PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENGAWASAN
BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN
2016
Pengelolaan Keuangan Desa
Dikeluarkan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP
dalam rangka Diklat Teknis Substansi Pengelolaan Keuangan Desa
Edisi Pertama : Tahun 2013
Edisi Kedua : Tahun 2016
Penyusun : Adrian Puspawijaya, Ak.
Julia Dwi Nuritha Siregar
Narasumber : R.B. Bely Dj. Widodo, S.E., M.M.
Pereviu : Drs. Syukri
Penyunting : Kusmayawati
Penata Letak : Riri Lestari, Ak.
Pusdiklatwas BPKP
Jl. Beringin II, Pandansari, Ciawi, Bogor 16720
Telp. (0251) 8249001 ‐ 8249003
Fax. (0251) 8248986 ‐ 8248987
Email : pusdiklat@bpkp.go.id
Website : http://pusdiklatwas.bpkp.go.id
e‐Learning : http://lms.bpkp.go.id
Dilarang keras mengutip, menjiplak, atau menggandakan sebagian atau
seluruh isi modul ini, serta memperjualbelikan tanpa izin tertulis dari
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP
Kata Pengantar
Setiap pegawai harus memiliki kompetensi yang layak untuk dapat menjalankan tugas dan
tanggung jawabnya. Kompetensi yang selalu dimutakhirkan dan ditingkatkan akan menjadikan
seseorang menjadi mahir dan mampu menghadapi lingkungan yang selalu berubah. Salah satu cara
untuk memutakhirkan dan meningkatkan kompetensi adalah dengan mengikuti pendidikan dan
pelatihan (diklat).
Pusdiklatwas BPKP adalah salah satu unit kerja BPKP yang memiliki tugas pokok dan fungsi
melaksanakan diklat. Dalam rangka melaksanakan mandat Peraturan Pemerintah Nomor 101
Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil, Pusdiklatwas BPKP
berkomitmen memberikan yang terbaik bagi para peserta diklat. Kurikulum dan bahan ajar
dirancang dengan memperhatikan praktik di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah,
sehingga materi diklat dalam proses pembelajaran adalah cerminan penerapan ilmu pengetahuan
di lapangan. Dengan demikian, peserta diklat diharapkan mampu menerapkan hasil pendidikan
dan pelatihan pada instansinya.
Modul pelatihan ini adalah salah satu bahan ajar tertulis, selain menjadi acuan pada proses
pembelajaran juga diharapkan dapat menjadi acuan pada tempat kerja para peserta diklat. Namun
modul bukan satu‐satunya referensi yang berkenaan dengan substansi materi, bahan ajar lain yang
disampaikan oleh instruktur merupakan pengayaan materi diklat. Peserta diklat juga diharapkan
tetap memperkaya dengan referensi lainnya.
Meskipun modul ini telah disusun dengan proses evaluasi dan reviu, kami menyadari perbaikan
terus menerus masih perlu dilakukan. Untuk itu, kami mengharapkan saran perbaikan untuk
menjadikan modul ini lebih bermanfaat.
Akhir kata, kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi atas
terbitnya modul ini.
Ciawi, 31 Desember 2016
Kepala Pusdiklat Pengawasan BPKP
Slamet Hariadi
A. LATAR BELAKANG
UU Nomor 6 Tahun 2014 (UU Desa) beserta peraturan pelaksanaannya telah mengamanatkan
pemerintah desa untuk lebih mandiri dalam mengelola pemerintahan dan berbagai sumber daya
alam yang dimiliki, termasuk di dalamnya merencanakan pembangunan desa serta mengelola
keuangan dan kekayaan milik desa. Semua itu terangkum dalam suatu siklus pengelolaan keuangan
desa yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan
pertanggungjawaban keuangan desa. Perencanaan pembangunan desa dituangkan dalam
RPJMDesa dan RKPDesa sedangkan rencana keuangan tahunan pemerintahan desa dituangkan
dalam APBDesa.
Dalam siklus tersebut, mencakup pelaksanaan dari wewenang dan tanggung jawab yang dimiliki
oleh desa. Sehingga dalam praktiknya, aparatur pemerintah desa dituntut untuk dapat memahami
dan mengelola keuangan desa dengan baik dan benar sesuai dengan ketentuan perundang‐
undangan yang berlaku. Namun karena keterbatasan kualitas SDM yang dimiliki oleh pemerintah
desa, maka APIP selaku pengemban fungsi pembinaan harus mampu memberikan konsultansi,
misalnya dalam bentuk asistensi dan bimbingan teknis, agar keuangan desa dapat dikelola dengan
baik, transparan, dan akuntabel. Modul ini disusun untuk membekali APIP sehingga memiliki
pengetahuan terkait pengelolaan keuangan desa, sekaligus juga mampu melaksanakan penugasan
konsultansi dimaksud.
B. KOMPETENSI DASAR
Kompetensi dasar yang diharapkan setelah mempelajari Modul Pengelolaan Keuangan Desa adalah
peserta diklat dapat menjelaskan konsep‐konsep pengelolaan keuangan desa serta dapat
melaksanakan penugasan konsultansi kepada pemerintah desa mengenai pengelolaan keuangan
desa.
C. INDIKATOR KEBERHASILAN
Penanda tercapainya kompetensi yang diharapkan yaitu peserta diklat memiliki pengetahuan dan
mampu menjelaskan mengenai:
Gambaran umum perencanaan desa, RPJM Desa berserta penyusunannya, RKP Desa berserta
penyusunannya dan juga batasan/prioritas penggunaan Dana Desa.
Konsep penganggaran; proses penyusunan APB Desa; Struktur APB Desa yang terdiri dari
Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan; Kode Rekening serta proses perubahan APB Desa.
Memahami proses pencatatan dokumen dan formulir dalam pelaksanaan keuangan desa
yang meliputi pendapatan desa, belanja desa, dan pembiayaan desa.
Memahami proses penyusunan Pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan desa.
D. SISTEMATIKA MODUL
Modul Pengelolaan Keuangan Desa disajikan dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I Tinjauan Diklat
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang, kompetensi dasar untuk memahami
modul, indikator keberhasilan, sistematika modul serta metode pembelajaran
Bab II Desa dan Keuangan Desa
Bab ini menjelaskan tentang gambaran umum desa beserta pengelolaan keuangan
terkait siklus keuangan desa, pelaku/subjek pengelola keuangan serta .
Bab III Perencanaan Pembangunan Desa
Bab ini menjelaskan tentang proses penyusunan RPJM Desa, RKP Desa serta prioritas
pembangunan desa.
Bab ini menjelaskan tentang proses penganggaran, struktur APB Desa berupa
pendapatan, belanja dan pembiayaan serta perubaha APB Desa.
Bab V Pelaksanaan Keuangan Desa
Bab ini menjelaskan tentang pelaksanaan pendapatan desa, belanja desa, pembiayaan
desa, dan kode rekening.
Bab VI Penatausahaan Keuangan Desa
Bab VII Pelaporan dan Pertanggungjawaban Keuangan Desa
Bab ini menjelaskan tentang jenis‐jenis laporan pengelolaan keuangan desa.
Bab VIII Pengawasan Keuangan Desa
Bab ini menjelaskan tentang subjek pengawasan fungsional keuangan desa, ruang
lingkup pengawasan keuangan dan mekanismenya secara umum.
E. METODE PEMBELAJARAN
Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran adalah melalui pemaparan, tanya
jawab dan diskusi, serta latihan soal.
~
A. SEJARAH, KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN DESA
Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional
yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penyebutan ‘desa’ disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku di daerah setempat. Sebutan lain
untuk desa misalnya ‘huta/nagori’ di Sumatera Utara, ‘gampong’ di Aceh, ‘nagari’ di Minangkabau,
‘marga’ di Sumatera bagian selatan, ‘tiuh’ atau ‘pekon’ di Lampung, ‘desa pakraman/desa adat’ di
Bali, ‘lembang’ di Toraja, ‘banua’ dan ‘wanua’ di Kalimantan, dan ‘negeri’ di Maluku.
Desa telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Sebagai bukti
keberadaannya, Penjelasan Pasal 18 Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(sebelum perubahan) menyebutkan bahwa “Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih
kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan
Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. Daerah‐daerah itu
mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat
istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah‐daerah istimewa tersebut
dan segala peraturan negara yang mengenai daerah‐daerah itu akan mengingati hak‐hak asal usul
daerah tersebut. Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan
keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam sejarah pengaturan desa, telah ditetapkan beberapa pengaturan tentang desa, yaitu:
Undang‐Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah;
Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok‐Pokok Pemerintahan Daerah;
Undang‐Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk
Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia;
Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok‐Pokok Pemerintahan di Daerah;
Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa;
Undang‐Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah:
Undang‐Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; dan
Undang‐Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
UU Desa disusun dengan semangat penerapan amanat konstitusi, berupa pengakuan terhadap
kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana tertuang dalam Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan‐kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak‐hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang‐undang” dan ketentuan Pasal 18
ayat (7) yang menegaskan bahwa “Susunan dan tata cara penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
diatur dalam undang‐undang”.
Berdasarkan kedua pasal tersebut, asas rekognisi dan subsidiaritas disepakati bahwa dalam UU
Desa sebagai asas nomor satu dan dua. Asas rekognisi yaitu pengakuan terhadap hak asal usul;
sedangkan subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan
secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa. Azas ini memiliki konstruksi menggabungkan
fungsi self‐governing community dengan local self government. Hal ini diharapkan kesatuan
masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah desa, ditata sedemikian
rupa menjadi desa dan desa adat. Desa dan desa adat memiliki fungsi pemerintahan, keuangan
desa, pembangunan desa, serta mendapat fasilitasi dan pembinaan dari pemerintah
kabupaten/kota. Dalam posisi seperti ini, desa dan desa adat mendapat perlakuan yang sama dari
pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Sesuai Pasal 4 UU Desa, Pengaturan Desa bertujuan:
a. Memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan
keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas desa dalam sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;
c. Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat desa;
e. Membentuk pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta
bertanggung jawab
f. Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa guna mempercepat perwujudan
kesejahteraan umum;
g. Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat desa guna mewujudkan masyarakat desa
yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
i. Memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.
Kedudukan Desa
Desa berkedudukan tidak hanya di wilayah kabupaten, namun bisa juga berkedudukan di wilayah
kota. Menurut Permendagri nomor 56 Tahun 2015 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi
Pemerintahan, terdapat sebanyak 74.754 desa. Desa ini tersebar di 33 Provinsi atau 434
kabupaten/kota. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang diatur dalam
Permendagri nomor 39 Tahun 2015 dimana berjumlah sebanyak 74.093 desa, atau terjadi
peningkatan sebanyak 661 desa. Jumlah desa memiliki kecenderungan untuk selalu meningkat
melalui pemekaran atau pun peralihan status. Peralihan status terjadi misalnya dari kelurahan
menjadi desa atau desa adat menjadi desa. Di balik laju penambahan jumlah desa, ternyata
terdapat juga desa yang mengalami penghapusan karena kejadian tertentu misalnya yang terjadi
pada desa di Kabupaten Sumedang yang dihapuskan karena digenangi waduk.
Keberadaan desa ditetapkan dalam bentuk peraturan daerah. Perda ini selanjutnya dievaluasi
gubernur, dan diundangkan setelah mendapat nomor registrasi dari gubernur dan kode desa dari
Menteri Dalam Negeri.
Perbedaan Desa dan Kelurahan
Satuan pemerintahan terkecil NKRI sebagai ujung tombak pelayanan masyarakat adalah
pemerintah desa dan kelurahan. Wilayah Indonesia akan terbagi habis dalam bentuk desa atau
kelurahan. Namun, terdapat beberapa perbedaan mendasar antara keduanya. Berikut beberapa
rincian perbedaan antara desa dan kelurahan.
Tabel 2.1
Perbedaan Desa dan Kelurahan
Aspek Desa Kelurahan
Mata Mayoritas mata pencaharian agraris, Mayoritas mata pencaharian di sektor
Pencaharian lebih homogen jasa/industri dan lebih heterogen
penduduk
Kedudukan Desa bukan bagian Pemerintahan Kelurahan bagian dari Pemerintah Daerah
Daerah (Bukan SKPD/unit kerja) (unit kerja/SKPD)
Kewenangan Desa
Kewenangan desa adalah kewenangan yang dimiliki desa. Kewenangan desa meliputi:
a. Kewenangan berdasarkan hak asal usul;
b. Kewenangan lokal berskala desa;
“Hak Asal Usul” adalah hak yang merupakan warisan yang masih hidup dan prakarsa desa atau
prakarsa masyarakat desa sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat, antara lain sistem
organisasi masyarakat adat, kelembagaan, pranata dan hukum adat, tanah kas desa, serta
kesepakatan dalam kehidupan masyarakat desa.
“Kewenangan Lokal Berskala Desa” adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat desa yang telah dijalankan oleh desa atau mampu dan efektif dijalankan
oleh desa atau yang muncul karena perkembangan desa dan prakasa masyarakat desa, antara lain
tambatan perahu, pasar desa, tempat pemandian umum, saluran irigasi, sanitasi lingkungan, pos
pelayanan terpadu, sanggar seni dan belajar, serta perpustakaan desa, embung desa, dan jalan
desa.
Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa dibiayai
oleh APB Desa. Sedangkan kewenangan yang ditugaskan, dibiayai oleh pemerintah yang memberi
penugasan.
Pengaturan kewenangan desa merujuk pada PP nomor 43 Tahun 2014 jo PP nomor 47 Tahun 2015
pasal 34 ayat 3 dan pasal 39 disebutkan berada pada Kemendagri. Regulasi turunannya adalah
Permendagri nomor 44 Tahun 2016 tentang Kewenangan Desa. Dengan regulasi ini, maka regulasi
sebelumnya yaitu Peraturan Menteri Desa PDTT nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman
Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa menjadi tidak
berlaku lagi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kewenangan desa selanjutnya ditindak lanjuti oleh
bupati/walikota yang akan menetapkan daftar kewenangan berdasarkan hak asal‐usul dan
kewenangan lokal berskala desa. Selanjutnya, berdasarkan peraturan bupati/walikota tersebut,
pemerintah desa menetapkan peraturan desa tentang kewenangan desa sesuai dengan situasi,
kondisi dan kebutuhan lokal desa yang bersangkutan.
Pemerintah Supra Desa
Walaupun desa bukan bagian pemerintahan secara langsung dari pemerintah daerah (bukan unit
kerja/SKPD Pemda), namun desa tetap memiliki hubungan koordinasi dan administratif dengan
B. PENGELOLAAN KEUANGAN DESA
Pengertian Keuangan Desa menurut UU Desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat
dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban desa. Hak dan kewajiban tersebut menimbulkan pendapatan,
belanja, pembiayaan yang perlu diatur dalam pengelolaan keuangan desa yang baik. Siklus
pengelolaan keuangan desa meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan
pertanggungjawaban, dengan periodisasi 1 (satu) tahun anggaran, terhitung mulai tanggal 1
Januari sampai dengan 31 Desember.
Gambaran rincian proses Siklus Pengelolaan Keuangan Desa adalah sebagai berikut:
Gambar 2.1
Siklus Pengelolaan Keuangan Desa
Untuk memahami pengelolaan keuangan desa secara utuh, berikut disajikan gambaran umum
pengelolaan keuangan desa dikaitkan dengan pemerintah pusat/provinsi/kabupaten/kota, subjek
pelaksananya di desa, struktur APB Desa, laporan dan lingkungan strategis berupa ketentuan
yang mengaturnya.
Gambar 2.2
Gambaran Umum Pengelolaan Keuangan Desa
1. Transparan yaitu prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui
dan mendapat akses informasi seluas‐luasnya tentang keuangan desa. Asas yang membuka
2. Akuntabel yaitu perwujudan kewajiban untuk mempertanggung‐jawabkan pengelolaan
dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan dalam rangka
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Asas akuntabel yang menentukan bahwa setiap
kegiatan dan hasil akhir kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat desa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang‐ undangan;
3. Partisipatif yaitu penyelenggaraan pemerintahan desa yang mengikutsertakan kelembagaan
desa dan unsur masyarakat desa;
4. Tertib dan disiplin anggaran yaitu pengelolaan keuangan desa harus mengacu pada aturan
atau pedoman yang melandasinya.
Beberapa disiplin anggaran yang perlu diperhatikan dalam Pengelolaan Keuangan Desa yaitu:
Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang
dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan
merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja;
Semua penerimaan dan pengeluaran desa dalam tahun anggaran yang bersangkutan
harus dimasukan dalam APB Desa dan dilakukan melalui Rekening Kas Desa.
C. SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA
Desa dipimpin oleh seorang kepala desa (atau sebutan lainnya). Kepala desa memegang jabatan
selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Kepala desa dipilih langsung oleh
masyarakat desa. Dalam menjalankan pemerintahan, kepala desa didukung sekretariat desa.
Sekretariat desa dipimpin oleh sekretaris desa. Sekretaris desa dalam melaksanakan tugasnya
dibantu oleh kepala urusan (kaur). Sesuai pasal 62 PP Nomor 43 Tahun 2014 jo PP 47 Tahun 2015
Secara umum, dikarenakan terbatasnya jumlah SDM maka kepala urusan keuangan dapat
merangkap sebagai bendahara desa sedangkan kepala urusan umum merangkap sebagai pengurus
kekayaan milik (aset) Desa.
Kotak 2.1: Sekretaris Desa haruskah PNS?
Berbeda dengan regulasi sebelumnya (PP Nomor 72 Tahun 2005) yang menyebutkan Sekretaris
Desa diisi dari Pegawai Negeri Sipil, PP Nomor 43 Tahun 2014 jo PP Nomor 47 Tahun 2015
memberikan kewenangan kepada kepala desa untuk mengangkat dan memberhentikan perangkat
desa (termasuk di dalamnya sekretaris desa) setelah dikonsultasikan dengan camat. Tidak ada lagi
persyaratan status sekretaris desa harus diisi PNS, bahkan jika PNS yang terpilih menjadi perangkat
desa, yang bersangkutan dibebaskan sementara dari jabatannya selama menjadi perangkat desa
tanpa kehilangan hak sebagai pegawai negeri sipil.
Pelaksana Wilayah
Pelaksana Kewilayahan merupakan unsur pembantu kepala desa sebagai satuan tugas
kewilayahan. Jumlah pelaksana kewilayahan ditentukan secara proporsional antara pelaksana
kewilayahan yang dibutuhkan dan kemampuan keuangan desa. Contoh pelaksana wilayah di
beberapa daerah diberi nama kepala dusun atau kepala jorong. Banyaknya jumlah kepala dusun
disesuaikan dengan jumlah kewilayahan yang ada.
Pelaksana Teknis
Pelaksana Teknis merupakan unsur pembantu kepala desa sebagai pelaksana tugas operasional.
Pelaksana teknis sesuai PP Nomor 43 Tahun 2014 jo PP Nomor 47 Tahun 2015 pasal 64 paling
banyak terdiri atas 3 (tiga) seksi, yaitu Seksi Pemerintahan, Seksi Kesejahteraan dan Seksi
Pelayanan.
Ketentuan secara teknis mengenai SOTK Desa diatur dalam Permendagri Nomor 84 Tahun 2015
tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa.
Struktur Pengelolaan Keuangan Desa
Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa dipegang oleh Kepala Desa, namun demikian dalam
pelaksanaannya, kekuasaan tersebut sebagian dikuasakan kepada perangkat desa sehingga
pelaksanaan pengelolaan keuangan dilaksanakan secara bersama‐sama oleh Kepala Desa dan
Dalam siklus pengelolaan keuangan desa, tanggung jawab dan tugas dari Kepala Desa sebagian
diserahkan kepada Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa. PTPKD terdiri dari Sekretaris
Desa, Kepala Seksi dan Bendahara Desa. Uraian lebih lanjut kewenangan Kepala Desa dan PTPKD
diuraikan sebagai berikut:
1. Kepala Desa
Kepala Desa adalah Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa dan mewakili
pemerintah desa dalam kepemilikan kekayaan milik desa yang dipisahkan. Dalam hal ini,
Kepala Desa memiliki kewenangan:
a. Menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APB Desa;
b. Menetapkan Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD);
c. Menetapkan petugas yang melakukan pemungutan penerimaan desa;
e. Melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban APB Desa.
Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung tanggal pelantikan dan
dapat menjabat paling lama 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut‐turut atau tidak secara
berturut‐turut. Dalam melaksanakan kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa, Kepala Desa
menguasakan sebagian kekuasaannya kepada perangkat desa.
2. Sekretaris Desa
Sekretaris Desa selaku Koordinator PTPKD membantu Kepala Desa dalam melaksanakan
pengelolaan keuangan desa, dengan tugas:
a. Menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APB Desa;
b. Menyusun rancangan peraturan desa mengenai APBDesa, perubahan APB Desa dan
pertanggungjawaban pelaksanaan APB Desa;
c. Melakukan pengendalian terhadap pelaksanaan kegiatan yang telah ditetapkan dalam
APB Desa;
d. Menyusun pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APB Desa;
e. Melakukan verifikasi terhadap Rencana Anggaran Biaya (RAB), bukti‐ bukti penerimaan
dan pengeluaran APB Desa (SPP).
3. Kepala Seksi
Kepala Seksi merupakan salah satu unsur dari PTPKD yang bertindak sebagai pelaksana
kegiatan sesuai dengan bidangnya. Sesuai pasal 64 PP Nomor 43 Tahun 2014 jo Nomor 47
Tahun 2015 serta Permendagri Nomor 84 Tahun 2015 tentang SOTK Pemerintahan Desa
dinyatakan bahwa desa paling banyak terdiri dari 3 (tiga) seksi.
a. Menyusun RAB kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya;
d. Mengendalikan pelaksanaan dengan melakukan pencatatan dalam Buku Pembantu Kas
Kegiatan;
e. Melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan kepada Kepala Desa;
4. Bendahara Desa
Bendahara Desa merupakan salah satu unsur dari PTPKD yang dijabat oleh kepala/staf urusan
keuangan dan memiliki tugas untuk membantu Sekretaris Desa. Bendahara Desa mengelola
keuangan desa yang meliputi penerimaan pendapatan desa dan pengeluaran/pembiayaan
dalam rangka pelaksanaan APB Desa. Penatausahaan dilakukan dengan menggunakan Buku
Kas Umum, Buku Kas Pembantu Pajak, dan Buku Bank. Penatausahaan yang dilakukan antara
lain meliputi yaitu:
a. Menerima, menyimpan, menyetorkan/membayar;
b. Memungut dan menyetorkan PPh dan pajak lainnya;
c. Melakukan pencatatan setiap penerimaan dan pengeluaran serta melakukan
tutup buku setiap akhir bulan secara tertib;
d. Mempertanggungjawabkan uang melalui laporan pertanggungjawaban.
Badan Permusyawaratan Desa dan Lembaga Kemasyarakatan Desa
1. Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
Badan Permusyawaratan Desa merupakan badan permusyawaratan di tingkat desa yang
turut membahas dan menyepakati berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Desa. Dalam upaya meningkatkan kinerja kelembagaan di tingkat desa, memperkuat
kebersamaan, serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, pemerintah
desa dan/atau Badan Permusyawaratan Desa memfasilitasi penyelenggaraan Musyawarah
Desa. Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah forum musyawarah
antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang
diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk memusyawarahkan dan
menyepakati hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Hasil
Musyawarah Desa dalam bentuk kesepakatan yang dituangkan dalam keputusan hasil
musyawarah dijadikan dasar oleh Badan Permusyawaratan Desa dan Pemerintah Desa dalam
menetapkan kebijakan pemerintahan desa.
Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi:
a. Membahas dan menyepakati rancangan peraturan desa bersama kepala desa;
b. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa; dan
c. Melakukan pengawasan kinerja kepala desa.
Anggota Badan Permusyawaratan Desa merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan
keterwakilan wilayah yang pengisiannya dilakukan secara demokratis yangmasa
keanggotaannya selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji.
Anggota Badan Permusyawaratan Desa dapat dipilih untuk masa keanggotaan paling banyak
3 (tiga) kali secara berturut‐turut atau tidak secara berturut‐turut. Ketentuan lebih lanjut
mengenai Badan Permusyawaratan Desa diatur dalam peraturan bupati/walikota.
2. Kelembagaan Masyarakat Desa
Di dalam UU Desa diatur mengenai kelembagaan desa. Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD)
antara lain Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga
(PKK), Karang Taruna, Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), dan Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat Desa (LPMD).
a. Melakukan pemberdayaan masyarakat desa;
b. Ikut serta dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan; dan
c. Meningkatkan pelayanan masyarakat desa.
Sedangkan fungsi yang dimiliki oleh LKD sebagai berikut:
a. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat;
b. Menanamkan dan memupuk rasa persatuan dan kesatuan masyarakat;
f. Meningkatkan kesejahteraan keluarga; dan
g. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
1. Jelaskan status dan kedudukan desa berdasarkan berdasarkan UU Desa? Apakah dapat
dikatakan desa merupakan otonomi tingkat 4 setelah pemerintah pusat, provinsi dan
kabupaten/kota?
2. Sebutkan dan jelaskan azas‐azas pengelolaan keuangan desa?
3. Jelaskan beberapa perbedaan antara kelurahan dan desa?
4. Sebutkan dan jelaskan kewenangan yang dimiliki desa sesuai UU Desa?
5. Apa itu Lembaga Kemasyarakatan Desa? Berikan contoh dan peranannya masing‐masing?
6. Sebagaimana pemerintah daerah, kepala desa dipilih secara langsung. Bagaimana dengan
pemilihan BPD? Apakah dipilih secara langsung sebagaimana DPRD? Jelaskan!
7. Apa fungsi dan peran Badan Permusyawaratan Desa?
8. Jelaskan siklus pengelolaan keuangan desa secara lengkap?
9. Apakah Sekretaris Desa harus dijabat Pegawai Negeri Sipil? Jelaskan!
10. Jelaskan kedudukan Bendahara Desa dan Kepala Urusan Keuangan dalam pengelolaan
keuangan desa!
~
A. GAMBARAN UMUM PERENCANAAN DESA
Perencanaan pembangunan desa adalah proses tahapan kegiatan yang diselenggarakan oleh
pemerintah desa dengan melibatkan Badan Permusyawaratan Desa dan unsur masyarakat secara
partisipatif guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya desa dalam rangka mencapai
tujuan pembangunan desa.
Perencanaan pembangunan desa disusun sesuai dengan kewenangan pemerintah desa dengan
mengacu pada perencanaan pembangunan kabupaten/kota dengan melibatkan seluruh
masyarakat desa dengan semangat gotong royong. Perencanaan pembangunan desa mencakup
bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan
kemasyarakatan desa dan pemberdayaan masyarakat desa
Pemerintah desa dalam rangka perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa didampingi oleh
pemerintah daerah kabupaten/kota yang secara teknis dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat
daerah kabupaten/kota dan dapat didampingi oleh tenaga pendamping profesional, kader
pemberdayaan masyarakat desa, dan/atau pihak ketiga di bawah koordinasi camat.
Perencanaan pembangunan desa disusun secara berjangka dan ditetapkan dengan Peraturan Desa
meliputi:
1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 6 (enam) tahun; dan
2. Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa
(RKP Desa), merupakan penjabaran dari RPJM Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
Petunjuk teknis penyusunan RPJM Desa dan RKP Desa lebih lanjut diatur dalam peraturan
bupati/walikota.
B. RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DESA (RPJM DESA)
RPJM Desa memuat visi dan misi kepala desa, arah kebijakan pembangunan desa, serta rencana
kegiatan yang meliputi bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan
desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. RPJM Desa
ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak pelantikan kepala desa.
Kepala Desa membentuk tim penyusun RPJM Desa. Tim Penyusun RPJM Desa terdiri dari: (1)
Kepala Desa selaku pembina; (2) Sekretaris Desa selaku ketua; (3) Ketua Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat selaku sekretaris; dan (4) anggota yang berasal dari perangkat
desa, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa, dan
unsur masyarakat lainnya.
Jumlah tim paling sedikit 7 (tujuh) dan orang dan paling banyak 11 (sebelas) orang. Tim
ditetapkan berdasarkan keputusan Kepala Desa.
Tugas Tim Penyusun RPJM Desa adalah:
a. Penyelarasan arah kebijakan pembangunan Kabupaten/Kota;
b. Pengkajian keadaan desa;
c. Penyusunan rancangan RPJM Desa; dan
d. Penyempurnaan rancangan RPJM Desa.
2. Penyelarasan Arah Kebijakan Pembangunan Kabupaten/Kota
Langkah berikutnya setelah terbentuk tim penyusun RPJM Desa adalah melakukan
penyelarasan arah kebijakan pembangunan. Penyelarasan arah kebijakan pembangunan
dilakukan dengan tujuan untuk mengintegrasikan program dan kegiatan pembangunan
kabupaten/kota dengan pembangunan desa.
Isi arah Informasi arah kebijakan pembangunan kabupaten/kota yang harus diperhatikan
terdiri dari:
a. Rencana pembangunan jangka menengah daerah kabupaten/kota;
b. Rencana strategis satuan kerja perangkat daerah;
c. Rencana umum tata ruang wilayah kabupaten/kota;
d. Rencana rinci tata ruang wilayah kabupaten/kota; dan
e. Rencana pembangunan kawasan perdesaan.
Tahapan berikutnya berupa pengkajian keadaan desa. Pengkajian dilakukan dengan tujuan
untuk mempertimbangkan kondisi objektif keadaan desa. Langkah‐langkah kerja yang
dilakukan dalam pengkajian berupa:
a. Penyelarasan data desa.
b. Penggalian gagasan masyarakat; dan
c. Penyusunan laporan hasil pengkajian keadaan Desa
Hasil dari proses pengkajian menjadi bahan masukan dalam Musyawarah Desa dalam rangka
penyusunan perencanaan pembangunan desa.
4. Penyusunan Rencana Pembangunan Desa Melalui Musyawarah Desa
Hal‐hal yang dibahas dan disepakati dalam Musyawarah Desa yaitu:
a. Laporan hasil pengkajian keadaan desa;
b. Rumusan arah kebijakan pembangunan desa yang dijabarkan dari visi dan misi kepala
desa;
Musyawarah Desa dilakukan dengan diskusi kelompok secara terarah yang dibagi
berdasarkan bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan desa, pembinaan
kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa.
Diskusi kelompok membahas sebagai berikut:
a. Laporan hasil pengkajian keadaan desa;
b. Prioritas rencana kegiatan desa dalam jangka waktu 6 (enam) tahun;
d. Rencana pelaksana kegiatan desa yang akan dilaksanakan oleh perangkat desa, unsur
masyarakat desa, kerjasama antar desa, dan/atau kerjasama desa dengan pihak ketiga.
Hasil kesepakatan dalam musyawarah desa dituangkan dalam berita acara dan menjadi
pedoman bagi pemerintah desa dalam menyusun RPJM Desa.
5. Penyusunan Rancangan RPJM Desa
a. Tim penyusun RPJM Desa menyusun rancangan RPJM Desa berdasarkan berita acara
hasil kesepakatan desa dan dituangkan dalam format rancangan RPJM Desa dan
dilampiri dokumen rancangan RPJM Desa.
b. Berita acara disampaikan oleh tim penyusun RPJM Desa kepada kepala desa.
c. Kepala desa memeriksa dokumen rancangan RPJM Desa yang telah disusun oleh Tim
Penyusun RPJM Desa, jika ada perbaikan rancangan RPJM Desa dikembalikan kepada
tim penyusun RPJM Desa. Dalam hal rancangan RPJM Desa telah disetujui oleh kepala
desa, dilaksanakan musyawarah perencanaan pembangunan desa.
Setelah Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa menyepakati rancangan RPJM Desa,
tahapan berikutnya adalah:
a. Kepala Desa mengarahkan tim penyusun RPJM Desa melakukan perbaikan dokumen
rancangan RPJM Desa berdasarkan hasil kesepakatan Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Desa.
b. Rancangan RPJM Desa menjadi lampiran rancangan peraturan desa tentang RPJM Desa.
c. Kepala Desa menyusun rancangan peraturan desa tentang RPJM Desa dibahas dan
disepakati bersama oleh kepala desa dan Badan Permusyawaratan Desa untuk
ditetapkan menjadi Peraturan Desa tentang RPJM Desa.
Berbeda dengan penyusunan APB Desa, kesepakatan bersama kepala desa dan BPD terkait
RPJM Desa sudah dapat ditetapkan menjadi Peraturan Desa tanpa dievaluasi terlebih dahulu
oleh pihak pemerintah kabupaten/kota.
8. Perubahan RPJM Desa
a. Terjadi peristiwa khusus, seperti bencana alam, krisis politik, krisis ekonomi, dan/atau
kerusuhan sosial yang berkepanjangan; atau
b. Terdapat perubahan mendasar atas kebijakan pemerintah, pemerintah daerah provinsi,
dan/atau pemerintah daerah kabupaten/kota.
Berikut disajikan format RPJM Desa sebagaimana tertuang dalam lampiran Permendagri 114
Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa.
Format 3.1
Rancangan RPJM Desa
a b c. d e f g h i j k l m n o p q r s
a.
b.
c.
Penyelenggaraan
1 d.
Pemerintahan Desa
e.
f.
g.
Jumlah Per Bidang 1 -
a.
b.
c.
d.
2 Pembangunan Desa e.
f.
g.
h.
i.
Jumlah Per Bidang 2
a.
b.
c.
Pembinaan
3 d.
Kemasyarakatan
e.
f.
g.
Jumlah Per Bidang 3 -
a.
Pemberdayaan b.
4
Masyarakat c.
d.
Jumlah Per Bidang 4
JUMLAH TOTAL -
………………., Tanggal, …, …, ….
Mengetahui : Disusun oleh:
Kepala Desa, Tim Penyusun RPJM Desa
(..........................) (............................)
29
C. RENCANA KERJA PEMERINTAH DESA (RKP DESA)
Pemerintah desa menyusun RKP Desa sebagai penjabaran RPJM Desa. RKP Desa disusun oleh
pemerintah desa sesuai dengan informasi dari pemerintah daerah kabupaten/kota berkaitan
dengan pagu indikatif desa dan rencana kegiatan pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi,
dan pemerintah daerah kabupaten/kota.
RKP Desa mulai disusun oleh pemerintah desa pada bulan Juli tahun berjalan. RKP Desa ditetapkan
dengan peraturan desa paling lambat akhir bulan September tahun berjalan. RKP Desa menjadi
dasar penetapan APB Desa. Kepala desa menyusun RKP Desa dengan mengikutsertakan
masyarakat desa.
Sesuai Permendagri Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa, tahapan
penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa) meliputi:
Gambar 3.2
Tahapan Penyusunan RKP Desa
Musyawarah Desa melaksanakan kegiatan sebagai berikut:
a. Mencermati ulang dokumen RPJM Desa;
b. Menyepakati hasil pencermatan ulang dokumen RPJM Desa;
c. Membentuk tim verifikasi sesuai dengan jenis kegiatan dan keahlian yang dibutuhkan.
Tim verifikasi dapat berasal dari warga masyarakat Desa dan/atau satuan kerja
perangkat daerah kabupaten/kota.
Hasil kesepakatan dituangkan dalam berita acara, yang menjadi menjadi pedoman kepala
desa dalam menyusun RKP Desa.
2. Pembentukkan Tim Penyusun RKP Desa
a. Kepala Desa selaku pembina;
b. Sekretaris Desa selaku ketua;
c. Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat sebagai sekretaris; dan
Jumlah tim paling sedikit 7 (tujuh) dan paling banyak 11 (sebelas) orang. Pembentukan tim penyusun
RKP Desa dilaksanakan paling lambat bulan Juni tahun berjalan. Tim penyusun RKP Desa ditetapkan
dengan keputusan kepala desa.
a. Pencermatan pagu indikatif desa dan penyelarasan program/kegiatan masuk ke desa;
b. Pencermatan ulang dokumen RPJM Desa;
c. Penyusunan rancangan RKP Desa; dan
d. Penyusunan rancangan daftar usulan RKP Desa.
Daftar Usulan RKP Desa adalah penjabaran RPJM Desa yang menjadi bagian dari RKP Desa
untuk jangka waktu 1 (satu) tahun yang akan diusulkan pemerintah desa kepada pemerintah
daerah kabupaten/kota melalui mekanisme perencanaan pembangunan daerah
3. Pencermatan Pagu Indikatif Desa dan Penyelarasan Program/Kegiatan Masuk ke Desa
Pada tahap ini kepala desa mendapatkan data dan informasi dari kabupaten/kota tentang:
a. Pagu indikatif desa;
Data dan informasi diterima kepala desa dari kabupaten/kota paling lambat bulan Juli setiap
tahun berjalan.
Tim penyusun RKP Desa melakukan pencermatan pagu indikatif desa meliputi:
a. Rencana Dana Desa yang bersumber dari APBN;
b. Rencana Alokasi Dana Desa (ADD) yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang
diterima kabupaten/kota;
c. Rencana bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota; dan
d. Rencana bantuan keuangan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi dan
anggaran pendapatan belanja daerah kabupaten/kota.
Tim penyusunan RKP Desa mencermati skala prioritas usulan rencana kegiatan
pembangunan desa untuk 1 (satu) tahun anggaran berikutnya sebagaimana tercantum dalam
dokumen RPJM Desa. Hasil pencermatan sebagaimana dimaksud menjadi dasar bagi tim
penyusun RKP Desa dalam menyusun rancangan RKP Desa.
5. Penyusunan Rancangan RKP Desa
Penyusunan rancangan RKP Desa berpedoman kepada:
a. Hasil kesepakatan musyawarah desa;
b. Pagu indikatif desa;
c. Pendapatan Asli Desa;
e. Jaring aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh DPRD kabupaten/kota;
f. Hasil pencermatan ulang dokumen RPJM Desa;
g. Hasil kesepakatan kerja sama antar desa; dan
h. Hasil kesepakatan kerja sama desa dengan pihak ketiga.
Tim penyusun RKP Desa menyusun daftar usulan pelaksana kegiatan desa sesuai jenis
rencana kegiatan. Hasilnya berupa rancangan RKP Desa. Rancangan RKP Desa paling sedikit
berisi uraian:
a. Evaluasi pelaksanaan RKP Desa tahun sebelumnya;
b. Prioritas program, kegiatan, dan anggaran desa yang dikelola oleh desa;
c. Prioritas program, kegiatan, dan anggaran desa yang dikelola melalui kerja sama antar‐
desa dan pihak ketiga;
e. Pelaksana kegiatan desa yang terdiri atas unsur perangkat desa dan/atau unsur
masyarakat desa.
Rancangan RKP Desa dituangkan dalam format rancangan RKP Desa yang dilampiri
a. Rencana Kegiatan dan Rencana Anggaran Biaya.
b. Rencana Kegiatan dan Rencana Anggaran Biaya untuk Kerjasama Antar Desa disusun
dan disepakati bersama para kepala desa yang melakukan Kerja Sama Antar Desa.
c. Rencana kegiatan dan Rencana Anggaran Biaya sebagaimana dimaksud diverifikasi oleh
tim verifikasi.
Pemerintah desa dapat mengusulkan prioritas program dan kegiatan pembangunan Desa dan
pembangunan kawasan perdesaan kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi,
dan/atau pemerintah daerah kabupaten/kota. Usulan prioritas program dan kegiatan
dituangkan dalam rancangan daftar usulan RKP Desa.
Tim Penyusun RKP Desa membuat berita acara tentang hasil penyusunan rancangan RKP
Desa yang dilampiri dokumen rancangan RKP Desa dan rancangan daftar usulan RKP Desa,
dan disampaikan kepada kepala Desa.
6. Penyusunan RKP Desa Melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa
Langkah‐langkah Penetapan RKP Desa adalah sebagai berikut:
b. Kepala desa mengarahkan Tim Penyusun RKP Desa melakukan perbaikan dokumen
rancangan RKP Desa berdasarkan hasil kesepakatan Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Desa.
c. Rancangan RKP Desa menjadi lampiran rancangan peraturan desa tentang RKP Desa.
d. Kepala desa menyusun rancangan peraturan desa tentang RKP Desa yang akan dibahas
dan disepakati bersama oleh kepala desa dan Badan Permusyawaratan Desa untuk
ditetapkan menjadi peraturan desa tentang RKP Desa.
8. Perubahan RKP Desa
Sebagaimana RPJM Desa, RKP Desa juga dapat diubah dalam hal:
a. Terjadi peristiwa khusus, seperti bencana alam, krisis politik, krisis ekonomi, dan/atau
kerusuhan sosial yang berkepanjangan; atau
b. Terdapat perubahan mendasar atas kebijakan Pemerintah, pemerintah daerah provinsi,
dan/atau pemerintah daerah kabupaten/kota.
9. Pengajuan Daftar Usulan RKP Desa
Kepala desa menyampaikan daftar usulan RKP Desa kepada bupati/walikota melalui camat
paling lambat 31 Desember tahun berjalan. Daftar usulan RKP Desa menjadi materi
pembahasan di dalam musyawarah perencanaan pembangunan kecamatan dan
Format RKP Desa dan juga Daftar Usulan RKP Desa serta RAB sebagaimana diatur dalam
lampiran Permendagri 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa disajikan
sebagai berikut:
Bidang/ Jenis Kegiatan Biaya dan Sumber Pembiayaan Pola Pelaksanaan Rencana
Sasaran/ Waktu
No Lokasi Volume Pelaksana
Manfaat Pelaksanaan Kerjasama Pihak
Bidang Jenis Kegiatan Jlh (Rp) Sumber Swakelola Kerjasama Antar Desa Kegiatan
Ketiga
a b c. d e f g h i j k l m n
a.
b.
a.
b.
c.
Pembinaan
3 d.
Kemasyarakatan
e.
f.
g.
Jumlah Per Bidang 3 -
a.
Pemberdayaan b.
4
Masyarakat c.
d.
Jumlah Per Bidang 4
JUMLAH TOTAL -
………………., Tanggal, …, …, ….
Mengetahui : Disusun oleh:
Kepala Desa, Tim Penyusun RKP Desa
(..........................) (............................)
37
Format 3.3
Daftar Usulan RKP Desa
Prakiraan Prakiraan
Bidang/ Jenis Kegiatan Sasaran/
No Lokasi Volume Waktu Biaya dan
Manfaat
Bidang Jenis Kegiatan Pelaksanaa Jumlah (Rp)
Penyelenggaraan
1 Pemerintahan
Desa
Pembangunan
2
Desa
Pembinaan
3
Kemasyarakatan
Pemberdayaan
4
Masyarakat
JUMLAH TOTAL -
( ………………………… ) ( ………………………… )
Harga Jumlah
URAIAN Volume Satuan Satuan Total Jumlah
Rp Rp
a b c d e=bxd f
1. BAHAN
1.1
1.2
1.3
1.4
1….
Sub Total 1) Rp - Rp -
2. ALAT
2.1
2.2
2.3
2.4
2. …
Sub Total 2) Rp - Rp -
3. UPAH
3.1
3.2
3.3
3. …
Sub Total 3 ) Rp - Rp -
Total Biaya
Keterangan :
Kategori Biaya
I-a Pembelian bahan hasil tenaga manusia
I-b Pembelian bahan hasil industri
II-a Pembelian alat tangan
II-b Pembelian / penyewaan alat mesin
III-a Pembayaran tenaga kerja untuk konstruksi
III-b Pembayaran tenaga untuk pengumpulan bahan
………..,Tanggal…….,…….,…
mengetahui :
Kepala Desa Tim Penyusun RKP Desa
(………………………………..) (………………………………..)
Desa dalam mengelola keuangan desa memperhatikan regulasi yang dibuat oleh pemerintah supra
desa. Terdapat aturan‐aturan yang perlu dicermati khususnya terkait pengeluaran atau belanja
yang dilakukan oleh pemerintah desa.
Berdasarkan pasal 100 PP Nomor 43 Tahun 2014 jo PP Nomor 47 Tahun 2015 tentang Pedoman
Pelaksanaan UU Desa, disebutkan bahwa belanja desa yang ditetapkan dalam APB Desa digunakan
dengan ketentuan paling sedikit 70% dari APB Desa untuk 4 bidang dan paling banyak 30% untuk 4
item belanja. Lebih lanjut mengenai proporsi belanja dalam APB Desa akan dibahas pada bab
berikutnya tentang Penganggaran Keuangan Desa.
Selain batasan proporsi belanja dalam APB Desa, khusus belanja yang bersumber dari Dana Desa
terdapat batasan penggunaan berupa prioritas penggunaan Dana Desa. Dalam Pasal 19 PP nomor
43 Tahun 2014 jo PP nomor 47 tahun 2015 disebutkan bahwa Dana Desa digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat dan
kemasyarakatan namun diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan
masyarakat.
Menteri Desa PDTT diberi kewenangan untuk menetapkan prioritas penggunaan Dana Desa paling
lambat 3 bulan sebelum dimulainya tahun anggaran. Prioritas ini dilengkapi dengan Pedoman
Umum pelaksanaan penggunaan Dana Desa. Untuk penggunaan Dana Desa Tahun 2015, telah
diterbitkan Permendes PDTT nomor 5 Tahun 2015. Sedangkan untuk penggunaan Dana Desa
Tahun 2016 telah diterbitkan Permendes PDTT nomor 21 Tahun 2015 jo Permendes 8 Tahun 2016.
Prioritas penggunaan Dana Desa didasarkan pada prinsip‐prinsip:
Keadilan, dengan mengutamakan hak atau kepentingan seluruh warga desa tanpa
membedabedakan;
Kebutuhan prioritas, dengan mendahulukan yang kepentingan desa yang lebih mendesak,
lebih dibutuhkan dan berhubungan langsung dengan kepentingan sebagian besar masyarakat
desa; dan
Pemetaan tipologi desa berdasarkan tingkat kemajuan desa digunakan untuk penyusunan prioritas
penggunaan Dana Desa. Untuk mengetahui tipologi desanya, Pemerintah desa harus menggunakan
data Indeks Desa Membangun (IDM) yang ditetapkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Indeks Desa Membangun (IDM) disusun dengan landasan bahwa pembangunan merupakan proses
akumulasi dari dimensi sosial, dimensi ekonomi dan dimensi ekologi. Ketiganya menjadi mata
rantai yang saling memperkuat yang mampu menjamin keberlanjutan pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat Desa. Pembangunan desa dimaknai sebagai proses untuk
meningkatkan kapabilitas penduduk dalam mengelola dan memanfaatkan potensi yang terdapat di
desa. Paradigma pembangunan yang mengedepankan pembangunan manusia didasarkan pada
ruang dimensi sosial (Indeks Ketahanan Sosial‐IKS), dimensi ekonomi (Indeks Ketahanan Ekonomi‐
IKE) dan dimensi ekologi (Indeks Ketahanan Lingkungan‐IKL). Dalam penyusunan IDM ketiga
dimensi dibentuk oleh sejumlah variabel dan indikator.
Berdasarkan Permendes PDTT Nomor 2 Tahun 2016 tentang Indeks Desa Membangun (IDM),
status kemajuan dan kemandirian desa yang ditetapkan berdasar IDM diklasifikasi dalam 5 status
Desa yakni:
1. Desa Mandiri atau yang disebut Desa Sembada adalah Desa Maju yang memiliki kemampuan
melaksanakan pembangunan Desa untuk peningkatan kualitas hidup dan kehidupan sebesar‐
besarnya kesejahteraan masyarakat Desa dengan ketahanan sosial, ketahanan ekonomi, dan
ketahanan ekologi secara berkelanjutan
2. Desa Maju atau yang disebut Desa Pra‐Sembada adalah Desa yang memiliki potensi sumber
daya sosial, ekonomi dan ekologi, serta kemampuan mengelolanya untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat Desa, kualitas hidup manusia, dan menanggulangi kemiskinan.
3. Desa Berkembang atau yang disebut Desa Madya adalah Desa potensial menjadi Desa Maju,
yang memiliki potensi sumber daya sosial, ekonomi, dan ekologi tetapi belum mengelolanya
secara optimal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa, kualitas hidup manusia
dan menanggulangi kemiskinan.
4. Desa Tertinggal atau yang disebut Desa Pra‐Madya adalah Desa yang memiliki potensi
sumber daya sosial, ekonomi, dan ekologi tetapi belum, atau kurang mengelolanya dalam
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa, kualitas hidup manusia serta mengalami
kemiskinan dalam berbagai bentuknya.
5. Desa Sangat Tertinggal atau yang disebut Desa Pratama adalah Desa yang mengalami
kerentanan karena masalah bencana alam, goncangan ekonomi, dan konflik sosial sehingga
tidak berkemampuan mengelola potensi sumber daya sosial, ekonomi, dan ekologi, serta
mengalami kemiskinan dalam berbagai bentuknya.
Prioritas Bidang Pembangunan Desa
Prioritas penggunaan Dana Desa Bidang Pembangunan Desa, meliputi:
1. Desa tertinggal dan/atau sangat tertinggal, mengutamakan kegiatan pembangunan melalui
penyediaan sarana dan prasarana untuk pemenuhan kebutuhan atau akses kehidupan
masyarakat desa;
3. Desa maju dan/atau mandiri, memprioritaskan kegiatan pembangunan sarana dan prasarana
yang berdampak pada perluasan skala ekonomi dan investasi desa, termasuk prakarsa desa
dalam membuka lapangan kerja, padat teknologi tepat guna dan investasi melalui
pengembangan BUM Desa.
Prioritas Bidang Pemberdayaan Masyarakat Desa
Prioritas penggunaan Dana Desa untuk program dan kegiatan bidang Pemberdayaan Masyarakat
Desa, dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang bertujuan meningkatkan kapasitas warga atau
masyarakat desa dalam pengembangan wirausaha, peningkatan pendapatan, serta perluasan skala
ekonomi individu warga atau kelompok masyarakat dan desa, antara lain:
1. Peningkatan investasi ekonomi desa melalui pengadaan, pengembangan atau bantuan alat‐
alat produksi, permodalan, dan peningkatan kapasitas melalui pelatihan dan pemagangan;
2. Dukungan kegiatan ekonomi baik yang dikembangkan oleh BUM Desa atau BUM Desa
Bersama, maupun oleh kelompok dan atau lembaga ekonomi masyarakat desa lainnya;
3. Bantuan peningkatan kapasitas untuk program dan kegiatan ketahanan pangan desa;
5. Promosi dan edukasi kesehatan masyarakat serta gerakan hidup bersih dan sehat, termasuk
peningkatan kapasitas pengelolaan Posyandu, Poskesdes, Polindes dan ketersediaan atau
keberfungsian tenaga medis/swamedikasi di desa;
Perencanaan program dan kegiatan Pemberdayaan Masyarakat Desa dengan mempertimbangkan
dan menyesuaikan dengan tipologi desa berdasarkan tingkat perkembangan kemajuan desa, yaitu:
Keluaran dari pelaksanakan Musyawarah Desa untuk penyusunan RKP Desa adalah dokumen
perencanaan RKPDesa. Pada Musyawarah Desa tersebut, diharapkan seluruh informasi terkait
dengan pembahasan dan pengambilan keputusan Perencanaan Pembangunan Desa seperti
informasi tentang pagu Dana Desa, Alokasi Dana Desa, Perkiraan Dana Bagi Hasil Pajak dan
Retribusi Daerah, Program/Proyek masuk Desa, Bantuan Keuangan Daerah dan Tipologi
berdasarkan perkembangan Desa dengan data IDM, sudah dapat disampaikan oleh pemerintah
kabupaten/kota kepada desa‐desa di wilayah masing‐masing.
1. Sebutkan dan jelaskan jenis‐jenis perencanaan pembangunan desa!
2. Jelaskan perbedaan antara Musyawarah Desa dan Musyawarah Perencanaan Pembangunan
Desa?
3. Salah satu titik kritis penyusunan RKP Desa adan pencermatan Pagu Indikatif, jelaskan
permasalahan terkait hal ini?
4. Sebutkan dan jelaskan secara singkat langkah‐langkah penyusunan RKP Desa?
5. Apa perbedaan antara RPJM Desa dengan RKP Desa?
6. Jelaskan alasan‐alasan yang menyebabkan RKP Desa berubah?
7. Prioritas Penggunaan Dana Desa ditentukan berdasarkan tipologi desa. Jelaskan tipologi desa
berdasarkan kemajuan desa?
8. Apa itu IDM? Jelaskan secara singkat!
9. Jelaskan prioritas pengunaan Dana Desa untuk bidang pemberdayaan masyarakat desa
dikaitkan dengan tipologinya?
10. Apakah Dana Desa diperbolehkan digunakan untuk membangun Kantor Desa? Jelaskan
dengan singkat?
11. Di Desa Sukamaju terdapat Jalan Kabupaten yang sering digunakan penduduk desa. Kondisi
jalan tersebut sangat buruk sekali dimana terdapat lubang besar yang menyebabkan sering
terjadi kecelakaan. Namun kondisi yang parah tersebut tidak segera diperbaiki oleh pihak
kabupaten. Desa bermaksud ingin memperbaiki jalan tersebut. Bagaimana tanggapan anda?
12. Bolehkan Dana Desa digunakan untuk membeli mobil ambulance? Jelaskan dengan singkat?
~
A. GAMBARAN UMUM PENGANGGARAN KEUANGAN DESA
Setelah RKP Desa ditetapkan maka dilanjutkan proses penyusunan APB Desa. Rencana Kegiatan
dan Rencana Anggaran Biaya yang telah ditetapkan dalam RKP Desa dijadikan pedoman dalam
proses penganggarannya. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa) merupakan rencana
anggaran keuangan tahunan pemerintah desa yang ditetapkan untuk menyelenggarakan program
dan kegiatan yang menjadi kewenangan desa.
APB Desa dibahas bersama dengan BPD dalam musyawarah desa untuk selanjutnya ditetapkan
dalam Peraturan Desa paling lambat 31 Desember tahun berjalan setelah dievaluasi oleh
bupati/walikota. Bupati/walikota dapat mendelegasikan evaluasi Rancangan Peraturan Desa
tentang APBDesa kepada camat.
Semua pendapatan dan belanja dianggarkan dalam APB Desa. Seluruh pendapatan dan belanja
dianggarkan secara bruto. Jumlah pendapatan merupakan perkiraan terukur dan dapat dicapai
serta berdasarkan ketentuan perundangan yang berlaku. Penganggaran pengeluaran harus
didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah cukup dan harus
didukung dengan dasar hukum yang melandasinya.
APB Desa hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali perubahan dalam 1 (satu) tahun anggaran.
Mekanisme perubahan APB Desa adalah sama dengan mekanisme penetapan APB Desa.
Proses penyusunan APB Desa dimulai dengan urutan sebagai berikut:
1. Sekretaris Desa menyusun rancangan Peraturan Desa tentang APB Desa (RAPB Desa)
berdasarkan RKP Desa yang telah ditetapkan dan menyampaikan kepada Kepala Desa;
3. Rancangan Peraturan Desa tentang APB Desa yang telah disepakati bersama
sebagaimana selanjutnya disampaikan oleh kepala desa kepada bupati/walikota melalui
camat atau sebutan lain paling lambat 3 (tiga) hari sejak disepakati untuk dievaluasi;
4. Bupati/Walikota menetapkan hasil evaluasi Rancangan APB Desa paling lama 20 (dua puluh)
hari kerja sejak diterimanya Rancangan Peraturan Desa tentang APB Desa. Dalam hal
bupati/walikota tidak memberikan hasil evaluasi dalam batas waktu maka Peraturan Desa
tersebut berlaku dengan sendirinya.
Dalam hal bupati/walikota menyatakan hasil evaluasi Rancangan Peraturan Desa tentang
APB Desa tidak sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang‐undangan yang
lebih tinggi Kepala Desa melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung
sejak diterimanya hasil evaluasi. Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Kepala Desa
dan Kepala Desa tetap menetapkan Rancangan Peraturan Desa tentang APB Desa menjadi
Peraturan Desa, bupati/walikota membatalkan Peraturan Desa dengan Keputusan
Bupati/Walikota yang sekaligus menyatakan berlakunya pagu APB Desa tahun anggaran
sebelumnya;
5. Peraturan Desa tentang APB Desa ditetapkan paling lambat tanggal 31 Desember tahun
anggaran berjalan.
Flowchart penyusunan APB Desa dapat dilihat dalam gambar berikut:
Bupati/walikota dalam melakukan evaluasi Rancangan Peraturan Desa tentang APB Desa
dapat mendelegasikan kepada camat. Ketentuan lebih lanjut mengenai pendelegasian
evaluasi Rancangan Peraturan Desa tentang APB Desa kepada camat diatur dalam peraturan
bupati/walikota.
C. STRUKTUR ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DESA (APBDESA)
APB Desa merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan desa yang disetujui oleh Badan
Permusyawaratan Desa. APB Desa terdiri atas Pendapatan Desa, Belanja Desa, dan
Pembiayaan Desa. Berikut disajikan format APB Desa:
Format APB Desa sebagaimana tercantum dalam Lampiran Permendagri Nomor 113 Tahun 2014
bersifat tidak mengikat, khususnya pada Kode Rekening Objek Belanja yang bertanda strip “‐“
seperti pasir, semen dsb (Level 4). Pemerintah kabupaten/kota dapat mengatur lebih lanjut dalam
Perkada Pengelolaan Keuangan Desa dengan merinci kode rekening belanja hingga Objek Belanja
(level 4) sebagai alat pengendalian dan pengklasifikasian.
1. Pendapatan Desa
Pendapatan Desa meliputi semua penerimaan uang melalui Rekening Kas Desa yang
merupakan hak desa dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh
desa. Pendapatan desa sesuai pasal 72 UU Desa bersumber dari:
a. Pendapatan Asli Desa;
b. Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Dana Desa);
c. Bagian Hasil Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kabupaten/Kota;
d. Alokasi Dana Desa;
e. Bantuan Keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota;
f. Hibah dan Sumbangan yang Tidak Mengikat dari Pihak Ketiga;
g. Lain‐lain Pendapatan Desa yang Sah.
Pendapatan Desa tersebut jika diklasifikasikan menurut kelompok terdiri dari:
Pendapatan Asli Desa (PA Desa)
Transfer
Pendapatan Lain‐Lain
Pendapatan yang masuk kategori Hasil Usaha contohnya adalah pendapatan yang
berasal dari Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) pengelolaan pasar desa, dan
pengelolaan kawasan wisata skala desa.
Pendapatan yang berasal dari Hasil Aset Desa antara lain tambatan perahu, pasar desa,
tempat pemandian umum dan jaringan irigasi. Pendapatan dari hasil pemanfaatan aset
tersebut umumnya adalah berupa Retribusi Desa. Retribusi Desa yaitu pungutan atas
jasa pelayanan yang diberikan pemerintah desa kepada pengguna/penerima manfaat
aset desa dimaksud. Ketentuan mengenai Retribusi Desa harus ditetapkan dalam
Peraturan Desa, dan pelaksanaan penerimaan retribusinya dilakukan oleh Bendahara
Desa atau petugas pemungut penerimaan desa yang telah ditetapkan oleh Kepala Desa.
Swadaya dan partisipasi adalah membangun dengan kekuatan sendiri yang melibatkan
peran serta masyarakat dalam bentuk uang dan atau barang yang dinilai dengan uang.
Gotong royong adalah membangun dengan kekuatan sendiri yang melibatkan peran
serta masyarakat dalam bentuk jasa yang dinilai dengan uang. Penganggaran kegiatan
yang bersumber dari swadaya, partisipasi dan gotongroyong ini disepakati pada saat
musyawarah desa dan penyumbangnya didata serta diminta kesanggupannya untuk
merealisasikannya pada saat pelaksanaan.
Lain‐lain Pendapatan Asli Desa antara lain diperoleh dari hasil pungutan desa. Pungutan
yang ada di desa antara lain yaitu pungutan atas penggunaan balai desa, pungutan atas
pembuatan surat‐surat keterangan, pungutan atas calon penduduk desa, dan lain
sebagainya yang dilakukan dilakukan oleh Bendahara Desa. Pemerintah desa dilarang
melakukan pungutan sebagai penerimaan desa selain yang ditetapkan dalam Peraturan
Desa.
Kelompok Transfer terdiri atas jenis:
1) Dana Desa;
2) Bagian dari Hasil Pajak Daerah Kabupaten/Kota dan Retribusi Daerah;
3) Alokasi Dana Desa (ADD);
4) Bantuan Keuangan dari APBD Provinsi;
5) Bantuan Keuangan dari APBD Kabupaten/Kota.
1) Dana Desa
Dana Desa adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui APBD
kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan
pemberdayaan masyarakat. Pemerintah menganggarkan Dana Desa secara
nasional dalam APBN setiap tahun.
Sesuai dengan PP Nomor 60 Tahun 2014 jo PP Nomor 22 Tahun 2015 jo PP
Nomor 8 Tahun 2016 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN, Dana Desa
dihitung berdasarkan jumlah desa dan dialokasikan secara berkeadilan
berdasarkan Alokasi Dasar dan Alokasi Formula.
Penghitungan besaran Dana Desa untuk setiap Kabupaten/Kota
Alokasi dasar adalah alokasi minimal Dana Desa yang diterima setiap desa, yang
besarannya dihitung dengan cara 90% (sembilan puluh persen) dari anggaran
Dana Desa dibagi dengan jumlah desa secara nasional.
a) 25% (dua puluh lima persen) untuk jumlah penduduk;
b) 35% (tiga puluh lima persen) untuk angka kemiskinan;
c) 10% (sepuluh persen) untuk luas wilayah; dan
d) 30% (tiga puluh persen) untuk tingkat kesulitan geografis.
Angka kemiskinan Desa dan tingkat kesulitan geografis desa ditunjukkan oleh
jumlah penduduk miskin Desa dan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)
kabupaten/kota. Dana Desa setiap kabupaten/kota ditetapkan dalam Peraturan
Presiden mengenai rincian APBN.
Penghitungan besaran Dana Desa untuk setiap Desa
Besaran Alokasi Formula setiap desa, dihitung dengan bobot sebagai berikut:
a) 25% (dua puluh lima persen) untuk jumlah penduduk;
b) 35% (tiga puluh lima persen) untuk angka kemiskinan;
c) 10% (sepuluh persen) untuk luas wilayah; dan
d) 30% (tiga puluh persen) untuk tingkat kesulitan geografis.
Sumber: DJPK – Kementerian Keuangan, 2016
Kotak 4.1: Perkembangan Besaran Dana Desa
Sebagaimana tercantum dalam PP 22 Tahun 2015, pada pasal 30 A dinyatakan
pengalokasian anggaran Dana Desa dalam APBN dilakukan secara bertahap, yang
dilaksanakan sebagai berikut:
a. Tahun Anggaran 2015 paling sedikit sebesar 3% (tiga per seratus);
b. Tahun Anggaran 2016 paling sedikit sebesar 6% (enam per seratus); dan
c. Tahun Anggaran 2017 dan seterusnya sebesar 10% (sepuluh per seratus), dari
anggaran Transfer ke Daerah.
Dana Desa Tahun 2015 telah disalurkan dalam APBN‐P 2015 sebesar Rp20,776 Triliyun
atau ± 280 juta per desa, sedangkan di tahun 2016 telah ditetapkan dalam APBN 2016
sebesar Rp 46,982 Triliyun atau ± Rp628,5 juta per desa. Untuk tahun 2017,
direncanakan dalam R‐APBN 2017 sebesar Rp 60 triliyun atau diprediksi setiap desa di
tahun 2017 mendapat rata‐rata ± Rp800 juta. Dana Desa setiap tahun akan cenderung
meningkat seiring dengan meningkatnya anggaran Transfer ke daerah walaupun
proporsinya tetap 10% (on top).
2) Alokasi Dana Desa
Kebutuhan penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa;
Jumlah penduduk desa, angka kemiskinan desa, luas wilayah desa, dan
tingkat kesulitan geografis desa.
Tidak seperti penyaluran Dana Desa yang telah ditetapkan sebanyak 2 tahap,
Penyaluran ADD ke desa diserahkan mekanismenya kepada kabupaten/kota
masing‐masing yang diatur dalam peraturan bupati/walikota. Sehingga antar
daerah bisa saja terdapat perbedaan dalam mekanisme penyalurannya dimana
ada yang 2 tahap, 3 tahap, 4 tahap bahkan ada yang 12 tahap (setiap bulan).
Pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan Bagian dari Hasil Pajak dan Retribusi
Daerah Kabupaten/Kota kepada desa paling sedikit 10% dari realisasi penerimaan
hasil pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota.
Pengalokasian Bagian Dari Hasil Pajak dan Retribusi kepada desa tersebut
ditetapkan dalam Peraturan Bupati/Walikota, berdasarkan ketentuan:
60% dibagi secara merata kepada seluruh desa.
4) Bantuan Keuangan Provinsi/Kabupaten/Kota
Bantuan keuangan tersebut dapat bersifat umum dan khusus. Bantuan keuangan
yang bersifat umum peruntukan dan penggunaannya diserahkan sepenuhnya
kepada desa penerima bantuan dalam rangka membantu pelaksanaan tugas
pemerintah daerah di desa.
Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan informasi kepada Kepala Desa tentang
Bantuan Keuangan yang akan diberikan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari
setelah KUA/PPAS disepakati kepala daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Informasi dari gubernur/bupati/walikota menjadi bahan penyusunan
rancangan APB Desa.
c. Lain‐Lain Pendapatan Desa Yang Sah
Kelompok Lain‐Lain Pendapatan Desa yang Sah diantaranya berupa Hibah dan
Sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat. Sumbangan tidak mengikat dapat
berupa pemberian berupa uang dari pihak ketiga, hasil kerjasama dengan pihak ketiga
atau bantuan perusahaan yang berlokasi di desa.
2. Belanja Desa
Belanja Desa merupakan semua pengeluaran dari rekening desa yang merupakan kewajiban
desa dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh
desa Belanja Desa dipergunakan dalam rangka mendanai penyelenggaraan kewenangan
desa.
Belanja Desa yang ditetapkan dalam APB Desa sesuai pasal 100 PP Nomor 47 Tahun 2015
digunakan dengan ketentuan:
Paling sedikit 70% (≥ 70%) dari jumlah anggaran belanja desa digunakan untuk
mendanai penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa,
pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa (4 bidang).
Paling banyak 30% (≤ 30%) dari jumlah anggaran belanja desa digunakan untuk 4 item
yaitu:
- Penghasilan tetap dan tunjangan kepala desa dan perangkat desa;
- Operasional pemerintah desa;
- Tunjangan dan operasional Badan Permusyawaratan Desa;
- Insentif Rukun Tetangga dan Rukun Warga yaitu bantuan kelembagaan yang
digunakan untuk operasional RT dan RW.
a. Kelompok Belanja
Belanja Desa diklasifikasikan menurut kelompok, kegiatan, dan jenis. Klasifikasi Belanja
Desa menurut kelompok terdiri dari:
1) Bidang Penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
2) Bidang Pelaksanaan Pembangunan Desa;
3) Bidang Pembinaan Kemasyarakatan Desa;
4) Bidang Pemberdayaan Masyarakat Desa; dan
5) Bidang Belanja Tak Terduga.
Kelompok Belanja tersebut selanjutnya dibagi dalam kegiatan sesuai dengan kebutuhan
desa yang telah dituangkan dalam RKP Desa. Rincian Bidang dan Kegiatan dibuat
dengan mengacu pada Permendagri Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pembangunan Desa dan prioritas penggunaan Dana Desa yang ditetapkan Kementerian
Desa dan PDTT, diuraikan sebagai berikut:
1) Bidang Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, antara lain:
Penetapan dan penegasan batas desa;
Pendataan desa;
Penyusunan tata ruang desa;
Penyelenggaraan musyawarah desa;
Pengelolaan informasi desa;
Penyelenggaraan perencanaan desa;
Penyelenggaraan kerjasama antar desa;
Pembangunan sarana dan prasarana kantor desa;
Kegiatan lainnya sesuai kondisi desa.
2) Bidang Pelaksanaan Pembangunan Desa, antara lain:
Pembangunan, pemanfaatan dan pemeliharaan infrasruktur dan lingkungan
desa antara lain:
(a) Tambatan perahu;
(b) Jalan pemukiman;
(c) Jalan desa antar permukiman ke wilayah pertanian;
(d) Pembangkit listrik tenaga mikrohidro;
(e) Lingkungan permukiman masyarakat desa;
(f) Infrastruktur desa lainnya sesuai kondisi desa.
(a) Air bersih berskala desa;
(b) Sanitasi lingkungan;
(c) Pelayanan kesehatan desa seperti posyandu;
(d) Sarana dan prasarana kesehatan lainnya sesuai kondisi desa.
(a) Taman bacaan masyarakat;
(b) Pendidikan anak usia dini;
(c) Balai pelatihan/kegiatan belajar masyarakat;
(d) Pengembangan dan pembinaan sanggar seni;
(e) Sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan lainnya sesuai kondisi
desa.
(a) Pasar desa;
(b) Pembentukan dan pengembangan BUM Desa;
(c) Penguatan permodalan BUM Desa;
(d) Pembibitan tanaman pangan;
(e) Penggilingan padi;
(f) Lumbung desa;
(g) Pembukaan lahan pertanian;
(h) Pengelolaan usaha hutan desa;
(i) Kolam ikan dan pembenihan ikan;
(j) Kapal penangkap ikan;
(k) Cold storage (gudang pendingin);
(l) Tempat pelelangan ikan;
(m) Tambak garam;
(n) Kandang ternak;
(o) Instalasi biogas;
(p) Mesin pakan ternak;
(q) Sarana dan prasarana ekonomi lainnya sesuai kondisi desa.
Pelestarian lingkungan hidup antara lain:
(a) Penghijauan;
(b) Pembuatan terasering;
(c) Pemeliharaan hutan bakau;
(d) Perlindungan mata air;
(e) Pembersihan daerah aliran sungai;
(f) Perlindungan terumbu karang;
(g) Kegiatan lainnya sesuai kondisi desa.
Pembinaan lembaga kemasyarakatan;
Penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban;
Pembinaan kerukunan umat beragama;
Pengadaan sarana dan prasarana olah raga;
Pembinaan lembaga adat;
Pembinaan kesenian dan sosial budaya masyarakat; dan
Kegiatan lain sesuai kondisi desa.
4) Bidang Pemberdayaan Masyarakat Desa antara lain:
Pelatihan usaha ekonomi, pertanian, perikanan dan perdagangan;
Pelatihan teknologi tepat guna;
Peningkatan kapasitas masyarakat, antara lain:
‐ Kader pemberdayaan masyarakat desa;
‐ Kelompok usaha ekonomi produktif;
‐ Kelompok perempuan;
‐ Kelompok tani;
‐ Kelompok masyarakat miskin;
‐ Kelompok nelayan;
‐ Kelompok pengrajin;
‐ Kelompok pemerhati dan perlindungan anak;
‐ Kelompok pemuda;
‐ Kelompok lain sesuai kondisi desa.
Keadaan Darurat dan/atau Keadaan Luar Biasa (KLB) merupakan keadaan yang
sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan berulang dan/atau mendesak antara
lain dikarenakan bencana alam, sosial, kerusakan sarana dan prasarana. Dalam
keadaan darurat dan/atau KLB, Pemerintah Desa dapat melakukan belanja yang
belum tersedia anggarannya.
b. Jenis Belanja
Klasifikasi Belanja berdasarkan jenis terdiri dari Belanja Pegawai, Belanja Barang/Jasa,
dan Belanja Modal.
1) Belanja Pegawai
2) Belanja Barang dan Jasa
Alat tulis kantor;
Benda pos;
Bahan/material;
Pemeliharaan;
Cetak/penggandaan;
Sewa perlengkapan dan peralatan kantor;
Makanan dan minuman rapat;
Pakaian dinas dan atributnya;
Perjalanan dinas;
Upah kerja;
Honorarium narasumber/ahli;
Operasional pemerintah desa;
Operasional BPD;
Insentif rukun tetangga /rukun warga;
Pemberian barang pada masyarakat/kelompok masyarakat.
3) Belanja Modal
3. Pembiayaan
Pembiayaan meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran
yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada
tahun‐tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan diklasifikasikan menurut kelompok dan jenis.
a. Penerimaan Pembiayaan
1) Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya
Penerimaan pembiayaan yang berasal dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang
digunakan untuk mendanai pelaksanaan kegiatan tahun berjalan yang berasal
dari pelampauan penerimaan pendapatan dan penghematan belanja tahun
sebelumnya. Realisasi penggunaan SiLPA merupakan keseluruhan SiLPA yang
dianggarkan dalam APB Desa. SiLPA antara lain berupa pelampauan penerimaan
pendapatan terhadap belanja, penghematan belanja, dan sisa dana kegiatan
lanjutan. SilPA merupakan penerimaan pembiayaan yang digunakan untuk:
Menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil dari pada
realisasi belanja;
Mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan; dan
Mendanai kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun anggaran
belum diselesaikan.
2) Pencairan Dana Cadangan
3) Hasil Penjualan Kekayaan Desa yang Dipisahkan
Hasil Penjualan Kekayaan Desa yang Dipisahkan digunakan untuk menganggarkan
hasil penjualan kekayaan desa yang dipisahkan. Penerimaan pembiayaan yang
berasal dari Hasil Penjualan Kekayaan Desa yang Dipisahkan diperoleh dari
b. Pengeluaran Pembiayaan
1) Pembentukan Dana Cadangan
Penetapan tujuan pembentukan Dana Cadangan;
Program dan kegiatan yang akan dibiayai dari Dana Cadangan;
Besaran dan rincian tahunan Dana Cadangan yang harus dianggarkan;
Sumber Dana Cadangan;
Tahun Anggaran pelaksanaan Dana Cadangan.
Pembentukan Dana Cadangan dapat bersumber dari penyisihan atas penerimaan
desa, kecuali dari penerimaan yang penggunaannya telah ditentukan secara
khusus berdasarkan peraturan perundang‐undangan.
D. KODE REKENING
Pengelolaan keuangan yang baik memerlukan adanya suatu klasifikasi dalam sistem yang
dijabarkan dalam kode rekening atau chart of accounts. Kode Rekening tersebut terdiri dari
kumpulan akun secara lengkap yang digunakan di dalam pembuatan proses perencanaan,
pelaksanaaan, penatusahaan hingga pelaporan. Kode rekening merupakan alat untuk
mensinkronkan proses perencanaan hingga pelaporan, sehingga kebutuhan pelaporan yang
konsisten sejak mulai proses perencanaan dan penganggaran akan dapat dapat terpenuhi.
Mengingat pentingnya peran kode rekening tersebut maka diperlukan standarisasi kode rekening
sehingga akan dicapai keseragaman dalam pemakaiannya khususnya di wilayah suatu
kabupaten/kota. Berdasarkan hal‐hal tersebut di atas, maka kode rekening disusun sedemikian
rupa sehingga dapat berfungsi secara efektif.
Tujuan pembakuan kode rekening adalah mengakomodasi proses manajemen keuangan dengan
anggaran berbasis kinerja sedemikian rupa agar diperoleh:
Perencanaan anggaran pendapatan, belanja dan pembiayaan dilakukan secara proporsional,
transparan dan profesional.
Pelaksanaan anggaran berbasis kinerja dilakukan secara lebih akuntabel.
Laporan keuangan mengakomodasi secara baik pengendalian anggaran, pengukuran kinerja
dan pelaporan kinerja keuangan dalam laporan keuangan.
Dalam ketentuan Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, pada
pasal 8 telah diatur mengenai klasifikasi pendapatan, belanja, dan pembiayaan sampai ke tingkat
jenis. Namun demikian, Ilustrasi APBDesa (sebagaimana tercantum dalam lampiran Permendagri
tersebut) untuk tingkat objek belanja (ditulis dalam tanda strip) bersifat tidak mengikat. Oleh
karena itu pemerintah kabupaten/kota dapat membuat pengaturan lebih lanjut mengenai objek
Pengaturan kode rekening baru dilakukan untuk kelompok pendapatan, belanja, dan pembiayaan;
sedangkan untuk kelompok aset, kewajiban, dan ekuitas belum ada regulasi yang mengatur secara
definitif. Kode Rekening disajikan dengan menggunakan istilah level akun. Level akun yang
dimaksud dapat diuraikan sebagai berikut:
Level 1 : Kode Akun
1. Kode Rekening Pendapatan Desa
Pendapatan desa diklasifikasikan menurut kelompok dan jenis. Kelompok pendapatan desa
yaitu:
a. Pendapatan Asli Desa (PA Desa);
b. Pendapatan Transfer;
c. Pendapatan Lain‐Lain.
Masing‐masing kelompok pendapatan tersebut dirinci ke dalam jenis pendapatan yaitu:
a. Pendapatan Asli Desa (PA Desa), terdiri dari:
1) Hasil Usaha;
2) Hasil Aset;
3) Swadaya, Partisipasi dan Gotong Royong;
4) Lain‐Lain Pendapatan Asli Desa.
1) Dana Desa;
2) Bagian dari Hasil Pajak Daerah Kabupaten/Kota dan Retribusi Daerah;
3) Alokasi Dana Desa (ADD);
4) Bantuan Keuangan dari APBD Provinsi;
5) Bantuan Keuangan APBD Kabupaten/Kota.
c. Pendapatan Lain‐Lain, terdiri dari:
1) Hibah dan Sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat;
2) Lain‐lain pendapatan Desa yang sah.
Rincian sampai ke tingkat objek pendapatan akan diatur lebih lanjut dalam peraturan
bupati/walikota. Leveling kode rekening pendapatan desa adalah sebagai berikut:
Kode rekening pendapatan hingga ke level objek pendapatan yang dicontohkan dalam
aplikasi SISKEUDES adalah sebagai berikut.
2. Kode Rekening Belanja Desa
Belanja desa diklasifikasikan menurut kelompok, kegiatan, dan jenis belanja. Kelompok belanja yaitu
penyelenggaraan pemerintahan desa; pelaksanaan pembangunan desa; pembinaan
kemasyarakatan desa; pemberdayaan masyarakat desa; dan belanja tak terduga. Kelompok belanja
tersebut terbagi dalam kegiatan‐kegiatan yang terdiri dari 3 (tiga) jenis belanja yaitu belanja pegawai;
belanja barang dan jasa; serta belanja modal. Rincian sampai ke tingkat objek belanja akan diatur
lebih lanjut dalam peraturan bupati/walikota. Leveling kode rekening belanja desa adalah sebagai
berikut:
Kode rekening belanja hingga ke level objek belanja yang dicontohkan dalam aplikasi
SISKEUDES adalah sebagai berikut.
Kode Rekening Belanja Desa tersebut dapat ditambahkan sesuai dengan kebutuhan daerah
namun diberlakukan sama bagi seluruh desa yang ada di wilayah kabupaten/kota.
Kelompok penerimaan pembiayaan terdiri dari:
a. Sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya;
b. Pencairan Dana Cadangan;
c. Hasil penjualan kekayaan desa yang dipisahkan;
Sedangkan kelompok pengeluaran pembiayaan terdiri dari:
a. Pembentukan Dana Cadangan;
b. Penyertaan Modal Desa.
Rincian sampai ke tingkat objek pembiayaan akan diatur lebih lanjut dalam peraturan
bupati/walikota. Leveling kode rekening belanja desa adalah sebagai berikut:
Kode rekening pendapatan hingga ke level objek pembiayaan yang dicontohkan dalam
aplikasi SISKEUDES adalah sebagai berikut.
KODE REKENING PEMBIAYAAN DESA
KODE URAIAN
6 PEMBIAYAAN DESA
6 1 Penerimaan Pembiayaan
6 1 1 Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Sebelumnya
6 1 1 01 Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) Tahun Sebelumnya
6 1 2 Pencairan Dana Cadangan
6 1 2 01 Pencairan Dana Cadangan
6 1 3 Hasil Penjualan Kekayaan Desa Yang Dipisahkan
6 1 3 01 Hasil Penjualan Kekayaan Desa Yang Dipisahkan
6 2 Pengeluaran Pembiayaan
6 2 1 Pembentukan Dana Cadangan
6 2 1 01 Pembentukan Dana Cadangan
6 2 2 Penyertaan Modal Desa
6 2 2 01 Penyertaan Modal Desa
6 3 Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Sebelumnya
6 3 1 Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berjalan
6 3 1 01 Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berjalan
Kode Rekening Belanja Desa tersebut dapat ditambahkan sesuai dengan kebutuhan daerah
namun diberlakukan sama bagi seluruh desa yang ada di wilayah kabupaten/kota.
E. PERUBAHAN APB DESA
APB Desa yang telah ditetapkan dalam peraturan desa dimungkinkan untuk dilakukan perubahan.
Perubahan APB Desa dapat dilakukan apabila terjadi:
1. Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran antar jenis belanja;
2. Keadaan yang menyebabkan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SilPA) tahun sebelumnya
harus digunakan dalam tahun berjalan;
3. Terjadi penambahan dan/atau pengurangan dalam pendapatan desa pada tahun berjalan;
dan/atau
4. Terjadi peristiwa khusus, seperti bencana alam, krisis politik, krisis ekonomi, dan/atau
kerusuhan sosial yang berkepanjangan;
5. Perubahan mendasar atas kebijakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Dalam hal Bantuan Keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota serta hibah dan
bantuan pihak ketiga yang tidak mengikat ke desa disalurkan setelah ditetapkannya Peraturan
Desa tentang Perubahan APB Desa, maka perubahan tersebut diakomodir dan diatur dengan
Peraturan Kepala Desa tentang perubahan APB Desa. Peraturan Kepala Desa tentang Perubahan
APB Desa tersebut selanjutnya diinformasikan kepada BPD.
Berikut disajikan ilustrasi yang dapat digunakan sebagai contoh:
Format 4.5
Format Perubahan APB Desa
PERUBAHAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DESA
PEMERINTAH DESA…………..
TAHUN ANGGARAN………….
Anggaran Bertambah/
KODE REKENING URAIAN %
Sebelum Sesudah Berkurang
1 PENDAPATAN
1 1 Pendapatan Asli Desa
1 1 1 Hasil Usaha Desa
1 1 1 04 Hasil Pelelangan Ikan Yang Dikelola Desa
1 1 2 Hasil Aset Desa
1 1 2 01 Pendapatan Sewa Tanah Kas Desa
1 1 3 Swadaya, Partisipasi dan Gotong Royong
1 1 3 01 Hasil Swadaya
Lain - Lain Pendapatan Asli Daerah Yang
1 1 4
Sah
1 1 4 04 Bunga Simpanan Uang di Bank
Lain-lain Pendapatan Desa Yang Sah
1 1 4 09
Lainnya
1 2 Pendapatan Transfer
1 2 1 Dana Desa
1 2 1 01 Dana Desa
Format Perubahan APBDesa tidak tercantum dalam Lampiran Permendagri Nomor 113 Tahun
2014, sehingga format di atas merupakan contoh inisiatif.
F. SOAL DAN LATIHAN
1. Sebutkan dan jelaskan proses penyusunan APB Desa secara singkat?
2. Sebutkan dan jelaskan secara singkat struktur APB Desa?
3. Apa bedanya Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD)?
4. Salah satu jenis Pendapatan Asli Desa adalah Swadaya, Partisipasi dan Gotong Royong.
Jelaskan dan berikan contohnya!
5. Dalam APB Desa terdapat pembiayaan desa. Jelaskan perbedaannya dengan belanja desa
dan berikan contohnya!
6. Jelaskan secara singkat mekanisme pengalokasian Dana Desa hingga diperoleh besaran Dana
Desa untuk setiap desa?
8. Apakah desa diperbolehkan memberikan bantuan uang kepada masyarakat? Jelaskan!
9. Apa yang dimaksud Bantuan Keuangan Umum dan Bantuan Keuangan Khusus? Jelaskan!
10. Jelaskan hal‐hal yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan APB Desa?
~
Sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya, rencana keuangan tahunan pemerintahan desa
disusun dalam suatu APBDesa. Struktur APBDesa terdiri dari pendapatan desa, belanja desa, dan
pembiayaan desa. Pelaksanaan APBDesa berarti pelaksanaan berbagai program dan kegiatan yang
telah ditetapkan dan disepakati di awal tahun, baik kegiatan penerimaan pendapatan dan
pembiayaan maupun kegiatan pengeluaran belanja dan pembiayaan.
Seluruh penerimaan dan pengeluaran desa dilaksanakan melalui Rekening Kas Desa (RKD) yaitu
rekening tempat menyimpan uang pemerintahan desa yang menampung seluruh penerimaan desa
dan untuk membayar seluruh pengeluaran desa pada bank yang ditetapkan. Ini dapat diartikan
bahwa seluruh penerimaan dan pengeluaran dilakukan melalui bank. Namun bagi desa yang belum
menerima layanan perbankan di wilayahnya, maka pengaturannya akan ditetapkan lebih lanjut
oleh pemerintah kabupaten/kota dalam peraturan kepala daerah (perkada) mengenai pedoman
pengelolaan keuangan desa. Dalam perkada tersebut juga diatur mengenai batasan uang kas yang
dapat disimpan oleh bendahara desa untuk memenuhi kebutuhan operasional pemerintah desa.
A. PELAKSANAAN PENDAPATAN DESA
Pelaksanaan pendapatan desa adalah proses penerimaan berbagai sumber pendapatan desa,
antara lain Pendapatan Asli Desa yang berasal dari masyarakat dan lingkungan desa (misalnya
penerimaan pungutan dan sewa); Pendapatan Transfer yang berasal dari pemerintah supra desa
(misalnya Dana Desa, Alokasi Dana Desa, Bagi Hasil Pajak/Retribusi Daerah, dan Bantuan
Keuangan); serta Lain‐lain Pendapatan Desa berupa hibah dan sumbangan dari pihak ketiga; yang
telah ditetapkan sebelumnya dalam APBDesa.
Pihak yang terkait dalam proses penerimaan pendapatan adalah pemberi dana (pemerintah
pusat/provinsi/kabupaten/kota, masyarakat, pihak ketiga), penerima dana (bendahara
desa/pelaksana kegiatan/kepala dusun), dan bank.
Dalam pelaksanaan APB Desa, Bendahara Desa menerima Pendapatan Asli Desa antara lain
berupa berupa pendapatan sewa, pendapatan retribusi, pendapatan Bagi Hasil BUM Desa,
pendapatan pungutan, pendapatan dari swadaya masyarakat dan Pendapatan Asli Desa
lainnya.
Pendapatan dari PADesa berupa Pungutan Desa harus ditetapkan terlebih dahulu dalam
peraturan desa. Pemerintah desa dilarang melakukan pungutan sebagai penerimaan desa
selain yang ditetapkan dalam peraturan desa, karena bisa dikatagorikan sebagai pungli.
Pelaksana Pungutan Desa dilakukan oleh Bendahara Desa dibantu dengan petugas
pemungut. Sumber Pungutan Desa antara lain yaitu pungutan atas penggunaan tambatan
perahu, pasar desa, tempat pemandian umum, jaringan irigasi, penggunaan balai desa, dan
lain sebagainya. Pendapatan Asli Desa diterima baik secara tunai ataupun melalui mekanisme
transfer bank.
Penerimaan Pendapatan Asli Desa secara Tunai
Penerimaan PADesa secara tunai adalah penerimaan pendapatan asli desa secara tunai
diterima oleh bendahara desa/petugas pemungut. Atas penerimaan ini dibuatkan tanda bukti
penerimaan.
Berikut adalah gambar alur pelaksanaan penerimaan pendapatan desa yang berasal dari
PADesa secara tunai.
Seluruh pendapatan yang diterima tunai oleh Bendahara Desa harus disetorkan ke dalam
RKD. Atas pendapatan retribusi yang diterima oleh Petugas Pemungut harus segera
disetorkan kepada Bendahara Desa.
Penerimaan PADesa melalui bank adalah penerimaan pendapatan asli desa melalui
mekanisme transfer ke rekening kas Desa. Atas penerimaan ini, masyarakat melaporkan ke
bendahara untuk selanjutnya dibuatkan tanda bukti penerimaan.
Berikut adalah gambar alur pelaksanaan penerimaan pendapatan desa yang berasal dari
PADesa melalui transfer bank.
Gambar 5.2
Prosedur penerimaan desa secara nontunai/transfer bank
Pendapatan yang berasal dari swadaya, partisipasi dan gotong royong adalah pekerjaan
membangun dengan kekuatan sendiri yang melibatkan peran serta masyarakat baik berupa
uang, barang atau tenaga. Pendapatan dari swadaya dan partisipasi masyarakat dikumpulkan
dari masyarakat desa yang diserahkan langsung kepada pelaksana kegiatan atau dikoordinir
dari lingkup kewilayahan terkecil yaitu tingkat Rukun Tetangga (RT) atau dusun kemudian
dikumpulkan dan diserahkan ke Pelaksana Kegiatan.
Pendapatan swadaya masyarakat yang diterima oleh Pelaksana Kegiatan, harus segera
dilaporkan kepada Bendahara Desa setelah sebelumnya dilakukan konversi/diberi nilai
rupiahnya dengan menggunakan harga pasar setempat atau berdasarkan RAB yang telah
telah dibuat sebelumnya. Terhadap pendapatan dari swadaya dan partisipasi masyarakat,
harus dibuatkan bukti penerimaannya berupa kuitansi/tanda terima uang/barang. Untuk
penerimaan yang diberikan dalam bentuk tenaga dibuatkan daftar hadir atas orang‐orang
yang menyumbangkan tenaganya.
Berikut adalah gambar alur pelaksanaan penerimaan pendapatan desa yang berasal dari
Swadaya, Partisipasi dan Gotong Royong dari masyarakat berupa barang dan jasa.
Selain PADesa, desa juga menerima Pendapatan Transfer Desa yang berasal dari pemerintah
supra desa yang menyalurkan dana atau bantuan keuangan kepada desa berdasarkan
ketentuan yang berlaku. Dana transfer yang akan diberikan kepada desa telah tertuang
dalam APBD provinsi/kabupaten/kota yang bersangkutan dan diinformasikan kepada desa
dalam waktu 10 hari setelah KUA/PPAS disepakati kepala daerah dan DPRD. Besaran alokasi
yang diterima desa secara umum ditetapkan dalam bentuk peraturan bupati/walikota
mengenai penetapan besaran Dana Desa, Alokasi Dana Desa, Bagi Hasil Pajak/Retribusi, dan
Bantuan Keuangan dari APBD Provinsi/Kabupaten/Kota. Atas alokasi anggaran tersebut
selanjutnya dilakukan penyaluran dana kepada desa secara bertahap sesuai ketentuan yang
berlaku.
Berikut adalah gambar alur pelaksanaan penerimaan pendapatan desa yang berasal dari
transfer.
Mekanisme penyaluran Dana Desa diatur dalam PP Nomor 60 Tahun 2014 dan telah diubah
dua kali yaitu terakhir dengan PP Nomor 8 Tahun 2016. Dalam ketentuan tersebut diatur
bahwa Dana Desa disalurkan oleh Pemerintah kepada kabupaten/kota dengan cara
pemindahbukuan dari RKUN ke RKUD, selanjutnya oleh kabupaten/kota disalurkan ke desa
dengan cara pemindahbukuan dari RKUD ke RKD. Penyaluran Dana Desa dilakukan secara
bertahap pada tahun anggaran berjalan.
Sesuai PP 8/2016 dan PMK 49/2016, penyaluran dana desa dilakukan secara bertahap pada
tahun anggaran berjalan dengan ketentuan:
Tahap I bulan Maret sebesar 60%.
Tahap II bulan Agustus sebesar 40%.
Dana Desa Tahap I
Penyaluran Dana Desa dari RKUN ke RKUD tahap I dilakukan setelah Menteri Keuangan c.q.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerima dari bupati/walikota berupa:
a. Peraturan daerah mengenai APBD kabupaten/kota tahun anggaran berjalan;
b. Peraturan bupati/walikota mengenai tata cara pembagian dan penetapan rincian Dana
Desa setiap desa; dan
c. Laporan realisasi penyaluran dan konsolidasi penggunaan Dana Desa tahun anggaran se
belumnya.
Penyaluran Dana Desa Tahap I dari RKUD ke RKD dilakukan setelah bupati/walikota
menerima dari kepala desa berupa:
a. Peraturan Desa mengenai APBDesa; dan
b. Laporan realisasi penggunaan Dana Desa tahun anggaran se belumnya dari kepala
desa.
Penyaluran Dana Desa tahap II dari RKUN ke RKUD dilakukan setelah Menteri Keuangan c.q.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerima laporan realisasi penyaluran dan
konsolidasi penggunaan Dana Desa tahap I dari bupati/walikota. Laporan realisasi penyaluran
dan konsolidasi penggunaan Dana Desa tahap I menunjukkan paling kurang sebesar 50%
(lima puluh persen).
Penyaluran Dana Desa tahap II dari RKUD ke RKD dilakukan setelah bupati/walikota
menerima Laporan Realisasi Penggunaan Dana Desa tahap I dari kepala desa. Laporan
Realisasi Penggunaan Dana Desa tahap I menunjukkan paling kurang Dana Desa tahap I telah
digunakan se besar 50% (lima puluh persen).
Penyaluran dana setiap tahap dilakukan paling lambat pada minggu kedua, selanjutnya
disalurkan paling lama 7 hari kerja setelah diterima kas daerah (RKUD) ke RKD bagi desa yang
telah memenuhi persyaratan.
Dalam hal bupati/walikota tidak menyalurkan Dana Desa sesuai dengan ketentuan, Menteri
Keuangan dapat melakukan sanksi administratif berupa penundaan penyaluran bahkan
pemotongan terhadap Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil yang menjadi hak
kabupaten/kota yang bersangkutan (PMK 49/2016).
Pendapatan Transfer Desa Lainnya
Mekanisme penyaluran ADD dan Bagian Dari Hasil Pajak Daerah/Retribusi Daerah dilakukan
secara bertahap, dan ketentuannya diatur dalam peraturan bupati/walikota masing‐masing.
Sedangkan mekanisme bantuan keuangan dari APBD provinsi/kabupaten/kota dilakukan
sesuai dengan peraturan kepala daerah pemberi bantuan keuangan kepada desa.
B. PELAKSANAAN BELANJA DESA
Pelaksanaan belanja desa adalah proses pengeluaran dari RKD untuk melaksanakan berbagai
program dan kegiatan yang telah ditetapkan sebagaimana tercantum dalam APBDesa. Dalam
pelaksanaan berbagai kegiatan tersebut, Bendahara Desa melakukan pengeluaran belanja desa
atas kegiatan dimaksud. Transaksi yang dilakukan misalnya pengeluaran belanja pegawai berupa
pembayaran penghasilan tetap (yang dianggarkan dalam kelompok belanja Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa); pengeluaran belanja barang dan jasa berupa pembelian alat tulis kantor
Proses pelaksanaan Belanja Desa dimulai dari Verifikasi RAB, pengajuan SPP serta pencairan SPP berupa
pemberian uang/dana dari bendahara kepada pelaksana kegiatan.
1. Penyusunan Rencana Anggaran Biaya (RAB)
Sebelum pelaksanaan kegiatan dilakukan, setelah APB Desa ditetapkan maka pelaksana
kegiatan menyusun RAB terlebih dahulu. RAB tersebut harus diverifikasi terlebih dahulu oleh
Sekretaris Desa untuk kemudian disahkan Kepala Desa. RAB kegiatan ini menjadi dasar bagi
Pelaksana Kegiatan untuk melakukan tindakan pengeluaran atas beban anggaran belanja
kegiatan. Berikut ini adalah alur persetujuan RAB.
Gambar 5.6
Alur Persetujuan RAB
2. Mekanisme Pengajuan Surat Permintaan Pembayaran (SPP)
Setelah RAB disetujui, maka langkah berikutnya dalah pengajuan dana melalui SPP. SPP
merupakan dokumen yang berisi permintaan pembayaran atau pengesahan belanja. SPP
yang diajukan oleh Pelaksana Kegiatan diverifikasi terlebih dahulu oleh Sekretaris Desa
(ordonator) untuk kemudian mendapat persetujuan dari Kepala Desa (otorisator). SPP
sekaligus juga menjadi dasar perintah bagi Bendahara Desa dalam pembayaran atau
pengesahan belanja (comptable).
Verifikasi atas SPP yang dilakukan oleh Sekretaris Desa meliputi:
a. Meneliti kelengkapan permintaan pembayaran diajukan oleh pelaksana kegiatan.
b. Menguji kebenaran perhitungan tagihan atas beban APB Desa yang tercantum dalam
permintaan pembayaran.
c. Menguji ketersediaan dana untuk kegiatan dimaksud.
Dalam pengeluaran belanja desa terdapat dua cara pembayaran yang dapat dilakukan oleh
Bendahara Desa, yaitu Bendahara Desa melakukan pembayaran tanpa panjar (Definitif); dan
pembayaran melalui panjar kepada Pelaksana Kegiatan.
Terkait hal itu perlu dipahami beberapa istilah berikut ini.
Uang Muka yaitu pemberian uang dalam rangka pembayaran sebagian atas PBJ kepada
pihak ketiga.
Uang Panjar adalah uang yang diberikan kepada Pelaksana Kegiatan dalam rangka
pelaksanaan kegiatan.
Uang Persediaan adalah uang yang diberikan khusus kepada Bendahara Pengeluaran
Pembantu. Namun demikian khusus untuk desa istilah ini tidak digunakan dikarenakan
tidak ada Bendahara Pembantu di desa.
a. Pembayaran Tanpa Melalui Panjar (Definitif)
Mekanisme SPP Definitif bisa dilakukan melalui pembayaran langsung oleh Bendahara
Desa kepada pihak ketiga melalui transfer bank atau melalui uang kas tunai yang
dipegang oleh Bendahara Desa.
Pengajuan SPP Definitif oleh Pelaksana Kegiatan dilampiri dengan:
Pernyataan Tanggung Jawab Belanja
Bukti Transaksi
Alur mekanisme pembayaran tanpa panjar (definitif) adalah sebagai berikut:
Mekanisme pembayaran melalui SPP Definitif lebih baik dan akuntabel dibandingkan
mekanisme panjar karena barang/jasa diterima terdahulu baru dilakukan pembayaran. Hal ini
berarti dengan disetujuinya SPP Definitif oleh kepala desa maka pertanggungjawaban belanja
tersebut telah lengkap dan cukup. Namun, mekanisme ini membutuhkan kepercayaan yang
tinggi dari pihak penyedia, serta tidak bisa diterapkan untuk lokasi penyedia yang jauh dari
desa.
Berbeda dengan mekanisme SPP Definitif, SPP Panjar Kegiatan dilakukan oleh
pelaksana kegiatan untuk meminta uang dalam rangka akan melaksanakan kegiatan.
Hal ini berarti belum ada barang/jasa yang diterima. Jika dibandingkan dengan
mekanisme di pemerintah daerah, mekanisme ini seperti mekanisme pembayaran
Tambahan Uang Persediaan (TU).
Pengajuan SPP Panjar Kegiatan oleh Pelaksana Kegiatan dilampiri dengan
Pernyataan Tanggung Jawab Belanja
Rencana Penggunaan Uang Panjar kegiatan.
Bukti Transaksi Mekanisme pemberian panjar kepada pelaksana kegiatan hanya dapat
dilakukan apabila memenuhi kondisi yang dipersyaratkan yang cukup ketat. Kondisi
tersebut dapat berupa kondisi penyedia barang/jasa yang jauh atau belum ada
kepercayaan. Selain itu SPP panjar harus memenuhi persyaratan berupa batasan
tertentu seperti batasan jumlah dan batasan waktu pertanggungjawaban panjar.
Alur proses pemberian panjar adalah sebagai berikut:
Mekanisme SPP Panjar Kegiatan memang memiliki risiko yang lebih besar dibandingkan
mekanisme SPP definitif karena bendahara desa melakukan penyerahan uang kepada
pelaksana kegiatan namun barang/jasa belum diterima. Setelah SPP Panjar kegiatan
terbit, masih ada langkah berikutnya berupa pertanggungjawaban dari SPP Panjar
untuk mengetahui pengeluaran definitif. Mekanisme SPP Panjar Kegiatan dilakukan
khususnya penyedia barang/jasa baru atau belum memberikan kepercayaan kepada
desa atau pun juga lokasi penyedia barang /jasa yang jauh dari desa.
Berikut adalah contoh ilustrasi pengaturan mengenai pemberian panjar.
Batasan maksimal jumlah uang yang dapat dibayarkan secara kas kepada pihak
ketiga. Nilai pembayaran sebesar di atas Rp 10 juta harus dilakukan melalui
transfer langsung ke nomor rekening bank pihak ketiga oleh Bendahara Desa. Hal
ini berarti pembayaran yang nilainya dibawah Rp 10 juta dapat menggunakan kas
tunai.
Batasan maksimal jumlah uang panjar yang dapat diberikan kepada pelaksana
kegiatan adalah Rp 5 juta. Hal ini dimaksudkan agar Pelaksana Kegiatan tidak
memegang uang kas dalam jumlah besar sehingga bisa menekan risiko kehilangan
dan risiko lainnya.
Panjar tidak boleh diberikan untuk kegiatan yang sama sebelum ada
pertanggungjawaban atas panjar sebelumnya.
Penerimaan dan penyetoran sisa panjar harus dicatat dalam Buku Kas Pembantu
Kegiatan oleh Pelaksana Kegiatan. Pembayaran kepada pihak ketiga dilakukan
setelah barang dan jasa diterima. Selanjutnya Pelaksana Kegiatan mengajukan
SPP untuk dilakukan pengesahan belanjanya oleh Kepala Desa.
Atas transaksi keuangan yang wajib dikenakan pajak, Bendahara Desa memiliki kewajiban untuk
melakukan pemotongan/pemungutan. Seluruh potongan/ pungutan pajak tersebut wajib disetor
ke Rekening Kas Negara sesuai ketentuan perpajakan. Kewajiban tersebut harus dilaksanakan
Bendahara Desa dimana jika tidak dilaksanakan maka terdapat sanksi dan akan menjadi
permasalahan/ temuan bagi pemeriksa di kemudian hari.
Transaksi keuangan yang dikenakan pajak antara lain terkait pembayaran belanja barang, belanja
jasa, dan honor. Jenis‐jenis pajak yang dipungut oleh Bendahara Desa yaitu PPh 21, PPh 22, PPh 23,
PPh Pasal 4 ayat 2 dan PPN serta bea materai.
PPh 21 dikenakan atas pembayaran gaji, upah, dan honorarium yang diterima orang pribadi. PPh
22 dipungut dari pengusaha/took atas pembayaran pembelian barang dengan nilai transaksi di atas
Rp2.000.000,00, dengan tarif pajak sebesar 1,5% di luar PPN (jika ber‐NPWP). PPh 23 dipotong
atas penghasilan yang diterima rekanan atas sewa (tidak termasuk tanah dan bangunan) serta
imbalan jasa manajemen, jasa teknik, jasa konsultan dan jasa lain dengan tarif 2% tanpa ada
batasan nilai transaksi, misalnya sewa kendaraan atau sewa alat berat. PPh Pasal 4 ayat 2
merupakan PPh final yang dikenakan untuk sewa tanah dan bangunan (tarif 10%), pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan (tarif 5%) dan jasa konsturksi (tarif 2%).
PPN dipungut atas pembelian barang/jasa kena pajak (BKP dan JKP) yang jumlahnya di atas
Rp1.000.000,00 tidak merupakan pembayaran yang terpecah‐pecah, dengan tarif 10%, dengan
catatan pembeliannya dilakukan kepada Pengusaha Kena Pajak (PKP). Jika bukan PKP maka tidak
dilakukan pemungutan PPN.
Pengenakan Pajak atas Belanja Barang (PPh Pasal 22 dan PPN)
Terhadap pembelian barang misalnya pembelian ATK, pembelian komputer, printer dan meublair
dikenakan pemungutan pajak PPh Pasal 22 dan PPN sesuai ketentuan. PPN dikenakan jika barang
tersebut masuk katagori Barang Kena Pajak (BKP). Untuk lebih jelasnya, berikut disajikan gambar
skema pemungutan pajak di desa atas transaksi pembelian barang.
Belanja Barang
PPh Psl 22
Tidak dikenakan PPN PPN
Dengan NPWP: Tarif 1,5
PPh dan PPN Tarif 10% Tarif 10%
%
Tanpa NPWP : 3%
Ilustrasi Pengenaan PPh Pasal 22 dan PPN atas Belanja Barang:
Seorang Bendahara Desa pada tanggal 5 Januari 2016 membeli komputer kepada rekanan
PKP seharga Rp22.000.000,00 (harga yg tertulis di kuitansi) dari sebuah toko komputer
(NPWP 01.234.567.8‐910.000).
Penghitungan PPh Pasal 22
Harga barang yang tertulis di kuitansi adalah harga termasuk PPN, sedangkan PPh Pasal 22
dihitung dari harga sebelum dikenakan PPN. Dikenakan PPh Pasal 22 karena nilainya di atas
Rp 2 juta. Dikenakan PPN karena dibeli dari PKP dengan nilai di atas Rp 1 juta. Tarif PPh Pasal
22 sebesar 1,5% karena memiliki NPWP.
PPh Pasal 22 terutang adalah:
Rp22.000.000,00 x 100/110 x 1,5% = Rp300.000,00.
Catatan:
Untuk mencari harga barang sebelum PPN maka harga barang di kuitansi harus dikurangi PPN
(tarif 10%), jadi harga barang sebelum PPN adalah sebesar 100/110 dari harga kuitansi
(Rp22.000.000,00 x 100/110 = Rp20.000.000,00).
Pengenakan Pajak atas Belanja Jasa (PPh Pasal 23, Pasal 4 ayat 2 dan PPN)
Terhadap pengadaan jasa (non fisik) misalnya sewa, penggunaan jasa perbaikan komputer,
perbaikan AC, jasa biro iklan dikenakan pemotongan pajak PPh Pasal 23 dan PPN sesuai ketentuan.
Jika jasa tersebut terkait konstruksi maka dikenakan PPh Pasal 4 ayat 2 dan PPN sesuai ketentuan.
Tidak ada batasan nilai untuk PPh pasal 23 dan PPh pasal 4 ayat 2. PPN dikenakan jika jasa tersebut
masuk katagori Jasa Kena Pajak (JKP). Untuk lebih jelasnya, berikut disajikan gambar skema
pemotongan/pemungutan pajak di desa atas transaksi berupa jasa.
Gambar 5.10
Pemungutan Pajak atas Belanja Jasa
Belanja Jasa
Ilustrasi Pengenaan Pajak atas Belanja Jasa
Seorang Bendahara Desa pada tanggal 10 Januari 2016 menggunakan jasa biro iklan untuk
memasang iklan di media massa dengan nilai pembayaran Rp1.100.000,00 (harga yg tertulis
di kuitansi). Biro iklan tersebut memiliki NPWP dan juga PKP.
Harga barang yang tertulis di kuitansi adalah harga termasuk PPN, sedangkan PPh Pasal 23
dihitung dari harga sebelum dikenakan PPN. Tarif PPh Pasal 23 sebesar 2% dikarenakan
memiliki NPWP. Besar PPh Pasal 23 terutang adalah:
Rp1.100.000,00 x 100/110 x 2% = Rp20.000,00
Catatan:
Untuk mencari harga barang sebelum PPN maka harga barang di kuitansi harus dikurangi PPN
(tarif 10%), jadi harga barang sebelum PPN adalah sebesar 100/110 dari harga kuitansi
(Rp1.100.000 x 100/110 = Rp1.000.000).
Apabila rekanan tidak memiliki NPWP maka tarif PPh Pasal 23 dikalikan 200%. Jadi besar PPh
Pasal 23 terutang adalah: Rp1.100.000 x 100/110 x 2% x 200% = Rp400.000.
Pengenakan Pajak atas Belanja Imbalan Penghasilan (PPh Pasal 21)
Terhadap pemberian imbalan penghasilan kepada orang pribadi misalnya Siltap, tunjangan, honor
kepada kepala desa, ketua DPD atau perangkat desa dikenakan pemotongan pajak PPh Pasal 21
tanpa ada PPN. Pengenaan PPh pasal 21 tergantung dari status/kondisi penerima imbalan tersebut.
JIka penerimanya adalah PNS maka dikenakan PPh Final. Jika bukan, maka dilihat besaran
penghasilannya. PPh Pasal 21 dikenakan atas penghasilan yang melebihi dari Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP). Penghitungan PPh pasal 21 juga dibedakan antara penghasilan tetap dan
penghasilan tidak tetap. Untuk lebih jelasnya, berikut disajikan gambar skema pemungutan pajak
di desa atas transaksi pemberian imbalan pengahasilan.
Ilustrasi I Pengenaan Pajak atas Imbalan Penghasilan ‐ PNS
Desa Sukatani membentuk suatu tim yang anggotanya terdiri dari beberapa PNS. Bendahara
Desa membayar honorarium tim pada tanggal 15 Februari 2016 dengan rincian sebagai
berikut:
Nama Gol Honorarium
Syukri IV/a 1.200.000,‐
Gatot III/b 1.000.000,‐
Arief II/b 900.000,‐
Penghitungan PPh Pasal 21
Nama Gol Honorarium Tarif PPh Terutang
Syukri IV/a 1.200.000,‐ 15% 180.000,‐
Gatot III/b 1.000.000,‐ 5% 50.000,‐
Arief II/b 900.000,‐ 0% ‐
Ilustrasi II Pengenaan Pajak atas Imbalan Penghasilan – Upah Harian
Mukidi (status belum menikah) pada bulan Mei 2016 bekerja 11 hari pada Desa Sukatani
yaitu pembangunan jembatan desa dengan menerima upah sebesar Rp 200.000,00 per hari.
Penghitungan PPh Pasal 21
Karena penghasilan yang diterima mukidi sehari masih dibawah Rp 450.000,00 per hari (lihat
PMK 102/PMK.010/2016) maka penghasilan Mukidi tidak dikenakan PPh Pasal 21. Sampai
dengan hari ke‐11, akumulasi penghasilan Mukidi dalam sebulan sebesar Rp2.200.000,00
berarti masih di bawah batasan Rp4.500.000,00 sebulannya maka Mukidi tidak dikenakan
PPh Pasal 21 atas akumulasi per bulannya.
Bendahara Desa kemudian mencatat pemotongan dan penyetoran pajak pada BKU dan Buku
Pajak. Jumlah nilai yang dicatat adalah sebesar jumlah pajak yang dipotong/pungut yang
dihitung dari nilai transaksi. Untuk penyetoran pajak ke Kas Negara dicatat sebesar nilai Surat
Setoran Pajak (SSP) yang dibuatnya. Sejak 1 Juli 2016, mekanisme penyetoran pajak
dilakukan dengan E‐Billing.
Kewajiban Pemungutan Pajak Daerah
Khusus untuk pajak daerah seperti pajak restoran (saat pembelian konsumsi makan‐minum),
kewajiban pemungutannya disesuaikan dengan kondisi daerah masing‐masing. Bendahara Desa
dapat melakukan pemungutan pajak daerah tersebut jika diberi amanat yang diatur dalam
Peraturan Bupati/Walikota. Peraturan ini juga sekaligus menjadi acuan bagi Bendahara Desa
terkait mekanisme tata cara pemungutan, bukti pemungutan, pencatatan serta penyetorannya ke
kas daerah. Jika tidak ada peraturan yang mendasarinya maka Bendahara Desa tidak boleh
melakukan pemungutan dan penyetoran pajak daerah.
D. PENGADAAN BARANG DAN JASA (PBJ DESA)
PBJ Desa sebagaimana diatur dalam pasal 105 PP Nomor 43 Tahun 2014, pelaksanaannya diatur
lebih lanjut dengan peraturan bupati/walikota mengenai tata cara pengadaan barang dan jasa di
desa, yang disusun dengan berpedoman pada ketentuan perundang‐undangan yang berlaku.
Ketentuan yang dimaksud adalah Peraturan Kepala LKPP Nomor 13 Tahun 2013 sebagaimana telah
diubah dengan Perka LKPP Nomor 22 Tahun 2015 tentang Pedoman Tata Cara Pengadaan
PBJ Desa tidak mengacu kepada Perpres Nomor 54 Tahun 2010 beserta perubahannya disebabkan
beberapa kondisi riil di lapangan, antara lain yaitu jumlah desa yang sangat banyak, pola maksimal
susunan organisasi dan tata kerja (SOTK) pemerintah desa, tingkat pendidikan kepala desa dan
perangkat desa yang belum memadai serta geografis desa yang jaraknya ke ibukota kabupaten
relatif jauh.
Selain itu, jika PBJ Desa harus mengacu kepada Perpres Nomor 54 Tahun 2010, maka banyak
persyaratan yang tidak mampu dipenuhi desa, antara lain yaitu memiliki organisasi pengadaan
(PA/KPA, ULP, PPK, dan PPHP), sertifikasi untuk PPK dan pejabat pengadaan/ULP, persyaratan ijin
usaha dan NPWP bagi penyedia barang dan jasa.
Dalam Perka LKPP 13/2013 jo 22/2015 disebutkan bahwa setiap desa wajib membentuk Tim
Pengelola Kegiatan (TPK) yang ditetapkan dengan surat keputusan Kepala Desa. Unsur TPK terdiri
dari pemerintah desa dan unsur Lembaga Kemasyarakatan Desa. Namun demikian, susunan
maupun unsurnya harap disesuaikan dengan kapasitas (jumlah) dan kapabilitas SDM serta
anggaran (APBDes) yang dimiliki.
PBJ Desa pada prinsipnya dilakukan dengan cara SWAKELOLA yaitu memaksimalkan penggunaan
material/bahan dari wilayah setempat, dilaksanakan secara gotong royong dengan melibatkan
partisipasi masyarakat setempat, untuk memperluas kesempatan kerja, dan pemberdayaan
masyarakat setempat. Apabila tidak dapat dilakukan dengan cara swakelola baik sebagian maupun
seluruhnya, maka dapat dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa yang dianggap mampu untuk
melaksanakan pekerjaan.
Contoh kebutuhan barang/jasa dalam rangka mendukung pelaksanaan Swakelola antara lain:
- Pembelian material pada swakelola pembangunan jembatan desa;
- Sewa peralatan untuk swakelola pembangunan balai desa;
- Penyediaan tukang batu dan tukang kayu untuk swakelola pembangunan Posyandu.
- Pembelian komputer, printer, dan kertas.
- Langganan internet.
- Pembelian meja, kursi, dan alat kantor.
Penyedia Barang/Jasa yang dianggap mampu dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa harus
memenuhi persyaratan memiliki tempat/lokasi usaha, kecuali untuk tukang batu, tukang kayu, dan
sejenisnya. Selain ketentuan tersebut, Penyedia Barang/Jasa untuk pekerjaan konstruksi, mampu
menyediakan tenaga ahli dan/atau peralatan yang diperlukan dalam pelaksanaan pekerjaan.
Dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa melalui penyedia, prosedurnya sebagai berikut:
1. Pengadaan Barang/Jasa dengan nilai sampai dengan Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah), TPK membeli barang/jasa kepada 1 (satu) Penyedia Barang/Jasa, tanpa permintaan
penawaran tertulis, selanjutnya TPK melakukan negosiasi (tawar‐menawar) dengan Penyedia
Barang/Jasa untuk memperoleh harga yang lebih murah.
2. Pengadaan Barang/Jasa dengan nilai di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai
dengan Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), TPK membeli barang/jasa kepada 1 (satu)
Penyedia Barang/Jasa dengan cara meminta penawaran secara tertulis dari Penyedia
Barang/Jasa dengan dilampiri daftar barang/jasa (rincian barang/jasa atau ruang lingkup
pekerjaan, volume, dan satuan). Berdasarkan penawaran dari penyedia barang/jasa,
selanjutnya TPK melakukan negosiasi (tawar‐menawar) untuk memperoleh harga yang lebih
murah.
3. Pengadaan Barang/Jasa dengan nilai di atas Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), TPK
mengundang dan meminta 2 (dua) penawaran secara tertulis dari 2 (dua) Penyedia
Barang/Jasa yang berbeda dilampiri dengan daftar barang/jasa (rincian barang/jasa atau
ruang lingkup pekerjaan, volume, dan satuan) dan spesifikasi teknis barang/jasa. Selanjutnya
TPK menilai pemenuhan spesifikasi teknis barang/jasa terhadap kedua Penyedia Barang/Jasa
yang memasukan penawaran. Apabila spesifikasi teknis barang/jasa yang ditawarkan
dipenuhi oleh kedua Penyedia Barang/Jasa, maka dilanjutkan dengan proses negosiasi
(tawar‐menawar) secara bersamaan. Namun jika dipenuhi oleh salah satu Penyedia
Barang/Jasa, maka TPK tetap melanjutkan dengan proses negosiasi (tawar‐menawar) kepada
Penyedia Barang/Jasa yang memenuhi spesifikasi teknis tersebut. Jika tidak dipenuhi oleh
kedua Penyedia Barang/Jasa, maka TPK membatalkan proses pengadaan. Negosiasi (tawar‐
Batasan nilai Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana dimaksud di atas dapat ditetapkan berbeda
oleh Bupati/Walikota sesuai dengan kondisi wilayah masing‐masing dan dalam batas kewajaran.
E. PELAKSANAAN PEMBIAYAAN DESA
Pelaksanaan pembiayaan desa yaitu proses penerimaan dan pengeluaran pembiayaan desa
sebagaimana yang telah tercantum dalam APBDesa. Pembiayaan desa meliputi meliputi semua
penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik
pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun‐tahun anggaran berikutnya.
SiLPA desa tahun sebelumnya sebagai penerimaan pembiayaan, penggunaanya diatur dan
disepakati dalam musyawarah desa. Begitu pun halnya dengan pengeluaran pembiayaan seperti
penyertaan modal pemerintah desa atau pembentukan Dana Cadangan harus disepakati terlebih
dahulu dalam musyawarah desa dan ditetapkan dalam Peraturan Desa.
Pelaksanaannya penyertaan modal dilakukan melalui pengajuan SPP pembiayaan yang diajukan
oleh Kaur Keuangan, diverifikasi sekretaris desa untuk selanjutnya disetujui oleh Kepala Desa.
Setelah disetujui oleh kepala desa, bendahara desa selanjutnya mengeksekusi dengan mentrasfer
ke rekening dana cadangan ataupun ke rekening BUMDes penerima.
F. SOAL DAN LATIHAN
1. Jelaskan persyaratan‐persyaratan dalam proses pencairan Dana Desa Tahap II dari RKUD ke
RKD?
2. Jelaskan secara singkat mekanisme pengadaan barang/jasa di desa!
3. Jelaskan prosedyr pemerintah Desa dalam melakukan Penyertaan Modal ke BUM Desa?
5. Apa saja yang dilakukan sekretaris desa saat memverifikasi SPP dari pelaksana kegiatan?
7. Apakah pungutan‐pungutan desa termasuk katagori pungli? Jelaskan!
8. Bagaimana pencatatan penerimaan dari tanah bengkok?
9. Jelaskan kedudukan antara Bendahara Desa dengan Kaur Keuangan dalam pengelolaan
keuangan desa?
10. Jelaskan perbedaan antara SPP Definitid dan SPP Panjar Kegiatan?
~
Penatausahaan keuangan desa yang merupakan bagian dari proses pengelolaan keuangan desa
adalah proses administrasi pencatatan kegiatan keuangan desa dengan menggunakan
formulir/dokumen/buku yang dilakukan oleh Bendahara Desa, pelaksana kegiatan yang melibatkan
fihak terkait lainnya. Bendahara Desa wajib melakukan pencatatan terhadap seluruh transaksi yang
ada yaitu berupa penerimaan pendapatan desa dan pengeluaran belanja desa serta pembiayaan
desa. Pelaksana kegiatan melakukan penatausahaan terkait kegiatan yang dilakukannya.
Bendahara Desa melakukan pencatatan secara sistematis dan kronologis atas transaksi‐transaksi
keuangan yang terjadi. Penatausahaan keuangan desa yang dilakukan oleh Bendahara Desa
dilakukan dengan cara sederhana, yaitu berupa PEMBUKUAN dan belum menggunakan jurnal
akuntansi.
A. PENATAUSAHAAN PENDAPATAN DESA
Penatausahaan pendapatan desa adalah proses pencatatan yang dilakukan oleh Bendahara Desa
terhadap seluruh transaksi penerimaan pendapatan desa yang meliputi Pendapatan Asli Desa,
Transfer, dan Pendapatan Lain‐Lain. Pihak yang terkait dalam proses penerimaan pendapatan desa
adalah pemberi dana (pemerintah pusat/provinsi/kabupaten/kota, masyarakat, dan pihak ketiga),
penerima dana (bendahara desa/pelaksana kegiatan/kepala dusun), dan bank.
Buku yang terkait dengan penatausahaan pendapatan desa terdiri dari Buku Kas Umum, Buku Bank
dan Buku Rincian Pendapatan. Selain Bendahara Desa, Pelaksana Kegiatan juga melakukan
penatausahaan terkait penerimaan khususnya terkait swadaya, partisipasi dan gotong royong
melalui Buku Kas Pembantu Kegiatan.
Setiap pencatatan penerimaan harus disertai dengan bukti yang lengkap dan sah. Dokumen
sumber yang dijadikan dasar pencatatan penerimaan pendapatan oleh Bendahara Desa antara lain
yaitu:
kuitansi penerimaan,
tanda terima retribusi (yang dibuat oleh petugas pemungut),
tanda terima pungutan,
tanda terima swadaya tunai (swadaya berupa uang),
tanda terima barang (swadaya berupa barang),
daftar hadir (swadaya berupa tenaga), dan
nota transfer/nota kredit.
Atas penerimaan tunai yang diterimanya, Bendahara Desa harus membuat bukti kuitansi tanda
terima dan dicatat pada Buku Kas Umum Desa. Sedangkan untuk penerimaan transfer yang masuk
ke dalam RKD, Bendahara Desa akan mendapat informasi dari bank berupa nota kredit.
Berdasarkan nota kredit, Bendahara Desa melakukan pencatatan ke dalam Buku Bank Desa.
Penerimaan berupa kas maupun nonkas/transfer harus disertai dengan bukti‐bukti yang lengkap
dan sah, serta dicatat secara benar dan tertib.
Atas bukti penerimaan swadaya masyarakat berupa uang/barang/tenaga, akan dicatat dan
dilaporkan oleh Bendahara Desa sebagai realisasi Pendapatan Swadaya Partisipasi dan Gotong
Royong dalam kelompok Pendapatan Asli Desa.
Selain pencatatan pada Buku Kas Umum dan Buku Bank, juga dilakukan pencatatan pada Buku
Pembantu Rincian Pendapatan. Tujuannya adalah agar diperoleh informasi mengenai pendapatan
berdasarkan klasifikasinya yang nanti akan memudahkan penyusunan Laporan Realisasi APBDesa.
Selain Bendahara Desa, Pelaksana Kegiatan juga melakukan pencatatan penerimaan pendapatan
dari swadaya masyarakat. Atas penerimaan berupa material dan tenaga yang diterima dari
masyarakat, Pelaksana Kegiatan harus mengkonversinya ke dalam nilai rupiah. Pencatatan yang
dilakukan oleh Pelaksana Kegiatan dilakukan dalam Buku Kas Pembantu Kegiatan. Selain itu
Pelaksana Kegiatan juga harus menyusun Laporan Kegiatan setelah kegiatan selesai dilaksanakan.
Penatausahaan belanja desa adalah proses administrasi pencatatan terhadap seluruh transaksi
pengeluaran belanja desa yang dilakukan oleh Bendahara Desa ataupun Pelaksana Kegiatan.
Belanja desa meliputi semua pengeluaran dari RKD yang merupakan kewajiban desa dalam satu
tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh desa. Belanja desa
digunakan untuk melaksanakan program dan kegiatan sebagaimana yang telah direncanakan
dalam APBDesa.
Dokumen atau formulir yang terkait dengan Penatausahaan Belanja Desa terdiri dari Rencana
Anggaran Biaya (RAB), Surat Permintaan Pembayaran (SPP), Surat Pernyataan Tanggung Jawab
Belanja (SPTB), dan bukti kuitansi. Buku yang digunakan dalam penatausahaan belanja berupa
Buku Kas Umum (Tunai), Buku Bank dan Buku Kas Pembantu Pajak yang dikelolan Bendahara Desa
serta Buku Kas Pembantu Kegiatan yang dikelola Pelaksana Kegiatan. Selain itu terdapat tambahan
dokumen sebagai alat pengendalian berupa register SPP, register Kuitansi dan regiter pengedali
panjar.
1. Rencana Anggaran Biaya
Langkah awal yang harus dilakukan oleh Pelaksana Kegiatan setelah APBDesa ditetapkan
adalah mengajukan pendanaan untuk melaksanakan kegiatan. Pengajuan tersebut harus
disertai dengan dokumen antara lain yaitu RAB. Format RAB sebagai berikut:
Bidang :
Kegiatan :
Waktu Pelaksanaan :
Sumber Dana :
Output/Keluaran :
Anggaran
Kode Uraian
Volume Harga Satuan Jumlah
1 2 3 4 5
JUMLAH
..................20xx ..................20xx Desa....., ..................20xx
Mengesahkan, Telah Diverifikasi
Kepala Desa Sekretaris Desa Pelaksana Kegiatan
Setelah RAB disetujui, maka langkah selanjutnya berupa permintaan pembayaran/uang dari
Pelaksana Kegiatan kepada Bendahara Desa melalui Surat Permintaan Pembayaran (SPP) baik
yang bersifat definitif maupun yang bersifat panjar.
2. Surat Permintaan Pembayaran (Definitif)
Surat Permintaan Pembayaran (Definitif) berfungsi sebagai dasar permintaan dana/uang oleh
Pelaksana Kegiatan kepada Kepala Desa melalui Bendahara Desa. SPP merupakan dasar bagi
Bendahara Desa dalam meberikan pembayaran kepada pelaksana kegiatan setelah
mendapat persetujuan dari Kepala Desa. Bagi Sekretaris Desa, SPP berfungsi sebagai alat
kontrol untuk menguji kebenaran perhitungan dan ketersediaan dana (verifikasi). Format SPP
disajikan sebagai berikut:
Bidang : Nomor :
Kegiatan :
Waktu Pelaksanaan :
Rincian Pendanaan
Pagu Anggaran Pencairan s.d Permintaan Jumlah Sampai Sisa Dana
No Kode Uraian
(Rp) yang Lalu (Rp) Sekarang (Rp) Saat Ini (Rp) (Rp)
1 2 3 4 5 6 7 8
JUMLAH
Dalam rangka pengendalian, maka SPP dibuat sebanyak 3 rangkap yaitu:
Rangkap 1 (asli) untuk Bendahara Desa.
Rangkap 2 untuk Sekretaris Desa.
Rangkap 3 untuk Pelaksana Kegiatan.
Dalam pengajuannya, SPP dilampiri Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja (SPTB) dan SPJ
berupa bukti‐bukti transaksi (kuitansi).
a. Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja (SPTB)
Pengajuan SPP oleh Pelaksana Kegiatan harus dilampiri dengan Surat Pernyataan
Tanggung Jawab Belanja (SPTB). SPTB merupakan rekapitulasi SPJ yang telah dilakukan
oleh pelaksana kegiatan. Dalam SPTB ini ditambahkan kolom “Nama” dan “Nomor
Rekening Pihak Ketiga” untuk memfasilitasi pembayaran yang dilakukan melalui
transfer bank. Format SPTB disajikan sebagai berikut.
JUMLAH
Bukti‐bukti pengeluaran atau belanja tersebut di atas sebagaimana terlampir, untuk kelengkapan
administrasi dan pemeriksaan telah sesuai peraturan perundang‐undangan yang berlaku.
Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.
Desa....., ..................20xx
Pelaksana Kegiatan
........................
b. Bukti Kuitansi
Selain SPTB, pengajuan SPP juga harus dilampiri dengan bukti transaksi. Bukti transaksi
adalah dokumen pendukung yang berisi data transaksi yang dibuat setelah adanya
transaksi yang digunakan sebagai dasar pencatatan. Bukti transaksi minimal memuat
data pihak yang mengeluarkan atau yang membuat. Bukti transaksi yang baik adalah di
dalamnya tertulis nama beserta jabatan dari pihak yang membuat, nama beserta
jabatan yang memverifikasi, nama dan jabatan yang menyetujui, dan nama dari pihak
yang menerima. Contoh bukti transaksi antara lain yaitu berupa kuitansi, faktur, surat
perjanjian, surat penerimaan barang, nota kontan (nota), nota debet, nota kredit, dan
memo internal.
Selain itu bukti transaksi juga harus diberi nomor dan diarsipkan sehingga dapat
dengan mudah ditelusuri jika diperlukan. Bukti transaksi (termasuk dokumen
pencatatan/BKU/buku pembantu) adalah dokumen resmi milik Pemerintah Desa, dan
berfungsi sebagai sumber data dalam kegiatan audit, serta bisa menjadi barang bukti
dalam proses hukum (misalnya dalam kasus dugaan penyelewengan keuangan dan
atau tindak pidana lain terkait keuangan desa). Oleh karena itu, tindakan secara
sengaja menghilangkan, merusak, mengubah, baik seluruh atau sebagian dari bukti
KUITANSI PENGELUARAN
Nomor Kuitansi: .........................
Sudah terima dari : …….........……………………………………………………………………
Banyaknya uang : == ………………………………………………………………..………...….. ==
Untuk Pembayaran : .........................................................................................
Nama Kegiatan : .........................................................................................
Kode Rekening Belanja : .........................................................................................
Potongan Pajak ...................., ................
Nilai : .............................. Yang Menerima,
Pot. Pajak PPN : ..............................
Pot. PajakPenghasilan : ..............................
Total yg dibayarkan : .............................. ....................
Rp.
Menyetujui Dibayar Oleh
Kepala Desa Bendahara Desa
.................... ....................
3. Surat Permintaan Pembayaran (Panjar Kegiatan)
SPP Panjar Kegiatan adalah permintaan dana/uang muka kepada Pelaksana Kegiatan untuk
melaksanakan kegiatan tertentu. Berbeda dengan SPP Definitif yang melampirkan bukti
transaksi yang telah dilaksanakan, lampiran SPP Panjar Kegiatan berupa rencana
pembelian/pengeluran yang akan dilakukan.
Format SPP Panjar Kegiatan adalah sebagai berikut.
Bidang :
Kegiatan :
Keperluan :
Jumlah yang Diminta:
Perincian rencana penggunaan dana
No Kode Uraian Jumlah (Rp) Keterangan
1 2 3 4 5
JUMLAH
…………… 20xx …………… 20xx Desa....., ..................20xx
Disetujui Telah Diverifikasi
Kepala Desa Sekretaris Desa Pelaksana Kegiatan
Seluruh SPP (definitif) akan dikompilasi pada akhir periode sebagai dasar penyusunan
Laporan Realisasi APB Desa oleh Bendahara Desa. Oleh karena itu Bendahara Desa harus
membuat Register SPP. Walaupun Register SPP tidak diatur dalam Permendagri Nomor 113
Tahun 2014, pencatatan ini sangat diperlukan untuk memudahkan penyusunan laporan
keuangan.
Selain membuat Register Surat Perintah Pembayaran (Register SPP), Bendahara Desa
memerlukan Register Kuitansi Pembayaran (Register Kuitansi) sebagai alat pengendalian
pengeluaran belanja.
Dokumen‐dokumen yang terkait dengan penatusahaan belanja disajikan dalam pembahasan
bab berikutnya.
Pembiayaan desa meliputi meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun
pada tahun‐tahun anggaran berikutnya. Penatausahaan pembiayaan desa adalah proses
pencatatan yang dilakukan oleh Bendahara Desa terhadap seluruh transaksi pembiayaan desa yang
meliputi penerimaan dan pengeluaran pembiayaan.
Bendahara Desa harus melakukan penatausahaan atas pembiayaan desa berupa pencatatan ke
dalam dokumen pencatatan untuk semua penerimaan maupun pengeluaran pembiayaan.
Sebagaimana halnya penerimaan pendapatan, maka atas penerimaan pembiayaan yang diterima
secara tunai maupun transfer (misalnya atas transaksi penjualan hasil kekayaan desa yang
dipisahkan), Bendahara Desa harus membuat bukti kuitansi tanda terima dan dicatat pada Buku
Kas Umum Desa dan Buku Bank Desa (untuk penerimaan melalui transfer).
Begitupun halnya dengan pengeluaran pembiayaan, harus dilakukan pencatatan pada Buku Kas
Umum Desa dan Buku Bank Desa (untuk pengeluaran melalui transfer). Pencatatan penerimaan
maupun pengeluaran pembiayaan baik berupa kas maupun nonkas/transfer harus disertai dengan
bukti‐bukti yang lengkap dan sah, serta dicatat secara benar dan tertib.
Selain pencatatan pada Buku Kas Umum dan Buku Bank, juga dilakukan pencatatan pada Buku
Rincian Pembiayaan walaupun frekuensi transaksi pembiayaan relatif sedikit. Tujuannya adalah
agar diperoleh informasi mengenai pembiayaan berdasarkan klasifikasinya yang nanti akan
memudahkan penyusunan laporan keuangan. Dokumen‐dokumen yang terkait dengan
penatusahaan pendapatan disajikan dalam pembahasan bab berikutnya
D. DOKUMEN PENATAUSAHAAN KEUANGAN DESA
1. Buku Kas Umum
Tidak seperti akuntansi pada umumnya, pembukuan keuangan desa dilakukan secara lebih
sederhana. Hal ini bisa dilihat dari penggunaan Buku Kas Umum Desa, yang hanya digunakan
untuk mencatat transaksi yang dilakukan secara TUNAI (baik penerimaan pendapatan
maupun pengeluaran belanja), dan dilakukan secara kronologis. Jadi penerimaam
pendapatan dan pengeluaran belanja kegiatan yang dilakukan secara tunai oleh Bendahara
Desa akan dicatat dalam Buku Kas Umum Desa.
Khusus transaksi pemotongan dan penyetoran pajak oleh Bendahara Desa selain dicatat pada
Buku Kas Umum Desa juga dicatat dalam Buku Kas Pembantu Pajak. Hal ini dilakukan untuk
memudahkan memperoleh informasi mengenai kewajiban perpajakan Bendahara Desa.
Format Buku Kas Umum sebagai berikut:
BUKU KAS UMUM ‐ TUNAI
PEMERINTAH DESA...........
TAHUN ANGGARAN 20xx
JUMLAH
Desa....., ..................20xx
Mengetahui,
Kepala Desa Bendahara Desa
........................ ........................
Dalam Buku Kas Umum Desa, terdapat kolom “Kode Rekening” yang diisi dengan kode
rekening, namun digunakan hanya untuk pencatatan transaksi keuangan yang
mempengaruhi akun pendapatan, belanja, dan pembiayaan sebagaimana tertuang dalam
APBDesa. Sedangkan transaksi yang tidak mempengaruhi akun tersebut tadi, misalnya
pengambilan uang tunai dari bank, pemberian panjar, dan transfer kepada pihak ketiga, tidak
perlu diisi dengan kode rekening.
Kolom “Nomor Bukti” agar diisi dengan nomor intern yang diberikan secara teratur dan
sistematis sehingga mudah untuk ditelusuri.
Kolom “Pengeluaran Kumulatif” diisi dengan jumlah sebesar akumulasi pengeluaran saja
(tidak termasuk penerimaan). Jadi jika pada baris berikutnya adalah transaksi penerimaan
Kolom “Saldo” menunjukkan jumlah akumulasi uang dari transaksi penerimaan maupun
pengeluaran kas.
Pada setiap akhir bulan Buku Kas Umum Desa harus ditutup secara tertib, serta
ditandatangani oleh Bendahara Desa dan Kepala Desa.
2. Buku Bank
Berbeda dengan Buku Kas Umum Desa, Buku Bank Desa hanya digunakan untuk pencatatan
transaksi keuangan yang dilakukan melalui transfer bank baik penerimaan maupun
pengeluaran termasuk mutasi kas. Pencatatan dalam Buku Bank Desa juga dilakukan secara
kronologis. Format Buku Bank sebagai berikut:
BUKU BANK DESA
PEMERINTAH DESA...........
TAHUN ANGGARAN 20xx
Bulan :
Nama Bank :
Nomor Rek :
Pemasukan Pengeluaran
Uraian Nomor
No Tanggal Penarikan Biaya Admin Saldo
Transaksi Bukti Setoran (Rp) Bunga (Rp) Pajak (Rp)
(Rp) (Rp)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Total Transaksi Bulan Ini
Total Transaksi Kumulatif
Desa....., ..................20xx
Kepala Desa Bendahara Desa
........................ ........................
Kolom “Nomor Bukti” agar diisi dengan nomor intern yang diberikan secara teratur dan
sistematis sehingga mudah untuk ditelusuri.
Kolom “Bunga”, “Pajak”, dan “Biaya Administrasi”, diisi dengan jumlah yang nilainya
diperoleh dari rekening koran bank yang bersangkutan.
Pada setiap akhir bulan Buku Bank Desa harus ditutup secara tertib, serta ditandatangani
oleh Bendahara Desa dan Kepala Desa.
3. Buku Kas Pembantu Pajak
Buku Kas Pembantu Pajak digunakan untuk mencatat pemotongan dan penyetoran pajak
yang dilakukan oleh Bendahara Desa. Transaksi pemotongan dan penyetoran pajak ini dicatat
pada Buku Kas Umum Desa dan Buku Pajak.
BUKU KAS PEMBANTU PAJAK
PEMERINTAH DESA...........
TAHUN ANGGARAN 20xx
Pemotongan Penyetoran
No Tanggal Uraian Saldo
(Rp) (Rp)
1 2 3 4 5 6
JUMLAH
Desa....., ..................20xx
Mengetahui,
Kepala Desa Bendahara Desa
........................ ........................
Buku Kas Pembantu Pajak merupakan alat pengendali terhadap kewajiban perpajakan yang
dilakukan bendahara desa. Dengan buku ini dapat diketahui pemotongan dan penyetoran
perpajakan yang telah dilakukan oleh Bendahara Desa.
Buku Pembantu Rincian Pendapatan merupakan buku sebagai alat pengendali pencatatan
penerimaan pendapatan untuk tiap jenisnya agar pada saat penyusunan laporan realisasi
APBDesa khususnya pendapatan desa tidak mengalami kesulitan. Buku ini merupakan
tambahan diluar yang dipersyaratkan oleh Permendagri 113/2014. Format Buku Pembantu
Rincian Pendapatan sebagai berikut:
BUKU PEMBANTU RINCIAN PENDAPATAN
PEMERINTAH DESA...........
TAHUN ANGGARAN 20xx
Jenis Pendapatan Jumlah
No Uraian
PADesa Transfer Lain‐lain Pendapatan (Rp)
1 2 3 4 5 6
JUMLAH
Mengetahui, Desa....., ..................20xx
Kepala Desa Bendahara Desa
........................ ........................
Dengan Buku Pembantu Rincian Pendapatan ini maka setiap jenis pendapatan seperti
pendapatan hasil usaha, Dana Desa ataupun Alokasi Dana Desa dapat diketahui dengan
mudah. Hal ini diperlukan dalam penyusunan Laporan Realisasi APBDesa.
5. Register Surat Perintah Pembayaran (Register SPP)
Register SPP adalah sarana untuk mengendalikan dan mengontrol SPP yang telah diterbitkan
baik SPP Definitif maupun SPP Panjar Kegiatan. Pada akhir periode, register ini dapat
dijadikan kontrol dalam penyusunan Laporan Realisasi APB Desa oleh Bendahara Desa.
Format Register SPP disajikan sebagai berikut.
JUMLAH
Desa....., ..................20xx
Sekretaris Desa Bendahara Desa
........................ ........................
Sebagai alat pengendalian, Register SPP ini digunakan sebagai acuan dalam memberi nomor
SPP yang diajukan pelaksana kegiatan.
6. Register Kuitansi Pembayaran (Register Kuitansi)
Register Kuitansi Pembayaran (Register Kuitansi) adalah sarana untuk mengendalikan dan
mengontrol kuitansi. Pada akhir periode, register ini dapat dijadikan kontrol dalam
penyusunan Laporan Realisasi APB Desa oleh Bendahara Desa. Format Register Kuitansi
Pembayaran disajikan sebagai berikut.
PEMERINTAH DESA...........
REGISTER KUITANSI PEMBAYARAN
TAHUN ANGGARAN 20xx
No Tanggal No Bukti Uraian Pembayaran Jumlah (Rp)
1 2 3 4 5
JUMLAH
Desa....., ..................20xx
Sekretaris Desa Bendahara Desa
........................ ........................
7. Daftar Rekapitulasi Panjar Kegiatan
Daftar Rekapitulasi Panjar Kegiatan merupakan suatu daftar yang dibuat oleh Bendahara
Desa untuk mengetahui rincian panjar yang telah dikeluarkan kepada Pelaksana Kegiatan.
Format Daftar Rekapitulasi Panjar Kegiatan adalah sebagai berikut:
PEMERINTAH DESA...........
DAFTAR REKAPITULASI PANJAR KEGIATAN
TAHUN ANGGARAN 20xx
Periode :
Desa....., ..................20xx
Mengetahui,
Kepala Desa Bendahara Desa
........................ ........................
Dengan daftar ini maka akan diketahui panjar mana saja yang sudah dipertanggungjawabkan
oleh pelaksana kegiatan dan panjar yang masih terbuka belum di‐SPJ‐kan.
8. Buku Pembantu Rincian Pembiayaan
Buku Pembantu Rincian Pembiayaan merupakan buku sebagai alat pengendali pencatatan
penerimaan dan pengeluaran pembiayaan. Buku ini mencatat transaksi untuk tiap jenis
pembiayaan agar pada saat penyusunan laporan realisasi APBDesa khususnya yang terkait
pembiayaan desa tidak mengalami kesulitan. Buku ini merupakan tambahan diluar yang
dipersyaratkan oleh Permendagri 113/2014. Format Buku Pembantu Rincian Pembiayaan
sebagai berikut:
JUMLAH
Desa....., ..................20xx
Mengetahui,
Kepala Desa Bendahara Desa
........................ ........................
Dengan Buku Pembantu Rincian Pembiayaan ini maka setiap jenis pembiayaan dapat
diketahui dengan mudah. Hal ini diperlukan dalam penyusunan Laporan Realisasi APBDesa.
9. Buku Kas Pembantu Kegiatan
Selain Bendahara Desa, Pelaksana Kegiatan juga melakukan pencatatan pengeluaran belanja.
Namun pengeluaran yang dicatat oleh Pelaksana Kegiatan adalah berupa pengeluaran
belanja kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya, baik berupa belanja barang dan jasa
maupun belanja modal; serta transaksi penerimaan panjar dari Bendahara Desa.
Pelaksana Kegiatan melakukan pencatatan pada Buku Kas Pembantu Kegiatan berdasarkan
SPP yang telah disetujui dan didukung dengan bukti transaksi yang lengkap dan sah. Selain itu
Pelaksana Kegiatan juga harus menyusun Laporan Kegiatan setelah kegiatan selesai
dilaksanakan.
Jumlah
Total Penerimaan Total Pengeluaran
Desa....., ..................20xx
Pelaksana Kegiatan
........................
Dokumen sumber yang dijadikan dasar pencatatan transaksi oleh Pelaksana Kegiatan ke
dalam Buku Kas Pembantu Kegiatan antara lain:
kuitansi pengeluaran,
tanda terima panjar,
tanda terima barang (swadaya berupa barang), dan
daftar hadir (swadaya berupa tenaga).
Jika pada akhir pelaksanaan kegiatan masih terdapat saldo di Pelaksana Kegiatan, maka
dilakukan penyetoran sisa panjar kepada Bendahara Desa.
Kolom “Nomor Bukti” agar diisi dengan nomor intern yang diberikan secara teratur dan
sistematis sehingga mudah untuk ditelusuri.
Pada setiap akhir bulan Buku Kas Pembantu Kegiatan harus ditutup secara tertib dan
ditandatangani oleh Pelaksana Kegiatan.
Sebagaimana diuraikan dalam bagian sebelumnya bahwa Bendahara Desa harus melakukan tutup
buku setiap akhir bulan secara tertib, meliputi Buku Kas Umum Desa, Buku Bank Desa, Buku
Pembantu Pajak, Buku Rincian Pendapatan, dan Buku Rincian Pembiayaan. Penutupan buku ini
dilakukan bersama dengan Kepala Desa. Selain itu, Bendahara Desa wajib menyusun Laporan
Pertanggungjawaban Bendahara Desa sebagai wujud tanggung jawabnya mengelola keuangan
desa, sebagaimana diamanatkan dalam Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 pasal 35. Laporan ini
harus diverifikasi terlebih dahulu oleh Sekretaris Desa untuk membandingkan antara saldo
pembukuan dengan saldo riil (berupa kas tunai dan saldo Rekening Kas Desa), untuk kemudian
disampaikan kepada Kepala Desa setiap bulan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Desa menggambarkan arus uang masuk yang diterima
dari penerimaan pendapatan desa; dan arus uang keluar untuk pengeluaran belanja desa. Arus kas
tersebut tergambar pada Buku Kas Umum Desa dan Buku Bank Desa. Berikut adalah contoh format
Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Desa.
Saldo awal diperoleh dari saldo bulan sebelumnya; sedangkan jumlah penerimaan dan jumlah
pengeluaran diperoleh dari penjumlahan kolom penerimaan pada Buku Kas Umum Desa dan Buku
Bank Desa; dan jumlah pengeluaran diperoleh dari penjumlahan kolom pengeluaran Buku Kas
Umum Desa dan Buku Bank Desa.
Laporan Kegiatan oleh Pelaksana Kegiatan disusun setelah kegiatan telah selesai dilaksanakan dan
telah ada persetujuan/pengesahan belanja oleh kepala desa melalui dokumen SPP. Laporan
kegiatan mencakup kegiatan‐kegiatan yang telah selesai dilaksanakan beserta uraian
hasil/keluaran kegiatan dan biaya yang telah dikeluarkan. Laporan ini sekaligus juga sebagai media
pemberitahuan tambahan aset (jika ada). Jika keluaran berupa aset yang merupakan bagian
kekayaan milik desa maka harus dicatat dalam buku inventaris desa dan dilaporkan dalam Laporan
Kekayaan Milik Desa. Laporan kegiatan ini didukung oleh lampiran berupa Berita Acara Serah
Terima Barang dari penyedia/pihak ketiga kepada pelaksana kegiatan/kepala desa.
G. SOAL DAN DISKUSI
1. Sebutkan dokumen‐dokumen yang dikelola oleh bendahara desa?
2. Buku Kas Umum mencatat seluruh transaksi baik kas maupaun bank yang dilakukan
bendahara desa, setujukah dengan pernyataan di atas? Jelaskan!
3. Bagaimana pencatatan pendapatan yang berasal dari swadaya masyarakat berupa barang
dan/atau tenaga kerja sukarela?
4. Bendahara Desa dalam penatausahaannya tidak memiliki Rincian Objek Belanja sebagaimana
diatur dalam regulasi sebelumnya yaitu Permendgari 37/2007. Apa konsukensinya bagi
Bendahara Desa?
5. Sebutkan contoh dokumen‐dokumen sumber sebagai dasar pencatatan di BKU?
6. Jelaskan bedanya antara SPP panjar dan SPP definitif?
7. Bagaimana pencatatan penerimaan dividen/bagi hasil dari BUMDesa dan Penyertaan Modal
pada BUM Desa?
8. Apa bentuk Laporan pertanggungjawaban Bendahara Desa? Jelaskan!
9. Jelaskan mekanisme pencatatan penerimaan pajak dan penyetoran pajak?
10. Apa yang dimaksud dengan SPTB? Jelaskan?
11. Bagaimana pencatatan panjar dilakukan oleh Bendahara Desa? Dengan cara bagaimana
Bendahara mengontrol panjar yang telah diserahkan ke Pelaksana Kegiatan?
~
A. PELAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DESA
Untuk memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas, maka kepala desa wajib untuk menyusun
dan menyampaikan laporan atas pelaksanaan tugas, kewenangan, hak, dan kewajibannya dalam
pengelolaan keuangan desa. Laporan tersebut bersifat periodik semesteran/tahapan dan tahunan,
yang disampaikan ke bupati/balikota. Laporan yang harus disusun terdiri dari:
Laporan Realisasi Pelaksanaan APBDesa
Laporan Realisasi Penggunaan Dana Desa.
1. Laporan Realisasi Pelaksanaan APBDesa
Format LRA APBDesa Semesteran Semester Pertama dan Semester Akhir Tahun sesuai
Permendagri 113 Tahun 2014 sebagai berikut:
Selain laporan semesteran realisasi pelaksanaan APB Desa untuk seluruh sumber dana yang
dikelola desa, khusus Dana Desa dibuatkan laporan tersendiri. Laporan Realisasi Penggunaan
Dana Desa disampaikan oleh kepala desa kepada bupati/walikota sebagai persyaratan untuk
setiap tahapan (pasal 25 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.07/2016). Laporan
Realisasi Penggunaan Dana Desa terdiri atas:
Laporan Realisasi Penggunaan Dana Desa tahun anggaran sebelumnya; dan
Laporan Realisasi Penggunaan Dana Desa Tahap 1.
Laporan Realisasi Penggunaan Dana Desa tahun anggaran sebelumnya disampaikan paling
lambat minggu kedua bulan Februari tahun anggaran berjalan. Laporan Realisasi Penggunaan
Dana Desa tahun anggaran sebelumnya ini menjadi salah satu persyaratan dalam pencairan
Dana Desa Tahap I. Laporan Realisasi Penggunaan Dana Desa Tahap 1 tahun berjalan
disampaikan paling lambat minggu kedua bulan Juli tahun anggaran berjalan. Laporan ini
menjadi syarat untuk pencairan Dana Desa Tahap II. Format Laporan Realisasi Penggunaan
Dana Desa sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
49/PMK.07/2016 adalah sebagai berikut.
Sesuai dengan PMK 49/2016, laporan realisasi penggunaan Dana Desa Tahap I bisa
disampaikan kepada bupati/walikota minimal telah digunakan 50% dari Dana Desa yang
diterima di Tahap I. Jadi, tidak mesti harus digunakan seluruhnya (100%) untuk dilaporkan ke
bupati/walikota yang menyebabkan pencairan tahap II Dana Desa menjadi terlambat karena
kesalahan persepsi ini.
Hal lain yang perlu diperhatikan terkait penggunaan Dana Desa adalah Sisa Dana Desa. Atas
Sisa Dana Desa yang tidak wajar (>30%), bupati/walikota akan memberikan sanksi
administrasi berupa pengurangan Dana Desa. Hal ini dikarenakan Sisa Dana Desa yang tidak
wajar tersebut mengindikasikan adanya penggunaan yang tidak sesuai dengan prioritas, dan
atau terdapat penyimpanan uang dalam bentuk deposito lebih dari 2 (dua) bulan.
Laporan Pertanggungjawaban Realisasi Pelaksanaan APBDesa
Laporan Kekayaan Milik Desa per 31 Desember Tahun Anggaran berkenaan.
Laporan Program Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang Masuk ke Desa.
Peraturan Desa tentang Laporan Pertanggungjawaban Realisasi Pelaksanaan APBDesa selanjutnya
disampaikan kepada bupati/walikota melalui camat.
2 BELANJA DESA
Kegiatan ....
SURPLUS / DEFISIT
3 PEMBIAYAAN
3.1 Penerimaan Pembiayaan
3.1.1 SILPA
3.1.2 Pencairan Dana Cadangan
3.1.3 Hasil Penjualan Kekayaan Desa yang Dipisahkan
JUMLAH (Rp)
Laporan KMD merupakan hal yang baru bagi desa karena belum pernah diatur sebelumnya
dalam ketentuan mengenai desa sebelum terbitnya UU Desa. Oleh karena itu sebagai
langkah awal penyusunan Laporan KMD maka harus dilakukan inventarisasi aset desa.
Inventarisasi aset desa paling lambat 2 (dua) tahun sejak UU Desa berlaku (UU Nomor 6
tahun 2014 pasal 116 ayat 4). Inventarisasi aset desa merupakan hal penting yang harus
dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota untuk memberi kejelasan mengenai aset desa
baik jumlah maupun nilainya.
Berikut adalah format Laporan Kekayaan Milik Desa
Gambar 7.4
Format Laporan Kekayaan Milik Desa
PEMERINTAH DESA .......
LAPORAN KEKAYAAN MILIK DESA
SAMPAI DENGAN 31 DESEMBER 20...
TAHUN N
TAHUN N-1
URAIAN (Tahun Periode
(Tahun Sebelumnya)
Pelaporan)
I. ASET DESA
A. ASET LANCAR
1. Kas Desa
a. Uang Kas di Bendahara Desa
b. Rekening Kas Desa
2. Piutang
a. Piutang Sewa Tanah
b. Piutang Sewa Gedung
c. dst......
3. Persediaan
a. Kertas Segel
b. Materai
c. dst......
d. .........
JUMLAH ASET LANCAR
B. ASET TIDAK LANCAR
1. Investasi Permanen
- Penyertaan Modal Pemerintah Desa
Laporan Kekayaan Milik Desa memiliki banyak pos/rekening yang bersifat non keuangan
yang tidak ada pembukuannya di bendahara desa ataupun sekretaris desa, sehingga untuk
penyusunannya diperlukan langkah‐langkah teknis. Untuk keperluan penyusunan Laporan
KMD tahun berjalan, cara memperoleh saldo masing‐masing akunnya adalah sebagai berikut:
a. Akun Kas di Bendahara Desa, saldonya diambil dari BKU di akhir tahun setelah ditutup,
sedangkan Akun Rekening Kas Desa diambil dari Buku Bank setelah sebelumnya
dilakukan rekonsiliasi dengan rekening koran.
b. Akun Piutang, pengisiannya dengan melakukan inventarisasi atas hak Desa yang belum
diterima sampai dengan tanggal pelaporan. Hak Desa diketahui misalnya dari dokumen
perjanjian sewa, dimana pihak ketiga sudah menikmati jasa/pelayanan yang diberikan
desa, namun belum membayar kewajibannya. Contoh lainnya terkait pendapatan
transfer misalnya terdapat pendapatan berupa dana transfer yang telah ditetapkan
dalam surat keputusan (Dana Desa, ADD, dll) sehingga sudah menjadi hak, namun
hingga akhir tahun belum diterima.
c. Persediaan, Dilakukan dengan cara menghitung sisa persediaan yang masih ada per
tanggal laporan, dengan menggunakan nilai pembelian terakhir.Contohnya: Materai,
ATK, Kertas Segel.
e. Aset Tetap berupa Tanah; Bangunan dan Gedung; Peralatan dan Mesin; Jalan, Jaringan
dan Irigasi; diambil dari hasil rekonsiliasi antara Buku Inventaris Pengurus Barang dan
Laporan Progres Kegiatan dari Pelaksana Kegiatan.
f. Dana Cadangan, dilakukan inventarisasi atas rekening bank yang menampung Dana
Cadangan yang dimiliki oleh pemerintah desa.
h. Kekayaan Bersih merupakan selisih antara Nilai Aset Desa dengan Kewajiban Jangka
Pendek.
Kotak 6.1: ASET DESA
Sesuai Permendagri 1 Tahun 2016 tentang pengelolaan aset desa, Aset Desa terdiri dari
1. Kekayaan asli desa;
2. Kekayaan milik desa yang dibeli atau diperoleh atas beban APBDesa;
3. Kekayaan desa yang diperoleh dari hibah dan sumbangan atau yang sejenis;
4. Kekayaan desa yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak dan/atau
diperoleh berdasarkan ketentuan peraturan undang‐undang dan Hasil kerja sama desa; dan
5. Kekayaan desa yang berasal dari perolehan lain yang sah. Kepala desa selakuk pemegang
kekuasaan pengelolaan aset desa dibantu oleh sekretaris desa selaku pembantu pengelola
aset desa serta kepala urusan umum/rumah tangga selaku petugas/pengurus aset desa.
3. Laporan Program Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang Masuk ke Desa
Laporan Program Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang Masuk ke Desa meliputi
informasi atas program sektoral dan program daerah yang diintegrasikan ke dalam
pembangunan desa, baik yang dikoordinasikan dan atau didelegasikan pelaksanaannya
kepada Desa per tanggal tertentu. Atas program yang masuk ke desa ini diinformasikan
kepada pemerintah desa oleh pelaksana kegiatan dari pemerintah supra desa yang
bersangkutan. Berikut adalah contoh Laporan Program Sektoral dan Program Daerah yang
Masuk ke Desa.
Kotak 6.2: Laporan Kepala Desa
Sesuai Permendagri 46 Tahun 2016 tentang Laporan Kepala Desa, terdapat 4 laporan yang dibuat
oleh kepala desa yaitu: 1) Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa akhir tahun anggaran; 2)
Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa akhir masa jabatan; 3) Laporan Keterangan
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa akhir tahun anggaran; dan 4) Informasi Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa. Laporan tersebut disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhir
tahun anggaran, namun laporan akhir masa jabatan batas waktunya adalah 5 (lima) bulan sebelum
akhir masa jabatan.
C. INFORMASI KEPADA MASYARAKAT
Hal ini sebagai wujud transparansi yang merupakan asas dari pengelolaan keuangan desa. Laporan
Pertanggungjawaban Realisasi Pelaksanaan APBDesa sesuai ketentuan dan keterbukaan publik
diinformasikan kepada masyarakat secara tertulis paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhir
tahun anggaran dengan media informasi yang mudah diakses oleh masyarakat, antara lain papan
pengumuman, radio komunitas, dan media informasi lainnya.
D. LAPORAN TINGKAT PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA
Selain pemerintah desa, sebagai pelaksanaan fungsi pembinaan dan pengawasan, Pemerintah
Kabupaten/kota juga memiliki kewajiban untuk melaporkan kompilasi atas laporan‐laporan desa
yang ada di wilayahnya sesuai dengan regulasi. Laporan yang harus dibuat untuk tingkat
pemerintah kabupaten/kota terdiri dari:
Laporan realisasi Penyaluran dan Konsolidasi Penggunaan Dana Desa
Ikhtisar Laporan Pertanggungjawaban Realisasi Pelaksanaan APB Desa
1. Laporan Realisasi Penyaluran dan Konsolidasi Penggunaan Dana Desa
Berdasarkan Laporan Penggunaan Dana Desa yang disampaikan oleh Kepala Desa yang ada di
wilayah kabupaten/kota, Bupati/Walikota menyusun dan menyampaikan Laporan Realisasi
Penyaluran dan Konsolidasi Penggunaan Dana Desa kepada Menteri Keuangan c.q Direktur
Jenderal Perimbangan Keuangan, dengan tembusan kepada Gubernur, Menteri Dalam
Negeri, dan Menteri Desa, Pembangunan Darah Tertinggal dan Transmigrasi. Laporan
Realisasi Penyaluran dan Konsolidasi Penggunaan Dana Desa terdiri atas:
Laporan Realisasi Penyaluran dan Konsolidasi Penggunaan Dana Desa tahun anggaran
sebelumnya; dan
Laporan Realisasi Penyaluran dan Konsolidasi Penggunaan Dana Desa Tahap 1.
Laporan Realisasi Penggunaan Dana Desa tahun anggaran sebelumnya disampaikan paling
lambat minggu keempat bulan Februari tahun anggaran berjalan; sedangkan Laporan
Realisasi Penggunaan Dana Desa Tahap 1 disampaikan paling lambat minggu keempat bulan
Juli tahun anggaran berjalan.
Format Laporan Realisasi Penyaluran dan Konsolidasi Penggunaan Dana Desa sebagaimana
tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.07/2016 adalah sebagai
berikut.
LAPORAN REALISASI PENYALURAN
JUMLAH TOTAL
Format Laporan Realisasi Penyaluran
151
Gambar 7.8
Format Laporan Konsolidasi Penggunaan Dana Desa
Sesuai amanat dari Permendagri Nomor 52 Tahun 2015 tentang Pedoman Penyusunan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2016 disebutkan bahwa dalam
rangka memenuhi akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan desa, pemerintah
kabupaten/kota wajib melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
pengelolaan keuangan desa pada pemerintah desa di wilayahnya sesuai maksud Pasal 44
ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Keuangan Desa.
Dalam kaitan itu, Pemerintah Desa harus menyusun Laporan Pertanggungjawaban Realisasi
Pelaksanaan APB Desa yang disampaikan kepada Bupati/Walikota dan disusun dengan
mempedomani Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014. Selanjutnya,
pemerintah daerah menyusun Laporan dimaksud dalam bentuk ikhtisar yang dilampirkan
dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah.
Begitu juga halnya dengan LKPD Tahun 2017 sebagaimana diatur dalam Permendagri nomor
31 Tahun 2016 tentang Penyusunan APBD Tahun 2017.
Dalam permendagri tersebut belum diatur format bakunya. Berikut disampaikan contoh
format Ikhtisar Laporan Pertanggungjawaban Realisasi Pelaksanaan APB Desa.
Format Ikhtisar Laporan Pertanggungjawaban Realisasi Pelaksanaan APB Desa ini belum
baku. Kolom 2 merupakan nama‐nama desa yang ada di wilayah kabupaten/kota.
E. SOAL DAN DISKUSI
1. Sebutkan laporan‐laporan yang diwajibkan disampaikan kepala desa?
2. Jelaskan bentuk pertanggungjawaban kepala desa?
3. Sebutkan laporan‐laporan yang harus dibuat oleh pemerintah kabupaten/kota?
4. Bagaimana melaporan LKMD bagi desa yang belum melakukan inventarisasi?
5. Jelaskan langkah‐langkah dalam menyusun laporan kekayaan milik desa!
6. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Laporan kegiatan pemerintah pusat/pemerintah daerah
yang masuk desa!
7. Apa yang dimaksud dengan Informasi kepada masyarakat? Jelaskan!
8. Laporan Dana Desa tahap I disampaikan ke desa dengan syarat minimal penggunaan sebesar
50%, jelaskan masksudnya dengan singkat!
~
A. PIHAK‐PIHAK TERKAIT YANG MELAKUKAN PENGAWASAN TERHADAP PENGELOLAAN
KEUANGAN DESA
Desa saat ini diberikan mandat dalam mengelola keuangan desa yang nilainya cukup besar dimana
sumber pendapatannya berasal dari dari Pendapatan Asli Daerah, Pendapatan Transfer dan Lain‐
lain pendapatan, sehingga banyak pemangku kepentingan yang diberikan amanat untuk melakukan
pengawasan keuangan desa baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti dalam gambar di
bawah ini:
Gambar 8.1
Stakeholders Pengawasan Desa
Masyarakat
BPD
KPK
Keuangan
Desa
Kecamatan
BPK
APIP
Dari tabel di atas terlihat bahwa APIP khususnya Inspektorat Kabupaten dalam konteks
pengawasan keuangan desa diberikan porsi atau peran yang paling besar dan strategis
dibandingkan pihak‐pihak lainnya untuk melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dana desa
dalam arti lebih luas dari tahap perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan sampai
pertanggungjawaban keuangan desa.
Dalam Jakwas Inspektorat Jenderal Dalam Negeri tahun 2016 (Permendagri 71 tahun 2015) salah
satu prioritas pengawasan yang bisa dilakukan oleh inspektorat Kabupaten terhadap penguatan
akuntabilitas kinerja dan keuangan desa adalah melakukan pengawasan terhadap tugas
pembantuan dan alokasi dana desa. Jauh Sebelum UU No. 6 tahun 2014 tentang desa lahir,
B. POLA PENGAWASAN YANG DILAKUKAN OLEH INSPEKTORAT KABUPATEN/KOTA
Sesuai standar Audit Intern Indonesia tahun 2013, maka Inspektorat Kabupaten dapat melakukan
pengawasan terhadap pengelolaan keuangan desa dengan pola audit yaitu audit terhadap
terhadap aspek keuangan tertentu yang secara definisi adalah audit atas aspek tertentu
pengelolaan keuangan yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atas dana yang dibiayai oleh
APBN/APBD dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa pengelolaan keuangan
telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan sebagaimana ketentuan
yang berlaku agar tujuan pengelolaan keuangan tepat sasaran.
Ruang lingkup audit pengelolaan keuangan desa oleh Inspektorat Kabupaten meliputi proses siklus
keuangan desa dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan
pertanggungjawaban atas tujuh sumber pendapatan desa yaitu pendapatan asli daerah, Dana
Desa, Alokasi Dana Desa, Bagi Hasil Pajak/Retribusi, Bantuan Keuangan Provinsi, Bantuan
Keuangan Kabupaten dan Lain‐lain pendapatan desa yang sah.
C. TAHAPAN AUDIT ATAS PENGELOLAAN KEUANGAN DESA
Audit yang dilakukan oleh Inspektorat terhadap pengelolaan keuangan desa dapat dilakukan
melalui beberapa tahap dan langkah kerja audit dimana masing‐masing tahap terdapat tujuan yang
harus dicapai oleh auditor, yaitu sebagai berikut:
No. Tahapan Audit Tujuan Audit
1. Survey Pendahuluan 1. Mendapatkan informasi latar belakang obyek yang diaudit (desa).
2. Mendapatkan informasi keberadaan infrastruktur dokumen‐
dokumen pengelolaan keuangan desa.
3. Mendapatkan informasi tentang realisasi pendapatan desa.
4. Mendapatkan informasi awal tentang potensi kelemahan pada
pemerintah desa yang diaudit
2. Reviu Sederhana atas 1. Mendapatkan keyakinan memadai atas pengendalian intern
Sistem Pengendalian pengelolaan keuangan desa
Intern Pengelolaan 2. Mendapatkan keyakinan atas ketaatan pemerintaha desa pada
Keuangan Desa peraturan pengelolaan keuangan desa dalam hal implementasi
proses perencanaan sampai pertanggungjawaban.
~
1. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut
Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Pemerintahan Daerah adalah Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas‐luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
4. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
6. Pemerintah Desa adalah kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat
Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.
7. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga
yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk
desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.
8. Kewenangan Desa adalah kewenangan yang dimiliki desa meliputi kewenangan di bidang
penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, Pembinaan
kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul dan adat istiadat Desa.
9. Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta
segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban Desa.
10. Pengelolaan Keuangan Desa adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan desa.
11. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa selanjutnya disingkat RPJM Desa adalah
Rencana Kegiatan Pembangunan Desa untuk jangka waktu 6 (enam) tahun.
13. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa selanjutnya disebut APB Desa, adalah rencana
keuangan tahunan Pemerintahan Desa.
14. Dana Desa adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang
diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan,
pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.
15. Alokasi Dana Desa selanjutnya disingkat ADD adalah dana perimbangan yang diterima
kabupaten/kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota setelah
dikurangi Dana Alokasi Khusus.
16. Transfer ke Daerah adalah bagian dari belanja negara dalam rangka mendanai pelaksanaan
desentralisasi fiskal berupa dana perimbangan, dana otonomi khusus, dan dana transfer
lainnya.
17. Kelompok Transfer adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara,
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota.
18. Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa adalah Kepala Desa atau sebutan nama
lain yang karena jabatannya mempunyai kewenangan menyelenggarakan keseluruhan
pengelolaan keuangan desa.
19. Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa yang selanjutnya disingkat PTPKD adalah unsur
perangkat desa yang membantu Kepala Desa untuk melaksanakan pengelolaan keuangan
desa.
20. Sekretaris Desa adalah Pejabat yang membantu kepala desa dan bertindak selaku
koordinator pelaksanaan pengelolaan keuangan desa.
21. Kepala Seksi adalah unsur dari pelaksana teknis kegiatan dengan bidangnya.
22. Bendahara Desa adalah unsur staf sekretariat desa yang membidangi urusan administrasi
keuangan untuk menatausahakan keuangan desa.
23. Rekening Kas Desa adalah rekening tempat menyimpan uang Pemerintahan Desa yang
menampung seluruh penerimaan desa dan digunakan untuk membayar seluruh pengeluaran
desa pada bank yang ditetapkan.
24. Penerimaan Desa adalah uang yang berasal dari seluruh pendapatan desa yang masuk ke APB
Desa melalui Rekening Kas Desa atau telah diterima oleh Bendahara Desa.
27. Badan Usaha Milik Desa, yang selanjutnya disebut BUM Desa, adalah badan usaha yang
seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung
yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan
usaha lainnya untuk sebesar‐besarnya kesejahteraan masyarakat desa.
28. Surplus Anggaran Desa adalah selisih lebih antara pendapatan desa dengan belanja desa.
29. Defisit Anggaran Desa adalah selisih kurang antara pedapatan desa dengan belanja desa.
30. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang selanjutnya disingkat SILPA adalah selisih lebih
realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran.
31. Aset Desa adalah barang milik desa yang berasal dari kekayaan asli desa, dibeli atau
diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau perolehan hak lainnya
yang sah.
32. Barang Milik Desa adalah kekayaan milik Desa berupa barang bergerak dan barang tidak
bergerak.
33. Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah musyawarah antara Badan
Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh
Badan Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis.
34. Lembaga Kemasyarakatan Desa atau disebut dengan nama lain adalah lembaga yang
dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan merupakan mitra pemerintah desa
dalam memberdayakan masyarakat,
35. Peraturan Desa adalah peraturan perundang‐undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa
setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.
36. Penghasilan Tetap adalah penghasilan yang diterima oleh kepala desa dan perangkat desa
setiap bulan.
37. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disebut SPP adalah dokumen yang
diterbitkan oleh pelaksana kegiatan atas tindakan pengeluaran yang menyebabkan beban
anggaran sekaligus sebagai media verifikasi oleh Sekretaris Desa, media persetujuan oleh
Kepala Desa dan media perintah bayar kepada Bendahara Desa.
39. Panjar adalah uang yang diserahkan oleh Bendahara Desa atas persetujuan Kepala Desa
kepada Pelaksana Kegiatan untuk pelaksanaan awal kegiatan.
40. Uang Muka adalah pemberian uang dalam rangka pembayaran sebagian atas pengadaan
barang/jasa kepada pihak ketiga.
41. Pembiayaan Desa adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan /atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan
maupun pada tahun‐tahun anggaran berikutnya.
42. Kode Rekening adalah daftar kodefikasi dan klasifikasi terkait transaksi keuangan yang
disusun secara sistematis sebagai pedoman dalam pelaksanaan anggaran dan pelaporan
keuangan pemerintah desa.
43. Laporan Kekayaan Milik Desa adalah laporan yang menyajikan informasi posisi keuangan
desa mengenai aset, kewajiban jangka pendek dan kekayaan bersih pada tanggal tertentu.
44. Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh desa sebagai akibat
dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan
diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah desa maupun masyarakat serta dapat
diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya nonkeuangan yang diperlukan untuk
penyediaan jasa bagi masyarakat umum.
45. Kewajiban adalah utang yang timbul dari peristiwa masa lalu yang penyelesaiannya
mengakibatkan aliran keluar sumber daya ekonomi pemerintah desa.
~
1. Undang‐Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
2. Undang‐Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Desa sebagaimana telah diubah
terakhir dengan UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang perubahan kedua atas Undang‐Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor
47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2016
tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana
Desa yang Bersumber dari APBN;
5. Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan;
6. Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri;
7. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi;
8. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2014 tentang Peningkatan Kualitas Sistem Pengendalian
Intern dan Keandalan Penyelenggaraaan Fungsi Pengawasan Intern Dalam Rangka
Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat;
9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan
di Desa;
10. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan
Desa;
11. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan
Desa;
12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum
Penyusunan APBD Tahun 2016;
13. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan
Pemberhentian Kepala Desa;
15. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 84 Tahun 2015 tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Pemerintah Desa;
16. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa;
17. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2016 tentang Kewenangan Desa;
18. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2016 tentang Laporan Kepala Desa;
19. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 47 Tahun 2016 tentang Administrasi Pemerintah
Desa;
20. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 1 Tahun
2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal
Berskala Desa;
21. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 2 Tahun
2015 tentang Pedoman Tata Tertib dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah
Desa;
22. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun
2015 tentang Pendampingan Desa;
23. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 4 Tahun
2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan dan Pembubaran Badan Usaha Milik
Desa;
24. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun
2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015;
25. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 21
Tahun 2015 jo Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa
Tahun 2016;
26. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 2 Tahun
2016 tentang Indeks Desa Membangun;
28. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.07/2014 tentang Pengalokasian Transfer ke
Daerah dan Dana Desa;
29. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 263/PMK.05/2014 tentang Sistem Akuntansi dan
Pelaporan Keuangan Transfer ke Daerah dan Dana Desa.
31. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 257/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Penundaan
dan/atau Pemotongan Dana Perimbangan Terhadap Daerah yang Tidak Memenuhi Alokasi
Dana Desa.
32. Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 13 Tahun
2013 sebagaimana telah diubah dengan Nomor 22 Tahun 2015 tentang Pedoman Tata Cara
Pengadaan Barang/Jasa di Desa;
~