Anda di halaman 1dari 13

UREMIA

Definisi
Uremia adalah keadaan toksik yang disebabkan gagal ginjal. Hal ini terjadi bila
fungsi ginjal tidak dapat membuang urea keluar dari tubuh sehingga
urea menumpuk dalam darah.

Etiologi atau penyebab:

Kenaikan produksi urea dalam hati :

 Diet tinggi protein


 Meningkatnya pemecahan protein (infeksi, trauma, kanker)

 Perdarahan pada saluran pencernaan

 Obat-obatan tertentu seperti kortikosteroid.

Penurunan pembuangan urea :

 Menurunnya aliran darah melalui ginjal seperti hipotensi atau tekanan darah
rendah dan gagal ginjal.
 Obstruksi atau gangguan pada aliran kemih.

Gejala

 Gejala klinis dapat berupa mual, muntah, kelelahan, anoreksia, penurunan


berat badan, kram otot, pruritus dan perubahan status mental.
 Gejala lain dapat terjadi anemia, asidosis, koagulopati, hiperkalemia,
kelainan endokrin dan kelainan jantung.
Terapi
Penatalaksanaan utama adalah dialisis. Terapi ditujukan pada penyebab terjadinya
uremia misalnya memberikan preparat besi pada pasien uremia karena anemia
defisiensi besi.

Diet rendah protein dianjurkan pada pasien uremia yang dengan gagal ginjal ringan
sampai sedang, meskipun hal ini masih kontroversial. Diet rendah protein dapat
mengurangi beberapa gejala uremia seperti mual dan muntah.
Obat-obat yang digunakan ditujukan untuk mengobati kelainan metabolik dan
elektrolit, seperti anemia, hiperkalemia, hipocalcemia, dan kekurangan zat besi.

Cara Mengobati Uremia

Pengobatan uremia adalah melalui tindakan dialisis atau cuci darah. Biasanya,
dokter akan memberi rekomendasi dialisis untuk mengeluarkan zat sisa
metabolisme dan racun dari aliran darah. Tindakan ini dilakukan untuk meredakan
gejala yang timbul akibat uremia.

Dialisis pun terbagi menjadi dua, yaitu hemodialisis dan dialisis peritoneal, yang
dapat dilakukan hingga fungsi normal ginjal telah berhasil dipulihkan.

 Hemodialisis

Proses cuci darah hemodialisis, dilakukan dengan menggunakan dua selang yang
terpisahkan oleh mesin penyaring. Darah akan dialirkan dari tubuh melalui selang
pertama menuju mesin penyaring. Setelah disaring, darah dialirkan kembali ke
dalam tubuh melalui selang kedua. Proses hemodialisis setidaknya membutuhkan
waktu sekitar 4 jam dan hanya bisa dilakukan di rumah sakit. Beberapa efek
samping yang mungkin akan dirasakan penderita yaitu kulit terasa gatal dan kram
pada otot.

 Dialisis Peritoneal
Pada tindak medis dialisis peritoneal, proses pencucian darah dilakukan
menggunakan pemasangan selang kateter dalam rongga perut secara
permanen, sehingga tidak memerlukan alat penyaring. Tindakan ini bisa
dilakukan di rumah, dan perlu dilakukan secara rutin. Memakan waktu 30-
40 menit, dialisis peritoneal dianjurkan untuk dilakukan sebanyak empat kali
dalam sehari.

Pengobatan lain yang bisa diberikan kepada pasien uremia selain dialisis adalah
berupa transplantasi ginjal atau cangkok ginjal. Pengobatan ini merupakan langkah
terakhir yang bisa dilakukan bagi penderita gagal ginjal yang mengalami uremia.
Ginjal sehat dari pendonor akan menggantikan ginjal penderita yang sudah rusak.
Sebelum operasi ginjal, dokter akan melakukan kecocokan ginjal pendonor dengan
dengan tubuh pasien.

Upaya Mencegah Uremia

Uremia adalah kondisi yang dapat mengganggu fungsi tubuh secara keseluruhan,
dan sangat berkaitan dengan kondisi ginjal. Maka cara mencegah terjadinya uremia
adalah dengan mencegah penyakit ginjal sejak dini. Ini bisa dilakukan dengan
berhenti merokok, menjaga dan mengendalikan tekanan darah dan kadar gula
darah dengan baik, menjaga kesehatan jantung dan pembuluh darah, mengonsumsi
makanan sehat, mencukupi kebutuhan cairan, menghindari minuman beralkohol
dan olahraga teratur.
Bagi Anda yang sudah terkena penyakit ginjal dan gagal ginjal, untuk menghindari
terjadinya uremia disarankan untuk mengonsumsi makanan rendah garam, dan
menjaga pola hidup yang sehat, serta menjalani pengobatan sesuai anjuran dokter.
Termasuk menjalani cuci darah secara rutin bila memang kerusakan ginjal yang
dialami sudah cukup parah. Konsultasikan lebih lanjut pada dokter mengenai gaya
hidup yang harus dijalani untuk menghindari terjadinya uremia.

mekanisme

Urea dibentuk di dalam hati dari metabolisme protein (asam amino). Senyawa
tersebut berasal terutama dari penguaraian protein yang berasal dari pakan.
Pada individu yang mempunyai asupan protein tinggi dapat menyebabkan
peningkatan kadar urea dalam darah di atas rentang normal. Urea dapat
berdifusi bebas masuk ke dalam cairan intrasel dan ekstrasel. Senyawa ini
kemudian akan mengalami pemekatan di urin untuk diekskresikan. Kadar
urea dalam darah mencerminkan keseimbangan antara produksi dan
ekskresi urea. Rendahnya kadar urea dalam darah pada umumnya tidak
dianggap suatu kelainan karena dapat merupakan tanda rendahnya kadar protein
dalam pakan. Namun, apabila kadar urea darah sangat rendah, hal ini dapat
mengindikasikan penyakit hati berat. Kadar urea dapat meningkat seiring
dengan bertambahnya umur walaupun tanpa terjadi penyakit ginjal.

Kadar urea dalam tubuh berkaitan dengan protein (katabolisme protein).


Protein yang berasala dari pakan akan mengalami perombakan di saluran
pencernaan (duodenum) menjadi molekul sederhana yaitu asam amino.
Selain asam amino, hasil perombakan protein juga menghsilkan senyawa
yang mengandung unsur nitrogen (N), yaitu amonia (NH 3). Asam amino
tersebut merupakan produk dari perombakan protein yang dapat dimanfaatkan oleh
tubuh sebagai komponen pembangun. Sedangkan amonia merupakan senyawa
toksik yang bersifat basa (bersifat kaustik) dan akan mengalami proses
detoksifikasi di hati menjadi senyawa yang tidak toksik, yaitu urea melalui
siklus urea. Selain itu, urea juga disintesis di hati melalui siklus urea yang
berasal dari oksidasi asam amino. Pada siklus urea, kelompok asam amino
(amonia dan L-aspartat) akan diubah menjadi urea. Produksi urea di hati
diatur oleh N-acetylglutamate. Urea kemudian mempunyai sifat yang mudah
berdifusi dalam darah dan diekskresi melalui ginjal sebagai komponen urin,
serta sejumlah kecil urea diekskresikan melalui keringat.

Menurut West (1979), urea atau carbamide merupakan senyawa kristalin dengan
rumus kimia CO(NH2)2 yang sangat solubel atau mudah larut dalam air dan
alkohol. Urea merupakan senyawa sisa metabolisme yang dibuang melalui urine.
Urea dibentuk di hati dan dibawa melalui darah ke ginjal. Jumlah urea yang
diekskresikan bervariasi sesuai dengan jumlah urea dalam darah. Urea akan diubah
secara cepat menjadi amonium karbonat setelah ekskresi dan ketika berkontak
dengan udara dan mikroorganisme.

Peningkatan kadar urea disebut dengan uremia. Penyebab dari uremia dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu prerenal, renal, dan postrenal. Uremia prerenal disebabkan
oleh gagalnya mekanisme sebelum filtrasi glomerulus. Mekanisme tersebut
meliputi penurunan aliran darah ke ginjal (shock, dehidrasi, dan kehilangan
darah) dan peningkatan katabolisme protein.
Uremia renal terjadi akibat gagal ginjal (gagal ginjal kronis/chronic renal
failure atau juga pada kejadian gagal ginjal akut/acute renal failure apabila
fungsi ginjal menurun dengan cepat) yang dapat menyebabkan gangguan
ekskresi urea sehingga urea akan tertahan di dalam darah, hal ini akan
menyebabkan intoksikasi oleh urea dalam konsentrasi tinggi yang disebut
dengan uremia. Sedangkan

uremia postrenal terjadi oleh obstruksi saluran urinari di bawah ureter


(vesica urinaria atau urethra) yang dapat menghambat ekskresi urin.
Obstruksi tersebut dapat berupa batu/kristaluria, tumor, serta peradangan.

Selain itu, beberapa jenis obat-obatan juga dapat mempengaruhi peningkatan urea
dan penurunan urea dalam darah. Obat yang dapat meningkatkan kadar urea darah
adalah obat nefrotoksik, diuretikum (hidroklortiazid, asam etakrinat, furosemid,
dan triamteren), antibiotik (basitrasin, sefaloridin pada dosis besar, gentamisin,
kanamisin, kloramfenikol, metisilin, neomisin, dan vankomisin), obat
antihipertensi (metildopa dan guanetidin), sulfonamide, propanolol, morfin, litium
karbonat, serta salisilat. Sedangkan jenis obat yang dapat menurunkan kadar urea
dalam darah adalah fenotiazin.

Ureum sebenarnya adalah zat yang tidak toksik, tetapi apabila konsentrasinya
sangat tinggi akan menimbulkan bekuan ureum dan menimbulkan bau nafas yang
mengandung amonia (NH3). Kadar ureum yang berlebihan akan diubah oleh
bakteri menjadi amonia, dan senyawa ini merupakan senyawa toksik bagi tubuh
daripada ureum. Efek ureum yang tinggi dalam darah (uremia) adalah terhadap
trombosit, trombosit tidak dapat lagi membentuk bekuan sehingga tidak terjadi
agregasi trombosit. Akibatnya akan timbul perdarahan dari hidung, diare berdarah,
atau bisa juga perdarahan di bawah kulit. Penyebab perdarahan adalah trombopatia
uremika.

Menurut Vanholder dan Smet (1999), sindrom uremik merupakan penurunan


fungsi biokimia dan fisiologis yang berkaitan dengan gagal jantung. Kondisi ini
akan menyebabkan penurunan daya pembersihan ureum oleh ginjal sehingga
menyebabkan retensi ureum. Retensi atau tertahannya ureum tersebut dapat
menyebabkan perubahan terhadap fungsi biokimia dan fisiologis. Beberapa
komponen yang terdapat ketika terjadi retensi ureum adalah senyawa inorganik,
urea, oxalic acid, hormon paratiroid (PTH), dan ß 2-microglobulin yang berperan
sebagai toksin uremik.

Lesio yang ditemukan pada uremia adalah :

1. Oedema pulmonum

Oedema pulmonum merupakan salah satu lesio dari uremia renal. Ginjal yang
rusak menyebabkan laju filtrasi glomerulus menurun, sehingga akan merangsang
apparatus juxtaglomerular mensekresikan renin. Renin yang beredar sistemik di
dalam pembuluh darah akan mengaktifkan angiotensinogen menjadi
angiotensinogen, menjadi angiotensin I dan kemudian berubah menjadi
Angiotensin II. Angiotensin II ini akan menyebabkan vasokonstriksi buluh darah.
Akibatnya tekanan darah arteri meningkat dan beban jantung akan meningkat pula.
Kondisi tersebut menyebabkan jantung mengalami kompensasi berupa hipertrofi
ventrikel kiri. Hipertrofi ini menyebabkan lumen ventrikel kiri menjadi sempit
sehingga volume darah yang dipompa menjadi lebih sedikit dari seharusnya.
Keadaan ini dapat menyebabkan pembendungan darah di paru-paru dan apabila
terjadi secara terus-menerus dan berlebihan, maka terjadi udema pulmonum karena
terjadi peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler paru-paru.

1. Ulkus pada mukosa

Ulkus pada mukosa merupakan salah satu lesio dari uremia baik prerenal, renal,
ataupu postrenal. Ulkus terjadi apabila tubuh mengalami asidosis yang akan
mengiritasi mukosa. Asidosis ini disebabkan oleh gangguan ekskresi ion H + pada
gagal ginjal. Menurut Carlton dan McGavin (1995), mekanisme perusakan
pertahanan mukosa diawali dari difusi ion-ion hidrogen. Ulkus biasanya terjadi
pada mukosa organ pencernaan (stomatitis ulcerativa et hemorrhagica dan gastritis
ulcerativa et hemorrhagica), urogenital, dan respirasi. Stomatitis dan gastritis
ulcerativa et hemorrhagica disebabkan oleh nekrosa yang terjadi akibat dari ureum
yang beredar di dalam sirkulasi (uremia/ureum yang tinggi akan diubah menjadi
amonia oleh bakteri atau berkontak dengan udara sehingga lebih toksik terhadap
vaskula), serta disebabkan oleh trombopatia uremika, yang merupakan efek ureum
yang tinggi dalam darah terhadap trombosit sehingga trombosit tidak dapat lagi
membentuk bekuan/trombosis, sehingga tidak terjadi agregasi trombosit, dan akan
mengakibatkan terjadinya perdarahan).

Menurut Vanholder dan Smet (1999), banyaknya senyawa yang ikut tertahan ketika
terjadi sindrom uremik yang bersifat toksik dapat memasuki intestinal dan akan
menyebabkan perubahan komposisi flora normal usus atau perubahan absorpsi
nutrisi di usus, sehingga hal ini akan menyebabkan perubahan konsentrasi serum.

1. Kelainan pada sistem kardiovaskuler

Kelainan pada sistem kardiovaskuler meliputi perikarditis, efusi perikarditis,


deposisi kalsium dan fosfat, serta tekanan oleh uremia terhadap kontarktilitas
myokard. Kondisi ini biasanya berkaitan dengan gagal ginjal kronis. Selain itu,
lesio akibat uremia pada sistem kardiovaskuler adalah hipertrofi pada ventrikel kiri
yang berkaitan dengan penebalan dinding ventrikel, kekakuan arteri,
atherosklerosis, dan kalsifikasi arteri koronaria. Keadaan ini akan memicu
terjadinya gagal jantung kongestif. Gagal jantung kongestif adalah suatu sindroma
yang disebabkan oleh berkurangnya volume pemompaan jantung untuk keperluan
relatif tubuh, disertai hilangnya curah jantung dalam mempertahankan aliran balik
vena.

Menurut Amann dan Ritz (1997), pada keadaan uremia kronis akan terlihat
abnormalitis yang terjadi pada jantung, yang meliputi hipertrofi ventrikel kiri,
fibrosis myocardial interstisialis, penurunan perfusi myocardial, abnormalitas
metabolisme myocardial. Hipertrofi ventrikel kiri terjadi oleh adanya hipertensi
karena gagal ginjal. Ginjal yang rusak menyebabkan laju filtrasi glomerulus
menurun, sehingga akan merangsang apparatus juxtaglomerular mensekresikan
renin. Renin yang beredar sistemik di dalam pembuluh darah akan mengaktifkan
angiotensinogen menjadi angiotensinogen, menjadi angiotensin I dan kemudian
berubah menjadi Angiotensin II. Angiotensin II ini akan menyebabkan
vasokonstriksi buluh darah dan akan menyebabkan hipertensi yang dapat
meningkatkan kerja jantung kiri (ventrikel kiri).

1. Mineralisasi jaringan lunak

Kondisi ini disebabkan oleh perubahan metabolisme kalsium-fosfor (mekanisme


ion) pada ginjal. Fungsi glomerulus menurun pada gagal ginjal, terjadi retensi
fosfat sehingga kadar kalsium darah menurun, pengaktifan vitamin D3 di ginjal
terganggu, vitamin D3 yang diperlukan usus untuk absorbsi kalsium sehingga
terjadi hipokalsemia. Keadaan hipokalsemia akan merangsang kelenjar
hiperparatiroid untuk mensekresi PTH yang berperan dalam meresorpsi kalsium
dari tulang dan memfasilitasi penyerapan kalsium di usus. Hal ini terjadi untuk
mempertahankan kalsium plasma dalam batas normal. Namun, dalam kondisi ini
terjadi resorpsi kalsium yang berlebihan sehingga kalsium akan dideposisi di
jaringan lunak, misalnya paru-paru (mineralisasi metastatik).

Menurut Vanholder dan smet (1999), beberapa senyawa yang terdapat pada kejaian
sindrom uremik dapat mengganggu fungsi biokimia tubuh, yaitu pengaktifan
reseptor PTH yang akan merespon terhadap 1,25(OH) 2 vitamin D3. Pengaktifan
reseptor PTH terhadap 1,25(OH)2 vitamin D3 akan memfasilitasi absorpsi kalsium
sehingga plasma kalsium akan mengalami peningkatan, dalam kondisi ini terjadi
ketidakseimbangan antara pemasukan kalsium ke plasma darah dengan
penggunaan kalsium, sehingga kalsium plasma yang tinggi akan mengalami
deposisi di jaringan lunak.

1. Hiperplasia paratiroid

Kondisi ini mengikuti kejadian berkurangnya plasma kalsium (gangguan


metabolisme kalsium-fosfor) pada kondisi gagal ginjal sehingga terjadi
peningkatan kerja kelenjar paratiroid untuk meresorpsi kalsium dari tulang.

1. Osteodistrofi fibrosa

Terjadi akibat perubahan metabolisme kalsium-fosfor (mekanisme ion) pada ginjal.


Fungsi glomerulus menurun, terjadi retensi fosfat sehingga kadar kalsium darah
menurun, pengaktifan vitamin D3 di ginjal terganggu, vitamin D3 yang diperlukan
usus untuk absorbsi kalsium sehingga terjadi hipokalsemia. Keadaan hipokalsemia
akan menginisiasi kelenjar paratiroid menghasilkan PTH yang berperan dalam
meresorpsi kalsium dari tulang sehingga jaringan tulang akan digantikan oleh
jaringan ikat fibrosa.

1. Uremic encephalopathy

Menurut Lohr (2009), uremic encephalopathy adalah gangguan otak yang


disebabkan oleh gagal ginjal kronis. Pada manusia, manifestasi dari kelainan ini
meliputi gejala klinis ringan (kelemahan dan kelelahan) sampai gejala yang parah
(seizure dan koma). Keparahan dari uremic encephalopathy tergantung dari laju
penurunan fungsi ginjal. Uremic encephalopathy mempunyai patofisiologi yang
kompleks dan terdapat kaitan dengan toksin yang terjadi pada gagal ginjal. hormon
paratiroid (PTH) juga dapat menyebabkan uremic encephalopathy.

Hiperparatiroidisme dapat terjadi pada keadaan gagal ginjal, sehingga pada kondisi
ini akan menyebabkan peningkatan kadar kalsium pada korteks cerebri.
Mekanisme khusus dari gangguan fungsi otak yang disebabkan oleh PTH masih
belum jelas. Namun, terdapat kemungkinan bahwa terjadi peningkatan konsentrasi
kalsium di sel-sel otak yang merupakan hasil dari peningkatan kadar kalsium
dalam plasma dari kerja PTH yang berlebihan.

Teori lain tehadap penyebab uremic encephalopathy menyatakan bahwa uremic


encephalopathy disebabkan oleh ketidakseimbangan nurotransmiter asam amino
dalam otak. Selama fase awal uremic encephalopathy, cairan cerebrospinal (CSF)
dapat digunakan untuk menentukan terjadinya peningkatan level glisin, level
glutamin, serta penurunan GABA. Perubahan yang terjadi pada metabolisme
dopamin dan serotonin di otak dapat mengawali dan menyebakan gejala klinis.
Peningkatan uremia akan menghasilkan akumulasi komponen guanidino yang
dapat menyebabkan aktivasi terhadap reseptor N-methyl-D-aspartate eksitatori
serta akan menghambat reseptor GABA yang dapat mengakibatkan terjadinya
myoklonus dan seizure.

Menurut Bucurescu (2008), uremia yang menggambarkan gangguan ginjal


(insufisiensi ginjal) dan gangguan multiorgan dihasilkan oleh akumulasi metabolit
protein, asam amino, serta gangguan proses katabolisme di ginjal, proses
metabolik, dan proses endokrin. Tidak ada metabolit tunggal yang menyebabkan
uremia. Uremic encephalopathy merupakan salah satu manifestasi dari gagal
ginjal. Patofisiologi dari uremic encephalopathy adalah akumulasi senyawa
organik seperti metabolit protein dan asam amino yang merusak neuron, antara lain
dapat berupa urea, senyawa guanidine, asam urat, asam hippuric, beberapa macam
asam amino, polipeptida, polyamine, phenol dan konjugat phenol, asam phenols
dan asam indolic, acetoin, asam glukoronat, karnitin, myoinositol, sulfat, fosfat.
Selain itu juga akibat dari peningkatan level senyawa guanidine, yang meliputi
guanidinosuccinic acid, methylguanidine, guanidine, dan kreatinin. Senyawa
guanidino endogenus bersifat neurotoksik.

Abnormalitas yang berkaitan dengan keadaan uremic encephalopathy meliputi


asidosis, hiponatremia, hiperkalemia, hipokalsemia, hipermagnesemia, overhidrasi,
dan dehidrasi.

Tidak ada abnormalitas tunggal yang dapat menunjukkan lesio pada kejadian
uremic encephalopathy. Peningkatan level glisin, asam amino yang berasal dari
phenylalanin, tryptophan bebas, dan penurunan level gama-aminobutyric acid
(GABA) pada cairan cerebrospinal akan bertanggung jawab terhadap penyakit.
Uremic encephalitis juga dipengaruhi oleh faktor hormonal, yang meliputi hormon
paratiroid (PTH), insulin, growth hormon, glukagon, thyrotropin hormon,
prolactin, luteinizing hormone, dan gastrin. Pada anjing normal, tingginya level
PTH akan menyebabkan perubahan CNS karena PTH dapat menyebabkan
pemasukan kalsium ke dalam neuron yang kemudian akan menyebabkan
perubahan.

Menurut Moe dan Sparague (1994), patofisiologi uremic encephalopathy belum


diketahui secara baik dan kemungkinan terjadi oleh adanya toksin uremic. Pada
kondisi ini, hormon PTH mempunyai kemungkinan besar terhadap munculnya
gejala klinis. Namun, toksin-toksin lain penyebab uremic encephalopathy yang
dipengaruhi oleh gagal ginjal juga bertanggung jawab terhadap terjadinya
patogenesis gangguan neurologi.

Anda mungkin juga menyukai

  • P
    P
    Dokumen47 halaman
    P
    asriyani09
    Belum ada peringkat
  • 4
    4
    Dokumen3 halaman
    4
    asriyani09
    Belum ada peringkat
  • Tugas Mandiri Tba 1
    Tugas Mandiri Tba 1
    Dokumen6 halaman
    Tugas Mandiri Tba 1
    asriyani09
    Belum ada peringkat
  • Demam Tifoid
    Demam Tifoid
    Dokumen6 halaman
    Demam Tifoid
    asriyani09
    Belum ada peringkat
  • Farmakologi
    Farmakologi
    Dokumen9 halaman
    Farmakologi
    asriyani09
    Belum ada peringkat
  • Aspek
    Aspek
    Dokumen5 halaman
    Aspek
    asriyani09
    Belum ada peringkat
  • Ce Mpaka
    Ce Mpaka
    Dokumen6 halaman
    Ce Mpaka
    asriyani09
    Belum ada peringkat
  • Makalah ANFISMAN
    Makalah ANFISMAN
    Dokumen29 halaman
    Makalah ANFISMAN
    asriyani09
    Belum ada peringkat