Anda di halaman 1dari 17

Pengembangan Game Animasi Joko Tingkir

Sebagai Penunjang Pendidikan Karakter Anak Bangsa

Bab I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Mark McCrinddle menulis di Business Insider, Generasi Alpha adalah generasi

yang paling akrab dengan internet sepanjang masa. Pada masa depan, bisa jadi

Generasi Alpha bertukar pesan dengan jarak waktu nol karena instan. "Mereka

(Generasi Alpha) tidak berpikir tentang teknologi sebagai alat, mereka mengintegrasikan

teknologi ke dalam kehidupan mereka," tulis Mark McCrinddle

Generasi Alpha juga disebut generasi yang sangat terdidik, karena mereka

masuk sekolah lebih awal dan banyak belajar. Mereka tak lagi belajar perhitungan

sederhana menggunakan jari, tetapi langsung menghitungnya di kepala

Jika sudah begini, ketika internet menjadi lebih penting dari beras dan satu per

satu anak-anak Generasi Alpha terlahir, masihkah kita akan menyalahkan

perkembangan gadget yang terlalu cepat datang meruntuhkan pagar pembatas

koneksi? Atau, kita memilih jalan-jalan ke mal dan membiarkan Generasi Alpha

mengintegrasikan teknologi ke dalam kehidupan semau mereka? Setelah ada masalah,

anda baru bertanya, "Ada apa dengan anak saya? Kenapa menjadi nakal? Tidak bisa

dikendalikan?"

Sebelum Generasi Alpha menguasai dunia, buatlah "pondasi kerajaan" yang

terbaik bagi masa depan mereka. Tentu saja, pembuat "pondasi kerajaan" terbaik ialah

keluarga. Jangan main-main, sebab perubahan zaman mustahil untuk dilawan

Pembangunan karakter bangsa merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditawar-

tawar lagi bila kita yang masih peduli terhadap peningkatan kualitas SDM sebagai penunjang

kualitas karakter bangsa yang sangat berpengaruh pada kemajuan bangsa ini. Karakter bangsa
yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini karena usia dini merupakan masa-

masa kritis bagi pembentukan karakter. Kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia

dini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Kesuksesan orang

tua membimbing anaknya dalam mengatasi konflik kepribadian di usia dini sangat

menentukan kesuksesan anak dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak (Erikson,

1968).

Pembentukan karakter bangsa dapat melalui pendidikan karakter di bangku sekolah ketika

keluarga telah gagal mengembangkan karakter anak. Pendidikan karakter menjadi bagian

penting dalam membentuk mental positif bangsa. Jika dulu pendidikan karakter merupakan

tanggungjawab masing-masing keluarga untuk membentuk pribadi yang baik maka kini

tampaknya sudah menjadi masalah nasional. Kementerian Pendidikan Nasional menggagas

beberapa hal terkait pendidikan karakter bangsa yakni: (1) sikap dan komitmen terhadap

perlunya pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai bagian yang tidak

terpisahkan dari Sistem Pendidikan Nasional; (2) rumusan pengembangan pendidikan

budaya dan karakter bangsa dan setiap jenjang pendidikan yang dihasilkan dari berbagai

pandangan tokoh-tokoh masyarakat yang peduli dan komit terhadap pendidikan budaya dan

karakter bangsa; (3) program tindak lanjut untuk mengembangkan kerangka induk (grand

design) pendidikan budaya dan karakter bangsa yang dilengkapi panduan pada setiap jenjang

pendidikan (Siswanto, 2012).

Pendidikan di Indonesia tidak hanya berperan sebagai sarana transfer ilmu pengetahuan,

tetapi lebih luas lagi yaitu sebagai pembudayaan (enkulturisasi), yang salah satu pilarnya

adalah pembentukan karakter dan watak. Sayangnya, pendidikan nasional menurut banyak

kalangan belum berhasil meningkatkan kecerdasan dan keterampilan anak didik. Sekian

tahun pelaksanaan pendidikan di negeri tercinta ini gagal dalam menanamkan karakter
bangsa yang bermartabat. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Azra (2006) bahwa

pendidikan nasional telah gagal dalam pembentukan karakter dan watak.

Pendidikan karakter penting dikenalkan di dunia pelajar karena pelajar merupakan

usia paling produktif dan relatif lebih mudah menyerap pengetahuan dibanding kelompok

usia lain. Penanaman nilai sejak dini merupakan investasi jangka panjang yang akan

menguntungkan di masa depan, namun penambahan kurikulum pendidikan karakter tersebut

dikawatirkan akan menambah beban bagi anak didik. Beban anak didik sekarang ini sudah

cukup berat, jika dihitung perminggunya anak-anak belajar di sekolah bisa mencapai 42 jam.

Jika ditambahkan dengan materi pendidikan karakter sekitar 8 jam, artinya beban anak didik

akan lebih berat lagi. Agar tidak terasa berat dan membebani, pendidikan karakter dapat

diintegrasikan ke dalam matapelajaran lain atau pendidikan karakter melalui kegiatan edukasi

yang bersifat hiburan. Misalnya melalui game animasi yang bersifat edukasi. Game animasi

adalah game atau permainan komputer yang dibuat dengan teknik dan metode animasi.

Animasi merupakan suatu objek yang digerakan agar terlihat lebih hidup. Animasi

merupakan proses penciptaan efek gerak yang terjadi selama beberapa waktu yang

menghasilkan proses obyek yang digambarkan sehingga tampak hidup (Albardon :2010).

Minat siswa yang tinggi terhadap game animasi karena tampilan game animasi yang

menarik. Arsyad (2003) mengemukakan bahwa kelebihan penggunaan film animasi dalam

proses pembelajaran dapat melengkapi pengalaman-pengalaman dasar anak-anak ketika

bercakap-cakap atau bertanya jawab, menggambarkan suatu proses secara tepat yang dapat

disaksikan secara berulang-ulang bila dipandang perlu, dan mendorong/ meningkatkan

motivasi anak dalam menanamkan sikap dan segi-segi afektif lainnya.

Berbagai penelitian terkait animasi dan manfaatnya telah dilakukan, di antaranya

adalah penelitian yang dilakukan oleh Ardhian (2008) tentang Perancangan Film Animasi

sebagai Media Pendidikan Anak. Penelitian kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh
Anwar (2012) tentang Perancangan Film Animasi “BUDI” untuk Menanamkan Budi Pekerti

kepada Anak-Anak. Penelitian ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Octavia (2012)

tentang Pengaruh Tayangan Animasi Nonverbal terhadap Kecerdasan Bahasa Anak. Dari

ketiga peneltian tentang animasi tersebut menghasilkan temuan bahwa animasi berkontribusi

positif terhadap perkembangan kepribadian dan kecerdasan anak.

Penelitian ini akan melengkapi berbagai penelitian terkait pengembangan animasi

yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Penelitian ini lebih berfokus pada

pengembangan game animasi yang bersumber dari cerita rakyat. Sebagaimana telah diketahui

bahwa cerita rakyat merupakan cerita yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara yang

sarat akan nilai-nilai positif yang sangat bermanfaat bagi perkembangan karakter anak. Salah

satunya adalah cerita rakyat yang berjudul Joko Tingkir yang berasal dari daerah Lamongan.

Peneliti berupaya mengembangkan game animasi Joko Tingkir karena dalam cerita tersebut

sarat akan nilai-nilai kepahlawanan, nilai kerja keras, pantang mundur, tidak cepat putus asa

yang diharapkan dapat menginternal dalam diri anak sehingga anak memiliki nilai-nilai

positif tersebut dan menjadi generasi yang handal dan siap bersaing di kancah internasional.

1.2 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah (1) menghasilkan produk game animasi yang bersumber
dari cerita rakyat Joko Tingkir yang nilai-nilai luhurnya dapat digunakan sebagai pembentuk
karakter anak bangsa. Game animasi ini memuat kisah perjalanan sang tokoh yang
mengalami berbagai rintangan untuk mencapai tujuan. Dan (2) mendeskripsikan keefektifan
game animasi Joko Tingkir berbasis pendidikan karakte.

1.3 Spesifikasi Produk yang Diharapkan


Media game animasi yang akan dikembangkan memiliki spesifikasi produk sebagai
berikut...........................................................................................................................................
.....................................................................................................

1.4 Keutamaan Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat praktis maupun teoretis. Dari sisi

praktis, hasil penelitian ini dalam jangka panjang dapat memberikan sumbangan bagi

pembangunan manusia Indonesia, khususnya pembangunan pendidikan karakter bangsa

Indonesia. Melalui pendidikan karakter yang terencana dan berkesinambungan, maka cita-

cita untuk menjadi menjadi bangsa besar yang survive di era global akan tercapai. Secara

teoretis, hasil penelitian diharapkan memberikan informasi atau data teoretik tentang nilai-

nilai pendidikan karakter yang tercermin pada game animasi Joko Tingkir.

1.5 Kajian Pustaka

1) Animasi
Kata animasi berasal dari kata kerja dalam bahasa latin animare, dan bahasa Inggris to
animate” yang berarti “menghidupkan” atau “memberi nafas” (Wright, 2005). Animasi dapat
didefinisikan sebagai upaya untuk menghidupkan atau memberi kesan atau ilusi hidup atau
bergerak dari gambar diam atau benda mati. Secara teknis animasi berarti menghidupkan
urutan still image (gambar tidak bergerak), atau teknik memfilmkan susunan gambar atau
model untuk menciptakan rangkaian gerakan ilusi. Pengertian yang menarik dikemukakan
oleh Norman McLaren, salah seorang seorang pioneer dalam experimental animation yang
mengemukakan bahwa “Animation is not the art of drawing that move, but rather the art of
movement that are drawn. What happen betwent each frame more important than what
happens on each frame” (Wells, 1998). Jadi animasi dibentuk dari model-model gerakan yang
divisualkan secara grafis maupun obyek. Dalam hubungannya dengan realitas dan film
berbasis live shot atau live action, menarik untuk menilik apa yang dikemukakan oleh dua
orang animator asal Ingris John Halas dan Joy batchelor yang mengemukanan bahwa “If it’s
the live-action film job to present physical reality, animated film is concerned with
methaphysical reality-not how thing ook, but what they mean” (Weels, 1998).
Pendapat tersebut seolah mengukuhkan konsep ilusi Plato yang berpandangan bahwa
realitas yang asli berada dalam pikiran yang merupakan ide bawaan menjadi relevan untuk
menjelaskan ilusi dalam animasi. Dengan sudut pandang yang sedikit berbeda dari konsep
ideal Plato, ilusi dalam animasi menunjukkan realitas yang ada dalam dunia animasi (realitas
animasi) pada dasarnya adalah kepalsuan, tidak asli, atau simulasi. Bentuk simulasi ilusi itu
dalam perkembangan terkininya, mampu mensimulasikan realitas lengkap dengan hukum dan
aturan yang berlaku pada hukum alam sehingga menciptakan apa yang disebut realitas virtual
atau realitas buatan (artifisial reality). Bahkan dalam tahap tertentu menciptakan realitas yang
melampaui realitas asli yang disimulasikannya hingga terciptalah apa yang disebut dengan
realitas virtual yang melampui realitas yang disebut dengan hiper realitas (hyper reality).
Pada kenyataannya, upaya untuk menghidupkan benda atau gambar mati dalam
animasi bukanlah proses yang sederhana. Terutama dalam simulasi realita berbasis animasi
proses ilusi hidup merupakan proses yang sangat kompleks, yang menunjukkan bahwa
realitas yang tampak sederhana ketika masuk dalam detailnya ternyata sangatlah kompleks.
Fenomena seperti itu dapat dipandang sebagai bentuk kompleksitas dalam animasi dari
realitas yang jauh lebih kompleks. Ketepatan dan ketelitian mengambil bentuk bentuk
sederhana dari realitas yang sangat komplek inilah yang sesungguhnya menjadi tantangan
dalam memproduksi sebuah film animasi. Fantasi dan imajinasi yang hadir dan mewujud
dalam animasi sekalipun adalah bentuk refleksi yang lebih sederhana daripada realitas atau
fenomena alaminya (Wells, 1998). Sedangkan menurut pakar semiotika (semiotican) Yuri
Lotman (dalam Pikkov, 2010) melihat animasi sebagai sebuah sistem yang spesifik yang
memiliki kosa kata sendiri dengan mengatakan; “The animated cartoon is not a variety of the
feature cinema but represents a quite independent form of art, with its own artistic language,
opposed in many ways to the language of the feature cinema or the documentary”. Lebih jauh
menurut Lotman (dalam Pikkov, 2010), “The basic property of the language of animation is
that it operates with a sign of a sign”. Dalam perkembanganya pengertian animasi mengalami
perubahan atau pergeseran makna. Dalam catatan sejarawan animasi Giannalberto Bendazzi
menyebutkan bahwa; “between about 1895 and 1910 the term animated was applied to things
that today are called live action, which we often group in a distinctly different category. At
that time, “animated photography” was the commonterm, and a little later the equally
rudimentary phrases moving picture ormotion picture came into use’ (Bendazzi, 2007).
Animasi memiliki berbagai kelebihan. Ranang (2010:87) menyebut kelebihan
animasi sebagai cerita lucu dan segar, sehingga animasi dapat digunakan sebagai cara untuk
menceritakan sebuah kisah kepada anak-anak. Syaodih (2003:27) menjelaskan bahwa
animasi sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa kelas 5 SD. Sudjana (2010:14)
menjelaskan bahwa gerak yang terdapat dalam animasi lebih mudah dipahami anak-anak dan
lebih berwarna. Secara umum anak-anak tertarik pada visual yang penuh warna.
Bates (1995) menyebut sebuah proses pembelajaran animasi dapat dipresentasikan
bersamaan dengan media lain seperti teks, gambar, grafik, suara, video atau yang lain
(multimedia). Media tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar pembelajaran
dengan berbagai penyesuaian. Animasi dapat dijadikan sebagai sumber belajar yang siap
kapan saja untuk mengajarkan materi yang telah dianimasikan terutama dengan adanya
teknologi interaktif baik melalui perangkat komputer maupun perangkat elektronik lainnya.
Pembelajaran yang menggunakan komputer sebagai media dikenal dengan istilah Computer
Assisted Instruction. Animasi merupakan objek digital. Disebut objek digital karena
memenuhi kriteria seperti yang disebut Reece (2016) bahwa objek digital adalah sebagai
objek yang secara terus menerus dapat dimodifikasi, bersifat interaktif, terbuka,
reprogramable (dapat diakses dan dimodifikasi oleh objek digital lain), dan dapat
didistribusikan.
Peran animasi dalam pembelajaran adalah (1) membantu guru dalam mempermudah,
menyederhanakan, dan mempercepat proses pembelajaran, menyajikan informasi atau
keterampilan secara utuh, lengkap dan sistematis sesuai tingkat kemampuan dan alokasi
waktu; dan (2) membantu siswa dalam mengaktifkan fungsi psikologis dalam dirinya dengan
memusatkan perhatian, memelihara keseimbangan mental, dan mendorong belajar mandiri.
Animasi sangat membantu siswa yang memiliki prior knowledge (pengetahuan awal) yang
rendah karena siswa kurang mampu melakukan simulasi dengan pikirannya (Internal mental
simulation) berdasarkan gambar statik. Bagi siswa yang memiliki prior knowledge tinggi,
animasi dapat digunakan sebagai sarana yang dapat menambah daya tarik dalam belajar. Hal
ini dibuktika oleh penelitian Dancy & Beichner (2006) yaitu ada indikasi bahwa animasi akan
menawarkan potensi peningkatan belajar ketika ada kebutuhan visualisasi eksternal dan bila
konten bergantung pada pemahaman gerak.

2) Pendidikan Karakter

Istilah karakter berdasarkan epistimologisnya berasal dari bahasa latin yakni

kharakter, kharassaein, dan kharax, yang dalam bahasa Yunani adalah character dari kata

charassein yang berarti membuat tajam dan membuat dalam (Gunawan, 2012:1). Secara

harfiah, karakter bermakna kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama, dan

reduplikasi. Dalam bahasa Indonesia kata karakter kemudian dikenal sebagai sifat-sifat

kejiwaan, akhlak atau budi pekerti, bawaan hati, jiwa, kepribadian,sifat, tabiat, temperamen,

watak, yang membedakan seseorang dengan yang lain. Individu yang berkarakter baik atau
unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal terbaik di mata Tuhan YME,

dirinya, sesama, dan lingkungan dengan mengoptimalkan potensi dirinya dengan disertai

kesadaran, emosi, dan motivasi tinggi. Karakter merupakan sifat batin manusia yang

mempengaruhi segenap pemikiran dan perbuatannya yang dapat ditemukan dalam segala

sikap seseorang. Ada beberapa perbedaan pendapat antara watak dan kepribadian, namun ada

pula yang tidak mempermasalahkan perbedaan antara keduanya, karena memang watak dan

kepribadian merupakan sifat dasar/asli yang terdapat dalam diri individu seseorang.

Karakter merupakan ciri khas yang dimiliki seseorang atau individu (Wiyani,

2013:24). Ciri khas tersebut asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu, serta

merupakan “mesin” yang mendorong bagaimana seseorang bertindak, bersikap, berucap, dan

merespon sesuatu. Dalam bidang psikologi, karakter diartikan sebagai kepribadian yang

ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang, dan biasanya cenderung

berkaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap.

Seseorang dikatakan berkarakter mulia jika memiliki pengetahuan tentang dirinya

yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis,

kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, hati-hati, rela

berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, rendah hati. Karakter memungkinkan individu

mencapai pertumbuhan yang berkesinambungan, karena karakter memberikan konsistensi,

integritas, dan energi. Seseorang yang berkarakter kuat akan memiliki momentum untuk

mencapai tujuan. Demikian pula sebaliknya, mereka yang berkarakter mudah goyah, akan

lebih lambat untuk bergerak dan sulit menarik orang lain untuk bekerja sama dengannya.

Karakter merupakan kualitas atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi

pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus, yang menjadi dorongan dan penggerak,

serta membedakannya dengan individu lain. Seseorang dapat dikatakan berkarakter jika telah

berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat, yang dapat digunakan
sebagai moral dalam hidupnya. Karakter dapat pula dimaknai sebagai nilai dasar yang

membangun pribadi seseorang yang diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam

kehidupan sehari-hari.

Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk mendidik agar diperoleh

keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat

memberikan kontribusi positif pada masyarakat. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa

pendidikan karakter merupakan sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk

ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam kehidupan

orang tersebut. Terdapat tiga pemikiran penting terkait pemikiran tersebut, yakni proses

transformasi, ditumbuhkembangkan dalam kepribadian, dan menjadi salah satu dalam

perilaku.

Pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru

untuk mengajarkan nilai-nilai kepada para siswanya. Pendidikan karakter telah menjadi

sebuah pergerakan pendidikan yang mendukung pengembangan sosial, pengembangan

emosional, dan pengembangan etik para siswa. Merupakan suatu upaya proaktif yang

dilakukan baik oleh sekolah maupun pemerintah untuk membantu siswa mengembangkan inti

pokok dari nilai-nilai etik dan nilai-nilai kinerja, seperti kepedulian, kejujuran, kerajinan,

keuletan, dan ketabahan, tanggung jawab, menghargai diri sendiri dan orang lain.

Pendidikan karakter dalam konteks setting sekolah menjadi tumpuan pembelajaran

yang mengarah pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh yang

didasarkan pada suatu nilai tertentu yang dirujuk oleh sekolah. Pendidikan karakter yang

demikian memiliki makna: (1) pendidikan karakter sebagai pendidikan yang terintegrasi

dengan pembelajaran yang terjadi pada semua mata pelajaran, (2) pendidikan karakter

diarahkan pada pengembangan perilaku peserta didik sebagai anak yang berpotensi untuk
dikuatkan dan dikembangkan secara utuh, dan (3) penguatan dan pengembangan perilaku

dalam pendidikan karakter didasari oleh nilai yang dirujuk sekolah.

Pendidikan karakter sebagai proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk

menjadi manusia seutuhnya, yang berkarakter dalam dimensi hati, pikiran, raga, rasa, dan

karsa. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti,

pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan untuk memberikan keputusan baik-

buruk, memelihara yang baik, dan mewujudkan kebaikan dalam kehidupan sehari-hari

dengan sepenuh hati. Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan

karakter, Kementrian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan

karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi

rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap

jalur dan jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis

dan sosial-kultural tersebut dikelompokkan dalam: olah hati (spiritual an emotional

development), olah pikir (intellectual development), dan olah raga dan kinestetik (physical

and kinestetic development), dan olah rasa dan karsa (affective and creativity development).

Pada dasarnya pendidikan karakter bertujuan membentuk bangsa yang tangguh,

kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik,

berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai

oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila. Pendidikan

karakter berfungsi (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan

berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang mutikultur; dan (3)

meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.

Secara operasional tujuan pendidikan karakter dalam setting sekolah adalah sebagai

berikut.
1. Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan

perlu sehingga menjadi kepribadian kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana

nilai-nilai yang dikembangkan. Tujuan pertama pendidikan karakter adalah

memfasilitasi penguatan dan pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga terwujud

dalam perilaku peserta didik. Penguatan dan pengembangan memiliki makna bahwa

pendidikan dalam setting sekolah bukan merupakan dogmatisasi nilai, tetapi sebuah

proses yang membawa peserta didik memahami dan merefleksi pentingnya

mewujudkan nilai-nilai dalam perilaku keseharian.

Berdasarkan kerangka hasil pendidikan karakter setting sekolah pada tiap

jenjang, lulusan sekolah akan memiliki sejumlah perilaku khas sebagaimana nilai

yang dijadikan rujukan sekolah tersebut. Asumsinya adalah penguasaan akademik

diposisikan sebagai media atau sarana untuk mencapai tujuan penguatan dan

pengembangan karakter.

2. Tujuan kedua pendidikan karakter di sekolah adalah mengoreksi perilaku peserta

didik yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah. Tujuan ini

memiliki makna bahwa tujuan pendidikan karakter memiliki sasaran untuk

meluruskan berbagai perilaku negatif anak menjadi positif. Proses penelusuran yang

dimaknai sebagai pengkoreksian perilaku, dipahami sebagai proses pedagogis bukan

suatu pemaksaan atau pengkondisian yang tidak mendidik. Proses pedagogi dalam

pengkoreksian perilaku negatif diarahkan pada pola pikir peserta didik, yang

kemudian dibarengi dengan keteladanan lingkungan sekolah dan rumah.

3. Tujuan ketiga adalah membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan

masyarakat dengan memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama.

Tujuan ini bermakna bahwa karakter di sekolah harus dihubungkan dengan proses

pendidikan di keluarga. Jika pendidikan di sekolah hanya bertumpu pada interaksi


antara peserta didik dengan guru di sekolah maka pencapaian berbagai karakter akan

sulit terwujud. Penguatan perilaku merupakan suatu hal yang menyeluruh/holistik

pada masa usia anak, sehingga dalam setiap detik interaksi anak dengan

lingkungannya akan terjadi proses yang mempengaruhi perilaku anak.

BAB II

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan pengembangan atau R & D. Penggunaan

rancangan pengembangan ini selaras dengan pendapat Borg dan Gall (1983), bahwa

penelitian pengembangan merupakan suatu penelitian yang didesain untuk mengembangkan

produk pendidikan, misalnya kurikulum, silabus, buku teks (buku ajar), media pembalajaran,

modul, instrumen penilaian, dan lain-lain.

3.2 Prosedur Pengembangan

Sebagai penelitian pengembangan, maka prosedur penelitian yang diadaptasi dari

Borg dan Gall (1983) sebagaimana pada bagan berikut ini.

KAJIAN TEORETIK

ANALISIS KEBUTUHAN
PENYUSUNAN DRAF PRDUK
(SILABUS & MATERI CFR)

UJI AHLI

REVISI 1

MASUKAN UJI LAPANG


(PENGGUNA)

TIDAK ADA MASUKAN


REVISI 2
(OK)

PRODUK AKHIR

DESIMINASI

Dari bagan 1 di atas dapat dikemukakan, bahawa langkah pertama dalam

melakukan pengembangan adalah melakukan kajian teoretik. Aktivitas dalam kajian teorik

ini meliputi (a) telaah terhadap buku-buku yang memuat informasi konseptual-teoretis

tentang game animasi, cerita rakyat, dan pendidikan karakter, (b) telaah secara komprehensif

terhadap cerita rakyat yang mengandung nilai-nilai pendidikan karakter yang selanjutnya

untuk dikembangkan menjadi game animasi, (c) telaah terhadap berbagai teori terkait

perkembangan anak sehingga game animasi yang dikembangkan sesuai dan dapat dimainkan

oleh anak.
Langkah kedua melakukan analisis kebutuhan. Dalam hal ini peneliti mencoba

menemukenali topik-topik cerita rakyat yang dibutuhkan oleh anak dengan

mempertimbangkan kondisi psikologis, minat, dan dunia nyata anak.

Langkah ketiga adalah uji ahli. Uji ahli ini dilakukan untuk memperoleh masukan

tentang kekurangan dan kelebihan game animasi yang dikembangkan. Direncanakan ada dua

orang ahli yang akan dimintai masukan yakni pakar atau ahli di bidang psikologi dan

pendidikan karakter dan seorang ahli di bidang desain visual.

Langkah keempat adalah revisi 1. Dalan hal ini, peneliti mengidentifikasi masukan-

masukan dari para ahli selanjutnya masukan tersebut dijadikan bahan acuan untuk

memperbaiki draf game animasi. Masukan yang dimaksud bisa berkaitan dengan sistematika,

pendekatan penyusunan, substansi, maupun tampilan fisik dari game animasi.

Langkah kelima adalah uji lapangan terbatas. Yang dimaksud dengan uji lapangan

terbatas di sini adalah permintaan pendapat dan masukan dari pihak yang berkaitan langsung

dengan pendidikan karakter.

Langkah keenam adalah revisi 2. Revisi 2 ini dilakukan berdasarkan masukan,

saran, dan perbaikan dari hasil uji lapangan. Proses revisi 2 ini juga tidak berbeda dengan

revisi 1. Selanjutnya dari revisi 2 ini disusunlah produk akhir berupa game animasi.

Langkah ketujuh adalah desiminasi produk. Desiminasi produk dapat dilakukan di

salah satu SD favorit di kota Malang.

3.3 Data dan Sumber Data

Data yang akan dianalisis dalam penelitian ini berupa data kuantitatif dan kualitatif.

Data kuantitatif diperoleh dari hasil penilaian uji ahli dan uji lapangan, sedangkan data

kualitatif terkait dengan nilai-nilai karakter yang terdapat dalam cerita rakyat, dan masukan

atau saran dari ahli. Data yang terkait dengan pengembangan game animasi lebih terfokus
pada tingkat kelayakan baik dari gambaran tokoh, sistematika penyajian, tingkat

kesulitangame, isi, maupun yang berhubungan dengan tampilan fisik game animasi. Sumber

data dalam penelitian ini adalah para ahli dan dokumen yang relevan yakni cerita rakyat

yang mengandung nilai-nilai pendidikan karakter bagi anak.

3.4 Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam kaitannya dengan menelaah nilai-nilai pendidikan karakter dalam game

animasi, maka penelitian ini menggunakan human instrument (Bogdan dan Biklen, 1982),

artinya, penelitilah yang mengumpulkan data, menyajikan data, mereduksi data,

mengorganisasi data, memaknai data, dan menyimpulkan hasil penelitian. Instrumen lain

yang digunakan berupa lembar observasi, Lembar observasi ini digunakan untuk mencatat

aktivitas pada kegiatan pengamatan pada saat uji lapangan terbatas. Penelitian ini juga

menggunakan angket lembar penilaian terhadap game animasi. Selain itu, penelitian ini juga

menggunakan instrumen panduan wawancara—sebagai informasi pendalaman- untuk

menggali masukan dari para ahli. Dengan demikian, teknik pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, angket, dan wawancara terstruktur. Teknik

pengumpulan data yang lain adalah analisis dokumen cerita rakyat yang mengandung nilai-

nilai pendidikan karakter bagi anak.

3.5 Teknik Analisis Data

Data dalam penelitian berupa data kualitatif dan kuantitaif. Data kualitatif terdiri atas

nilai-nilai pendidikan karakter game animasi, hasil pengamatan, dan masukan yang bersifat

naratif dari ahli dan pengguna. Untuk mengeskplor nilai-nilai pendidikan karakter dari game

animasi akan digunakan teknik analisis isi (contens analysis) yang diadaptasi dari

Krippendorff (1980) yang meliputi (a) observasi mentah (membaca secara cermat dan

menyeluruh cerita rakyat yang diaasumsikan memiliki nilai-nilai pendidikan karakter), (b)
menentukan unit (unitisasi). Dalam hal ini peneliti memisah-misahkan data menjadi bagian-

bagian yang selanjutnya dapat dianalisis, (c) menetapkan data yang dianalisis (sampling), (d)

membuat catatan (recording) terhadap data yang telah ditetapkan untuk dianalisis, (e)

mereduksi data, dan (f) membuat inferensi (menemukan maksud yang terkandung dalam data

yakni game animasi).

Data kualitatif yang diperoleh dari hasil pengamatan, wawancara, dan masukan yang

sifatnya naratif ditempuh dengan langkah-langkah sebagai berikut.

(1) Identifikasi: yang dimaksud dengan identifikasi di sini adalah upaya

mengidentifikasi data baik dari masukan para ahli, pengguna, hasil observasi

yang relevan dengan masalah penelitian. Data yang dimaksud bisa berasal dari

hasil angket, wawancara, dan observasi.

(2) Pengelompokkan data. Pengelompokan data dilakukan dalam bentuk

mengelompokkan data-data yang dianalisis berdasarkan tujuan penelitian. Data

yang terkait dengan prosedur pengembangan dikelompokkan ke dalam domain

tersendiri yang tidak bercampur aduk dengan data yang terkait dengan

karakteristik game animasi dan kelayakan produk.

(3) Penyajian dan penjelasan Data. Penyajian dan penjelasan data dalam penelitian

ini terkait dengan paparan data yang sudah dikelompokkan dan sekaligus data

tersebut dijelaskan dalam bentuk narasi secara logis, objketif, dan sistematis.

(4) Penyimpulan. Tahap ini merupakan tahap penentuan profil dan kelayakan

produk berupa game animasi berbasis pendidikan karakter.

Sementara itu, data kuantitatif dianalisis melalui penghitungan rerata skor yang

diperoleh melalui angket yang merupakan penilaian dari ahli dan pengguna. Melalui rerata

skor dan dipadukan dengan hasil analisis data kualitatif, akan diperoleh suatu kesimpulan
tingkat kelayakan produk yang dihasilkan. Untuk menentukan tingkat kelayakan game

animasi digunakan kriteria sebagai berikut.

No Skor Tingkat Efektifitas

1 85 s.d 100 Sangat efektif

2 75 s.d 84 Efektif

3 60 s.d 74 Kurang Efektif

4 ≤ 59 Sangat tidak efektif

Anda mungkin juga menyukai