Askep Morbus Hansen
Askep Morbus Hansen
DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 5 (KELAS B)
1. LEO TEHUBUJILUW
2. LEONY TUHUMENA
3. LUDIA UBRO
4. MARIANA NGARBINGAN
5. MARICE MARAN
6. MARIELA SELANO
7. MARIO LEWEN
FAKULTAS KESEHATAN
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat TUHAN Yang Maha Esa, karena
atas berkatnya Penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “DERMATITIS
KONTAK” ini dengan baik.
Makalah disusun dengan tujuan memenuhi tugas dan tanggung jawab sebagai
mahasiswa dan memenuhi tugas mata kuliah Sistem integumen .
Penulis tak lupa menyampaikan terima kasih kepada ibu yang memberikan
tugas kepada penulis karena berhubungan degan tugas ini penulis dapat menambah
ilmu pembelajaran bagi penulis.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan
masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan serta penulisan makalah
ini,untuk itu penulis mengharapkan kritikan serta saran yang bersifat membangun dari
pembaca demi untuk kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat!
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
1.2. RUMUSAN MASALAH
1.3. TUJUAN MASALAH
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1. PENGERTIAN MORBUS HANSEN
2.2. KLASIFIKASI
2.3. ETIOLOGI
2.4. PATOFISIOLOGI
2.5. PATHWAY
2.6. MANIFESTASI KLINIS
2.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
2.8. PENATALAKSANAAN
2.9. PENCEGAHAN
BAB III TINJAUAN KASUS
3.1. STUDY KASUS
3.2. PENGKAJIAN
3.3. ANALISA DATA
3.4. DIAGNOSA KEPERAWATAN
3.5. INTERVENSI, IMPLEMENTASI, DAN EVALUASI KEPERAWATAN
BAB IV PENUTUP
4.1. KESIMPULAN
4.2. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
TINJAUAN TEORI
2.1. PENGERTIAN
Morbus Hansen (penyakit Kusta atau lepra) adalah penyakit infeksi kronis
yang disebabkan oleh mycobacterium lepra yang interseluler obligat, yang pertama
menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran
nafas bagian atas, sistem endotelial, mata, otot, tulang, dan testis (Djuanda, 4.1997
).
Morbus Hansen (penyakit Kusta atau lepra) adalah penyakit yang menahun
dan disebabkan oleh kuman kusta (M. leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit
dan jaringan tubuh lainnya (Depkes RI, 1998).
Morbus Hansen (penyakit kusta atau lepra,) adalah suatu penyakit infeksi
kronis pada manusia yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M. leprae)
yang secara primer menyerang saraf perifer dan sekunder menyerang kulit dan
mukosa saluran nafas bagian atas mata, otot, tulang dan testis (Amirudin dalam
Harahap, 2000).
Menurut Depkes RI (2006) penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular
yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah tersebut bukan hanya
dari segi medis tetapi meluas sampai segi sosial, ekonomi, psikologis (dalam
Hutabarat, 2008).
Gambar penyakit Morbus Hansen (penyakit kusta atau lepra)
2.2. KLASIFIKASI
Klasifikasi Internasional: Klasifikasi Madrid (1953)
Indeterminate(I)
Tuberkuloid (T)
Boderline-Dimorphous(B)
Lepromatosa (L)
Tuberkoloid (TT)
Borderline tuberculoid (BT)
Mid-Borderline (BB)
Borderline Lepromatous (BL)
Lepromatosa (LL)
2. Infiltrat
a. Kulit. a. Tidak ada. a. Ada, kadang-
kadang tidak
ada.
b. Membran b. Tidak pernah ada b. Ada, kadang-
mukosa kadang tidak
(hidung ada
tersumbat
perdarahan
dihidung).
Klasifikasi bentuk klinis penyakit kusta dibedakan atas dua jenis yaitu
2.3. ETIOLOGI
Penyebab Penyakit Kusta adalah Bakteri mycobacterium leprae yang
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 mikron, lebar 0.2-0.5 mikron,
biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel, dan
bersifat tahan asam (BTA). Penyakit kusta bersifat menahun karena Bakteri
kusta memerlukan waktu 12-21 hari untuk membelah diri. Dan masa tunasnya
rata-rata 2-5 tahun. Penyakit kusta dapat di tularkan kepada orang lain melalui
saluran pernafasan dan kontak kulit. Bakteri kusta ini banyak terdapat pada kulit
tangan, daun telinga,dan mukosa hidung.( Widoyono, 2005 ).
2.4. PATOFISIOLOGI
Setelah mikobakterium leprae masuk dalam tubuh, perkembangan penyakit
kusta bergantung pada kerentangan seseorang. Respon tubuh setelah masa
tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunutas seluler ( celluluer
midialet immune ) pasien. Kalau sistem imunitas seluluer tinggi, penyakit
berkembang ke arah tuberkoloid dan bila rendah, berkembang ke
arah lepromatosa. Mikobakterium leprae berpredileksi di dearah-daerah yang
relative lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respon
Imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih se banding dengan tingkat
reaksi seluler daripada intensitas Infeksi. Oleh karna itu penyakit kusta dapat di
sebut sebagai penyakit Imunologi.
2.5. PATHWAY
2.6. MANIFESTASI KLINIS
Menurut WHO (1995), diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda
kardinal berikut :
1. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.
Lesi kulit dapat tunggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi
kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat
bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul, atau nodul. Kehilangan
sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf
terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan
kelemahan otot. Penebalan saraf tepi saja tanpa disertai kehilangan
sensibilitas dan/atau kelemahan otot juga merupakan tanda kusta.
2. BTA positif.
Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan
kulit. Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan diperiksa
ulang setiap 3 bulan sampai ditegakkan diagnosis kusta atau penyakit lain.
3. Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA+)
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila di temukan satu atau
lebih dari tanda-tanda utama diatas. Pada dasarnya sebagian besar penderita
dapat didiagnosis dengan pemeriksaan klinis. Namun demikian pada
penderita yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan kerokan kulit.
Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua perlu dirujuk kepada wasor
atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai penderita
yang dicurigai.
Menurut (Dep Kes RI. Dirjen PP & PL, 2007). Tanda-tanda utama atau Cardinal
Sign penyakit kusta, yaitu :
1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk
bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau kemerah-merahan
(erithematous) yang mati rasa (anaesthesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan
fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis
perifer ).
Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa :
Gangguan fungsi sensori seperti mati rasa
Gangguan fungsi motoris seperti kelemahan otot (parese) atau
kelumpuhan ( paralise)
Gangguan fungsi otonom seperti kulit kering dan retak-retak.
2. Pemeriksaan Bakteriologi
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut :
1) Sediaan di ambil dari kelainan kulit yang paling aktif
2) Kulit muka sebaiknya di hindari karena alasan kosmetik, kecuali
tidak di temukan lesi di tempat lain.
3) Pemeriksaan ulangan di lakukan pada lesi kulit yang sama dan bila
perlu di tambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
4) Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobekterium
leprae dalah :
1. Cuping telinga kiri atau kanan
2. 2-4 lesi kulit yang aktif di tempat lain.
3. Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya di hindari karena :
4. Tidak menyenangkan pasien
5. Positif palsu karna ada mikobakterium lain
Tidak mikobakterium leprae pernah di temukan pada
selaput lendir hidung apabila sediaan apus kulit negetif
Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput
lendir hidung lebih dahulu negative dari pada sediaan
kulit di tempat lain.
Indikasi Pengambilan Sediaan Apus Kulit :
Semua orang yang di curigai menderita kusta.
o Semua pasien baru yang di diagnosis secara klinis
sebagai pasien kusta.
o Semua pasien kusta yang di duga kambuh (relaps)
atau karna tersangka kuman resisten terhadap
obat.
o Semua pasien MB setia satu tahun sekali
o Pemeriksaan bakteriologis di lakukan dengan
pewarnaan tahan asam, yaitu ziehl neelsen atau
kinyoun gabelt.
5) Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu
cara zig-zag, huruf z dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk
kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-
pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.
5. Pemeriksaan Serologis
Lepromin test : untuk mengetahui imunitas seluler dan membantu
menentukan tipe kusta.
MLPA (Mycobacterium Lepra Particle Agglutination) : untuk
mengetahui imunitas humoral terhadap antigen yang berasal dari
M.Leprae.
PCR (Polimerase Chain Reaction) : Sangat sensitif, Dapat mendeteksi 1
- 10 kuman.
Sediaan diambil biasanya pada jaringan.
6. Pemeriksaan Histopatologi
Dari pemeriksaan ini ditemukan gambaran berupa : Infiltrate limfosit yang
meningkat sehingga terjadi udema dan hipertermi. Diferensiasi makrofag
kearah peningkatan sel epiteloid dan sel giant memberi gambaran sel
langerhans. Kadang-kadang terdapat gambaran nekrosis (kematian jaringan)
didalam granulosum. Dimana penyembuhannya ditandai dengan fibrosis.
Sebagai pemeriksaan penunjang untuk diagnosis dan menentukan tipe kusta.
2.8. PENATALAKSANAAN
1. Terapi Medik
Tujuan pengobatan adalah :
1) Memutuskan mata rantai penularan.
2) Mencegah resistensi obat.
3) Memperpendek masa pengobatan.
4) Meningkatkan keteraturan berobat.
5) Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang
sudah ada sebelum pengobatan.
Dosis bagi anak berusia dibawah 5 tahun disesuaikan dengan berat badan
Tabel 2.2 : Pedoman praktis untuk pemberian MDT bagi penderita kusta tipe
2. Perawatan Umum
Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan.
Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik
karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan reaksi netral.
a. Perawatan mata dengan lagophthalmos
Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau
kotoran.
Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu
b. Perawatan tangan yang mati rasa
Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda-tanda
luka, melepuh.
Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebihkurang
setengah jam.
Keadaan basah diolesi minyak .
Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku.
Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka
c. Perawatan kaki yang mati rasa
Penderita memeriksa kaki tiap hari
Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam
Masih basah diolesi minyak
Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
Jari-jari bengkok diurut lurus
Kaki mati rasa dilindungi
d. Perawatan luka
Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
Luka dibalut agar bersih
Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas
2.9. PENCEGAHAN
Mengingat di masyarakat masih banyak yang belum memahami tentang
penyakit kusta yang bisa menjadi hambatan bagi pelaksanaan program
pemberantasan kusta termasuk dalam mengikutsertakan peran serta masyarakat,
maka diperlukan upaya-upaya pencegahan untuk dapat mengurangi prevalensi,
insidens dan kecacatan penderita kusta. Upaya-upaya pencegahan diatas dibagi
menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit yaitu : pencegahan
primer, sekunder, dan pencegahan tersier .
a. Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan
orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi
sakit.Secara garis besar, upaya pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum
dan pencegahan khusus. Pencegahan umum dimaksudkan untuk mengadakan
pencegahan pada masyarakat umum, misalnya personal hygiene, pendidikan
kesehatan masyarakat dengan penyuluhan dan kebersihan lingkungan.
Pencegahan khusus ditujukan pada orang-orang yang mempunyai resiko untuk
terkena suatu penyakit, misalnya pemberian immunisasi.
b. Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah
orang yang telah sakit agar sembuh dengan pengobatan, menghindarkan
komplikasi kecacatan secara fisik. Pencegahan sekunder mencakup kegiatan-
kegiatan seperti dengan tes penyaringan yang ditujukan untuk pendeteksian
dini serta penanganan pengobatan yang cepat dan tepat. Tujuan utama kegiatan
pencegahan sekunder adalah untuk mengidentifikasikan orang-orang tanpa
gejala yang telah sakit atau yang jelas berisiko tinggi untuk mengembangkan
penyakit.
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidak mampuan dan
mengadakan rehabilitasi. Upaya pencegahan tingkat tiga ini dapat dilakukan
dengan memaksimalkan fungsi organ tubuh, membuat protesa ekstremitas
akibat amputasi dan mendirikan pusat-pusat rehabilitasi medik.
BAB III
TINJAUAN KASUS
Tn. E, berusia 29 tahun masuk RSUD dengan keluhan bercak-bercak merah, lesi
pada kulit serta rasa nyeri pada kulit yang terluka. Pasien juga mengatakan tidak
mampu melakukan aktivitas sehari-hari dengan mandiri, pasien mengatakan malu
dengan kondisi dirinya. Pasien tampak lemas, pasien lebih tertutup (tidak mau
bertemu dengan orang lain), pasien tampak tidak nyaman dan meringis ketakutan.
3.2. PENGKAJIAN
1. Identitas
Nama : Tn. E
Umur : 29 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Agama : Kristen Protestan
Suku : -
Pendidikan : -
Pekerjaan : -
2. Keluhan utama
Pasien mengeluh adanya bercak-bercak merah.
3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Pasien mengeluh bercak-bercak merah, lesi pada kulit serta rasa nyeri pada
kulit yang terluka. Pasien juga mengatakan tidak mampu melakukan
aktivitas sehari-hari dengan mandiri, pasien mengatakan malu dengan
kondisi dirinya. Pasien tampak lemas, pasien lebih tertutup (tidak mau
bertemu dengan orang lain), pasien tampak tidak nyaman dan meringis
ketakutan.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit yang diderita pasien sebelumnya seperti hepatitis,asma dan
alergi,jantung koroner.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya merupakan penyakit menular Maka anggota keluarga mempunyai
resiko beasar tertular dengan kontak lama.
d. Riwayat Psikososial
Pasien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar
masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit
kutukan, sehingga pasien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga
pasien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan.
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum pasien
Biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipeI, reaksi
ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf
tepi motorik.
b. Sistem penglihatan.
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik,kornea mata anastesi sehingga
reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan
saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akanlagophthalmos jika ada
infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi
peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis.
Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata
akan rontok.
c. Sistem pernafasan.
Pasien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelanadan terdapat
gangguan pada tenggorokan.
d. Sistem persarafan:
1. Kerusakan fungsi sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa.
Akibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi
luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek
kedip.
2. Kerusakan fungsi motorik
Kekuatan otot tangan dan kakidapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-
lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari
tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan
pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan
matatidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).
3. Kerusakan fungsi otonom
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan
sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan
akhirnya dapat pecah-pecah.
e. Sistem muskuloskeletal.
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau
kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
f. Sistem integumen.
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritema
(kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada
kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar
minyak dan gangguansirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras
dan pecah-pecah. Rambut : sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.
5. Pengkajian 11 fungsional Gordon
1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada umumnya pada pola presepsi pada pasien kusta mengalami gangguan
terutama pada body image, penderita merasa rendah diri dan merasa
terkucilkan sedangkan pada tatalaksana hidup sehat pada umumnya pasien
kurang kebersihan diri dan lingkungan yang kotor dan sering kontak
langsung dengan penderita kusta. Karena kurangnya pengetahuan tentang
penyakitnya maka timbul masalah dalam perawatan diri.
2. Pola nutrisi dan metabolisme
Meliputi makanan pasien sehari-hari komposisi : sayur, lauk pauk, minum
sehari berapa gelas, berat badan naik atau turun, sebelum dan saat masuk
rumah sakit turgor kulit normal atau menurundan kebiasaan maskan
pasien. Pasien tinggal ditempat yang kotor atau bersih Adanya penurunan
nafsu makan, mual, muntah, penurunan berat badan, gangguan pencernaan.
3. Pola eliminasi
Pada Pola eleminasi alvi dan uri pada pasien kusta tidak ada kelainan.
4. Pola istirahat dan tidur
Pada pasien kusta pada umumnya pola tidur tidak teerganggu tetapi bagi
kusta yang belum menjalani pengobatan pasien baru biasanya terjadi
gangguan kebutuhan tidur dan istirahat yang disebabkan oleh pikiran stress,
odema dan peningkatan suhu tubuh yang yang diikuti rasa nyeri.
5. Pola aktivitas dan latihan
Biasanya pada pasien kusta dalam aktifitas ada gangguan dalam hal
interaksi sosial dengan masyarakat biasanya pasien mengurung diri dan
pada pergerakan ektrimitas bagian perifer didapatkan bercak-bercak merah
disertai odema dan pasien dianjurkan harus bayak mobilisasi.
6. Pola persepsi dan konsep diri
Presepsi pasien tentang penyakitnya dan bagaimana konsep dalam
menghadapi penyakitnya yang diderita.
7. Pola sensori dan kognitif
Pada umumnya penderita kusta mengalami gangguan disalah satu
sensorinya seperti peraba . Pasien tidak merasa adanya rangsangan apabila
bercak tersebut diberikan rangsangan.Pada kognitifnya pasien kusta merasa
tidak berguna lagi dan merasa terkucilkan serta merasa tidak diterima oleh
masyarakat dan keluarganya.
8. Pola reproduksi seksual
Pada umumnya pada pola produksi seksual pasien tidak mengalami
gangguan.
9. Pola hubungan peran
Biasanya pada pasien kusta selalu mengurung diri dan menarik diri dari
masyarakat (disorentasi) Pasien merasa malu tentang keadaan dirinya. Dan
masyarakat beranggapan penyakit kusta merupakan penyakit yang
menjijikan.
10. Pola penanggulangan stress
Bagaimana pasien menghadapi masalah yang dibebani sekarang dan cara
penanggulangannya.
11. Pola nilai dan kepercayaan
Dalam pola ini terkadang ada anggapan yang bersifat ghaib.
3.3. ANALISA DATA
No Data Etiologi/Penyebab Problem/Masalah
1 DS : Pasien mengatakan Mycrobakterium Leprae. Kerusakan integritas
bercak-bercah merah pada kulit.
bagian kulit. Menyerang saraf perifer,
DO : Terdapat lesi pada kulit, mukosa saluran
kulit. pernapasan atas.
Otonom.
Benjolan-benjolan kecil di
seluruh tubuh.
Otonom.
Gangguan kelenjar keringat,
kelenjar minyak, aliran
darah.
Benjolan-benjolan kecil di
seluruh tubuh.
Inflamasi.
Nyeri.
3 DS : Pasien mengatakan Mycrobakterium Leprae. Intoleransi aktivitas
tidak mampu melakukan
aktivitas sehari-hari
Menyerang saraf perifer,
dengan mandiri.
kulit, mukosa saluran
DO : Pasien tampak lemas
pernapasan atas.
Motorik.
Kelemahan.
Tangan/kaki : lemah /
lumpuh.
Jari bengkok/ kaku.
Luka.
Intoleran aktivitas
4 DS : Pasien mengatakan Mycrobakterium Leprae. Gangguan konsep diri
malu dengan kondisi (citra diri).
dirinya. Menyerang saraf perifer,
DO : Pasien lebih tertutup kulit, mukosa saluran
(tidak mau bertemu pernapasan atas.
dengan orang lain).
Gangguan fungsi saraf tepi.
Sensorik.
Anastesi
Luka.
1,3 : Perhatikan
sirkulasi,
gerakan,
kepekaan pada
kulit, Lakukan
latihan rentang
gerak secara
konsisten,
diawali dengan
pasif kemudian
aktif setelah itu
anjurkan klien
untuk
mengistirahatka
n bagian yang
terdapat lesi dari
tekanan.
1, 2 : Kolaborasi
dengan TIM
Medis dalam
mengevaluasi
warna lesi dan
jaringan yang
terjadi inflamasi
perhatikan
adakah
penyebaran pada
jaringan sekitar
serta
berkolaborasi
dalam
pemberian
analgesik.
3, 4 : Anjurkan
keluarga/orang
yang terdekat
untuk memberi
dukungan dan
bantuan latihan
dan anjurkan
pada keluarga
untuk
memberikan
kelompok
pendukung
untuk pasien.
4, 3 : Kolaborasi
dengan TIM
Medis dalam
memberikan
penguatan
positif dan
menjadwalkan
pengobatan dan
aktifitas
perawatan untuk
memberikan
periode istirahat.
2 Gangguan Tujuan : Setelah dilakukan 1. Observasi 1. Memberikan S : Pasien
rasa tindakan keperawatan selama lokasi, informasi untuk Mengatakan
nyaman, 1x24 jam diharapkan intensitas dan membantu nyeri mulai
nyeri gangguan rasa nyaman nyeri penjalaran dalam berkurang, skala
berhubung dapat berkurang. nyeri. memberikan nyeri : 3
an dengan Kriteria Hasil : 2. Observasi intervensi. O : Pasien
proses 1. Pasien mampu tanda-tanda 2. Untuk sudah lebih
inflamasi mengidentifiksi vital mengetahui terlihat nyaman.
jaringan. tentang nyeri yang 3. Ajarkan perkembangan A : Masalah
dirasakannya. melakukan atau keadaan teratasi sebagian
2. Pasien mampu tehnik distraksi pasien P : Lanjutkan
mengungkapkan dan relaksasi. 3. Dapat Rencana
tenteng perubahan 4. Anjurkan mengurangi rasa Tindakan 1-5
kondisi pada dirinya. pasien nyeri Keperawatan
3. Pasien mampu mengatur 4. Posisi yang
mendemonstrasikan posisi nyaman dapat
yang dianjurkan oleh senyaman menurunkan
perawat untuk mungkin rasa nyeri.
mengatur posisi 5. Kolaborasi 5. Menghilangkan
senyaman mungkin dengan TIM rasa nyeri.
dan Medis untuk
mendemonstrasikan pemberian
tekhnik distraksi dan analgesik
relaksasi. sesuai indikasi
4. Proses inflamasi dapat
berkurang dan nyeri
berkurang, skala nyeri
2-3.
3 Intoleransi Tujuan : Setelah dilakukan 1. Observasi 1. Untuk S : Pasien
aktivitas tindakan keperawatan selama TTV mengetahui Mengatakan
berhubung 3x24 jam diharapkan 2. Pertahankan keadaan umum badannya masih
an dengan kelemahan fisik dapat teratasi posisi tubuh pasien. lemah untuk
kelemahan dan aktivitas dapat dilakukan. yang nyaman. 2. Meningkatkan beraktivitas
fisik. Kriteria Hasil : 3. Perhatikan posisi O : Pasien
1. Pasien mampu sirkulasi, fungsional pada masih tampak
mengidentifiksi gerakan, ekstremitas lemas
tentang keadaan kepekaan pada 3. Oedema dapat A : Masalah
dirinya. kulit. mempengaruhi belum teratasi
2. Pasien mampu 4. Lakukan sirkulasi pada P : Lanjutkan
mengungkapkan latihan rentang ekstremitas Rencana
tentang perubahan gerak secara 4. Mencegah Tindakan 1 – 6
peran pada dirinya. konsisten, secara progresif Keperawatan.
3. Keluarga mampu diawali dengan mengencangkan
mendemonstrasikan pasif kemudian jaringan,
yang dianjurkan oleh aktif meningkatkan
perawat memberi 5. Anjurkan pemeliharaan
dukungan dan bantuan keluarga/orang fungsi otot/
latihan. yang terdekat sendi.
4. Pasien dapat untuk memberi 5. Menampilkan
melakukan aktivitas dukungan dan keluarga / oarng
sehari-hari, Kekuatan bantuan terdekat untuk
otot penuh. latihan. aktif dalam
6. Kolaborasi perawatan
dengan TIM pasien dan
Medis dalam memberikan
menjadwalkan terapi lebih
pengobatan konstan.
dan aktifitas 6. Meningkatkan
perawatan kekuatan dan
untuk toleransi pasien
memberikan terhadap
periode aktifitas.
istirahat.
4 Gangguan Tujuan : Setelah dilakukan 1. Kaji makna 1. Episode S : Pasien
konsep tindakan keperawatan selama perubahan traumatik Mengatakan
diri (citra 3x24 diharapkan tidak terjadi pada pasien. mengakibatkan masih ingin
diri) gangguan citra diri. 2. Terima dan perubahan tiba- sendiri dan
berhubung Kriteria Hasil : akui ekspresi tiba. Ini belum mau
an dengan 1. Pasien mampu frustasi, memerlukan ketemu orang
kecacatan mengidentifiksi dan ketergantunga dukungan dalam lain kecuali
dan mulai menerima n dan perbaikan keluarga dan
kehilangan tentang keadaan kemarahan. optimal. tenaga
fungsi dirinya. Perhatikan 2. Penerimaan kesehatan.
tubuh. 2. Pasien mampu perilaku perasaan O : Pasien
mengungkapkan menarik diri. sebagai respon masih tampak
tenteng perubahan 3. Berikan normal terhadap gelisah. lebih
fisik yang terjadi pada harapan dalam apa yang terjadi banyak diam
dirinya. parameter membantu dan masih tidak
3. Keluarga mampu situasi perbaikan. mau bertemu
mendemonstrasikan individu, 3. Meningkatkan dengan orang
yang dianjurkan oleh jangan perilaku positif lain kecuai
perawat untuk memberikan dan memberikan keluarga dan
memberikan kenyakinan kesempatan tenaga
kelompok pendukung yang salah. untuk menyusun kesehatan
untuk pasien. 4. Anjurkan pada tujuan dan A : Masalah
4. Pasien menyatakan keluarga untuk rencana untuk belum teratasi
penerimaan situasi memberikan masa depan P : Lanjutkan
diri, Memasukkan kelompok berdasarkan Rencana
perubahan dalam pendukung realitas Tindakan 1-5
konsep diri tanpa untuk pasien. 4. Meningkatkan Keperawatan
harga diri negatif 5. Kolaborasi ventilasi
dengan TIM perasaan dan
Medis dalam memungkinkan
memberikan respon yang
penguatan lebih membantu
positif. pasien.
5. Kata-kata
penguatan dapat
mendukung
terjadinya
perilaku koping
positif.
BAB IV
PENUTUP
4.1. KESIMPULAN
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang saraf
perifer, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Kusta dibagi dalam 2 bentuk, yaitu :
kusta bentuk kering
kusta bentuk basah
Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Myobacterium leprae yang ditemukan pada
tahun 1874, oleh GA Hansen . Kuman ini berbentuk batang, gram positif,
berukuran 0.34 x 2 mikron dan berkelompok membentuk globus. Kuman
Myohacterium leprae hidup pada sel Schwann dan sistim retikuloendotelial,
dengan masa generasi 12-24 hari, dan termasuk kuman yang tidak ganas
serta lambat berkembangnya. Tanda dan gejala penyakit kusta : Lesi (kelainan)
kulit yang mati rasa, Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi
saraf, Adanya bakteri tahan asam (BTA). Pencegahan penyakit kusta terbagi dalam
3 tahapan yaitu : pencegahan secara primer, sekunder dan tersier.
4.2. SARAN
Setelah membaca makalah ini diharapkan pembaca dapat mengetahui konsep
dasar penyakit Kusta dan dapat mengetahui tentang asuhan keperawatan pasien Kusta.
Dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan, untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kemajuan makalah ini kedepan.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Harahap, M. 1997. Diagnosis and Treatment of Skin Infection, Blackwell Science, Australia
http://asuhankeperawatans.blogspot.com/2010/02/asuhan-keperawatan-hansen.html diunduh
pada tanggal 15 Mei 2012 jam 21.30.
Juall, Lynda,1999. Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi II,
EGC. Jakarta.
Mansjoer,Arif, 2000 , Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III , media Aeuscualpius,Jakarta.