Anda di halaman 1dari 13

Taat Beribadah, Tapi Banyak Korupsi

19 Oktober 2017. Dilihat: 953

Sebuah studi yang pernah dilakukan oleh lembaga survei asal Amerika Serikat, Gallup, beberapa tahun
lalu menyajikan suatu kesimpulan yang sangat menarik ; makin miskin suatu negara, penduduknya
menganggap makin penting peran agama di dalam kehidupan. Sebaliknya makin kaya negara,
penduduknya menganggap peran agama kurang penting dalam hidupnya.

Survei tersebut dilakukan di 40 negara dengan 1000 responden di tiap negaranya. Yang masuk katagori
miskin, menurut survei tersebut adalah negara yang pendapatan perkapitanya di bawah USD 2.000. Lalu
negara kaya adalah negara yang perdapatan perkalitanya di atas USD 25.000.

Kemudian pertanyaannya, mengapa di negara yang penduduknya menganggap peran agama kurang
penting, tetapi tingkat korupsinya rendah. Denmark misalnya, hanya ada 19 persen dari warganya yang
menganggap agama itu penting. Tetapi negara ini merupakan yang paling bersih. Bandingkan dengan
negara kita yang mayoritas beragama Islam dan pastinya percaya agama itu penting, korupsinya luar biasa.
Peringkatnya di angka 90 dari 174 negara.
Lalu bagaiamana sebenarnya peran agama dalam upaya pemberantasan korupsi? Karena sebenarnya semua
agama mengajarkan kebaikan, tidak ada yang mengajarkan untuk berbuat curang, menykiti orang lain atau
mengambil hak orang lain.

Saya melihat ada kesalahan dari kebanyakan masyakarat kita dalam melihat atau memahami tentang
kesalehan. Kesalehan masih dipahami sebagai kesalehan individual. Kalau ada orang taat beribadah,
penampilannya religius atau sering mengajari orang sekitarnya mengaji misalnya, masyarakat langsung
mempersepsikannya sebagai orang baik. Orang saleh. Ini bukan hanya dalam masalah korupsi saja, tetapi
juga dalam masalah terosisme.

Secara personal mereka adalah orang yang taat dalam beragama, tetapi itu saja belum cukup. Kesalehan
dalam beragama juga harus bisa diwujudkan secara sosial, sebagai ekspresi wujud keimanan kita dalam
menggunakan anggota tubuhnya. Keimanan itu tidak cukup hanya dengan hati (tashdiq bil Qalbi),
diikrarkan dengan lisan (iqrar bil lisan) dan tetapi juga dengan amal perbuatan (amal bil arkan).

Amal perbuatan itu bisa dengan melakukan perbuatan yang baik. Yang bersifat personal misalnya tidak
berzina, berjudi dan miras. Tetapi tidak hanya di situ saja, bisa juga menahan diri untuk tidak melakukan
hal-hal yang dilarang yang berhubungan dengan orang lain. Misalnya menyakiti orang lain, mencuri atau
korupsi.

Maka dalam pengajaran agama, penekanannya pun tidak hanya pada aspek ritual yang bersifat personal,
tetapi juga aspek yang bersifat kesalehan sosial. Keduanya harus berimbang. Jadi tidak bisa kalau ada
orang yang mengatakan; tidak shalat tidak apa-apa, yang penting berbuat baik dan tidak tidak korupsi.

Membangun budaya masyarakat yang berintegritas memang buka pekerjaan instan. Tidak bisa dilakukan
dadakan atau secara tiba-tiba. Penanaman nilai-nilai ini harus dilakukan sejak mulai kecil.

Sejak awal sudah ditanamkan, misalnya dengan mengatakan, “Kalau kamu membuang sampah
sembarangan kamu bukan orang yang beriman. Kalau kamu menyakiti teman, kamu bukan orang
beriman.” Kemudian diterangkan juga dampak perbuatan tersebut bagi orang lain. Itu harus ditanamkan
sejak awal. Dari sisi pengajarnya juga harus orang-orang yang benar-benar mempunyai integritas dan
sekaligus yang mempunyai sensitifitas terhadap persoalan seperti korupsi. Maka gurunya juga harus di-
dril, harus diberikan wawasan baru sehingga bisa diturunkan kepada anak didiknya.

Peran guru sangat penting dan sangat menentukan hasilnya. Karena bisa saja kurikulum atau bahan yang
diajarkan sudah baik, tetapi kalau gurunya tidak, itu tidak ada artinya. Masih bagus, kalau kurikulumnya
kurang tetapi gurunya berwawan dan berintegritas. Itu masih bisa diharapkan.

Melakukan hal itu bukan hanya tanggung jawab guru sekolah atau orang tua saja, tetapi semua pihak. Guru
di sini juga dalam arti orang yang berperan dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaan seperti da’i,
khotib, pendeta atau pastur dan lainnya. Mereka itu orang yang bisa membentuk karakter muridnya,
masyarakatnya dan jamaahnya. Kalau orang-orang ini sudah tercerahkan secara agama, dalam arti mampu
menyeimbangkan fungsi privat dan sosial dalam agama. Mungkin keadaan masyarakat tidak akan seperti
sekarang.

Ada sebuah cerita yang menarik. Ketika ditanyakan kepada pejabat di negara yang korupsinya sangat
rendah seperti Finlandia atau Denmak, “Apa yang membuat negara anda seperti itu padahal ritual
keberagamannya sedikit, hukumnya juga biasa saja? Apa yang telah dilakukannya?” Mereka menjawab,
karena sejak kecil sudah diajarkan dan ditekankan terhadap hal-hal yang sifatnya privat dan publik. Itu
saja. Sehingga ketika dewasa orang tahu mana yang boleh dan mana yang tidak boleh.

Maka, khususnya di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), kalau biasanya kita hanya memberikan training
mengenai permasalahan agama, sekarang kita masukkan juga persoalan publik, termasuk mengenai
korupsi. Karena agama juga harus punya peran dalam hal seperti ini. Kalau tidak, agama akan menjadi
terasing terhadap persoalan riil yang sebenarnya dihadapi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh: Dr. Rumadi | Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM Nahdlatul Ulama

Fakta Korupsi
Informasi di laman ini didasarkan pada Naskah Akademik Prakarsa
Bulaksumur Anti Korupsi dan beberapa hasil penelitian di bidang korupsi
yang dapat diakses di: RePec dan SSRN.

Mitos: Tujuan nasional di suatu negara tetap akan tercapai meskipun


korupsi marak di negeri tersebut

Fakta: Salah satu ciri negara maju adalah tingkat korupsi cenderung
rendah. Hal ini berbeda dengan negara sedang berkembang, yang belum
memiliki sistem kelembagaan yang baik sehingga tingkat korupsi
biasanya relatif tinggi dibanding di negara maju. Korupsi menghancurkan
sendi-sendi negara, pemerintah dan masyarakat. Tidaklah berlebihan jika
Kofi A. Annan, mantan Sekjen PBB, menggambarkan dampak korupsi
sebagai berikut (UN, 2004):

“korupsi ibarat penyakit menular yang menjalar pelan namun


mematikan, menciptakan kerusakan yang sangat luas di masyarakat.
Korupsi merusak demokrasi dan supremasi hukum, mendorong
pelanggaran terhadap hak azasi manusia, mendistorsi perekonomian,
menurunkan kualitas kehidupan dan memungkinkan organisasi
criminal, terorisme dan berbagai ancaman terhadap keamanan untuk
berkembang’

Perlu dicatat, bahwa korupsi menciptakan misallocation of resources, dan


beban sosial korupsi tidak saja menjadi beban bagi generasi saat ini,
namun juga beberapa generasi ke depan.

Tujuan nasional bangsa Indonesia termaktup dalam Pembukaan UUD


1945 alienia 4 yaitu: 1) melindungi segenap bangsa Indonesia; 2)
memajukan kesejahteraan umum; 3) mencerdaskan kehidupan bangsa;
dan 4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan pada
kedamaian abadi dan keadilan sosial. Mengingat masifnya dampak
korupsi terhadap kehidupan bernegara dan bermasyarakat, maka selama
korupsi masih marak, mustahil tujuan nasional akan tercapai. Hal ini juga
berlaku pada RPJP, RPJM, Nawa Cita yang dikemukakan Presiden Jokowi,
APBN, dan kebijakan Kementerian dan Lembaga (K/L) serta kebijakan
pemerintah daerah, dimana tujuan semua kebijakan tersebut tidak akan
pernah tercapai selama korupsi masih marak di Indonesia.

Mitos: Tindak pidana korupsi hanya terjadi di sektor publik


Fakta: Tindak pidana korupsi tidak saja terbatas di sektor publik, namun
juga di sektor swasta dan bahkan lembaga dan perusahaan internasional
yang beroperasi di suatu negara. Patut dicatat bahwa di Indonesia,
definisi korupsi terbatas untuk sektor publik mengingat demikianlah
batasan definisi korupsi sesuai dengan UU Antikorupsi (UU no 31/1999 jo
UU 20/2001). Sesuai dengan UNCAC (United National Convention Against
Corruption) definisi korupsi tidak saja mencakup korupsi di sektor publik,
namun juga di sektor swasta maupun lembaga/organisasi/perusahaan
asing yang beroperasi di suatu negara. Bahkan the Bribery Act di Inggris
mampu menjerat koruptor dan praktik korupsi yang terjadi di luar wilayah
geografi Inggris, selama individu/lembaga asing tersebut memiliki
hubungan kerja dengan pemerintah/lembaga yang berafiliasi dengan
Inggris.

Mitos: Tindak pidana korupsi terpisah dari tindak pidana pencucian uang
(TPPU)

Fakta: Kegiatan TPPU tidak dapat dipisahkan dari korupsi. Menurut


UNCAC (UN, 2004), pencucian uang hasil tindakan korupsi adalah bagian
dari cakupan kegiatan yang didefinisikan sebagai korupsi. Pemberantasan
pencucian uang adalah bagian dari penanggulangan korupsi. Sesuai
dengan UNCAC (UN, 2004), strategi penanggulangan korupsi terdiri dari
empat pilar: a) penindakan korupsi; b) pencegahan korupsi; c)
pemberantasan TPPU hasil korupsi; dan d) kerjasama trans-nasional
untuk penanggulangan korupsi dan pencucian uang. Di Indonesia, UU
8/2010 tentang TPPU meningkatkan peran PPATK sebagai lembaga
penegak hukum di bidang TPPU. Berdasarkan UU tersebut, peran PPATK
yang semula pasif berubah menjadi aktif dan berwenang melakukan
analisis potensi TPPU secara mandiri dan kemudian membagikan hasil
analisis kepada lembaga penegak hukum lain. PPATK juga memiliki hak
untuk menannyakan kepada lembaga penegak hukum lain tentang
penggunaan data-data yang disajikan ataupun dikirimkan oleh PPATK.

Mitos: Dampak korupsi hanya terbatas pada besarnya uang negara yang
diambil oleh para koruptor dan tidak berdampak sama sekali terhadap
demokrasi.

Fakta: Hubungan antara korupsi dan demokrasi seperti halnya huruf ‘U’
yang terbalik, seperti teori yang dikemukakan oleh Mohtadi dan Roe
(2003). Wirotomo (2013) menguji teori Mohtadi dan Roe (2003) dengan
pendekatan regresi panel memanfaatkan data 161 negara dari 1995-
2011. Quality of Government (QoG) dataset digunakan untuk mengukur
kinerja pemerintahan suatu negara, sementara Corruption Perception
Index (CPI) dari Transparency International digunakan sebagai parameter
korupsi dan Democratization Index dari Polity IV digunakan sebagai
parameter demokrasi.
Gambar di atas menunjukkan hasil regresi panel yang menunjukan
korupsi dan demokrasi memiliki hubungan “U terbalik” yang secara
statistik signifikan (Wirotomo, 2013). Korupsi meningkat pada awal
demokratisasi namun setelah pada titik tertentu, korupsi
menurun.Dimana titik terendah korupsi tercapai pada tingkat demokrasi
yang tinggi.

Mitos: Korupsi hanya berdampak pada keuangan negara namun tidak


berdampak terhadap pelemahan aspek kelembagaan dalam suatu negara.

Fakta: Korupsi selalu melemahkan aspek kelembagaan di suatu negara.


North (1990) mendefinisikan aspek kelembagaan sebagai aturan main
yang berkembang di suatu masyarakat secara manusiawi agar terbentuk
interaksi yang kondusif antar anggota masyarakat. Pembangunan
kelembagaan bertujuan untuk menekan biaya transaksi, sehingga
transaksi antar masyarakat meningkat, perekonomian negara semakin
kompetitif dan roda kegiatan ekonomi akan menjadi semakin efisien.
Namun demikian, korupsi justru menciptakan dampak pelemahan
kelembagaan sehingga biaya transaksi cenderung meningkat sejalan
dengan maraknya korupsi. Pada gilirannya, ketika korupsi marak di suatu
negara, daya saing negara tersebut akan mengalami kemunduran dan
pada akhirnya menurunkan kesejahteraan masyarakat di negara tersebut
(Pradiptyo, et al, 2015).

Keterkaitan antara korupsi dengan aspek kelembagaan dapat diukur


dengan menghubungkan IPK dengan berbagai indikan kelembagaan
pemerintah lainnya, misalnya Government Effectiveness yang diterbitkan
PRS Group dan Indicator of Quality of Government, yang diterbitkan
Freedom House. Didasarkan data panel IPK dan kedua indikan
kelembagaan pemerintah selama periode 1995-2013, diperoleh hasil
seperti pada Gambar 1 dan 2 berikut:
Gambar 1: Scatter Plot keterkaitan antara Indek Persepsi Korupsi dan
Efektivitas

Pemerintahan (Pradiptyo, et al, 2015)

Gambar 2: Scatter Plot keterkaitan antara Indek Persepsi Korupsi dan


Kualitas

Pemerintahan (Pradiptyo, et al, 2015)

Kedua gambar menunjukkan adanya hubungan yang positif dan signifikan


antara IPK dengan efektivitas pemerintahan dan kualitas pemerintahan.
Semakin tinggi IPK suatu negara, yang berarti korupsi di negara tersebut
rendah, akan berjalan seiring dengan peningkatan efektivitas
pemerintahan (Government Effectiveness) dan kualitas pemerintahan
(Indicator of Quality of Government). Dapat diambil kesimpulan bahwa
semakin bersih suatu negara dari korupsi, semakin bagus kelembagaan
pemerintahan di negara tersebut (semakin efisien dan semakin
berkualitas pemerintahannya).

Mitos: Dampak korupsi hanya sebatas pada nilai uang negara yang
dikorupsi dan tidak akan berpengaruh terhadapa perekonomian suatu
negara secara menyeluruh.

Fakta: Semakin marak korupsi di suatu negara semakin rendah kinerja


perekonomian negara tersebut. Sebaliknya semakin rendah tingkat
korupsi di suatu negara, semakin bagus kinerja perekonomian negara itu.
Dengan menggunakan data panel untuk 168 negara di dunia dari tahun
1995 hingga 2013 antara IPK dan berbagai indikan pembangunan
ekonomi, terdapat hubungan yang signifikan antara rendahnya korupsi di
suatu negara dengan tingginya kinerja perekonomian negara tersebut.

Tabel 1: Dampak Korupsi terhadap Pembangunan

Indek Persepsi
Korupsi

Korelasi p-value

Indeks Gini** -0.0979 0.023

Indeks Pembangunan
Manusia*** 0.7162 0

Pengangguran*** -0.1244 0

PDRB Perkapita*** 0.7711 0

Indeks Konflik*** -0.5316 0

Catatan: *) signifikan 10%, **) signfikan 5%, ***) signifikan 1%

Sumber: Transparancy International, , 1995-2013, diolah.

Tabel 1 menunjukkan semakin tinggi tingkat korupsi di suatu negara


maka:

1. semakin tinggi jurang kesenjangan pendapatan antara rumah tangga miskin


dan rumah tangga berpendapatan menengah ke atas;
2. semakin buruk indek pembangunan manusia;
3. semakin tinggi tingkat pengangguran;
4. semakin rendah kinerja ekonomi yang diukur dari PDB riil per kapita;
5. semakin tinggi konflik yang terjadi di suatu negara yang pasti mengganggu
proses pembangunan
Gambar X: Hubungan antara PDB riil dan IPK tahun 1995-2013

Dengan menggunakan data dari 185 negara dari tahun 1995 hingga 2013
(19 tahun), terlihat bahwa 15 negara dengan rata-rata IPK terendah atau
negara yang korup (berwarna merah) cenderung memiliki PDRB per
kapita yang lebih rendah. Sedangkan 15 negara dengan rata-rata IPK
tertinggi atau negara yang bersih (berwarna biru) cenderung memiliki
PDRB per kapita yang lebih tinggi. Hal ini mengindikasikan, dan terlihat
secara visual, bahwa korupsi membuat kesejahteraan suatu bangsa
menjadi rendah (miskin). Berbagai penelitian mendukung hasil analisis ini
(Mauro, 1995, 1998, Wei, 2000, Habub dan Zurawichi, 2000, dan
Triesman, 2000).
Gambar Y: Hubungan antara IPK dan Pengangguran di 185 negara
periode 1995-2013

Gambar Y menunjukkan kaitan antara korupsi dan pengangguran yang


berbanding lurus. Ketika korupsi marak di suatu negara, maka tingkat
pengangguran cenderung marak di negara tersebut. Hal ini
mengindikasikan, dan terlihat secara visual, bahwa korupsi di suatu
negara menghambat warga negaranya untuk mendapatkan pekerjaan.
Korupsi menghambat terbukanya lapangan pekerjaan baru.

Mitos: Tingginya tingkat korupsi di suatu negara tidak terkait dengan


masuknya investasi asing langsung (foreign direct investment atau FDI)
di negara tersebut.

Fakta: Korupsi menurunkan masuknya investasi asing langsung di suatu


negara dan menyebabkan adverse selection (Jawa: keblondrog) investor
asing yang masuk ke negara tersebut. Para investor dari negara dengan
tingkat korupsi rendah cenderung memilih investasi ke negara yang
sama-sama memiliki tingkat korupsi rendah. Di sisi investor dari negara
dengan tingkat korupsi tinggi cenderung memilih investasi ke negara
yang korupsinya juga tinggi (Cuervo-Cazurra, 2006). Implikasi dari
temuan ini adalah ketika masyarakat suatu negara membiarkan korupsi
merajalela di negerinya, di saat yang bersamaan mereka mengundang
masuknya investor asing yang telah terbiasa melakukan korupsi
(menyuap, menggelapkan dan memberikan gratifikasi) untuk beroperasi
di negara tersebut. Korupsi ternyata mengundang datangnya investor
asing korup dan menghalangi investor asing yang tidak korup untuk
berinvestasi di negara tersebut.

Korupsi
Era Orde Lama
Di era Orde Lama, kebijakan anti korupsi diluncurkan di akhir 1950-an. Melalui UU
Keadaan Bahaya, dibentuk Panitia Retooling (Paran) yang terdiri dari satu ketua dan dua
anggota. Keberadaan Paran segera hilang setelah dianggap bertentangan dengan kewenangan
pemberantasan korupsi ada di tangan Presiden. Paran kemudian dibubarkan setelah melalui
kekicruhan politik.

Pada tahun 1963, Presiden Soekarno menerbitkan Kepres No. 275 tahun 1963 sebagai
landasan pembentukan lembaga Operasi Budhi yang bertugas menjerat perusahaan dan
lembaga negara yang melakukan aksi korupsi. Awal kinerja Operasi Budhi dipandang
menjanjikan karena berhasil menyelamatkan uang negara sebesar Rp 11 milyar. Operasi
Budhi dibubarkan ketika akan menjerat Direktur Pertamina dan diganti dengan lembaga baru
yakni Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar). Kontrar tidak memiliki
catatat signifikan dalam pemberantasan korupsi dan dibubarkan ketika Soekarno tidak lagi
menjadi presiden.

Era Orde Baru


Pada tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto mengkritik kegagalan Soekarno (Orde Lama atau
Orla) dalam melakukan pemberantasan korupsi. Hal ini disampaikan oleh Soeharto pada saat
pidato kenegaraan, seiring dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai
oleh Jaksa Agung. TPK dipandang gagal memiliki kemampuan dan kemauan dalam
memberantas korupsi ketika kasus korupsi di Pertamina yang diajukan oleh TPK tidak
ditanggapi oleh berbagai institusi penegak hukum lainnya. Melemahnya TPK mendorong
pembentukan Operasi Tertib (Opstib) pemberantasan korupsi. Opstib ini menjadi tidak
berfungsi karena terjadi perselisihan internal.

Era Reformasi
Pada era reformasi, spirit reformasi dituangkan ke dalam TAP MPR XI/1998 tentang
penyelenggaraan negara yang bersih bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal ini
diperkuat dengan TAP MPR VIII/2001 tentang arah kebijakan pemberantasan dan
pencegahan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Di era Presiden BJ Habibie, UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme bersamaan pembentukan lembaga anti
korupsi Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU), dan Ombudsman. Namun secara umum lembaga-lembaga ini belum
menunjukan kemampuan pemberantasan korupsi di Indoenesia, dengan pandangan bahwa
lembaga ini masih baru dibentuk sehingga masih berkutat dengan permasalahan adminsitrasi
dan tata tertib kelembagaan.
Pada masa pemerintahaan Abdurrahman Wahid, diterbitkan PP No. 19 Tahun 2000 yang
membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Ketika
TGPTPK telah menunjukan berbagai pendekatan untuk pemberantasan korupsi di Indonesia,
melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK dibubarkan dengan alasan
bertentangan dengan UU yang sudah ada. UU No. 31 Tahun 1999 dipandang MA
bertentangan dengan PP No. 19 Tahun 2000. Pada priode ini lembaga anti-korupsi di
Indoensia hanya KPKPN, namun KPKPN dipandang tidak didukung dengan infrastruktur
hukum yang kuat sehingga tidak memiliki wewenang yang kuat. Pada tahun 2002, Presiden
Megawati Soekarnoputri menerbitkan UU No 30 Tahun 2002 bersamaan dengan lembaga
anti korupsi baru yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bersamaan dengan UU ini,
KPKPN dilebur kedalam KPK.
Di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, UU 6/2007 tentang Pengesahan
United Nations Convention Against Corruption (UN CAC) yang telah diratifikasi di tahun
2003. Perlu dipahami bahwa definisi korupsi di UN CAC jauh lebih luas daripada UU
Antikorupsi 31/1999 jo 20/2001, karena telah memasukkan korupsi oleh swasta. Meskipun
UU 6/2007 memberikan landasan hukum pengesahan UN CAC, namun demikian tidak ada
peraturan di bawah undang-undang yang mengatur memberikan landasan teknis pelaksanaan
UN CAC di Indonesia.

Kolusi
Peraturan mengenai kolusi diatur di UU 5/1999 tentang larangan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat. Terdapat dua TAP MPR terkait dengan kolusi, yaitu TAP MPR
XI/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih bebas korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN) dan TAP MPR VIII/2001 tentang arah kebijakan pemberantasan dan pencegahan
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Namun demikian, tidak ada undang-undang yang
mengatur tentang kolusi yang dikaitkan dengan tindak pidana korupsi.

Nepotisme
Terdapat dua TAP MPR yang mengatur tentang pemberantasan nepotisme, yaitu TAP MPR
XI/1998 dan TAP MPR VIII/2001. Namun demikin belum ada UU yang mengatur tentang
anti nepotisme.

Pencucian Uang
Peraturan mengenai anti pencucian uang dimulai sejak Bank Indonesia menerbitkan
Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 3/0/PBI/2001 tentang Know Your Customer.
Peraturan mengenai anti pencucian uang dituangkan dalam UU 15/2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang (TPPU). UU ini mengamanatkan pendirian Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). UU 25/2003 diterbitkan sebagai penyempurnaan
bagi UU 15/2002. UU no 8/2010 tentang TPPU diratifikasi untuk menggantikan UU 15/2002
jo UU 25/2003.
https://cegahkorupsi.wg.ugm.ac.id/index.php/2015-08-20-05-19-20/pencucian-uang

Anda mungkin juga menyukai