Anda di halaman 1dari 4

Aroma Merdeka dari Dalat

Thursday, 01 Jan 1970

Oleh: Selamat Ginting -- Dalat, Saigon, Vietnam, 12 Agustus 1945, pukul 10 pagi. Insinyur
Soekarno, Doktorandus Mohammad Hatta, dan Dokter Radjiman Wedyodiningrat diterima
Panglima Angkatan Perang Jepang untuk Asia Tenggara, Jenderal Terauchi.

Ketiga tokoh pergerakan Indonesia itu diberitahu bahwa Pemerintah Jepang sudah memutuskan
akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. "Kapan pun bangsa Indonesia siap,
kemerdekaan boleh dinyatakan." Itulah yang diucapkan Jenderal Terauchi pada pertemuan
tersebut. Meskipun demikian, Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus.

Bung Karno sempat menanyakan, "Apakah sudah boleh bekerja sekitar 25 Agustus 1945?"
Dengan santai, Jenderal Terauchi menjawab, "Silakan saja, terserah tuan-tuan."
Di akhir acara, Terauchi mengucapkan selamat kepada tiga tokoh pergerakan Indonesia itu.
Pertemuan itu diakhiri jamuan minum teh dan makan kue-kue.

Sesungguhnya, untuk bisa sampai Dalat tersebut bukanlah perjalanan yang mudah. Ketiga tokoh
itu diundang Jenderal Terauchi setelah Soekarno dan Hatta berhasil membentuk PPKI (Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 7 Agustus 1945. PPKI merupakan kelanjutan dari
BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

Selesai dilantik sebagai ketua dan wakil ketua PPKI, Bung Karno dan Bung Hatta diundang
untuk menemui Jenderal Terauchi di Dalat, Saigon. Turut diundang pula Radjiman, sebagai
mantan ketua BPUPKI.

Pada 8 Agustus 1945, mereka bertiga meninggalkan Jakarta, pukul lima pagi, untuk memulai
sebuah penerbangan yang berbahaya. Mereka diantar Letnan Kolonel Nomura dan Miyosi
sebagai penerjemah dengan 20-an perwira Jepang yang lain.

Penerbangan ini harus dirahasiakan bahkan kepada keluarga terdekat sekalipun. Pesawat terbang
yang mereka tumpangi sewaktu-waktu bisa disergap dan ditembak jatuh oleh pesawat-pesawat
pemburu Sekutu yang pada saat itu sudah menguasai wilayah Burma dan sebagian dari
Semenanjung Malaya.

Pada 9 Agustus 1945, rombongan menginap semalam di Singapura. Mereka menghindari


penerbangan malam di bawah bayang-bayang sergapan pesawat musuh. Mereka tidak ingin
bernasib sama dengan Laksamana Yamamato, pahlawan perang Jepang dalam penyerangan Pearl
Harbour. Pesawat yang ditumpangi Yamamoto disergap dan ditembak jatuh pesawat pemburu
AS saat akan mengunjungi pasukannya di salah satu medan perang di Pasifik.

Saat itu, intelijen sekutu beranggapan Soekarno adalah seorang kolaborator Jepang. Mereka
ingin menangkap Soekarno. Maka, keberadaan ketiga tokoh pergerakan Indonesia itu
dirahasiakan tentara Jepang.

Pada 10 Agustus 1945, dalam guncangan hebat, pesawat yang ditumpangi Bung Karno, Bung
Hatta, dan Bung Radjiman mendarat di Saigon pukul tujuh malam. Bung Karno mengaku bahwa
semua barang-barang di dalam pesawat berserakan. Ia pun belum tahu mengapa dipanggil oleh
Panglima Tertinggi Jepang di Asia Tenggara itu. Malam itu, mereka diinapkan di Istana Saigon
dalam pengawalan ketat.

Pada 11 Agustus 1945, siang hari, ketiga tokoh kemerdekaan ini diterbangkan ke Dalat.
Sesampai di sana, mereka menginap lagi semalam. Ketiganya masih bertanya-tanya, apa yang
akan terjadi keesokan harinya.

Ya, pada 12 Agustus 1945 itulah sejarah mencatat bahwa Pemerintah Jepang sudah memutuskan
akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.
Namun, itu bukan kali pertama Jepang memberikan janji-janji manis kemerdekaan kepada
Indonesia. Sebab, dua tahun sebelumnya, tepatnya pada November 1943, Bung Karno dan Bung
Hatta juga diundang untuk mengunjungi Jepang.

Kaisar Hirohito secara mengejutkan menjabat tangan Bung Karno dan Bung Hatta. Padahal,
menurut adat kebiasaan Kekaisaran Jepang, sang Kaisar hanya mau menjabat tangan seorang
kepala negara. Jadi, kalau sang Kaisar menjabat tangan kedua tokoh pergerakan Indonesia itu
artinya mereka mengakui kemerdekaan Indonesia.

Janji diulur
Sebelumnya, janji kemerdekaan juga sudah diberikan lebih dulu kepada Burma dan Filipina.
Namun, tidak untuk Indonesia yang kala itu disebut Jepang sebagai Hindia Timur. Kenyataan itu
membuat para tokoh pergerakan Indonesia mulai merasa tidak sabar dan diliputi kemarahan.

Menjelang pertengahan 1944, kekuatan Jepang dalam Perang Pasifik semakin meredup. Militer
Jepang menderita kekalahan di sejumlah palagan pertempuran. Di situlah saatnya memikirkan
kembali proposal dari Kementerian Luar Negeri Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada
Hindia Timur.

Sejarawan Taufik Abdullah mencatat, ada tiga alasan yang dikemukakan untuk mengajukan
proposal tentang janji kemerdekaan. Pertama, untuk menarik simpati rakyat. Kedua, untuk
memperkuat politik Asia Timur Raya. Ketiga, untuk mendapatkan keuntungan dalam percaturan
perang.

September 1944 terbitlah Deklarasi Koiso. Perdana Menteri Jepang Koiso (pengganti Tojo)
mengumumkan bahwa Kekaisaran Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Hindia Timur,
To Indo no jori dokuritu. Hindia Timur sanggup merdeka sekarang, sebagaimana juga sudah
dijanjikan kepada Burma dan Filipina. Mendapat kabar seperti itu, Bung Karno menangis saking
gembiranya bersama-sama kawan Jepang.

Euforia kegembiraan lenyap dalam sekejap. Terjadi silang pendapat dalam tubuh tentara Jepang
di Indonesia dalam melaksanakan perintah Perdana Menteri Koiso tersebut. Tentara Angkatan
Darat ke-16 yang berkuasa di Jawa menginginkan seluruh wilayah Hindia Belanda
dimerdekakan.

Namun, Tentara Angkatan Darat ke-25 yang berkuasa di Sumatra tidak setuju kalau Sumatra ikut
dimerdekakan. Sementara, Angkatan Laut yang berkuasa di Indonesia Timur hanya setuju kalau
kemerdekaan hanya untuk wilayah yang dikuasai oleh Angkatan Darat saja.

Bung Karno marah dan mengeluh kepada pembesar Jepang di Jakarta. "Tuan mengatakan
seakan-akan kami memerlukan perabotan, radio, dan ini dan itu sebelum kami kawin.
Permintaan kami hanyalah membuat sebuah rumah dengan sehelai tikar."

Akhirnya, Bung Karno menulis sebuah surat bernada keras kepada mahasiswa Indonesia di
Jepang. Pada 24 September 1944, surat itu sampai di Asrama Mahasiswa Kokusai Gakuyukai di
Tokyo, salah satu bagiannya adalah, "… perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia lebih penting
daripada janji Jepang."

Sikap keras Bung Karno mengkhawatirkan kawan-kawan Jepang dekatnya. Miyoshi, seorang
pejabat Gunseikanbu khawatir akan terjadi revolusi yang tidak diinginkan kalau tidak ada
tindakan sebelum hari ulang tahun keempat Jepang di Indonesia, yaitu 9 Maret 1945.

Untuk meredam kegusaran Bung Karno dan teman-teman, akhirnya dibentuklah BPUPKI
berdasarkan Makloemat Gunseikan Nomor 23 pada 29 April 1945. Di lembaga inilah KRT
Dokter Radjiman Wedyodiningrat, seorang mantan dokter Keraton Surakarta dan sekaligus
sebagai anggota tertua, dipilih menjadi ketua BPUPKI.

Bersamanya ada dua wakil ketua (dari Jepang dan dari Indonesia) dan 60 anggota. Secara umum
Jepang memilih anggota-anggota BPUPKI yang tidak terlalu berjiwa revolusioner, kerakyatan,
dan agak kekiri-kirian.

Masa sidang pertama BPUPKI dimulai pada 29 Mei 1945, membicarakan segala hal yang berbau
filosofis, termasuk dasar negara dan konsep negara apa yang akan didirikan kelak. Masa sidang
kedua dimulai pada 10 Juli 1945, fokus pada dimulainya pembicaraan mengenai hukum dasar
negara atau konstitusi. Di sinilah adu argumentasi para pendiri negara ini ditampilkan.

Dalam sidang-sidang inilah Bung Karno memprovokasi dengan idiom-idiom revolusioner seperti
"Indonesia merdeka selekas-lekasnya" atau "Indonesia merdeka sekarang juga". Atau kalimat
sentilan seperti ini, seperti yang saya kutip dari catatan Aiko Kurasawa dalam bukunya, Bung
Karno di Bawah Bendera Jepang.

"Kemerdekaan itu tampaknya seperti perkawinan. Siapakah yang menunggu sampai gajinya
naik, sampai, katakanlah 500 gulden, dan menunggu sampai rumah yang dibangunnya selesai?"

Anda mungkin juga menyukai