Anda di halaman 1dari 139

BAB I

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Emar
Usia : 68 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Alamat : Cibungin RT 03/01 Desa Sukaluyu, Kec.Cikayu, Cianjur
Masuk RS : 16 April 2018
Jenis anamnesis : Alloanamnesis dilakukan pada 19 April 2018 pukul 09.30 WIB
No. RMK : 741748
Kondisi pasien : Seorang hipertensi

B. ANAMNESIS (ALLOANAMNESIS)
Keluhan utama :
Ny. Emar, 68 tahun, seorang penderita hipertensi datang ke IGD RSUD Ciajur dengan
keluhan bengkak pada seluruh tubuh sejak 2 bulan SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien usia lansia bekerja sebagai seorang petani yang mencangkul dan menggarap tanah
milik orang lain. Sejak 1 tahun yang lalu sampai sekarang pasien sudah tidak bekerja lagi
dikarenakan kondisi pasien yang sakit.
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan bengkak yang awalnya dirasakan pada bagian
perut ± 3 Bulan lalu. Bengkak kemudian menyebar ke bagian wajah, tangan, kaki hingga
seluruh tubuh ± 2 bulan SMRS.
Awalnya 1 bulan yang lalu pasien merasa hal yang sama dan dirawat di RS selama 5 hari,
kemudian pasien dirawat kembali pada bulan yang sama dengan keluhan yang sama selama
7 hari. Setelah pasien pulang, pasien di rawat kembali untuk yang ketiga kalinya dengan
keluhan yang sama selama 7 hari di RS yang sama. Setelah itu pasien atas permintaan
sendiri datang ke RSUD Cianjur dengan keluhan yang sama dan di rawat selama 10 hari.
Pasien juga mengeluhkan sesak nafas yang dirasakan sejak 2 minggu yang lalu. Sesak nafas
tidak disertai dengan suara “ngik-ngik”, tidak ada nyeri dada dan tidak bertambah saat
aktivitas. Sesak nafas berkurang saat istirahat. Sesak nafas disertai dengan batuk berdahak,
dahak sulit keluar.
Pasien juga mengeluhkan mual kadang-kadang disertai muntah disertai dengan nyeri ulu
hati sejak 1 minggu yang lalu. Pasien juga mengeluhkan nafsu makan menjadi menurun.
Pasien juga mengeluh kulit terasa kering, gatal dan baal bersamaan dengan timbulnya
bengkak.
Pasien juga mengeluhkan nyeri saat BAK sejak 1 minggu yang lalu disertai dengan nyeri
pada perut bagian bawah. BAB tidak ada kelainan.

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat hipertensi (+), DM (-)
- Riwayat pernah mengalami hal yang sama 1 tahun yang lalu dan sudah berobat ke RS
dan sempat dirawat 4 kali dalam 1 tahun.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Alm. anak pasien mengalami hal yang sama dengan pasien dan telah meninggal 6 bulan
yang lalu.

Riwayat Pengobatan :
Sebelumnya pasien telah berobat ke RS lain dan sempat dirawat 4 kali keluar masukRS
dalam 1 tahun.

Riwayat Psikososial :
Pasien sering telat makan, sebelum sakit pasien merokok 2 batang sehari.

Riwayat Alergi :
Alergi debu, makanan, suhu disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Sakit berat
Kesadaran : Somnolen
Tanda vital :
 Tekanan darah : 200/100 mmHg
 Nadi : 113 x/menit, irama nadi teratur, regular, kualitas cukup
 RR : 21 x/menit
 Suhu : 36,8 o
C
Status antropometri :
- BB : 53 kg
- TB : 148 cm

Status Generalis :
Kepala Bentuk : normocepal, simetris
Rambut : alopecia (-), tidak mudah dicabut
Mata : conjunctiva anemis +/+, sklera ikterik -/-, pupil isokor kanan dan
kiri, refleks cahaya (+/+).
Hidung : deformitas (-), nyeri tekan (-), sekret (-/-)
Mulut : hiperemis (-), mukosa buccal basah, erosi (-), lidah tidak kotor,
mukosa bibir lembab.
Gigi : karies (-), mikrolesi (-)
THT : tonsil T1/T1 tidak hiperemis, faring tidak hiperemis
Leher Inspeksi : bentuk normal, deviasi trakea (-)
Palpasi : pembesaran kelenjar tiroid dan KGB (-), JVP tidak meningkat
Thoraks Pulmo
Inspeksi : bentuk simetris kanan dan kiri
Palpasi : teraba focal fremitus pada kedua lapangan paru
Perkusi : terdengar suara sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : terdengar vesikuler melemah pada kedua lapang paru, fine
crackles pada apex kanan paru, tidak terdengar whezing pada
kedua lapang paru.

Jantung
Inspeksi : ictus kordis tidak tampak
Palpasi : teraba ictus cordis di ICS V
Perkusi : Batas atas : sela iga III garis sternalis kiri
Batas kanan : sela iga IV garis parasternalis kanan
Batas kiri : sela iga V garis midklavikula kiri
Auskultasi : BJ I,II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen Inspeksi : supel, perut tampak cembung, tidak ada jaringan parut.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : seluruh lapang abdomen timpani, tes sifting dulness (+)
Auskultasi : bising usus (+) normal

Ekstremitas Superior : deformitas (-), edem (+/+), RCT < 2 detik


Inferior : deormitas (-), edem (+/+), RCCT < 2 detik

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tanggal 19-04-2018

Tanggal 20-04-2018
Tanggal 19-04-2018
Tanggal 20-04-2018
Tanggal 22-04-2018

Tanggal 25-04-2016
FOLLOW UP PASIEN
Hari/ S O A/P
Tanggal
16-04-2018 Bengkak seluruh TD : 200/100 mmHg 1. Edem anasrka e.c. dd CKD, SN
tubuh (+). HR : 83 x/menit - Furosemid 3 x 40 mg
BAK (-) RR : 19 x/menit 2. HT Grade II
Lab : - Captopril 3 x 2,5 mg
Fungsi ginjal : - Amlodipin 1 x 10 mg
 Ureum 85.5 mg% 3. Disuria e.c susp dd ISK
(tinggi) - Ciprofloxacin 2x400 mg
 Kreatinin 2.1 mg% - Pasang kateter
(tinggi) - Rencana cek urin
Elektrolit : 4. Gangguan elektrolit
- K : 3.06 mEq/L - Infus D5% 500cc/24 jam
(rendah) 5. Gangguan fungsi ginjal
- Ca+ : 1.08 mEq/L
(rendah)
Senin Bengkak seluruh TD : 140/90 mmHg 1. Edem anasrka e.c. dd CKD, SN
19-04-2018 abdan (+) HR : 82 x/menit - Furosemid 3 x 40 mg
BAK (-) RR : 19 x/menit 2. HT Grade II
Lab : - Captopril 3 x 2,5 mg
Fungsi ginjal : - Amlodipin 1 x 10 mg
- Ureum 78.2 mg% 3. Disuria e.c susp dd ISK
(tinggi) - Ciprofloxacin 2x400 mg
- Kreatinin 3.1 mg% - Pasang kateter
(tinggi) - Rencana cek urin
Kimia Urin : 4. Gangguan elektrolit
- Nitrit positif - Infus D5% 500cc/24 jam
- Protein urin 500/4+ 5. Gangguan fungsi ginjal
mg/dL
- Glukosa 50/1+ mg/dL
- Eritrosit 150/4+ mg/dL
- Leukosit 100/2+
mg/dL
Mikroskopik urin :
- Silinder : granul kasar
- Lain-lain : bakteri (+)
Rabu Bengkak pada TD : 180/120 mmHg 1. Edem anasrka e.c. dd CKD, SN
20-04-2018 daerah perut dan HR : 80 x/menit - Furosemid 3 x 40 mg
kedua tungkai (+) RR : 19 x/menit - Spironolacton 1x100 mg
BAK (-) Lab : 2. HT Grade II
Lemak : - Captopril 3 x 2,5 mg
- Kol.total : 383 mg/dL - Amlodipin 1 x 10 mg
(tinggi) 3. Disuria e.c susp dd ISK
Fungsi hati : - Ciprofloxacin 2x400 mg
- ALT (SGPT) 10 U/L - Pasang kateter
(rendah) - Rencana cek urin
- Protein total 3.35 g/dL 4. Gangguan elektrolit
(rendah) - Infus D5% 500cc/24 jam
- Albumin 0.74 g/dL 5. Gangguan fungsi ginjal
(rendah)
Elektrolit :
- Na+ : 130.3 mEq/L
(rendah)
- K : 3.29 mEq/L
(rendah)
- Ca+ : 1.04 mEq/L
(rendah)
Sabtu Bengkak pada TD : 150/100 mmHg 1. Edem anasarka e.c. dd CKD, SN
25-04-2018 daerah perut dan HR : 84x/menit - Furosemid 3x40 mg
kedua tungkai (+) RR : 25x/menit - Spironolacton 1x100 mg
BAK (-) BAB (+) Pemfis : 2. HT grade II
Muntah darah Pulmo : fine crackes - Captopril 3x2,5 mg
(+) pada apex kanan (+) - Amlodipin 1x10 mg
nyeri ulu hati NT epigastrium (+)
dan perut kanan Hepatomegali (+) 3. ISK
(+) Lab : - Ciprofloxacin 2x400 mg
sesak nafas (+) - Pasang kateter
dan terbngun 4. Gangguan elektrolit
malam hari - Infus D5% 500cc/24 jam
batuk kering 5. Hiperkolesterolemia
kadang-kadang 6. Hipoproteinemia
(+) 7. Hipoalbuminemia
8. Gangguan fungsi hati
9. Gangguan fungsi ginjal
10. Hematemesis e.c. dd gastropaty
uremicium
- Omeprazol 3x40 mg
- Sucralfat 4x4 mg
DAFTAR MASALAH

1. Hipertensi
2. Gastropati
3. ISK
4. PPOK
5. Edema anasarka EC SN
6. Edema anasarka EC CKD
7. Dislipdemia
8. Glukosuria
9. Rales dan Ronkhi

ASSESSMENT

1. Hipertensi
2. Gastropati
3. ISK
4. PPOK
5. Edema anasarka EC SN
6. Edema anasarka EC CKD
7. Dislipdemia
8. Glukosuria
9. Rales dan Ronkhi
BAB II
PEMBAHASAN

1. Hipertensi

Definisi

Klasifikasi
Target Tekanan Darah

Manifestasi Klinik
Tatalaksana
2. Dispepsia Syndrome

Sindrom dispepsia

Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah abdomen bagian atas. Rasa
tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa gejala berikut yaitu: nyeri
epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, rasa
kembung pada saluran cerna atas, mual, muntah, dan sendawa. Untuk dispepsia fungsional,
keluhan tersebut di atas harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir dengan awitan
gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan.

Diagnosis Dispepsia
Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik dan fungsional. Dispepsia organik terdiri dari
ulkus gaster, ulkus duodenum, gastritis erosi, gastritis, duodenitis dan proses keganasan. Dispepsia fungsional
mengacu kepada kriteria Roma III.Kriteria Roma III belum divalidasi di Indonesia. Konsensus Asia-Pasifik
(2012) memutuskan untuk mengikuti konsep dari kriteria diagnosis Roma III dengan penambahan gejala berupa
kembung pada abdomen bagian atas yang umum ditemui sebagai gejala dispepsia fungsional. 5
Dispepsia menurut kriteria Roma III adalah suatu penyakit dengan satu atau lebih gejala yang berhubungan
dengan gangguan di gastroduodenal:
• Nyeri epigastrium
• Rasa terbakar di epigastrium
• Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
• Rasa cepat kenyang

Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir dengan awitan gejala enam
bulan sebelum diagnosis ditegakkan.
Kriteria Roma III membagi dispepsia fungsional menjadi 2 subgrup, yakni epigastric pain syndrome dan
postprandial distress syndrome. Akan tetapi, bukti terkini menunjukkan bahwa terdapat tumpang tindih diagnosis
dalam dua pertiga pasien dispepsia.

Evaluasi tanda bahaya harus selalu menjadi bagian dari evaluasi pasien-pasien yang datang dengan keluhan
dispepsia. Tanda bahaya pada dispepsia yaitu:
• Penurunan berat badan (unintended)
• Disfagia progresif
• Muntah rekuren atau persisten
• Perdarahan saluran cerna
• Anemia
• Demam
• Massa daerah abdomen bagian atas
• Riwayat keluarga kanker lambung
• Dispepsia awitan baru pada pasien di atas 45 tahun
Pasien-pasien dengan keluhan seperti di atas harus dilakukan investigasi terlebih dahulu
dengan endoskopi.

Tata laksana
Tata laksana dispepsia dimulai dengan usaha untuk identifikasi patofisiologi dan faktor penyebab sebanyak
mungkin.11 Terapi dispepsia sudah dapat dimulai berdasarkan sindroma klinis yang dominan (belum diinvestigasi)
dan dilanjutkan sesuai hasil investigasi.

Dispepsia belum diinvestigasi


Strategi tata laksana optimal pada fase ini adalah memberikan terapi empirik selama 1-4 minggu sebelum hasil
investigasi awal, yaitu pemeriksaan adanya Hp. Untuk daerah dan etnis tertentu serta pasien dengan faktor risiko
tinggi, pemeriksaan Hp harus dilakukan lebih awal.
Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida, antisekresi asam lambung (PPI misalnya omeprazole,
rabeprazole dan lansoprazole dan/atau H2-Receptor Antagonist [H2RA]), prokinetik, dan sitoprotektor (misalnya
rebamipide), di mana pilihan ditentukan berdasarkan dominasi keluhan dan riwayat pengobatan pasien
sebelumnya. Masih ditunggu pengembangan obat baru yang bekerja melalui down-regulation proton pump yang
diharapkan memiliki mekanisme kerja yang lebih baik dari PPI, yaitu DLBS 2411.
Terkait dengan prevalensi infeksi Hp yang tinggi, strategi test and treat diterapkan pada pasien dengan keluhan
dispepsia tanpa tanda bahaya.
Test and treat dilakukan pada:
• Pasien dengan dispepsia tanpa komplikasi yang tidak berespon terhadap perubahan gaya hidup, antasida,
pemberian PPI tunggal selama 2-4 minggu dan tanpa tanda bahaya.
• Pasien dengan riwayat ulkus gaster atau ulkus duodenum yang belum pernah diperiksa.
• Pasien yang akan minum OAINS, terutama dengan riwayat ulkus gastroduodenal.
• Anemia defisiensi besi yang tidak dapat dijelaskan, purpura trombositopenik idiopatik dan defisiensi vitamin
B12.
Test and treat tidak dilakukan pada:
• Penyakit refluks gastroesofageal (GERD)
• Anak-anak dengan dispepsia fungsional

Dispepsia yang telah diinvestigasi


Pasien-pasien dispepsia dengan tanda bahaya tidak diberikan terapi empirik, melainkan harus dilakukan
investigasi terlebih dahulu dengan endoskopi dengan atau tanpa pemeriksaan histopatologi sebelum ditangani
sebagai dispepsia fungsional.
Setelah investigasi, tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa pada beberapa kasus dispepsia ditemukan
GERD sebagai kelainannya.
Dispepsia organik
Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosal damage) sesuai hasil endoskopi, terapi dilakukan berdasarkan
kelainan yang ditemukan. Kelainan yang termasuk ke dalam kelompok dispepsia organik antara lain gastritis,
gastritis hemoragik, duodenitis, ulkus gaster, ulkus duodenum, atau proses keganasan. Pada ulkus peptikum (ulkus
gaster dan/ atau ulkus duodenum), obat yang diberikan antara lain kombinasi PPI, misal rabeprazole 2x20 mg/
lanzoprazole 2x30 mg dengan mukoprotektor, misalnya rebamipide 3x100 mg.

Dispepsia fungsional
Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakan mukosa, terapi dapat diberikan sesuai dengan
gangguan fungsional yang ada.
Penggunaan prokinetik seperti metoklopramid, domperidon, cisaprid, itoprid dan lain sebagainya dapat
memberikan perbaikan gejala pada beberapa pasien dengan dispepsia fungsional. Hal ini terkait dengan
perlambatan pengosongan lambung sebagai salah satu patofisiologi dispepsia fungsional. Kewaspadaan harus
diterapkan pada penggunaan cisaprid oleh karena potensi komplikasi kardiovaskular.
Data penggunaan obat-obatan antidepresan atau ansiolitik pada pasien dengan dispepsia fungsional masih
terbatas. Dalam sebuah studi di Jepang baru-baru ini menunjukkan perbaikan gejala yang signifikan pada pasien
dispepsia fungsional yang mendapatkan agonis 5-HT1 dibandingkan plasebo. Di sisi lain venlafaxin, penghambat
ambilan serotonin dan norepinerfrin tidak menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding plasebo.
3. ISK

INFEKSI SALURAN KEMIH


Definisi
Infeksi Saluran Kemih adalah suatu infeksi yang melibatkan ginjal, ureter, buli-buli,
ataupun uretra. Infeksi saluran kemih (ISK) adalah istilah umum yang menunjukkan
keberadaan mikroorganisme (MO) dalam urin (Sukandar, E., 2004).

Urinary tract infection (UTI) is the second most common clinical indication for
empirical antimicrobial treatment in primary and secondary care, and urine samples constitute
the largest single category of specimens examined in most medical microbiology laboratories.

Bakteriuria bermakna (significant bacteriuria): bakteriuria bermakna menunjukkan


5
pertumbuhan mikroorganisme murni lebih dari 10 colony forming unit (cfu/ml) pada biakan
urin. Bakteriuria bermakna mungkin tanpa disertai presentasi klinis ISK dinamakan bakteriuria
asimtomatik (convert bacteriuria). Sebaliknya bakteriuria bermakna disertai persentasi klinis
ISK dinamakan bakteriuria simtomatik. Pada beberapa keadaan pasien dengan persentasi klinis
tanpa bekteriuria bermakna. Piuria bermakna (significant pyuria), bila ditemukan netrofil >10
per lapangan pandang. (Sukandar, E., 2004).

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan
bakteriuria patogen dengan colony forming units per mL CFU/ ml urin > 105, dan lekositouria
>10 per lapangan pandang besar, disertai manifestasi klinik.

Klasifikasi
Infeksi dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi infeksi di dalam saluran kemih. Akan
tetapi karena adanya hubungan satu lokasi dengan lokasi lain sering didapatkan bakteri di dua
lokasi yang berbeda. Klasifikasi diagnosis Infeksi Saluran Kemih dan Genitalia Pria yang
dimodifikasikan dari panduan EAU (European Association of Urology) dan IDSA (Infectious
Disease Society of America) terbagi kepada ISK non komplikata akut pada wanita, pielonefritis
non komplikata akut, ISK komplikata, bakteriuri asimtomatik, ISK rekurens, uretritis dan
urosepsis (Naber KG et al). Pielonefritis akut (PNA) adalah proses inflamasi parenkim ginjal
yang disebabkan infeksi bakteri. Pielonefritis kronis (PNK) mungkin akibat lanjut dari infeksi
bakteri berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Obstruksi saluran kemih dan refluks
vesikoureter dengan atau tanpa bakteriuria kronik sering diikuti pembentukan jaringan ikat
parenkim ginjal yang ditandai pielonefritis kronik yang spesifik (Sukandar, E., 2004).
Selain itu, ISK juga dinyatakan sebagai ISK uncomplicated (simple) dan ISK
complicated. ISK simple adalah infeksi yang terjadi pada orang sehat dan tidak menyebar ke
tempat tubuh yang lain. ISK simple ini biasanya sembuh sempurna sesuai dengan pemberian
obat. Sementara ISK complicated adalah infeksi yang disebabkan oleh kelainan anatomis pada
seluran kemih, menyebar ke bagian tubuh yang lain, bertambah berat dengan underlying
disease, ataupun bersifat resisten terhadap pengobatan. Berbanding dengan yang simple, ISK
complicated lebih sukar diobati.

• Lower UTI: cystitis, urethritis, prostatitis


• Upper UTI: pyelonephritis, intra-renal abscess, perinephric abscess (usually late
complications of pyelonephritis)
• Uncomplicated UTI – Infection in a structurally and neurologically normal urinary tract.
Simple cystitis of short (1-5 day) duration
• Complicated UTI – Infection in a urinary tract with functional or structural abnormalities
(ex. indwelling catheters and renal calculi). Cystitis of long duration or hemorrhagic
cystitis.

Berdasarkan letak anatomi, ISK digolongkan menjadi:


1. Infeksi Saluran Kemih Atas
Infeksi saluran kemih atas terdiri dari pielonefritis dan pielitis. Pielonefritis terbagi
menjadi pielonefritis akut (PNA) dan pielonefritis kronik (PNK). Istilah pielonefritis lebih
sering dipakai dari pada pielitis, karena infeksi pielum (pielitis) yang berdiri sendiri tidak
pernah ditemukan di klinik.
Pielonefritis akut (PNA) adalah radang akut dari ginjal, ditandai primer oleh radang
jaringan interstitial sekunder mengenai tubulus dan akhirnya dapat mengenai kapiler
glomerulus, disertai manifestasi klinik dan bakteriuria tanpa ditemukan kelainan
radiologik. PNA ditemukan pada semua umur dan jenis kelamin walaupun lebih sering
ditemukan pada wanita dan anak-anak. Pada laki-laki usia lanjut, PNA biasanya disertai
hipertrofi prostat.
Pielonefritis Kronik (PNK) adalah kelainan jaringan interstitial (primer) dan
sekunder mengenai tubulus dan glomerulus, mempunyai hubungan dengan infeksi bakteri
(immediate atau late effect) dengan atau tanpa bakteriuria dan selalu disertai kelainan-
kelainan radiologi. PNK yang tidak disertai bakteriuria disebut PNK fase inaktif.
Bakteriuria yang ditemukan pada seorang penderita mungkin berasal dari pielonefritis
kronik fase aktif atau bakteriuria tersebut bukan penyebab dari pielonefritis tetapi berasal
dari saluran kemih bagian bawah yang sebenarnya tidak memberikan keluhan atau
bakteriuria asimtomatik. Jadi diagnosis PNK harus mempunyai dua kriteria yakni telah
terbukti mempunyai kelainan-kelainan faal dan anatomi serta kelainan-kelainan tersebut
mempunyai hubungan dengan infeksi bakteri. Dari semua faktor predisposisi ISK,
nefrolithiasis dan refluks vesiko ureter lebih memegang peranan penting dalam patogenesis
PNK4. Pielonefritis kronik mungkin akibat lanjut dari infeksi bakteri berkepanjangan atau
infeksi sejak masa kecil. Pada PNK juga sering ditemukan pembentukan jaringan ikat
parenkim.

2. Infeksi Saluran Kemih Bawah


Infeksi saluran kemih bawah terdiri dari sistitis, prostatitis dan epidimitis, uretritis,
serta sindrom uretra. Presentasi klinis ISKB tergantung dari gender. Pada perempuan
biasanya berupa sistitis dan sindrom uretra akut, sedangkan pada laki-laki berupa sistitis,
prostatitis, epidimitis, dan uretritis.
Sistitis terbagi menjadi sistitis akut dan sistitis kronik. Sistitis akut adalah radang
selaput mukosa kandung kemih (vesika urinaria) yang timbulnya mendadak, biasanya
ringan dan sembuh spontan (self-limited disease) atau berat disertai penyulit ISKA
(pielonefritis akut). Sistitis akut termasuk ISK tipe sederhana (uncomplicated type).
Sebaliknya sistitis akut yang sering kambuh (recurrent urinary tract infection) termasuk
ISK tipe berkomplikasi (complicated type), ISK jenis ini perlu perhatian khusus dalam
pengelolaannya.
Sistitis kronik adalah radang kandung kemih yang menyerang berulang-ulang
(recurrent attact of cystitis) dan dapat menyebabkan kelainan-kelainan atau penyulit dari
saluran kemih bagian atas dan ginjal. Sistitis kronik merupakan ISKB tipe berkomplikas,
dan memerlukan pemeriksaan lanjutan untuk mencari faktor predisposisi.
Sindrom uretra akut (SUA) adalah presentasi klinis sistitis tanpa ditemukan
mikroorganisme (steril), sering dinamakan sistitis abakterialis karena tidak dapat diisolasi
mikroorganisme penyebabnya. Penelitian terkini menunjukkan bahwa SUA disebabkan
oleh MO anaerobik.
Epidemiologi
ISK tergantung banyak faktor; seperti usia, gender, prevalensi bakteriuria, dan faktor
predisposisi yang menyebabkan perubahan struktur saluran kemih termasuk ginjal. Selama
periode usia beberapa bulan dan lebih dari 65 tahun perempuan cenderung menderita ISK
dibandingkan laki-laki. ISK berulang pada laki-laki jarang dilaporkan, kecuali disertai faktor
predisposisi (pencetus). Prevalensi bakteriuria asimtomatik lebih sering ditemukan pada
perempuan. Prevalensi selama periode sekolah (school girls) 1 % meningkat menjadi 5%
selama periode aktif secara seksual. Prevalensi infeksi asimtomatik meningkat mencapai 30%,
baik laki-laki maupun perempuan bila disertai faktor predisposisi seperti berikut litiasis,
obstruksi saluran kemih, penyakit ginjal polikistik, nekrosis papilar, diabetes mellitus pasca
transplantasi ginjal, nefropati analgesik, penyakit sickle-cell, senggama, kehamilan dan peserta
KB dengan table progesterone, serta kateterisasi. (Sukandar, E., 2004)
Table : Epidemiologi ISK menurut usia dan jenis kelamin
Umur Insidens (%) Faktor risiko
(tahun) Perempuan Lelaki
<1 0,7 2,7 Foreskin, kelainan anatomi gastrourinary
1-5 4,5 0,5 Kelainan amatomi gastrourinary
6-15 4,5 0.5 Kelainan fungsional gastrourinary
16-35 20 0,5 Hubungan seksual, penggunaan diaphragm
36-65 35 20 Pembedahan, obstruksi prostate, pemasangan kateter
>65 40 35 Inkontinensia, pemasangan kateter, obstruksi prostat
Sumber: Smith’s General urology 17th edition, 2008, halaman 194
Pada anak yang baru lahir hingga umur 1 tahun, dijumpai bakteriuria di 2,7% lelaki dan
0,7% di perempuan (Wettergren, Jodal, and Jonasson, 1985). Insidens ISK pada lelaki yang
tidak disunat adalah lebih banyak berbanding dengan lelaki yang disunat (1,12% berbanding
0,11%) pada usia hidup 6 bulan pertama ( Wiswell and Roscelli, 1986). Pada anak berusia 1-5
tahun, insidens bakteriuria di perempuan bertambah menjadi 4.5%, sementara berkurang di
lelaki menjadi 0,5%. Kebanyakan ISK pada anak kurang dari 5 tahun adalah berasosiasi dengan
kelainan congenital pada saluran kemih, seperti vesicoureteral reflux atau obstruction. Insidens
bakteriuria menjadi relatif constant pada anak usia 6-15 tahun. Namun infeksi pada anak
golongan ini biasanya berasosiasi dengan kelainan fungsional pada saluran kemih seperti
dysfunction voiding. Menjelang remaja, insidens ISK bertambah secara signifikan pada wanita
muda mencapai 20%, sementara konstan pada lelaki muda. Sebanyak sekitar 7 juta kasus
cystitis akut yang didiagnosis pada wanita muda tiap tahun. Faktor risiko yang utama yang
berusia 16-35 tahun adalah berkaitan dengan hubungan seksual. Pada usia lanjut, insidens ISK
bertambah secara signifikan di wanita dan lelaki. Morbiditas dan mortalitas ISK paling tinggi
pada kumpulan usia yang <1 tahun dan >65 tahun. (Nguyen, H.T., 2004).

Etiologi
A UTI is an infection in the urinary tract. Infections are caused by microbes-organisms
too small to be seen without a microscope—including fungi, viruses, and bacteria.
Pada keadaan normal urin adalah steril. Umumnya ISK disebabkan oleh kuman gram
negatif. Escherichia coli merupakan penyebab terbanyak baik pada yang simtomatik maupun
yang asimtomatik yaitu 70 - 90%. Enterobakteria seperti Proteus mirabilis (30 % dari infeksi
saluran kemih pada anak laki-laki tetapi kurang dari 5 % pada anak perempuan ), Klebsiella
pneumonia dan Pseudomonas aeruginosa dapat juga sebagai penyebab. Organisme gram
positif seperti Streptococcus faecalis (enterokokus), Staphylococcus epidermidis dan
Streptococcus viridans jarang ditemukan. Pada uropati obstruktif dan kelainan struktur saluran
kemih pada anak laki-laki sering ditemukan Proteus species. Pada ISK nosokomial atau ISK
kompleks lebih sering ditemukan kuman Proteus dan Pseudomonas (Lumbanbatu, S.M.,
2003).
Table : Famili, Genus dan Spesies mikroorganisme (MO) yang Paling Sering Sebagai
Penyebeb ISK
Gram negative Gram positive
Famili Genus Spesies Famili Genus Spesies
Enterobacteriacai Escherichia coli Micrococc Staphyloc Aureus
Klebsiella aceae occus
Pneumonia Streptococc Streptococ fecalis
Proteus oxytosa eae cus enterococc
mirabilis us
Enterobacte vulgaris
cloacae
Providencia aerogenes

rettgeri
Morganella
stuartii
Citrobacter
morganii
Serratia
freundii
diversus

morcescens

Pseudomonadace Pseudomonas aeruginosa


ae
Sumber: Nefrologi Klinik, edisi III. 2006, hal.33
Pathogenesis
There are two important routes by which bacteria can invade and spread within the
urinary tract: the ascending and hematogenous pathways. There is little evidence to support a
lymphatic spread of infection to the urinary tract with any regularity.
Hematogenous Route.:
Infection of the renal parenchyma by blood-borne organisms occurs in humans, albeit less
commonly than by the ascending route. The kidney is frequently the site of abscesses in patient
with bacteremia or endocarditis caused by a Gram positive organism, Staphylococcus aureus;
infections of the kidney with Gram negative bacilli rarely occur by the hematogenous route.
Ascending Route:
Urinary tract infections in women develop when uropathogens from the fecal flora colonize the
vaginal introitus and displace the normal flora (diphtheroids, lactobacilli, coagulase-negative
staphylococci, and streptococcal species). Colonization of the vaginal introitus with E.coli
seems to be one of the critical initial steps in the pathogenesis of both acute and recurrent UTI.
Most uropathogens originate in the rectal flora and enter the bladder via the urethra. The female
urethra is short and proximal to the vulvar and perineal areas, making contamination likely. In
women in whom UTIs develop, the urethra is colonized and the uropathogen gains entry to the
bladder, presumably by means of the urethral massage that accompanies sexual intercourse.

A. Peran patogenisitas bakteri. Sejumlah flora saluran cerna termasuk Escherichia coli
diduga terkait dengan etiologi ISK. Tidak semua bakteri dapat menginfeksi dan melekat
pada jaringan saluran kemih. Bakteri tersering yang menginfeksi saluran kemih adalah
E.coli yang bersifat uropathogen. Patogenisitaas E.coli terkait dengan bagian permukaan
sel polisakarida dari lipopolisakarin (LPS). Hanya IG serotype dari 170 serotipe O/ E.coli
yang berhasil diisolasi rutin dari pasien ISK klinis, diduga strain E.coli ini mempunyai
patogenisitas khusus (Sukandar, E., 2004).
B. Peran bacterial attachment of mucosa. Penelitian membuktikan bahwa fimbriae
merupakan satu pelengkap patogenesis yang mempunyai kemampuan untuk melekat pada
permukaan mukosa saluran kemih. Pada umumnya P fimbriae akan terikat pada P blood
group antigen yang terdpat pada sel epitel saluran kemih atas dan bawah (Sukandar, E.,
2004).
C. Peranan faktor virulensi lainnya. Sifat patogenisitas lain dari E.coli berhubungan dengan
toksin. Setelah fimbrae atau pili berhasil melekat pada sel uroepithelial (sel epitel saluran
kemih), maka proses selanjutnya dilakukan oleh faktor virulensi lainnya. Sebagian besar
uropatogenik E.coli (UPEC) menghasilkan hemolysin yang befungsi untuk menginisiasi
invasi UPEC pada jaringan dan mengaktivasi ion besi bagi kuman patogen (sekuestrasi
besi). Dikenal beberapa toksin seperti α-hemolisin, cytotoxic necrotizing factor-1(CNF-1),
dan iron reuptake system (aerobactin dan enterobactin). Hampir 95% α-hemolisin terikat
pada kromosom dan berhubungan degan pathogenicity island (PAIS) dan hanya 5% terikat
pada gen plasmio. (Sukandar, E., 2004).

Virulensi bakteri ditandai dengan kemampuan untuk mengalami perubahan bergantung


pada dari respon faktor luar. Konsep variasi fase MO ini menunjukan ini menunjukkan peranan
beberapa penentu virulensi bervariasi di antara individu dan lokasi saluran kemih. Oleh karena
itu, ketahanan hidup bakteri berbeda dalam kandung kemih dan ginjal. (Sukandar, E., 2004)

D. Peranan Faktor Tuan Rumah (host)


i. Faktor Predisposisi Pencetus ISK. Penelitian epidemiologi klinik mendukung
hipotensi peranan status saluran kemih merupakan faktor risiko atau pencetus ISK. Jadi
faktor bakteri dan status saluran kemih pasien mempunyai peranan penting untuk
kolonisasi bakteri pada saluran kemih. Kolonisasi bacteria sering mengalami kambuh
(eksasebasi) bila sudah terdapat kelainan struktur anatomi saluran kemih. Dilatasi
saluran kemih termasuk pelvis ginjal tanpa obstruksi saluran kemih dapat menyebabkan
gangguan proses klirens normal dan sangat peka terhadap infeksi. Endotoksin (lipid A)
dapat menghambat peristaltik ureter. Refluks vesikoureter ini sifatnya sementara dan
hilang sendiri bila mendapat terapi antibiotika. Proses pembentukan jaringan parenkim
ginjal sangat berat bila refluks visikoureter terjadi sejak anak-anak. Pada usia dewasa
muda tidak jarang dijumpai di klinik gagal ginjal terminal (GGT) tipe kering, artinya
tanpa edema dengan/tanpa hipertensi. (Sukandar, E., 2004)
ii. Status Imunologi Pasien (host). Penelitian laboratorium mengungkapkan bahwa
golongan darah dan status sekretor mempunyai konstribusi untuk kepekaan terhadap
ISK. Pada tabel di bawah dapat dilihat beberapa faktor yang dapat meningkatkan
hubungan antara berbagai ISK (ISK rekuren) dan status secretor (sekresi antigen darah
yang larut dalam air dan beberapa kelas immunoglobulin) sudah lama diketahui.
Prevalensi ISK juga meningkat terkait dengan golongan darah AB, B dan PI (antigen
terhadap tipe fimbriae bakteri) dan dengan fenotipe golongan darah Lewis. (Sukandar,
E., 2004)

Microorganisms can reach the urinary tract by haematogenous or lymphatic spread, but
there is abundant clinical and experimental evidence showing that the ascent of
microorganisms from the urethra is the most common pathway that leads to a UTI, especially
organisms of enteric origin (e.g. E. coli and other Enterobacteriaceae). This provides a logical
explanation for the greater frequency of UTIs in women than in men, and for the increased risk
of infection following bladder catheterisation or instrumentation. A single insertion of a
catheter into the urinary bladder in ambulatory patients results in urinary infection in 1-2% of
cases. Indwelling catheters with open-drainage systems result in bacteriuria in almost 100% of
cases within 3-4 days. The use of a closed-drainage system, including a valve to prevent
retrograde flow, delays the onset of infection, but ultimately does not prevent it. It is thought
that bacteria migrate within the mucopurulent space between the urethra and catheter, and that
this leads to the development of bacteriuria in almost all patients within ~ 4 weeks.

Haematogenous infection of the urinary tract is restricted to a few relatively uncommon


microorganisms, such as Staphylococcus aureus, Candida sp., Salmonella sp. and
Mycobacterium tuberculosis, which cause primary infections elsewhere in the body. Candida
albicans readily causes a clinical UTI via the haematogenous route, but this is also an infrequent
cause of an ascending infection if an indwelling catheter is present, or following antibiotic
therapy.

The concept of bacterial virulence or pathogenicity in the urinary tract infers that not
all bacterial species are equally capable of inducing infection. The more compromised the
natural defence mechanism (e.g. obstruction, or bladder catheterisation), the fewer the
virulence requirements of any bacterial strain to induce infection. This is supported by the well-
documented in vitro observation that bacteria isolated from patients with a complicated UTI
frequently fail to express virulence factors. The virulence concept also suggests that certain
bacterial strains within a species are uniquely equipped with specialised virulence factors, e.g.
different types of pili, which facilitate the ascent of bacteria from the faecal flora, introitus
vaginae or periurethral area up the urethra into the bladder, or less frequently, allow the
organisms to reach the kidneys to induce systemic inflammation.

Presentasi klinis ISK


Setiap pasien dengan ISK pada laki dan ISK rekuren pada perempuan harus dilakuakan
investigasi faktor predisposisi atau pencetus.

a. Pielonefritis Akut (PNA). Presentasi klinis PNA seperti panas tinggi (39,5-40,5 °C),
disertai mengigil dan sekit pinggang. Presentasi klinis PNA ini sering didahului gejala ISK
bawah (sistitis).
b. ISK bawah (sistitis). Presentasi klinis sistitis seperti sakit suprapubik, polakiuria, nokturia,
disuria, dan stanguria.
c. Sindroma Uretra Akut (SUA). Presentasi klinis SUA sulit dibedakan dengan sistitis. SUA
sering ditemukan pada perempuan usia antara 20-50 thun. Presentasi klinis SUA sangat
miskin (hanya disuri dan sering kencing) disertai cfu/ml urin <105; sering disebut sistitis
abakterialis. Sindrom uretra akut (SUA) dibagi 3 kelompok pasien, yaitu:
i. Kelompok pertama pasien dengan piuria, biakan uria dapat diisolasi E-coli dengan
cfu/ml urin 103-105; Sumber infeksi berasal dari kelenjar peri-uretral atau uretra sendiri.
Kelompok pasien ini memberikan respon baik terhadap antibiotik standar seperti
ampsilin.
ii. Kelompok kedua pasien leukosituri 10-50/lapangan pandang tinggi dan kultur urin
steril. Kultur khusus ditemukan clamydia trachomalis atau bakteri anaerobic. .
iii. Kelompok ketiga pasien tanpa piuri dan biakan urin steril.
d. ISK rekuren. ISK rekuren terdiri 2 kelompok; yaitu: a). Re-infeksi (re-infections). Pada
umumnya episode infeksi dengan interval >6 minggu mikroorganisme (MO) yang
berlainan. b). Relapsing infection. Setiap kali infeksi disebabkan MO yang sama,
disebabkan sumber infeksi tidak mendapat terapi yang adekuat. (Sukandar, E., 2004).

Tabel: Simtomatologi ISK


Lokal Sistemik

 Disuria  Panas badan sampai menggigil


 Polakisuria  Septicemia dan syok
 Stranguria
 Tenesmus
Perubahan urinalisis
 Nokturia
 Enuresis nocturnal  Hematuria

 Prostatismus  Piuria

 Inkontinesia  Chylusuria

 Nyeri uretra  Pneumaturia

 Nyeri kandung kemih


 Nyeri kolik
 Nyeri ginjal
Sumber: Nefrologi Klinik Edisi III, 2006, hal. 37

Manifestasi klinik pada infeksi saluran kemih atas dan infeksi saluran kemih bawah pada pasien
dewasa dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar Hubungan antara lokasi infeksi saluran kemih dengan keluhan
Sumber: Nefrologi Klinik Edisi III, 2006, hal. 85

INFEKSI SALURAN KEMIH


ATAS BAWAH
Symptoms of an upper UTI can include: Symptoms of a lower UTI can include:
• a high temperature (fever) of 38ºC • urethral syndrome – this includes needing
(100.4ºF) or above to urinate more often, a constant, dull pain
• uncontrollable shivering in the pubic region, and pain when
• nausea (feeling sick) urinating (dysuria)
• vomiting • cloudy urine or blood in your urine
• diarrhoea (haematuria)
• urine that smells unusually unpleasant
• back pain
• a general sense of feeling unwell

Pemeriksaan penunjang diagnosis ISK


Analisa urin rutin, pemeriksaan mikroskop urin segar tanpa puter, kultur urin, serta jumlah
kuman/mL urin merupakan protocol standar untuk pendekatan diagnosis ISK. Pengambilan
dan koleksi urin, suhu, dan teknik transportasi sampel urin harus sesuai dengan protocol yang
dianjurkan. (Sukandar, E., 2004)

Investigasi lanjutan terutama renal imaging procedures tidak boleh rutin, harus berdasarkan
indikasi yang kuat. Pemeriksaan radiologis dimaksudkan untuk mengetahui adanya batu atau
kelainan anatomis yang merupakan faktor predisposisi ISK.Renal imaging procedures untuk
investigasi faktor predisposisi ISK termasuklah ultrasonogram (USG), radiografi (foto polos
perut, pielografi IV, micturating cystogram), dan isotop scanning. (Sukandar, E., 2004)
Pemeriksaan laboratorium
1. Urinalisis
a. Leukosuria
Leukosuria atau piuria merupakan salah satu petunjuk penting terhadap dugaan adalah
ISK. Dinyatakan positif bila terdapat > 5 leukosit/lapang pandang besar (LPB) sedimen
air kemih. Adanya leukosit silinder pada sediment urin menunjukkan adanya
keterlibatan ginjal. Namun adanya leukosuria tidak selalu menyatakan adanya ISK
karena dapat pula dijumpai pada inflamasi tanpa infeksi. Apabila didapat leukosituri
yang bermakna, perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan kultur.

Gambar Leukosuria

b. Hematuria
Dipakai oleh beberapa peneliti sebagai petunjuk adanya ISK, yaitu bila dijumpai 5-10
eritrosit/LPB sedimen urin. Dapat juga disebabkan oleh berbagai keadaan patologis
baik berupa kerusakan glomerulus ataupun oleh sebab lain misalnya urolitiasis, tumor
ginjal, atau nekrosis papilaris.
2. Bakteriologis
a. Mikroskopis
Dapat digunakan urin segar tanpa diputar atau tanpa pewarnaan gram. Dinyatakan
positif bila dijumpai 1 bakteri /lapangan pandang minyak emersi.
b. Biakan bakteri

Gambar Biakan bakteri


Dimaksudkan untuk memastikan diagnosis ISK yaitu bila ditemukan bakteri dalam
jumlah bermakna sesuai dengan criteria Cattell, 1996:

• Wanita, simtomatik
>102 organisme koliform/ml urin plus piuria, atau
105 organisme pathogen apapun/ml urin, atau
Adanya pertumbuhan organisme pathogen apapun pada urin yang diambil dengan
cara aspirasi suprapubik
• Laki-laki, simtomatik
>103
• Pasien asimtomatik
105 organisme patogen/ml urin pada 2 contoh urin berurutan.

3. Tes kimiawi
Yang paling sering dipakai ialah tes reduksi griess nitrate. Dasarnya adalah sebagian besar
mikroba kecuali enterokoki, mereduksi nitrat bila dijumpai lebih dari 100.000 - 1.000.000
bakteri. Konversi ini dapat dijumpai dengan perubahan warna pada uji tarik. Sensitivitas
90,7% dan spesifisitas 99,1% untuk mendeteksi Gram-negatif. Hasil palsu terjadi bila
pasien sebelumnya diet rendah nitrat, diuresis banyak, infeksi oleh enterokoki dan
asinetobakter.

4. Tes Plat-Celup (Dip-slide)

Gambar Plat celup

Lempeng plastik bertangkai dimana kedua sisi permukaannya dilapisi perbenihan padat
khusus dicelupkan ke dalam urin pasien atau dengan digenangi urin. Setelah itu lempeng
dimasukkan kembali ke dalam tabung plastik tempat penyimpanan semula, lalu dilakukan
pengeraman semalaman pada suhu 37° C. Penentuan jumlah kuman/ml dilakukan dengan
membandingkan pola pertumbuhan pada lempeng perbenihan dengan serangkaian gambar
yang memperlihatkan keadaan kepadatan koloni yang sesuai dengan jumlah kuman antara
1000 dan 10.000.000 dalam tiap ml urin yang diperiksa. Cara ini mudah dilakukan, murah
dan cukup akurat. Tetapi jenis kuman dan kepekaannya tidak dapat diketahui.

Microbiological and other laboratory findings


The number of bacteria is considered relevant for the diagnosis of a UTI. In 1960, Kass
developed the concept of significant bacteriuria (> 105 cfu/mL) in the context of pyelonephritis
in pregnancy. Although this concept introduced quantitative microbiology into the diagnosis
of infectious diseases, and is therefore still of general importance, it has recently become clear
that there is no fixed bacterial count that is indicative of significant bacteriuria, which can be
applied to all kinds of UTIs and in all circumstances. the following bacterial counts are
clinically relevant:
• > 103 cfu/mL of uropathogens in a mid-stream sample of urine (MSU) in acute
uncomplicated cystitis in women.
• > 104 cfu/mL of uropathogens in an MSU in acute uncomplicated pyelonephritis in
women.
• > 105 cfu/mL of uropathogens in an MSU in women, or > 104 cfu/mL uropathogens in
an MSU in men, or in straight catheter urine in women, in a complicated UTI.

In a suprapubic bladder puncture specimen, any count of bacteria is relevant. The


problem of counting low numbers, however, has to be considered. If an inoculum of 0.1 mL of
urine is used and 10 identical colonies are necessary for statistical reasons of confidence, then
in this setting, the lowest number that can be counted is 100 cfu/mL of uropathogens.
Asymptomatic bacteriuria is diagnosed if two cultures of the same bacterial strain (in most
cases the species only is available), taken > 24 h apart, show bacteriuria of > 105 cfu/mL of
uropathogens.

Manajemen ISK
Treatment of urinary-tract infection is based on its location (in the upper or the lower
tract), and on patient characteristics. Lower-urinary-tract infection in the healthy, young female
with symptoms of recent onset (< 48 hours) can be treated with a brief course (3 days) of oral
antibiotics. All other women with lower tract infections should receive a 5-7 day course. It is
important to identify diabetic patients who are at risk for recurrent infections, pyelonephritis
and perinephric abscesses.
In the case of acute pyelonephritis, initial therapy is often given intravenously with
completion of therapy orally after the patient is afebrile. Total duration of therapy is 10-14
days. All patients with pyelonephritis should have a repeat urine culture 5-9 days after
completing therapy, since a percentage of patients will have symptomatic or asymptomatic
relapse; the repeat urine culture will detect this. Such patients should have 2-4 more weeks of
therapy.
The antimicrobial agents selected should inhibit E. coli, since it accounts for 80% of
uncomplicated lower urinary-tract infections. Trimethoprim, co-trimoxazole, and
fluoroquinolones are ideal agents, since they are effective orally, they achieve good urine
concentrations, and tend not to disturb the anaerobic flora of the gut and the vagina.
Treatment of patients who are found to have asymptomatic bacteriuria is still
controversial. Cultures should first be repeated to establish the diagnosis. A pregnant woman,
who has a high risk of pyelonephritis and premature delivery should be cultured and treated if
positive during the first trimester. Cultures should be repeated in the third trimester. An
individual with known neurological or structural abnormality of the urinary system in whom
>105 CFU/ml of a single species are present should also be treated. Finally, prophylactic pre-
operative treatment of asymptomatic bacteriuria is beneficial to those undergoing urologic
surgery, as it will reduce the chance of post-operative infections.
Asymptomatic bacteriuria in a patient with an indwelling urethral catheter should not
be treated, since the only result will be selection of resistant bacteria. In many situations,
removal of the catheter will eliminate the bacteria. If organisms are present 48 hours after
removal of a catheter, a short course of antibiotic therapy is indicated.
Acute cystitis in adult men (which can be caused by the same organisms that possess
virulence factors for pyelonephritis) will respond to 7-10 days of treatment, but acute prostatitis
from the same organisms will require 6-12 weeks to eradicate the offending organism, with a
70% cure rate. Nonbacterial prostatosis is probably caused by chlamydiae or ureaplasmata, and
will respond to tetracyclines, erythromycins or fluoroquinolones.
Antibiotika merupakan terapi utama pada ISK. Hasil uji kultur dan tes sensitivitas
sangat membantu dalam pemilihan antibiotika yang tepat. Efektivitas terapi antibiotika pada
ISK dapat dilihat dari penurunan angka lekosit urin disamping hasil pembiakan bakteri dari
urin setelah terapi dan perbaikan status klinis pasien. Idealnya antibiotika yang dipilih untuk
pengobatan ISK harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut : dapat diabsorpsi dengan baik,
ditoleransi oleh pasien, dapat mencapai kadar yang tinggi dalam urin, serta memiliki spektrum
terbatas untuk mikroba yang diketahui atau dicurigai. Pemilihan antibiotika harus disesuaikan
dengan pola resistensi lokal, disamping juga memperhatikan riwayat antibiotika yang
digunakan pasien (Coyle and Prince, 2005).
Duration of antibiotic therapy
Treatment for 7-14 days is generally recommended, but the duration should be closely
related to the treatment of the underlying abnormality. Sometimes, a prolongation for up to 21
days, according to the clinical situation, is necessary.

4. PPOK

Definisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang umum, dapat dicegah dan
diobati yang dicirikan oleh gejala pernapasan persisten dan keterbatasan aliran udara yang
disebabkan oleh saluran napas dan / atau kelainan alveolar biasanya disebabkan oleh paparan
yang signifikan terhadap partikel atau gas berbahaya. Keterbatasan aliran udara kronis yang
merupakan karakteristik PPOK disebabkan oleh campuran penyakit saluran udara kecil
(misalnya, bronkusitis obstruktif) dan destruksi parenkim (emfisema), kontribusi relatif yang
bervariasi dari orang ke orang.

Etiologi

Di seluruh dunia, faktor risiko yang paling sering ditemui untuk COPD adalah merokok
tembakau. Jenis tembakau lainnya, (misalnya pipa, cerutu, pipa air) dan ganja juga merupakan
faktor risiko untuk PPOK. Polusi udara luar ruangan, pekerjaan, dan dalam ruangan - yang
terakhir dihasilkan dari pembakaran bahan bakar biomassa - adalah faktor utama PPOK
lainnya.

Bukan perokok juga dapat mengembangkan COPD. COPD adalah hasil dari interaksi
kompleks dari paparan kumulatif jangka panjang terhadap gas dan partikel berbahaya,
dikombinasikan dengan berbagai faktor inang termasuk genetika, hiper-respon napas dan
pertumbuhan paru-paru yang buruk selama masa kanak-kanak.

Seringkali, prevalensi COPD secara langsung berkaitan dengan prevalensi merokok tembakau,
meskipun di banyak negara polusi udara luar ruangan, pekerjaan dan dalam ruangan (yang
dihasilkan dari pembakaran kayu dan bahan bakar biomassa lainnya) adalah faktor risiko
PPOK mayor.

Risiko pengembangan PPOK terkait dengan faktor-faktor berikut:

• Asap tembakau - termasuk rokok, pipa, cerutu, pipa air, dan jenis tembakau lainnya yang
populer di banyak negara, serta asap tembakau lingkungan (ETS).

• Polusi udara dalam ruangan - dari bahan bakar biomassa yang digunakan untuk memasak dan
memanaskan di tempat tinggal yang kurang ventilasi, faktor risiko yang terutama
mempengaruhi wanita di negara berkembang.

• Paparan pekerjaan - termasuk debu organik dan anorganik, bahan kimia dan asap, merupakan
faktor risiko yang kurang dihargai untuk PPOK.

• Polusi udara di luar ruangan - juga berkontribusi terhadap total paru-paru partikel terhirup,
meskipun tampaknya memiliki efek yang relatif kecil dalam menyebabkan COPD.

• Faktor genetik - seperti defisiensi herediter berat alpha-1 antitrypsin (AATD).

• Usia dan jenis kelamin - penuaan dan jenis kelamin perempuan meningkatkan risiko COPD.

• Pertumbuhan dan perkembangan paru - semua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan paru
selama kehamilan dan masa kanak-kanak (berat badan lahir rendah, infeksi saluran pernafasan,
dll.) Memiliki potensi untuk meningkatkan risiko seseorang mengembangkan COPD.

• Status sosial ekonomi - ada bukti kuat bahwa risiko pengembangan PPOK berbanding terbalik
dengan status sosial ekonomi.10 Namun, tidak jelas apakah pola ini mencerminkan paparan
terhadap polusi udara di dalam dan luar ruangan, kesesakan, gizi buruk, infeksi, atau lainnya.
faktor yang terkait dengan status sosial ekonomi rendah.
• Asma dan reaktivitas hiper-jalan napas - asma dapat menjadi faktor risiko untuk
pengembangan keterbatasan aliran udara dan PPOK.

• Bronkitis kronis - dapat meningkatkan frekuensi eksaserbasi total dan berat.

• Infeksi - riwayat infeksi pernafasan masa kanak-kanak yang parah dikaitkan dengan
penurunan fungsi paru dan peningkatan gejala pernapasan pada usia dewasa

Di seluruh dunia, faktor risiko yang paling sering ditemui untuk COPD adalah merokok
tembakau. Jenis tembakau lainnya, (misalnya pipa, cerutu, pipa air) dan ganja juga merupakan
faktor risiko untuk PPOK. Polusi udara luar ruangan, pekerjaan, dan dalam ruangan - yang
terakhir dihasilkan dari pembakaran bahan bakar biomassa adalah faktor utama PPOK lainnya.
Bukan perokok juga dapat mengembangkan COPD. COPD adalah hasil dari interaksi
kompleks dari paparan kumulatif jangka panjang terhadap gas dan partikel berbahaya,
dikombinasikan dengan berbagai faktor inang termasuk genetika, hiper-respon napas dan
pertumbuhan paru-paru yang buruk selama masa kanak-kanak.

Seringkali, prevalensi COPD secara langsung berkaitan dengan prevalensi merokok


tembakau, meskipun di banyak negara polusi udara luar ruangan, pekerjaan dan dalam ruangan
(yang dihasilkan dari pembakaran kayu dan bahan bakar biomassa lainnya) adalah faktor risiko
PPOK mayor.

Risiko pengembangan PPOK terkait dengan faktor-faktor berikut:

• Asap tembakau - termasuk rokok, pipa, cerutu, pipa air, dan jenis tembakau lainnya yang
populer di banyak negara, serta asap tembakau lingkungan (ETS).

• Polusi udara dalam ruangan - dari bahan bakar biomassa yang digunakan untuk memasak dan
memanaskan di tempat tinggal yang kurang ventilasi, faktor risiko yang terutama
mempengaruhi wanita di negara berkembang.

• Paparan pekerjaan - termasuk debu organik dan anorganik, bahan kimia dan asap, merupakan
faktor risiko yang kurang dihargai untuk PPOK.

• Polusi udara di luar ruangan - juga berkontribusi terhadap total paru-paru partikel terhirup,
meskipun tampaknya memiliki efek yang relatif kecil dalam menyebabkan COPD.

• Faktor genetik seperti defisiensi herediter berat alpha-1 antitrypsin (AATD).

• Usia dan jenis kelamin - penuaan dan jenis kelamin perempuan meningkatkan risiko COPD.
• Pertumbuhan dan perkembangan paru - semua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan paru
selama kehamilan dan masa kanak-kanak (berat badan lahir rendah, infeksi saluran pernafasan,
dll.) Memiliki potensi untuk meningkatkan risiko seseorang mengembangkan COPD.
• Status sosial ekonomi - ada bukti kuat bahwa risiko pengembangan PPOK berbanding terbalik
dengan status sosial ekonomi.10 Namun, tidak jelas apakah pola ini mencerminkan paparan
terhadap polusi udara di dalam dan luar ruangan, kesesakan, gizi buruk, infeksi, atau lainnya.
faktor yang terkait dengan status sosial ekonomi rendah.

• Asma dan reaktivitas hiper-jalan napas - asma dapat menjadi faktor risiko untuk
pengembangan keterbatasan aliran udara dan PPOK.

•Bronkitis kronis - dapat meningkatkan frekuensi eksaserbasi total dan berat.

• Infeksi - riwayat infeksi pernafasan masa kanak-kanak yang parah dikaitkan dengan
penurunan fungsi paru dan peningkatan gejala pernapasan pada usia dewasa.

Diagnosis

COPD harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami dispnea, batuk kronis atau
produksi sputum, dan / atau riwayat paparan faktor risiko untuk penyakit. Riwayat medis rinci
dari pasien baru yang diketahui, atau dicurigai, mengalami COPD sangat penting. Spirometri
diperlukan untuk membuat diagnosis dalam konteks klinis ini12; kehadiran post-bronkodilator
FEV1 / FVC <0,70 menegaskan adanya keterbatasan aliran udara dan dengan demikian COPD
pada pasien dengan gejala yang tepat dan eksposur signifikan terhadap rangsangan berbahaya.
Spirometri adalah pengukuran yang paling dapat direproduksi dan obyektif dari pembatasan
aliran udara. Ini adalah tes non-invasif dan mudah tersedia. Meskipun sensitivitasnya baik,
pengukuran aliran ekspirasi puncak saja tidak dapat diandalkan digunakan sebagai satu-satunya
tes diagnostik karena spesifisitasnya yang lemah.
Diagnosis Banding

Diagnosis banding utama adalah asma. Pada beberapa pasien dengan asma kronis, perbedaan
yang jelas dari PPOK tidak mungkin menggunakan teknik pencitraan dan fisiologis saat ini.
Pada pasien ini, manajemen saat ini mirip dengan asma. Diagnosis potensial lainnya biasanya
lebih mudah dibedakan dengan COPD.
Fitur-fitur ini cenderung menjadi ciri khas dari penyakit masing-masing, tetapi tidak
wajib. Misalnya, seseorang yang tidak pernah merokok dapat mengembangkan COPD
(terutama di negara berkembang di mana faktor risiko lain mungkin lebih penting daripada
merokok); asma dapat berkembang pada orang dewasa dan bahkan pada pasien usia lanjut.

Skrining antitrypsin alfa-1 (AATD). Organisasi Kesehatan Dunia merekomendasikan


bahwa semua pasien dengan diagnosis PPOK harus diskrining sekali terutama di daerah dengan
prevalensi AATD yang tinggi. Konsentrasi rendah (<20% normal) sangat sugestif terhadap
defisiensi homozigot. Anggota keluarga juga harus diperiksa.

Penilaian

Sasaran dari penilaian PPOK adalah untuk menentukan tingkat keparahan pembatasan aliran
udara, dampaknya pada status kesehatan pasien dan risiko kejadian di masa depan (seperti
eksaserbasi, penerimaan rumah sakit atau kematian), untuk akhirnya memandu terapi. Untuk
mencapai tujuan ini, penilaian PPOK harus mempertimbangkan aspek berikut dari penyakit
secara terpisah:

▪ Kehadiran dan keparahan kelainan spirometri

▪ Sifat saat ini dan besarnya gejala pasien

▪ Riwayat eksaserbasi sedang dan berat serta risiko masa depan


▪ Adanya komorbiditas

Klasifikasi tingkat keparahan obstruksi aliran udara

Klasifikasi keparahan pembatasan aliran udara di PPOK ditunjukkan pada Tabel 2.4. Titik
potong spirometri spesifik digunakan untuk tujuan kesederhanaan. Spirometri harus dilakukan
setelah pemberian dosis yang cukup dari setidaknya satu bronchodilator inhalasi kerja singkat
untuk meminimalkan variabilitas.

Perlu dicatat bahwa hanya ada korelasi yang lemah antara FEV1, gejala dan gangguan status
kesehatan pasien. Untuk alasan ini, penilaian gejala formal juga diperlukan.

Penilaian gejalaDi masa lalu, COPD dipandang sebagai penyakit yang sebagian besar ditandai
oleh sesak napas. Ukuran sederhana sesak napas seperti Kuesioner Penelitian Kedokteran
Inggris (mMRC) Modified (Tabel 2.5) dianggap memadai, karena mMRC berhubungan baik
dengan ukuran lain dari status kesehatan dan memprediksi risiko kematian di masa depan.
Penilaian gabungan PPOK

Pemahaman tentang dampak COPD pada pasien individu menggabungkan penilaian


gejala dengan klasifikasi spirometri pasien dan / atau risiko eksaserbasi. Alat penilaian
“ABCD” dari pemutakhiran GOLD 2011 adalah kemajuan besar dari sistem penilaian
spirometri sederhana versi-versi EMAS sebelumnya karena ia memasukkan hasil-hasil yang
dilaporkan pasien dan menyoroti pentingnya pencegahan eksaserbasi dalam pengelolaan
COPD. Namun, ada beberapa batasan penting. Pertama, alat penilaian ABCD dilakukan tidak
lebih baik daripada nilai spirometri untuk prediksi kematian atau hasil kesehatan penting
lainnya di PPOK. Selain itu, hasil kelompok "D" dimodifikasi oleh dua parameter: fungsi paru
dan / atau riwayat eksaserbasi, yang menyebabkan kebingunngan. Untuk mengatasi masalah
ini dan masalah lainnya (sementara pada saat yang sama menjaga konsistensi dan
kesederhanaan untuk dokter praktik), penyempurnaan alat penilaian ABCD diusulkan yang
memisahkan kelas spirometri dari kelompok “ABCD”. Untuk beberapa rekomendasi terapi,
kelompok ABCD akan diturunkan secara eksklusif dari gejala pasien dan riwayat eksaserbasi
mereka. Spirometri dalam hubungannya dengan gejala pasien dan riwayat eksaserbasi sedang
dan berat tetap vital untuk diagnosis, prognostikasi dan pertimbangan pendekatan terapeutik
penting lainnya. Pendekatan baru untuk penilaian ini diilustrasikan pada Gambar 2.4.

Dalam skema penilaian yang direvisi, pasien harus menjalani spirometri untuk
menentukan tingkat keparahan pembatasan aliran udara (yaitu, kelas spirometri). Mereka
kemudian harus menjalani penilaian baik dyspnea menggunakan mMRC atau gejala
menggunakan CATTM. Akhirnya, riwayat eksaserbasi sedang dan berat (termasuk rawat inap
sebelumnya) harus dicatat.

Contoh: Pertimbangkan dua pasien - kedua pasien dengan FEV1 <30% dari prediksi,
skor CAT 18 dan satu tanpa eksaserbasi pada tahun lalu dan yang lainnya dengan tiga
eksaserbasi sedang pada tahun lalu. Keduanya akan diberi label EMAS D dalam skema
klasifikasi sebelumnya. Namun, dengan skema yang diusulkan baru, subjek dengan tiga
eksaserbasi sedang dalam satu tahun terakhir akan diberi label GOLD grade 4, grup D; subjek
lain tanpa eksaserbasi akan diberi label GOLD Grade 4, grup B. Skema klasifikasi ini dapat
memfasilitasi pertimbangan terapi individu (pencegahan eksaserbasi versus bantuan gejala
sebagaimana diuraikan dalam contoh di atas) dan juga membantu memandu strategi terapi
eskalasi dan de-eskalasi untuk seorang pasien tertentu.

Berhenti Merokok

Penghentian merokok memiliki kapasitas terbesar untuk mempengaruhi sejarah alami


COPD. Jika sumber daya dan waktu yang efektif didedikasikan untuk penghentian merokok,
tingkat keberhasilan berhenti jangka panjang hingga 25% dapat tercapai. Selain pendekatan
individual terhadap berhenti merokok, larangan merokok legislatif efektif dalam meningkatkan
tingkat berhenti dan mengurangi bahaya dari tangan kedua. paparan asap. Sebuah program lima
langkah untuk intervensi (Tabel 3.1) 26-28 menyediakan kerangka kerja strategis yang
membantu untuk memandu penyedia layanan kesehatan yang tertarik membantu pasien mereka
berhenti merokok.
Konseling

Konseling yang disampaikan oleh dokter dan profesionalitas sosial. Tingkat signifikan
atas strategi yang diprakarsai sendiri. Periode ir Waktu konseling singkat (3 menit) yang
mendorong perokok untuk berhenti meningkatkan tingkat penghentian merokok. Ada
hubungan antara konseling dan latihan penghentian.

Vaksinasi

Vaksin flu

Vaksinasi influenza dapat mengurangi penyakit serius (seperti infeksi saluran pernapasan
bawah yang membutuhkan rawat inap) dan kematian pada pasien PPOK.

Vaksin pneumokokus

Vaksinasi pneumokokus, PCV13 dan PPSV23, direkomendasikan untuk semua pasien ≥ 65


tahun (Tabel 3.2). PPSV23 juga direkomendasikan untuk pasien PPOK yang lebih muda
dengan kondisi komorbid yang signifikan termasuk penyakit jantung atau paru-paru kronis.
PPSV23 telah terbukti mengurangi kejadian pneumonia yang didapat masyarakat pada pasien
PPOK <65 tahun, dengan FEV1 <40% diprediksi, atau komorbiditas (terutama komorbid
penyakit jantung).

Terapi Farmakologis Untuk COPD Stabil


Terapi farmakologis untuk PPOK digunakan untuk mengurangi gejala, mengurangi frekuensi
dan keparahan eksaserbasi, dan meningkatkan toleransi latihan dan status kesehatan. Sampai
saat ini, tidak ada bukti uji klinis yang meyakinkan bahwa setiap obat yang ada untuk COPD
memodifikasi penurunan jangka panjang pada fungsi paru.

Kelas obat yang biasa digunakan untuk mengobati COPD ditunjukkan pada Tabel 3.3.

Bronkodilator

Bronkodilator adalah obat yang meningkatkan FEV1 dan / atau mengubah variabel spirometri
lainnya.

• Obat bronkodilator pada PPOK paling sering diberikan secara teratur untuk mencegah atau
mengurangi gejala.

• Toksisitas juga berhubungan dengan dosis (Tabel 3.3).

• Penggunaan bronkodilator kerja singkat secara teratur umumnya tidak dianjurkan.

Beta2-agonis

• Tindakan utama dari beta2-agonists adalah melemaskan otot polos saluran udara dengan
merangsang reseptor beta-adrenergik, yang meningkatkan AMP siklik dan menghasilkan
antagonisme fungsional terhadap bronkokonstriksi.

• Ada short-acting (SABA) dan long-acting (LABA) beta2-agonists.

• Formoterol dan salmeterol adalah LABA dua kali sehari yang secara signifikan meningkatkan
FEV1 dan volume paru-paru, dyspnea, status kesehatan, tingkat eksaserbasi dan jumlah rawat
inap, tetapi tidak berpengaruh pada mortalitas atau tingkat penurunan fungsi paru-paru.

• Indacaterol adalah LABA sekali sehari yang meningkatkan sesak napas, status kesehatan dan
tingkat eksaserbasi.

• Oladaterol dan vilanterol merupakan tambahan sekali sehari LABA yang memperbaiki fungsi
dan gejala paru-paru.

• Dampak buruk. Stimulasi reseptor beta2-adrenergik dapat menghasilkan sinus takikardia dan
memiliki potensi untuk memicu gangguan irama jantung pada pasien yang rentan. Getaran
somatik yang berlebihan menyulitkan pada beberapa pasien yang lebih tua yang diobati dengan
dosis beta2 agonis yang lebih tinggi, terlepas dari rute pemberian.

Obat antimuskarinik

• Obat antimuskarinik melalui efek bronkokonstriktor asetilkolin pada reseptor muskarinik M3


yang diekspresikan dalam otot polos saluran napas.

• Antimuskarinosis short-acting (SAMAs), yaitu ipratropium dan oxitropium dan


antagonisarinik antagonis yang bersifat long-acting (LAMAs), seperti tiotropium, aclidinium,
glycopyrronium bromide dan umeclidinium bekerja pada reseptor dengan cara yang berbeda.

• Sebelumnya, RCT menemukan bahwa ipratropium sendiri memberikan manfaat kecil beta-
agonis kerja singkat dalam hal fungsi paru-paru, status kesehatan dan kebutuhan untuk steroid
oral.

• Uji klinis untuk efek yang lebih besar pada pengobatan LAMA (tiotropium) dibandingkan
dengan terapi LABA.

• Dampak buruk. Obat antikolinergik inhalasi tidak diserap dengan baik yang berdampak pada
sistem atropin. ecara umum dari berbagai ukuran dan pengukuran klinis telah menunjukkan
bahwa mereka sangat aman. Efek samping adalah mulut kering.

Methylxanthines

• Masih ada kontroversi tentang efek pasti dari turunan xanthine.

• Teofilin, metilxantin yang paling umum digunakan, dimetabolisme oleh oksidase campuran
fungsi sitokrom P450. Pembersihan obat menurun seiring bertambahnya usia.

• Ada bukti efek bronkodilator sederhana dibandingkan dengan plasebo pada COPD stabil.

• Penambahan teofilin ke salmeterol menghasilkan peningkatan yang lebih besar pada FEV1
dan sesak napas daripada salmeterol saja.

• Ada bukti terbatas dan kontradiktif mengenai efek teofilin dosis rendah pada tingkat
eksaserbasi.

• Dampak buruk. Toksisitas berhubungan dengan dosis, yang merupakan masalah khusus
dengan derivatif xanthine karena rasio terapeutiknya kecil dan sebagian besar manfaatnya
hanya terjadi ketika dosis yang mendekati racun diberikan.

Terapi kombinasi bronkodilator


• Menggabungkan bronkodilator dengan mekanisme dan durasi kerja yang berbeda dapat
meningkatkan derajat bronkodilasi dengan risiko efek samping yang lebih rendah
dibandingkan dengan peningkatan dosis bronkodilator tunggal.

• Kombinasi SABA dan SAMA lebih unggul dibandingkan dengan obat saja dalam
meningkatkan FEV1 dan gejala.

• Perawatan dengan formoterol dan tiotropium pada inhaler terpisah memiliki dampak yang
lebih besar pada FEV1 daripada hanya komponen saja.

• Ada banyak kombinasi LABA dan LAMA dalam satu inhaler yang tersedia (Tabel 3.3).

• Dosis yang lebih rendah, rejimen dua kali sehari untuk kombinasi LABA / LAMA juga telah
ditunjukkan untuk memperbaiki gejala dan status kesehatan pada pasien PPOK65 (Tabel 3.4).
Agen anti-inflamasi
• Hingga saat ini, eksaserbasi (misalnya, tingkat eksaserbasi, pasien dengan setidaknya satu
eksaserbasi, eksaserbasi waktu-ke-pertama) merupakan titik akhir yang relevan secara klinis
yang digunakan untuk penilaian efikasi obat dengan efek anti-inflamasi (Tabel 3.5).

Kortikosteroid inhalasi (ICS)

• ICS dalam kombinasi dengan terapi bronkodilator kerja panjang. Pada pasien dengan PPOK
dan eksaserbasi sedang hingga sangat berat, ICS yang dikombinasikan dengan LABA lebih
efektif daripada hanya komponen saja dalam meningkatkan fungsi paru-paru, status kesehatan
dan mengurangi eksaserbasi.

• Dampak buruk. Ada bukti kualitas tinggi dari uji acak terkontrol (RCT) yang digunakan ICS
dikaitkan dengan prevalensi candidiasis oral, suara serak, kulit memar, dan pneumonia yang
lebih tinggi.

• Penarikan ICS. Hasil dari studi penarikan memberikan hasil samar-samar mengenai
konsekuensi penarikan pada fungsi paru-paru, gejala dan eksaserbasi. Perbedaan antara studi
mungkin berhubungan dengan perbedaan dalam metodologi, termasuk penggunaan obat
bronkodilator long-acting yang dapat meminimalkan efek apapun penarikan ICS.

Terapi inhalasi tiga kali

o Peningkatan pengobatan inhalasi ke LABA plus LAMA plus ICS (terapi tiga) dapat terjadi
dengan berbagai pendekatan.

o Ini dapat meningkatkan fungsi paru dan pasien melaporkan hasil.

o Menambahkan LAMA ke LABA / ICS yang ada meningkatkan fungsi paru-paru dan hasil
yang dilaporkan pasien, khususnya risiko eksaserbasi.

o RCT tidak menunjukkan manfaat menambahkan ICS ke LABA plus LAMA pada
eksaserbasi.82

o Kelompok double-blind, paralel, RCT melaporkan bahwa pengobatan dengan terapi tiga lapis
tetap extrafine memiliki manfaat klinis yang lebih besar dibandingkan dengan tiotropium pada
pasien dengan COPD simptomatik, FEV1 <50%, dan riwayat eksaserbasi. Manfaat RCT
double-blind lain melaporkan manfaat terapi tiga-inhaler tunggal dibandingkan dengan terapi
ICS / LABA pada pasien dengan PPOK lanjut.

• Glukokortikoid oral
Glukokortikoid oral memiliki banyak efek samping, termasuk miopati steroid yang dapat
berkontribusi terhadap kelemahan otot, penurunan fungsi, dan gagal napas pada subjek dengan
PPOK yang sangat berat.

o Sementara glukokortikoid oral memainkan peran dalam manajemen akut eksaserbasi, mereka
tidak memiliki peran dalam pengobatan harian kronis pada PPOK karena kurangnya manfaat
yang seimbang terhadap tingkat komplikasi sistemik yang tinggi.

• Phosphodiesterase-4 (PDE4) inhibitor

o Roflumilast mengurangi eksaserbasi sedang dan berat yang diobati dengan kortikosteroid
sistemik pada pasien dengan bronkitis kronis, PPOK berat hingga sangat berat, dan riwayat
eksaserbasi.

Efek menguntungkan dari roflumilast telah dilaporkan lebih besar pada pasien dengan riwayat
rawat inap sebelumnya untuk eksaserbasi akut. Tidak ada penelitian yang langsung
membandingkan roflumilast dengan kortikosteroid inhalasi.

o Efek yang merugikan. Inhibitor PDE4 memiliki efek yang lebih buruk daripada obat yang
dihirup untuk PPOK.89 Yang paling sering adalah mual, nafsu makan berkurang, penurunan
berat badan, sakit perut, diare, gangguan tidur, dan sakit kepala.

• Antibiotik

o Penelitian yang lebih baru telah menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik macrolide secara
teratur dapat mengurangi tingkat eksaserbasi.

o Azitromisin (250 mg / hari atau 500 mg tiga kali per minggu) atau eritromisin (500 mg dua
kali per hari) selama satu tahun pada pasien yang rentan eksaserbasi mengurangi risiko
eksaserbasi dibandingkan dengan perawatan biasa.92-94 Penggunaan azitromisin dikaitkan
dengan peningkatan insidensi resistensi bakteri dan gangguan tes pendengaran.94 Analisis
post-hoc menunjukkan manfaat yang lebih rendah pada perokok aktif.

o Tidak ada data yang menunjukkan efikasi atau keamanan pengobatan azitromisin kronis
untuk mencegah eksaserbasi PPOK setelah satu tahun pengobatan.

• Mukolitik (mucokinetik, mucoregulator) dan agen antioksidan (NAC, carbocysteine)

o Pada pasien PPOK yang tidak menerima kortikosteroid inhalasi, pengobatan reguler dengan
mukolitik seperti karbokistin dan N-asetilsistein dapat mengurangi eksaserbasi dan sedikit
meningkatkan status kesehatan.
Masalah yang terkait dengan pengiriman yang dihirup

• Penentu teknik inhaler yang buruk pada pasien asma dan PPOK meliputi: usia yang lebih tua,
penggunaan beberapa perangkat, dan kurangnya pendidikan sebelumnya tentang teknik
inhaler.

• Kesalahan utama dalam penggunaan perangkat pengiriman berhubungan dengan masalah


dengan tingkat inhalasi, durasi inhalasi, koordinasi, persiapan dosis, manuver pernafasan
sebelum inhalasi dan napas-memegang inhalasi dosis berikut (Tabel 3.6).

Rehabilitasi, Edukasi dan Manajemen Mandiri

Rehabilitasi paru

Manfaat untuk pasien PPOK dari rehabilitasi paru cukup besar (Tabel 3.8), dan rehabilitasi
telah terbukti menjadi strategi terapi yang paling efektif untuk meningkatkan sesak napas,
status kesehatan dan toleransi latihan.
Suportif, Paliatif, End of life and Hosipice Care

Kontrol gejala dan perawatan paliatif

• COPD adalah penyakit yang sangat simtomatik dan memiliki banyak elemen seperti
kelelahan, dyspnea, depresi, kecemasan, insomnia yang memerlukan perawatan paliatif
berdasarkan gejala.

• Pendekatan paliatif sangat penting dalam konteks perawatan akhir masa hidup serta
perawatan rumah sakit (model untuk pengiriman perawatan akhir masa hidup untuk pasien
yang sakit parah dan diprediksi memiliki kurang dari 6 bulan untuk hidup).

Poin-poin penting untuk perawatan paliatif, akhir-hidup dan perawatan rumah sakit di COPD
dirangkum dalam Tabel 3.9.

Terapi Lainnya

Terapi oksigen dan dukungan ventilasi

Terapi oksigen.

• Pemberian oksigen jangka panjang (> 15 jam per hari) untuk pasien dengan gagal napas kronis
telah terbukti meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien dengan hipoksemia istirahat
parah (Tabel 3.10).
• Sesak napas mungkin berkurang pada pasien PPOK yang hipoksemia ringan, atau non-
hipoksemia tetapi tidak memenuhi syarat untuk terapi oksigen di rumah, ketika oksigen
diberikan selama latihan; Namun, penelitian menunjukkan tidak ada peningkatan sesak napas
dalam kehidupan sehari-hari dan tidak ada manfaat pada kualitas hidup terkait kesehatan (Tabel
3.10).

Dukungan ventilasi

• Ventilasi non-invasif (NIV) dalam bentuk ventilasi tekanan positif non-invasif (NPPV)
adalah standar perawatan untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien yang
dirawat inap dengan eksaserbasi PPOK dan gagal napas akut.

Pasien yang stabil

• Pada pasien dengan COPD dan apnea tidur obstruktif, ada manfaat yang jelas terkait dengan
penggunaan tekanan saluran napas positif kontinyu (CPAP) untuk meningkatkan kelangsungan
hidup dan risiko pasien masuk rumah sakit.

• NPPV dapat meningkatkan kelangsungan hidup bebas-rawat inap pada pasien terpilih setelah
dirawat inap baru-baru ini, terutama pada mereka yang mengalami hiperkapnia persisten di
siang hari.

• Pada pasien dengan COPD dan apnea tidur obstruktif, ada manfaat yang jelas terkait dengan
penggunaan tekanan saluran napas positif kontinyu (CPAP) untuk meningkatkan kelangsungan
hidup dan risiko pasien masuk rumah sakit.
Perawatan Intervensional

• Keuntungan dari operasi pengurangan volume paru (LVRS) atas terapi medis lebih signifikan
di antara pasien dengan emfisema dominan atas lobus dan rendahnya kapasitas latihan setelah
rehabilitasi; meskipun LVRS mahal dibandingkan dengan program perawatan kesehatan tidak
termasuk operasi.• Teknik pengurangan volume paru-paru bronkoskopi non-bedah dapat
meningkatkan toleransi latihan, status kesehatan dan fungsi paru pada pasien tertentu dengan
refraktori emphsyema tingkat lanjut terhadap terapi medis.• Pada pasien yang dipilih dengan
tepat dengan COPD yang sangat berat, transplantasi paru telah ditunjukkan untuk
meningkatkan kualitas hidup dan kapasitas fungsional.• Poin-poin kunci untuk terapi intervensi
pada COPD stabil dirangkum dalam Tabel 3.11, dan sebuah algoritma yang menggambarkan
gambaran umum berbagai intervensi ditunjukkan pada Gambar 4.3.
Manajemen COPD Stabil

Setelah COPD didiagnosis, manajemen yang efektif harus didasarkan pada penilaian individual
untuk mengurangi gejala saat ini dan risiko eksaserbasi di masa depan (Tabel 4.1).

Identifikasi dan pengurangan paparan faktor risiko (Tabel 4.2 dan 4.3) adalah penting dalam
pengobatan dan pencegahan COPD. Merokok adalah faktor risiko yang paling sering ditemui
dan mudah diidentifikasi untuk COPD, dan berhenti merokok harus terus didorong untuk
semua orang yang merokok. Pengurangan paparan pribadi total terhadap debu, asap, dan gas
kerja, serta polutan udara di dalam dan luar ruangan, juga harus ditangani.
Terapi Untuk COPD Stabil

Terapi Farmakologi

Terapi farmakologis dapat mengurangi gejala, dan risiko serta keparahan eksaserbasi, serta
meningkatkan status kesehatan dan toleransi latihan.

Sebagian besar obat dihirup sehingga teknik inhaler yang tepat memiliki relevansi yang tinggi.
Hal-hal kunci untuk menghirup obat diberikan pada Tabel 4.4. Poin-poin penting untuk
penggunaan bronkodilator diberikan pada Tabel 4.5. Poin-poin penting untuk penggunaan
agen-agen anti-inflamasi dirangkum dalam Tabel 4.6. Poin-poin penting untuk penggunaan
perawatan farmakologis lainnya dirangkum dalam Tabel 4.7
Algoritma pengobatan farmakologis

Model yang diusulkan untuk inisiasi, dan kemudian eskalasi berikutnya dan / atau de-eskalasi
manajemen farmakologis PPOK menurut penilaian gejala dan risiko eksaserbasi individual
ditunjukkan pada Gambar 4.1. Dalam versi Laporan GOLD sebelumnya, rekomendasi hanya
diberikan untuk terapi awal. Namun, banyak pasien PPOK sudah menjalani pengobatan dan
kembali dengan gejala persisten setelah terapi awal, atau kurang umum dengan resolusi
beberapa gejala yang mungkin memerlukan terapi yang lebih sedikit. Oleh karena itu, kami
sekarang menyarankan strategi eskalasi (dan de-eskalasi). Rekomendasi yang dibuat
didasarkan pada kemanjuran yang tersedia serta data keamanan. Kami sepenuhnya sadar bahwa
eskalasi pengobatan belum diuji secara sistematis; uji coba de-eskalasi juga terbatas dan hanya
mencakup ICS.Rekomendasi ini akan dievaluasi kembali ketika data tambahan tersedia.
Beberapa langkah non-farmakologis yang relevan untuk kelompok pasien A sampai D
dirangkum dalam Tabel 4.8. Sebuah algoritma yang tepat untuk resep oksigen untuk pasien
dengan PPOK ditunjukkan pada Gambar 4.2.
Monitoring dan Follow Up

Follow up rutin pasien PPOK sangat penting. Fungsi paru-paru bisa memburuk dari waktu ke
waktu, bahkan dengan perawatan terbaik yang tersedia. Gejala, eksaserbasi dan ukuran
obyektif pembatasan aliran udara harus dipantau untuk menentukan kapan harus memodifikasi
manajemen dan untuk mengidentifikasi komplikasi dan / atau komorbiditas yang mungkin
berkembang. Berdasarkan literatur saat ini, manajemen diri yang komprehensif atau
pemantauan rutin belum menunjukkan manfaat jangka panjang dalam hal status kesehatan
lebih dari perawatan biasa saja untuk pasien PPOK dalam praktek umum.

Eksaserbasi PPOK didefinisikan sebagai akut memburuknya gejala pernafasan yang


menghasilkan terapi tambahan.

Mereka diklasifikasikan sebagai:

• Ringan (diobati dengan bronkodilator kerja singkat saja, SABD)

• Sedang (diobati dengan SABD plus antibiotik dan / atau kortikosteroid oral) atau

• Parah (pasien memerlukan rawat inap atau mengunjungi ruang gawat darurat). Eksaserbasi
yang parah juga bisa berhubungan dengan gagal napas akut.

Eksaserbasi PPOK adalah peristiwa penting dalam penatalaksanaan PPOK karena mereka
berdampak negatif terhadap status kesehatan, tingkat rawat inap dan pendaftaran kembali, dan
perkembangan penyakit. Eksaserbasi PPOK adalah kejadian kompleks yang biasanya terkait
dengan peningkatan peradangan saluran napas, peningkatan produksi lendir dan penandaan gas
yang ditandai. Perubahan ini berkontribusi pada peningkatan dyspnea yang merupakan gejala
utama eksaserbasi. Gejala lain termasuk peningkatan purulutum dahak dan volume, bersama
dengan peningkatan batuk dan mengi. Karena komorbiditas umum pada pasien PPOK,
eksaserbasi harus dibedakan secara klinis dari kejadian lain seperti sindrom koroner akut,
memburuknya gagal jantung kongestif, emboli paru dan pneumonia.

Pilihan Terapi

Pengaturan Perawatan

Tujuan pengobatan untuk eksaserbasi PPOK adalah untuk meminimalkan dampak negatif
eksaserbasi saat ini dan mencegah perkembangan kejadian selanjutnya.114 Tergantung pada
tingkat keparahan eksaserbasi dan / atau tingkat keparahan penyakit yang mendasarinya,
eksaserbasi dapat dikelola dengan baik. pengaturan rawat jalan atau rawat inap. Lebih dari 80%
eksaserbasi dikelola secara rawat jalan dengan terapi farmakologis termasuk bronkodilator,
kortikosteroid, dan antibiotik.

Presentasi klinis eksaserbasi PPOK bersifat heterogen, sehingga kami merekomendasikan


bahwa pada pasien rawat inap keparahan eksaserbasi harus didasarkan pada tanda klinis pasien
dan merekomendasikan klasifikasi berikut.

Tidak ada kegagalan pernafasan: Tingkat pernapasan: 20-30 napas per menit; tidak
menggunakan otot pernafasan aksesori; tidak ada perubahan dalam status mental; hipoksemia
ditingkatkan dengan oksigen tambahan yang diberikan melalui Venturi mask 28-35% oksigen
inspirasi (FiO2); tidak ada peningkatan PaCO2.

Kegagalan pernafasan akut - tidak mengancam nyawa: Tingkat pernapasan:> 30 napas per
menit; menggunakan otot pernafasan aksesori; tidak ada perubahan dalam status mental;
hipoksemia ditingkatkan dengan oksigen tambahan melalui Venturi mask 25-30% FiO2;
hypercarbia i.e., PaCO2 meningkat dibandingkan dengan baseline atau peningkatan 50-60
mmHg.

Kegagalan pernafasan akut - mengancam jiwa: Tingkat pernapasan:> 30 napas per menit;
menggunakan otot pernafasan aksesori; perubahan akut dalam status mental; hipoksemia tidak
membaik dengan oksigen tambahan melalui masker Venturi atau membutuhkan FiO2> 40%;
hypercarbia i.e., PaCO2 meningkat dibandingkan dengan baseline atau peningkatan> 60
mmHg atau adanya asidosis (pH <7,25).
Indikasi untuk menilai kebutuhan rawat inap selama eksaserbasi PPOK ditunjukkan pada Tabel
5.1. Ketika pasien dengan eksaserbasi PPOK datang ke unit gawat darurat, mereka harus
diberikan oksigen tambahan dan menjalani penilaian untuk menentukan apakah eksaserbasi
mengancam jiwa dan jika peningkatan kerja pernapasan atau gangguan pertukaran gas
memerlukan pertimbangan untuk ventilasi non-invasif. Pengelolaan yang parah, tetapi tidak
mengancam kehidupan, eksaserbasi diuraikan pada Tabel 5.2. Ulasan Cochrane yang
diperbarui baru-baru ini menyimpulkan bahwa penggunaan rencana aksi eksaserbasi PPOK
dengan satu komponen pendidikan pendek, bersamaan dengan dukungan berkelanjutan,
mengurangi pemanfaatan layanan kesehatan di rumah sakit. Intervensi pendidikan semacam
itu juga ditemukan untuk meningkatkan pengobatan eksaserbasi PPOK dengan kortikosteroid
dan antibiotik. Poin-poin kunci untuk manajemen eksaserbasi diberikan pada Tabel 5.3.
Ventilasi mekanis noninvasif

• Penggunaan ventilasi mekanik noninvasif (NIV) lebih disukai daripada ventilasi invasif
(intubasi dan ventilasi tekanan positif) sebagai mode awal ventilasi untuk mengobati kegagalan
pernafasan akut pada pasien yang dirawat di rumah sakit untuk eksaserbasi akut PPOK.

• Indikasi untuk NIV117 dirangkum dalam Tabel 5.5.

Ventilasi mekanis invasif. Indikasi untuk memulai ventilasi mekanis invasif selama eksaserbasi
ditunjukkan pada Tabel 5.6, dan termasuk kegagalan percobaan awal NIV.118 Pencegahan
eksaserbasi.

Pemulangan Pasien dan Follow Up

Tindak lanjut awal (dalam satu bulan) setelah pulang harus dilakukan bila mungkin dan telah
terkait dengan readmissions terkait eksaserbasi yang kurang. Sebuah tinjauan kriteria debit dan
rekomendasi untuk tindak lanjut dirangkum dalam Tabel 5.7.
Setelah eksaserbasi akut, tindakan yang tepat untuk pencegahan eksaserbasi lebih lanjut harus
dimulai (Tabel 5.8).

5. EDEMA E.C. SN
Sindrom Nefrotik

Definisi
Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit ginjal yang terbanyak pada anak. Penyakit
tersebut ditandai dengan sindrom klinik yang terdiri dari beberapa gejala yaitu proteinuria
masif (>40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau
dipstick ≥ 2+), hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL, edema, dan hiperkolesterolemia.

Etiologi

Berdasarkan etiologinya, sindrom nefrotik dibagi menjadi tiga, yaitu kongenital, primer atau
idiopatik, dan sekunder.

1) Kongenital

Penyebab dari sindrom nefrotik kongenital atau genetik adalah :

- Finnish-type congenital nephrotic syndrome (NPHS1, nephrin)

- Denys-Drash syndrome (WT1)

- Frasier syndrome (WT1)

- Diffuse mesangial sclerosis (WT1, PLCE1)

- Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2, podocin)

- Autosomal dominant, familial FSGS (ACTN4, α-actinin-4; TRPC6)

- Nail-patella syndrome (LMX1B)

- Pierson syndrome (LAMB2)

- Schimke immuno-osseous dysplasia (SMARCAL1)

- Galloway-Mowat syndrome

- Oculocerebrorenal (Lowe) syndrome


2) Primer

Berdasarkan gambaran patologi anatomi, sindrom nefrotik primer atau idiopatik adalah
sebagai berikut :

- Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)

- Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)

- Mesangial Proliferative Difuse (MPD)

- Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP)

- Nefropati Membranosa (GNM)

3) Sekunder

Sindrom nefrotik sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara lain sebagai berikut :

- lupus erimatosus sistemik (LES)

- keganasan, seperti limfoma dan leukemia

- vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis dengan


poliangitis), sindrom Churg-Strauss (granulomatosis eosinofilik
dengan poliangitis), poliartritis nodosa, poliangitis mikroskopik,
purpura Henoch Schonlein

- Immune complex mediated, seperti post streptococcal (postinfectious)


glomerulonephritis
Batasan

Berikut ini adalah beberapa batasan yang dipakai pada sindrom nefrotik:
1) Remisi

Apabila proteinuri negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2LPB/jam) 3 hari berturut-turut
dalam satu minggu, maka disebut remisi.
2) Relaps

Apabila proteinuri ≥ 2+ ( >40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu
>2 mg/mg) 3 hari berturut-turut dalam satu minggu, maka disebut relaps.

3) Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)

Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh (2mg/kg/hari)
selama 4 minggu mengalami remisi.

4) Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)

Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh (2mg/kg/hari)
selama 4 minggu tidak mengalami remisi.

5) Sindrom nefrotik relaps jarang

Sindrom nefrotik yang mengalami relaps < 2 kali dalam 6 bulan sejak respons awal atau <
4 kali dalam 1 tahun.

6) Sindrom nefrotik relaps sering

Sindrom nefrotik yang mengalami relaps ≥ 2 kali dalam 6 bulan sejak respons awal atau ≥
4 kali dalam 1 tahun.

7) Sindrom nefrotik dependen steroid

Sindrom nefrotik yang mengalami relaps dalam 14 hari setelah dosis

prednison diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh atau dihentikan dan terjadi 2 kali berturut-
turut.
Klasifikasi

Ada beberapa macam pembagian klasifikasi pada sindrom nefrotik. Menurut berbagai
penelitian, respon terhadap pengobatan steroid lebih sering dipakai untuk menentukan
prognosis dibandingkan gambaran patologi anatomi. Berdasarkan hal tersebut, saat ini
klasifikasi SN lebih sering didasarkan pada respon klinik, yaitu :

1) Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)

2) Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)

Manifestasi klinis dan patofisiologi

Kelainan pokok pada sindrom nefrotik adalah peningkatan permeabilitas dinding kapiler
glomerulus yang menyebabkan proteinuria masif dan hipoalbuminemia. Pada biopsi,
penipisan yang luas dari prosesus kaki podosit (tanda sindrom nefrotik idiopatik)
menunjukkan peran penting podosit. Sindrom nefrotik idiopatik berkaitan pula dengan
gangguan kompleks pada sistem imun, terutama imun yang dimediasi oleh sel T. Pada focal
segmental glomerulosclerosis (FSGS), faktor plasma, diproduksi oleh bagian dari limfosit
yang teraktivasi, bertanggung jawab terhadap kenaikan permeabilitas dinding

kapiler. Selain itu, mutasi pada protein podosit (podocin, α-actinin 4) dan MYH9 (gen
podosit) dikaitkan dengan focal segmental glomerulosclerosis (FSGS).
Sindrom nefrotik resisten steroid dapat dikaitkan dengan mutasi NPHS2 (podocin) dan gen
WT1, serta komponen lain dari aparatus filtrasi glomerulus, seperti celah pori, dan termasuk
nephrin, NEPH1, dan CD-2 yang terkait protein.
1) Proteinuria

Protenuria merupakan kelainan utama pada sindrom nefrotik. Apabila ekskresi protein ≥ 40
mg/jam/m2 luas permukaan badan disebut dengan protenuria berat. Hal ini digunakan untuk
membedakan dengan protenuria pada pasien bukan sindrom nefrotik.

2) Hipoalbuminemia
Abnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung dengan proteinuria adalah
hipoalbuminemia. Salah satu manifestasi pada pasien sindrom nefrotik pada anak terjadi
hipoalbuminemia apabila kadar albumin kurang dari 2,5 g/dL.

Pada keadaan normal, produksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari (130-200 mg/kg) dan
jumlah yang diproduksi sama dengan jumlah yang dikatabolisme. Katabolisme secara
dominan terjadi pada ekstrarenal, sedangkan 10% di katabolisme pada tubulus proksimal
ginjal setelah resorpsi albumin yang telah difiltrasi. Pada pasien sindrom nefrotik,
hipoalbuminemia merupakan manifestasi dari hilangnya protein dalam urin yang berlebihan
dan peningkatan katabolisme albumin.

Hilangnya albumin melalui urin merupakan konstributor yang penting pada kejadian
hipoalbuminemia. Meskipun demikian, hal tersebut bukan merupakan satu-satunya
penyebab pada pasien sindrom nefrotik karena laju sintesis albumin dapat meningkat
setidaknya tiga kali lipat dan dengan begitu dapat mengompensasi hilangnya albumin
melalui urin. Peningkatan hilangnya albumin dalam saluran gastrointestinal juga
diperkirakan mempunyai kontribusi terhadap keadaan hipoalbuminemia, tetapi hipotesis ini
hanya mempunyai sedikit bukti. Oleh karena itu, terjadinya hipoalbuminemia harus ada
korelasi yang cukup antara penurunan laju sintesis albumin di hepar dan peningkatan
katabolisme albumin

Pada keadaan normal, laju sintesis albumin di hepar dapat meningkat hingga 300%,
sedangkan penelitian pada penderita sindrom nefrotik dengan hipoalbuminemia
menunjukan bahwa laju sintesis albumin di hepar hanya sedikit di atas keadaan normal
meskipun diberikan diet protein yang adekuat. Hal ini mengindikasikan respon sintesis
terhadap albumin oleh hepar tidak adekuat.

Tekanan onkotik plasma yang memperfusi hati merupakan regulator mayor sintesis protein.
Bukti eksperimental pada tikus yang secara genetik menunjukkan adanya defisiensi dalam
sirkulasi albumin, menunjukkan dua kali peningkatan laju transkripsi gen albumin hepar
dibandingkan dengan tikus normal. Meskipun demikian, peningkatan sintesis albumin di
hepar pada tikus tersebut tidak adekuat untuk mengompensasi derajat hipoalbuminemia,
yang mengindikasikan adanya gangguan respon sintesis. Hal ini juga terjadi pada pasien
sindrom nefrotik, penurunan tekanan onkotik tidak mampu untuk meningkatkan laju sintesis
albumin di hati sejauh mengembalikan konsentrasi plasma albumin. Ada juga bukti pada
subjek yang normal bahwa albumin interstisial hepar mengatur sintesis albumin. Oleh karena
pada sindrom nefrotik pool albumin interstisial hepar tidak habis, respon sintesis albumin
normal dan naik dengan jumlah sedikit, tetapi tidak mencapai level yang adekuat.

Asupan diet protein berkontribusi pada sintesis albumin. Sintesis mRNA albumin hepar dan
albumin tidak meningkat pada tikus ketika diberikan diet rendah protein, tetapi sebaliknya,
meningkat pada tikus yang diberikan diet tinggi protein. Meskipun begitu, level albumin
serum tidak mengalami perubahan karena hiperfiltrasi yang dihasilkan dari peningkatan
konsumsi protein menyebabkan peningkatan albuminuria.

Kontribusi katabolisme albumin ginjal pada hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik masih
merupakan hal yang kontroversial. Dalam penelitian terdahulu dikemukakan bahwa
kapasitas transportasi albumin tubulus ginjal telah mengalami saturasi pada level albumin
terfiltrasi yang fisiologis dan dengan peningkatan protein yang terfiltrasi yang hanya
diekskresikan dalam urin, bukan diserap dan dikatabolisme. Penelitian pada perfusi tubulus
proksimal yang diisolasi pada kelinci membuktikan sebuah sistem transportasi ganda untuk
uptake albumin. Sebuah sistem kapasitas rendah yang telah mengalami saturasi pada muatan
protein yang berlebih, tetapi masih dalam level fisiologis, terdapat pula sebuah sistem
kapasitas tinggi dengan afinitas yang rendah, memungkinkan tingkat penyerapan tubular
untuk albumin meningkat karena beban yang disaring naik. Dengan demikian, peningkatan
tingkat fraksi katabolik dapat terjadi pada sindrom nefrotik.
Hipotesis ini didukung oleh adanya korelasi positif di antara katabolisme fraksi albumin dan
albuminuria pada tikus dengan puromycin aminonucleoside PAN yang diinduksi hingga
nefrosis. Namun, karena simpanan total albumin tubuh menurun dalam jumlah banyak pada
sindrom nefrotik, laju katabolik absolut mungkin normal atau bahkan kurang. Hal ini
berpengaruh pada status nutrisi, sebagaimana dibuktikan oleh fakta bahwa katabolisme
albumin absolut berkurang pada tikus nefrotik dengan diet protein rendah, tetapi tidak pada
asupan diet protein normal.

Jadi cukup jelas bahwa hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik merupakan akibat dari
perubahan multipel pada homeostasis albumin yang tidak dapat dikompensasi dengan baik
oleh adanya sintesis albumin hepar dan penurunan katabolisme albumin tubulus ginjal.
3) Edema
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema pada sindrom nefrotik.
Underfilled theory merupakan teori klasik tentang pembentukan edema. Teori ini berisi
bahwa adanya edema disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan
menyebabkan cairan merembes ke ruang interstisial. Adanya peningkatan permeabilitas
kapiler glomerulus menyebabkan albumin keluar sehingga terjadi albuminuria dan
hipoalbuminemia. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi vital dari albumin adalah
sebagai penentu tekanan onkotik. Maka kondisi hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan
onkotik koloid plasma intravaskular menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati
dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstisial kemudian timbul edema.

Kelainan glomerulus

Albuminuria

Hipoalbuminemia

Tekanan onkotik koloid plasma ↓

Volume plasma ↑

Retensi Na renal sekunder ↑

Edema

Gambar 1. Teori underfilled

Menurut teori lain yaitu teori overfilled, retensi natrium renal dan air tidak bergantung pada

stimulasi sistemik perifer tetapi pada mekanisme intrarenal primer. Retensi natrium renal

primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Overfilling cairan

ke dalam ruang interstisial menyebabkan terbentuknya edema.


Kelainan glomerulus

Retensi Na renal primer
Albuminuria

Volume plasma ↑ Hipoalbuminemia



Edema

Gambar 2. Teori overfilled

4) Hiperkolesterolemia

Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat pada

sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan penjelasan antara lain yaitu adanya kondisi

hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk

lipoprotein. Selain itu katabolisme lemak menurun karena terdapat penurunan kadar

lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk mendukung diagnosis sindrom nefrotik, antara


lain :
1) Urinalisis dan bila perlu biakan urin

Biakan urin dilakukan apabila terdapat gejala klinik yang mengarah pada infeksi saluran

kemih (ISK).

2) Protein urin kuantitatif

Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada

urin pertama pagi hari.

3) Pemeriksaan darah

- Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit,

trombosit, hematokrit, LED)

- Albumin dan kolesterol serum


- Ureum, kreatinin, dan klirens kreatinin

Pengukuran dapat dilakukan dengan cara klasik ataupun dengan rumus Schwartz. Rumus

Schwartz digunakan untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus (LFG).

eLFG = k x L/Scr

eLFG : estimated LFG (ml/menit/1,73 m2)

L : tinggi badan (cm)

Scr : serum kreatinin (mg/dL)

k : konstanta (bayi aterm:0,45; anak dan remaja putri:0,55;

remaja putra:0,7)

- Kadar komplemen C3

Apabila terdapat kecurigaan lupus erimatosus sistemik, pemeriksaan ditambah dengan

komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA.

Komplikasi

Komplikasi mayor dari sindrom nefrotik adalah infeksi. Anak dengan sindrom nefrotik yang

relaps mempunyai kerentanan yang lebih tinggi untuk menderita infeksi bakterial karena

hilangnya imunoglobulin dan faktor B properdin melalui urin, kecacatan sel yang dimediasi

imunitas, terapi imuosupresif, malnutrisi, dan edema atau ascites. Spontaneus bacterial

peritonitis adalah infeksi yang biasa terjadi, walaupun sepsis, pneumonia, selulitis, dan

infeksi traktus urinarius mungkin terjadi. Meskipun Streptococcus pneumonia merupakan

organisme tersering penyebab peritonitis, bakteri gram negatif seperti Escherichia coli,

mungkin juga ditemukan sebagai penyebab.

Penatalaksanaan umum

1) Pengukuran berat badan dan tinggi badan

2) Pengukuran tekanan darah

3) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan dilakukan untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus

eritematosus sistemik dan purpura Henoch-Schonlein.

4) Pencarian fokus infeksi

Sebelum melakukan terapi dengan steroid perlu dilakukan eradikasi pada setiap infeksi,

seperti infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun infeksi karena kecacingan.

5) Pemeriksaan uji Mantoux

Apabila hasil uji Mantoux positif perlu diberikan profilaksis dengan

isoniazid (INH) selama 6 bulan bersama steroid dan apabila ditemukan tuberkulosis

diberikan obat antituberkulosis (OAT).

Pengobatan kortikosteroid

1) Terapi inisial

Berdasarkan International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC), terapi inisial

untuk anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid adalah prednison

dosis 60mg/m2LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi.

Terapi inisial diberikan dengan dosis penuh selama 4 minggu. Apabila dalam empat minggu

pertama telah terjadi remisi, dosis prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2LPB/hari atau

1,5 mg/kgBB/hari, diberikan selang satu hari, dan diberikan satu hari sekali setelah makan

pagi. Apabila setelah dilakukan pengobatan dosis penuh tidak juga terjadi remisi, maka

pasien dinyatakan resisten steroid.

4 minggu
2
4 minggu Prednison FD : 60 mg/m LPB/hari
2
Prednison AD : 40 mg/m LPB/hari

Dosis alternating (AD)


Remisi (+)
Proteinuria (-)
Edema (-) Remisi (-) : resisten steroid

Imunosupresan lain

Gambar 3. Terapi inisial kortikosteroid


2) Pengobatan sindrom nefrotik relaps

Pada pasien sindrom nefrotik relaps diberikan pengobatan prednison dosis penuh hingga

terjadi remisi (maksimal 4 minggu) dan dilanjutkan dengan pemberian dosis alternating

selama 4 minggu. Apabila pasien terjadi remisi tetapi terjadi proteinuria lebih dari sama

dengan positif 2 dan tanpa edema, terlebih dahulu dicari penyebab timbulnya proteinuria,

yang biasanya disebabkan oleh karena infeksi saluran nafas atas, sebelum diberikan

prednison. Apabila ditemukan infeksi, diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian

protenuria menghilang maka pengobatan relaps tidak perlu diberikan. Namun, apabila

terjadi proteinuria sejak awal yang disertai dengan edema, diagnosis relaps dapat

ditegakkan, dan diberikan prednison pada pasien.

Remisi
2
FD Prednison FD : 60 mg/m LPB/hari
AD 4 minggu
2
Prednison AD : 40 mg/m LPB/hari

Gambar 4. Pengobatan sindrom nefrotik relaps

3) Pengobatan sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid

Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid :

a. Pemberian steroid jangka panjang

b. Pemberian levamisol

c. Pengobatan dengan sitostatika

d. Pengobatan dengan siklosporin atau mikofenolat mofetil

(opsi terakhir)

Perlu dicari pula adanya fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, radang

telinga tengah atau kecacingan.

Penjelasan mengenai empat opsi di atas adalah sebagai berikut :

a. Steroid jangka panjang


Untuk pengobatan sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid pada anak, setelah

remisi dengan prednison dosis penuh, pengobatan dilanjutkan dengan pemberian steroid

dosis 1,5 mg/kgBB secara alternating. Dosis lalu diturunkan perlahan atau secara bertahap

0,2 mg/kgBB setiap 2 minggu hingga dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu

antara 0,1-0,5 mg/kgBB alternating. Dosis tersebut merupakan dosis threshold dan dapat

dipertahankan selama 6-12 bulan. Setelah pemberian 6-12 bulan, lalu dicoba untuk

dihentikan. Pada anak usia sekolah umumnya dapat menoleransi prednison dengan dosis 0,5

mg/kgBB dan pada anak usia pra sekolah dapat menoleransi hingga dosis 1 mg/kgBB secara

alternating.

Apabila pada prednison dosis 0,1-0,5 mg/kgBB alternating terjadi relaps, terapi diberikan

dengan dosis 1 mg/kgBB dalam dosis terbagi diberikan setiap hari hingga remisi. Apabila

telah remisi dosis prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgBB secara alternating. Setiap 2

minggu diturunkan 0,2 mg/kgBB hingga satu tahap (0,2 mg/kgBB) di atas dosis prednison

pada saat terjadi relaps yang sebelumnya.

Apabila pada dosis prednison rumatan > 0,5 mg/kgBB alternating terjadi relaps tetapi pada

dosis < 1,0 mg/kgBB alternating tidak menimbulkan efek samping yang berat maka dapat

diikombinasikan dengan levamisol dengan selang satu hari 2,5 mg/kgBB selama 4-12 bulan

atau dapat langsung diberikan siklofosfamid.

Pemberian siklofosamid (2-3 mg/kgBB/hari) selama 8-12 minggu, apabila pada keadaan

berikut :

- Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgBB alternating, atau

- dosis rumat < 1 mg/kgBB tetapi disertai :


 
 efek samping steroid yang berat


pernah relaps dengan gejala
 yang berat, yaitu hipovolemia,
trombosis, dan sepsis.
23

Remisi
FD AD 8 minggu Prednison FD : 60 mg/m2 LPB/hari
Prednison AD : 40 mg/m2 LPB/hari
CPA oral : 2-3 mg/kgBB/hari
Pemantauan Hb, leukosit, trombosit setiap minggu
8 minggu
Leukosit < 3000/µL → stop dulu
Leukosit > 5000/µL → terapi dimulai lagi
Gambar 5. Pengobatan SN relaps sering dengan CPA oral

FD Remisi AD 12 minggu
tap. off

1 2 3 4 5 6 7
CPA puls

FD Remisi AD 12 minggu
tap. off

CPA oral selama 12 minggu

Gambar 6. Pengobatan sindrom nefrotik dependen steroid

b. Levamisol

Peran levamisol sebagai steroid sparing agent terbukti efektif.18 Dosis yang diberikan yaitu

2,5 mg/kgBB dosis tunggal, dengan selang satu hari dalam waktu 4-12 bulan. Levamisol

mempunyai efek samping antara lain mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan

neutropenia yang reversibel.

c. Sitostatika

d. Siklosporin (CyA)

e. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)

4) Pengobatan sindrom nefrotik dengan kontraindikasi steroid

Apabila terdapat geajala atau tanda yang menjadi kontraindikasi steroid, seperti tekanan

darah tinggi, peningkatan ureum, dan atau kreatinin, infeksi berat, dapat diberikan sitostatik

CPA oral maupun CPA puls. Pemberian siklofosfamid per oral diberikan dengan dosis 2-3

mg/kgBB/hari dosis tunggal. Untuk pemberian CPA puls dosisnya adalah 500-750

mg/m2LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCl 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA

puls diberikan dalam 7 dosis dengan interval 1 bulan.

5) Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid


Sampai saat ini belum ditemukan pengobatan SN resisten steroid yang memuaskan.

Sebelum dimulai pengobatan pada SN resisten steroid sebaiknya dilakukan biopsi ginjal

untuk melihat gambaran patologi anatomi. Hal ini karena gambaran patologi anatomi akan

mempengaruhi prognosis. Pengobatan pada SNRS adalah: a. Siklofosfamid (CPA)

b. Siklosporin (CyA)

c. Metilprednisolon puls

2.1.10 Tatalaksana komplikasi sindrom nefrotik

1) Infeksi

Adanya teori mengenai peran imunologi pada sindrom nefrotik yang menyebutkan bahwa

terjadi penurunan sistem imun pada pasien dengan sindrom nefrotik sehingga menyebabkan

pasien SN mempunyai kerentanan terhadap infeksi. Apabila telah terbukti adanya

komplikasi berupa infeksi perlu diberikan antibiotik.

Pada pasien SN Infeksi yang sering terjadi adalah selulitis dan peritonitis primer. Penyebab

tersering peritonitis primer adalah kuman gram negatif dan Streptococcus pneumoniae.

Untuk pengobatannya diberikan pengobatan penisilin parenteral dikombinasi dengan

sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim atau seftriakson) selama 10-14 hari.

Pneumonia dan infeksi saluran napas atas karena virus juga merupakan manifestasi yang

sering terjadi pada anak dengan sindrom nefrotik.

2) Trombosis

Terdapat suatu penelitian prospektif dengan hasil 15% pasien SN relaps terdapat defek

ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat trombosis pembuluh

vaskular paru yang asimtomatik. Pemeriksaan fisik dan radiologis perlu dilakukan untuk

menegakkan diagnosis trombosis. Apabila telah ada diagnosis trombosis, perlu diberikan

heparin secara subkutan, dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan atau lebih. Saat ini

tidak dianjurkan pencegahan tromboemboli dengan pemberian aspirin dosis rendah.


3) Hiperlipidemia

Kadar LDL, VLDL, trigliserida, dan lipoprotein meningkat pada sindrom nefrotik relaps

atau resisten steroid, tetapi kadar HDL menurun atau normal. Kadar kolesterol yang

meningkat tersebut mempunya sifat aterogenik dan trombogenik. Hal ini dapat

meningkatkan morbiditas kardiovaskular dan progresivitas glomerulosklerosis.20 Untuk itu

perlu dilakukan diet rendah lemak jenuh dan mempertahankan berat badan normal.

Pemberian obat penurun lipid seperti HmgCoA reductase inhibitor (contohnya statin) dapat

dipertimbangkan.

Peningkatan kadar LDL, VLDL, trigliserida, dan lipoprotein pada sindrom nefrotik sensitif

steroid bersifat sementara sehingga penatalaksanaannya cukup dengan mengurangi diet

lemak.

4) Hipokalsemia

Hipokalsemia pada sindrom nefrotik dapat terjadi karena :

- Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis

dan osteopenia

- Kebocoran metabolit vitamin D

Untuk menjaga keseimbangan jumlah kalsium maka pada pasien SN dengan terapi steroid

jangka lama (lebih dari 3 bulan) sebaiknya diberikan suplementasi kalsium 250-500 mg/hari

dan vitamin D (125-250 IU).22 Apabila telah ada tetani perlu diberikan kalsium glukonas

10% sebanyak 0,5 ml/kgBB intravena.

5) Hipovolemia

Hipovolemia dapat terjadi akibat pemberian diuretik yang berlebihan atau pasien dengan

keadaan SN relaps. Gejala-gejalanya antara lain hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin,

dan sering juga disertai sakit perut. Penanganannya pasien diberi infus NaCl fisiologis

dengan cepat sebanyak 15-20 mL/kgBB dalam 20-30 menit, dan disusul dengan albumin 1

g/kgBB atau plasma 20 mL/kgBB (tetesan lambat 10 tetes per menit). Pada kasus
hipovolemia yang telah teratasi tetapi pasien tetap oliguria, perlu diberikan furosemid 1-2

mg/kgBB intravena.

6) Hipertensi

Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan penyakit SN akibat

dari toksisitas steroid. Untuk pengobatanya diawali dengan ACE (angiotensin converting

enzyme) inhibitor, ARB (angiotensin receptor blocker), calcium chanel blockers, atau

antagonis β adrenergik, hingga tekanan darah di bawah persentil 90.

7) Efek samping steroid

Terdapat banyak efek samping yang timbul pada pemberian steroid jangka lama, antara lain

peningkatan nafsu makan, gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku, peningkatan resiko

infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang. Pemantauan terhadap

gejala-gejala cushingoid, pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi

badan setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak setiap tahun sekali pada pasien

SN.

Indikasi biopsi ginjal

Keadaan di bawah ini merupakan indikasi untuk melakukan biposi ginjal:

1) Pada presentasi awal

a. Sindrom nefrotik terjadi pertama kali pada usia < 1 tahun atau

lebih dari 16 tahun

b. Pada pemeriksaan terdapat tanda hematuria nyata

2) Setelah pengobatan inisial

a. Sindrom nefrotik resisten steroid

b. Sebelum memulai terapi siklosporin

Indikasi melakukan rujukan kepada ahli nefrologi anak

Keadaan di bawah ini merupakan indikasi untuk merujuk pasien kepada ahli nefrologi

anak:
1) Awitan sindrom nefrotik pada usia di bawah 1 tahun dan riwayat

penyakit sindrom nefrotik di dalam keluarga

2) Sindrom nefrotik dengan hipertensi, hematuria nyata persisten,

penurunan fungsi ginjal, atau dengan disertai gejala-gejala ekstrarenal,

seperti artritis, serositis, atau lesi di kulit

3) Sindrom nefrotik yang disertai komplikasi edema refrakter, trombosis,

infeksi berat, dan toksik steroid

4) Sindrom nefrotik resisten steroid

5) Sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid

Hipoalbuminemia pada Sindrom Nefrotik

Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik mempunyai karakteristik yaitu hilangnya albumin

urin dalam jumlah yang besar dan reduksi pada total exchangeable albumin pool.24

Laju pecahan katabolisme albumin meningkat pada pasien nefrotik yang kemungkinan

disebabkan peningkatan katabolisme albumin oleh ginjal. Namun, tingkat katabolik albumin

absolut menurun pada pasien nefrotik. Sintesis albumin dapat meningkat tetapi tidak cukup

untuk mempertahankan konsentrasi serum albumin normal atau albumin pool. Augmentasi

diet protein pada tikus nefrotik langsung merangsang sintesis albumin dengan meningkatkan

konten mRNA albumin di hati, tetapi juga menyebabkan peningkatan permeabilitas

glomerulus terhadap makromolekul. Ketika diet protein dibatasi, laju sintesis albumin tidak

meningkat, baik pada pasien nefrotik atau tikus nefrotik, meskipun hipoalbuminemia berat.

Meskipun suplemen protein dapat menyebabkan keseimbangan nitrogen, tetapi pemberian

suplemen protein saja tidak dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi albumin serum,

tetapi sebaliknya dapat menyebabkan deplesi albumin pool yang lebih lanjut karena

perubahan yang diinduksi dalam rejeksi glomerulus.

Albumin
Albumin merupakan protein sederhana tetapi menjadi protein utama dalam plasma manusia,

yaitu terdapat 3,4-4,7 g/dL. Struktur albumin berupa globular dan tersusun dari ikatan
polipeptida tunggal dengan susunan asam amino. Kurang lebih 40% albumin terdapat dalam

plasma dan 60% terdapat di ruang ekstrasel.

Albumin dihasilkan oleh hati sekitar 12 gram per hari. Produksi albumin tersebut sekitar

25% dari semua jenis sintesis protein oleh hati dan separuh dari jumlah protein yang

diekskresikannya. Albumin mula-mula dibentuk sebagai suatu praproprotein. Peptida sinyal

akan dikeluarkan sewaktu protein ini masuk ke dalam sisterna retikulum endoplasma kasar

dan heksapeptida di terminal amino yang terbentuk, kemudian diputuskan ketika protein ini

menempuh jalur sekretorik.

Pada manusia, albumin terdiri dari satu rantai polipeptida dengan 585 asam amino dan

mengandung 17 ikatan disulfida. Albumin dapat dibagi dengan menggunakan protease

sehingga menjadi tiga domain yang memiliki fungsi yang berbeda-beda. Bentuk elips

albumin mengandung arti bahwa albumin tidak meningkatkan viskositas plasma sebanyak

peningkatan yang dilakukan oleh molekul dengan bentuk panjang, seperti halnya fibrinogen.

Albumin memiliki massa molekul 69 kDa, yang berarti relatif rendah, dan konsentrasi yang

tinggi. Hal ini menjadikan albumin dapat menentukan sekitar 75-80% tekanan osmotik

plasma manusia.

Selain berfungsi sebagai penentu tekanan osmotik plasma manusia, albumin juga

mempunyai beberapa fungsi vital lain, salah satunya yaitu mengikat berbagai ligan. Ligan-

ligan tersebut antara lain asam lemak bebas (free fatty acid/FFA), kalsium, hormon steroid

tertentu, bilirubin, dan sebagian triptofan plasma. Fungsi lain albumin yaitu sebagai

pengangkut tembaga dalam tubuh manusia. Albumin juga memiliki peran dalam

farmakologis, yaitu berikatan dengan sulfonamid, penisilin G, dikumarol, dan aspirin.


Tabel 2. Kandungan asam amino dalam albumin

Asam Amino Albumin serum (g AA/100 g protein)


Glisin 1,8
Alanin 6,3
Valin 5,9
Leusin 12,3
Isoleusin 2,6
Serin 4,2
Treonin 5,8
Sistein ½ 6,0
Metionin 0,8
Fenilalanin 0,6
Tirosin 5,1
Prolin 4,8
Asam Aspartat 10,9
Asam Glutamat 16,5
Lisin 12,9
Arginin 5,9
Histidin 4,0

2.4 Berat badan

Berat badan merupakan salah satu indikasi antropometri yang lazim

digunakan selain panjang badan atau tinggi badan, lingkar kepala, dan lingkar lengan. Berat
badan menunjukkan jumlah protein, lemak, massa tulang, air, dan mineral. Agar berat
badan dapat menjad sebuah data yang valid, penghitungannya memerlukan data parameter
lain seperti umur, jenis kelamin, dan panjang badan atau tinggi badan. Alat yang digunakan
untuk mengukur berat badan adalah timbangan, seperti timbangan digital atau timbangan
dacin. Pengukuran berat badan sebaiknya diukur dalam keadaan anak dengan baju yang
minimal atau jika mungkin tanpa mengenakan baju. Pada anak dengan sindrom nefrotik,
peningkatan berat badan yang terjadi terkait dengan adanya retensi cairan. Retensi cairan ini
akan menyebabkan terjadinya manifestasi klinik berupa edema.
Suplementasi Kapsul Ikan Gabus

Gambaran umum ikan gabus

Ekstrak albumin yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari ikan gabus. Ikan gabus

yang memiliki nama latin Ophiocephalus striatus merupakan salah satu jenis ikan yang

mempunyai nilai kandungan albumin yang tinggi.

Karakteristik ikan gabus

Ikan gabus merupakan ikan jenis perairan umum yang memiliki nilai nutrisi yang tinggi.

Ikan ini merupakan ikan asli daerah tropis, seperti Asia dan Afrika. Ikan gabus dapat dengan

mudah ditemukan di perairan yang ada di Indonesia, seperti di Jawa, Sumatra, Kalimantan,

Sulawesi, Bali, Lombok, Singkep, Flores, Ambon, dan Maluku. Ikan gabus memiliki nama

yang berbeda-beda di setiap daerah. Di Jawa, ikan ini disebut “kutuk”, sedangkan di Betawi

ikan ini biasa disebut “kocolan”. Berbeda lagi dengan di Banjarmasin yang menyebut

ikan gabus sebagai “haruan”. Ikan gabus merupakan jenis karnivora dan predator. Ikan

gabus memiliki morfologi dengan bentuk hampir bulat, panjang, dan lebih pipih pada bagian

belakang. Bagian punggung cembung, perut rata, dan kepala pipih. Warna tubuh hijau
kehitaman pada bagian punggung dan berwarna krem atau putih pada bagian perut. Panjang
ikan gabus dapat mencapai 90-110 cm.
Kandungan nutrisi ekstrak ikan gabus Ikan gabus mempunyai kandungan protein yang
tergolong tinggi apabila dibandingkan dengan ikan lainnya.
Tabel 3. Kandungan protein dalam beberapa jenis ikan

Fish Protein (gram)


Ikan patin 17,0
Ikan gabus 16,2
Ikan mas 16,0
Ikan sepat 15,2
Ikan baung 15,1
Ikan belida 14,7
Belut 14,6
Rabbit fish 14,5
Ikan tongkol 13,7
Ikan teri 10,3
Dasar dari pembuatan ekstrak ikan gabus adalah mengekstrasi protein plasma ikan gabus.
Pengaturan dan pengontrolan suhu merupakan hal yang penting dalam proses ini karena
albumin merupakan protein yang sensitif terhadap suhu.

Proses ekstraksi yang tepat akan menghasilkan ekstrak yang putih hingga
kekuningan, sedikit sedimen, dan bau amis yang tajam dan khas. Aroma yang tajam dapat
dikurangi dengan menggunakan bahan tambahan untuk mengurangi aroma tersebut.

Proses untuk membuat ekstrak ikan gabus adalah sebagai berikut :

Pembersihan sirip ikan



Pembuangan kotoran

Pemotongan daging ikan

Proses ekstraksi

Ekstrak

Gambar 7. Proses pembuatan ekstrak ikan gabus

Tabel 4. Nilai nutrisi yang terkandung dalam 100 mililiter ekstrak ikan gabus adalah
sebagai berikut :

Zat gizi Nilai


Protein (g) 3,36 ± 0,29
Albumin (g) 2,17 ± 0,14
Lemak total (g) 0,77 ± 0,66
Glukosa total (g) 0,07 ± 0,02
Zan (mg) 3,34 ± 0,8
Cu (mg) 2,34 ± 0,98
Fe (mg) 0,20 ± 0,09
Tabel 5. Profil asam amino dalam ikan gabus

Asam amino Jumlah (mg/g)


Arginin 360
Fenilalanin 230
Histidin 130
Isoleusin 320
Leusin 470
Lisin 560
Metionin 180
Sistein 70
Treonin 280
Tirosin 190
Triptofan 60
Valin 330

Protein ikan gabus, seperti pada protein ikan lainnya, mengandung tiga tipe protein, yaitu
protein larut (yang mudah dihilangkan dengan cara ekstraksi), protein stroma jaringan
ikat, dan protein kontraktil sarkoplasma. Sarkoplasma adalah cairan yang berada di antara
miofibril.34 Protein sarkoplasma atau yang dikenal sebagaimiogen, termasuk albumin,
mioalbumin, globulin-X, dan miostromin. Albumin, mioprotein, dan mioalbumin
mempunyai kelarutan yang tinggi dalam air. Meskipun miostromin dan globulin tidak
mudah larut dalam air tetapi keduanya mudah larut dalam larutan asam lemah dan basa.
Protein ini larut dalam air dan larutan garam dengan ion rendah (konsentrasi garam 0,5%)
dan dapat dikoagulasikan pada suhu tinggi (90ºC). Kandungan protein sarkoplasma
berbeda pada setiap spesies bahkan di antara tipe ikan daging merah dan daging putih. Ikan
dengan daging putih mengandung protein sarkoplasma yang lebih tinggi daripada ikan
dengan daging merah Ekstrak ikan gabus juga memiliki kandungan zinc. Walaupun
beberapa makanan lain memiliki kandungan zinc yang lebih tinggi dibandingkan dengan

94
ikan gabus, tetapi zinc yang terkandung dalam ikan gabus tergolong tinggi apabila
dibandingkan dengan sumber makanan pada umumnya.

Tabel 6. Kandungan zinc dari beberapa makanan adalah sebagai berikut.

Jenis makanan Zinc (mg)


Ekstrak ikan gabus 3,34
Ikan gabus 0,4
Tuna 1,6
Telur ayam 1,5
Telur bebek 1,8

Manfaat ekstrak ikan gabus dalam kesehatan

Pemberian ekstrak ikan gabus sebagai diet pada pasien dengan hipoalbuminemia secara

signifikan meningkatkan tingkat albumin serum pada pasien. Untuk pemberian ekstrak

albumin dibutuhkan 2 kilogram ikan gabus setiap harinya selama lima hari untuk

meningkatkan albumin dari 1,8 g/100ml hingga mencapai kondisi normal, yaitu >3,5

g/100ml.

Pemberian ekstrak albumin kepada pasien pasca operasi mempercepat proses

pembentukan jaringan. Tingkat albumin serum berkaitan dengan kecepatan penyembuhan

luka. Sebagaimana telah diketahui bahwa proses penyembuhan luka sangat membutuhkan

protein sebagai dasar dari pembentukan jaringan kolagen. Penelitian menunjukkan sebuah

95
hubungan yang signifikan antara pemberian albumin serum dengan lamanya episode

penyembuhan luka.

Peneliti lain dalam penelitiannya membuktikan bahwa bubuk albumin ikan gabus lebih

efektif untuk menyembuhkan luka pada tikus putih jenis wistar dibandingkan dengan

bubuk yang didapat dari ikan mas (Cyprinus carpio), catfish (Clarias gariepinus), dan

milkfish (Chanos chanos).

Kapsul VipAlbumin

Tiap kapsul VipAlbumin mengandung ekstrak Ophiocephalus striatus 500 mg, dengan

kandungan albumin 150 mg. Berdasarkan uji klinik, kandungan albumin, asam amino,

dan mineral dalam kapsul tersebut dapat berfungsi mempertahankan tekanan osmotik

koloid kapiler dan meningkatkan kekebalan tubuh secara alamiah. Dosis kapsul

VipAlbumin adalah 3x2 kapsul/hari. Pada keadaan hipoalbuminemia, pasca operasi, dan

luka bakar dapat diberikan dengan dosis 3x4 kapsul/hari, sedangkan apabila digunakan

sebagai suplemen dapat diberikan 1x1 kapsul/hari.

Tabel 7. Kandungan dalam kapsul VipAlbumin

No. Kandungan Nilai Satuan


1. Protein 85,60 %
2. Albumin 30,20 %
3. Lemak 6,10 %
4. Omega 3 2,03 %
5. Omega 6 2,11 %
6. Omega 9 0,92 %

96
Tabel 7. Kandungan dalam kapsul VipAlbumin (lanjutan)

No. Kandungan Nilai Satuan


7. Vitamin
A 1500 IU/100gr
B1 0,90 mg/100gr
B2 1,11 mg/100gr
B6 0,70 mg/100gr
B12 0,76 mg/100gr
E 9,11 mg/100gr
D3 51,5 mg/100gr
8. Mineral
Kalsium (Ca) 186 mg/100gr
Phosphor (P) 126 mg/100gr
Magnesium (Mg) 39,0 mg/100gr
Zink (Zn) 3,0 mg/100gr
9. Anti bakteri Ig+ 2,11 IU/gr
10. Asam arakidonat 20,11 mg/100gr
11. Asam amino
Aspartat 1,04 gr/100gr
Glutamat 15,0 gr/100gr
Serin 1,00 gr/100gr
Glisin 1,11 gr/100gr
Alanin 2,11 gr/100gr
Leusin 1,60 gr/100gr
Valin 2,11 gr/100gr
Triptofan 3,00 gr/100gr
Hidroksi prolin 8,10 gr/100gr

97
Prolin 1,00 gr/100gr
Phenilalanin 0,81 gr/100gr
Histidin 1,00 gr/100gr

Tabel 7. Kandungan dalam kapsul VipAlbumin (lanjutan)

No. Kandungan Nilai Satuan


Sistein 1,07 gr/100gr
Lisin 1,46 gr/100gr
Tirosin 0,92 gr/100gr

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sintesa Albumin

Tingkat absorpsi

Proses absorpsi dimulai ketika dipeptida dan tripeptida diangkut ke dalam enterosit oleh

suatu sistem yang memerlukan H+. Asam amino yang dibebaskan dari peptida oleh

hidrolisis intrasel ditambah asam amino yang diserap dari lumen usus dan brush border,

diangkut keluar dari enterosit di sepanjang batas basolateral oleh paling sedikit lima

sistem transpor. Selanjutnya asam amino masuk ke darah porta hepatik. Penyerapan asam

amino berlangsung cepat di duodenum dan jejunum, tetapi penyerapan berlangsung

lambat di ileum. Sebanyak kurang lebih 50% protein yang dicerna berasal dari makanan

yang dikonsumsi, 25% dari protein getah pencernaan, dan 25% dari deskuamasi sel

mukosa. Hanya 2-5% protein dalam usus halus lolos dari proses pencernaan dan

penyerapan. Sebagian dari protein yang lolos kemudian dicerna oleh bakteri di kolon.

98
Protein yang ada dalam feses hampir semua berasal dari bakteri dan debris sel, bukan

berasal dari makanan.

Tingkat sintesis

Sintesa albumin terutama terjadi di hati, yaitu sebanyak 9-12 gram/hari pada orang

dewasa normal atau kira-kira 100-200 mg/kgBB/hari. Kecepatan sintesis albumin

bervariasi sesuai dengan stress fisiologis. Sintesis albumin dipengaruhi oleh faktor nutrisi

dan inflamasi.

Waktu paruh albumin adalah 14-20 hari, sedangkan kecepatan degradasi sekitar 4% per

hari.37 Metabolisme albumin terutama terjadi di endotel vaskuler. Katabolisme albumin

juga terjadi di sel-sel hati. Sebanyak ± 15 % albumin yang sudah tua usianya akan diurai

lagi menjadi berbagai komponen asam amino dan digunakan untuk berbagai sintesis

protein selanjutnya. Albumin yang tidak diurai sebanyak 40-60% di sel otot dan kulit.

Distribusi albumin terjadi di dalam dan juga di luar pembuluh darah (cairan interstisial).

Infeksi

Salah satu kondisi yang menjadi penyebab kondisi hipoalbuminemia adalah infeksi.

Sebagaimana telah diketahui bahwa laju sintesis albumin pada tiap orang berbeda salah

satunya dipengaruhi oleh stress fisiologis yang merupakan respon dari sitokin (TNF, IL-

6) yang dikeluarkan sebagai bagian dari proses inflamasi. Kondisi stress fisiologis, salah

satunya infeksi dapat menurunkan albumin serum dengan beberapa mekanisme:

1) Peningkatan permeabilitas vaskular (albumin berdifusi ke ruang

ekstravaskular)
99
2) Peningkatan degradasi

3) Penurunan sintesis dengan mengaktifkan TNFα, yang akan menurunkan

transkripsi gen albumin

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit dr. Moewardi keadaan

hipoalbumin juga akan memburuk pada penyakit infeksi, seperti penyakit infeksi pada

saluran napas. Hipoalbuminemia juga berkaitan dengan komplikasi dan mortalitas

pasien dengan penyakit infeksi akut. Seperti pada scrub thypus, 25-69,2% pasien

terbukti mengalami hipoalbuminemia. Mekanisme hipoalbuminemia pada penyakit

infeksi akut berkaitan dengan buruknya masukan protein secara oral, penurunan sintesis

protein dari hati, peningkatan katabolisme protein, dan peningkatan metabolisme

albumin karena kebocoran vaskular yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas

vaskular.

6. Edema Anasarka EC CKD


A. Definisi
CKD is defined as abnormalities of kidney structure or function, present for >3
months, with implications for health.

100
B. Klasifikasi
We recommend that CKD is classified based on cause, GFR category, and
albuminuria category (CGA). (1B)
Assign cause of CKD based on presence or absence of systemic disease and
the location within the kidney of observed or presumed pathologic-anatomic
findings. (Not Graded)

101
C. Etiologi
Major causes of chronic kidney disease:
a. Glomerular diseases
1) Primary glomerular diseases
- Focal and segmental glomerulosclerosis
- Membranoproliferative glomerulonephritis
- IgA nephropathy
- Membranous nephropathy
- Alport syndrome (hereditary nephritis)
2) Secondary glomerular diseases
- Diabetic nephropathy
- Amyloidosis
- Postinfectious glomerulonephritis
- HIV-associated nephropathy
- Collagen-vascular diseases (eg. SLE)
- HCV-associated membranoproliferative glomerulonephritis
b. Tubulointerstitial nephritis
- Drug hypersensitivity
- Heavy metals

102
- Analgesic nephropathy
- Sickle cell nephropathy
- Idiopathic
c. Cystic diseases
- Polycystic kidney disease
- Medullary cystic disease
d. Obstructive nephropathies
- Prostatic disease
- Nephrolithiasis
- Retroperitoneal fibrosis/tumor
- Congenital
e. Vascular diseases
- Hypertensive nephrosclerosis
- Renal artery stenosis

Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2011 mencatat penyebab


gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia. Penyebab PGK pada pasien
hemodialisis baru dari data tahun 2011 didapatkan sebagai berikut, E1
(Glomerulopati Primer/GNC) 14%, E2 (Nefropati Diabetika) 27%, E3 (Nefropati
Lupus/SLE) 1%, E4 (Penyakit Ginjal Hipertensi) 34%, E5 (Ginjal Polikistik) 1%, E6
(Nefropati Asam Urat) 2%, E7 (Nefropati obstruksi) 8%, E8 (Pielonefritis
kronik/PNC) 6%, dan E9 (Lain-lain) 6%, E10 (Tidak Diketahui) 1%.

Penyebab terbanyak adalah penyakit ginjal hipertensi dengan 34 % , hal ini


tidak sesuai dengan data epidemiologi dunia yang menempatkan nefropati diabetika
sebagai penyebab terbanyak.

103
D. Penatalaksanaan Konservatif
KDIGO CKD 2017
STRUCTURE AND PROCESS OF COMPREHENSIVE CONSERVATIVE
MANAGEMENT
- Conservative management should be an option in people who choose not to
pursue RRT and this should be supported by a comprehensive management
program. (Not Graded)
- All CKD programs and care providers should be able to deliver advance care
planning for people with a recognized need for end-of-life care, including those
people undergoing conservative kidney care. (Not Graded)
- Coordinated end-of-life care should be available to people and families through
either primary care or specialist care as local circumstances dictate. (Not Graded)
- The comprehensive conservative management program should include protocols
for symptom and pain management, psychological care, spiritual care, and
culturally sensitive care for the dying patient and their family (whether at home,

104
in a hospice or a hospital setting), followed by the provision of culturally
appropriate bereavement support. (Not Graded)

RATIONALE
These statements are intended to highlight the need for comprehensive
conservative care processes and resources in the care of this complex patient group.
There is increasing recognition that provision of organized care to those who are
dying or choose to not pursue dialysis and transplant care is of value to the patients
and their families. Clinicians involved in caring for these patients should be alerted
to this need. These statements are positioned so as to overtly state this need. In
different societies or cultural areas, the form and structure of this care may vary
tremendously and families or religious organizations may be able to deliver expert
and sensitive care. The details here are listed not to be prescriptive but rather to
articulate the ‘best practices’ in communities where resources may be available and
to serve a construct to review in those locations where resources are more limited.

EVIDENCE BASE
The evidence base for these statements is limited to documents describing the
burden of illness and unmet needs in patients with CKD as they decide either not to
pursue dialysis or to withdraw from RRT. As the readers will appreciate, there are
neither RCTs nor even large cohort studies to inform these statements within the
CKD populations. Analogies with oncology have been drawn and literature from
there has been used to justify the concepts above.
Patients with advanced CKD have extensive palliative care needs for years
before death. Throughout their illness trajectory, symptom burden is high.702–707
The number and severity of physical and emotional symptoms are similar to those of
cancer patients hospitalized in palliative care settings.703,708 Advanced CKD
patients managed without dialysis are equally symptomatic.706 An increasing
number of dialysis patients die after withdrawal of dialysis (10-15% in 1990, 20% in
105
2004), primarily due to poor QOL, representing the second leading cause of death
after CVD.
Conservative care focuses on slowing the decline in renal function, actively
managing symptoms, advance care planning, and the provision of appropriate
palliative care. In oncology, receiving early palliative care is associated with better
QOL, fewer emergency department visits and hospitalizations, less aggressive care
at the end of life, and surprisingly, longer survival.709 These observations suggest
that development of clinical models that integrate appropriate palliative care,
including the creation of conservative care pathways, are likely to be hugely
beneficial and would help avoid harmful dialysis to those patients unlikely to realize
benefit. Such conservative care programs are slowly being developed, primarily in
the UK and Canada.

MANAGEMENT OF PROGRESSION AND COMPLICATIONS OF CKD


Prevention of CKD progression
BP and RAAS interruption
- Individualize BP targets and agents according to age, coexistent cardiovascular
disease and other comorbidities, risk of progression of CKD, presence or absence
of retinopathy (in CKD patients with diabetes), and tolerance of treatment as
described in the KDIGO 2012 Blood Pressure Guideline. (Not Graded)
- Inquire about postural dizziness and check for postural hypotension regularly
when treating CKD patients with BP-lowering drugs. (Not Graded)
- Tailor BP treatment regimens in elderly patients with CKD by carefully
considering age, comorbidities and other therapies, with gradual escalation of
treatment and close attention to adverse events related to BP treatment, including
electrolyte disorders, acute deterioration in kidney function, orthostatic
hypotension and drug side effects. (Not Graded)
- We recommend that in both diabetic and non-diabetic adults with CKD and urine
albumin excretion <30 mg/24 hours (or equivalent*) whose office BP is
106
consistently >140mm Hg systolic or >90mm Hg diastolic be treated with BP-
lowering drugs to maintain a BP that is consistently ≤140mm Hg systolic and
≤90mm Hg diastolic. (1B)
- We suggest that in both diabetic and non-diabetic adults with CKD and with urine
albumin excretion of ≥30 mg/24 hours (or equivalent*) whose office BP is
consistently >130mm Hg systolic or >80mm Hg diastolic be treated with BP-
lowering drugs to maintain a BP that is consistently ≤130mm Hg systolic and
≤80mm Hg diastolic. (2D)
- We suggest that an ARB or ACE-I be used in diabetic adults with CKD and urine
albumin excretion 30–300 mg/24 hours (or equivalent*). (2D)
- We recommend that an ARB or ACE-I be used in both diabetic and non-diabetic
adults with CKD and urinealbumin excretion >300 mg/24 hours (or equivalent*).
(1B)
- There is insufficient evidence to recommend combining an ACE-I with ARBs to
prevent progression of CKD.(Not Graded)
- We recommend that in children with CKD, BP-lowering treatment is started
when BP is consistently above the90th percentile for age, sex, and height. (1C)
- We suggest that in children with CKD (particularly those with proteinuria), BP
is lowered to consistentlyachieve systolic and diastolic readings less than or equal
to the 50th percentile for age, sex, and height, unlessachieving these targets is
limited by signs or symptoms of hypotension. (2D)
- We suggest that an ARB or ACE-I be used in children with CKD in whom
treatment with BP-lowering drugs isindicated, irrespective of the level of
proteinuria. (2D)

CKD and risk of AKI


- We recommend that all people with CKD are considered to be at increased risk
of AKI. (1A)

107
In people with CKD, the recommendations detailed in the KDIGO AKI Guideline
should be followed for management of those at risk of AKI during intercurrent
illness, or when undergoing investigation and procedures that are likely to
increase the risk of AKI. (Not Graded)

Protein intake
- We suggest lowering protein intake to 0.8 g/kg/day in adults with diabetes (2C)
or without diabetes (2B) and GFR <30 ml/min/ 1.73 m2 (GFR categories G4-
G5), with appropriate education.
- We suggest avoiding high protein intake (>1.3 g/kg/day) in adults with CKD at
risk of progression. (2C)

Glycemic control
- We recommend a target hemoglobin A1c (HbA1c) of ~7.0% (53 mmol/mol) to
prevent or delay progression of the microvascular complications of diabetes,
including diabetic kidney disease. (1A)
- We recommend not treating to an HbA1c target of <7.0% (o53 mmol/mol) in
patients at risk of hypoglycemia. (1B)
- We suggest that target HbA1c be extended above 7.0% (53mmol/mol) in
individuals with comorbidities or limited life expectancy and risk of
hypoglycemia. (2C)
- In people with CKD and diabetes, glycemic control should be part of a
multifactorial intervention strategy addressing blood pressure control and
cardiovascular risk, promoting the use of angiotensin-converting enzyme
inhibition or angiotensin receptor blockade, statins, and antiplatelet therapy
where clinicallyindicated. (Not Graded)

Salt intake

108
- We recommend lowering salt intake to <90mmol (<2 g) per day of sodium
(corresponding to 5 g of sodiumchloride) in adults, unless contraindicated (see
rationale). (1C)
- We recommend restriction of sodium intake for children with CKD who have
hypertension (systolic and/or diastolic blood pressure>95th percentile) or
prehypertension (systolic and/or diastolic blood pressure>90th percentile and
<95th percentile), following the age-based Recommended Daily Intake. (1C)
- We recommend supplemental free water and sodium supplements for children
with CKD and polyuria toavoid chronic intravascular depletion and to promote
optimal growth. (1C)

Hyperuricemia
- There is insufficient evidence to support or refute the use of agents to lower serum
uric acid concentrations inpeople with CKD and either symptomatic or
asymptomatic hyperuricemia in order to delay progression of CKD.(Not Graded)

Lifestyle
- We recommend that people with CKD be encouraged to undertake physical
activity compatible withcardiovascular health and tolerance (aiming for at least
30 minutes 5 times per week), achieve a healthy weight(BMI 20 to 25, according
to country specific demographics), and stop smoking. (1D)

Additional dietary advice


- We recommend that individuals with CKD receive expert dietary advice and
information in the context of aneducation program, tailored to severity of CKD
and the need to intervene on salt, phosphate, potassium, andprotein intake where
indicated. (1B)

Penatalaksanaan konservatif penyakit ginjal kronik meliputi:


109
a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid antara lain gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius,
obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau
peningkatan aktivitas penyakit dasarnya
c. Memperlambat progesivitas penyakit ginjal kronik

Tujuannya adalah untuk mempertahankan kadar LFG dan mencegah


penurunan LFG lebih lanjut. Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah
terjadinya hiperfiltrasi glomerulus

Tujuan terapi konservatif pada penyakit ginjal kronik pre-dialisis antara lain
adalah:
a. Mencegah perburukan faal ginjal secara progresif
b. Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia
c. Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal
d. Memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.

Beberapa prinsip terapi konservatif antara lain adalah:


a. Mencegah perburukan faal ginjal secara progresif
- Hati-hati pemberian obat yang bersifat nefrotoksik
- Hindari gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
- Hindari proses kehamilan dan pemberian obat kontrasepsi
- Hindari instrumentasi (kateterisasi dan sistoskopi) tanpa indikasi medis
yang kuat
b. Pendekatan terhadap penurunan faal ginjal yang progresif lambat (slowly
progresif)
- Mengendalikan hipertensi sistemik dan intraglomerular
- Mengendalikan infeksi jika terjadi

110
- Diet protein yang proporsional
- Mengendalikan hiperfosfatemia
- Terapi terhadap hiperurisemia & keadaan asidosis metabolik
- Mengontrol kadar gula darah
c. Terapi alleviative gejala azotemia
- Pembatasan konsumsi protein hewani
- Terapi gatal-gatal pada kulit
- Terapi terhadap keluhan gastrointestinal
- Terapi terhadap keluhan neuromuskular seperti kebas atau kram otot
- Terapi kelainan tulang dan sendi
- Terapi anemia

Pembatasan Asupan Protein


Standar diet pada Penyakit Ginjal Kronik Pre Dialisis dengan terapi
konservatif adalah sebagai berikut:
a. Syarat Dalam Menyusun Diet
Energi 35 kkal/kgBB, pada geriatri (umur >60 tahun) cukup 30 kkal/kg BB,
dengan ketentuan dan komposisi sebagai berikut:
- Karbohidrat sebagai sumber tenaga, 50-60 % dari total kalori
- Kebutuhan protein sebesar 0,6 g/kg BB dan 50% dianjurkan berasal dari
protein dengan nilai biologis tinggi. Produk kedelai cukup aman untuk
selingan pengganti protein hewani sebagai variasi menu dengan jumlah
sesuai anjuran. Susu kacang kedelai dapat pula digunakan sebagai pengganti
susu sapi. Hal positif yang didapat dari protein nabati adalah
mengandung phytoestrogen yang disebut isoflavon yang memberikan
banyak keuntungan pada PGK. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa protein dari kedelai dapat menurunkan proteinuria,
hiperfiltrasi, dan proinflamatory cytokines yang diperkirakan dapat
menghambat penurunan fungsi ginjal lebih lanjut. Penelitian lain mengenai
111
diet dengan protein nabati pada pasien PGK adalah dapat menurunkan eksresi
urea, serum kolesterol total dan LDL sebagai pencegah kelainan pada jantung
yang sering dialami pada pasien PGK. Pada binatang percobaan dengan
penurunan fungsi ginjal yang diberi casein dibandingkan dengan protein
kedelai setelah 1-3 minggu ternyata dapat menunda penurunan fungi ginjal
lebih lanjut.

Protein diberikan lebih rendah dari kebutuhan normal, oleh karena itu diet
ini biasa disebut diet rendah protein atau low protein diet (LPD) .
Diet sangat rendah protein (very low protein diet/VLP) yaitu dengan
pemberian protein 0,3 gr/kg BB/hari yang dilengkapi dengan pemberian asam
amino esensial atau campuran asam amino esensial dan asam keto. Kedua diet
ini dapat mengurangi asupan nitrogen sekaligus memenuhi kebutuhan fisiologis
asam amino asensial dapat terpenuhi. Saat ini dampak diet rendah protein disertai
dengan pemberian asam keto merupakan topik yang banyak dibicarakan maupun
diteliti. Asam keto dimetabolisme oleh tubuh menjadi asam amino esensial dan
dapat mengurangi beban nitrogen pada ginjal, dapat memenuhi kebutuhan protein
tubuh tanpa menyebabkan kelebihan fosfor atau urea.
- Dosis suplemen asam keto yaitu 1 tablet/5 kgBB/hari (0,1 gr/kgBB/hari)
- Lemak untuk mencukupi kebutuhan energi diperlukan ± 30 % diutamakan
lemak tidak jenuh.
- Kebutuhan cairan disesuaikan dengan jumlah pengeluaran urine sehari
ditambah IWL ± 500 ml.
- Garam <2 garam/hari
- Kalium disesuaikan dengan kondisi ada tidaknya hiperkalemia 40-70
meq/hari
- Fosfor yang dianjurkan 5-7 mg/kg BB/hari (<800 mg/hari)
- Kalsium 1400-1600 mg/hari
- Sumber Vitamin dan Mineral
112
Pasien yang mengalami hiperkalemi perlu menghindari buah dan sayur tinggi
kalium dan perlu pengelolaan khusus yaitu dengan cara merendam sayur dan
buah dalam air hangat selama 2 jam, setelah itu air rendaman dibuang,
sayur/buah dicuci kembali dengan air yang mengalir dan untuk buah dapat
dimasak.

Efek Metabolik Terhadap Asupan Diet Protein


Hampir sama dengan pasien dengan penyakit hati atau penyakit herediter
metabolisme nitrogen, pada pasien PGK akan terjadi ‘intoleransi protein’ ketika
mereka makan protein yang terlalu banyak. Protein yang masuk ke dalam tubuh akan
mengalami metabolisme yaitu pertama, breakdown protein menghasilkan asam
amino yang diperlukan untuk cadangan sintesis protein tubuh yang baru. Kedua,
protein menghasilkan nitrogen yang merupakan sisa metabolime protein dan harus
diekskresikan melalui ginjal, bila terakumulasi akan menyebabkan gejala-gejala
uremia. Sisa metabolisme protein lainnya seperti guanidine, aromatic/aliphatic
amines akan memberikan efek toksik bila kadarnya tinggi dalam darah.
Urea merupakan metabolit nitrogen yang merupakan petanda adanya akumulasi dari
toksin-toksin yang lainnya. Jika seorang penderita PGK makan makanan yang
banyak mengandung protein, maka akan terakumulasi juga beberapa bahan yang lain
seperti phenol, asam urat, asid dan fosfat. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan
oleh Hakim dkk tahun 1988 terhadap 911 penderita PGK dengan serum kreatinin >
5 mg/dl yang mendapat perhatian nutrisi minimal memperlihatkan berbagai kelainan
metabolisme antara lain > 30% penderita dengan asidosis berat (bicarbonate serum <
15 mmol/l), hiperfosfatemia berat ( fosfat serum > 7mg/dl) dan azotemia berat ( BUN
> 120 mg/dl). Asupan tinggi protein juga dapat menyebabkan hiperurisemia, tidak
hanya meningkatkan risiko penyakit gout tetapi juga dapat menyebabkan sindroma
metabolik, hipertensi dan disfungsi endotel dengan penyakit vaskuler.
Alasan untuk mengontrol asupan protein pada penderita PGK(Fouque,2007)
 Adaptasi adekuat terhadap asupan rendah protein
113
 Menurunkan beban nefron yang masih tersisa
 Memperbaiki resistensi insulin
 Mengurangi stress oksidasi
 Mengurangi proteinuria
 Menurunkan kadar hormon paratiroid
 Memperbaiki profil lipid
 Efek aditif pada pemberian ACE inhibitor
 Menurunkan angka kematian atau memperlambat inisiasi dialysis sampai40%
 Number needed to treat yang menguntungkan (1 pasien akan terhindar dari
kematian atau inisiasi dialsis setiap tahun untuk setiap 18 pasien yang mendapat
diet rendah protein)
 Tidak adanya alasan objektif yang pasti untuk tidak merekomendasikan
dietrendah protein kepada kebanyakan penderita PGK

Penanganan terhadap hyperkalemia


Hiperkalemia salah satu komplikasi yang serius pada penderita uremia. Bila
K+ serum mencapai kadar sekitar 7 mEq/L, dapat terjadi disritmia yang serius dan
juga henti jantung. Selain itu, hiperkalemia makin diperberat lagi oleh hipokalsemia,
hiponetremia, dan asidosis. Karena alasan ini, jantung penderita harus dipantau terus
untuk mendeteksi efek hiperkalemia. Penanganan terhadap kondisi
hiperkalemia yaitu:
- Stop obat yang dapat meningkatkan kadar kalium seperti anti aldosteron,
penyekat-β non selektif, ACE-I, dan ARB.
- Stop makanan dan minuman yang mengandung kalium.
- Jika kalium serum >6 meq/L maka segera berikan kalsium glukonas 10% 10 ml
secara parenteral selama 2-3 menit atau kalsium chlorida10% 5-10 ml selama 2-
3 menit untuk mencegah gangguan ritme jantung.

114
- Berikan Insulin Regular 10U bersamaan dengan pemberian glukosa 40%
sebanyak 50 ml atau hanya glukosa 40% sebanyak 50 ml secara parenteral dapat
menurunkan kadar kalium 0,5-1,5 meq/L. Efek penurunan kalium dapat terlihat
pada menit ke-15, mencapai puncak pada menit ke-60 dan berakhir dalam
beberapa jam.
- Pemberian Beta2-agonis sepeti terbutalin 7 mikrogram/kgBB/subkutan,
Albuterol 10-20 mg secara nebulizer selama 10 menit dimana efek puncak dapat
terlihat dalam 90 menit, atau Albuterol 0,5 mg intravena efek puncak dapat
terlihat dalam 30 menit.

Mengurangi hipertensi intraglomerular dan proteinuria


Terapi farmakologis yang dipakai untuk mengurangi hipertensi glomerulus
ialah dengan pengggunaan antihipertensi yang bertujuan untuk memperlambat
progresivitas dari kerusakan ginjal yaitu dengan memperbaiki hipertensi dan
hipertrofi intraglomerular. Selain itu terapi ini juga berfungsi untuk mengontrol
proteinuria. Tekanan darah yang meningkat akan meningkatkan proteinuria yang
disebabkan transmisi ke glomerulus pada tekanan sistemik yang meningkat. Saat ini
diketahui secara luas, bahwa proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi
ginjal. Dengan kata lain derajat proteinuriaberkaitan dengan proses perburukan
fungsi ginjal pada PGK. Beberapa obat antihipertensi, terutama penghambat enzim
konverting angotensin (ACE inhibitor) dan angiotensin reseptor bloker melalui
berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal, hal ini
terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria. Jika
terjadi kontraindikasi atau terjadi efek samping terhadap obat-obat tersebut dapat
diberikan calcium chanel bloker, seperti verapamil dan diltiazem.
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler
Hal ini dilakukan karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik
disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler. Hal-hal yang termasuk ke dalam
pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuler adalah pengendalian diabetes,
115
pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemi, pengendalian anemia,
pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap
komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.

Penatalaksanaan anemia
Kejadian anemia pada PGK stadium V adalah hampir 100%. Penyebab
anemia adalah multifaktorial antara lain defisiensi besi, defisiensi asam folat, usia sel
eritrosit yang memendek, perdarahan kronik, inflamasi kronik, lingkungan uremik,
hiperparatiroid, keracunan aluminium, dan defisiensi produksi eritropoietin. Anemia
mempunyai dampak negatif berupa gangguan kardiovaskuler, meningkatkan
morbiditas dan mortalitas, maka anemia pada PGK perlu dikelola dengan baik.
Pengobatan anemia dilakukan sesuai dengan penyebabnya. Jika penyebab
anemia adalah karena defisiensi besi, maka terapinya adalah dengan memberikan
preparat besi. Terapi besi pada PGK menurut rekomendasi dari PERNEFRI yaitu:
sebelum dimulai terapi besi, terlebih dahulu dilakukan test dose, dimana terapi besi
fase koreksi bertujuan untuk mengkoreksi anemia defisiensi besi absolut dan
fungsional sampai status besi cukup, yaitu feritin serum >100μg/L dan saturasi
transferin >20%. Cara pemberian:
- Iron sucrose ( venofer sediaan 20 mg dan 100 mg): bila dapat ditoleransi 100 mg,
diencerkan dengan 100 ml NaCl 0,9%, drip iv dalam waktu paling cepat 15 menit.
- Iron dextran: 100 mg iron dextran diencerkan dengan 50 ml NaCl 0,9%.

Dosis besi fase koreksi:


 bila serum feritin ≤30μg/L : 6x100 mg dalam 4 minggu
 bila serum feritin 31 sampai ≤100 μg/L : 4x100 mg dalam 4 minggu

116
Dosis besi fase pemeliharaan: 80 mg tiap 2 minggu. Evaluasi status besi dilakukan 1
minggu pasca terapi besi fase koreksi. Bila status besi cukup, dilanjutkan dengan
terapi besi fase pemeliharaan.

Bila terjadi defisiensi asam folat, diberi pengobatan asam folat dengan dosis 1-5
mg/hari selama 3-4 minggu.

Jika penyebab anemia adalah karena defisiensi eritropoetin, maka dapat diberi terapi
EPO.Indikasi terapi EPO menurut rekomendasi dari PERNEFRI adalah bila Hb < 10
g/dL, Ht < 30% pada beberapa kali pemeriksaan dan penyebab lain anemia sudah
disingkirkan. Syarat pemberian adalah:
- Cadangan besi adekuat : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi transferin > 20%.
- Tidak ada infeksi yang berat.

Kontraindikasi pemberian EPO yaitu hipersensitivitas terhadap EPO. Keadaan yang


perlu diperhatikan pada terapi EPO :
- Hipertensi tidak terkendali
- Hiperkoagulasi
- Beban cairan berlebih/fluid overload

Terapi EPO ada 2 fase, yaitu fase koreksi dan fase pemeliharaan. Fase
koreksi bertujuan untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb/Ht tercapai.
- Pada umumnya mulai dengan 2000-4000 IU subkutan, 2-3x seminggu selama 4
minggu.
- Target respon yang diharapkan : Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik
2-4 % dalam 2-4 minggu.
- Hb,Ht dipantau tiap 4 minggu.
- Bila target respon tercapai: dosis EPO dipertahankan sampai target Hb tercapai
(> 10 g/dL)
- Bila terget respon belum tercapai dosis EPO dinaikkan 50%.
117
- Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4 minggu, turunkan dosis 25%.
- Pemantauan status besi perlu dilakukan selama pemberian EPO.

Terapi EPO fase pemeliharaan:


- Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (>10 g/dL) dengan dosis 2 atau 1 kali
2000 IU/minggu, Hb dan Ht dipantau setiap bulan, status besi diperiksa setiap 3
bulan.
- Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai > 12 g/dL (dan status besi cukup)
maka dosis EPO diturunkan 25%.

Agar pemberian terapi EPO optimal, perlu diberikan terapi penunjang seperti:
- Asam folat : 5 mg/hari
- Vitamin B6: 100-150 mg
- Vitamin B12 : 0,25 mg/bulan
- Vitamin C : 300 mg IV pada anemia defisiensi besi fungsional yang mendapat
terapi EPO
- Vitamin D: mempunyai efek langsung terhadap prekursor eritroid
- Vitamin E: 1200 IU ; mencegah efek induksi stres oksidatif yang diakibatkan
terapi besi iv.

Osteodistrofi ginjal
Salah satu tindakan pengobatan terpenting untuk mencegah timbulnya
hiperparatiroidisme sekunder dan segala akibatnya adalah diet rendah fosfat dan
dengan pemberian agen yang dapat mengikat fosfat dalam usus. Obat pengikat fosfat
ada dua jenis, yaitu
- Mengandung kalsium (calcium containing phosphate binder) sepeti kalsium
karbonat dan kalsium asetat.
- Tidak mengandung kalsium (noncalcium containing phosphate binder) seperti
lantanum karbonat.

118
Pencegahan dan koreksi hiperfosfatemia mencegah urutan peristiwa yang dapat
mengarah pada gangguan kalsium dan tulang. Apabila terjadi keterlibatan tulang
yang parah akibat kurangnya terapi preventif dengan agen pengikat fosfat, maka
diindikasikan terapi vitamin D atau paratiroidektomi. Bila lesi yang dominan adalah
osteomalasia maka perlu harus dimulai terapi vitamin D dengan pengawasan ketat.

Neuropati Perifer
Biasanya neuropati perifer simtomatik tidak timbul sampai gagal ginjal mencapai
tahap yang sangat lanjut. Tidak ada pengobatan yang diketahui untuk mengatasi
perubahan tersebut kecuali dengan dialisis yang dapat menghentikan
perkembangannya.

Pengobatan segera pada infeksi


Penderita gagal ginjal kronik memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap
serangan infeksi, terutama infeksi saluran kemih. Semua jenis infeksi dapat
meningkatkan proses katabolisme dan mengganggu nutrisi yang adekuat serta
keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga infeksi harus segera diobati untuk
mencegah gangguan fungsi ginjal lebih lanjut. Petunjuk untuk pemberian antibiotik:
- Hindari antibiotik yang bersifat nefrotoksik
- Perhatikan golongan antibiotik yang memerlukan penyesuaian dosis.

Penanganan terhadap dyslipidemia


Gangguan metabolism lipid merupakan bagian integral untuk modulasi
kerusakan progresif glomerulus. Dari laporan meta analisis dari 13 studi yang telah
dipublikasi, Fried dkk menyimpulkan koreksi farmakologik dislipidemia
memperlihatkan penurunan yang lambat fungsi ginjal walaupun dengan efek
minimal. Statin merupakan pilihan utama untuk tujuan renoprotektif karena
mempunyai efek pleiotropik pada vaskuler, mempunyai efek anti inflamasi, anti

119
oksidan, immunomodulasi, proangiogenik dan anti trombotik. Efek renoprotektif
statin telah didukung dari data post-hoc dari studi CARE.

7. Dislipidemia

Definisi

Dislipidemia Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan


peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang paling
utama adalah kenaikan kadar kolesterol total (>240mg/dl), kolesterol LDL(>160 mg/dl),
kenaikan kadar trigliserida (>200 mg/dl) serta penurunan kadar HDL (

Epidemiologi

Data dari American Heart Association tahun 2014 memperlihatkan prevalensi dari berat
badan berlebih dan obesitas pada populasi di Amerika adalah 154.7 juta orang yang berarti
68.2 % dari populasi di Amerika Serikat yang berusia lebih dari 20 tahun. Populasi dengan
kadar kolesterol ≥ 240 mg/dl diperkirakan 31.9 juta orang (13.8 %) dari populasi.

Klasifikasi

a. Dislipidemia primer

Dislipidemia primer adalah dislipidemia akibat kelainan genetik. Dislipidemia sedang


umumnya disebabkan oleh hiperkolesterolemia poligenik, dislipidemia kombinasi familial.
Sedangkan dislipidemia berat umumnya karena hiperkolesterolemia familial dan
dislipidemia remnant.

b. Dislipidemia sekunder

Dislipidemia sekunder adalah dislipidemia yang terjadi akibat penyakit lain misalnya
hipotiroidisme, sindrom nefrotik, diabetes mellitus, gagal ginjal kronik, dan lain-lain.

120
Diagnosis

Kriteria diagnosis yang digunakan pada penelitian ini untuk menegakkan diagnosis
dislipidemia menurut National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (
NCEP ATP III )

Ada sedikitnya 17 model metode penapisan untuk memprediksi kejadian kardiovaskular


berdasarkan faktor resiko yang ada . Skor risiko Framingham termasuk yang paling populer
121
oleh karena kepraktisannya, selain itu juga ada Pooled Cohort Equation yang menjadi dasar
dari ACC/AHA tahun 2013, Systematic Coronary Risk Evaluation (SCORE) dan juga
United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS). Perbandingan dari masing-masing
model metode penapisan ini dapat dilihat pada appendiks. Pada model metode penapisan
skor risiko dari Framingham dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Berdasarkan hasil dari skor tersebut, kita dapat menentukan kapan dilakukan penapisan
ulang dan langkah-langkah pengelolaan selanjutnya serta sasaran LDL yang harus dicapai.

American College of Cardiology (ACC) dan American Heart Association (AHA)


melihat ada beberapa keterbatasan dari skor risiko Framingham untuk memperkirakan

122
kejadian kardiovaskular (ASCVD) dalam 10 tahun kedepan. Menurut ACC/AHA 2013,
kekurangan skor risiko Framingham adalah karena pembuatan skor hanya berdasarkan data
dari populasi kulit putih semata dan juga luaran yang dilihat hanya penyakit jantung koroner
semata.

Terapi farmakologis Prinsip dasar dalam terapi farmakologi untuk dislipidemia baik pada
ATP III maupun ACC/AHA 2013 adalah untuk menurunkan risiko terkena penyakit
kardiovaskular. Berbeda dengan ATP III yang menentukan kadar K-LDL tertentu yang harus
dicapai sesuai dengan klasifikasi faktor risiko, ACC/AHA 2013 tidak secara spesifik
menyebutkan angka target terapinya, tetapi ditekankan kepada pemakaian statin dan
persentase penurunan K-LDL dari nilai awal. Hal tersebut merupakan hasil dari evaluasi
beberapa studi besar yang hasilnya menunjukkan bahwa penggunaan statin berhubungan
dengan penurunan risiko ASCVD tanpa melihat target absolut dari K-LDL.

123
Namun demikian, jika mengacu kepada ATP III, maka selain statin, beberapa
kelompok obat hipolipidemik yang lain masih dapat digunakan yaitu Bile acid sequestrant,
Asam nikotinat, dan Fibrat dengan profil sebagai berikut:

Jika mengacu kepada studi-studi maka hanya statin yang menunjukkan bukti bukti yang
konsisten sedangkan obat obat yang lain belum mempunyai bukti yang cukup kuat.
Sehingga ACC/AHA 2013 merekomendasikan statin sebagai obat utama pada pencegahan
primer dan sekunder. Obat lain hanya dipakai apabila didapatkan kontraindikasi atau
keterbatasan pemakaian statin. Penggunaan plant sterols, sterol esters, stanols atau stanol
esters belum mempunyai bukti yang cukup signifikan dalam pencegahan ASCVD.

124
125
126
8. Glukosuria

GLUKOSURIA
Definisi
Glikosuria Renalis (Glukosuria) adalah suatu keadaan dimana gula (glukosa)
dibuang ke dalam urine, meskipun kadar gula di dalam darah adalah normal atau
rendah.Glukosuria adalah penyakit yang ditandai adanya glukosa dalam urine.

Patogenesis
Tahap Pembentukan Urine :
1. Filtrasi Glomerular
Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus, seperti kapiler
tubuh lainnya, kapiler glumerulus secara relatif bersifat impermiabel terhadap protein
plasma yang besar dan cukup permabel terhadap air dan larutan yang lebih kecil
127
seperti elektrolit, asam amino, glukosa, dan sisa nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF
= Renal Blood Flow) adalah sekitar 25% dari curah jantung atau sekitar 1200
ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui
glomerulus ke kapsula bowman. Ini dikenal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR =
Glomerular Filtration Rate). Gerakan masuk ke kapsula bowman’s disebut filtrat.
Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler
glomerulus dan kapsula bowman’s, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler
glomerulus mempermudah filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik
filtrat dalam kapsula bowman’s serta tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi
glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh tekanan-tekanankoloid diatas namun juga
oleh permeabilitas dinding kapiler.
2. Reabsorpsi
Reabsorpsi di TubulusProksimal
 air (obligatif), protein yang terfiltrasi, glukosa , asam-asam amino, elektrolit
(Na+,HCO3, PO42-,K+).
 Tubular maximum (Tm): Jumlah maksimum suatu substansi dalam tubulus
sampai ditemukan di urin Glukosa: 375 mg/menit
Reabsorpsi di Tubulus Distal
 Penyesuaian akhir reabsorpsi Na+, air dan sekresi K+, H+,
 ADH : permeabilitas membran thd air ↑ (reabsorpsi fakultatif). Reabsorpsi aktif
air
 Na+  aldosteron
 Sekresi ion H+ suatu fungsi penting tubulus distal  keseimbangan asam-basa.
 pengasaman urin.
3. Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran darah melalui
tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi secara alamiah

128
dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara alamiah terjadi dalam tubuh
termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion hidrogen.
Pada tubulus distalis, transfor aktif natrium sistem carier yang juga telibat dalam
sekresi hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan ini, tiap kali carier
membawa natrium keluar dari cairan tubular, cariernya bisa hidrogen atau ion kalium
kedalam cairan tubular “perjalanannya kembali” jadi, untuk setiap ion natrium yang
diabsorpsi, hidrogen atau kalium harus disekresi dan sebaliknya.
Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi cairan ekstratubular
(CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium). Pengetahuan tentang pertukaran kation
dalam tubulus distalis ini membantu kita memahami beberapa hubungan yang
dimiliki elektrolit dengan lainnya. Sebagai contoh, kita dapat mengerti mengapa
bloker aldosteron dapat menyebabkan hiperkalemia atau mengapa pada awalnya
dapat terjadi penurunan kalium plasma ketika asidosis berat dikoreksi secara
theurapeutik.

129
Etiologi
Ginjal berfungsi sebagai penyaring darah. Pada saat disaring oleh ginjal, glukosa
dibuang bersamaan dengan zat-zat lainnya. Cairan yang telah disaring ini melewati
jaringan tubulus di dalam ginjal, dimana zat-zat yang diperlukan (termasuk glukosa)
diserap kembali dan zat-zat yang tidak diperlukan dibuang ke dalam air kemih. Pada
orang yang sehat, glukosa diserap kembali seluruhnya ke dalam darah.

Dalam keadaan normal, tubuh membuang glukosa ke dalam air kemih hanya jika
terlalu banyak glukosa dalam darah. Pada glikosuria renalis, glukosa dibuang ke dalam
air kemih meskipun kadar glukosa dalam darah adalah normal. Hal ini terjadi karena
adanya kelainan fungsi pada tubulus renalis.

Penyakit-Penyakit Yang Menyebabkan Glukosuria

130
Kriteria Diagnosis DM

ANALISA KASUS

 Pada kasus berdasarkan anamnesis tidak ada keluhan yang mengarah ke DM dan
berdasarkan kriteria diagnosis DM nilai GDS pada kasus masih dalam batas normal
(nilai GDS 127 mg/dL), namun untuk GDP dan GD2PP tidak dievaluasi pada pasien
ini. Sehingga penyebab dari glukosuri pada pasien ini bukan karena DM
 Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut di bagi menjadi empat
criteria berikut : usia pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun, lanjut usia (elderly)
131
ialah 60-74 tahun, lanjutusiatua (old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua (very old)
ialah di atas 90 tahun. Pasien pada kasus ini wanita berusia 68 tahun sehingga
termasuk kategori lanjut usia dan pada usia ini tidak mungkin pasien sedang hamil
 Pasien pada kasus ini didiagnosis CKD sesuai dengan kriteria diagnostic yang telah
dijelaskan sebelumnya, sehingga besar kemungkinan glukosuri pada kasus ini karena
kerusakan pada proses reabsorpsi di tubulus ginjal

9. Rales dan Ronkhi

Ronkhi adalah suara yang terjadi akibat penyumbatan pada bronkhus. Ronkhi dibagi menjadi
2 bahagian berdasarkan massa yang menyumbatnya, bila massa yang menyumbatnya mudah
dipindahkan pada saat batuk disebut sebagai ronkhi basah, bila sumbatan tersebut sulit untuk
dipindahkan disebut sebagai ronkhi kering. Baik ronkhi kering maupun ronkhi basah dapat
terdengar jelas pada saat inspirasi, namun bisa juga didengar pada saat ekspirasi.
Berdasarkan lumen bronkhus yang tersumbat, maka ronkhi dapat juga dibedakan atas
gelembung kecil, sedang dan besar. Suara yang terdengar mirip seperti suara gelembung air
ditimbulkan yang ditiup memakai pipa sedotan minuman, gemericik suara yang terjadi
tergantung pada diameter sedotan yang dipergunakan.

1. Ronki kering, merupakan bunyi yang terputus, terjadi oleh getaran dalam lumen
saluran nafas akibat penyempitan. Kelainan ini terjadi pada mukosa atau adanya
sekret yang kental dan lengket. Terdengar lebih jelas pada ekspirasi walaupun pada
inspirasi sering terdengar juga. Suara ini dapat terdengar di semua bagian bronkus,
makin kecil diameter lumen, makin tinggi dan makin keras nadanya. Wheezing
merupakan ronki kering yang tinggi nadanya dan panjang yang biasa terdengar pada
serangan asma.
2. Ronki basah. Ronki basah sering juga disebut dengan suara krekels (crackles) atau
rales. Ronki basah merupakan suara berisik dan terputus akibat aliran udara yang
melewati cairan. Ronki basah halus, sedang atau kasar tergantung pada besarnya

132
bronkus yang terkena dan umumnya terdengar pada inspirasi. Ronki basah halus
biasanya terdapat pada bronkiale, sedangkan yang lebih halus lagi berasal dari
alveolus yang sering disebut krepitasi, akibat terbukanya alveoli pada akhir inspirasi.
Sifat ronki basah ini dapat nyaring (infiltrat)atau tidak nyaring (pada edema paru).
Krekel dapat dihilangkan dengan batuk, tapi mungkin juga tidak. Krekels
mencerminkan inflamasi atau kongesti yang mendasarinya dan sering timbul pada
kondisi seperti pneumonia,bronkitis, gagal jantung kongesti, bronkiektasis, dan
fibrosis pulmonal serta khas pada pneumonia dan interstitial atau fibrosis.Timing
(waktu) ronkhi ini sangat penting. Ronki inspirasi awal menunjukan kemungkinan
penyakit pada jalan napas kecil, dan khas untuk hambatan jalan napas kronis. Ronki
lainnya terdengar pada inspirasi awal dan bersifat kasar sedang. Ronki berbeda
dengan yang terdengar pada gagal ventrikel kiri yang terjadi di akhir siklus
pernapasan.

Ronki pada inspirasi akhir atau paninspirasi menunjukan kemungkinan penyakit yang
mengenai alveoli dan dapat bersifat halus, sedang, atau kasar. Ronki halus dideskripsikan
sebagai bunyi rambut yang digosok-gosok dengan jari-jari tangan. Bunyi ini secara khas
disebabkan oleh fibrosis paru. Ronki sedang biasanya akibat gagal ventrikel kiri, bila ada
cairan alveoli merusak fungsi dari surfaktan yang disekresi dalam keadaan normal. Ronki
kasar khas untuk pengumpulan sekret yang tertahan dan memiliki kualitas seperti mendeguk
yang tidak mengenakan. Bunyi ini cenderung berubah dengan batuk yang juga memiliki
kualitas yang sama. Bronkiektasis paling sering menyebabkan terjadinya ronki, tetapi setiap
penyakit yang menimbulkan retensi sekret dapat menyebabkan gangguan ini.

Ronki mungkin disebabkan oleh hilangnya stabilitas jalan napas perifer yang kolaps pada
saat ekspirasi. Tekanan inspirasi yang tinggi menyebabkan terjadinya pemasukan udara
cepat ke dalam unit-unit udara distal. Hal ini menyebabkan pembukaan yang cepat dari
alveoli dan bronkus kecil atau bronkus sedang yang mengandung sekret pada bagian-bagian
paru yang berdeflasi sampai volume residu.

133
WHEEZING

Suara ini dapat didengar baik pada saat inspirasi maupun ekspirasi. Wheezing merupakan
suara nafas seperti musik yang terjadi karena adanya penyempitan jalan udara atau tersumbat
sebagian. Obstruksi seringkali terjadi sebagai akibat adanya sekresi atau edema. Bunyi yang
sama juga terdengar pada asma dan banyak proses yang berkaitan dengan bronkokonstriksi.
Mengi dapat dihilangkan dengan membatukannya.

Kondisi ini biasanya disebabkan oleh bronkospasme, edema mukosa, hilangnya penyokong
elastik, dan berlikunya saluran nafas. Asma maupun obstruksi oleh bahan intralumen, seperti
benda asing atau sekresi yang diaspirasi, merupakan penyebabnya pula. Wheezing yang
tidak berubah dengan batuk, mungkin menunjukan bronkus yang tersumbat sebagian oleh
benda asing atau tumor.

Mengi berasal dari bronki oleh osilasi kontinyu dari dinding jalan nafas yang menyempit.
Mengi cenderung menjadi lebih keras pada ekspirasi. Ini disebabkan penyempitan jalan
nafas terjadi bila tekanan paru lebih tinggi seperti pada ekspirasi. Mengi inspirasi
menunjukan penyempitan jalan nafas yang berat.

Mengi dapat berasal dari bronki dan bronkiolus yang kecil. Bunyi yang terdengar
mempunyai puncak suara tinggi dan bersiul. Ronki berasal dari bronki yang lebih besar atau
trakea dan mempunyai bunyi yang berpuncak lebih rendah dari sonor. Bunyi-bunyi tersebut
terdengar pada klien yang mengalami penurunan sekresi.

Frekuensi mengi bervariasi. Nada ditentukan kecepatan aliran udara, dan tidak berkaitan
dengan panjangnya jalan nafas dan ukurannya. Mengi bernada tinggi, ditimbulkan bronkus
kecil, kualitasnya seperti bunyi siulan, sedangkan mengi yang bernada rendah timbul dari
bronkus yang lebih besar.

Mengi merupakan petunjuk yang buruk untuk menentukan berat ringannya obstruksi jalan
nafas. Pada obstruksi jalan napas berat, mengi dapat menghilang karena ventilasi sangat
134
rendah sehingga kecepatan aliran udara berkurang di bawah tingkat kritis yang diperlukan
untuk menimbulkan bunyi napas. Obstruksi bronkus menetap seperti pada karsinoma paru,
cenderung menyebabkan mengi terlokalisasi atau unilateral yang memiliki nada tunggal
yang musikal (monofonik) dan tidak menghilang dengan batuk. Suatu dada yang sunyi pada
pasien dengan serangan asma akut biasanya merupakan tanda buruk dan menunjukan
beratnya obstruksi.

135
Daftar Pustaka

1. Miwa H, Ghoshal UC, Gonlachanvit S, et al. Asian consensus report on


functional dyspepsia. J Neurogastroenterol Motil 2012;18:150-68.
2. National Consensus on Management of Dyspepsia. The Indonesian Society of
Gastroenterology 2017
3. Fauci AS, Lane L.C. Chronic kidney disease. Dalam: Longo DL., Fauci AS,
Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Penyunting. Horrison’s
principles of internal medicine. Edisi ke 19. New York: McGraw-Hill;2015
4. Guidelines On Urological Infections, European Association Of Urology 2015
5. Nguyen H.T. 2004. Bacterial Infection of the Genitourinary Tract In : Tanagho
E.A., McAninch J.W. Editors: Smith’s General Urology. 16th ed. Singapore:
McGraw-Hill Companies. p. 203-18
6. Smith’s General urology 17th edition, 2008, halaman 194
7. Sukandar, E. 2004. Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid I. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
8. Sukandar, E.. 2009. Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid I. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
9. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2018. Cited April 26
2018. Available at : http://goldcopd.org/wp-content/uploads/2017/11/GOLD-
2018-v6.0-FINAL-revised-20-Nov_WMS.pdf
10. Agung M, Hendro W. 2005. Pengaruh kadar albumin serum terhadap lamanya
penyembuhan luka operasi. Artikel penelitian dexa media. 1(18):33-37.
11. Altıntepe, Gezginç, Tonbul. Etiology and prognosis in 36 acute renal failure cases
related to pregnancy in central anatolia. Eur J Gen Med 2005; 2(3): 110-113.
12. Anderson, Sylvia Price. Pathofisiologi: Konsep Klinis proses-proses penyakit
edisi 6 volume II. ECG. Jakarta : 2006
13. Annonymous. Renal failure 2009 : (online), (http://wikipedia.com, diakses 20
januari 2010).
136
14. Aspelin P, Aubry P, Fransson sg. Efek nefrotoksik pada pasien risiko tinggi yang
menjalani angiografi. NEJM 2006; 348 (6): 491
15. Boediwarsono.Gagal ginjal akut. segi praktis pengobatan penyakit
dalam.Surabaya : Penerbit PT Bina Indra Karya 1985.
16. Braunwald E : Edema. In Longo DL, Kasper DL (eds) : Harrison’s principles of
internal medicine, 18th ed. New York. Mc Graw Hill Medical. 2012.
17. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi IV 2006, Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
18. Cano, Fiaccadori E, P, Tesinsky. ESPEN guidelines on enteral nutrition: adult
renal failure. Clinical Nutrition 2006; 25:295–310.
19. Dennis L. Kasper, Eugene Braunwald, Anthony Fauci. Harrison's Principles of
Internal Medicine 16th Edition. USA : McGraw-Hill, 2004.
20. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. 2007. Farmakologi dan Terapi
Edisi 5. Jakarta: Bagian Farmakologi FK UI.
21. Dong-Min Kim, 1 Dae Woong Kang, 1 Jong O Kim. Acute Renal Failure due to
Acute Tubular Necrosis caused by Direct Invasion of Orientia tsutsugamushi. J.
Clin. Microbiol 2007; 1128.
22. Esson, Robert W. Schrier. Diagnosis and treatment of acute tubular necrosis.
Annals of Internal Medicine 2002;137.
23. Evaluation of Proteinuria : An Approach for the Internist, McConnell KR
24. Guidelines On Urological Infections, European Association Of Urology 2015
25. Jacob. Acute renal failure. Indian J Anaesth 2003; 47(5):367-372.
26. Lippincott Williams & Wilkins. 2009. Buku Pegangan Uji Diagnostik, Ed.3.
Jakarta : EGC.
27. Marino PL. Fluid and Electrolyte Disorder. In : The ICU Book. Williams &
Wilkins. Baltimore, Maryland, USA. Second Edition 1998, 647-673.
28. Markum,M.H.S. Gagal Ginjal Akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, editors. Buku
Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
2006.
137
29. Nguyen H.T. 2004. Bacterial Infection of the Genitourinary Tract In : Tanagho
E.A., McAninch J.W. Editors: Smith’s General Urology. 16th ed. Singapore:
McGraw-Hill Companies. p. 203-18
30. Nissenson. Epidemiology and pathogenesis of acute renal failure in the ICU.
Kidney International 1998; 53; 7-10.
31. Noer, Muhammad Sjaifullah, Ninik Soemyarso. 2006. Bag/ SMFIlmu Kesehatan
Anak, Fakultas Kedokteran UNAIR. Surabaya, Indonesia.
32. Park GR, Manara AR. Fluid and Electrolyte Balance. In : Intensive Care, Pocket
Reference. Castle House Publication, UK. First Printing. 1988, 84-94.
33. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Sylvia A. Price & Lorraine
M. Wilson
34. Price, Sylvia A. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses - Proses Penyakit
Volume 2. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.
35. Proteinuria : Diagnostic Principles and Procedures, Abuelo JG
36. Proteinuria in Adults : A Diagnostic Approach, Michael F. Carroll M.D and
Jonathan L. M.D, University of Winconsin-Madison Medical School, Madison,
Wisconsin
37. Rahardjo, J.Pudji. Kegawatan pada Gagal Ginjal. Penatalaksanaan Kedaruratan
di bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat infomasi dan Penerbitan FKUI
2000.
38. Rodenberger CH, Ziyedeh FN. Electrolyte Disorders. In : The Intensive Care
Manual W.B. Saunders Company . First Edition 2001, 425-439.
39. Schlegel. Computed radionuclide urogram for assesing acute renal failure. AJR
1980; 134.
40. Schrier, Wang, Poole, Amit Mitra. Acute renal failure: definitions, diagnosis,
pathogenesis, and therapy. The Journal of Clinical Investigation 2004;114.
41. Smith’s General urology 17th edition, 2008, halaman 194
42. Stapleton FB, Jones DP, Green RS. Acute renal failure in neonates: Incidence,
etiology and outcome. Pediatr Nephrol 1987; 1; 314-320.
138
43. Stein,Jay H. Kelainan ginjal dan elektrolit. panduan klinik ilmu penyakit
dalam.edisi ke-3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2001.
44. Sukahatya. Gagal ginjal akut 2006 : (online), (http://www.medicastore.com,
diakses 20 januari 2010.
45. Sukandar, E. 2004. Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid I. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
46. Sukandar, E.. 2009. Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid I. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
47. Takaoka, Kuro, Matsumura. Role of endothelin in the pathogenesis of acute renal
failure. Drug News Perspect 2000, 13(3): 141.
48. TEOH. Fluid and Electrolyte Therapy. In : Intensive Care Manual. Butterworths
Pty Ltd, Australia. Second Edition, 1985, 321-328.
49. Textbook of Nephrology, 3rd Edition 1995, Baltimore : Wiliam & Wikins
50. Trayes KP : Edema : diagnosis and management. Am. Fam. Physician.
2003;88(2): 102-110.
51. Yagil, Myers, Jamison. Course and pathogenesis of postischemic acute renal
failure in the rat. Am J Physiol Renal Physiol 1988; 255.
52. Zimmerman JL, Taylor RW, Dellinger RP, Farmer JC. Management of Life-
Threatenig Electrolyte and Metabolic Disturbance In : Course Text of
Fundamental Critical Care Support. Society of Critical Care Medicine. Second
Edition, March 1999, 143-152.

139

Anda mungkin juga menyukai