Anda di halaman 1dari 18

PERCOBAAN IV

ANALGETIK

I. TUJUAN
1. Mengenal suatu cara untuk mengevaluasi secara eksperimental efek antipiretik suatu
obat.
2. Memahami dasar-dasar perbedaan dalam daya analgesik berbagai analgetika.
3. Mampu memberikan pandangan yang kritis mengenai kesesuaian khasiat yang
dianjurkan untuk sediaan-sediaan farmasi analgetika.

II. DASAR TEORI


Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau
menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (perbedaan dengan anastetika
umum).
Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan
dengan (ancaman) kerusakan jaringan. Keadaan psikis sangat mempengaruhi nyeri,
misalnya emosi dapat menimbulkan sakit (kepala) atau memperhebatnya, tetapi dapat
pula menghindarkan sensasi rangsangan nyeri. Nyeri merupakan suatu perasaan subjektif
pribadi dan ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. Batas nyeri untuk
suhu adalah konstan.
Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis
(kalor,listrik) dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut memicu
pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri, antara lain : histamine, bradikin,
leukotrien dan prostaglandin.
Semua mediator nyeri itu merangsang reseptor nyeri (nociceptor) di ujung-
ujung saraf bebas di kulit, mukosa serta jaringan lain dan demikian menimbulkan antara
lain reaksi radang dan kejang-kejang. Nociceptor ini juga terdapat di seluruh jaringan
dan organ tubuh, terkecuali di ssp. Dari tempat ini rangsangan diteruskan ke otak melalui
jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan sangat banyak sinapsis via sumsum-
belakang, sumsum-lanjutan dan otak-tengah. Dari thalamus impuls kemudian diteruskan
ke pusat nyeri di otak besar, di mana impuls dirasakan sebagai nyeri.
Mediator nyeri penting adalah amin histamin yang bertanggungjawab untuk
kebanyakan reaksi alergi (bronchokonstriksi, pengembangan mukosa, pruritus) dan
nyeri. Bradykinin adalah polipeptida (rangkaian asam amino) yang dibentuk dari protein
plasma. Prostaglandin mirip strukturnya dengan asam lemak dan terbentuk dari asam
arachidonat. Menurut perkiran zat-zat ini meningkatkan kepekaan ujung saraf sensoris
bagi rangsangan nyeri yang diakibatkan oleh mediator lainnya. Zat-zat ini berkhasiat
vasodilatasi kuat dan meningkatkan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan radang
dan udema. Mungkin sekali zat-zat ini juga bekerja sebagai mediator demam.
(Tjay, 2007)
Ada dua jenis analgetik, analgetik narkotik dan analgetik non narkotik. Selain
berdasarkan struktur kimianya, pembagian di atas juga didasarkan pada nyeri yang
dapat dihilangkan. Analgetik narkotik dapat menghilangkan nyeri dari derajat sedang
sampai hebat, seperti secara infark jantung, operasi, viseral, dan nyeri karena kanker.
Analgetik non narkotik berasal dari golongan antiinflamasi non steroid
(AINS) yang menghilangkan nyeri ringan sampai sedang. Disebut AINS karena selain
sebagai analgetik, sebagian anggotanya mempunyai efek antiinflamasi dan penurunan
panas, dan secara kimiawi bukan steroid. Oleh karena itu, AINS sering disebut
(analgetik, antipiretik dan antiinflamasi) atau 3A.
Minimal ada 4 perbedaan antara AINS dengan analgetik narkotik, yakni :
1. Struktur kimianya tidak mirip dengan morfin, bahkan masing – masing golongan
AINS juga tidak mirip.
2. Tidak efektif untuk nyeri hebat, nyeri viseral, dan nyeri terpotong.
3. Bekerja secara sentral (SSP) dan atau perifer.
4. Tidak menimbulkan toleransi dan adiksi (ketergantungan)
(Priyanto, 2008)

a. Analgetika Narkotik
Merupakan senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif,
digunakan untuk mengurangi rasa sakit, yang moderat ataupun berat, seperti rasa sakit
yang disebabkan penyakit kanker, serangan jantung akut, sesudah operasi dan kolik
usus atau ginjal. Analgetika narkotik sering pula digunakan untuk pramedikasi
anestesi, bersama – sama dengan atropin, untuk mengontrol sekresi.
Aktivitas analgetik narkotik jauh lebih besar dibanding golongan analgetika non
narkotik, sehingga disebut pula analgetika kuat. Golongan ini pada umumnya
menimbulkan euforia sehingga banyak disalahgunakan.
Pemberian obat secara terus menerus menimbulkan ketergantungan fisik dan
mental atau kecanduan, dan efek ini terjadi secara cepat. Penghentian pemberian obat
secara tiba – tiba menyebabkan sindrom abstinence atau gejala withdrawal. Kelebihan
dosis dapat menyebabkan kematian karena terjadi depresi pernafasan.
Mekanisme Kerja Analgetika Narkotik
Efek analgesik dihasilkan oleh adanya pengikat obat dengan sisi reseptor khas pada
sel dalam otak dan spinal cord. Rangsangan reseptor juga menimbulkan efek euforia
dan rasa mengantuk.
b. Analgetika Non Narkotik
Analgetik non narkotik digunakan untuk mengurangi rasa sakit yang ringan
sampai moderat, sehingga sering disebut analgetika ringan, juga untuk menurunkan
suhu badan pada keadaan panas yang tinggi dan sebagai anti radang untuk pengobatan
rematik. Analgetika non narkotik bekerja pada perifer dan sentral sistem saraf pusat.
Obat golongan ini mengadakan potensiasi dengan obat – obat penekan sistem saraf
pusat.
Mekanisme Kerja Analgesik Non Narkotik
1. Analgesik
Analgetika non narkotik menimbulkan efek analgesik dengan cara
menghambat secara langsung dan selektif enzim – enzim pada SSP yang
mengkatalisis biosintesis PG, seperti siklooksigenase, sehingga mencegah sensitisasi
reseptor rasa sakit oleh mediator – mediator rasa sakit, seperti histamin, serotonin, ion
– ion hidrogen dan kalium yang dapat merangsang rasa sakit secara mekanis atau
kimiawi.
2. Antipiretik
Analgetika non narkotik menimbulkan kerja antipiretik dengan menungkatkan
elliminasi panas, pada penderita dengan suhu badan tinggi, dengan cara menimbulkan
dilatasi buluh darah perifer dan mobilisasi air sehingga terjadi pengenceran darah dan
pengeluaran keringat. Pengaruh obat pada suhu badan normal relatif kecil. Penurunan
suhu tersebut adalah hasil kerja obat pada SSP yang melibatkan pusat kontrol suhu di
hipotalamus.
3. Antiradang
Peradangan timbul karena pengaktifan fosfolipase A2, enzim yang
menyebabkan pelepasan asam arakidonat, yang kemudian diubah menjadi
prostaglandin oleh prostagladin sintetase. Analgetika non narkotik menimbulkan efek
antiradang melalui beberapa kemungkinan, antara lain adalah menghambat biosintesis
dan melalui beberapa kemungkinan, antara lain adalah menghambat biosintesis dan
pengeluaran prostagladin dengan cara memblok secara terpulihkan enzim
siklooksigenase sehingga menurunkan gejala peradangan. Mekanisme antiradang
yang lebih lengkap dapat dilihat pada bab hormon steroid. Mekanisme yang lebih
lengkap dapat dilihat pada bab hormon steroid. Mekanisme yang lain adalah
menghambat enzim – enzim yang terlibat pada biosintesis mukopolisakarida dan
glikoprotein, meningkatkan pergantian jaringan kolagen dengna memperbaiki jaringan
penghubung dan mencegah pengeluaran enzim – enzim lisosom melalui stabilisasi
membran yang terkena radang. Analgesik non narkotik efektif untuk mengurangi
peradangan tetapi tidak dapat mencegahkerusakan jaringan pada penderita artritis.
(Siswandono, 2008)
Berdasarkan proses terjadinya, rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapa cara,
yakni dengan :
a. Analgetik perifer, yang merintangi terbentuknya ransangan pada reseptor nyeri
perifer.
b. Anestetika lokal, yang meringtangi penyaluran rasangan di saraf – saraf sensoris.
c. Analgetika sentral (narkotika), yang memblokir pusat nyeri di SSP dengan anestesi
umum
d. Antidepresiva trisiklis, yang digunakan pada nyeri kanker dan saraf, mekanisme
kerjanya belum diketahui, misal amitrptilin.
e. Antiepileptika, yang meningkatkan jumlah neurotransmitter di ruang sinaps pada
nyeri, misal pregabalin. Juga si karbamazepin, okskarbazepin, fenitoin, valproat, dll.
(Tjay, 2007)

KARAKTERISTIK BAHAN OBAT

1. Ibuprofen

Mekanisme
Ibuprofen adalah inhibitor non-selektif siklooksigenase, enzim yang terlibat
dalam sintesis prostaglandin melalui jalur asam arakidonat. Efek farmakologis yang
diyakini disebabkan oleh penghambatan cylooxygenase-2 (COX-2) yang
menurunkan sintesis prostaglandin yang terlibat dalam mediasi peradangan, nyeri,
demam dan pembengkakan. Efek antipiretik dimungkinkan karena tindakan/aksi
pada hipotalamus, yang mengakibatkan peningkatan aliran darah perifer,
vasodilatasi, dan disipasi panas berikutnya. Penghambatan COX-1 diduga
menyebabkan beberapa efek samping ibuprofen termasuk ulserasi GI. Untuk nyeri
yang ringan sampai sedang, terutama nyeri dismonorea primer. Obat ini dapat
diberikan dengan susu atau makanan untuk meminimalkan efek samping saluran
cerna. Zat ini merupakan campuran rasemis, dengan bentuk-dextro yang aktif.
Ibuprofen diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian oral, dan konsentrasi
puncak dalam plasma teramati setelah 15 sampai 30 menit. Waktu paruh dalam
plasma sekitar 2 jam. Ibuprofen banyak (99%) terikat pada protein plasma, tetapi
obat ini hanya menduduki sebagian dari seluruh tempat ikatan obat pada konsentrasi
biasa. Ibuprofen melintas dengan lambat ke dalam ruang sinovial dan mungkin tetap
berada pada konsentrasi yang lebih tinggi jika konsentrasi dalam plasma menurun.

2. Asam Mefenamat

Mekanisme kerja
Asam mefenamat mengikat reseptor penyintesis prostaglandin COX-1 dan
COX-2, menghambat aksi sintesis prostaglandin. Sebagai reseptor COX-1 dan COX-
2 ini memiliki peran sebagai mediator utama peradangan dan / atau peran sinyal
prostanoid dalam kegiatan-tergantung plastisitas meredakan gejala nyeri untuk
sementara.
Metabolisme
Asam mefenamat mengalami metabolisme oleh CYP2C9 menjadi asam
mefenamat 3-hidroksimetil, dan kemungkinan terjadi oksidasi lebih lanjut untuk
asam 3-carboxymefenamic. Kegiatan metabolit ini belum diteliti. Asam mefenamat
juga glucuronidated langsung.
3. Dexamethason

Deksametason adalah suatu glukokortikoid sintetis yang memiliki efek


antiinflamasi, antialergi dan anti shock yang sangat kuat, di samping sebagai
antirematik. Tidak menimbulkan efek retensi natrium dan dapat diterima oleh tubuh
dengan baik.
Mengurangi inflamasi dengan menekan migrasi neutrofil, mengurangi
produksi mediator inflamasi, dan menurunkan permeabilitas kapiler yang semula
tinggi dan menekan respon imun.
Mekanisme
Deksametason merupakan agonis glukokortikoid. Deksametason yang tidak
berikatan melintasi membran sel dan mengikat dengan afinitas tinggi terhadap
reseptor glukokortikoid sitoplasma tertentu. Kompleks ini mengikat unsur DNA
(elemen respon glukokortikoid) yang menghasilkan modifikasi transkripsi dan
karenanya, sintesis protein untuk mencapai penghambatan infiltrasi leukosit di lokasi
peradangan, gangguan dalam fungsi mediator respon inflamasi, pengurangan respon
imun humoral, dan pengurangan edema atau jaringan parut. Tindakan antiinflamasi
deksametason diduga melibatkan A2 fosfolipase protein inhibitor, lipocortins, yang
mengendalikan biosintesis mediator poten peradangan seperti prostaglandin dan
leukotrien.
Metabolisme

6-beta-
Cytochro hydroxy
Dexamethasone
me P450 dexamet
3A4 hasone
4. Metilprednisolon

Methylprednisolon adalah suatu glukokortikoid sintetis yang memiliki efek


antiinflamasi, antialergi dan anti shock yang sangat kuat, di samping sebagai
antirematik.
Sebagai adrenokortikoid, metilprednisolon berdifusi melewati membran dan
membentuk komplek dengan reseptor sitoplasmik spesifik. Komplek tersebut
kemudian memasuki inti sel, berikatan dengan DNA, dan menstimulasi rekaman
messenger RNA (mRNA) dan selanjutnya sintesis protein dari berbagai enzim akan
bertanggung jawab pada efek sistemik adrenokortikoid. Bagaimanapun, obat ini
dapat menekan perekaman mRNA di beberapa sel (contohnya: limfosit).

Efek Glukokortikoid:
Anti-inflamasi (steroidal)
Glukokortikoid menurunkan atau mencegah respon jaringan terhadap proses
inflamasi, karena itu menurunkan gejala inflamasi tanpa dipengaruhi penyebabnya.
Glukokortikoid menghambat akumulasi sel inflamasi, termasuk makrofag dan
leukosit pada lokasi inflamasi. Metilprednisolon juga menghambat fagositosis,
pelepasan enzim lisosomal, sintesis dan atau pelepasan beberapa mediator kimia
inflamasi. Meskipun mekanisme yang pasti belum diketahui secara lengkap,
kemungkinan efeknya melalui blokade faktor penghambat makrofag (MIF),
menghambat lokalisasi makrofag: reduksi atau dilatasi permeabilitas kapiler yang
terinflamasi dan mengurangi lekatan leukosit pada endotelium kapiler, menghambat
pembentukan edema dan migrasi leukosit; dan meningkatkan sintesis lipomodulin
(macrocortin), suatu inhibitor fosfolipase A2-mediasi pelepasan asam arakhidonat

dari membran fosfolipid, dan hambatan selanjutnya terhadap sintesis asam


arakhidonat-mediator inflamasi derivat (prostaglandin, tromboksan dan leukotrien).
5. Parasetamol ( N-asetil-p-aminofenol )
Asetaminofen merupakan obat lain pengganti aspirin yang efektif sebagai
obat analgesik-antipiretik; namun, tidak seperti aspirin, aktivitas antiradangnya
lemah sehingga bukan merupakan obat yang berguna untuk menangani kondisi
radang. Karena asetaminofen ditoleransi dengan baik, banyak efek samping aspirin
tidak dimiliki asetaminofen, dan dapat diperoleh tanpa resep. Namun, overdosis akut
menyebabkan kerusakan hati yang fatal.Asetaminofen hanya merupakan inhibitor
siklooksigenase yang lemah dengan adanya peroksida konsentrasi tinggi yang
ditemukan pada lesi radang, karena itu efek antiradang asetaminofen lemah. Efek
antipiretiknya dapat dijelaskan dengan kemampuannya menghambat siklooksigenase
di otak, yang tonus peroksidanya lemah. Selain itu, asetaminofen tidak menghambat
aktivasi neutrofil, sedangkan NSAID lain menghambat aktivasi tersebut. Konsentrasi
asetaminofen dalam plasma mencapai puncak dalam 30 sampai 60 menit, waktu
paruh dalam plasma sekitar 2 jam setelah dosis terapeutik.

6. Natrium Diklofenak
Diklofenak

Mekanisme
Efek antiinflamasi diklofenak diyakini terjadi karena penghambatan dari
kedua migrasi leukosit dan enzim cylooxygenase (COX-1 dan COX-2) yang
menyebabkan penghambatan sintesis prostaglandin perifer. Prostaglandin reseptor
yang peka terhadap rasa sakit, penghambatan sintesis ini ditujukan untuk efek
analgesik diklofenak. Efek antipiretik terjadi karena tindakan/aksi pada hipotalamus,
yang mengakibatkan dilatasi perifer, meningkatkan aliran darah kulit, dan disipasi
panas berikutnya.
III. ALAT DAN BAHAN
1. Alat
a) Sonde untuk sediaan oral f) Termometer
b) Stopwatch g) Beaker Glass
c) Neraca Ohaus h) Labu takar
d) Holder Tikus i) Aquarium kaca
e) Waterbath j) Kapas
2. Bahan
a) Larutan suspensi Ibuprofen, Asam mefenamat, Natrium Diklofenak,
Dexamethason, Metil Predinisolon, Paracetamol
b) Alkohol
3. Hewan Uji
a) Tikus putih jantan
IV. SKEMA KERJA

Satu angkatan dibagi menjadi 6 kelompok dengan bahan obat analgesik yang berbeda

Masing-masing kelompok mencatat waktu yang dibutuhkan tikus untuk menjentikkan


ekor keluar dari penangas. Dilakukan replikasi 3X selang waktu 2 menit dengan
percobaan pertama diabaikan.

1. Kelompok G : Bahan obat Ibuprofen dan kontrol


2. Kelompok H : Bahan obat Asam Mefenamat dan kontrol
3. Kelompok I : Bahan obat Dexamethason dan kontrol
4. Kelompok J : Bahan obat Methylprednisolon dan kontrol
5. Kelompok K : Bahan obat Paracetamol dan kontrol
6. Kelompok L : Bahan obat Natrium Diklofenak dan kontrol

Diamkan 10 menit dan catat respon masing-masing tikus

Diulangi penilaian respon selang 20, 30, 60 dan 90 menit sampai respon analgetik
hilang

Dicatat pada tabel pengamatan dan pengolahan data


V. DATA PENGAMATAN
Asam Mefenamat
 Dosis Asam mefenamat = 500 mg/50 kgBB
70 𝑘𝑔
 Dosis BB 70 kg manusia = 50 𝑘𝑔 × 500 𝑚𝑔 = 700 mg/70 kg BB manusia

 Dosis tikus 200 g = 0,018 x 700 mg = 12,6 mg/200 g BB tikus


 BB tikus terbesar = 164,8 g
164,8 𝑔
 Dosis tikus terbesar = × 12,6 = 10,3824 mg/164,8 g BB tikus
200 𝑔
𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟 10,3824 𝑚𝑔
 Konsentrasi Stok = 1 = 1 = 4,15296 mg/ml
𝑉𝑝 5 𝑚𝑔
2 2

 Dibuat larutan stok 100 ml


4,15296 mg/ml x 100 ml = 415,296
 Serbuk yang ditimbang ( rata – rata tablet = 638,96 mg )
415,296 𝑚𝑔
× 638,96 𝑚𝑔 = 530,715 𝑚𝑔
500 𝑚𝑔

Berat sebenarnya = 534,5 mg


534,5 𝑚𝑔
 Koreksi kadar = 638,96 𝑚𝑔 × 500 𝑚𝑔 = 418,257 mg/100 ml = 4,18257 mg/ml

TIKUS I (156,5 g)
156,5 𝑔
 Dosis = × 12,6 𝑚𝑔 = 9,8595 𝑚𝑔
200 𝑔
9,8595𝑚𝑔
 Vp = 4,18257 mg/ml = 2,3573 ml ̴ 2,3 ml

TIKUS II (153,4 g)
153,4 𝑔
 Dosis = × 12,6 𝑚𝑔 = 9,8532 𝑚𝑔
200 𝑔
9,8532 𝑚𝑔
 Vp = 4,18257 mg/ml = 2,3558 ml ̴ 2,3 ml

TIKUS III (133,4 g)


133,4 𝑔
 Dosis = × 12,6 𝑚𝑔 = 8,4042 𝑚𝑔
200 𝑔
8,4042 𝑚𝑔
 Vp = 4,18257 mg/ml = 2,0093 ml ̴ 2,0 ml

TIKUS IV (164,8 g)
164,8 𝑔
 Dosis = × 12,6 𝑚𝑔 = 10,3824 𝑚𝑔
200 𝑔
10,3824 𝑚𝑔
 Vp = 4,18257 mg/ml = 2,4823 ml ̴ 2,5 ml
TABEL DATA PENGAMATAN ANALGESIK

Respon
Perlakuan awal T10 T20 T30 T60 T90 T120 T150 T180
(detik)
2.0 2 2 2.3 3 3.6 3 4.3
2.6 3.3 2.6 3.3 3 3.7 3 4.3
Ibuprofen
3.3 2.7 3.3 3 3 3 3.3 5.3
2.3 2.3 3.7 3 3.3 3.7 3.3 4
Rata – rata 2.55 2.57 2.9 2.9 3.08 3.5 3.15 4.48
1.88 2.46 3.25 6.93 7.67 5.09 3.61
Asam 2.24 4.91 6.97 9.16 7.49 6.60 3.84
mefenamat 1.68 2.90 6.51 9.91 9.77 4.05 2.94
2.82 8.63 14.50 10.92 5.21 4.64 2.34
Rata – rata 2.16 4.73 7.81 9.23 7.55 5.10 3.19
2.22 2.13 2.13 1.47 1.65 1.52
2.7 1.37 1.87 2.11 1.53 1.65
Dexamethasone
2.19 2.33 1.97 1.87 1.84 1.86
2.93 2.3 1.43 1.63 1.71 1.76
Rata – rata 2.51 2.03 1.85 1.77 1.68 1.70
2.15 2.05 2.12 1.69 1.71 1.70
Methyl 1.52 2.35 1.84 1.78 1.98 1.17
prednisolon 0.89 2.45 2.34 1.98 1.24 1.50
1.55 1.64 1.11 1.26 1.54 1.19
Rata – rata 1.53 2.12 1.85 1.68 1.62 1.39
1.23 2.95 2.07 1.27 0.92 0.88 1.20 0.79 0.58
2.07 3.40 2.43 1.28 1.09 0.72 1.07 0.59 0.56
Paracetamol
1.62 1.57 1.59 0.85 1.15 0.79 0.84 0.66 0.62
1.38 2.28 2.20 1.61 0.88 0.86 0.90 0.83 0.82
Rata – rata 1.58 2.55 2.07 1.25 1.01 0.81 1.00 0.72 0.65
2.24 1.21 1.25 1.48 1.23 1.00 1.32 0.96
1.67 1.62 2.04 1.50 1.02 0.70 1.06 0.76
Na. Diklofenak
2.05 1.76 1.13 1.42 1.48 0.72 1.25 0.99
1.62 1.26 0.81 1.22 1.13 0.62 1.01 1.07
Rata – rata 1.89 1.46 1.31 1.41 1.22 0.76 1.16 0.95
2.02 2.47 3.31 2.96 2.21 2.5 2.44
1.84 1.73 3.24 3.13 1.96 1.92 1.43
Kontrol
2.38 2.35 3.41 2.8 2.94 3.6 1.99
2.20 2.42 2.68 4.37 2.76 3.74 1.30
Rata – rata 2.11 2.25 3.17 3.32 2.47 2.94 1.79
WAKTU MENJENTIKKAN EKOR (DETIK)
KELOMPOK
0’ 10’ 20’ 30’ 60’ 90’ 120' 150' 180'

G IBUPROFEN 2,55 2,58 2,9 2,9 3,08 3,5 3,15 4,48


H ASAM
MEFENAMAT 2,16 4,73 7,81 9,23 7,55 5,1 3,19
I DEXAMETASONE 2,51 2,03 1,85 1,77 1,68 1,7
J METIL 1,53 2,12 1,85 1,68 1,62 1,39
PREDNISOLON
K PARASETAMOL 1,58 2,55 2,07 1,25 1,01 0,81 1 0,72 0,65
L NATRIUM
DIKLOFENAK 1,46 1,31 1,41 1,22 0,76 1,16 0,95
H NEGATIF CMC Na 2,11 2,25 3,17 3.32 2.47 2.94 1.79

GRAFIK WAKTU (MENIT) VS JENTIK

10
J
9
E
N 8
IBUPROFEN (G)
T 7
ASAM MEFENAMAT (H)
I 6
K DEXAMETHASONE (I)
5
METIL PREDISOLON (J)
E 4
PARACETAMOL (K)
K 3 NATRIUM DIKLOFENAK (L)
O
2 H NEGATIF CMC Na
R
1
0
0’ 10’ 20’ 30’ 60’ 90’ 120' 150' 180'

WAKTU (MENIT)
KURVA PERBANDINGAN ASAM MEFENAMAT DAN KONTROL
J
10
E
9
N
8
T
7
I
6
K
5 ASAM MEFENAMAT
4 KONTROL NEGATIF
E
3
K
2
O
1
R
0
0’ 10’ 20’ 30’ 60’ 90’ 120' 150' 180'

WAKTU (MENIT)

VI. PEMBAHASAN
Analgetika adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi atau
menghalau rasa sakit atau nyeri. Tujuan dari percobaan kali ini adalah mengenal,
mempraktekkan, dan membandingkan daya analgetika dari obat ibuprofen, asam
mefenamat, dexamethasone, methyl prednisolone, parasetamol, dan natrium diklofenak
menggunakan metode jentik ekor. Percobaan ini dilakukan terhadap hewan percobaan,
yaitu tikus putih. Metode jentik ekor yaitu menggunakan rangsang nyeri berupa air panas
(50°C), dimana ekor tikus dimasukkan ke dalam air panas akan merasakan nyeri panas
dan ekor dijentikkan keluar air panas. Metode ini berguna untuk mempelaj ari
pengaruh obat-obatan analgesik atau stimulus berbahaya pada tikus. Hal ini
bertujuan untuk menentukan sensitivitas rasa sakit pada hewan dengan mengukur latensi
respon penghindaran ketika rasa sakit yang disebabkan oleh panas.
Analgetik adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf secara
selektif. Digunakan untuk mengurangi rasa sakit tanpa mempengaruhi kesadaran.
Analgetik bekerja dengan meningkatkan nilai ambang persepsi rasa sakit. Berdasarkan
meknisme kerja analgetik dibagi menjadi dua yaitu analgetik non narkotik dan analgetik
narkotik. Analgetik non-narkotik digunakan untuk mengurangi rasa sakit yang ringan
sampai moderat, sehingga sering disebut analgetik ringan. Analgetik non-narkotik
bekerja menghambat enzim siklooksigenase dalam rangka menekan sintesis
prostaglandin yang berperan dalam stimulus nyeri dan demam. Sedangkan Analgetik
narkotik adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif.
Efek analgesik dihasilkan oleh adanya pengikatan obat dengan sisi reseptor khas pada sel
dalam otak dan spinal cord. Rangsangan reseptor juga menimbulkan efek euphoria dan
rasa mengantuk.
Pada praktikum kali ini menggunakan obat analgetik non narkotik yaitu
ibuprofen, asam mefenamat, dexamethasone, methyl prednisolone, parasetamol, dan
natrium deklofenak yang disuspensikan dalam CMC Na 0.5%. Dibuat bentuk sediaan
suspensi karena bahan obat tersebut tidak dapat larut dalam air. Dipilih obat tersebut
karena salah satu indikasi dari obat – obat tersebut adalah sebagai analgetik. Dengan
kontrol menggunakan CMC Na 0.5%. Selain itu dalam praktikum ini hewan uji yang
digunakan yaitu tikus putih. Tikus putih digunakan sebagai hewan uji karena mudah
disimpan dan dipelihara serta bisa beradaptasi baik dengan lingkungan baru. Selain itu
tikus percobaan hampir identik secara genetis dengan manusia. Genetik mereka,
karakteristik biologi dan perilakunya sangat mirip manusia, dan banyak gejala kondisi
manusia dapat direplikasi pada tikus.
Pada percobaan ini pemberian cairan baik obat maupun CMC Na pada tikus harus
disesuaikan dosis serta volumenya, hal ini dilakukan supaya tidak terjadi overdosis dan
pemberian volume yang berlebihan kepada hewan uji. Konversi dosis pada praktikum ini
yaitu dosis manusia kepada hewan uji yaitu tikus. Konversi dosis manusia ke tikus
dikalikan 0,018 dari dosis manusia 70kg ke mencit 200g yang kemudian disesuaikan
dengan berat badan tikus.
Langkah kerja dari percobaan ini adalah obat diberikan kepada tikus putih
terlebih dahulu secara peroral agar senyawa analgetik mencampai kadar puncak dalam
plasma terlebih dahulu kemudian diberikan rangsang nyeri untuk mengetahui efeknya.
Sehingga dari masing – masing obat analgetik yang diberikan kita dapat
membandingkan obat mana yang dapat bekerja secara efektif dalam menghilangkan rasa
nyeri yang dapat dibandingkan dengan perlakuan hewan uji yang digunakan sebagai
kontrol. Hewan uji yang digunakan sebagai kontrol hanya deberikan larutan CMC Na
0,5 %, digunakan CMC Na karena yang digunakan untuk melarukan semua bahan
obatnya adalah CMC Na, sehingga dapat dipakai untuk perbandingan bahwa bahan
pembawanya tidak memberikan efek ( sebagai faktor koreksi saja ) dengan parameter
waktu yang dibutuhkan tikus untuk menjentikkan ekor. Pengamatan dilakukan pada t0,
t10, t20, t30, t60, t90, t120, t150, t180, dan seterusnya sampai efek analgesik hilang.
Mediator nyeri antara lain : histamin, serotonin, plasmakinin-plasmakinin,
prostaglandin-prostaglandin, ion-ion kalium. Zat-zat ini merangsang reseptor- reseptor
nyeri pada ujung saraf bebas di kulit, selaput lendir,dan jaringan, lalu dialirkan melalui
saraf sensoris ke susunan syaraf pusat (SSP) melalui sumsum tulang belakang ke talamus
dan ke pusat nyeri di otak besar (rangsangan sebagai nyeri). Sehingga timbul rasa nyeri
yang dapat dilihat terjadi pada hewan uji dengan adanya jentikan ekor yang menandakan
tikus merasakan kesakitan .
Selanjutnya, efek nyeri itu akan bereaksi dengan obat analgetik yang diberikan.
Dengan adanya obat analgetik maka ambang nyeri ditingkatkan sehingga menyebabkan
respon terhadap nyeri itu lebih kecil. Semua obat analgetik non opioid yang digunakan
pada percobaan ini, bekerja melalui penghambatan siklooksigenase. Obat – obat tersebut
menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin
terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda.
Pada praktikum kali ini pemberian asam mefenamat memberikan efek analgesik
yang lebih cepat dibandingkan pemberian suspensi obat lain. Selanjutnya disusul
ibuprofen, dexamethasone, methyl prednisolone dan natrium diklofenak. Hal ini sesuai
teoritis karena asam mefenamat mengikat reseptor penyintesis prostaglandin COX-1 dan
COX-2, menghambat aksi sintesis prostaglandin. Sebagai reseptor COX-1 dan COX-2
ini memiliki peran sebagai mediator utama peradangan dan / atau peran sinyal prostanoid
dalam kegiatan-tergantung plastisitas meredakan gejala nyeri untuk sementara. Asam
mefenamat adalah analgesik kelompok AINS tetapi sifat anti iflamasinya rendah. Asam
mefenamat biasa digunakan untuk mengatasi berbagai jenis rasa nyeri. Asam mefenamat
terikat sangat kuat pada protein plasma.
Ibuprofen efektif untuk nyeri yang ringan sampai sedang, terutama nyeri
dismonorea primer. Ibuprofen merupakan kelompok propionat dari obat non steroid anti
inflamasi, merupakan campuran rasemis dengan bentuk dextro yang aktif. Daya
analgesik dan daya anti radang cukup baik. Resorpsinya di usus cepat dan baik, resopsi
rektal lebih lambat. Mekanisme kerjanya ibuprofen yaitu inhibisi reversibel
siklooksigenase dengan waktu paruh 2 jam dan obat di eliminasi melalui ginjal.
Deksametason adalah suatu glukokortikoid sintetis yang memiliki efek
antiinflamasi, antialergi dan anti shock yang sangat kuat, di samping sebagai antirematik.
Metil prednisolon mampu menekan reaksi radang dan reaksi alergi ; udem otak.
Methylprednisolon merupakan glukokortikoid turunan prednisolon yang mempunyai
efek kerja dan penggunaan yang sama seperti senyawa induknya. Metilprednisolon tidak
mempunyai aktivitas retensi natrium seperti glukokortikosteroid yang lain.
Obat analgetik yang memiliki daya analgetik dengan presentasi yang tidak terlalu
tinggi adalah Paracetamol karena Paracetamol merupakan derivat-asetanilida adalah
metabolit dari fenasetin. Paracetamol berkhasiat sebagai analgetik dan antipiretik,
Paracetamol dianggap sebagai zat antinyeri yang paling aman karena tidak mengirotasi
lambung . Paracetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat, inilah yang
menyebabkan Paracetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat
pengaturan panas. Paracetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase
perifer. Inilah yang menyebabkan Paracetamol hanya menghilangkan atau mengurangi
rasa nyeri ringan sampai sedang. Paracetamol tidak mempengaruhi nyeri yang
ditimbulkan efek langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa Paracetamol
menghambat sintesa prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin. Obat ini
menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesa prostaglandin, tetapi
demam yang ditimbulkan akibat pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian
pula peningkatan suhu oleh sebab lain.
Natrium diklofenak digunakan untuk indikasi nyeri dan radang pada penyakit
reumatik (termasuk juvenil arthritis) dan gangguan otot sekelet lainnya. Na-Diklofenak
merupakan golongan obat non steroid dengan aktivitas anti inflamasi, analgesik dan
antipiretik. Aktivitas diklofenak dengan jalan menghambat enzim siklo-oksigenase
sehingga pembentukan prostaglandin terhambat.
Berdasarkan data pengamatan obat dexamethasone pada t20 dan natrium
diklofenak pada t10 menunjukkan waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan t0.
Dimana menurut teoritis seharusnya waktu yang dibutuhkan tikus untuk menjentikkan
ekornya (setelah pemberian obat) harus menunjukan waktu yang lebih lama
dibandingkan sebelum diberi obat. Perbedaan nilai rata-rata pada masing masing obat
dapat disebabkan karena tiap tikus memiliki ambang nyeri yang berbeda. Selain itu
kondisi biologis tikus berbeda – beda dan adanya perbedaan persepsi dalam pengamatan
jentikan ekor tikus.

VII. KESIMPULAN
 Analgetika adalah suatu obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi rasa
sakit (nyeri). Nyeri adalah suatu rasa sakit yang terjadi akibat adanya rangsangan
kimiawi yang dapat merusak jaringan.
 Metode yang digunakan pada praktikum ini adalah metode jentik ekor.
 Pada praktikum kali ini pemberian asam mefenamat memberikan efek analgesik yang
lebih cepat dibandingkan pemberian suspensi obat lain. Selanjutnya disusul ibuprofen,
dexamethasone, methyl prednisolone dan natrium diklofenak. Hal ini sesuai teoritis
karena asam mefenamat mengikat reseptor penyintesis prostaglandin COX-1 dan
COX-2, menghambat aksi sintesis prostaglandin. Sebagai reseptor COX-1 dan COX-2
ini memiliki peran sebagai mediator utama peradangan dan / atau peran sinyal
prostanoid dalam kegiatan-tergantung plastisitas meredakan gejala nyeri untuk
sementara.

VIII. DAFTAR PUSTAKA


Tjay,Tan Hoan,Drs.,2007. Obat – Obat Penting. Jakarta : PT Elex Media Komputindo.
Priyanto.2008 Farmakologi Dasar. Depok, Jawa Barat : LESKONFI.
Siswandono.2008. Kimia Medisinal I. Surabaya: Airlangga University Press.

Mengetahui, Semarang, 5 April 2016


Dosen Pengampu Praktikan

Fx. Sulistyanto, M.Si.,Apt Sherlynda Astrid P (1041311143)

Erna Prasetyaningrum, M.Sc.,Apt Ayu Evita Sari (1041411032)

Beta Sukmawati (1041411038)

Christia Arindhita (1041411043)

Dea Ajeng S. F (1041411046)

Anda mungkin juga menyukai