Makalah Tugas Pbi Mariano
Makalah Tugas Pbi Mariano
1 Pendahuluan
Salah satu keluhan yang paling kerap terhadap pembelajaran adalah bahwa
pembelajaran sering dikelola secara konvensional. Guru cenderung dan bahkan
mapan dengan metode ceramah. Sementara ceramahnya pun sering terpaku teks
dan miskin selingan sehingga dirasa monoton dan tidak menggairahkan.
Dampaknya peserta didik mengikuti semata-mata karena kewajiban formal.
Pembelajar kehilangan sense of belonging karena pembelajaran lebih sebagai
kewajiban daripada kebutuhan. Pembelajaran lebih sebagai paksaan daripada
pilihan bebas untuk menuai pengetahuan. Padahal merekalah pusat pembelajaran
sesungguhnya.
Guru juga terjebak dalam mispersepsi bahwa inovasi itu identik dengan
discovery sehingga dirasa sebagai sesuatu yang mustahil. Inovasi hanyalah
kapasitasnya para pakar. Para guru bukanlah Albert Einstein atau James Watt
sehingga tidak mungkin menciptakan penemuan. Penemuan hanyalah karya
manusia-manusia berbakat. Dampaknya, inovasi dianggap sebagai suatu ranah
terbatas, yang hanya dapat dijelajah para ahli.
Persepsi ini harus dipatahkan. Sebab, inovasi terbentang dari variasi
sampai discovery, dari adopsi sampai kreasi (Rogers, 1983:11-12). Dalam
pandangan Rogers, “inovasi pada hakikatnya ide, praktik atau objek yang
dipersepsikan baru secara individual atau komunal; aksentuasinya pada a new
perception, persepsi baru, tidak harus selalu a new creation, buatan atau ciptaan
baru.” Sebab, tujuan dasar inovasi adalah pendayagunaan potensi-potensi yang
belum didayagunakan untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Potensi-potensi
tersebut dapat berasal dari yang sudah ada maupun yang belum ada. Itu berarti
bahwa secara kondisional hal-hal yang telah ada jika didayagunakan dapat
menimbulkan cita rasa baru. Oleh karena itu, variasi, modifikasi, dan difusi hal-
hal yang sudah ada pun dapat dikategorikan sebagai inovasi (1983:11).
Mengikuti perspektif Rogers, bermunculan upaya-upaya inovatif. Upaya-
upaya tersebut ditemukan dalam aneka publikasi. Makalah ini disusun untuk
memaparkan segi-segi inovatif yang ditemukan dalam beberapa artikel. Paparan
ini dimaksudkan untuk melihat kecenderungan segi inovatifnya dan menunjukkan
potensinya untuk dikembangkan lebih lanjut dalam pembaruan dan
pengembangan pembelajaran bahasa Indonesia.
2 Pembahasan
2.1 Kerangka Teoretis
Sebelum segi-segi inovatif dalam artikel yang ditinjau penulis disajikan,
dibutuhkan kerangka teoretis. Kerangka teoretis diperlukan untuk membingkai
dan memberi pendasaran segi-segi inovatif yang disingkapkan. Wawasan teoretis
diperlukan sebagai perspektif untuk meninjau dan menyingkapkan segi-segi
inovatif dalam artikel-artikel yang ditinjau.
Berdasarkan The New Oxford Dictionary of English (1998:942), inovasi
adalah “Making changes to something established by introducing something
new”. Berdasarkan definisi tersebut, inovasi adalah aktivitas membuat perubahan
terhadap sesuatu yang sudah ada dan mapan dengan memperkenalkan sesuatu
yang baru. Definisi tersebut menegaskan sifat ex nihilo nihil fit dalam ranah
inovasi, yaitu bahwa inovasi tidak bertolak dari kekosongan, tetapi dari hal yang
sudah ada.
Sejalan dengan itu kerangka teoretis Rogers masih relevan dan
representatif untuk dirujuk sebagai landasan teoretis (Winataputra, dkk.,
2012:1.3). Seperti diparafrasekan sebelumnya bahwa Rogers menekankan segi
kebaruan dalam inovasinya. Secara eksplisit Rogers menyatakan bahwa “
innovation is an idea, practoce, or object that is perceived as new by an
individual. .... The perceived newness of idea for individual determines his or her
reaction to it. If the idea seems new to the indovidual, it s an innovation (Rogers,
1983:11). Inovasi dapat berupa gagasan, pemikiran (idea); praktik, tindakan,
perbuatan, kerja (practice); atau objek, hal yang dipersepsikan baru oleh
seseorang. Persepsi baru menentukan gagasan atau praktik atau objek termasuk
inovasi atau tidak. Newness, kebaruan memastikan bahwa sesuatu memenuhi
kriteria inovatif atau tidak.
Namun, kedua definisi tersebut harus diberikan adendum, tambahan, yaitu
pemaknaan. Penambahan itu diberikan berhubungan dengan signifikansi
kebaruan. Itu berarti bahwa inovasi tidak sekadar baru melainkan dibarukan
karena dibutuhkan (demand) dan memberikan nilai (value) bagi penerima,
penggunanya. Uhasa memperbaruai bukan sekadar refresh, menyegarkan yang
sudah ada melainkan penambahan nilai atau pemberian lebih kepada harapan atau
kebutuhan (www.sagepub.com., 2008)
Berdasarkan batasan-batasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pemikiran,
praktik, atau hal tertentu berpotensi inovatif jika dibarui. Itu berarti secara
potensial bahwa bahan yang ada, seperti pikiran, praktik, dan hal tertentu, dapat
dijadikan titik tolak inovasi. Pikiran, praktik, atau hal tertentu diperbarui dengan
variasi, adaptasi, modifikasi sehingga menampilkan karakter baru. Karakter baru
menjadi pemikat dan pendorong semangat baru dalam pembelajaran.
Selain karakter kebaruan (newness), inovasi juga berhubungan dengan
reinvensi (1983:16-17), yaitu jenjang sampai di mana inovasi diubah, diadaptasi,
atau dimodifikasi oleh pengguna dalam proses adopsi dan implementasi.
Pengguna tidak sekadar mengambil alih atau memindahkan lokasi tetapi
mengadaptasikan sesuatu dengan tuntutan lokasi.
Lebih lanjut Rogers memaparkan rincian karateristik inovasi (1983: 14-16;
Winataputra, dkk., 2012: 1.5). Pertama, inovasi berciri memberikan keunggulan
relatif (relative advantage). Inovasi dilakukan dan diterima jika memberikan
keuntungan bagi pembuat dan penerima. Pembuat berusaha membarui karena
yang ada sudah tidak ‘produktif’ lagi. Agar bahan yang ada memberikan
keuntungan perlu diremajakan, dimutakhirkan, diubah sehingga dapat
memberikan keuntungan-keuntungan lagi.
Kedua, kompatibilitas (compatibility), yaitu bahwa pembaruan itu sesuai
dengan nilai, harapan, kebutuhan penerima. Kesesuaian atau kompatibilitas
menyebabkan inovasi mudah diterima, dan disebarkan. Jika hasil inovasi sesuai
harapan penerima maka inovasi tersebut mudah diterima. Akseptabilitas inovasi
memikat banyak pengguna sehingga inovasi semakin mudah disebarkan.
Ketiga, kompleksitas (complexity), yaitu bahwa inovasi yang rumit sulit
diterima sehingga lamban pula disebarkan. Berkebalikan dengan kompatabilitas,
kompeleksitas suatu inovasi mengalami kesukaran dalam penerimaan dan
penyebaran. Ciri ini menjadi peringatan bagi pembaru untuk meminimalisasi
kompleksitas inovasi. Sebab, kompleksitas menghambat penerimaan dan
penyebarannya.
Keempat, trialibilitas (trialibility), yaitu bahwa inovasi dapat diujicobakan.
Sebelum go public, inovasi perlu menjalani fase ad experimentum, dalam fase
percobaan untuk menilai reaksi dan hasil yang ditimbulkannya. Jika ditemukan
hasil yang jauh dari harapan maka hal itu menjadi evaluasi sikap menentukan
dilanjutkan, diteruskan atau inovasi tersebut dihentikan.
Kelima, observabilitas, yaitu inovasi potensial diamati. Inovasi yang
obsersabel, teramati, berpeluang untuk lebih mudah diterima karena dapat diamati
hasil, atau daya ubahnya. Potensi observabel ini berpengaruh pada mudah atau
sulit menerima dan melanjutkan suatu inovasi.
Berdasarkan definisi dan karakteristik inovasi yang dipaparkan, inovasi
dalam pembelajaran bahasa pun dapat didefinisikan. Inovasi pembelajaran bahasa
adalah pembaruan idea, praktik atau hal tertentu untuk memutakhirkan dan
mengaktualisasikan pengelolaan pembelajaran bahasa yang efektif dan efisien
untuk menghasilkan capain-capaian yang dikehendaki (learning outcomes).
Pembaruan pada ide, praktik, atau hal-hal yang teknis menampilkan profil
pembelajaran bahasa inovatif. Dalam kata-kata lain, profil pembelajaran bahasa
inovatif merupakan hasil inovasi perancang dan pengembang untuk
membelajarkan peserta didik agar menguasai penggunaan dan pendayagunaan
bahasa secara ilmiah, efisien, dan efektif.
Berkenaan dengan inovasi pembelajaran perlu ditambahkan bahwa inovasi
dibutuhkan dan dikontekstualisasi sesuai dengan paradigma. Dalam wawasan
pendidikan dikenal tiga istilah, yaitu pengajaran (teaching), pemanduan belajar
(instructional), dan proses belajar (learning). Ketiga istilah merepresentasikan 3
paradigma dalam pendidikan, yaitu pengajaran ajaran, pemanduan belajar, dan
pembelajaran (Winataputra, dkk., 2012:1.23). Dalam pendidikan berparadigma
pengajaran, guru dipandang sebagai kitab ilmu dalam mana tertulis ajaran-ajaran
yang patut diikuti peserta didik. Kegiatan belajar-mengajar berpusat pada guru
karena satu-satunya sumber pengetahuan. Dalam pendidikan berparadigma
pemanduaan belajar, aktivitas bergeser kepada peserta didik; peserta didik
menjadi pusat kegiatan belajar; dan guru hanya memfasilitasi. Sementara
penididikan berparadigma pembelajaran menjadi proses sebagai pengalaman
belajar autentik.
Selain itu, agar inovasi pembelajaran dapat dipetakan secara analitis
dibutuhkan kerangka kerja operasional. Satu kerangka yang paling sederhana
adalah analisis level inovasi, yaitu variasi, adopsi, adaptasi, modifikasi, dan
invensi. Tingkatan-tingkatan tersebut berhubungan dengan ciri-ciri inovatif.
Seperti diakui Rogers bahwa inovasi berhubungan dengan konsep-konsep seperti
design, perancangan; change, perubahan, ; dan penciptaan, creativity. Itu berarti
bahwa dalam setiap inovasi ditemukan upaya mengubah yang sudah ada dan
mengubah pengguna atau kelompok sasar; usaha mengubah tersebut dirancang;
dan proses kreatif, usaha menciptakan. Mengikuti alur pikir tersebut,
variasi(variation), adopsi (adoption), adaptasi (adaptation), dan modifikasi
(modification), dan invensi (invention) merupakan bentuk-bentuk konkret inovasi
tetapi bentuk-bentuk tersebut juga menunjukkan tingkatan kebaruannya.
Variasi adalah bentuk inovasi dengan menggantikan sesuatu yang sedang
berlaku dengan sesuatu yang lain yang sudah ada. Seseorang menggunakan
potensi yang sudah ada untuk menggantikan sesuatu yang sudah berlaku. Pada
bentuk dan level ini yang ditekankan adalah nilai tambah atau nilai lebih berupa
efek yang ditumbulkan variasi. Variasi membawa orang keluar dari kejenuhan
atau kebosanan.
Adopsi adalah bentuk inovasi dengan mengambil alih dan memberlakukan
suatu produk untuk mengatasi atau menjawabi kebutuhan. Walaupun mengambil
alih, pada bentuk dan level ini pelaku inovasi sudah melibatkan segi subjektivitas.
Pelaku inovasi dengan tahu dan mau bagaikan satu keluarga mengadopsi produk
inovasi untuk diberlakukan dalam rumah tangganya.
Adaptasi adalah bentuk inovasi dengan melakukan penyesuaian sesuai
tuntutan ranah di mana inovasi tersebut diberlakukan. Adaptasi tidak sekadar
memindahkan lokasi; tidak sekadar copy paste; tetapi pelaku dengan
mempertimbangkan analisis kebutuhan dan konteks lokal membuat penyesuaian-
penyesuaian seperlunya. Dalam kata-kata lain, adapatasi bukan reduplikasi
produk, tetapi menyessuaikan produk sesuai dengan tuntutan konteks.
Modifikasi adalah bentuk inovasi dengan mengubah produk agar
kompatibel, cocok, sesuai. seperti dinyatakan sebelumnya, kompatibilitas
merupakan salah satu kriteria inovasi. Modifikasi adalah upaya pelaku inovasi
untuk mencocokkan suatu produk dengan keadaan yang dihadapi.
Sementara invensi berdasarkan The New Oxford Dictionary of English
adalah bentuk inovasi yang “creating something new that has never existed before
(1998:960), menciptakan sesuatu yang baru yang belum pernah ada sebelumnya.
Bentuk inovasi berada pada level yang paling tinggi. Pada level ini menciptakan,
mengadakan sesuatu yang sebelumnya ada.
Pemahaman bentuk dan level inovasi ini dapat dijadikan sebagai sarana
analisis terhadap beberapa artikel yang ditinjau penulis. Paparan dimulai dengan
ringkasan deskriptif dan diikuti pemetaan analitis.