Anda di halaman 1dari 14

SEGI-SEGI INOVATIF DALAM BEBERAPA TREN

PEMBELAJARAN BAHASA MUTAKHIR


Disusun Yohanes Mariano Dangku
Mahasiswa PPs S3 PBI UM
2015

1 Pendahuluan
Salah satu keluhan yang paling kerap terhadap pembelajaran adalah bahwa
pembelajaran sering dikelola secara konvensional. Guru cenderung dan bahkan
mapan dengan metode ceramah. Sementara ceramahnya pun sering terpaku teks
dan miskin selingan sehingga dirasa monoton dan tidak menggairahkan.
Dampaknya peserta didik mengikuti semata-mata karena kewajiban formal.
Pembelajar kehilangan sense of belonging karena pembelajaran lebih sebagai
kewajiban daripada kebutuhan. Pembelajaran lebih sebagai paksaan daripada
pilihan bebas untuk menuai pengetahuan. Padahal merekalah pusat pembelajaran
sesungguhnya.
Guru juga terjebak dalam mispersepsi bahwa inovasi itu identik dengan
discovery sehingga dirasa sebagai sesuatu yang mustahil. Inovasi hanyalah
kapasitasnya para pakar. Para guru bukanlah Albert Einstein atau James Watt
sehingga tidak mungkin menciptakan penemuan. Penemuan hanyalah karya
manusia-manusia berbakat. Dampaknya, inovasi dianggap sebagai suatu ranah
terbatas, yang hanya dapat dijelajah para ahli.
Persepsi ini harus dipatahkan. Sebab, inovasi terbentang dari variasi
sampai discovery, dari adopsi sampai kreasi (Rogers, 1983:11-12). Dalam
pandangan Rogers, “inovasi pada hakikatnya ide, praktik atau objek yang
dipersepsikan baru secara individual atau komunal; aksentuasinya pada a new
perception, persepsi baru, tidak harus selalu a new creation, buatan atau ciptaan
baru.” Sebab, tujuan dasar inovasi adalah pendayagunaan potensi-potensi yang
belum didayagunakan untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Potensi-potensi
tersebut dapat berasal dari yang sudah ada maupun yang belum ada. Itu berarti
bahwa secara kondisional hal-hal yang telah ada jika didayagunakan dapat
menimbulkan cita rasa baru. Oleh karena itu, variasi, modifikasi, dan difusi hal-
hal yang sudah ada pun dapat dikategorikan sebagai inovasi (1983:11).
Mengikuti perspektif Rogers, bermunculan upaya-upaya inovatif. Upaya-
upaya tersebut ditemukan dalam aneka publikasi. Makalah ini disusun untuk
memaparkan segi-segi inovatif yang ditemukan dalam beberapa artikel. Paparan
ini dimaksudkan untuk melihat kecenderungan segi inovatifnya dan menunjukkan
potensinya untuk dikembangkan lebih lanjut dalam pembaruan dan
pengembangan pembelajaran bahasa Indonesia.
2 Pembahasan
2.1 Kerangka Teoretis
Sebelum segi-segi inovatif dalam artikel yang ditinjau penulis disajikan,
dibutuhkan kerangka teoretis. Kerangka teoretis diperlukan untuk membingkai
dan memberi pendasaran segi-segi inovatif yang disingkapkan. Wawasan teoretis
diperlukan sebagai perspektif untuk meninjau dan menyingkapkan segi-segi
inovatif dalam artikel-artikel yang ditinjau.
Berdasarkan The New Oxford Dictionary of English (1998:942), inovasi
adalah “Making changes to something established by introducing something
new”. Berdasarkan definisi tersebut, inovasi adalah aktivitas membuat perubahan
terhadap sesuatu yang sudah ada dan mapan dengan memperkenalkan sesuatu
yang baru. Definisi tersebut menegaskan sifat ex nihilo nihil fit dalam ranah
inovasi, yaitu bahwa inovasi tidak bertolak dari kekosongan, tetapi dari hal yang
sudah ada.
Sejalan dengan itu kerangka teoretis Rogers masih relevan dan
representatif untuk dirujuk sebagai landasan teoretis (Winataputra, dkk.,
2012:1.3). Seperti diparafrasekan sebelumnya bahwa Rogers menekankan segi
kebaruan dalam inovasinya. Secara eksplisit Rogers menyatakan bahwa “
innovation is an idea, practoce, or object that is perceived as new by an
individual. .... The perceived newness of idea for individual determines his or her
reaction to it. If the idea seems new to the indovidual, it s an innovation (Rogers,
1983:11). Inovasi dapat berupa gagasan, pemikiran (idea); praktik, tindakan,
perbuatan, kerja (practice); atau objek, hal yang dipersepsikan baru oleh
seseorang. Persepsi baru menentukan gagasan atau praktik atau objek termasuk
inovasi atau tidak. Newness, kebaruan memastikan bahwa sesuatu memenuhi
kriteria inovatif atau tidak.
Namun, kedua definisi tersebut harus diberikan adendum, tambahan, yaitu
pemaknaan. Penambahan itu diberikan berhubungan dengan signifikansi
kebaruan. Itu berarti bahwa inovasi tidak sekadar baru melainkan dibarukan
karena dibutuhkan (demand) dan memberikan nilai (value) bagi penerima,
penggunanya. Uhasa memperbaruai bukan sekadar refresh, menyegarkan yang
sudah ada melainkan penambahan nilai atau pemberian lebih kepada harapan atau
kebutuhan (www.sagepub.com., 2008)
Berdasarkan batasan-batasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pemikiran,
praktik, atau hal tertentu berpotensi inovatif jika dibarui. Itu berarti secara
potensial bahwa bahan yang ada, seperti pikiran, praktik, dan hal tertentu, dapat
dijadikan titik tolak inovasi. Pikiran, praktik, atau hal tertentu diperbarui dengan
variasi, adaptasi, modifikasi sehingga menampilkan karakter baru. Karakter baru
menjadi pemikat dan pendorong semangat baru dalam pembelajaran.
Selain karakter kebaruan (newness), inovasi juga berhubungan dengan
reinvensi (1983:16-17), yaitu jenjang sampai di mana inovasi diubah, diadaptasi,
atau dimodifikasi oleh pengguna dalam proses adopsi dan implementasi.
Pengguna tidak sekadar mengambil alih atau memindahkan lokasi tetapi
mengadaptasikan sesuatu dengan tuntutan lokasi.
Lebih lanjut Rogers memaparkan rincian karateristik inovasi (1983: 14-16;
Winataputra, dkk., 2012: 1.5). Pertama, inovasi berciri memberikan keunggulan
relatif (relative advantage). Inovasi dilakukan dan diterima jika memberikan
keuntungan bagi pembuat dan penerima. Pembuat berusaha membarui karena
yang ada sudah tidak ‘produktif’ lagi. Agar bahan yang ada memberikan
keuntungan perlu diremajakan, dimutakhirkan, diubah sehingga dapat
memberikan keuntungan-keuntungan lagi.
Kedua, kompatibilitas (compatibility), yaitu bahwa pembaruan itu sesuai
dengan nilai, harapan, kebutuhan penerima. Kesesuaian atau kompatibilitas
menyebabkan inovasi mudah diterima, dan disebarkan. Jika hasil inovasi sesuai
harapan penerima maka inovasi tersebut mudah diterima. Akseptabilitas inovasi
memikat banyak pengguna sehingga inovasi semakin mudah disebarkan.
Ketiga, kompleksitas (complexity), yaitu bahwa inovasi yang rumit sulit
diterima sehingga lamban pula disebarkan. Berkebalikan dengan kompatabilitas,
kompeleksitas suatu inovasi mengalami kesukaran dalam penerimaan dan
penyebaran. Ciri ini menjadi peringatan bagi pembaru untuk meminimalisasi
kompleksitas inovasi. Sebab, kompleksitas menghambat penerimaan dan
penyebarannya.
Keempat, trialibilitas (trialibility), yaitu bahwa inovasi dapat diujicobakan.
Sebelum go public, inovasi perlu menjalani fase ad experimentum, dalam fase
percobaan untuk menilai reaksi dan hasil yang ditimbulkannya. Jika ditemukan
hasil yang jauh dari harapan maka hal itu menjadi evaluasi sikap menentukan
dilanjutkan, diteruskan atau inovasi tersebut dihentikan.
Kelima, observabilitas, yaitu inovasi potensial diamati. Inovasi yang
obsersabel, teramati, berpeluang untuk lebih mudah diterima karena dapat diamati
hasil, atau daya ubahnya. Potensi observabel ini berpengaruh pada mudah atau
sulit menerima dan melanjutkan suatu inovasi.
Berdasarkan definisi dan karakteristik inovasi yang dipaparkan, inovasi
dalam pembelajaran bahasa pun dapat didefinisikan. Inovasi pembelajaran bahasa
adalah pembaruan idea, praktik atau hal tertentu untuk memutakhirkan dan
mengaktualisasikan pengelolaan pembelajaran bahasa yang efektif dan efisien
untuk menghasilkan capain-capaian yang dikehendaki (learning outcomes).
Pembaruan pada ide, praktik, atau hal-hal yang teknis menampilkan profil
pembelajaran bahasa inovatif. Dalam kata-kata lain, profil pembelajaran bahasa
inovatif merupakan hasil inovasi perancang dan pengembang untuk
membelajarkan peserta didik agar menguasai penggunaan dan pendayagunaan
bahasa secara ilmiah, efisien, dan efektif.
Berkenaan dengan inovasi pembelajaran perlu ditambahkan bahwa inovasi
dibutuhkan dan dikontekstualisasi sesuai dengan paradigma. Dalam wawasan
pendidikan dikenal tiga istilah, yaitu pengajaran (teaching), pemanduan belajar
(instructional), dan proses belajar (learning). Ketiga istilah merepresentasikan 3
paradigma dalam pendidikan, yaitu pengajaran ajaran, pemanduan belajar, dan
pembelajaran (Winataputra, dkk., 2012:1.23). Dalam pendidikan berparadigma
pengajaran, guru dipandang sebagai kitab ilmu dalam mana tertulis ajaran-ajaran
yang patut diikuti peserta didik. Kegiatan belajar-mengajar berpusat pada guru
karena satu-satunya sumber pengetahuan. Dalam pendidikan berparadigma
pemanduaan belajar, aktivitas bergeser kepada peserta didik; peserta didik
menjadi pusat kegiatan belajar; dan guru hanya memfasilitasi. Sementara
penididikan berparadigma pembelajaran menjadi proses sebagai pengalaman
belajar autentik.
Selain itu, agar inovasi pembelajaran dapat dipetakan secara analitis
dibutuhkan kerangka kerja operasional. Satu kerangka yang paling sederhana
adalah analisis level inovasi, yaitu variasi, adopsi, adaptasi, modifikasi, dan
invensi. Tingkatan-tingkatan tersebut berhubungan dengan ciri-ciri inovatif.
Seperti diakui Rogers bahwa inovasi berhubungan dengan konsep-konsep seperti
design, perancangan; change, perubahan, ; dan penciptaan, creativity. Itu berarti
bahwa dalam setiap inovasi ditemukan upaya mengubah yang sudah ada dan
mengubah pengguna atau kelompok sasar; usaha mengubah tersebut dirancang;
dan proses kreatif, usaha menciptakan. Mengikuti alur pikir tersebut,
variasi(variation), adopsi (adoption), adaptasi (adaptation), dan modifikasi
(modification), dan invensi (invention) merupakan bentuk-bentuk konkret inovasi
tetapi bentuk-bentuk tersebut juga menunjukkan tingkatan kebaruannya.
Variasi adalah bentuk inovasi dengan menggantikan sesuatu yang sedang
berlaku dengan sesuatu yang lain yang sudah ada. Seseorang menggunakan
potensi yang sudah ada untuk menggantikan sesuatu yang sudah berlaku. Pada
bentuk dan level ini yang ditekankan adalah nilai tambah atau nilai lebih berupa
efek yang ditumbulkan variasi. Variasi membawa orang keluar dari kejenuhan
atau kebosanan.
Adopsi adalah bentuk inovasi dengan mengambil alih dan memberlakukan
suatu produk untuk mengatasi atau menjawabi kebutuhan. Walaupun mengambil
alih, pada bentuk dan level ini pelaku inovasi sudah melibatkan segi subjektivitas.
Pelaku inovasi dengan tahu dan mau bagaikan satu keluarga mengadopsi produk
inovasi untuk diberlakukan dalam rumah tangganya.
Adaptasi adalah bentuk inovasi dengan melakukan penyesuaian sesuai
tuntutan ranah di mana inovasi tersebut diberlakukan. Adaptasi tidak sekadar
memindahkan lokasi; tidak sekadar copy paste; tetapi pelaku dengan
mempertimbangkan analisis kebutuhan dan konteks lokal membuat penyesuaian-
penyesuaian seperlunya. Dalam kata-kata lain, adapatasi bukan reduplikasi
produk, tetapi menyessuaikan produk sesuai dengan tuntutan konteks.
Modifikasi adalah bentuk inovasi dengan mengubah produk agar
kompatibel, cocok, sesuai. seperti dinyatakan sebelumnya, kompatibilitas
merupakan salah satu kriteria inovasi. Modifikasi adalah upaya pelaku inovasi
untuk mencocokkan suatu produk dengan keadaan yang dihadapi.
Sementara invensi berdasarkan The New Oxford Dictionary of English
adalah bentuk inovasi yang “creating something new that has never existed before
(1998:960), menciptakan sesuatu yang baru yang belum pernah ada sebelumnya.
Bentuk inovasi berada pada level yang paling tinggi. Pada level ini menciptakan,
mengadakan sesuatu yang sebelumnya ada.
Pemahaman bentuk dan level inovasi ini dapat dijadikan sebagai sarana
analisis terhadap beberapa artikel yang ditinjau penulis. Paparan dimulai dengan
ringkasan deskriptif dan diikuti pemetaan analitis.

2.2 Paparan Deskriptif Beberapa Tren Pembelajaran Bahasa Mutakhir


Sebagai titik tolak pemetaan analitis, bagian ini menyajikan secara
deskriptif beberapa tinjauan artikel. Tinjauan disajikan seringkas-ringkasnya
untuk menunjukkan spesifikasi dan perumupunannya dalam bingkai pembelajaran
bahasa.
Pertama, pembelajaran menyimak
Untuk keterampilan menyimak, penulis mendeskripsikan secara ringkas
dua artikel yang saling bergayut. Pertama, Artikel Fatemah Hosseini, “Teach How
to Listen: The Effect of Listenig Strategy Instruction on Documentary Video
Comprehension”, dalam International Letters of Social and Humanistic Sciences
Vol.9 Hal.11-21 2013. Seperti memaparkan penelitian tentang dampak
penggunaan strategi pengajaran menyimak terhadap pemahaman peserta didik
atas video dokumenter. Penulis meneliti dampak maka penelitiannya
menggunakan eksperimen.
Artikel ini memunyai beberapa kemenarikan. Pertama, kemenarikan pada
pilihan media video dokumenter. Ciri inovatif justru tampak pada penggunaan
media ini. Sebab, penggunaan media ini memperlihatkan penelitinya memberi
pesan alternatif dan jaminan ilmiah bagi instruktur, guru, pengelola pembelajaran
menyimak untuk keluar dari pola pengelolaan yang konvensional dan monoton.
Kedua, kemenarikan daya guna pemanfaatan media video dokumenter untuk
pembelajaran lain, seperti bahasa kedua (L2) IPS, sejarah, dan lain-lain. Hosseini
dengan optimis memperlihatkan bahwa penggunaan media ini amat menjamin di
era digital karena dapat tersedia dalam situs-situs yang tersedia sehingga daripada
teknologi yang tersedia disalahgunakan lebih baik diarahkan guru untuk mencari
media yang edukatif seperti ini.
Kedua, untuk menambah wawasan ditinjau juga salah bab buku yang
menguraikan tentang strategi metakognitif dalam pembelajaran menyimak. Artikel
lain yang membahas tentang menyimak Melanjutkan pokok bahasan sebelumnya,
tulisan ini meninjau penggunaan strategi metakognitif dalam pembelajaran
menyimak. Bagian pertama meninjau salah satu bab yang membahas menyimak,
Listening. Kedua, tinjauan penggunaan strategi metakognitif dalam pembelajaran
menyimak, The Effect of Metacognitive Strategies Instruction on Listening
Comprehension of Iranian Pre-intermediate Female EFL Learners.
Flavell (1979 dalam Hariri 2014) menyatakan bahwa proses metakognitif
dalam menyimak melibatkan beberapa proses lain, yaitu pengetahuan
metakognitif, pengalaman metakognitif, tujuan, dan strategi. Menurut Flavell,
pengetahuan tentang pengetahuan (metakognisi) terdiri dari terutama pengetahuan
atau keyakinan tentang faktor atau variabel beraksi dan berinteraksi dalam cara-
cara yang memengaruhi pembelajaran dan capaian usaha kognitif. Selanjutnya dia
menerangkan bahwa pengalaman metakognitif adalah pengalaman-pengalaman
sadar kognitif atau afektif yang menyertai usaha intelektual.
Kedua, pembelajaran berbicara
Mengenai pembelajaran berbicara penulis meninjau artikel A research on
a student-centred teaching model in an ICT-based English audio-video speaking
class yang disusun sebagai hasil penelitian Zhihong Lu, Leijuan Hou and Xiaohui
Huang dari Beijing University of Posts and Telecommunications, P. R. C. Pilihan
ini didasari pertimbangan pada peluang meluasnya ketersediaan TIK di sekolah-
sekolah yang sudah mulai terasa sekarang. Daya guna fasilitas TIK dapat
mendorong pengajar lainnya untuk menggunakan sarana tersebut untuk
kepentingan keilmuan, khususnya dalam pembelajaran berbicara. Untuk
menambah wawasan ditinjau juga beberapa artikel-artikel yang gayut dengan
artikel yang ditinjau.
Secara rasional, TIK adalah fasilitas. Penggunaan fasilitas tersebut
mengondisikan minimalisasi peran pengajar dan maksimalisasi peran pembelajar.
Persis kondisi tersebut mengoptimalkan pembelajaran berpusat siswa (student-
centered learning) dan mengurangi peran guru (teacher-cenetered learning).
Pembelajar bergeser dari objek yang diajar guru menjadi subjek yang belajar
didampingi guru. Guru dapat benar-benar menjadi fasilitator. Dikaitkan pula
dengan kurikulum berbasis kompetensi, penggunaan TIK dapat menjadikan
kompetensi pembelajar sebagai basis dan orientasi pembelajaran.
Secara metodologis, pembelajaran berbantuan video audio komputer
memberi peluang penerapan pembelajaran berbasis tugas. Dengan fasilitas TIK
yang ada, pembelajar dapat menjalankan instruksi, arahan, dan panduan dengan
memanfaatkan fasilitas yang disediakan. Secara lebih luas, pembelajar beraksi
dengan tugas-tugas dan menjadikan tugas-tugas dalam pembelajaran berbicara
untuk mengetahui, menerampilkan, dan membentuk sikap ilmiahnya sesuai
dengan materi dipelajari
Ketiga, pembelajaran membaca
Sementara untuk pembelajaran berbicara, penulis meninjau dua artikel.
Pertama, artikel Applying the Theory of Variation in Teaching Reading tulisan Siu
Yin Annie Tong dari The Hong Kong Institute of Education Hong Kong. Dalam
artikel ini dibahas bentuk inovasi variasi. Penggunaan metode variasi bertolak dari
temuan masalah para siswa dalam menyimpulkan karakter-karakter tokoh dan
peristiwa dalam sebuah cerita pendek. Peneliti dan sejumlah pendidik di sekolah
yang disasar mendiskusikan masalah dan merancang pembelajaran dengan
menggunakan metode tertentu agar problem tersebut dapat dipecahkan.
Berdasarkan teori variasi (Marton dan Booth, 1997), Annie Tong
mendesain metode variasi untuk membelajarkan aspek-aspek sulit membaca cerita
pendek berbahasa Inggris. Pilihan ini bertolak dari obsesi Annie Tong untuk
memberdayakan para guru dan siswa untuk mengidentifikasi fitur-fitur kritis
objek pembelajaran dengan membandingkan kerangka kerja pengetahuan dan
pemahaman yang sedang berlaku. Metode variasi menawarkan cara baru yang
variatif. Pilihan metode ini berada dalam bingkai besar pembelajaran bahasa
Inggris melalui cerita-cerita pendek (Learning English through Short Stories) bagi
para siswa sekolah menengah (Grade 7 – 9).
Annie Tong menerapkannya dalam membaca dua cerpen, yaitu The Hand
of Fate dan Is There Anyone up There? Selain mengimplementasikan kedua
variasi di atas, pelaksanaan penelitian tindakan untuk kedua cerpen tersebut juga
dilakukan untuk mengumpulkan data pola variasi dari kedua kegiatan penelitian
pembacaan (Variasi 3). Itu berarti terdapat dua aktivitas utama, yaitu aktivitas
membaca cerpen 1 dan membaca cerpen 2. Selanjutkan dilakukan komparasi pola
variasi dalam kedua aktivitas tersebut.
Kedua, artikel Jing-Ru Wang, Yuh-Chao Wang, Hsin-Jung Tai and Wen-Ju
Chen, yaitu Investigating the Effectiveness of Inquiry-Based Instruction on
Students wtih Different Prior Konwledge and Reading Abilities yang membahas
tentang membaca berbasis inkuiri. Membaca berbasis inkuiri diajarkan sebagai
strategi dalam pengajaran membaca demi mencapai tujuan membaca.
Salah satu segi kemenarikan artikel ini adalah bahwa artikel ini
menggunakan pemahaman lintas bidang, yaitu bagaimana pemahaman bidang
sains ditunjang pemahaman santifik. Dinyatakan secara lain, artikel ini
menunjukkan kontribusi pembelajaran bahasa, khususnya membaca, dalam
mempelajari ilmu lain. Bahasa digunakan dalam bingkai literasi ilmiah.
Para penulis artikel berangkat dari asumsi bahwa sains dapat dipelajari jika
pembelajaran memunyai literasi santifik (scientific literacy), yaitu kemampuan
membaca, menulis, memahami, dan menerapkan sains. Asumsi ini penting agar
pembelajar dan pengajar sedari awal menyadari bahwa mempelajari sains bukan
sekadar memperoleh nilai atau lulus ujian tetapi untuk memelekkan kesadaran
literatif pembelajar di bidang sains. Asumsi yang sama juga menegaskan
kontribusi utama bahasa dalam mempelajari sains. Dirumuskan secara lain, literasi
saintifik dapat dicapai jika pembelajar memunyai kompetensi dan kemahiran
berbahasa yang memadai.
Keempat, pembelajaran menulis
Topik tentang pembelajaran menulis didasarkan pada tinjauan atas artikel
Amy Cummins, Tell Me a Story: Effective Use of Creative Writing Assignments in
College Literature Courses. Artikel ini ditinjau karena di dalamnya mengangkat
tentang perlunya kreativitas dan inovasi dalam lingkungan kerja dan sekolah
melalui penugasan. Penugasan-penugasan menulis kreatif menyediakan peluang-
peluang bagi mahasiswa untuk beradaptasi, memperluas, dan menanggapi teks-
teks sastra.
Ketertarikan lain meninjau artikel ini karena menyajikan alasan dan
strategi-strategi untuk praktik-praktik kelas yang menggunakan memanfaatkan
menulis kreatif dalam kuliah sastra dan mencakupi contoh-contoh dari tulisan
siswa. Artikel ini menjelaskan pentingnya pernyataan penulis (tesis), analisis diri
yang menjadikan aktivitas kiritsis dan kreatif, dan proses ‘peer-sharing. Dalamnya
ditunjukkan kesulitan-kesulitan yang mungkin, mengajukan niali menulis kreatif
lintas disiplin, dan menawarkan saran-saran untuk penyatuan aktivitas menulis
kreatif kedalam keragaman kuliah-kuliah di kampus.
Cummins mengemukakan alasan memberikan penugasan-penugasan
meneulis kreatif. Pertama, kreativitas dan inovasi diperlukan dalam konteks dunia
kerja abad 21. Kedua, tipe-tipe penugasan yang beragan dapat membantu para
siswa yang beragam konek dengan dan mengingat-ingat bahan ajar. Ketiga, sastra
dipersepsikan secara segar bila metode analisis membutuhkan tanggapan kreatif
dan kritis. Keempat, pentingnya genre, struktur, gaya dan perspektif naratif
menjadi lebih jelas ketika satu naratif melukiskan, dan karakter dapat dipahami
secara lebih dalam ketika orang membayangkan pikiran-pikiran yang tidak
dikatakan. Kelima, tulisan dalam genre yang bervariasi menyediakan praktik
untuk para siswa yang hendak menulis sebagai bagian dari karier. Keenam,
evaluasi penugasan-penugasan baru menguatkan profesor, sementara aktivitas-
aktivitas kreatif menyediakan keragaman dan perubahan langkah yang diapresiasi
mahasiswa kontemporer.
Kelima, pembelajaran terpadu: Membaca – Menulis
Tentang pendekatan terpadu dalam pembelajaran bahasa, penulis meninjau
artikel Teaching Writing through Reading Integration karya Luu Trong Tuan dari
Ho Chi Minh City University of Finance-Marketing, Vietnam dalam Journal of
Language Teaching and Research, Vol. 3, No. 3, pp. 489-499, May 2012 © 2012
ACADEMY PUBLISHER Manufactured in Finland. Artikel ini memperlihatkan
interelasi mutual menulis dan membaca serta bagaimana membelajarkan kedua
kecakapan berbahasa tersebut maka penulis meninjau
Trong Tuan berangkat dari niat memperlihatkan manfaat penggunaan
pendekatan pemaduan membaca dengan menulis untuk meningkatkan
keterampilan menulis bagi pembelajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing (EFL:
English Foreign Language). Trong Tuan berasumsi bahwa menulis membutuhkan
ide, gagasan, yang dijadikan inspirasi atau bahkan rujukan dalam menulis.
Mustahil siswa menulis dari suatu kehampaan, ex nihilo nihil fil, dari kekosongan
tidak akan terjadi apa pun.
Trong Tuan berangkat dari amatannya bahwa pembelajaran menulis amat
dikuasai perspektif dan strategi tradisional, yaitu belajar menulis (learning to
write). Dominasi perspektif ini mencekoki kesadaran yang memfosil seolah-olah
menulis selalu berarti memindahkan data grafis dari suatu sumber ke dalam kertas
putih/polos. Menulis juga dilihat sebagai ‘mengopi’ (to copy) ide dari tempat lain.
Dominasi ini justru melumpuhkan daya cipta pembelajar. Sebaliknya, Trong Tuan
menegaskan pergeseran perspektif kepada writing to learn, menulis untuk belajar,
yaitu aktivitas yang menempatkan menulis sebagai aktivitas yang tidak sebatas
gerakan kinestetik ragawi tetapi pendayagunaan kapasitas mental memikirkan
atau mengimaginasikan, menentukan bentuk dan genre sebagai saluran dan
menungkannya di atas halaman dengan tangan atau cetak.
Keenam, pembelajaran terpadu interproduktif
Artikel Integrating Language Skills through a Dictogloss Procedure yang
disusun Benjamin Lee Stewart, Luis Humberto Rodríguez Silva, dan Juan Antonio
Torres González membahas bebarapa hal menarik. Pertama, pilihan kecakapan
yang dipadukan, yaitu menyimak dan menulis. Koneksi yang dilihat adalah
hubungan antara bahasa lisan dengan bahasa tulis. Dalam proses kerja subjek juga
ditemukan koneksi antara aktivitas berbahasa reseptif dan kegiatan bahasa yang
produktif. Kedua, pilihan metode distoglos. Stewart, Silva dan Gonzales bertolak
dari pengalaman dan studi penjajakan bahwa pengajaran bahasa kedua cenderung
menggunakan metode tradisional, seperti metode terjemahan. Para peneliti
menawarkan metode distoglos untuk berinovasi agar terjadi perubahan dalam
pembelajaran para pemebelajar bahasa kedua. Ketiga, para peneliti berusaha
merampingkan proses dan prosedur pembelajarn bahasa kedua dengan
menggunaan pendekatan terpadu. Sementara untuk membelajarkan para siswa
mereka menggunakan metode diktoglos.
Dalam artikel ini diperlihatkan contoh-contoh aktivitas diktoglos yang
interaktif dan berpusat siswa (interactive and student-centered examples of
dictogloss activities) yang menawarkan alternatif atau pengganti diktasi
tradisional, yang bisanya digunakan untuk menyimak pemhaman (listening
comprehension) dan dapat diterapkan dalam dan di luat kelas (Wajnryb 1990).
Para peneliti berargumen bahwa diktoglos bersifat praktis, mudah diterapkan, dan
fleksibel sesuai kebutuhan, kepentingan dan pilihan-pilihan belajar setiap
pembelajar. Jauh lebih mendasar itu adalah bahwa aktivitas-aktivitas diktoglos
memungkinkan pembelajar bahasa kedua aktif, interaktif dan reflektif selama
proses pembelajaran.
Ketujuh, asesmen
Pokok asesmen dikupas beberapa artikel. Pertama, Teaching and
Assessing Speaking Performnace through Analytic Scoring Approach yang ditulis
Luu Trong Tuan dari University for Natural Resources and Environtment, Ho Chi
Minh Vietnam. Dalamnya ditegaskan bahwa asesmen bertujuan untuk menilai
taraf atau tingkat kemajuan belajar atas suatu pokok bahasan. Namun sejatinya,
asesmen bertujuan menemukan informasi dan umpan balik baik bagi pengajar
maupun bagi pembelajar. Demikian juga dalam penilaian berbicara, guru menguji
tingkat perkembangan siswa agar dapat memperoleh masukan baru dan umpan
bail sehingga terjadi restorasi, perubahan dan perbaikan dalam pengajaran dan
pembelajaran.
Selain itu terdapat artikel yang menekankan bahwa selain restorasi
pembelajaran, dibutuhkan inovasi atau modifikasi pembelajaran agar mencapai
hasil yang lebih baik. Modifikasi tidak perlu terlalu rumit dan canggih. Sebab,
sasaran utamanya adalah ditemukan strategi, metode atau pendekatan yang
berdaya terap dan daya ubah, daya transformatif demi perbaikan dan peningkatan
hasil belajar peserta didik. Latar belakang inilah yang mendorong penulis
meninjau artikel “Coherence in the Assessment Writing Skills” susunan Robin
Walker dan Carmen Perez Riu dalam ELT Journal Volume 62/1 January 2008,
Oxford University Press.
Menurut Walker dan Rius, EWP bertujuan utama (1) memecahkan kembali
ketidakkoherensian antara pendekatan proses dengan pengajaran dan asesmen
melalui Timed Essay/TE (Esei Berbatas Waktu, EBW); (2) menciptakan
mekanisme yang hendak melapangkan peneliti untuk mengases produk tulisan
peseta didik; dan (3) memfasilitasi kemandirian peserta didik melalui peningkatan
kesadaran teknik dan stnadar bahasa menulis mereka. Tujuan pengiringnya adalah
mereduksi frustrasi peserta didik dan guru karena desakan standar ujian Timed
Essay dibandingkan esei kerja kursus. Dengan EWP peserta didik memunyai
kesempatan untuk menggunakan prosedur, yaitu drafting, revising, correcting
teks. Ini diharapkan mendorong peserta didik untuk mencapai kualitas tulisan
yang lebih baik.
Selain itu, hasil belajar juga harus dipahami secara holistik karena hasil
tersebut melibatkan pihak lain dalam rancangan, proses, dan asesmen yang
dilakukan. Secara langsung dinyatakan bahwa selain peserta didik, guru juga
harus dilihat sebagai komponen langsung dalam memahami hasil belajar peserta
didik. Sebab, gurulah pelaku kegiatan pengajaran yang diikuti peserta didik.
Hubungan guru dan siswa dalam asesmen menarik dibahas lebih lanjut.
Kemenarikan itulah yang menggerakan penulis untuk meninjau artikel The
Integrated Performance Assessment (IPA): Connecting Instruction and Learning
oleh Bonnie Adair-Hauck, Eeilen W.Glisan, Keiko Koda, Elvira B. Swender, dan
Paul Sandrock dalam Foreign Language Annals Vol.39 No.3 2006.
Lebih dikupas tentang Proyek Rancangan Asesmen Keterampilan Terpadu
(AKT) atau Integrated Performance Assessment (IPA) yang dirintis Fakultas
Program Studi dan Penelitian Pendidikan USA. Tujuan utamanya adalah
mengembangkan protipe asesmen kecakapan-kecakapan terpadu yang hendak
mengukur kemajuan mahasiswa sesuai Standar Pembelajaran Bahasa Asing
(SPBA) atau Standars for Foreign Language Learning (SFLL) pada Abad XXI.
Tujuan kedua adalah bahwa proyek ini menggunakan protipe asesmen sebagai
katalis untuk reformasi pedagogik dan kurikulum. Berkenaan dengan tujuan-
tujuan tersebut, artikel ini memuat protipe Asesmen Keterampilan Terapdu (AKT)
dan mendiskusikan bagaimana penelitian berbasis kelas tentang AKT
menunjukkan efek perbaikan AKT pada persepsi guru berkenaan dengan
pengajarannya.
3 Analisis
Berdasarkan kerangka teoretis dan deskripsi tinjauan di atas, penulis
menyajikan beberapa analisis berdasarkan tinjauan yang dilakukan.
Pertama, tinjauan tentang pembelajaran menyimak. Berdasarkan
artikel Fatemah Hosseini menunjukkan inovasi pada penggunaan video
dokumenter.Sebagai teknologi pengguna hanya bisa memanipulasi,
memperlakukan pada pendayagunaan: optimalisasi dan maksimalisasi
penggunaan. Di sini pengguna dapat memilih konten yang sesuai (didaktis), tetapi
berdaya ubah, bernilai mengubahkan peserta didik. Ruang inovasi terbatas pada
penggunaan media.
Kedua, pembelajaran berbicara
Pembelajaran berbantuan TIK dengan fasilitas video audio dapat
dilaksanakan hanya jika terpenuhi kondisi-kondisi minimal. Pertama, ketersediaan
fasilitas TIK. Pengembangan inovasi pembelajaran berbicara berbantuan video
audio komputer hanya dapat dilaksanakan di sekolah yang memunyai
laboratorium bahasa dan komputer yang memadai. Kedua, kesiapan guru sebagai
fasilitator. Inovasi dengan basis TIK hanya dapat berlangsung jika guru melek
TIK. Idealnya, guru harus memunyai penguasaan TIK yang lebih dari pembelajar.
Ketiga, kesiapan peserta didik dalam memanfaatkan fasilitas TIK. Peserta didik
harus diidentifikasi tingkat penguasaan TIK-nya agar semua pembelajar
dipastikan aktif menggunakan fasilitas tersebut.
Namun, mungkin karena ruang terbatas, para peneliti ini kurang eksplisit
menunjukkan prosedur belajar dan sintaks penggunaan TIK. Mereka juga tidak
menampilkan materi pembelajaran berbicara. Sekilas artikel ini lebih sebagai
laporan proyek tentang pekerjaan dan apa yang mereka tunaikan. Sebaliknya,
bagaimana mereka menerapkan atau mengujikan model inovasi mereka tidak
tampak sama sekali.
Segi positifnya, para penulis artikel menyebarkan spirit kepada para guru,
yaitu keluar dari pola pemahaman yang memandang berbicara merupakan
kemampuan alamiah. Sebaliknya mereka menegaskan bahwa kompetensi
berbicara melalui tuturan individu, dialog, dan diskusi yang terdata melalui
fasilitas video audio merupakan pola-pola ilmiah untuk membelajarkan peserta
didik.
Sementara kekurangannya seperti dinyatakan di atas bahwa pembelajaran
pada hakikatnya sebuah proses yang berprosedur dan bersintaks. Ketiadaan sajian
prosedur dan sintaks menjadi mengambang bagi pembaca atau pengajar yang
hendak menggunakan hasil inovasi ini. Seperti dinyatakan Bailey, model
pembelajaran seyogyanya menyediakan akses, vois, aksi, dan kelanjutan ke depan.
Keteraksesan itu bukan hanya konseptual, tetapi juga operasional sehingga harus
dirumuskan prosedur dan sintaks yang jelas. Model juga harus memunyai vois,
apa yang diungkapkan melalui pembelajaran. Paparan yang mengambang justru
voisless, kurang menyuarakan maksud yang sesungguhnya. Demikian juga aksi
dan aktivitas pembelajaran baru dapat dilaksanakan jika memunyai petunjuk yang
jelas. Pada akhirnya daya guna sebuah model inovatif justru penggunaan yang
strategis bukan hanya pada saat dilakukan ‘proyek’ tetapi bagi kebutuhan
pembelajaran ke depan.
Ketiga, pembelajaran membaca
Dalam artikel dimuat secara khusus variasi baik sebagai bentuk inovasi
maupun strategi dalam inovasi. Misalnya, Penggunaan PBI dalam bingkai Literasi
Sainstifik juga berkontribusi terhadap pendayagunaan bahasa dalam menghela
pembelajaran lain. Penggunaan PBI dalam penelitian ini secara jelas menunjukkan
peran dan keserempakan pembelajaran. Tampak bahwa antara bahasa dan sains
dipelajari sebagai satu kesatuan. Penelitian ini sungguh menampilkan salah satu
model pemaduan pembelajaran sains dan bahasa.
Namun demikian, penggunaan PBI menuntut literasi ganda, yaitu literasi
sains dan literasi bahasa. Idealnya adalah guru pengguna PBI harus cakap dalam
Sains dan Bahasa. Namun, idela itu sulit dalam kenyataan. Untuk mengatasi itu
dibutuhkan kolaborasi antara guru kedua bidang sehingga para guru sendiri dapat
melek dalam literasi saintifik dan dapat membelajarkannya kepada para siswa.
Keempat, pembelajaran menulis
Cummins menunjukkan ciri-ciri inovatif dan pendayagunaan kreatif
penugasan menulis kreatif. Penugasan memang bukanlah metode baru tetapi
dalam perspektif Cummins pendayagunaan kreatif metode penugasan justru
menunjukkan segi inovatif dalam penelitiannya. Penugasan menulis dengan cara
baru mengaktifkan para siswa dan cara-cara mereka mengungkapkan secara baru
dalam tulisan sudah merupakan kreativitas dan inovasi.
Cummins juga mempertegas mispersepsi tentang inovasi seolah-olah
inovasi harus selalu ‘mengadakan yang belum’. Padahal memberdayakan yang
ada dan mendayagunakan secara kreatif yang ada juga merupakan inovasi. Atas
dasar itu Cummins sepakat dengan Brenda Greene yang menggunakan strategi
reinvensi dalam memberdayakan menulis kreatif. Di sini perlu dikemukan
beberapa kemungkinan reinvensi:, yaitu to extend perluasan; in depth,
pendalaman; dan Expusure : rewrite, renew, storytelling, pernyataan sikap (hasil
resepsi, penerimaan dan tanggapan)
Kelima, pembelajaran terpadu: Membaca – Menulis
Sekilas dibaca bahwa pemaduan membaca dan menulis yang diterapkan
dalam penelitian Trong Tuan bukanlah baru. Namun, Trong Tuan berhasil
memperlihatkan potensi-potensi interelasi kognitif antara membaca dan menulis.
Koneksi atau kekerabatan membaca-menulis berhasil diberdayakan secara baru
untuk meningkatkan kemampuan menulis. Dalam rumusan yang sederhana dapat
dikatakan bahwa Trong Tuan menyadarkan para guru/pendidik bahwa “daripada
menanti strategi, pendekatan, metode, media, teknik, taktik yang baru lebih baik
menggunakan potensi yang ada dan dieksplanasi secara adekuat dan
didayagunakan untuk optimalisasi dan maksimalisasi pembelajaran. Penggunaan
dan pendayagunaan pendekatan membaca-menulis memang sederhana tetapi
efektif meningkatkan keterampilan menulis peserta didik.
Walaupun demikian terdapat satu satu catatn eksistensial yang berdampak
edukatif dan bahkan politik. Jika disadari bahwa menulis adalah kharisma, bakat
individual maka penggunaan Read like a writer dapat mematikan individualitas
calon-calon penulis. Pencelupan dan penenggelaman terlampau hanyut dalam
dunia pengarang/penulis menyebabkan calon-calon penulis terpenjara dalam daya
dan gaya pengarang yang menjadi idolanya.
Sementara secara politik, kepatuhan yang kronis terhadap pengarang
sebagai model dapat menggelincirkan calon-calon penulis ke dalam kubangan
plagiarisme, musuh yang justru hendak dienyahkan dalam pembelajaran menulis
dan ancaman yang mengantar penulis ke dalam penjara jika dia tergoda
melakukan penjiplakan.
Keenam, pembelajaran terpadu interproduktif
Dalam artikel ditinjau ini tidak dimuat segi-segi inovatif. Penulis semata-
mata menampilkan ulasan, komentar terhadap pustaka-pustaka yang dirujuknya.
Artikel ini jauh dari kesan hasil artikel penelitian yang komprehensif. Artikel yang
ditinjau ini lebih tepat disebut ulasan, komentar atau tanggapan lisan. Padahal
amat ditunggu profil pembelajaran inovatif sebagai secara ambisius dinyatakan
dalam pengantarnya.
Ketujuh, asesmen
Penulis artikel overoptimis dengan keunggulan penggunaan skema analitik
dalam penilaian berbicara. Dia melupakan bahwa berbicara merupakan sesuatu
yang berlalu secara cepat sehingga penyerapan dan pengidentifikasian aspek
menjadi sulit diterapkan. Dirumuskan secara lain bahwa penggunaan skema
analitik relatif lebih mudah diterapkan dalam menilai bahasa tertulis atau
pembelajaran menulis daripada dalam bahasa lisan.
Segi lain yang tidak diperhitungkan Tuan adalah efek Hallo Thorndike.
Ideal penilaian adalah objektivitas. Namun, efek Hallo Thorndike justru
menciptakan ruang spekulasi dan manipulasi. Sebab, penentuan nilai terhadap satu
aspek dapat memengaruhi pemberian nilai terhadap aspek lain.
Peneliti lain, Walker dan Perez Riu menawarkan EWP dengan basis
teoretis, prosedur, dan kriteria penilaian/asesmen memenuhi kriteria sintaks dan
kejelasan. Namun, dalam tinjauan saya desain EWP ini terlampau matematis dan
overoptimistis. Dikatakan matematis karena disediakan prosedur yang pasti
dengan urutan yang pasti pula. Keduanya melupakan bahwa menulis tidak
semudah membalikkan telapak tangan, tetapi suatu proses. Selain itu, cara pikir
matematis ini terjebak dalam pola pikir mekanistis, seolah-olah peserta didik
dapat melaksanakan semua yang dibayangkan peneliti. Juga dikatakan
overoptimistis karena kedua peneliti terlalu yakin akan daya guna desain mereka.
Padahal kondisinya akan berbeda dari satu konteks penelitian ke penelitian lain.
Kedua peneliti juag berusaha menutup kesenjangan atau mengatasi
masalah ketidakkoherensian atau ketidakoneksian antara pengajaran dan asesmen.
Misi suci EWP ini bagaimana pun harus disalut sebab hal tersebut berkenaan
dengan karakter utama komposisi. Koneksi dan koherensi menjadi ciri dasar
sebuah komposisi yang baik sehingga karangan utuh dapat dihasilkan. Namun
secara konseptual, kedua peneliti justru menciptakan kebingungan. Mereka
menggunakan konsep yang sama untuk dua hal yang berlainan. Sejatinya,
koherensi berhubungan dengan kepaduan antara bagian dalam organisasi sebuah
komposisi. Kedua peneliti justru menggunakan konsep serupa untuk melihat
hubungan antara pengajaran dan asesmen menulis. Kecuali jika yang kedua atau
terakhir dipahami secara analogis.
Secara teoretis prototipe IPA dapat disebut sebagai ideal type dalam
asesmen. Dikatakan ideal karena intensinya memposisikan kecakapan-kecakapan
berbahasa tidak secara individual tetapi terpadu secara kolektif. Protipe ini justru
‘laku’ sekali dalam konteks pembelajaran terpadu pada era sekarang.
Sifat ideal juga dapat dilihat dengan perspektif pendidikan yang integral
antara hasil dan proses. Penegasan koneksi antara asesmen dan instruksi
menunjukkan ciri integral asesmen ini. Secara lebih spesifik, identifikasi dan
pendayagunaan umpan balik mewajibkan setiap pihak yang terlibat untuk tidak
melihat bagian-bagian proses pendidikan secara partial, sporadis, dan kasuistis
melainkan memandangnya secara komprehensif dan holistik.
Last but not least, ciri idealnya justru menjadi kekurangannya. Cita-cita
komprehensif dan holistik sering mengabaikan segi-segi spesifik dan detail yang
justru membangun keseluruhan tipe asesmen ini. Secara ideologis dapat
dinyatakan bahwa penjara struktural dari rahim mana lahir tipe ini justru
menjebaknya bercerita besar tetapi berdaya kecil dalam implementasinya.
4. Simpulan
Berdasarkan deskripsi dan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa semua
artikel tidak memuat invensi, menemukan pemikiran, aksi, dan hal-hal teknis baru
dalam rangka inovasi. Mengikuti kerangka teoretis di atas, terobosan-terobosan
dalam artikel-artikel yang ditinjau ini masih sebatas variasi, adopsi, adaptasi, dan
modifikasi.
Walaupun demikian upaya para peneliti sudah menularkan spirit inovasi.
Minimal menyadarkan para guru bahwa inovasi tidak harus selalu, invensi. Setiap
upaya pembaruan, making something new, dapat mendayagunakan potensi-potensi
yang ada, yaitu pemikiran, aktivitas pembelajaran, dan hal-hal teknis yang
menunjang pembelajawan. Prinsipnya adalah bahwa inovasi to add values,
menambah nilai bagi pelaku pembelajaran, guru dan peserta didik.
DAFTAR RUJUKAN
Rogers, Mark. 1998. Definition and Measurement of Inovation. Melbourne: The
University of Melbourne
Rogers, Everett M..1983. Diffusion of Innovations. London dan New York: The
Free Press-Macmillian Publishing Co.Inc
Team. 1998. The New Oxford Dictionary of English. Oxford: Oxford University
Press
Winataputra, Udin S.,dkk. 2012. Pembaruan dalam Pembelajaran di SD. Jakarta:
Universitas Terbuka
Sumber Elektronik
www.sagepub.com., 2008. Diunduh pkl.10.00 18 Mei 2016

Anda mungkin juga menyukai