
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tugas utama wanita adalah untuk mengasuh anak
dan menjaga rumah.

Budaya perkawinan Korea sangat menghormati kesetiaan. Para janda, walaupun jika suami
mereka mati muda, tidak dizinkan menikah lagi dan harus mengabdikan hidupnya untuk melayani
orang tua dari suaminya. Begitu juga yang terjadi pada seorang duda yang harus melayani orang tua
dari istrinya walaupun istrinya tersebut mati muda.

 Budaya dalam Hal Keturunan

Dalam budaya Korea , keturunan atau anak dianggap sebagai sebuah anugerah yang amat
besar dari Tuhan. Oleh karena itu, setiap keluarga disarankan untuk memiliki paling tidak seorang
keturunan. Oleh karena budaya yang amat menghormati anugerah Tuhan tersebut, aborsi yang bersifat
sengaja akan diberikan hukuman yang amat berat secara adapt, yaitu hukuman mati kepada sang Ibu
dan orang lain yang mungkin terlibat di dalamnya, seperti suaminya (jika suaminya yang memaksa),
dokter (jika dokter yang memberikan sarana untuk aborsi), dan lain-lain. Akan tetapi, secara hukum,
tidak akan diadakan hukuman mati. Hukuman mati biasanya hanya dilaksanakan di daerah pedalaman
Korea di mana adat masih berpengaruh secara kuat.

Pembagian harta warisan dalam budaya ini amatlah adil. Tanpa memperdulikan jenis kelamin,
keturunan dari seseorang akan mendapatkan pembagian harta dengan jumlah yang sama dengan
saudara-saudaranya. Akan tetapi, dalam prakteknya ini tidak selalu terjadi. Kebanyakan orang tua
menyisihkan lebih banyak harta warisan kepada anak tertua mereka.

 Budaya Makanan

Dalam budaya Korea , ada satu makanan khas yang memiliki suatu arti yang tidak dimiliki
oleh makanan lainnya. Makanan ini disebut kimchi. Di setiap session makanan, ketidakberadaan
kimchi akan memberikan kesan tidak lengkap.

Kimchi adalah suatu makanan yang biasanya merupakan sayuran yang rendah kalori dengan
kadar serat yang tinggi (misalnya bawang, kacang panjang, selada, dan lain-lain) yang dimasak
sedemikian rupa dengan bumbu dan rempah-rempah sehingga menghasilkan rasa yang unik dan
biasanya pedas. Dalam kenyataannya (menurut hasil penelitian kesehatan WHO), jenis-jenis kimchi
memiliki total gizi yang jauh lebih tinggi dari buah manapun.

Hal yang membuat kimchi menjadi makanan yang spesial ada banyak faktornya. Faktor
pertama adalah pembuatannya. Kimchi (dalam hal ini adalah kimchi yang dihidangkan untuk acara-
acara spesial, bukan kimchi untuk acara makan biasa dan sehari-hari) dibuat oleh wanita dari keluarga
bersangkutan yang mengadakan acara tersebut dan hanya bisa dibuat pada hari di mana acara tersebut
dilaksanakan. Semakin banyak wanita yang turut membantu dalam pembuatan kimchi ini, semakin
“bermakna” pula kimchi tersebut. Kimchi juga merupakan faktor penentu kepintaran atau kehebatan
seorang wanita dalam memasak. Konon katanya, jika seorang wanita mampu membuat kimchi yang
enak, tidak diragukan lagi kemampuan wanita tersebut dalam memasak makanan lain. Faktor ketiga
adalah asal mula kimchi. Kimchi pada awalnya dibuat oleh permaisuri dari Raja Sejong sebagai
hidangan untuk perayaan Sesi.

 Kebiasaan / Tradisi, Kesenian, Bahasa

Kebiasaan / Tradisi

Ada sebuah tradisi / kebiasaan yang cukup terkenal di Korea. Tradisi ini dinamakan “sesi
custom”. Tradisi sesi dilaksanakan sekali setiap tahun. Sesi adalah sebuah tradisi untuk
mengakselerasikan ritme dari sebuah lingkaran kehidupan tahunan sehingga seseorang dapat lebih
maju di lingkaran kehidupan tahun berikutnya.

Tradisi sesi dilaksanakan berdasarkan kalender bulan (Lunar Calender). Matahari, menurut
adat Korea , tidak menunjukkan suatu karakteristik musiman. Akan tetapi, Bulan menunjukkan suatu
perbedaan melalui perubahan fase bulan. Oleh karena itu, lebih mudah membedakan adanya
perubahan musim atau waktu melalui fase bulan yang dilihat.

Dalam tradisi sesi, ada lima dewa yang disembah, yaitu irwolseongsin (dewa matahari bulan
dan bintang), sancheonsin(dewa gunung dan sungai), yongwangsin (raja naga), seonangsin (dewa
kekuasaan), dan gasin (dewa rumah). Kelima dewa ini disembah karena dianggap dapat mengubah
nasib dan keberuntungan seseorang.

Pada hari di mana sesi dilaksanakan, akan diadakan sebuah acara makan malam antar sesama
keluarga yang pertalian darahnya dekat (orang tua dengan anaknya). Acara makan wajib diawali
dengan kimchi dan lalu dilanjutkan dengan "complete food session".

Ada juga mitos lain dalam memperoleh keberuntungan menurut tradisi Korea, antara lain “nut
cracking” yaitu memecahkan kulit kacang-kacangan yang keras pada malam purnama pertama tahun
baru, “treading on the bridge” yaitu berjalan dengan sangat santai melewati jembatan di bawah bulan
purnama pada malam purnama pertama tahun baru yang katanya dapat membuat kaki kita kuat
sepanjang tahun, dan “hanging a lucky rice scoop” yaitu menggantungkan skop (sendok) pengambil
nasi di sebuah jendela yang katanya akan memberi beras yang melimpah sepanjang tahun.

Kesenian

Kesenian tradisional di Korea, dalam hal ini musik dan tarian, diperuntukkan khusus sebagai
suatu bagian dalam penyembahan “ lima dewa”.

Ada beberapa alat musik tradisional yang digunakan, misalnya hyeonhakgeum(sejenis alat
musik berwarna hitam yang bentuknya seperti pipa dengan tujuh buah senar) dan gayageum (alat
musik mirip hyeonhakgum tetapi bentuk, struktur, corak, dan cara memainkannya berbeda dan
memiliki dua belas buah senar).

Tarian tradisional yang cukup terkenal di Korea antara lain cheoyongmu (tarian
topeng), hakchum (tarian perang), dan chunaengjeon (tarian musim semi).
Tarian chunaengjeon ditarikan sebagai tanda terima kasih kepada dewa irwolseongsin dan
dewa sancheonsin atas panen yang berhasil.
Bahasa

Bahasa yang digunakan di Korea adalah bahasa Korea . Penulisan bahasa Korea dinamakan
Hangeul. Hangeul diciptakan oleh Raja Sejong pada abad ke 15. Hangeul terdiri dari 10 huruf vokal
dan 14 konsonan yang bisa dikombinasikan menjadi banyak sekali huruf-huruf dalam bahasa Korea .
Hangeul sangat mudah dibaca dan dipelajari. Hangeul juga dianggap sebagai bahasa tulisan yang
paling sistematik dan scientific di dunia. Berikut adalah contoh Hangeul.

 Peninggalan Bersejarah

Di Korea terdapat banyak peninggalan sejarah yang berasal dari masa Dinasti Joseon, seperti
Taman Jongmyo yang didalamnya terdapat banyak prasasti-prasasti dan disini biasa dilaksanakan
upacara-upacara keagamaan atau mistik yang besar. Ada juga istana-istana Dinasti Joseion antara
lain Gyeongbokgung(dibangun pada tahun 1394), Changdeokgung (tidak diketahui kapan dibangun
tetapi bangunan ini ditemukan pada tahun 1592), Changgyeonggung (anak istana dari
istana Changdeokgung), dan Deoksugungyang saat ini telah dijadikan sebagai kantor Walikota Seoul .

D. Nasionalisme
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah
negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Nasionalisme
adalah suatu ideologi yang meletakan bangsa dipusat masalahnya dan berupaya mempertinggi
keberadannya, maksudnya adalah suatu gerakan ideologis untuk mencapai dan mempertahankan
otonomi, kesatuan, dan identitas bagi suatu populasi yang sejumlah anggotanya bertekad untuk
membentuk suatu ” bangsa ” yang aktual atau ” bangsa ” yang pontesial. Nasionalisme berasal dari
kata nation yang berarti bangsa. Bangsa mempunyai dua pengertian, yaitu : dalam pengertian
Antropologis serta sosiologis dan dalam pengertian politis. Dalam pengertian antropologis dan
sosiologis, bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan suatu perseketuan hidup yang berdiri
sendiri dan masing anggota perseketuan hidup tersebut merasa satu kesatuan ras, bahasa, agama,
sejarah dan adat istiadat. Persekutuan hidup semacam ini dalam suatu Negara dapat merupakan
persekutuan hidup yang mayoritas dan dapat pula persekutuan hidup yang minoritas. Sedang dalam
pengertian politik adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama, dan mereka tunduk kepada
kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi keluar dan kedalam.
Berikut arti nasionalisme menurut para ahli :
 Ernest Renan
Nasionalisme adalah kehendak untuk bersatu dan bernegara.
 Hans Kohn
Nasionalisme secara fundamental timbul dari adanya National Counciousness.
Dengan perkataan lain nasionalisme adalah formalisasi (bentuk) dan rasionalisasi dari
kesadaran nasional berbangsa dan bernegara sendiri.
 L. Stoddard
Nasionalisme adalah suatu kepercayaan yang dimiliki oleh sebagian terbesar individu
di mana mereka menyatakan rasa kebangsaan sebagai perasaan memiliki secara bersama di
dalam suatu bangsa.
 Encyclopaedia Britannica :
Nasionalisme merupakan keadaan jiwa, dimana individu merasa bahwa setiap orang
memiliki kesetiaan dalam keduniaan (sekuler) tertinggi kepada Negara kebangsaan.
 Huzser dan Stevenson :
Nasionalisme adalah menentukan bangsa mempunyai rasa cinta secara alami kepada
tanah airnya.
 International Encyclopaedia of the Social Science :
Nasionalisme adalah suatu ikatan politik yang mengikat kesatuan masyarakat modern
dan memberi pengabsahan terhadap klaim (tuntutan) kekuasan.

Secara umum nasionalisme diartikan bentuk dari rasa cinta tanah air, dimana seseorang atau
sekolompok manusia tinggal dan memperoleh kehidupan. Rasa cinta ini timbul karena adanya karena
adanya perasaan senasib antara sesama manusia yang ada dalam sebuah kelompok dan mendiami
suatu daerah.

Beberapa bentuk dari nasionalisme adalah, sebagai berikut:


Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan (bukan
negara) yang populer berdasarkan pendapat warganegara, etnis, budaya, keagamaan dan ideologi.
Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan
sebahagian atau semua elemen tersebut.

 Nasionalisme kewarganegaraan (atau nasionalisme sipil) adalah sejenis nasionalisme


dimana negara memperoleh kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyatnya, "kehendak
rakyat"; "perwakilan politik". Teori ini mula-mula dibangun oleh Jean-Jacques Rousseaudan
menjadi bahan-bahan tulisan. Antara tulisan yang terkenal adalah buku berjudul Du Contract
Sociale (atau dalam Bahasa Indonesia "Mengenai Kontrak Sosial").

 Nasionalisme etnis adalah sejenis nasionalisme di mana negara memperoleh kebenaran


politik dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat. Dibangun oleh Johann Gottfried von
Herder, yang memperkenalkan konsep Volk (bahasa Jerman untuk "rakyat").

 Nasionalisme romantik (juga disebut nasionalisme organik,nasionalisme identitas) adalah


lanjutan dari nasionalisme etnis dimana negara memperoleh kebenaran politik
secara semulajadi("organik") hasil dari bangsa atau ras; menurut semangatromantisme.
Nasionalisme romantik adalah bergantung kepada perwujudan budaya etnis yang menepati
idealisme romantik; kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik.
Misalnya "Grimm Bersaudara" yang dinukilkan oleh Herder merupakan koleksi kisah-kisah
yang berkaitan dengan etnis Jerman.

 Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran


politik dari budaya bersama dan bukannya "sifat keturunan" seperti warna kulit, ras dan
sebagainya. Contoh yang terbaik ialah rakyat Tionghoa yang menganggap negara adalah
berdasarkan kepada budaya. Unsur ras telah dibelakangkan di mana golongan Manchu serta
ras-ras minoritas lain masih dianggap sebagai rakyat negara Tiongkok. Kesediaan dinasti
Qinguntuk menggunakan adat istiadat Tionghoa membuktikan keutuhanbudaya Tionghoa.
Malah banyak rakyat Taiwan menganggap diri mereka nasionalis Tiongkok sebab persamaan
budaya mereka tetapi menolak RRC karena pemerintahan RRT berpahamkomunisme.

Hubungan antara kebudayaan (misalnya batik) dengan nasionalisme


Belakangan ini terlihat jelas usaha dari pemerintah untuk mematenkan sebagian budaya
bangsa, mengingat banyaknya budaya bangsa kita yang di klaim Negara tetangga. Usaha yang
dilakukan sekarang hendaklah bukan hanya reaksi sesaat yang timbul karena adanya aksi yang
membuat seluruh komponen negara menjadi panas dan bergerak cepat untuk menarik pengakuan
bangsa tersebut dengan segala bukti yang ada. Bukan hanya pihak pemerintah yang sibuk, tetapi
terlihat dari masyarakat yang gencar menunjukkan kebudayaan bangsa dengan pemakaian batik
misalnya, bisa terlihat dari banyaknya busana batik yang digunakan dan naiknya produksi batik.
Keadaan seperti inilah yang terus harus dijaga, bukan hanya terhadap batik saja tetapi juga
dengan keragaman budaya kita yang lain yaitu lagu daerah, pakaian adat, rumah adat, alat music
daerah, tari daerah.
Untuk melestarikan kekayaan bangsa sebenarnya bukan hal yang sulit, kita dapat
melestarikan budaya bangsa dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya menggunakan baju batik,
menyanyikan lagu-lagu khas daerah masing-masing. Dan untuk itu semua perlu adanya peran dari
pemerintah dan masyarakat. Kerja sama antara pemerintah dan masyarakat diperlukan untuk
melestarikan budaya. Pemerintah berkewajiban untuk mendorong masyarakat baik lewat program
wajib menggunakan batik di instansi pemerintahan dan sekolah, atau dengan iklan layanan
masyarakat tentang budaya bangsa Indonesia dan mengajak masyarakat turut bekerja untuk
melestarikannya. Dan masyarakat sendiri harus menyadari pentingnya budaya bangsa dapat
melestarikannya dimulai dari keluarga masing-masing. Dengan adanya kerja sama dan kesadaran
pemerintah dan masyarakat keragaman budaya yang beragam dapat dilestarikan dan tentunya tidak
ada lagi pengakuan terhadap apa yang kita miliki oleh negara lainnya.
Dengan penetapan batik sebagai budaya bangsa oleh unesco pada 2 Oktober 2009 lalu, pada
saat itu pula presiden menetapkan hari batik nasional. Penetapan hari batik ini merupakan
pengghargaan akan adanya batik sebagai budaya bangsa dan telah diakui di luar Negara Indonesia.
Penetapan hari batik dapat mengingatkan masyarakat akan adanya budaya bangsa, jadi setiap
tahunnya ada hari khusus untuk menunjukkan satu dari kebudayaan bangsa. Tetapi satu hari dalam
satu tahun dirasa kurang memberikan hasil dalam mengenalkan batik itu sendiri. Jadi pemakaian batik
di sekolah diharapkan akan jadi alternatif lain dalam memperkenalkan baju batik. Penggunaan baju
batik di lingkungan sekolah hendaknya lebih meninggkatkan rasa bangga anak didik akan batik dan
lebih mengenali budaya bangsa dan tentunya akan melestarikannya.
Banyaknya budaya bangsa kita yang di klaim Negara tetangga berdamp (Jamil, 2005)ak baik
terhadap rasa nasionalisme yaitu masyarakat indonesia sadar akan pentingkannya kebudayaan
sehingga masyarakat Indonesia memiliki rasa menjaga dan melestarikan kebudayaan sebagai warisan
dari nenek moyang.

Tantangan yang di hadapi nasionalisme dan Kebudayaan


Tantangan yang di hadapi nasionalisme dan kebudayaan,salah satunya adalah adanya
globalisasi. Globalisasi adalah suatu proses dari gagasan yang sengaja dicari dan dimunculkan, kemudian
ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan
menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia. (Menurut Edison A. Jamli
dkk.Kewarganegaraan.2005)
Globalisasi diidentikkan dengan proses integrasi negara yang ada di dunia sehingga menjadi
tanpa batas. Setiap peristiwa yang terjadi di suatu wilayah dapat diketahui secara cepat dan dapat
menimbulkan efek dibagian dunia yang lain. Disini kita melihat bahwa nantinya dengan proses
integrasi seperti ini dikhawatirkan rasa nasionalisme akan memudar. Karena nantinya eksistensi
negara-bangsa juga akan mengalami kemunduran. Karena pada dasarnya negara sudah tidak memiliki
kekuatan apa-apa, semuanya dikembalikan kepada kekuatan dunia internasional. Pihak asing nantinya
dapat mengintervensi setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Semakin terbukanya arus informasi juga mempengaruhi pola pikir suatu bangsa. Masuknya
budaya dan nilai asing turut merubah cara pandang anak bangsa. Semangat kebersamaan dan gotong
royong telah digantikan dengan semangat individualisme. Ikatan negara bangsa sebagai hasil dari
pergaulan antara kedaulatan negara mulai merenggang. Akibatnya kita lihat banyak konflik yang
terangkat kepermukaan. Konflik yang muncul tersebut ternyata diakibatkan oleh masalah sepele.
Belakangan ini juga muncul gerakan separatisme yang mengarah pada ancaman disintegrasi. Hal-hal
seperti diakibatkan karena memudarnya semangat persatuan dan rasa nasionalisme. Tantangan seperti
itu hanya bisa diatasi bila bangsa Indonesia di satu pihak tetap mempertahan identitasnya dalam
ikatan persatuan nasional,
Globalisasi juga menimbulkan perubahan sosial yang cenderung untuk menciptakan
guncangan sosial (culture shock). Masuknya pemikiran seperti demokrasi, HAM, kesetaraan gender
sedikit banyak mengguncang sendi masyarakat. Ketidaksiapan masyarakat ketika menemukan nilai
baru malah menimbulkan keguncangan dan friksi terendiri. Perubahan sosial terus terjadi selama
proses globalisasi karena masuknya nilai-nilai asing. Pada hakekatnya perubahan sosial yang terjadi
akibat globalisasi dipandang sebagai upaya bangsa untuk mengembangkan kepribadiannya sendiri
melalui penyesuaian dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat modern.

Pengaruh globalisasi
(Krisna, 2005) Sebagai proses, globalisasi belangsung melalui dua dimensi dalam interksi
antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit dan waktu makin diersingkat
dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan
seperti bidang ideology, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanaan keamanan dan lain-lain. Oleh
karena itu globalisasi tidak dapat kita hindari kehadirannya. Kehadiran globalisasi tentunya membawa
pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu
pengaruh positif dan pengaruh negatif.
Globalisasi menimbulkan berbagai akibat, baik positif maupun negatif. Akibat yang timbul
harus disikapi dengan baik, antara lain:
 Pengaruh Positif
1. Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis.
Pemerintahan yang transparan dan demokratis akan menimbulkan kepercayaan
masyarakat terhadap negara yang berujung pada meningkatnya rasa nasionalisme.
2. Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan
kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Terpenuhinya kebutuhan dasar
warga negara akan mempengaruhi warganegara dalam hal pengabdian kepada negara.
3. Dari globalisasi sosial budaya kita mencontoh pola piker dan tingkah laku yang baik
seperti etos kerja yang tinggi, disiplin, profesionalisme dari bangsa lain yang untuk
diaplikasikan yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa
nasionalisme kita terhadap bangsa.
 Pengaruh negatif
1. Globalisasi membawa paham liberalisme yang selalu diidentikkan dengan kemajuan dan
kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi
Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme
bangsa akan hilang.
2. Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri
karena banyaknya produk luar negeri. Kebanggaan terhadap produk asing
mengakibatkan minder yang justru menyurutkan rasa nasionalisme.
3. Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai
bangsa Indonesia. Budaya barat selalu dianggap yang paling baik sehingga melupakan
budaya bangsa.
4. Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin,
karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat
menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu
kehidupan nasional bangsa.
5. Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku
sesama warga.
 Mencegah efek negatif.
Langkah- langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai
nasionalisme antara lain yaitu :
1. Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk
dalam negeri.
2. Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
3. Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
4. Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar-
benarnya dan seadil- adilnya.
5. Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya
bangsa
Maka kita harus bijak dalam mensikapi globalisasi.Jangan sampai kita hanya terpengaruh
dengan efek negatifnya saja.

Upaya Meningkatkan Jiwa Nasionalisme , Sikap Demokrasi, MencintaiKeberagaman Adat,


Budaya,Dan Agama Demi Tercapainya Persatuan Dan Kesatuan

Penanaman rasa nasionalisme dapat dilakukan di lingkungan sekolah. Sekolah merupakan


lembaga formal yang berfungsi membantu khususnya orang tua dalam memberikan pendidikan
kepada anak-anak mereka. Sekolah memberikan pengetahuan, keterampilan dan sikap kepada anak
didiknya secara lengkap sesuai dengan yang mereka butuhkan. Tidak hanya memberikan pengetahuan
secara umum tetapi juga memberikan pelajaran moral dan menanamkan rasa nasionalisme terhadap
anak didik. Penanaman rasa nasionalisme bisa terwujud di sekolah melalui pelajaran pendidikan
pancasila, sejarah perjuangan para pahlawan, perkenalan budaya bangsa melaui pelajaran muatan
lokal. diharapkan sekolah dapat diberdayakan untuk menumbuhkan rasa nasionalisme pada anak
bangsa yang tentunya akan menjadi penerus bangsa kita sendiri.
Contohnya penggunaan baju batik di sekolah. Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa
rasa nasionalisme dapat ditanamkan di sekolah dan salah satu sikap rasa nasionalisme adalah dengan
mencintai budaya bangsa dimana batik merupakan satu dari berbagai jenis budaya bangsa Indonesia.
Sebenarnya penggunaan baju batik di sekolah sudah dilaksanakan sejak dulu, bisa saya ingat bahwa
ketika saya masih di sekolah dasar, penggunaan baju batik dilaksanakan di sekolah setiap hari jumat.
Memang pelaksanaan pemakaian baju batik di sekolah telah populer dari dulu tetapi pengenalan
terhadap baju batik sendiri kurang dilaksanakan.
Jadi pemakaian baju batik tanpa ada pengenalan atau pengetahuan akan arti dan sejarah batik
sendiri akan jadi sia-sia. Dan dari pengalaman saya di sekolah dulu, penggunaan baju batik hanya
dilakukan di tingkatan sekolah dasar saja, sedangkan di tingkat sekolah menengah pertama dan
sekolah menengah atas tidak diberlakukan. Ini bukti nyata bahwasanya pengenalan budaya masih
setengah-setengah. Dari pengalaman yang ada yaitu pengakuan budaya kita oleh Negara lain
diharapkan peran masyarakat dapat menyadari akan pentingnya budaya bangsa dan mulai melakukan
gerakan yang dapat melestarikan dan mempertahankan budaya tersebut. Dan gerakan pelestarian
budaya bangsa dapat dilakukan dengan pengenalan dan penggunaan baju batik di sekolah pada hari
tertentu. Dengan begitu batik dapat dikenal oleh anak didik dan bukan hanya dikenal saja tetapi
dilestarikan kepada generasi berikutnya yang akan menjadi penerus bangsa Indonesia.

a. Meningkatkan jiwa Nasionalisme


Ada beberapa sikap yang bisa menambah rasa nasionalisme, yaitu:
 Mulailah menggunakan barang-barang hasil bangsa sendiri, Karena bisa menambah rasa cinta
dan bangga akan hal yang di buat oleh tangan-tangan kreatif penduduknya.
 Mulailah memperhatikan perjungan para pahlawan dalam mempertahankan bangsa ini,
dengan keringat, darah bahkan nyawa meraka rela korbankan untuk bangsa ini. Bisa
dilakukan dengan beberapa perbuatan misalkan membaca, menonton, mengunjungi hal-hal
yang berkaitan tentang sejarah bangsa ini lahir. Hal ini bertujuan untuk membangkitkan jiwa
nasionalisme yang sudah ada dari masing-masing individu.
 Mulailah menciptakan prestasi dalam semua bidang misalkan dar bidang olah raga, akademik,
Teknologi dan lain-lain. Hal ini bertujuan untuk menambahkan rasa bangga dan sikap rela
bekorban demi bangsa. Biasanya hal inilah yang paling banyak membuat pegaruh dalam diri
seseorang dalam menigkatkan jiwa nasionalisme.

b. Meningkatkan sikap Demokrasi


Dalam rangka mengoptimalkan perilaku budaya demokrasi maka sebagai generasi penerus
yang akan mempertahankan negara demokrasi, perlu mendemonstrasikan bagaimana peran serta kita
dalam pelaksanaan pesta demokrasi.
Prinsip-prinsip yang patut kita demonstrasikan dalam kehidupan berdemokrasi, antara lain
sebagai berikut:
 Membiasakan untuk berbuat sesuai dengan aturan main atau hukum yang berlaku.
 Membiasakan bertindak secara demokratis bukan otokrasi atau tirani.
 Membiasakan untuk menyelesaikan persoalan dengan musyawarah.
 Membiasakan mengadakan perubahan secara damai tidak dengan kekerasan atau anarkis.
 Membiasakan untuk memilih pemimpin melalui cara-cara yang demokratis.
 Selalu menggunakan akal sehat dan hati nurani luhur dalam musyawarah.
 Selalu mempertanggungjawabkan hasil keputusan musyawarah baik kepada Tuhan,
masyarakat, bangsa, dan negara.
 Menggunaka kebebasan dengan penuh tanggung jawab.
 Membiasakan memberikan kritik yang bersifat membangun.

c. Mencintai keberagaman Adat, Budaya dan Agama


Keberagaman adat, budaya dan agama merupakan cirri khas dari bangsa Indonesia. Dari
sabang sampai marauke memiliki banyak keberagaman adat, budaya, agama dan lain sebagainya,
yang mungkin kita sendiri belum tahu betapa dahsyat keberagaman keindahan dan budaya yang
bangsa kita mililki.
Berikut adalah hal-hal yang mungkin bisa kita lakukan agar kita tahu dan bangga akan
keberagaman yang di miliki oleh bangsa ini, diantaranya:
 Mulai mencari tahu tentang kebeagaman bangsa ini dan menggunjungi tempet-tempat
tersebut.
 Mulai membuka mata dan melihat betapa keunikan bangsa kita ini dari segi budaya, sangat
memiliki ciri khas yang tidak di miliki bangsa lain dan sudah banyak orang asing yang mau
belajar dan mempelajari keberagaman budaya yang kita miliki.
 Mulai mencoba kebiasaaan-kebiasaan yang dimiliki oleh bangsa kita ini, contohnya seperti
selalu senyum bila bertemu seseorang yang di kenal maupun itu orang yang baru di kenal.
Karena hal inilah bangsa Indonesia menjadi bansa yang ramah di menurut bangsa asing yang
pernah berkunjung di Indonesia.
 Bangga dan melestarikan kekayaan budaya yang di miliki bangsa ini dalam kehidupan
sehari-hari

d. Penggunaan Baju Batik di Sekolah


Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa rasa nasionalisme dapat ditanamkan di
sekolah dan salah satu sikap rasa nasionalisme adalah dengan mencintai budaya bangsa dimana batik
merupakan satu dari berbagai jenis budaya bangsa Indonesia. Sebenarnya penggunaan baju batik di
sekolah sudah dilaksanakan sejak dulu, bisa saya ingat bahwa ketika saya masih di sekolah dasar,
penggunaan baju batik dilaksanakan di sekolah setiap hari jumat. Memang pelaksanaan pemakaian
baju batik di sekolah telah populer dari dulu tetapi pengenalan terhadap baju batik sendiri kurang
dilaksanakan.
Jadi pemakaian baju batik tanpa ada pengenalan atau pengetahuan akan arti dan sejarah batik
sendiri akan jadi sia-sia. Dan dari pengalaman saya di sekolah dulu, penggunaan baju batik hanya
dilakukan di tingkatan sekolah dasar saja, sedangkan di tingkat sekolah menengah pertama dan
sekolah menengah atas tidak diberlakukan. Ini bukti nyata bahwasanya pengenalan budaya masih
setengah-setengah.
Dari pengalaman yang ada yaitu pengakuan budaya kita oleh Negara lain diharapkan peran
masyarakat dapat menyadari akan pentingnya budaya bangsa dan mulai melakukan gerakan yang
dapat melestarikan dan mempertahankan budaya tersebut. Dan gerakan pelestarian budaya bangsa
dapat dilakukan dengan pengenalan dan penggunaan baju batik di sekolah pada hari tertentu.
Dengan begitu batik dapat dikenal oleh anak didik dan bukan hanya dikenal saja tetapi
dilestarikan kepada generasi berikutnya yang akan menjadi penerus bangsa Indonesia.

Hubungan Nasionalisme dan Kebudayaan


Dalam sejarah politik Indonesia, nasionalisme rupa-rupanya pernah dianggap bertentangan
dengan kebudayaan. Dalam arti itu, antropolog Clifford Geertz umpamanya menulis panjang-lebar
tentang primordial sentiments dan national integration. Diambil secara gampangnya, apa yang
dinamakan sentimen primordial adalah perasaan-perasaan yang erat hubungannya dengan
kebudayaan, khususnya dengan faktor-faktor yang dianggap given dalam kebudayaan, seperti
hubungan darah, kesamaan daerah, kesamaan asal-usul, bahasa ibu, atau warna kulit. Dalam istilah
sosiologi, kebudayaan dianggap memberikan segala yangascribed, yaitu apa saja yang menjadi atribut
seseorang atau tempat seseorang diperanggotakan, tanpa pilihan yang aktif dan sadar dari yang
bersangkutan. Seseorang menjadi Jawa atau Sunda bukan karena pilihannya, tetapi semata-mata
karena askripsi. Sebaliknya, nasionalisme dan integrasi nasional adalah pemikiran, perasaan dan
perjuangan yang penuh kesadaran dan pilihan, yang menuntut usaha yang sungguh-sungguh dan harus
dikelompokkan ke dalam apa yang dalam jargon sosiologi Parsonian dinamakan achievement(sebagai
lawan dari ascription).
Dalam arti tersebut, keterlibatan seseorang atau sekelompok orang dalam integrasi nasional
dianggap mengharuskan adanya pengorbanan terhadap hal-hal yang bersifat primordial. Hal ini dalam
praktiknya bukan tidak dijalankan dalam politik Indonesia. Bahasa ibu (vernacular) dianggap kurang
penting dibandingkan dengan bahasa nasional, dan hal itu tercermin dengan jelas dalam pengajaran
bahasa di sekolah-sekolah, di mana (dengan beberapa pengecualian) bahasa ibu tidak diajarkan lagi.
Demikian pun rasa kedaerah yang berlebih-lebihan dianggap membahayakan persatuan nasional.
Provinsialisme bukanlah unsur kuat dalam nasionalisme, tetapi diperlakukan sebagai risikonya.
Dalam kaitan itu, istilah kebudayaan nasional menjadi istilah yang penuh kontroversi dan
ketidakjelasan. Selain bahasa nasional, sastra Indonesia, seni lukis Indonesia, seni tari dengan
koreografi baru yang nontradisional, teater modern di Indonesia, pendidikan dan pengajaran nasional,
dan media massa Indonesia, sulit bagi kita menunjukkan secara empiris apa saja yang menjadi unsur-
unsur kebudayaan nasional.

Menurut pengalaman selama ini, kebudayaan nasional lebih merupakan gagasan (atau bahkan
retorika) politik, daripada suatu konsep yang dapat diuraikan secara ilmiah. Dengan mudah suatu
tindakan pada masa lalu dianggap bertentangan dengan nilai-nilai kebudayaan nasional, tetapi tidak
pernah dijelaskan nilai-nilai mana saja yang dapat diterima sebagai sistem-nilai kebudayaan nasional.
Seperti biasanya, istilah politik lebih mudah berfungsi sebagai antikonsep, yang dapat diterapkan
secara arbitrer apabila dibutuhkan secara politik, daripada sebagai suatu kerangka konseptual yang
jelas batas-batasnya dan dapat dideskripsikan unsur-unsurnya. Apakah ada upacara perkawinan
nasional? Apakah ada jenis makanan nasional? Apakah ada pencak silat nasional? Hal-hal terakhir ini
lebih mudah diidentifikasikan sebagai produk budaya suatu daerah atau suatu kelompok etnik tertentu.

Kesulitan tersebut muncul dari sifat khas nasionalisme yang tumbuh dan berkembang di
Indonesia, dan di banyak negara berkembang lainnya. Di negeri-negeri ini nasionalisme telah lahir
sebagai gerakan untuk menentang dan mengakhiri suatu pemerintahan dan kekuasaan kolonial. Yang
terjadi adalah adanya bangsa yang merdeka mendahului lahirnya suatu negara yang berdaulat. Dalam
kenyataannya sering terjadi bahwa sekalipun bangsa itu telah merdeka, negara yang diproklamasikan
oleh bangsa tersebut tetap meneruskan watak dari negara kolonial sebelumnya. Nasionalisme jenis ini
sangat berbeda dari nasionalisme di negara-negara Eropa di mana beberapa negara modern terbentuk
mendahului adanya bangsa.

Sebelum menyingsingnya fajar masa modern, di Eropa Barat telah terbentuk negara-negara
yang relatif berdaulat, seperti negara Perancis, Inggris, Spanyol, dan Belanda, yang kemudian
menjelma menjadi bangsa pada saat memasuki masa modern. Perubahan negara menjadi bangsa di
tempat-tempat tersebut menjadi mantap pada masa-masa setelah Perang Napoleon (1804-1815). Di
negara-negara ini dapatlah dikatakan, kesatuan negara mendahului kesatuan bangsa. Varian lainnya
adalah Jerman dan Italia, di mana kesatuan budaya di negeri itu jauh lebih dahulu ada dan baru
kemudian mendapatkan ekspresi politisnya. Dengan lain perkataan, di kedua negara yang tersebut
terakhir ini tidak ada masalah dengan kebudayaan nasional seperti halnya di Indonesia, karena
kesatuan budaya jauh mendahului kesatuan politik. Kebudayaan Jerman dan kebudayaan Italia sudah
mantap pembentukannya sebelum terbentuknya bangsa Jerman atau bangsa Italia.

DI Indonesia, yang terjadi adalah bahwa pembentukan bangsa itu berlangsung melalui
pergerakan nasional dan mendahului pembentukan negara RI maupun pembentukan kebudayaan
nasional Indonesia. Ada dua akibat yang sangat terasa sampai sekarang.

Dari satu segi, negara Indonesia merdeka harus berusaha (dengan tidak selalu berhasil)
melepaskan diri dari sifat-sifat negara kolonial yang mendahuluinya, baik negara kolonial Belanda
maupun negara kolonial Jepang. Orientasi utama ke pasar luar negeri dalam ekonomi misalnya,
merupakan warisan langsung dari negara kolonial Hindia Belanda. Demikian pun, peranan besar
militer dalam bidang sosial-politik dalam masa Orde Baru adalah salah satu warisan pemerintahan
Jepang. Dari pihak lainnya, kebudayaan Indonesia harus didefinisikan dalam hubungan dengan
kebudayaan daerah maupun kebudayaan asing.

Dalam undang-undang dikatakan bahwa kebudayaan nasional terdiri dari puncak-puncak


kebudayaan daerah. Definisi ini memang sangat kabur, karena tidak dibedakan kebudayaan daerah
yang dihasilkan sebelum terbentuknya negara Indonesia Merdeka, dan kebudayaan daerah yang
diciptakan setelah tercapainya kemerdekaan nasional. Sutan Takdir Alisjahbana misalnya, dalam
Polemik Kebudayaan dengan tegas menolak semua hasil kebudayaan yang telah tercipta sebelum
kemerdekaan sebagai kebudayaan Indonesia. Dalam arti itu, Borobudur paling banter hanya dapat
diterima sebagai produk kebudayaan pra-Indonesia, tetapi bukan bagian kebudayaan nasional, karena
dia diciptakan pada saat belum ada sama sekali kesadaran tentang ke-Indonesia-an.

Demikian pula, kebudayaan nasional dicoba dikonsepsikan dalam perbedaan, dan bahkan
pertentangannya dengan kebudayaan Barat. Ketakutan terhadap kebudayaan Barat sebagai ancaman
bagi kebudayaan nasional muncul dengan nyata, baik dalam masa pemerintahan Soekarno maupun
dalam masa pemerintahan Soeharto. Tetapi, apa yang sebetulnya dinamakan kebudayaan Barat oleh
kedua penguasa itu?

Soekarno memang menolak musik rock ‘n roll, tetapi membaca dengan lahap kepustakaan
politik, filsafat, dan sejarah kebudayaan Barat. Soeharto menolak oposisi dalam politik sebagai
refleksi kebudayaan Barat, tetapi dengan tangan terbuka menerima modal-modal asing yang sebagian
terbesar berasal dari negara-negara Barat. Anehnya, sikap bermusuhan terhadap kebudayaan asing ini
hanya ditujukan kepada apa yang dibayangkan sebagai kebudayaan Barat, sedangkan kebudayaan
Cina, Parsi, India, dan kebudayaan luar lainnya tidak dianggap sebagai kebudayaan asing.
Sekalipun Indonesia sejak awal mendengungkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, namun
jelas bahwa persatuan merupakan ide yang dominan, yang telah muncul dari nasionalisme yang
bersifat antikolonial. Perjuangan nasional itu diandaikan mengharuskan adanya persatuan nasional,
yaitu persatuan semua kelompok etnik di Nusantara ke dalam bangsa Indonesia, dan juga suatu negara
kesatuan yang tidak mengijinkan adanya kedaulatan lain di samping kedaulatan RI dalam batas-batas
teritorial negara ini.

Sadar-tak-sadar, ide negara kesatuan dan persatuan bangsa ini kemudian menggiring
pemikiran ke arah kebudayaan nasional, yang dalam bentuk konkretnya berarti kebudayaan persatuan.
Tetapi, persatuan secara budaya merupakan hal yang tidak mudah, karena menimbulkan pertanyaan:
mengapa kebudayaan-kebudayaan harus dipersatukan, dan kalau dipersatukan, maka persatuan
kebudayaan itu mengikuti pola yang mana? Dalam hal inilah kelihatan sikap yang serba mendua
dalam politik Indonesia, yang tentu saja telah muncul dari desakan politik yang ada, yang kemudian
harus dijawab secara pragmatis belaka, tanpa mempertimbangkan implikasi budayanya.

Persoalan asimilasi kelompok etnik Tionghoa merupakan contoh soal yang baik, bahwa suatu
kelompok budaya dan kelompok etnis yang dianggap asing diminta untuk meninggalkan
kebudayaannya sendiri dan bergabung dengan kelompok budaya yang lebih besar. Atau, dalam
bahasa antropologi budaya, kebudayaan kelompok etnik Tionghoa harus diperlakukan sebagai
subkultur dari suatu dominant culture yang lain, entah Jawa, Batak, atau Sunda. Persoalan ini tentu
saja menyangkut masalah dwi-kewarganegaraan orang-orang keturunan Tionghoa yang pernah
muncul, yang kemudian dipertegas oleh masalah sikap nasional Indonesia terhadap komunisme.
Dengan demikian, persoalan asimilasi bukanlah persoalan kebudayaan, tetapi persoalan politik
semata-mata, karena penduduk Timur asing lainnya, seperti keturunan Arab atau India, tidak diminta
melakukan asimilasi, karena tidak ada urgensi politik yang mengharuskannya.
Kebudayaan Indonesia saat ini sedang menghadapi masalah bangkitnya kebudayaan-
kebudayaan daerah, entah karena berakhirnya etatisme dan sentralisme Orde Baru, maupun karena
penerapan Otonomi Daerah berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 dan UU
Nomor 25 Tahun 1999. Diberikannya hak-hak pemerintahan yang besar kepada daerah (kabupaten)
jelas memungkinkan daerah bersangkutan menghidupkan kebudayaan lokal yang menjadi ciri daerah
tersebut. Apakah hidupnya budaya daerah ini kemudian semakin menunjang atau menghalangi proses
demokratisasi, harus dilihat nanti.

Kalau kebudayaan daerah itu semakin memperkuat feodalisme lokal atau mengembalikan lagi
patriarki yang dibenarkan oleh adat-istiadat setempat, maka hidupnya kebudayaan lokal membawa
tantangan dan risiko baru untuk demokratisasi. Sebaliknya, kalau munculnya kebudayaan daerah itu
memungkinkan pluralisasi ekspresi-ekspresi budaya, yang menjadi representasi dari kesadaran
nasional yang sama atas cara yang lebih beragam, maka kita akan mengalami suatu masa di mana
kebangsaan dan kebudayaan tidak saling menghambat, tetapi justru saling memperkaya.

Gerakan untuk otonomi daerah, tuntutan untuk kesamaan hak hidup budaya kaum minoritas
sebagaimana diperjuangkan dalam gerakan-gerakan multikultural, menguatnya filsafat politik
komunitarian di Amerika Serikat sebagai antitese yang kuat terhadap demokrasi liberal, hidupnya
kembali lokalitas sebagai countervailing movement terhadap superimposisi yang keras dari proses
globalisasi, jelas akan ada pengaruhnya terhadap nasionalisme dan rasa kebangsaan. Bangkitnya
negara-negara berbasis etnis di Eropa Timur dan bekas daerah kekuasaan Uni Soviet menjadi pratanda
bahwa yang akan kita hadapi di masa depan barangkali bukanlah the clash of
civilizations sebagaimana diramalkan Samuel Huntington, tetapi sangat mungkin the clash of
nationalities yang didukung oleh identifikasi kebudayaan yang kuat.

Sumber:

http://www.angelfire.com/gundam/sartohalim/sosial_budaya.htm

http://imliakawaii.blogspot.co.id/2013/03/kebudayaan-memperkuat-nilai-nasionalisme.html

D AFTAR PUSTAKA

Krisna. (2005). Pengaruh Globalisasi Terhadap Pluralisme Kebudayaan Manusia di Negara


Berkembang. internet.public jurnal.

Anda mungkin juga menyukai