Ade Zulianto Pengembangan Game Animasi Joko Tingkir
Ade Zulianto Pengembangan Game Animasi Joko Tingkir
Bab I
Pendahuluan
yang paling akrab dengan internet sepanjang masa. Pada masa depan, bisa jadi
Generasi Alpha bertukar pesan dengan jarak waktu nol karena instan. "Mereka
(Generasi Alpha) tidak berpikir tentang teknologi sebagai alat, mereka mengintegrasikan
Generasi Alpha juga disebut generasi yang sangat terdidik, karena mereka
masuk sekolah lebih awal dan banyak belajar. Mereka tak lagi belajar perhitungan
Jika sudah begini, ketika internet menjadi lebih penting dari beras dan satu per
koneksi? Atau, kita memilih jalan-jalan ke mal dan membiarkan Generasi Alpha
anda baru bertanya, "Ada apa dengan anak saya? Kenapa menjadi nakal? Tidak bisa
dikendalikan?"
terbaik bagi masa depan mereka. Tentu saja, pembuat "pondasi kerajaan" terbaik ialah
tawar lagi bila kita yang masih peduli terhadap peningkatan kualitas SDM sebagai penunjang
kualitas karakter bangsa yang sangat berpengaruh pada kemajuan bangsa ini. Karakter bangsa
yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini karena usia dini merupakan masa-
masa kritis bagi pembentukan karakter. Kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia
dini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Kesuksesan orang
tua membimbing anaknya dalam mengatasi konflik kepribadian di usia dini sangat
menentukan kesuksesan anak dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak (Erikson,
1968).
Pembentukan karakter bangsa dapat melalui pendidikan karakter di bangku sekolah ketika
keluarga telah gagal mengembangkan karakter anak. Pendidikan karakter menjadi bagian
penting dalam membentuk mental positif bangsa. Jika dulu pendidikan karakter merupakan
tanggungjawab masing-masing keluarga untuk membentuk pribadi yang baik maka kini
beberapa hal terkait pendidikan karakter bangsa yakni: (1) sikap dan komitmen terhadap
perlunya pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai bagian yang tidak
budaya dan karakter bangsa dan setiap jenjang pendidikan yang dihasilkan dari berbagai
pandangan tokoh-tokoh masyarakat yang peduli dan komit terhadap pendidikan budaya dan
karakter bangsa; (3) program tindak lanjut untuk mengembangkan kerangka induk (grand
design) pendidikan budaya dan karakter bangsa yang dilengkapi panduan pada setiap jenjang
Pendidikan di Indonesia tidak hanya berperan sebagai sarana transfer ilmu pengetahuan,
tetapi lebih luas lagi yaitu sebagai pembudayaan (enkulturisasi), yang salah satu pilarnya
adalah pembentukan karakter dan watak. Sayangnya, pendidikan nasional menurut banyak
kalangan belum berhasil meningkatkan kecerdasan dan keterampilan anak didik. Sekian
tahun pelaksanaan pendidikan di negeri tercinta ini gagal dalam menanamkan karakter
bangsa yang bermartabat. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Azra (2006) bahwa
usia paling produktif dan relatif lebih mudah menyerap pengetahuan dibanding kelompok
usia lain. Penanaman nilai sejak dini merupakan investasi jangka panjang yang akan
dikawatirkan akan menambah beban bagi anak didik. Beban anak didik sekarang ini sudah
cukup berat, jika dihitung perminggunya anak-anak belajar di sekolah bisa mencapai 42 jam.
Jika ditambahkan dengan materi pendidikan karakter sekitar 8 jam, artinya beban anak didik
akan lebih berat lagi. Agar tidak terasa berat dan membebani, pendidikan karakter dapat
diintegrasikan ke dalam matapelajaran lain atau pendidikan karakter melalui kegiatan edukasi
yang bersifat hiburan. Misalnya melalui game animasi yang bersifat edukasi. Game animasi
adalah game atau permainan komputer yang dibuat dengan teknik dan metode animasi.
Animasi merupakan suatu objek yang digerakan agar terlihat lebih hidup. Animasi
merupakan proses penciptaan efek gerak yang terjadi selama beberapa waktu yang
menghasilkan proses obyek yang digambarkan sehingga tampak hidup (Albardon :2010).
Minat siswa yang tinggi terhadap game animasi karena tampilan game animasi yang
menarik. Arsyad (2003) mengemukakan bahwa kelebihan penggunaan film animasi dalam
bercakap-cakap atau bertanya jawab, menggambarkan suatu proses secara tepat yang dapat
adalah penelitian yang dilakukan oleh Ardhian (2008) tentang Perancangan Film Animasi
sebagai Media Pendidikan Anak. Penelitian kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh
Anwar (2012) tentang Perancangan Film Animasi “BUDI” untuk Menanamkan Budi Pekerti
kepada Anak-Anak. Penelitian ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Octavia (2012)
tentang Pengaruh Tayangan Animasi Nonverbal terhadap Kecerdasan Bahasa Anak. Dari
ketiga peneltian tentang animasi tersebut menghasilkan temuan bahwa animasi berkontribusi
yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Penelitian ini lebih berfokus pada
pengembangan game animasi yang bersumber dari cerita rakyat. Sebagaimana telah diketahui
bahwa cerita rakyat merupakan cerita yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara yang
sarat akan nilai-nilai positif yang sangat bermanfaat bagi perkembangan karakter anak. Salah
satunya adalah cerita rakyat yang berjudul Joko Tingkir yang berasal dari daerah Lamongan.
Peneliti berupaya mengembangkan game animasi Joko Tingkir karena dalam cerita tersebut
sarat akan nilai-nilai kepahlawanan, nilai kerja keras, pantang mundur, tidak cepat putus asa
yang diharapkan dapat menginternal dalam diri anak sehingga anak memiliki nilai-nilai
positif tersebut dan menjadi generasi yang handal dan siap bersaing di kancah internasional.
praktis, hasil penelitian ini dalam jangka panjang dapat memberikan sumbangan bagi
Indonesia. Melalui pendidikan karakter yang terencana dan berkesinambungan, maka cita-
cita untuk menjadi menjadi bangsa besar yang survive di era global akan tercapai. Secara
teoretis, hasil penelitian diharapkan memberikan informasi atau data teoretik tentang nilai-
nilai pendidikan karakter yang tercermin pada game animasi Joko Tingkir.
1) Animasi
Kata animasi berasal dari kata kerja dalam bahasa latin animare, dan bahasa Inggris to
animate” yang berarti “menghidupkan” atau “memberi nafas” (Wright, 2005). Animasi dapat
didefinisikan sebagai upaya untuk menghidupkan atau memberi kesan atau ilusi hidup atau
bergerak dari gambar diam atau benda mati. Secara teknis animasi berarti menghidupkan
urutan still image (gambar tidak bergerak), atau teknik memfilmkan susunan gambar atau
model untuk menciptakan rangkaian gerakan ilusi. Pengertian yang menarik dikemukakan
oleh Norman McLaren, salah seorang seorang pioneer dalam experimental animation yang
mengemukakan bahwa “Animation is not the art of drawing that move, but rather the art of
movement that are drawn. What happen betwent each frame more important than what
happens on each frame” (Wells, 1998). Jadi animasi dibentuk dari model-model gerakan yang
divisualkan secara grafis maupun obyek. Dalam hubungannya dengan realitas dan film
berbasis live shot atau live action, menarik untuk menilik apa yang dikemukakan oleh dua
orang animator asal Ingris John Halas dan Joy batchelor yang mengemukanan bahwa “If it’s
the live-action film job to present physical reality, animated film is concerned with
methaphysical reality-not how thing ook, but what they mean” (Weels, 1998).
Pendapat tersebut seolah mengukuhkan konsep ilusi Plato yang berpandangan bahwa
realitas yang asli berada dalam pikiran yang merupakan ide bawaan menjadi relevan untuk
menjelaskan ilusi dalam animasi. Dengan sudut pandang yang sedikit berbeda dari konsep
ideal Plato, ilusi dalam animasi menunjukkan realitas yang ada dalam dunia animasi (realitas
animasi) pada dasarnya adalah kepalsuan, tidak asli, atau simulasi. Bentuk simulasi ilusi itu
dalam perkembangan terkininya, mampu mensimulasikan realitas lengkap dengan hukum dan
aturan yang berlaku pada hukum alam sehingga menciptakan apa yang disebut realitas virtual
atau realitas buatan (artifisial reality). Bahkan dalam tahap tertentu menciptakan realitas yang
melampaui realitas asli yang disimulasikannya hingga terciptalah apa yang disebut dengan
realitas virtual yang melampui realitas yang disebut dengan hiper realitas (hyper reality).
Pada kenyataannya, upaya untuk menghidupkan benda atau gambar mati dalam
animasi bukanlah proses yang sederhana. Terutama dalam simulasi realita berbasis animasi
proses ilusi hidup merupakan proses yang sangat kompleks, yang menunjukkan bahwa
realitas yang tampak sederhana ketika masuk dalam detailnya ternyata sangatlah kompleks.
Fenomena seperti itu dapat dipandang sebagai bentuk kompleksitas dalam animasi dari
realitas yang jauh lebih kompleks. Ketepatan dan ketelitian mengambil bentuk bentuk
sederhana dari realitas yang sangat komplek inilah yang sesungguhnya menjadi tantangan
dalam memproduksi sebuah film animasi. Fantasi dan imajinasi yang hadir dan mewujud
dalam animasi sekalipun adalah bentuk refleksi yang lebih sederhana daripada realitas atau
fenomena alaminya (Wells, 1998). Sedangkan menurut pakar semiotika (semiotican) Yuri
Lotman (dalam Pikkov, 2010) melihat animasi sebagai sebuah sistem yang spesifik yang
memiliki kosa kata sendiri dengan mengatakan; “The animated cartoon is not a variety of the
feature cinema but represents a quite independent form of art, with its own artistic language,
opposed in many ways to the language of the feature cinema or the documentary”. Lebih jauh
menurut Lotman (dalam Pikkov, 2010), “The basic property of the language of animation is
that it operates with a sign of a sign”. Dalam perkembanganya pengertian animasi mengalami
perubahan atau pergeseran makna. Dalam catatan sejarawan animasi Giannalberto Bendazzi
menyebutkan bahwa; “between about 1895 and 1910 the term animated was applied to things
that today are called live action, which we often group in a distinctly different category. At
that time, “animated photography” was the commonterm, and a little later the equally
rudimentary phrases moving picture ormotion picture came into use’ (Bendazzi, 2007).
Animasi memiliki berbagai kelebihan. Ranang (2010:87) menyebut kelebihan
animasi sebagai cerita lucu dan segar, sehingga animasi dapat digunakan sebagai cara untuk
menceritakan sebuah kisah kepada anak-anak. Syaodih (2003:27) menjelaskan bahwa
animasi sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa kelas 5 SD. Sudjana (2010:14)
menjelaskan bahwa gerak yang terdapat dalam animasi lebih mudah dipahami anak-anak dan
lebih berwarna. Secara umum anak-anak tertarik pada visual yang penuh warna.
Bates (1995) menyebut sebuah proses pembelajaran animasi dapat dipresentasikan
bersamaan dengan media lain seperti teks, gambar, grafik, suara, video atau yang lain
(multimedia). Media tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar pembelajaran
dengan berbagai penyesuaian. Animasi dapat dijadikan sebagai sumber belajar yang siap
kapan saja untuk mengajarkan materi yang telah dianimasikan terutama dengan adanya
teknologi interaktif baik melalui perangkat komputer maupun perangkat elektronik lainnya.
Pembelajaran yang menggunakan komputer sebagai media dikenal dengan istilah Computer
Assisted Instruction. Animasi merupakan objek digital. Disebut objek digital karena
memenuhi kriteria seperti yang disebut Reece (2016) bahwa objek digital adalah sebagai
objek yang secara terus menerus dapat dimodifikasi, bersifat interaktif, terbuka,
reprogramable (dapat diakses dan dimodifikasi oleh objek digital lain), dan dapat
didistribusikan.
Peran animasi dalam pembelajaran adalah (1) membantu guru dalam mempermudah,
menyederhanakan, dan mempercepat proses pembelajaran, menyajikan informasi atau
keterampilan secara utuh, lengkap dan sistematis sesuai tingkat kemampuan dan alokasi
waktu; dan (2) membantu siswa dalam mengaktifkan fungsi psikologis dalam dirinya dengan
memusatkan perhatian, memelihara keseimbangan mental, dan mendorong belajar mandiri.
Animasi sangat membantu siswa yang memiliki prior knowledge (pengetahuan awal) yang
rendah karena siswa kurang mampu melakukan simulasi dengan pikirannya (Internal mental
simulation) berdasarkan gambar statik. Bagi siswa yang memiliki prior knowledge tinggi,
animasi dapat digunakan sebagai sarana yang dapat menambah daya tarik dalam belajar. Hal
ini dibuktika oleh penelitian Dancy & Beichner (2006) yaitu ada indikasi bahwa animasi akan
menawarkan potensi peningkatan belajar ketika ada kebutuhan visualisasi eksternal dan bila
konten bergantung pada pemahaman gerak.
2) Pendidikan Karakter
kharakter, kharassaein, dan kharax, yang dalam bahasa Yunani adalah character dari kata
charassein yang berarti membuat tajam dan membuat dalam (Gunawan, 2012:1). Secara
harfiah, karakter bermakna kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama, dan
reduplikasi. Dalam bahasa Indonesia kata karakter kemudian dikenal sebagai sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti, bawaan hati, jiwa, kepribadian,sifat, tabiat, temperamen,
watak, yang membedakan seseorang dengan yang lain. Individu yang berkarakter baik atau
unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal terbaik di mata Tuhan YME,
dirinya, sesama, dan lingkungan dengan mengoptimalkan potensi dirinya dengan disertai
kesadaran, emosi, dan motivasi tinggi. Karakter merupakan sifat batin manusia yang
mempengaruhi segenap pemikiran dan perbuatannya yang dapat ditemukan dalam segala
sikap seseorang. Ada beberapa perbedaan pendapat antara watak dan kepribadian, namun ada
pula yang tidak mempermasalahkan perbedaan antara keduanya, karena memang watak dan
kepribadian merupakan sifat dasar/asli yang terdapat dalam diri individu seseorang.
Karakter merupakan ciri khas yang dimiliki seseorang atau individu (Wiyani,
2013:24). Ciri khas tersebut asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu, serta
merupakan “mesin” yang mendorong bagaimana seseorang bertindak, bersikap, berucap, dan
merespon sesuatu. Dalam bidang psikologi, karakter diartikan sebagai kepribadian yang
ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang, dan biasanya cenderung
yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis,
kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, hati-hati, rela
berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, rendah hati. Karakter memungkinkan individu
integritas, dan energi. Seseorang yang berkarakter kuat akan memiliki momentum untuk
mencapai tujuan. Demikian pula sebaliknya, mereka yang berkarakter mudah goyah, akan
lebih lambat untuk bergerak dan sulit menarik orang lain untuk bekerja sama dengannya.
Karakter merupakan kualitas atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi
pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus, yang menjadi dorongan dan penggerak,
serta membedakannya dengan individu lain. Seseorang dapat dikatakan berkarakter jika telah
berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat, yang dapat digunakan
sebagai moral dalam hidupnya. Karakter dapat pula dimaknai sebagai nilai dasar yang
membangun pribadi seseorang yang diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam
kehidupan sehari-hari.
keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat
memberikan kontribusi positif pada masyarakat. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa
orang tersebut. Terdapat tiga pemikiran penting terkait pemikiran tersebut, yakni proses
perilaku.
Pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru
untuk mengajarkan nilai-nilai kepada para siswanya. Pendidikan karakter telah menjadi
emosional, dan pengembangan etik para siswa. Merupakan suatu upaya proaktif yang
dilakukan baik oleh sekolah maupun pemerintah untuk membantu siswa mengembangkan inti
pokok dari nilai-nilai etik dan nilai-nilai kinerja, seperti kepedulian, kejujuran, kerajinan,
keuletan, dan ketabahan, tanggung jawab, menghargai diri sendiri dan orang lain.
yang mengarah pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh yang
didasarkan pada suatu nilai tertentu yang dirujuk oleh sekolah. Pendidikan karakter yang
demikian memiliki makna: (1) pendidikan karakter sebagai pendidikan yang terintegrasi
dengan pembelajaran yang terjadi pada semua mata pelajaran, (2) pendidikan karakter
diarahkan pada pengembangan perilaku peserta didik sebagai anak yang berpotensi untuk
dikuatkan dan dikembangkan secara utuh, dan (3) penguatan dan pengembangan perilaku
Pendidikan karakter sebagai proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk
menjadi manusia seutuhnya, yang berkarakter dalam dimensi hati, pikiran, raga, rasa, dan
karsa. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti,
pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan untuk memberikan keputusan baik-
buruk, memelihara yang baik, dan mewujudkan kebaikan dalam kehidupan sehari-hari
dengan sepenuh hati. Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan
karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi
rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap
jalur dan jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis
development), olah pikir (intellectual development), dan olah raga dan kinestetik (physical
and kinestetic development), dan olah rasa dan karsa (affective and creativity development).
berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai
oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila. Pendidikan
karakter berfungsi (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan
berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang mutikultur; dan (3)
Secara operasional tujuan pendidikan karakter dalam setting sekolah adalah sebagai
berikut.
1. Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan
perlu sehingga menjadi kepribadian kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana
dalam perilaku peserta didik. Penguatan dan pengembangan memiliki makna bahwa
pendidikan dalam setting sekolah bukan merupakan dogmatisasi nilai, tetapi sebuah
jenjang, lulusan sekolah akan memiliki sejumlah perilaku khas sebagaimana nilai
diposisikan sebagai media atau sarana untuk mencapai tujuan penguatan dan
pengembangan karakter.
didik yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah. Tujuan ini
meluruskan berbagai perilaku negatif anak menjadi positif. Proses penelusuran yang
suatu pemaksaan atau pengkondisian yang tidak mendidik. Proses pedagogi dalam
pengkoreksian perilaku negatif diarahkan pada pola pikir peserta didik, yang
3. Tujuan ketiga adalah membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan
Tujuan ini bermakna bahwa karakter di sekolah harus dihubungkan dengan proses
pada masa usia anak, sehingga dalam setiap detik interaksi anak dengan
BAB II
METODE PENELITIAN
rancangan pengembangan ini selaras dengan pendapat Borg dan Gall (1983), bahwa
produk pendidikan, misalnya kurikulum, silabus, buku teks (buku ajar), media pembalajaran,
KAJIAN TEORETIK
ANALISIS KEBUTUHAN
PENYUSUNAN DRAF PRDUK
(SILABUS & MATERI CFR)
UJI AHLI
REVISI 1
PRODUK AKHIR
DESIMINASI
melakukan pengembangan adalah melakukan kajian teoretik. Aktivitas dalam kajian teorik
ini meliputi (a) telaah terhadap buku-buku yang memuat informasi konseptual-teoretis
tentang game animasi, cerita rakyat, dan pendidikan karakter, (b) telaah secara komprehensif
terhadap cerita rakyat yang mengandung nilai-nilai pendidikan karakter yang selanjutnya
untuk dikembangkan menjadi game animasi, (c) telaah terhadap berbagai teori terkait
perkembangan anak sehingga game animasi yang dikembangkan sesuai dan dapat dimainkan
oleh anak.
Langkah kedua melakukan analisis kebutuhan. Dalam hal ini peneliti mencoba
Langkah ketiga adalah uji ahli. Uji ahli ini dilakukan untuk memperoleh masukan
tentang kekurangan dan kelebihan game animasi yang dikembangkan. Direncanakan ada dua
orang ahli yang akan dimintai masukan yakni pakar atau ahli di bidang psikologi dan
Langkah keempat adalah revisi 1. Dalan hal ini, peneliti mengidentifikasi masukan-
masukan dari para ahli selanjutnya masukan tersebut dijadikan bahan acuan untuk
memperbaiki draf game animasi. Masukan yang dimaksud bisa berkaitan dengan sistematika,
Langkah kelima adalah uji lapangan terbatas. Yang dimaksud dengan uji lapangan
terbatas di sini adalah permintaan pendapat dan masukan dari pihak yang berkaitan langsung
saran, dan perbaikan dari hasil uji lapangan. Proses revisi 2 ini juga tidak berbeda dengan
revisi 1. Selanjutnya dari revisi 2 ini disusunlah produk akhir berupa game animasi.
Data yang akan dianalisis dalam penelitian ini berupa data kuantitatif dan kualitatif.
Data kuantitatif diperoleh dari hasil penilaian uji ahli dan uji lapangan, sedangkan data
kualitatif terkait dengan nilai-nilai karakter yang terdapat dalam cerita rakyat, dan masukan
atau saran dari ahli. Data yang terkait dengan pengembangan game animasi lebih terfokus
pada tingkat kelayakan baik dari gambaran tokoh, sistematika penyajian, tingkat
kesulitangame, isi, maupun yang berhubungan dengan tampilan fisik game animasi. Sumber
data dalam penelitian ini adalah para ahli dan dokumen yang relevan yakni cerita rakyat
animasi, maka penelitian ini menggunakan human instrument (Bogdan dan Biklen, 1982),
mengorganisasi data, memaknai data, dan menyimpulkan hasil penelitian. Instrumen lain
yang digunakan berupa lembar observasi, Lembar observasi ini digunakan untuk mencatat
aktivitas pada kegiatan pengamatan pada saat uji lapangan terbatas. Penelitian ini juga
menggunakan angket lembar penilaian terhadap game animasi. Selain itu, penelitian ini juga
menggali masukan dari para ahli. Dengan demikian, teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, angket, dan wawancara terstruktur. Teknik
pengumpulan data yang lain adalah analisis dokumen cerita rakyat yang mengandung nilai-
Data dalam penelitian berupa data kualitatif dan kuantitaif. Data kualitatif terdiri atas
nilai-nilai pendidikan karakter game animasi, hasil pengamatan, dan masukan yang bersifat
naratif dari ahli dan pengguna. Untuk mengeskplor nilai-nilai pendidikan karakter dari game
animasi akan digunakan teknik analisis isi (contens analysis) yang diadaptasi dari
Krippendorff (1980) yang meliputi (a) observasi mentah (membaca secara cermat dan
menyeluruh cerita rakyat yang diaasumsikan memiliki nilai-nilai pendidikan karakter), (b)
menentukan unit (unitisasi). Dalam hal ini peneliti memisah-misahkan data menjadi bagian-
bagian yang selanjutnya dapat dianalisis, (c) menetapkan data yang dianalisis (sampling), (d)
membuat catatan (recording) terhadap data yang telah ditetapkan untuk dianalisis, (e)
mereduksi data, dan (f) membuat inferensi (menemukan maksud yang terkandung dalam data
Data kualitatif yang diperoleh dari hasil pengamatan, wawancara, dan masukan yang
mengidentifikasi data baik dari masukan para ahli, pengguna, hasil observasi
yang relevan dengan masalah penelitian. Data yang dimaksud bisa berasal dari
tersendiri yang tidak bercampur aduk dengan data yang terkait dengan
(3) Penyajian dan penjelasan Data. Penyajian dan penjelasan data dalam penelitian
ini terkait dengan paparan data yang sudah dikelompokkan dan sekaligus data
tersebut dijelaskan dalam bentuk narasi secara logis, objketif, dan sistematis.
(4) Penyimpulan. Tahap ini merupakan tahap penentuan profil dan kelayakan
Sementara itu, data kuantitatif dianalisis melalui penghitungan rerata skor yang
diperoleh melalui angket yang merupakan penilaian dari ahli dan pengguna. Melalui rerata
skor dan dipadukan dengan hasil analisis data kualitatif, akan diperoleh suatu kesimpulan
tingkat kelayakan produk yang dihasilkan. Untuk menentukan tingkat kelayakan game
2 75 s.d 84 Efektif