Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, yang secara tegas telah dinyatakan
dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berbicara mengenai negara hukum, tentu tidak terlepas dari pembicaraan mengenai hak-hak
konstitusional Warga Negara. Negara hukum dan hak-hak konstitusional memiliki keterkaitan
atau hubungan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, hal ini bisa dilihat
dari ciri-ciri suatu negara hukum yang mencerminkan esensi dari negara hukum itu sendiri.

Salah satu cara untuk memperjuangkan “hak” bagi setiap warga negara sebagai
penyandang hak dan kewajiban adalah berjuang melalui jalur hukum. Begitu juga dengan
“keadilan” yang secara theoritis merupakan cita-cita hukum. Hukum adalah rule of the
game bagi semua interaksi manusia dalam hidup berbangsa dan bernegara. Tentunya agar
masyarakat menghormati hukum tidak dapat tidak hukum itu harus berwibawa agar dapat
dipatuhi oleh semua subyek hukum. Namun dalam kenyataannya masyarakat cenderung tidak
patuh pada hukum karena wibawa hukum “tidak ada”.

Wibawa hukum sebagian besar terletak pada konsistensi para Penegak Hukum itu sendiri
yang memang dirasakan kurang berwibawa. Seperti orang bijak berkata : “sebaik-baik hukum
yang dibuat dan diberlakukan disuatu negara jika Penegak Hukumnya brengsek maka sama
dengan brengseknya hukum itu sendiri”. Nah, kalau “hukum” tidak lagi memperikan kepastian
bagi seseorang untuk memperoleh haknya, dan/atau kalau “hukum” tidak lagi dapat dipercaya
sebagai cara terhormat untuk memperoleh keadilan, maka dapat dipastikan masyarakat akan
cenderung menggunakan cara yang kedua yaitu dengan menggunakan “kekerasan” yang nota
bene dengan cara main hakim sendiri ( eigen rechting ).

Bila suatu negara dalam kehidupan masyarakatnya lebih dominan berlaku hukum rimba
ketimbang hukum normatif yang legal formal maka masyarakat tersebut akan cenderung tunduk
kepada kelompok-kelompok atau perorangan yang mempunyai kekuatan phisik, seperti
kelompok tertentu yang mempunyai basis massa yang kuat atau kelompok-kelompok
premanisme. Dimana setiap persoalan yang muncul dalam masyarakat akan cenderung
diselesaikan dengan cara-cara yang berbau kekuatan phisik. Agaknya main hakim sendiri atau
penyelesaian masalah melalui kekuatan phisik sudah menjadi megatrend dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, baik dalam kehidupan sosial-politik yang lebih mengandalkan
“kekuatan phisik” atau berorientasi pada basis massa yang kuat dalam mencapai tujuan-tujuan
politiknya ketimbang menjual program-program partai atau kelompoknya. Sedang dalam
kehidupan sosial ekonomi ditandai dengan banyaknya muncul debt kolektor dan/atau
menggunakan kelompok-kelompok tertentu yang mempunyai kekuatan phisik yang ditakuti
ketimbang menyelesaikan masalah ekonominya melalui negosiasi dan hukum.
Semua fenomena tersebut menunjukkan bahwa kelompok masyarakat kita cenderung
menyiapkan kekuatan phisik sebagai langkah antisipasi dalam menyelesaikan setiap masalahnya
ketimbang menggunakan jalur hukum yang mereka nilai tidak efektif. Maka dalam membangun
masarakat madani yang sadar dan patuh pada hukum Pemerintah harus secepatnya
membangun moral force (kekuatan moral) yang dimulai dari para Penegak Hukum dengan
mensosialisasikan hakikat perlunya hukum dipatuhi oleh masyarakat dibarengi dengan
menindak secara tegas setiap anggota / kelompok masyarakat yang melakukan cara main hakin
sendiri dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang mereka hadapi. Memang hal itu
tidaklah mudah karena budaya main hakim sendiri masih sering terjadi dikalangan Penegak
Hukum itu sendiri. Inilah suatu problema dilematis kronis yang sedang kita hadapi. Yang pasti
jangan biarkan kita mempertanyakan masalah penegakan hukum di Indonesia ini kepada rumput
yang bergoyang.

1.2 Rumusan Masalah

1. Mengapa orang enggan berhubungan dengan polisi ?


2. Mengapa orang cenderung main hakim sendiri ?
3. Mengapa proses hukum menjadi/dijadikan ladang bisnis ?
4. Mengapa terjadi mafia dalam proses hukum ?

1.3 Tujuan Dan Kegunaan

 Tujuan
1. Untuk mengetahui alasan kenapa masyarakat membatasi diri atau “enggan”
berhubungan dengan polisi.
2. Untuk mengetahui mengapa masyarakat memiliki kecenderungan untuk main
hakim sendiri.
3. Untuk mengetahui mengapa proses hukum menjadi lahan bisnis.
4. Untuk mengetahui mengapa terjadi mafia dalam proses penegakan hukum.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Alasan penyebab orang tidak mau berurusan dengan polisi di Indonesia

Bagi sebagian orang, polisi di indonesia memiliki citra yang sangat buruk, sedangkan
bagi sebagian yang lainnya polisi di indonesia memiliki citra yang baik. Memang merupakan
sesuatu hal yang wajar di dalam suatu kumpulan orang banyak terdapat oknum-oknum yang
memiliki perilaku yang tidak baik. Walaupun Kepolisian Republik Indonesia memiliki tujuan
serta visi misi yang baik, namun tetap saja ada oknum yang perilakunya tidak mencerminkan
sebagai anggota polisi yang baik.

Perilaku oknum-oknum kepolisian yang tidak bersahabat dengan masyarakat membuat


masyarakat menggeneralisir bahwa perilaku semua polisi adalah sama saja. Padahal belum tentu
demikian adanya. Walaupun mungkin saja jumlah anggota polisi yang tidak baik ada banyak,
namun pasti ada saja anggota polisi yang berhati mulia. Polisi-polisi yang baik mungkin saja
selalu berupaya menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Walau
terkadang terpaksa melakukan sesuatu yang tidak baik karena ditugaskan oleh pimpinannya
walaupun merasa tidak sesuai dengan hati nurani.

Ada banyak faktor penyebab masyarakat enggan untuk berhubungan dengan polisi. Di
antaranya adalah beberapa pandangan negatif masyarakat sebagai berikut di bawah ini :

1. Polisi Materialistis

Banyak orang yang enggan mengurus sesuatu di kepolisian karena menganggap polisi itu
mata duitan. Mau urus ini itu harus memberikan sejumlah uang terlebih dahulu secara langsung
maupun tidak langsung agar tidak dipersulit. Mau lapor pengaduan, urus surat keterangan
catatan kepolisian (SKCK), urus surat izin mengemudi (SIM), urus surat tanda nomor kendaraan
(STNK), dan lain sebagainya.

2. Polisi Mempersulit Proses Segala Sesuatu

Budaya di negara kita Indonesia yang pemerintahnya masih dianggap suka mempersulit
warga masyarakatnya sendiri sudah pasti akan berimbas ke polisi. Polisi pun tidak luput dari
anggapan masyarakat yang negatif tersebut. Proses yang berbelit-belit serta banyaknya tahapan
yang harus dijalankan seseorang dalam mengurus sesuatu membuat orang awam akan berpikiran
demikian.

3. Polisi yang Tidak Banyak Membantu

Orang Indonesia lebih suka tidak melaporkan tindak kejahatan yang menimpanya karena
merasa tidak ada gunanya melapor ke polisi. Polisi yang sibuk dengan berbagai tugas-tugasnya
serta jumlah anggota polisi yang sangat terbatas mambuat para korban tindak kriminal malas
melapor ke kantor polisi. Belum lagi adanya isu tentang polisi yang meminta uang dari pelapor
untuk membantu proses penyidikan serta polisi yang meminta sejumlah uang kepada korban
yang ingin mengambil barang bukti kejahatan. Jadi bukan hal yang langka di negara kita di
mana banyak pelaku tindakan kriminalitas dihakimi massa karena ketidakpercayaan masyarakat
pada hukum.

4. Sulit Menarik Laporan Pengaduan

Sekali melapor maka proses hukum akan terus berjalan hingga ke persidangan di
pengadilan dan akhirnya berakhir dengan vonis pengadilan pada pelaku. Apabila di tengah jalan
pelaku dan korban sama-sama beritikad baik ingin menyelesaikan masalah secara kekeluargaan,
maka kemungkinan besar polisi tidak akan mau memprosesnya.

5. Saksi Bisa Menjadi Tersangka

Banyak orang yang menghindar menjadi saksi suatu tindak kejahatan karena takut turut
menjadi korban tindak kejahatan akibat dari tidak jelasnya perlindungan saksi oleh
kepolisian. Menjadi saksi pun juga repot karena harus meluangkan banyak waktu untuk
memberikan kesaksian di kepolisian dan pengadilan. Saksi bisa saja terzalimi oleh pelaku
kejahatan yang memiliki pengaruh yang sangat kuat. Belum lagi adanya berita yang tentang
saksi yang menjadi tersangka menambah keengganan banyak orang untuk menjadi saksi tindak
kriminalitas di indonesia.

Apabila polisi Indonesia tidak mampu mengubah pandangan masyarakatnya, jangan salahkan
masyarakat jika masyarakat menjaga seperti jarak dengan polisi. Oleh karena itu tidak ada
pilihan lain bagi Polri untuk segera berbenah diri secara menyeluruh untuk memperbaiki
citranya. Apalah gunanya polisi jika masyarakatnya menjaga jarak dan enggan untuk bermitra
dengan polisi? Mari kita renungi bersama demi kebaikan kita bersama, terima kasih.

B. Mengapa orang cenderung main hakim sendiri

Main hakim sendiri, seolah akhir-akhir ini telinga kita sudah seringkali mendengar hal
tersebut. Kebiasaan main hakim sendiri telah ada sejak dahulu, dan berkembang semenjak
adanya gerakan reformasi. Di mana semua orang memiliki keberanian dan kebebasan dalam
berbicara, bertindak, dan sebagainya, yang kemudian menumbuhkan “kekuasaan".

Kekuasaan tersebut biasanya diperankan secara berkelompok. Satu orang mempengaruhi


orang lain hingga banyak orang yang terpengaruh untuk melakukan main hakim sendiri. Hal ini
mencerminkan bahwa masyarakat kita masih memiliki “mental kelompok”, hanya berani
bertindak bila dilakukan berkelompok.

Ada beberapa hal yang menjadi pemicu timbulnya main hakim sendiri, antara lain:
1. Pertama, adanya keretakan hubungan antara penjahat atau yang diduga penjahat dan
korban atau pihak yang merasa dirugikan, yang tidak segera dipecahkan masalahnya.
Korban atau pihak yang merasa dirugikan ini merasa hak-haknya diinjak-injak bahkan
dihancurkan, maka pihak yang merasa dirugikan ini ingin mempertahankan kepentingan
dan hak-haknya secara langsung.
2. Kedua, munculnya main hakim sendiri adalah adanya ketidakpercayaan masyarakat
terhadap perangkat hukum. Masyarakat menilai hukuman yang diberikan oleh aparat
penegak hukum tidaklah adil dan setimpal dengan apa yang diperbuat si pelaku
kejahatan.
3. Ketiga, adanya sifat spontan dari sekelompok masyarakat yang bersumber dari faktor
tekanan sosial. Banyaknya pengangguran dan kondisi ekonomi yang sulit membuat
masyarakat menjadi frustasi dan tidak berpikiran panjang. Tindakan main hakim sendiri
inilah yang menjadi “lahan” pelampiasan dari tekanan jiwa tersebut.
4. Keempat, masyarakat tidak mengetahui bagaimana cara melaporkan tindak kejahatan.
Tidak adanya nomor kontak polisi yang mudah diketahui masyarakat dan juga jarak
antara tempat kejadian dengan kantor polisi yang jauh. Hal ini menyebabkan polisi
datang setelah penjahat atau yang diduga penjahat ini sudah habis dihakimi massa.
5. Kelima, tidak adanya pelerai atau pihak yang berusaha menghalangi tindakan main
hakim sendiri tersebut. Di zaman yang berteknologi tinggi ini malah banyak masyarakat
sibuk mengabadikan momen main hakim sendiri dengan ponsel genggamnya, bukan
menjadi penengah.

Tindakan main hakim sendiri (eigenrechting) dapat dilakukan oleh perseorangan,


masyarakat, oknum pejabat sipil, atau oknum penegak hukum. Sebelum tumbangnya Orde Baru,
tindakan tersebut lebih didominasi oleh oknum aparat terhadap lawan politik negara.

Menjelang akhir Orde Baru, muncul fenomena tindakan main hakim sendiri yang
dilakukan oleh masyarakat sipil, seperti dipicu oleh “kebijakan” aparat melalui “penembakan
misterius” (petrus), hingga pembunuhan antar preman, pembunuhan terhadap orang-orang yang
dituduh tukang “santet” (Nur Ismanto, 2000).

Seringkali kita mendengar berita atau bahkan melihat langsung pelaku kejahatan yang
ketahuan oleh warga sekitar langsung saja diberikan “bogem mentah”. Seharusnya pelaku
kejahatan tersebut ditangkap dan diserahkan ke pihak berwajib untuk diproses secara hukum,
tetapi malah langsung ditangani sendiri oleh masyarakat sekitar. Padahal tindakan tersebut
malah menimbulkan masalah baru.

Pelaku main hakim sendiri seringkali tidak diproses secara hukum. Hal ini disebabkan
karena tidak ada yang melaporkan tindakan tersebut. Apalagi bila korban dari main hakim
sendiri ini memang benar adalah pelaku kejahatan. Korban tersebut tidak akan melaporkan
masalah ini ke pihak berwajib, karena itu sama saja dengan melaporkan kejahatannya sendiri.
Negara Indonesia merupakan negara hukum, di mana semuanya ada yang mengatur.
Tetapi seolah masyarakatnya enggan menyelesaikan masalah dengan hukum. Penjatuhan
hukuman atas kesalahan adalah monopoli negara, bukan perseorangan. Sehingga masyarakat
tidak berhak untuk menghakimi pelaku kejahatan.

Contoh kasus main hakim sendiri, yaitu pembakaran begal yang dilakukan di daerah
Pondok Aren, Tangerang pada tanggal 24 Februari 2015. Berawal dari sekawanan begal yang
menghalangi sebuah motor, namun aksi tersebut gagal dan membuat sekawanan begal tersebut
melarikan diri dan meninggalkan satu orang temannya. Seorang pembegal yang ditinggalkan
inilah yang menjadi amukan warga. Pembegal diberikan “bogem mentah” dan ditelanjangi
sebelum akhirnya dibakar hidup-hidup.

Kasus lain dari main hakim sendiri yang sedang hangat dibicarakan adalah pembakaran
seorang pria berinisial MA yang diduga mencuri amplifier mushola di daerah Babelan,
Kabupaten Bekasi. Terlepas dari benar atau tidaknya MA mencuri, hal ini sangat disayangkan
apalagi sampai membakar hidup-hidup seseorang yang masih diduga pencuri.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, bagi siapa saja yang melakukan main
hakim sendiri dikenai Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, Pasal 406 KUHP tentang
perusakan, dan Pasal 170 KUHP tentang kekerasan.

Tindakan main hakim sendiri dapat diredam dengan cara menghilangkan faktor-faktor yang
menjadi pemicunya,antara lain:

1. Pertama, harus adanya tindakan tegas dari aparat penegak hukum dalam menangani
sebuah kasus kejahatan dan bertindak adil.
2. Kedua, dalam menangani kasus harus dilakukan dengan transparan agar timbulnya
kepercayaan masyarakat.
3. Ketiga, masyarakat juga harus diberikan kesadaran bahwa tindakan main hakim sendiri
bukanlah tindakan yang menyelesaikan masalah, tetapi malah menambah masalah baru.
4. Keempat, tokoh agama dan juga tokoh masyarakat dapat memberikan tekanan
pemahaman agama kepada jemaahnya tentang larangan main hakim sendiri. Apalagi
tindakan main hakim sendiri hingga menghilangkan nyawa orang lain tidak dibenarkan
pada agama mana pun. Pemahaman yang diberikan dari tokoh agama dan tokoh
masyarakat biasanya dinilai lebih mudah dipahami dan diikuti oleh masyarakat.

Cara lain untuk meredam tindakan main hakim sendiri adalah mengurangi pengangguran dan
meningkatkan standar hidup masyarakat. Dan yang terpenting adalah adanya komunikasi dan
hubungan yang harmonis antara masyarakat dengan penegak hukum, khususnya polisi.
Komunikasi dan hubungan harmonis tersebut akan menimbulkan rasa kepercayaan masyarakat
terhadap aparat penegak hukum.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa tindakan main hakim sendiri
dapat dipicu oleh tekanan psikologis masyarakat, maka tindakan main hakim sendiri yang
menjadi "lahan" pelampiasannya.

Ya, memang faktor psikologis bukanlah satu-satunya pemicu terjadinya tindakan main
hakim sendiri. Sebab, ketidakpercayaan masyarakat kepada penegak hukum untuk menegakkan
hukum yang seadil-adilnya menurut masyarakat juga merupakan salah satu faktor pemicu.

Penyebab lain adalah penegak hukum dinilai terlalu lamban dalam memproses suatu tindak
kejahatan. Seringkali polisi tiba di TKP setelah korban meregang nyawa. Hal-hal tersebut dapat
diredam dengan cara kerjasama yang baik antara masyarakat dan aparat penegak hukum,
khususnya polisi.

C. Alasan Mengapa Proses Hukum Dijadikan Lahan Bisnis

Mark galanter, seorang yuris Amerika pernah berujar Why the have come out a head.
Mengapa orang berpunya selalu saja tampil ke depan? Pepatah itulah yang cocok bagi
penegakan hukum di Indonesia. Publik seakan tak percaya dengan semua institusi penegakan
hukum. Kalau ada uang semua akan berjalan lancar. Persoalannya penegakan hukum terlalu
gampang dinilai dengan uang. Penyelidik, penyidik, penuntut dan hakim sebagai pejabat yang
memutus sanksi tindak pidana digerakkan oleh dinamisasi penjahat kelas kakap yang berkocek
tebal.

Hukum bukan alat pembaharu. Hukum bukan melindungi pihak yang lemah. Oleh
karena kekuatan penegakan hukum tercipta melalui power dan uang (baca:bisnis). Jangan heran
kalau publik selalu menciptakan pengadilan jalanan. Pencuri sandal akan dihakimi massa,
kemudian mati terbaring tak berdaya di rumah sakit. Aparat penegak hukum akan dihadapkan
pada dimensi antara memilih law enforncement atau gratifikasi (penyogokan uang dengan
iming-iming kebebasan).

Penyidik, penuntut, hakim tinggal memilih menerapkan Pasal-Pasal yang mana, Pasal
yang lebih menjamin kebebasan tersangka, terdakwa, atau terpidana, keadilan yang menjadi
tujuan (goal) hukum secara kasat mata tercapai dalam keadilan normatif. Keadilan yang
dimaksud adalah bukan keadilan hati nurani. Bukan keadilan yang terejawantahkan sebagai
penegak hukum yang menjalankan peraturan sebagai kecerdasan representasi ketuhanan dari
aparat penegak hukum.
Keadilan yang diharapkan oleh publik bukanlah keadilan bagai sarang laba-laba. Yang hanya
mampu menjangkau dan menindas mereka yang tak berdaya, mereka yang lemah, meraka yang
tidak mapan.

Roda penegakan hukum yang pada awalnya bebas dipengaruhi oleh stratifikasi sosial
menjelma menjadi kekuatan perputaran alat produksi ekonomi seperti ramalan Karl Marx.
Brigham (2000) pernah mengemukakan opini publik dan media sebagai salah satu elemen yang
mempengaruhi penegakan hukum, terutama hasil putusan oleh hakim di pengadilan. Setidaknya
penting untuk juga melihat pada intervensi partai politik yang berkuasa, partai politik yang
dominan di parlemen (legislatif). Betulkah pengadilan menjadi institusi mandiri, tanpa campur
tangan eksekutif? Nampaknya negara kita tidak akan mampu menegakkan hukum. Terlebih
mengembalikan kepercayaan publik pada institusi kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Bukan
perkara muda jikalau pemerintah (presiden) selalu mengatakan tidak ingin mengintervensi
kepolisian dan kejaksaan, padahal kepolisian dan kejaksaan adalah juga lembaga eksekutif yang
berada di bawah presiden sebagai kepala eksekutif (pemerintah).

D. Alasan Mengapa Terjadi Mafia Dalam Proses Hukum

Dewasa ini di negara kita sedang ramai di bicarakan di media-media baik lokal atau pun
nasional mengenai “Mafia Hukum”. Sering terdengar kata mafia hukum bahkan sudah tidak
asing ini kita membicarakan tentang mafia hukum. Namun sebagian orang yang membicarakan
tentang mafia hukum tersebut tidak mengetahui apa arti dari istilah “mafia hukum” tersebut.
Dilihat dari asal kata “M.A.F.I.A” berasal dari negara Itali,yaitu “Morte Alla Francia Italia
Anela” yang artinya “bunuh orang-orang Perancis adalah seruan Italia” (“Mafia” Fred ICoke).
Secara definitif, definisi “Mafia” adalah organisasi politik patriotik, yang berasal dari Kota
Palermo Italia Tahun 1928, yang dibentuk untuk membebaskan Sicilia dari dominasi asing
(Perancis), dan untuk tercapainya tujuan itu diputuskan berdirinya organisasi “Mafia”.

Seiring dengan perkembangan zaman, pada abad ke XV organisasi mafia ini mulai
mengembangkan kegiatannya di bidang kejahatan. Pada tahun 1860, Mafia mengembangkan
organisasi di Sicilia di bidang kejahatan, pada tahun ini juga Mafia asal Sicilia ini
mengembangkan organisasinya sampai ke negara Amerika Serikat, khususnya di New Orlens,
dengan menggunakan nama Cosa Nostra. Dari sejarah Mafia tersebut, sampai terkenal setiap ada
tindakan kejahatan di istilahkan dengan kata mafia, di Indonesia banyak oknum yang menjadi
mafia di bidangnya masing-masing. Dengan terungkapnya mafia hukum maka dibentuklah
Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (Satuan Petugas Pemberantasan Mafia Hukum).

Pada tahun 2010, terdapat beberapa sasaran Satgas Mafia Hukum yang harus diberantas,
antara lain: Mafia Peradilan, Mafia Korupsi, Mafia Pajak dan Bea Cukai, Mafia Kehutanan,
Mafia Pertambangan & energy, Mafia Narkoba, Mafia Tanah, Mafia Perbankan & Pasar Modal,
dan Mafia Perikanan. Pada Mafia Pajak, terjadi pola seperti ini, dari wajib pajak selanjutnya
menghitung sendiri kemudian melapor kepada petugas pajak, dari petugas pajak mafia pajak
tersebut menyalahkan perhitungan pajaknya dan meminta wajib pajak membayar pajak lebih
tinggi dari situlah terjadi negosiasi dan membayar pajak melalu Markus Mafia pajak (makelar
khusus mafia pajak). Disini peranan Markus Mafia pajak antara lain: menjadi penghubung
antara wajib pajak bermasalah dengan pejabat di kantor pajak, kantor keberatan pajak dan
banding serta pengadilan pajak, karena kedekatannya dengan pejabatnya dan menjadi konsultan
pajak bagi wajib pajak bermasalah.

Tidak jauh berbeda dengan Mafia Pajak, pada Mafia Peradilan yang dituju dari Mafia-
mafia Peradilan tersebut adalah uang lebih dari si klien. Pola-pola dalam praktik Mafia Peradilan
terdapat beberapa tahap yang terjadi di dalamnya. Pada tahap penyelidikan, pertama di dalam
praktik Mafia Peradilan terdapat permintaan uang jasa, jadi laporan akan ditindaklanjuti setelah
menyerahkan uang jasa. Selain itu, terdapatnya penggelapan perkara, yaitu dimana penanganan
perkara dihentikan setelah ada kesepakatan membayar sejumlah uang kepada polisi.
Selanjutnya, pada tahap penyidikan terdapat adanya negosiasi perkara, dimana di dalamnya
terdapat tawar menawar pasal yang dikenakan terhadap tersangka dengan imbalan uang yang
berbeda-beda, kemudian menunda surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada
kejaksaan. Selain itu, pada tahap penyidikan terdapat pula pemerasan yang dilakukan oleh polisi,
prosesnya tersangka dianiaya terlebih dahulu agar mau kooperatif dan menyerahkan sejumlah
uang, setelah itu mengarahkan kasus lalu menawarkan jalan damai. Sampai kepada pengaturan
ruang tahanan pun dibelakangnya terdapat dalang Mafia peradilan, di dalam penempatan ruang
tahanan menjadi ajang tawar menawar.

Di dalam tahap penyidikan secara rinci dapat dijelaskan banyak praktik-praktik mafia
peradilan antara lain:

1. Pemerasan, penyidikan diperpanjang untuk merundingkan uang damai. Surat panggilan


sengaja tanpa status “saksi” atau “tersangka”, yang pada ujungnya saat pemeriksaan dimintai
uang agar statusnya tidak menjadi “tersangka”.

2. Negosiasi Status, di dalam proses ini perubahan status tahanan seorang tersangka menjadi
ajang tawar menawar.

3. Pelepasan tersangka, melalui Surat Penghentian Penyidikan (SP3) atau sengaja membuat
dakwaan yang kabur (obscuur libel) sehingga terdakwa divonis bebas.

4. Penggelapan perkara, berkas perkara dapat diberhentikan jika memberikan sejumlah uang.
Saat dilimpahkan ke kejaksaan, polisi menyebutkan “sudah ada yang mengurus”, sehingga tidak
tercatat dalam register.

5. Negoisasi perkara, di dalam proses ini, proses penyidikan yang diulur-ulur merupakan
isyarat agar keluarga tersangka menghubungi jaksa. Dapat melibatkan calo, antara lain dari
kejaksaan, anak pejabat, pengacara, rekanan jaksa. Disini berat atau kecilnya dakwaan menjadi
alat tawar menawar.

6. Pengurangan tuntutan, tuntutan dapat dikurangi apabila tersangka memberikan sejumlah


uang. Berita acara pemeriksaan dibocorkan saat penyidikan. Selain itu juga, pasal yang
disangkakan juga dapat diperdagangkan.

Dalam praktik mafia peradilan di persidangan di dalamnya terdapat, pemintaan uang


jasa, pengacara harus menyiapkan uang ekstra untuk bagian registrasi pengadilan. Dapat
menentukan majelis hakim sendiri atau menggunakan jasa panitera pengadilan. Negoisasi
putusan juga menjadi praktik para mafia peradilan, dimana sudah ada koordinasi sebelumnya
mengenai tuntutan jaksa, yang berujung pada vonis hakim. Tawar menawar antara hakim, jaksa
dan pengacara mengenai besar hukuman serta uang yang harus dibayarkan. Pada tahap banding
perkara, terdapat aksi-aksi nakal praktik mafia hukum pertama negosiasi putusan, pengacara
menghubungi hakim yang mengadili, lalu tawar menawar hukuman. Kedua, penundaan
eksekusi, pelaksanaan putusan dapat ditunda dengan membayar sejumlah uang kepada jaksa
melalui calo perkara atau pelaksana eksekusi.

Praktik mafia hukum di dalam Lembaga Pemasyarakatan adalah sebagai berikut;


pungutan bagi pengunjung, uang cuti, menggunakan orang lain yang identitasnya disesuaikan
dengan identitas terpidana, bisa mendapatkan perlakuan istimewa. Semua Mafia Hukum ini
dapat diberantas dengan cara Reformasi pada lembaga penegak hukum. Kultur kepolisian
selama ini lebih menonjolkan sikap represif, arogan, ekslusif dan merasa paling benar, semua
paradigma itu harus diubah dengan menegakkan norma demokrasi seperti equality,
fairness, dantransparency. Tugas dan wewenang kepolisian yang begitu luas harus dipangkas.
Harus dilakukan revisi UU Kepolisian dengan memfokuskan wewenang kepolisian sebagai
penegak hukum, penjaga ketertiban dan keamanan, dan pelayan publik. Implementasi reformasi
Polri cenderung bersifat konvensional, karena hal berikut : Pelaksanaannya masih top
down, Tidak disertai ruang bagi satuan bawah untuk melakukan inovasi, Tidak disertai reward
dan punishment, Tidak disertai jaminan bahwa setiap pergantian pimpinan tidak akan terjadi
perubahan kebijakan yang ditetapkan pimpinan sebelumnya.

Secara keseluruhan Reformasi Polri harus menyangkut masalah strategis, yang


mencakup di dalamnya yaitu, mendudukan fungsionalitas kepolisian dalam system
ketatanegaraan, membenahi dan mengembangkan profesionalisme kepolisian, dan membangun
lembaga independen yang kuat untuk mengawasi pelaksanaan tugas polisi sehari-hari.

Reformasi yang harus dijalankan oleh Kejaksaan antara lain, yaitu harus ada standar
profesi jaksa menyangkut keahlian dan pengetahuan, organisasi kejaksaan ideal sesuai dengan
fungsi dan tugas tiap pimpinan, sistem pengawasan kejaksaan harus transparan, akuntabel, dan
membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat, reward dan punishment yang intinya memberi
sanksi tegas terhadap yang melakukan pelanggaran dan member penghargaan terhadap yang
berprestasi, revisi pada KUHAP yang menciptakan system peradilan terpadu, KUHAP yang ada
sekarang membuka peluang makelar kasus karena proses penyidikan, penuntutan, sampai ke
pelimpahan ke pengadilan memakan waktu yang cukup lama dan tidak ada ketentuan yang
mengatur hal-hal mana dalam proses hukum tersebut yang harus dibuka ke publik.

Didalam tubuh KPK juga harus diadakan reformasi secara menyeluruh. Di dalam
reformasi tersebut, harus ada fokus pilihan penindakan dan sasaran kasus korupsi yang harus
ditangani supaya jangan tumpang tindih dengan pihak kepolisian dan kejaksaan, batasan Rp. 1
Milyar terlalu kecil sehingga harus dinaikkan. Jaminan perlindungan saksi dapat didampingi
pengacara. Dalam hal penyadapan secara ketentuan untuk menghindari kesewenang-wenangan
perlu persetujuan pengadilan.
Perlu diperhatikan juga LPSK untuk mereformasi lembaga tersebut. Di dalamnya
ketentuan syarat dan tata cara pemberian perlindungan saksi dan koban, harus ada kriteria saksi
dan korban yang bisa diberi perlindungan untuk menghindari jangan sampai pelaku kejahatan
pelanggar HAM dan korupsi diberi perlindungan. Selain itu, harus ada ketegasan bahwa anggota
LPSK tidak boleh merangkap jabatan untuk menghindari konflik kepentingan.Dari keseluruhan
informasi tentang Mafia Hukum ini, dapat kita ketahui mengenai sejarah mafia hukum sampai
dengan penanganan reformasi di semua tubuh Lembaga Penegak keadilan untuk menghentikan
kegiatan mafia hukum tersebut
BAB III
PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Indonesia sebagai Negara hukum (recht staat) masih mencari jati dirinya, terbukti masih
rendahnya kesadaran hukum masayarakat dan profesionalitas penegak hukum dalam
menjalankan peran dan kewenangannya, tercermin dari masih maraknya aktifitas mafia hukum
secara transaksional dimana masyarakat dan penegak hukum melakukan jual beli kepentingan
dalam proses penyelesaian perkara di semua tingkatan. Polisi sebagai salah satu pengayom
masyarakatpun gagal dalam membangun citra yang baik terbukti masyarakat anti terhadap polisi
dan terkesan menghindarinya dan secara sosiologis masyarakat tidak percaya lagi terhadap
Negara sehingga kecenderungan masyarakat untuk melakukan tindakan main hakim sendiri
masih marak terjadi di indonesia dan menjadi hal yang lumrah di tengah-tengah kehidupan
berbangsa dan bernegara.

1.2 Saran
Banyaknya permasalahan dalam pelaksanaan hukum di Indonesia serta penegak hukum
yang terkesan dihindari masyarakat sebab tidak lagi memberi rasa aman melainkan hanya
memunculkan ketakutan-ketakutan adalah hal yang penting untuk menjadi perhatian kita
bersama, pentingnya peningkatan profesionalisme para penegak hukum seperti Polisi, jaksa dan
hakim adalah hal yang paling mendasar dan pendidikan hukum terhadap masyarakat adalah
solusi kultural yang mesti dilakukan pemerintah, selain itu proses pengawasan atau check and
balance perlu lebih diperhatikan lagi terutama dalam hal penerapan sanksi yang tegas bagi
mereka yang terbukti melakukan aktifitas mafia hukum sampai pada masyarakat yang kadang
melakukan aktifitas peradilan jalanan yakni "main hakim sendiri" yang sama sekali tidak
dibenarkan oleh undang-undang.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.organisasi.org/1970/01/alasan-penyebab-orang-tidak-mau-berurusan-dengan-polisi-
di-indonesia.html#.Wd3e01uCzIU

https://www.qureta.com/post/penyebab-timbulnya-budaya-main-hakim-sendiri-3

J. Supranto, 2003, Ibid. hlm. 27.

Bambang Sunggono, 2010, Berantas Mafia Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai