Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN PASIEN


“MORBUS HANSEN”

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 5 (KELAS B)
1. LEO TEHUBUJILUW
2. LEONY TUHUMENA
3. LUDIA UBRO
4. MARIANA NGARBINGAN
5. MARICE MARAN
6. MARIELA SELANO
7. MARIO LEWEN

FAKULTAS KESEHATAN

PRODI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA MALUKU

2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat TUHAN Yang Maha Esa, karena
atas berkatnya Penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “DERMATITIS
KONTAK” ini dengan baik.
Makalah disusun dengan tujuan memenuhi tugas dan tanggung jawab sebagai
mahasiswa dan memenuhi tugas mata kuliah Sistem integumen .
Penulis tak lupa menyampaikan terima kasih kepada ibu yang memberikan
tugas kepada penulis karena berhubungan degan tugas ini penulis dapat menambah
ilmu pembelajaran bagi penulis.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan
masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan serta penulisan makalah
ini,untuk itu penulis mengharapkan kritikan serta saran yang bersifat membangun dari
pembaca demi untuk kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat!

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
1.2. RUMUSAN MASALAH
1.3. TUJUAN MASALAH
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1. PENGERTIAN MORBUS HANSEN
2.2. KLASIFIKASI
2.3. ETIOLOGI
2.4. PATOFISIOLOGI
2.5. PATHWAY
2.6. MANIFESTASI KLINIS
2.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
2.8. PENATALAKSANAAN
2.9. PENCEGAHAN
BAB III TINJAUAN KASUS
3.1. STUDY KASUS
3.2. PENGKAJIAN
3.3. ANALISA DATA
3.4. DIAGNOSA KEPERAWATAN
3.5. INTERVENSI, IMPLEMENTASI, DAN EVALUASI KEPERAWATAN
BAB IV PENUTUP
4.1. KESIMPULAN
4.2. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Morbus Hansen (penyakit kusta atau lepra,) adalah suatu penyakit infeksi kronis
pada manusia yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M. leprae) yang secara
primer menyerang saraf perifer dan sekunder menyerang kulit dan mukosa saluran
nafas bagian atas mata, otot, tulang dan testis. Indonesia dikenal sebagai satu dari tiga
negara yang paling banyak memiliki penderita kusta. Dua negara lainnya adalah India
dan Brazil.
Bakteri Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ahli fisika Norwegia
bernama Gerhard Armauer Hansen, pada tahun 1873 lalu. Umumnya penyakit kusta
terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah
dari golongan ekonomi lemah.
Penyakit kusta disebabkan oleh kuman yang dimakan sebagai mycrobakterium,
dimana mycrobacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk
batang yang tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap
dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil
“tahan asam”.
Penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, disamping
besarnya masalah di bidang medis juga masalah sosial yang ditimbulkan oleh
penyakit ini memerlukan perhatian yang serius.

1.2. RUMUSAN MASALAH


a. Menjelaskan gambaran umum tentang penyakit morbus hansen
b. Menjelaskan asuhan keperawatan dengan pasien morbus hansen

1.3. TUJUAN MASALAH


a. Untuk mengetahui gambaran umum tentang penyakit morbus hansen
b. Untuk mengetahui asuhan keperawatan dengan pasien morbus hansen
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1. PENGERTIAN
Morbus Hansen (penyakit Kusta atau lepra) adalah penyakit infeksi kronis
yang disebabkan oleh mycobacterium lepra yang interseluler obligat, yang pertama
menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran
nafas bagian atas, sistem endotelial, mata, otot, tulang, dan testis (Djuanda, 4.1997
).
Morbus Hansen (penyakit Kusta atau lepra) adalah penyakit yang menahun
dan disebabkan oleh kuman kusta (M. leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit
dan jaringan tubuh lainnya (Depkes RI, 1998).
Morbus Hansen (penyakit kusta atau lepra,) adalah suatu penyakit infeksi
kronis pada manusia yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M. leprae)
yang secara primer menyerang saraf perifer dan sekunder menyerang kulit dan
mukosa saluran nafas bagian atas mata, otot, tulang dan testis (Amirudin dalam
Harahap, 2000).
Menurut Depkes RI (2006) penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular
yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah tersebut bukan hanya
dari segi medis tetapi meluas sampai segi sosial, ekonomi, psikologis (dalam
Hutabarat, 2008).
Gambar penyakit Morbus Hansen (penyakit kusta atau lepra)
2.2. KLASIFIKASI
Klasifikasi Internasional: Klasifikasi Madrid (1953)
 Indeterminate(I)
 Tuberkuloid (T)
 Boderline-Dimorphous(B)
 Lepromatosa (L)

Klasifikasi untuk kepentingan riset: Klasifikasi Ridley-Jopling (1962)

 Tuberkoloid (TT)
 Borderline tuberculoid (BT)
 Mid-Borderline (BB)
 Borderline Lepromatous (BL)
 Lepromatosa (LL)

Klasifikasi menurut WHO (1995) terbagi menjadi dua kelompok, yaitu:

 Pause Basiler (PB) : I, TT, BT


 Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL
Tabel 2.1. Klasifikasi PB dan MB menurut P2MPLP

Kelainan kulit & hasil


Pause Basiler Multiple Basiler
pemeriksaan
1. Bercak (makula)
a. Jumlah a. 1-5 a. Banyak
b. Ukuran b. Kecil dan besar b. Kecil-kecil
c. Distribusi c. Unilateral atau c. Bilateral,
bilateral asimetris simetris
d. Konsistensi d. Kering dan kasar d. Halus, berkilat
e. Kurang tegas
e. Batas e. Tegas f. Biasanya tidak
f. Kehilangan f. Selalu ada dan jelas, jika ada
rasa pada jelas. terjadi pada
bercak. yang sudah
lanjut.
g. Kehilangan g. Bercak tidak g. Bercak masih
berkemampuan berkeringat, ada berkeringat,
berkeringat, bulu rontok pada bulu tidak
berbulu rontok bercak rontok
pada bercak

2. Infiltrat
a. Kulit. a. Tidak ada. a. Ada, kadang-
kadang tidak
ada.
b. Membran b. Tidak pernah ada b. Ada, kadang-
mukosa kadang tidak
(hidung ada
tersumbat
perdarahan
dihidung).

3. Ciri hidung ”central healing” a. Punched out


penyembuhan ditengah. lessi
b. Medarosis
c. Ginecomasti
d. Hidung
pelana
e. Suara
sengau.
4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada

5. Penebalan saraf Lebih sering terjadi dini, Terjadi pada yang


tepi asimetris lanjut biasanya lebih
dari 1 dan simetris
6. Deformitas cacat Biasanya asimetris terjadi Terjadi pada stadium
dini lanjut
7. Apusan BTA negatif BTA positif

Klasifikasi bentuk klinis penyakit kusta dibedakan atas dua jenis yaitu

1. Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)


Merupakan bentuk yang tidak menular. Kelainan kulit berupa bercak
keputihan sebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya
beberapa, sering di pipi, punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak
kering, perasaan kulit hilang sama sekali, kadang-kadang tepinya meninggi.
Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi, sering
terjadi gejala kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas.
Komplikasi saraf serta kecacatan relative lebih sering terjadi sering terjadi
dan timbul lebih awal dari bentuk basah.
Pemeriksaan bakteriologis sering kali negative, berarti tidak ditemukan
adanya kuman penyebab. Bentuk ini merupakan yang paling banyak yang
ditemukan di Indonesia dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya
terhadap kuman kusta cukup tinggi.
2. Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik
diselaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain. Jumlahnya lebih
sedikit dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya
tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta.
Kelainan kulit bisa berupa bercak kemarahan, bisa kecil-kecil dan
tersebar diseluruh badan ataupun sebagai penebalan kulit yang luas
(infiltrat) yang tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagai
benjolan-benjolan merah sebesar biji jagung yang sebesar di badan, muka
dan daun telinga. Sering disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping
telinga dan kadang-kadang terjadi hidung pelana karena rusaknya tulang
rawan hidung. Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut
dari perjalanan penyakit.
Pada bentuk yang parah bisa terjadi ”muka singa” (facies leonina).
Diantara kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk pertengahan atau
perbatasan(tipe border line) yang gejala-gejalanya merupakan peralihan
antara keduanya. Bentuk ini dalam pengobatannya dimasukkan jenis kusta
basah.

2.3. ETIOLOGI
Penyebab Penyakit Kusta adalah Bakteri mycobacterium leprae yang
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 mikron, lebar 0.2-0.5 mikron,
biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel, dan
bersifat tahan asam (BTA). Penyakit kusta bersifat menahun karena Bakteri
kusta memerlukan waktu 12-21 hari untuk membelah diri. Dan masa tunasnya
rata-rata 2-5 tahun. Penyakit kusta dapat di tularkan kepada orang lain melalui
saluran pernafasan dan kontak kulit. Bakteri kusta ini banyak terdapat pada kulit
tangan, daun telinga,dan mukosa hidung.( Widoyono, 2005 ).

2.4. PATOFISIOLOGI
Setelah mikobakterium leprae masuk dalam tubuh, perkembangan penyakit
kusta bergantung pada kerentangan seseorang. Respon tubuh setelah masa
tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunutas seluler ( celluluer
midialet immune ) pasien. Kalau sistem imunitas seluluer tinggi, penyakit
berkembang ke arah tuberkoloid dan bila rendah, berkembang ke
arah lepromatosa. Mikobakterium leprae berpredileksi di dearah-daerah yang
relative lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respon
Imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih se banding dengan tingkat
reaksi seluler daripada intensitas Infeksi. Oleh karna itu penyakit kusta dapat di
sebut sebagai penyakit Imunologi.
2.5. PATHWAY
2.6. MANIFESTASI KLINIS
Menurut WHO (1995), diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda
kardinal berikut :
1. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.
Lesi kulit dapat tunggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi
kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat
bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul, atau nodul. Kehilangan
sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf
terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan
kelemahan otot. Penebalan saraf tepi saja tanpa disertai kehilangan
sensibilitas dan/atau kelemahan otot juga merupakan tanda kusta.
2. BTA positif.
Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan
kulit. Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan diperiksa
ulang setiap 3 bulan sampai ditegakkan diagnosis kusta atau penyakit lain.
3. Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA+)
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila di temukan satu atau
lebih dari tanda-tanda utama diatas. Pada dasarnya sebagian besar penderita
dapat didiagnosis dengan pemeriksaan klinis. Namun demikian pada
penderita yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan kerokan kulit.
Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua perlu dirujuk kepada wasor
atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai penderita
yang dicurigai.

Menurut (Dep Kes RI. Dirjen PP & PL, 2007). Tanda-tanda utama atau Cardinal
Sign penyakit kusta, yaitu :
1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk
bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau kemerah-merahan
(erithematous) yang mati rasa (anaesthesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan
fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis
perifer ).
Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa :
 Gangguan fungsi sensori seperti mati rasa
 Gangguan fungsi motoris seperti kelemahan otot (parese) atau
kelumpuhan ( paralise)
 Gangguan fungsi otonom seperti kulit kering dan retak-retak.

2.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan Klinis
Kulit
Dicari adanya gangguan sensibilitas terhadap suhu, nyeri dan rasa
raba pada lesi yang dicurigai :
a. Pemeriksaan sensibilitas suhu (terpenting) dilakukan dengan cara
tes panas dingin.
b. Terhadap rasa nyeri digunakan jarum pentul.
c. Terhadap rasa raba digunakan kapas
d. Gangguan autonomik terhadap kelenjar keringat dilakukan
guratan tes (lesi digores dengan tinta) penderita exercire, bila
tinta masih jelas berarti tes (+) (Gunawan test)
Syaraf tepi
Dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan syaraf tepi yang berjalan
didekat permukaan kulit. Cara pemeriksaan :
a. N. Aurikularis magnos
Kepala menoleh kearah yang berlawanan, maka teraba syaraf
menyilang.
b. N. Ulnaris
Posisi tangan dalam keadaan sendi siku fleksi, jabat tangan
penderita, raba epikondilus medialis humerus, dibelakang dan
atas sulkus ulanaris, urut kearah proksimal untuk membedakan
dengan tendon.
c. N. Peroneus komunis
Penderita duduk dalam keadaan lutut fleksi 900, raba kapitilum
fibulae kearah bagian atas dan belakang.
d. N. Tibialis posterior
Raba maleolus medialir kaki, raba bagian posterior dan urutkan
ke bawah kearah tumit.
Pemeriksaan harus dibandingkan kiri dan kanan dalam hal size
(besar), shape (bentuk), texture (seratnya) dan tenderness
(lunaknya).
Infeksi
Penderita diminta memejamkan mata, menggerakkan mulut, bersiul
dan tertawa untuk mengetahui fungsi Saraf wajah.

2. Pemeriksaan Bakteriologi
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut :
1) Sediaan di ambil dari kelainan kulit yang paling aktif
2) Kulit muka sebaiknya di hindari karena alasan kosmetik, kecuali
tidak di temukan lesi di tempat lain.
3) Pemeriksaan ulangan di lakukan pada lesi kulit yang sama dan bila
perlu di tambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
4) Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobekterium
leprae dalah :
1. Cuping telinga kiri atau kanan
2. 2-4 lesi kulit yang aktif di tempat lain.
3. Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya di hindari karena :
4. Tidak menyenangkan pasien
5. Positif palsu karna ada mikobakterium lain
 Tidak mikobakterium leprae pernah di temukan pada
selaput lendir hidung apabila sediaan apus kulit negetif
 Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput
lendir hidung lebih dahulu negative dari pada sediaan
kulit di tempat lain.
 Indikasi Pengambilan Sediaan Apus Kulit :
 Semua orang yang di curigai menderita kusta.
o Semua pasien baru yang di diagnosis secara klinis
sebagai pasien kusta.
o Semua pasien kusta yang di duga kambuh (relaps)
atau karna tersangka kuman resisten terhadap
obat.
o Semua pasien MB setia satu tahun sekali
o Pemeriksaan bakteriologis di lakukan dengan
pewarnaan tahan asam, yaitu ziehl neelsen atau
kinyoun gabelt.
5) Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu
cara zig-zag, huruf z dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk
kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-
pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.

3. Indeks Bakteri (IB)


Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB
digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan.
Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut :
0. : bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1. : bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
2. : bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang.
3. : bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang.
4. : bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang.
5. : bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang.
6. : bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

4. Indeks Morfologi (IM)


Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan
untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan
membantu menentukan resistensi terhadap obat.

5. Pemeriksaan Serologis
 Lepromin test : untuk mengetahui imunitas seluler dan membantu
menentukan tipe kusta.
 MLPA (Mycobacterium Lepra Particle Agglutination) : untuk
mengetahui imunitas humoral terhadap antigen yang berasal dari
M.Leprae.
 PCR (Polimerase Chain Reaction) : Sangat sensitif, Dapat mendeteksi 1
- 10 kuman.
 Sediaan diambil biasanya pada jaringan.

6. Pemeriksaan Histopatologi
Dari pemeriksaan ini ditemukan gambaran berupa : Infiltrate limfosit yang
meningkat sehingga terjadi udema dan hipertermi. Diferensiasi makrofag
kearah peningkatan sel epiteloid dan sel giant memberi gambaran sel
langerhans. Kadang-kadang terdapat gambaran nekrosis (kematian jaringan)
didalam granulosum. Dimana penyembuhannya ditandai dengan fibrosis.
Sebagai pemeriksaan penunjang untuk diagnosis dan menentukan tipe kusta.

2.8. PENATALAKSANAAN
1. Terapi Medik
Tujuan pengobatan adalah :
1) Memutuskan mata rantai penularan.
2) Mencegah resistensi obat.
3) Memperpendek masa pengobatan.
4) Meningkatkan keteraturan berobat.
5) Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang
sudah ada sebelum pengobatan.

Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,


klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk
mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi
ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi
persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995
sebagai berikut :

1. Tipe Pause Basiler (PB)


Jenis dan obat untuk orang dewasa
a. 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg).
Pengobatan bulanan : Hari pertama (diminum didepan petugas)
b. 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)
Pengobatan hari ke 2-28 (dibawa pulang).
c. 1 tablet dapson (DDS 100 mg) 1 Blister untuk 1 bulan.
Lama pengobatan : 6 Blister diminum selama 6-9 bulan.
2. Tipe Multi Basiler (MB)
Jenis dan dosis untuk orang dewasa :
Pengobatan Bulanan : Hari pertama (Dosis diminum di depan petugas)
a. 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg)
b. 3 kapsul Lampren 100 mg (300 mg)
c. 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)
Pengobatan Bulanan : Hari ke 2-28
d. 1 tablet Lampren 50 mg
e. 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg) 1 blister untuk 1 bulan
Lama Pengobatan : 12 Blister diminum selama 12-18 bulan.
3. Dosis MDT Menurut Umur
4. Dosis untuk anak
 Klofazimin :
o Umur, dibawah 10 tahun: /bln
- Harian 50mg/2kali/minggu,
o Umur 11-14 tahun,
- Bulanan 100mg/bln.
- Harian 50mg/3kali/minggu
 DDS : 1-2mg /Kg BB
 Rifampisin : 10-15mg/Kg BB

Dosis bagi anak berusia dibawah 5 tahun disesuaikan dengan berat badan

 Rifampisin : 10-15 mg/ kg BB


 DDS : 1-2 mg/ kg BB
 Clofazimin : 1 mg/ kg BB
5. Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998),
pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal
rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien
langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi
diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat
alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
6. Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari
yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB
dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.

Tabel 2.2 : Pedoman praktis untuk pemberian MDT bagi penderita kusta tipe

Pause Basiler (PB)

Nama < 5 tahun 5-9 tahun 10-14 >15 tahun Keterangan


Obat tahun
Rifampisin 300 450 600 Minum di
mg/bln mg/bln mg/bln depan
petugas
DDS Berdasarkan 25 mg/hari 50 100 Minum di
berat badan mg/hari mg/hari depan
petugas
25 mg/hari 50 100 Minum di
mg/hari mg/hari Rumah
Tabel 2.3 : Pedoman praktis untuk pemberian MDT bagi penderita kusta tipe

Multi Basiler (PB)

Nama < 5 tahun 5-9 tahun 10-14 >15 tahun Keterangan


Obat tahun
Rifampisin 300 450 600 Minum di
mg/bln mg/bln mg/bln depan
petugas
25 mg/hari 50 100 Minum di
mg/hari mg/hari depan
DDS petugas
Berdasarkan 25 mg/hari 50 100 Minum di
berat badan mg/hari mg/hari rumah
100 150 300 Minum di
mg/bln mg/bln mg/bln depan
petugas
Clofazimine 50 mg 50 mg 50 Minum di
2 kali setiap 2 mg/hari rumah
Seminggu hari

2. Perawatan Umum
Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan.
Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik
karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan reaksi netral.
a. Perawatan mata dengan lagophthalmos
 Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau
kotoran.
 Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
 Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu
b. Perawatan tangan yang mati rasa
 Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda-tanda
luka, melepuh.
 Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebihkurang
setengah jam.
 Keadaan basah diolesi minyak .
 Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
 Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku.
 Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka
c. Perawatan kaki yang mati rasa
 Penderita memeriksa kaki tiap hari
 Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam
 Masih basah diolesi minyak
 Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
 Jari-jari bengkok diurut lurus
 Kaki mati rasa dilindungi
d. Perawatan luka
 Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
 Luka dibalut agar bersih
 Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
 Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas

2.9. PENCEGAHAN
Mengingat di masyarakat masih banyak yang belum memahami tentang
penyakit kusta yang bisa menjadi hambatan bagi pelaksanaan program
pemberantasan kusta termasuk dalam mengikutsertakan peran serta masyarakat,
maka diperlukan upaya-upaya pencegahan untuk dapat mengurangi prevalensi,
insidens dan kecacatan penderita kusta. Upaya-upaya pencegahan diatas dibagi
menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit yaitu : pencegahan
primer, sekunder, dan pencegahan tersier .
a. Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan
orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi
sakit.Secara garis besar, upaya pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum
dan pencegahan khusus. Pencegahan umum dimaksudkan untuk mengadakan
pencegahan pada masyarakat umum, misalnya personal hygiene, pendidikan
kesehatan masyarakat dengan penyuluhan dan kebersihan lingkungan.
Pencegahan khusus ditujukan pada orang-orang yang mempunyai resiko untuk
terkena suatu penyakit, misalnya pemberian immunisasi.
b. Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah
orang yang telah sakit agar sembuh dengan pengobatan, menghindarkan
komplikasi kecacatan secara fisik. Pencegahan sekunder mencakup kegiatan-
kegiatan seperti dengan tes penyaringan yang ditujukan untuk pendeteksian
dini serta penanganan pengobatan yang cepat dan tepat. Tujuan utama kegiatan
pencegahan sekunder adalah untuk mengidentifikasikan orang-orang tanpa
gejala yang telah sakit atau yang jelas berisiko tinggi untuk mengembangkan
penyakit.
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidak mampuan dan
mengadakan rehabilitasi. Upaya pencegahan tingkat tiga ini dapat dilakukan
dengan memaksimalkan fungsi organ tubuh, membuat protesa ekstremitas
akibat amputasi dan mendirikan pusat-pusat rehabilitasi medik.
BAB III

TINJAUAN KASUS

3.1. STUDY KASUS

Tn. E, berusia 29 tahun masuk RSUD dengan keluhan bercak-bercak merah, lesi
pada kulit serta rasa nyeri pada kulit yang terluka. Pasien juga mengatakan tidak
mampu melakukan aktivitas sehari-hari dengan mandiri, pasien mengatakan malu
dengan kondisi dirinya. Pasien tampak lemas, pasien lebih tertutup (tidak mau
bertemu dengan orang lain), pasien tampak tidak nyaman dan meringis ketakutan.

3.2. PENGKAJIAN
1. Identitas
Nama : Tn. E
Umur : 29 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Agama : Kristen Protestan
Suku : -
Pendidikan : -
Pekerjaan : -
2. Keluhan utama
Pasien mengeluh adanya bercak-bercak merah.
3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Pasien mengeluh bercak-bercak merah, lesi pada kulit serta rasa nyeri pada
kulit yang terluka. Pasien juga mengatakan tidak mampu melakukan
aktivitas sehari-hari dengan mandiri, pasien mengatakan malu dengan
kondisi dirinya. Pasien tampak lemas, pasien lebih tertutup (tidak mau
bertemu dengan orang lain), pasien tampak tidak nyaman dan meringis
ketakutan.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit yang diderita pasien sebelumnya seperti hepatitis,asma dan
alergi,jantung koroner.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya merupakan penyakit menular Maka anggota keluarga mempunyai
resiko beasar tertular dengan kontak lama.
d. Riwayat Psikososial
Pasien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar
masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit
kutukan, sehingga pasien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga
pasien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan.
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum pasien
Biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipeI, reaksi
ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf
tepi motorik.
b. Sistem penglihatan.
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik,kornea mata anastesi sehingga
reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan
saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akanlagophthalmos jika ada
infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi
peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis.
Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata
akan rontok.
c. Sistem pernafasan.
Pasien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelanadan terdapat
gangguan pada tenggorokan.
d. Sistem persarafan:
1. Kerusakan fungsi sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa.
Akibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi
luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek
kedip.
2. Kerusakan fungsi motorik
Kekuatan otot tangan dan kakidapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-
lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari
tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan
pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan
matatidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).
3. Kerusakan fungsi otonom
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan
sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan
akhirnya dapat pecah-pecah.
e. Sistem muskuloskeletal.
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau
kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
f. Sistem integumen.
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritema
(kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada
kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar
minyak dan gangguansirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras
dan pecah-pecah. Rambut : sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.
5. Pengkajian 11 fungsional Gordon
1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada umumnya pada pola presepsi pada pasien kusta mengalami gangguan
terutama pada body image, penderita merasa rendah diri dan merasa
terkucilkan sedangkan pada tatalaksana hidup sehat pada umumnya pasien
kurang kebersihan diri dan lingkungan yang kotor dan sering kontak
langsung dengan penderita kusta. Karena kurangnya pengetahuan tentang
penyakitnya maka timbul masalah dalam perawatan diri.
2. Pola nutrisi dan metabolisme
Meliputi makanan pasien sehari-hari komposisi : sayur, lauk pauk, minum
sehari berapa gelas, berat badan naik atau turun, sebelum dan saat masuk
rumah sakit turgor kulit normal atau menurundan kebiasaan maskan
pasien. Pasien tinggal ditempat yang kotor atau bersih Adanya penurunan
nafsu makan, mual, muntah, penurunan berat badan, gangguan pencernaan.
3. Pola eliminasi
Pada Pola eleminasi alvi dan uri pada pasien kusta tidak ada kelainan.
4. Pola istirahat dan tidur
Pada pasien kusta pada umumnya pola tidur tidak teerganggu tetapi bagi
kusta yang belum menjalani pengobatan pasien baru biasanya terjadi
gangguan kebutuhan tidur dan istirahat yang disebabkan oleh pikiran stress,
odema dan peningkatan suhu tubuh yang yang diikuti rasa nyeri.
5. Pola aktivitas dan latihan
Biasanya pada pasien kusta dalam aktifitas ada gangguan dalam hal
interaksi sosial dengan masyarakat biasanya pasien mengurung diri dan
pada pergerakan ektrimitas bagian perifer didapatkan bercak-bercak merah
disertai odema dan pasien dianjurkan harus bayak mobilisasi.
6. Pola persepsi dan konsep diri
Presepsi pasien tentang penyakitnya dan bagaimana konsep dalam
menghadapi penyakitnya yang diderita.
7. Pola sensori dan kognitif
Pada umumnya penderita kusta mengalami gangguan disalah satu
sensorinya seperti peraba . Pasien tidak merasa adanya rangsangan apabila
bercak tersebut diberikan rangsangan.Pada kognitifnya pasien kusta merasa
tidak berguna lagi dan merasa terkucilkan serta merasa tidak diterima oleh
masyarakat dan keluarganya.
8. Pola reproduksi seksual
Pada umumnya pada pola produksi seksual pasien tidak mengalami
gangguan.
9. Pola hubungan peran
Biasanya pada pasien kusta selalu mengurung diri dan menarik diri dari
masyarakat (disorentasi) Pasien merasa malu tentang keadaan dirinya. Dan
masyarakat beranggapan penyakit kusta merupakan penyakit yang
menjijikan.
10. Pola penanggulangan stress
Bagaimana pasien menghadapi masalah yang dibebani sekarang dan cara
penanggulangannya.
11. Pola nilai dan kepercayaan
Dalam pola ini terkadang ada anggapan yang bersifat ghaib.
3.3. ANALISA DATA
No Data Etiologi/Penyebab Problem/Masalah
1 DS : Pasien mengatakan Mycrobakterium Leprae. Kerusakan integritas
bercak-bercah merah pada kulit.
bagian kulit. Menyerang saraf perifer,
DO : Terdapat lesi pada kulit, mukosa saluran
kulit. pernapasan atas.

Gangguan fungsi saraf tepi.

Otonom.

Gangguan kelenjar keringat,


kelenjar minyak, aliran
darah.

Kulit : kering/ pecah/


kemerahan.

Benjolan-benjolan kecil di
seluruh tubuh.

Kerusakan integritas kulit.


2 DS : Pasien mengatakan Mycrobakterium Leprae. Gangguan rasa
rasa nyeri pada kaki yang nyaman nyeri
terluka. Menyerang saraf perifer,
DO : Pasien tampak tidak kulit, mukosa saluran
nyaman dan meringis pernapasan atas.
kesakitan.
Gangguan fungsi saraf tepi.

Otonom.
Gangguan kelenjar keringat,
kelenjar minyak, aliran
darah.

Kulit : kering/ pecah/


kemerahan.

Benjolan-benjolan kecil di
seluruh tubuh.

Inflamasi.

Nyeri.
3 DS : Pasien mengatakan Mycrobakterium Leprae. Intoleransi aktivitas
tidak mampu melakukan
aktivitas sehari-hari
Menyerang saraf perifer,
dengan mandiri.
kulit, mukosa saluran
DO : Pasien tampak lemas
pernapasan atas.

Gangguan fungsi saraf tepi.

Motorik.

Kelemahan.

Tangan/kaki : lemah /
lumpuh.
Jari bengkok/ kaku.

Luka.

Mutasi absorpsi tulang.

Intoleran aktivitas
4 DS : Pasien mengatakan Mycrobakterium Leprae. Gangguan konsep diri
malu dengan kondisi (citra diri).
dirinya. Menyerang saraf perifer,
DO : Pasien lebih tertutup kulit, mukosa saluran
(tidak mau bertemu pernapasan atas.
dengan orang lain).
Gangguan fungsi saraf tepi.

Sensorik.

Anastesi

Tangan/kaki : kurang rasa.

Luka.

Mutasi absorpsi tulang.

Gangguan konsep diri.


3.4. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi.
2. Gangguan rasa nyaman, nyeri berhubungan dengan proses inflamasi jaringan.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
4. Gangguan konsep diri (citra diri) berhubungan dengan kecacatan dan
kehilangan fungsi tubuh.
3.5. INTERVENSI, IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN

N Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional Implementasi Evaluasi


o Keperawa
tan
1 Kerusakan Tujuan : Setelah dilakukan 1. Kaji/ catat 1. Memberikan 1,2,3 : Kaji/ S : Pasien
integritas tindakan keperawatan selama warna lesi, inflamasi dasar catat warna Mengatakan
kulit 3x24 jam tidak terjadi perhatikan jika tentang terjadi lesi,perhatikan kulitnya masih
berhubung kerusakan integritas kulit. ada jaringan proses inflamasi jika ada jaringan terlihat
an dengan Kriteria Hasil : nekrotik dan dan atau nekrotik dan menakutkan.
lesi dan 1. Pasien mampu kondisi sekitar mengenai kondisi sekitar O : Terdapat
proses mengidentifiksi luka. sirkulasi daerah luka, serta lesi pada kulit
inflamasi. tentang keadaan 2. Berikan yang terdapat Observasi kaki, Bercak
kulitnya saat ini. perawatan lesi. lokasi, intensitas eritema
2. Pasien mampu khusus pada 2. Menurunkan dan penjalaran A : Masalah
mengungkapkan daerah yang terjadinya nyeri dan belum teratasi
tenteng perubahan terjadi penyebaran Observasi TTV. P : Lanjutkan
kulit yang terjadi pada inflamasi inflamasi pada Rencana
dirinya. 3. Bersihkan lesi jaringan sekitar. Tindakan 1-5
3. Pasien mampu dengan sabun 3. Kulit yang 4 : Kaji makna Keperawatan
mendemonstrasikan pada waktu terjadi lesi perlu perubahan pada
yang dianjurkan oleh direndam. perawatan pasien dan
perawat 4. Anjurkan khusus untuk Terima dan akui
mengistirahatkan pasien untuk mempertahanka ekspresi frustasi,
bagian yang terdapat mengistirahatk n kebersihan ketergantungan
lesi dari tekanan. an bagian yang lesi. dan kemarahan.
4. Menunjukkan terdapat lesi 4. Tekanan pada Perhatikan
regenerasi jaringan, dari tekanan. lesi bisa perilaku
mencapai 5. Kolaborasi menghambat menarik diri.
penyembuhan tepat dengan TIM proses
waktu pada lesi. Medis dalam penyembuhan. 1,2 : Berikan
mengevaluasi 5. Mengevaluasi perawatan
warna lesi dan perkembangan khusus pada
jaringan yang lesi dan daerah yang
terjadi inflamasi dan terjadi inflamasi
inflamasi mengidentifikasi dan Bersihkan
perhatikan terjadinya lesi dengan
adakah komplikasi. sabun pada
penyebaran waktu direndam,
pada jaringan serta ajarkan
sekitar melakukan
tehnik distraksi
dan relaksasi
dan anjurkan
pasien mengatur
posisi senyaman
mungkin.

1,3 : Perhatikan
sirkulasi,
gerakan,
kepekaan pada
kulit, Lakukan
latihan rentang
gerak secara
konsisten,
diawali dengan
pasif kemudian
aktif setelah itu
anjurkan klien
untuk
mengistirahatka
n bagian yang
terdapat lesi dari
tekanan.

1, 2 : Kolaborasi
dengan TIM
Medis dalam
mengevaluasi
warna lesi dan
jaringan yang
terjadi inflamasi
perhatikan
adakah
penyebaran pada
jaringan sekitar
serta
berkolaborasi
dalam
pemberian
analgesik.
3, 4 : Anjurkan
keluarga/orang
yang terdekat
untuk memberi
dukungan dan
bantuan latihan
dan anjurkan
pada keluarga
untuk
memberikan
kelompok
pendukung
untuk pasien.

4, 3 : Kolaborasi
dengan TIM
Medis dalam
memberikan
penguatan
positif dan
menjadwalkan
pengobatan dan
aktifitas
perawatan untuk
memberikan
periode istirahat.
2 Gangguan Tujuan : Setelah dilakukan 1. Observasi 1. Memberikan S : Pasien
rasa tindakan keperawatan selama lokasi, informasi untuk Mengatakan
nyaman, 1x24 jam diharapkan intensitas dan membantu nyeri mulai
nyeri gangguan rasa nyaman nyeri penjalaran dalam berkurang, skala
berhubung dapat berkurang. nyeri. memberikan nyeri : 3
an dengan Kriteria Hasil : 2. Observasi intervensi. O : Pasien
proses 1. Pasien mampu tanda-tanda 2. Untuk sudah lebih
inflamasi mengidentifiksi vital mengetahui terlihat nyaman.
jaringan. tentang nyeri yang 3. Ajarkan perkembangan A : Masalah
dirasakannya. melakukan atau keadaan teratasi sebagian
2. Pasien mampu tehnik distraksi pasien P : Lanjutkan
mengungkapkan dan relaksasi. 3. Dapat Rencana
tenteng perubahan 4. Anjurkan mengurangi rasa Tindakan 1-5
kondisi pada dirinya. pasien nyeri Keperawatan
3. Pasien mampu mengatur 4. Posisi yang
mendemonstrasikan posisi nyaman dapat
yang dianjurkan oleh senyaman menurunkan
perawat untuk mungkin rasa nyeri.
mengatur posisi 5. Kolaborasi 5. Menghilangkan
senyaman mungkin dengan TIM rasa nyeri.
dan Medis untuk
mendemonstrasikan pemberian
tekhnik distraksi dan analgesik
relaksasi. sesuai indikasi
4. Proses inflamasi dapat
berkurang dan nyeri
berkurang, skala nyeri
2-3.
3 Intoleransi Tujuan : Setelah dilakukan 1. Observasi 1. Untuk S : Pasien
aktivitas tindakan keperawatan selama TTV mengetahui Mengatakan
berhubung 3x24 jam diharapkan 2. Pertahankan keadaan umum badannya masih
an dengan kelemahan fisik dapat teratasi posisi tubuh pasien. lemah untuk
kelemahan dan aktivitas dapat dilakukan. yang nyaman. 2. Meningkatkan beraktivitas
fisik. Kriteria Hasil : 3. Perhatikan posisi O : Pasien
1. Pasien mampu sirkulasi, fungsional pada masih tampak
mengidentifiksi gerakan, ekstremitas lemas
tentang keadaan kepekaan pada 3. Oedema dapat A : Masalah
dirinya. kulit. mempengaruhi belum teratasi
2. Pasien mampu 4. Lakukan sirkulasi pada P : Lanjutkan
mengungkapkan latihan rentang ekstremitas Rencana
tentang perubahan gerak secara 4. Mencegah Tindakan 1 – 6
peran pada dirinya. konsisten, secara progresif Keperawatan.
3. Keluarga mampu diawali dengan mengencangkan
mendemonstrasikan pasif kemudian jaringan,
yang dianjurkan oleh aktif meningkatkan
perawat memberi 5. Anjurkan pemeliharaan
dukungan dan bantuan keluarga/orang fungsi otot/
latihan. yang terdekat sendi.
4. Pasien dapat untuk memberi 5. Menampilkan
melakukan aktivitas dukungan dan keluarga / oarng
sehari-hari, Kekuatan bantuan terdekat untuk
otot penuh. latihan. aktif dalam
6. Kolaborasi perawatan
dengan TIM pasien dan
Medis dalam memberikan
menjadwalkan terapi lebih
pengobatan konstan.
dan aktifitas 6. Meningkatkan
perawatan kekuatan dan
untuk toleransi pasien
memberikan terhadap
periode aktifitas.
istirahat.
4 Gangguan Tujuan : Setelah dilakukan 1. Kaji makna 1. Episode S : Pasien
konsep tindakan keperawatan selama perubahan traumatik Mengatakan
diri (citra 3x24 diharapkan tidak terjadi pada pasien. mengakibatkan masih ingin
diri) gangguan citra diri. 2. Terima dan perubahan tiba- sendiri dan
berhubung Kriteria Hasil : akui ekspresi tiba. Ini belum mau
an dengan 1. Pasien mampu frustasi, memerlukan ketemu orang
kecacatan mengidentifiksi dan ketergantunga dukungan dalam lain kecuali
dan mulai menerima n dan perbaikan keluarga dan
kehilangan tentang keadaan kemarahan. optimal. tenaga
fungsi dirinya. Perhatikan 2. Penerimaan kesehatan.
tubuh. 2. Pasien mampu perilaku perasaan O : Pasien
mengungkapkan menarik diri. sebagai respon masih tampak
tenteng perubahan 3. Berikan normal terhadap gelisah. lebih
fisik yang terjadi pada harapan dalam apa yang terjadi banyak diam
dirinya. parameter membantu dan masih tidak
3. Keluarga mampu situasi perbaikan. mau bertemu
mendemonstrasikan individu, 3. Meningkatkan dengan orang
yang dianjurkan oleh jangan perilaku positif lain kecuai
perawat untuk memberikan dan memberikan keluarga dan
memberikan kenyakinan kesempatan tenaga
kelompok pendukung yang salah. untuk menyusun kesehatan
untuk pasien. 4. Anjurkan pada tujuan dan A : Masalah
4. Pasien menyatakan keluarga untuk rencana untuk belum teratasi
penerimaan situasi memberikan masa depan P : Lanjutkan
diri, Memasukkan kelompok berdasarkan Rencana
perubahan dalam pendukung realitas Tindakan 1-5
konsep diri tanpa untuk pasien. 4. Meningkatkan Keperawatan
harga diri negatif 5. Kolaborasi ventilasi
dengan TIM perasaan dan
Medis dalam memungkinkan
memberikan respon yang
penguatan lebih membantu
positif. pasien.
5. Kata-kata
penguatan dapat
mendukung
terjadinya
perilaku koping
positif.
BAB IV

PENUTUP

4.1. KESIMPULAN
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang saraf
perifer, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Kusta dibagi dalam 2 bentuk, yaitu :
 kusta bentuk kering
 kusta bentuk basah

Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Myobacterium leprae yang ditemukan pada
tahun 1874, oleh GA Hansen . Kuman ini berbentuk batang, gram positif,
berukuran 0.34 x 2 mikron dan berkelompok membentuk globus. Kuman
Myohacterium leprae hidup pada sel Schwann dan sistim retikuloendotelial,
dengan masa generasi 12-24 hari, dan termasuk kuman yang tidak ganas
serta lambat berkembangnya. Tanda dan gejala penyakit kusta : Lesi (kelainan)
kulit yang mati rasa, Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi
saraf, Adanya bakteri tahan asam (BTA). Pencegahan penyakit kusta terbagi dalam
3 tahapan yaitu : pencegahan secara primer, sekunder dan tersier.

4.2. SARAN
Setelah membaca makalah ini diharapkan pembaca dapat mengetahui konsep
dasar penyakit Kusta dan dapat mengetahui tentang asuhan keperawatan pasien Kusta.
Dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan, untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kemajuan makalah ini kedepan.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Adhi, N. Dkk, 1997. Kusta, Diagnosis dan Penatalaksanaan, FK UI, Jakarta.

Graber,Mark A,1998,Buku Saku Kedokteran university of IOWA,EGC,Jakarta

Harahap, M. 1997. Diagnosis and Treatment of Skin Infection, Blackwell Science, Australia

http://asuhankeperawatans.blogspot.com/2010/02/asuhan-keperawatan-hansen.html diunduh
pada tanggal 15 Mei 2012 jam 21.30.

Juall, Lynda,1999. Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi II,
EGC. Jakarta.

Mansjoer,Arif, 2000 , Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III , media Aeuscualpius,Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai