Anda di halaman 1dari 45

RESUME ASUHAN KEPERAWATAN

PADA TN. S DENGAN TUBERKULOSIS (TBC) PARU


DISERTAI GANGGUAN PADA AIRWAY
DI RUANG IGD RSUD KAJEN
KAB. PEKALONGAN

OLEH :

Akhmad Zubaidi, S.Kep


NPM. 1416000481

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEKALONGAN
2017
LEMBAR PENGESAHAN

RESUME ASUHAN KEPERAWATAN


PADA TN. S DENGAN TUBERKULOSIS (TBC) PARU
DISERTAI GANGGUAN PADA AIRWAY
DI RUANG IGD RSUD KAJEN
KAB. PEKALONGAN

Telah disahkan
Pada tangggal : April 2017

Mengetahui,
Pembimbing akademik Pembimbing Klinik

(…....................................) (.........................................)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEKALONGAN
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Tuberkulosis paru (TB paru) merupakan penyakit infeksi kronik
menular masyarakat yang masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat
di dunia termasuk Indonesia. Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi menular
yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, TB paru menjadi penyebab
kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan
pada semua kelompok umur serta penyebab kematian nomor satu dari golongan
penyakit infeksi pernapasan (Departemen Kesehatan, 2007).
World Health Organization (WHO) memperkirakan pada saat ini Indonesia
merupakan negara urutan ke-4 dengan kasus TB paru terbanyak pada tahun 2010
setelah India, Cina, dan Afrika Selatan. Prevalensi kasus TB paru di Indonesia
sebesar 244 per 100.000 dan insidensi untuk semua tipe TB paru adalah 228 per
100.000. Insidensi kasus TB paru-BTA positif sebesar 102 per 100.000 dan
angka kematian mencapai 39 kasus per 100.000 atau sekitar 250 orang per
hari. Fakta tersebut didukung oleh kondisi lingkungan perumahan, dan sosial
ekonomi masyarakat (WHO, 2009).
Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyebab kematian ke-2 di Indonesia
setelah penyakit jantung dan pembuluh darah lainnya. Setiap tahun terdapat
583.000 kasus baru TB paru di Indonesia. Prevalensi tuberkulosis paru BTA
positif di Indonesia dikelompokkan dalam tiga wilayah yaitu Sumatera, Jawa,
dan Bali. Prevalensi tuberkulosis di wilayah Sumatera sebesar 160 per 100.000
penduduk. Prevalensi tuberkulosis di wilayah Jawa dan Bali sebesar 110 per
100.000 penduduk. Prevalensi tuberkulosis di wilayah Indonesia bagian timur
sebesar 210 per 100.000 penduduk (Departemen Kesehatan, 2008). Ditemukan
cakupan semua kasus TB paru di daerah Jawa Tengah mencapai 39.238
penderita (Dinas Kesehatan Jawa tengah, 2013).
Jumlah kasus baru BTA+ yang ditemukan pada tahun 2014 di kabupaten
pekalongan sebanyak 852 kasus. Jumlah tersebut sedikit lebih rendah bila
dibandingkan kasus baru BTA+ yang ditemukan pada tahun 2013 yang sebesar
963 kasus.(Dinas Kesehatan Kabupaten Pekalongan,2014)
Menurut jenis kelamin, kasus BTA+ di kabupaten pekalongan pada laki-
laki lebih banyak dibanding kasus BTA+ pada perempuan. Sebesar 56%
kasus BTA+ yang ditemukan berjenis kelamin laki-laki dan 44% kasus berjenis
kelamin perempuan.
Berdasarkan hal tersebut maka penulis tertarik untuk menyusun laporan
tentang asuhan keperawatan dengan TBC Paru di RSUD Kajen Kabupaten
Pekalongan sebagai pemenuhan tugas Stase Gawat Darurat.

B. Tujuan
1. Tujuan umum
Mahasiswa mampu menerapkan manajemen asuhan keperawatan pada klien
dengan TBC Paru disertai gangguan Airway.
2. Tujuan khusus
a. Mahasiswa mengetahui konsep teori TBC Paru.
b. Mahasiswa mengetahui konsep teori asuhan keperawatan dengan TBC
Paru.
c. Mahasiswa mampu melakukan tahapan pengkajian asuhan TBC Paru.
d. Mahasiswa mampu melakukan tahapan menetapkan diagnosa asuhan
keperawatan yang tepat pada TBC Paru.
e. Mahasiswa mampu melakukan tahapan perencanaan asuhan keperawatan
TBC Paru.
f. Mahasiswa mampu melakukan tahapan implementasi asuhan
keperawatan TBC Paru.
g. Mahasiswa mampu melakukan tahapan evaluasi asuhan keperawatan
TBC Paru.
C. Manfaat
1. Bagi Penulis
Menambah wawasan keilmuan dan pendidikan mengenai TBC paru serta
penatalaksanaan di instalasi Gawat Darurat
2. Bagi Perawat dan Tim Medis
Sebagai masukan dan informasi bagi perawat maupun tim medis lain
mengenai TBC Paru serta dalam penatalaksanaan TBC Paru yang disertai
dengan gangguan AirWay.
3. Bagi Masyarakat
Sebagai informasi mengenai penyakit TBC Paru.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TBC (Mycobacterium tuberculosis) (Kemenkes RI, 2013).
Tuberkulosis adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim
paru. Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai
organ tubuh lainnya termasuk meninges, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Smeltzer
& Bare, 2002).
Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada
jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensifitas yang diperantarai sel (cell-
mediated hypersensitivity) (Wahid dan Suprapto, 2014).

B. Etiologi
Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis.
Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam
pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA)
(Depkes RI, 2008).
Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar
matahari dan sinar ultraviolet (Nurarif dan Kusuma, 2013), tetapi dapat bertahan
hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh
kuman ini dapat dormant, tertidur selama beberapa tahun (Depkes RI, 2008). Ada
dua macam mikobakteria tuberkulosis yaitu tipe human dan tipe bovin. Basil
tipe bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberkulosis usus.
Basil tipe human bisa berada di bercak ludah (droplet) di udara yang berasal dari
penderita TBC terbuka (Nurarif dan Kusuma, 2013).
C. Klasifikasi TB Paru
Menurut Dep.Kes (2003), klasifikasi TB Paru dibedakan atas :
1. Berdasarkan organ yang terinvasi
a. TB Paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak,
TB Paru dibagi menjadi 2, yaitu :
A. TB Paru BTA Positif
Disebut TB Paru BTA (+) apabila sekurang-kurangnya 2 dari 3
spesimen dahak SPS (Sewaktu Pagi Sewaktu) hasilnya positif, atau 1
spesimen dahak SPS positif disertai pemeriksaan radiologi paru
menunjukan gambaran TB aktif.
B. TB Paru BTA Negatif
Apabila dalam 3 pemeriksaan spesimen dahak SPS BTA negatif dan
pemeriksaan radiologi dada menunjukan gambaran TB aktif. TB
Paru dengan BTA (-) dan gambaran radiologi positif dibagi
berdasarkan tingkat keparahan, bila menunjukan keparahan yakni
kerusakan luas dianggap berat.
b. TB ekstra paru yaitu tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),
kelenjar limfe, tulang persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing dan
alat kelamin. TB ekstra paru dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya yaitu :
1) TB ekstra paru ringan yang menyerang kelenjar limfe, pleura, tulang
(kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal
2) TB ekstra paru berat seperti meningitis, pericarditis, peritonitis, TB
tulang belakang, TB saluran kencing dan alat kelamin.
2. Berdasarkan tipe penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe penderita :
a. Kasus baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT
atau sudah pernah menelan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) kurang dari
satu bulan.
b. Kambuh (relaps) adalah penderita TB yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali
berobat dengan hasil pemeriksaan BTA positif.
c. Pindahan (transfer in) yaitu penderita yang sedang mendapat
pengobatan di suatu kabupaten lain kemudian pindah berobat ke
kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat
rujukan/pindah.
d. Kasus berobat setelah lalai (default/drop out) adalah penderita yang
sudah berobat paling kurang 1 bulan atau lebih dan berhenti 2 bulan atau
lebih, kemudian datang kembali berobat.

E. Patofisiologi
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei)
yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera
diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan
menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar
kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu
menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.
Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan
membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di
jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.
Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di
saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena.
Jika focus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang
akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer
terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks
primer merupakan gabungan antara focus primer, kelenjar limfe regional yang
membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang
waktu antara 2-12 minggu.
Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai

jumlah 10 3-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas
seluler.
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum
tersensitisasi terhadap tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada
saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah
terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin.
Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negatif. Setelah kompleks
primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada
sebagian besar individu dengan system imun yang berfungsi baik, begitu system
imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah
kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler
telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru
biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau
kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar
limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna focus primer di jaringan paru.
Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam
kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang
terjadi dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional.
Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau
pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi
akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di
jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya
berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi
inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada
bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar
yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan
menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial
atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit
pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis,
yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler,
dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran
limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk
kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB
masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya
penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai
penyakit sistemik.
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara
ini, kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga
tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai
organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru
sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut,
kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk
imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk
dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit,
tetapi berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus potensial di apkes
paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun- tahun kemudian, bila daya
tahan tubuh pejamu menurun, focus TB ini dapat mengalami reaktivasi
dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang,
dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran
hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread).
Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam
darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB
diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi.
Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang
beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata
terjadi karena tidak adekuatnya system imun pejamu (host) dalam
mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized
hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang
dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama.
Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butur padi-
padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul
kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus
perkijuan menyebar ke saluran vascular di dekatnya, sehingga sejumlah
kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB
akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized
hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),
biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB
paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB
paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB
milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi
primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat
pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-
9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia
terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi
kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini
jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang
terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan
paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB
ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer (Wahid dan Suprapto,
2014).
F. Pathway
G. Manifestasi klinik
Tanda dan gejala tuberculosis menurut Perhimpunan Dokter Penyakit
Dalam (2006) dapat bermacam-macam antara lain :
1. Demam

Umumnya subfebris, kadang-kadang 40-410C, keadaan ini sangat


dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi
kuman tuberculosis yang masuk.
2. Batuk
Terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk
membuang produk radang. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non
produktif). Keadaan setelah timbul peradangan menjadi produktif
(menghasilkan sputum atau dahak). Keadaan yang lanjut berupa batuk
darah haematoemesis karena terdapat pembuluh darah yang cepat.
Kebanyakan batuk darah pada TBC terjadi pada dinding bronkus.
3. Sesak nafas
Pada gejala awal atau penyakit ringan belum dirasakan sesak nafas. Sesak
nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut dimana
infiltrasinya sudah setengah bagian paru-paru.
4. Nyeri dada
Gejala ini dapat ditemukan bila infiltrasi radang sudah sampai pada pleura,
sehingga menimbulkan pleuritis, akan tetapi, gejala ini akan jarang
ditemukan.
5. Malaise
Penyakit TBC paru bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan anoreksia, berat badan makin menurun, sakit kepala, meriang,
nyeri otot dan keringat malam. Gejala semakin lama semakin berat dan hilang
timbul secara tidak teratur.
H. Komplikasi
Menurut Suriadi (2006) kompliki dari TB Paru antara lain :
1. Meningitisas
2. Spondilitis
3. Pleuritis
4. Bronkopneumoni
5. Atelektasi

I. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan sputum (S-P-S)
Pemeriksaan sputum penting untuk dilakukan karena dengan pemeriksaan tersebut
akan ditemukan kuman BTA. Di samping itu pemeriksaan sputum juga dapat
memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah
dan murah sehingga dapat dikerjakan di lapangan (puskesmas). Tetapi kadang-kadang
tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau batuk yang
non produktif Dalam hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien
dianjurkan minum air sebanyak + 2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat
juga dengan memberikan tambahan obat-obat mukolitik eks-pektoran atau dengan
inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum dapat
diperoieh dengan cara bronkos kopi diambil dengan brushing atau bronchial washing
atau BAL (bronchn alveolar lavage). BTA dari sputum bisa juga didapat dengan cara
bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit
mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya sesegar mungkin. Bila
sputum sudah didapat. kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan. Kuman bant
dapat dkcmukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka ke luar, sehingga
sputum yang mengandung kuman BTA mudah ke luar.
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang
kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 mil
sputum Hasil pemeriksaan BTA (basil tahan asam) (+) di bawah mikroskop memerlukan
kurang lebih 5000 kuman/ml sputum, sedangkan untuk mendapatkan kuman (+) pada
biakan yang merupakan diagnosis pasti, dibutuhkan sekitar 50 - 100 kuman/ml sputum.
Hasil kultur memerlukan waktu tidak kurang dan 6 - 8 minggu dengan angka sensitiviti
18-30%.
Rekomendasi WHO skala IUATLD :
a. Tidak ditemuukan BTA dalam 100 lapang pandangan :negative
b. Ditemukan 1-9 BTA : tulis jumlah kuman
c. Ditemukan 10-99 BTA : 1+
d. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandangan : 2+
e. Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandangan : 3+
2. Pemeriksaan tuberculin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan paling bermanfaat untuk
menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mikobakterium tuberkulosa dan sering digunakan
dalam "Screening TBC". Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji
tuberkulin adalah lebih dari 90%.
Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin
positif 100%, umur 1–2 tahun 92%, 2–4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–12
tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka
hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik. Ada beberapa cara melakukan uji
tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi
penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan,
disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam
setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi.
3. Pemeriksaan Rontgen Thoraks
Pada hasil pemeriksaan rontgen thoraks, sering didapatkan adanya suatu lesi
sebelum ditemukan adanya gejala subjektif awal dan sebelum pemeriksaan fisik
menemukan kelainan pada paru. Bila pemeriksaan rontgen menemukan suatu kelainan,
tidak ada gambaran khusus mengenai TB paru awal kecuali di lobus bawah dan biasanya
berada di sekitar hilus. Karakteristik kelainan ini terlihat sebagai daerah bergaris-garis
opaque yang ukurannya bervariasi dengan batas lesi yang tidak jelas. Kriteria yang kabur
dan gambar yang kurang jelas ini sering diduga sebagai pneumonia atau suatu proses
edukatif, yang akan tampak lebih jelas dengan pemberian kontras.
Pemeriksaan rontgen thoraks sangat berguna untuk mengevaluasi hasil pengobatan
dan ini bergantung pada tipe keterlibatan dan kerentanan bakteri tuberkel terhadap obat
antituberkulosis, apakah sama baiknya dengan respons dari klien. Penyembuhan yang
lengkap serinng kali terjadi di beberapa area dan ini adalah observasi yang dapat terjadi
pada penyembuhan yang lengkap. Hal ini tampak paling menyolok pada klien dengan
penyakit akut yang relatif di mana prosesnya dianggap berasal dari tingkat eksudatif
yang besar.
4. Pemeriksaan CT Scan
Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk menemukan hubungan kasus TB
inaktif/stabil yang ditunjukkan dengan adanya gambaran garis-garis fibrotik ireguler, pita
parenkimal, kalsifikasi nodul dan adenopati, perubahan kelengkungan beras
bronkhovaskuler, bronkhiektasis, dan emifesema perisikatriksial. Sebagaimana
pemeriksaan Rontgen thoraks, penentuan bahwa kelainan inaktif tidak dapat hanya
berdasarkan pada temuan CT scan pada pemeriksaan tunggal, namun selalu dihubungkan
dengan kultur sputum yang negatif dan pemeriksaan secara serial setiap saat.
Pemeriksaan CT scan sangat bermanfaat untuk mendeteksi adanya pembentukan
kavasitas dan lebih dapat diandalkan daripada pemeriksaan Rontgen thoraks biasa.
5. Radiologis TB Paru Milier
TB paru milier terbagi menjadi dua tipe, yaitu TB paru milier akut dan TB paru
milier subakut (kronis). Penyebaran milier terjadi setelah infeksi primer. TB milier akut
diikuti oleh invasi pembuluh darah secara masif/menyeluruh serta mengakibatkan
penyakit akut yang berat dan sering disertai akibat yang fatal sebelum penggunaan OAT.
Hasil pemeriksaan rontgen thoraks bergantung pada ukuran dan jumlah tuberkel milier.
Nodul-nodul dapat terlihat pada rontgen akibat tumpang tindih dengan lesi parenkim
sehingga cukup terlihat sebagai nodul-nodul kecil. Pada beberapa klien, didapat bentuk
berupa granul-granul halus atau nodul-nodul yang sangat kecil yang menyebar secara
difus di kedua lapangan paru. Pada saat lesi mulai bersih, terlihat gambaran nodul-nodul
halus yang tak terhitung banyaknya dan masing-masing berupa garis-garis tajam.
6. Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis terbaik dari penyakit diperoleh dengan pemeriksaan mikrobiologi melalui
isolasi bakteri. Untuk membedakan spesies Mycobacterium antara yang satu dengan
yang lainnya harus dilihat sifat koloni, waktu pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai
media, perbedaan kepekaan terhadap OAT dan kemoterapeutik, perbedaan kepekaan
tehadap binatang percobaan, dan percobaan kepekaan kulit terhadap berbagai jenis
antigen Mycobacterium. Pemeriksaan darah yang dapat menunjang diagnosis TB paru
walaupun kurang sensitif adalah pemeriksaan laju endap darah (LED). Adanya
peningkatan LED biasanya disebabkan peningkatan imunoglobulin terutama IgG dan
IgA. (Wahid dan Suprapto, 2014).
J. Program Therapy
Mekanisme kerja obat anti-tuberkulosis (OAT) :
1. Aktivitas bakterisidal, untuk bakteri yang membelah cepat
2. Aktivitas sterilisasi, terhadap the pesisters (bakteri semidormant)
3. Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas bakteriostatis terhadap
bakteri tahan asam.
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi dua fase yaitu
1. Fase intensif (2-3 bulan) :
Tujuan tahapan awal adalah membunuh kuman yang aktif membelah sebanyak-
banyaknya dan secepat-cepatnya dengan obat yang bersifat bakterisidal. Selama fase
intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat, terjadi pengurangan jumlah kuman disertai
perbaikan klinis. Pasien yang infeksi menjadi noninfeksi dalam waktu 2 minggu.
Sebagian besar pasien dengan sputum BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2
bulan. Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society, fase
awal diberikan selama 2 bulan yaitu INH 5 mg/kgBB, Rifampisin 10 mg/kgBB,
Pirazinamid 35 mg/kgBB dan Etambutol 15 mg/kgBB.
2. Fase lanjutan (4-7 bulan).
Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang lebih panjang.
Penggunaan 4 obat selama fase awal dan 2 obat selama fase lanjutan akan mengurangi
resiko terjadinya resistensi selektif. Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the
British Thoracic Society fase lanjutan selama 4 bulan dengan INH dan Rifampisin untuk
tuberkulosis paru dan ekstra paru. Etambutol dapat diberikan pada pasien dengan
resistensi terhadap INH.
Pada pasien yang pernah diobati ada resiko terjadinya resistensi. Paduan pengobatan
ulang terdiri dari 5 obat untuk fase awal dan 3 obat untuk fase lanjutan. Selama fase awal
sekurang-kurangnya 2 di antara obat yang diberikan haruslah yang masih efektif.
Paduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama
yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin, Isoniazid,
Pirazinamid, Streptomisin, dan Etambutol (Depkes RI, 2004). Untuk program nasional
pemberantasan TB paru, WHO menganjurkan panduan obat sesuai dengan kategori
penyakit. Kategori didasarkan pada urutan kebutuhan pengobatan dalam program. Untuk
itu, penderita dibagi dalam empat kategori sebagai berikut:
a. Kategori I (2HRZE/4H3R3)
Kategori I adalah kasus baru dengan sputum positif dan penderita dengan keadaan
yang berat seperti meningitis, TB milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis massif
atau bilateral, spondiolitis dengan gangguan neurologis, dan penderita dengan
sputum negatif tetapi kelainan parunya luas, TB usus, TB saluran perkemihan, dan
sebagainya. Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan
etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan
rifampisin tiga kali dalam seminggu ( tahap lanjutan ).
b. Kategori II ( HRZE/5H3R3E3 )
Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap positif. diberikan
kepada :
 Penderita kambuh
 Penderita gagal terapi
 Penderita dengan pengobatan setelah lalai minun obat
c. Kategori III ( 2HRZ/4H3R3 )
Kategori III adalah kasus sputum negatif tetapi kelainan parunya tidak luas dan
kasus TB di luar paru selain yang disebut dalam kategori I.
d. Kategori IV
Kategori IV adalah tuberkulosis kronis. Prioritas pengobatan rendah karena
kemungkinan keberhasilan rendah sekali.
Obat-obatan anti tuberkulostatik
1. Isoniazid (INH) :
Merupakan obat yang cukup efektif dan berharga murah. Seperti rifampisin, INH harus
diikutsertakan dalam setiap regimen pengobatan, kecuali bila ada kontra-indikasi. Efek
samping yang sering terjadi adalah neropati perifer yang biasanya terjadi bila ada faktor-
faktor yang mempermudah seperti diabetes, alkoholisme, gagal ginjal kronik dan
malnutrisi dan HIV. Dalam keadaan ini perlu diberikan peridoksin 10 mg/hari sebagai
profilaksis sejak awal pengobatan. Efek samping lain seperti hepatitis dan psikosis sangat
jarang terjadi.
2. Rifampisin :
Merupakan komponen kunci dalam setiap regimen pengobatan. Sebagaimana halnya
INH, rifampisin juga harus selalu diikutkan kecuali bila ada kontra indikasi. Pada dua
bulan pertama pengobatan dengan rifampisin, sering terjadi gangguan sementara pada
fungsi hati (peningkatan transaminase serum), tetapi biasanya tidak memerlukan
penghentian pengobatan. Kadang-kadang terjadi gangguan fungsi hati yang serius yang
mengharuskan penggantian obat terutama pada pasien dengan riwayat penyakit hati.
Rifampisin menginduksi enzim-enzim hati sehingga mempercepat metabolisme obat lain
seperti estrogen, kortikosteroid, fenitoin, sulfonilurea, dan anti-koagulan. Penting :
efektivitas kontrasepsi oral akan berkurang sehingga perlu dipilih cara KB yang lain.
3. Pyrazinamid :
Bersifat bakterisid dan hanya aktif terhadap kuman intrasel yang aktif memlah dan
mycrobacterium tuberculosis. Efek terapinya nyata pada dua atau tiga bulan pertama
saja. Obat ini sangat bermanfaat untuk meningitis TB karena penetrasinya ke dalam
cairan otak. Tidak aktif terhadap Mycrobacterium bovis. Toksifitas hati yang serius
kadang-kadang terjadi.
4. Etambutol :
Digunakan dalam regimen pengobatan bila diduga ada resistensi. Jika resiko resistensi
rendah, obat ini dapat ditinggalkan. Untuk pengobatan yang tidak diawasi, etambutol
diberikan dengan dosis 25 mg/kg/hari pada fase awal dan 15 mg/kg/hari pada fase
lanjutan (atau 15 mg/kg/hari selama pengobatan). Pada pengobatan intermiten di bawah
pengawasan, etambutol diberikan dalam dosis 30 mg/kg 3 kali seminggu atau 45 mg/kg 2
kali seminggu. Efek samping etambutol yang sering terjadi adalah gangguan penglihatan
dengan penurunan visual, buta warna dan penyempitan lapangan pandang. Efek toksik
ini lebih sering bila dosis berlebihan atau bila ada gangguan fungsi ginjal. Gangguan
awal penglihatan bersifat subjektif; bila hal ini terjadi maka etambutol harus segera
dihentikan. Bila segera dihentikan, biasanya fungsi penglihatan akan pulih. Pasien yang
tidak bisa mengerti perubahan ini sebaiknya tidak diberi etambutol tetapi obat alternative
lainnya. Pemberian pada anak-anak harus dihindari sampai usia 6 tahun atau lebih, yaitu
disaat mereka bisa melaporkan gangguan penglihatan. Pemeriksaan fungsi mata harus
dilakukan sebelum pengobatan.
5. Streptomisin :
Saat ini semakin jarang digunakan, kecuali untuk kasus resistensi. Obat ini diberikan 15
mg/kg, maksimal 1 gram perhari. Untuk berat badan kurang dari 50 kg atau usia lebih
dari 40 tahun, diberikan 500-700 mg/hari. Untuk pengobatan intermiten yang diawasi,
streptomisin diberikan 1 g tiga kali seminggu dan diturunkan menjadi 750 ng tiga kali
seminggu bila berat badan kurang dari 50 kg. Untuk anak diberikan dosis 15-20
mg/kg/hari atau 15-20 mg/kg tiga kali seminggu untuk pengobatan yang diawasi. Kadar
obat dalam plasma harus diukur terutama untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Efek samping akan meningkat setelah dosis kumulatif 100 g, yang hanya boleh
dilampaui dalam keadaan yang sangat khusus. Obat-obat sekunder diberikan untuk TBC
yang disebabkan oleh kuman yang resisten atau bila obat primer menimbulkan efek
samping yang tidak bisa ditoleransi. Termasuk obat sekunder adalah kapreomisin,
sikloserin, makrolid generasi baru (azitromisin dan klaritromisin), 4-kuinolon
(siprofloksasin dan ofloksasin) dan protionamid.
(Kemenkes RI, 2013)
Tabel Panduan Pemberian Obat Anti-Tuberkulosis
Rekomendasi Dosis
Obat anti-TB (mg/kgBB)
Aksi Potensi
esensial Per minggu
Per hari
3x 2x
Isoniazid (INH) Bakterisidal Tinggi 5 10 15
Rifampisin (R) Bakterisidal Tinggi 10 10 10
Pirazinamid (Z) Bakterisidal Rendah 25 35 50
Streptomisin (S) Bakterisidal Rendah 15 15 15
Etambutol (E) Bakteriostatik Rendah 15 30 45

K. Penatalaksanaan Medis
1. Pengkajian
a. Primer
1) Airway
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi pemeriksaan
adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, maupun yang
lainnya. Pada klien dengan TB Paru obstruksi dapat disebabkan oleh adanya
sputum pada pernafasan atas maupun bawah. Dalam hal ini dapat dilakukan
“chin lift” atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas.
Selain penatalaksanaan tersebut juga dapat dilakukan tindakan seperti batuk
efektif dan dilakukan inhalasi. Ha;l tersebut dilakukan untuk menjaga jalan
nafas tetap stabil.
2) Breathing
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang
terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan
karbon dioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi:fungsi yang baik dari
paru, dinding dada dan diafragma.

3) Circulation
 Volume darah dan Curah jantung
- Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap
disebabkan oleh hipovelemia. 3 observasi yang dalam hitungan detik
dapat memberikan informasi mengenai keadaan hemodinamik yaitu
kesadaran, warna kulit dan nadi.
- Kontrol Perdarahan
4) Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi
pupil.
5) Exposure dan Environment control
Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas.
(Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009)
b. Sekunder
Pengkajian tergantung pada tahap penyakit dan derajat yang terkena
a) Aktivitas atau istirahat
Gejala :
Kelelahan umum dan kelemahan, mimpi buruk, nafas pendek karena
kerja, kesulitan tidur pada malam hari, menggigil atau berkeringat.
Tanda :
Takikardia. takipnea/dispnea pada kerja, kelelahan otot, nyeri dan sesak
(tahap lanjut).
b) Integritas EGO
Gejala :
Adanya faktor stress lama, masalah keuangan rumah, perasaan tidak
berdaya/tidak ada harapan. Populasi budaya/etnik, missal orang Amerika asli
atau imigran dari Asia Tenggara/benua lain.
Tanda :
Menyangkal (khususnya selama tahap dini) ansietas ketakutan, mudah
terangsang.
c) Makanan/cairan
Gejala :
Kehilangan nafsu makan. tidak dapat mencerna penurunan berat badan.
Tanda :
Turgor kulit buruk, kering/kulit bersisik, kehilangan otot/hilang lemak
subkutan.
d) Nyeri atau kenyamanan
Gejala :
Nyeri dada meningkat karena batuk berulang.
Tanda :
Berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, gelisah
e) Pernafasan
Gejala :
Batuk produktif atau tidak produktif, nafas pendek, riwayat tuberculosis terpajan
pada individu terinfeksi.
Tanda :
Peningkatan frekuensi pernafasan (penyakit luas atau fibrosis parenkim
paru pleura) pengembangan pernafasan tidak simetri (effuse pleura) perkusi
pekak dan penurunan fremitus (cairan pleural atau penebalan pleural bunyi nafas
menurun/tidak ada secara bilateral atau unilateral efusi pleural/pneumotorak)
bunyi nafas tubuler dan bisikan pectoral di atas lesi luas, krekels tercabut di atas
aspek paru selama inspirasi cepat setelah batuk pendek (krekes posttussic)
karakteristik sputum: hijau, puluren, muloid kuning atau bercak darah
deviasi trakeal (penyebaran bronkogenik).
f) Keamanan
Gejala :
Adanya kondisi penekanan imun. contoh: AIDS, kanker. Tes HIV positif.
Tanda : demam rendah atau sedikit panas akut.
g) Interaksi social
Gejala : perasaan isolasi/penolakan karena penyakit menular, perubahan
bisa dalam tanggungjawab/perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan
peran.
(Wahid dan Suprapto, 2014)
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mukus dalam jumlah
berlebih
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi mukopurulen dan kekurangan
upaya batuk
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efek paru.
Kerusakan membran di alveolar, kapiler, sekret kevtal dan tebal
d. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses peradangan
e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual,
muntah, anoreksia.
f. Gangguan pada istirahat tidur berhubungan dengan sesak nafas dan batuk
g. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan dan inadekuat oksigenasi untuk
aktivitas (Diagnosa Nanda NIC NOC 2014-2015)

3. Rencana Asuhan Keperawatan


No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
DX Keperawatan
a. Ketidakefektifa Setelah  Kaji fungsi pernafasan  Peningkatan
n bersihan jalan dilakukan contoh bunyi nafas, bunyi nafas
nafas tindakan kecepatan, irama, dan dapat
berhubungan keperawatan kelemahan dan menunjukkan
dengan mukus bersihan jalan penggunaan otot bantu. atelektasis, ronchi,
dalam jumlah nafas efektif mengi
berlebih dengan kriteria menunjukkan
hasil : akumulasi
 Klien dapat sekret/ketidakmam
mempertahank puan untuk
an jalan membersihkan
nafas dan jalan nafas yang
mengeluarkan dapat
sekret tanpa menimbulkan
bantuan penggunaan otot
akseseri pernafasan
dan peningkatan
kerja pernafasan
 Catat kemampuan  Pengeluaran sulit
untuk mengeluarkan bila sekret
mukosa batuk efektif, sangat tebal
catat karakter, jumlah sputum berdarah
sputum, adanya kental/darah cerah
hemoptisis (misal efek infeksi,
atau tidak kuatnya
hidrasi)
 Berikan klien posisi  Posisi membantu
semi atau fowler tinggi memaksimalkan
ekspansi paru dan
menurunkan upaya
pernafasan
 Bersihkan sekret dari  Mencegah
mulut dan trakea, obstruksi
penghisapan sesuai respirasi,
keperluan penghisapan
dapat diperlukan
bila pasien tidak
mampu
mengeluarkan
sekret
 Pertahankan masukan  Pemasukan
cairan sedikitnya tinggi cairan
2500 m/hari kecuali membantu
kontra indikasi untuk
mengencerkan
sekret, membantu
untuk mudah
dikeluarkan
b. Pola nafas tidak Setelah  Kaji kualitas dan  Kecepatan
efektif dilakukan kedalaman pernafasan biasanya
berhubungan tindakan penggunaan otot meningkat,
dengan sekresi keperawatan aksesoris, catat setiap dispnea terjadi
mukopurulen pola nafas perubahan peningkatan kerja
dan kekurangan kembali aktif nafas, kedalaman
upaya batuk dengan kriteria pernafasan dan
hasil : bervariasi
 Dispnea tergantung derajat
berkurang, gagal nafas
frekuensi,  Kaji kualitas sputum,  Adanya sputum
irama dan warna, bau dan yang tebal,
kedalaman konsistensi kental, berdarah
dan pernafasan dan purulen diduga
normal terjadi sebagai
masalah sekunder
 Baringkan klien untuk  Posisi duduk
mengoptimalkan memungkinkan
pernafasan (semi ekspansi paru
fowler) maksimal upaya
batuk untuk
memobilisasi dan
membuang sekret
c. Gangguan Setelah  Kaji dispnea, takipnea,  TB paru
pertukaran gas dilakukan tidak normal atau menyebabkan efek
berhubungan tindakan menurunnya bunyi luas pada paru dari
dengan keperawatan nafas, peningkatan bagian kecil
penurunan tidak ada tanda- upaya pernafasan, bronkopneumonia
permukaan efek tanda dispnea terbatasnya ekspansi sampai inflamasi
paru. dengan kriteria dinding dada dan difus luas nekrosis
Kerusakan hasil : kelemahan effure pleural
membran di  Melaporkan untuk fibrosis luas
alveolar, tidak adanya  Evaluasi tingkat  Akumulasi
kapiler, sekret penurunan kesadaran, catat sekret/pengaruh
kevtal dan tebal dispnea, sianosis dan jalan nafas
menunjukkan perubahan pada warna dapat mengganggu
perbaikan kulit, termasuk O2 organ vital dan
ventilasi dan membran mukosa dan jaringan
O2 jaringan kuku
adekuat  Tunjukkan/dorong  Membuat tahanan
dengan AGP bernafas dengan melawan udara
dalam rentang bibir selama luar untuk
normal, bebes endikasi, khususnya mencegah kolaps
dari gejala, untuk pasien dengan atau penyempitan
distres fibrosis atau kerusakan jalan nafas,
pernafasan parenkim sehingga
membantu
menyebarkan
udara melalui paru
dan
menghilangkan
atau menurunkan
nafas pendek
 Tingkatkan tirah baring  Menurunkan
/ batasi aktivitas dan konsumsi
bantu aktivitas pasien oksigen/kebutuhan
sesuai keperluan selama periode
penurunan
pernafasan dapat
menurunkan
beratnya gejala
 Kolaborasi medis  Mencegah
dengan pemeriksaan pengeringan
ACP dan pemberian membran mukosa,
oksigen membantu
pengenceran sekret
d. Peningkatan Setelah  Pantau suhu tubuh  Sebagai indikator
suhu tubuh dilakukan untk mengetahui
berhubungan tindakan status hipertermi
dengan proses keperawatan  Anjurkan untuk  Dalam kondisi
peradangan Suhu tubuh mempertahanan demam terjadi
kembali normal masukan cairan peningkatan
dengan kriteria adekuat untuk evaporasi yang
hasil : mencegah dehidrasi memicu timbulnya
 Suhu tubuh dehidrasi

dalam rentang  Berikan kompres  Menghambat pusat


hangat pada lipatan simpatis dan
normal (360 C
ketiak dan femur hipotalamus
0
- 37 C) sehingga terjadi
vasodilatasi kulit
dengan
merangsang
kelenjar keringat
untuk mengurangi
panas tubuh
melalui penguapan
 Anjurkan pasin untuk  Kondisi
memakai pakaian yang kulityang
menyerap keringat mengalami
lembab memicu
timbulnya
pertumbuhan
jamur. Juga akan
mngurangi
kenyamanan
pasien
 Kolaborasi pemberian  Mengurangi panas
antipiretik dengan
farmakologis
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI, 2007. Pencegahan tuberculosis serta penatalkasanaan dini.


Depkes RI, 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta.
Depkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Dinkes, Jateng.Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012. 2013, Semarang: Dinkes
Jateng
Nanda Internasional.2012.Diagnosis Keperawatan 2012-2014. EGC : Jakarta
Nurarif H. Amin & Kusuma Hardi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA (North American Nursing Diagnosis Association) NIC-NOC.
Mediaction Publishing.
Prestasiherfen.blogspot.com. diunduh pada tanggal 27 Maret 2017, pada pukul 16.30 WIB
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung Waluyo…(dkk), EGC,
Jakarta.
Wahid, A & Suprapto, I.(2012). Pengantar dokumentasi proses keperawatan. Jakarta : Trans
Info Media.
RESUME ASUHAN KEPERAWATAN DI RUANG IGD RSUD KAJEN
KABUPATEN PEKALONGAN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S No RM : 154475
Umur : 63 Th/15/01/1954 Tanggal masuk RS : 11 April 2017
Jenis Kelamin : Laki-laki Diagnosa Medis : TBC Paru
Alamat : Karanganyar

B. PENGKAJIAN
PRIMARY SURVEY
1. Airway:
- Jalan nafas tidak efektif, ditandai adanya sumbatan jalan nafas yaitu sekret kental.
Suara nafas creakles.
2. Breathing
- Frekuensi pernafasan : 28 x/menit, suara nafas creakles, tampak adanya retraksi pada
dinding dada maupun adanya penggunaan otot bantu pernafasan. oksigen nasal kanul
3 liter/menit
3. Circulation
- TD : 110/70 mmHg, Suhu : 35,40C, Nadi : 84 x/menit, irama nadi teratur, akral teraba
dingin, CRT < 3 detik
4. Disability
- Keadaan umum baik, tingkat kesadaran : Composmetis, GCS: 15 (E:4, V:5, M:6).
pupil isokor
5. Eksposure
Tidak ada luka, Tidak ada jejas

SCONDARY SURVEY
a. Antropometri
Berat badan : 43 kg, Tinggi badan : 158 cm
𝐵𝐵 (𝑘𝑔)
IMT : = 17,3 (Underweight), (Nilai normal 18,5 – 24,9).
𝑇𝐵² (𝑚2 )

b. Keadaan umum pasien: Lemah, GCS: E4M6V5 = 15


Tingkat Kesadaran: Composmetis
c. Tanda vital-vital
- TD : 110/70 mmHg Suhu : 35,40C
- Nadi : 84 x/menit RR : 28 x/menit SpO2 : 98 %
d. Kepala
Inspeksi : kepala mesocephal, tidak ada lesi
Palpasi : nyeri tekan tidak ada
Rambut : rambut beruban, distribusi rata, terdapat uban warna putih.
Mata : pupil isokor, sklera putih jernih, konjungtiva tidak anemis.
Hidung : simetris bilateral, tidak ada sekret, tidak ada lesi, tampak terpasang
oksigen nasal kanul 3 liter/menit.
Mulut : gigi bersih, ada karies gigi, mukosa mulut dan bibir kering, tidak ada lesi,
Telinga : simetris, keadaan telinga bersih, tidak ada serumen, tidak ada lesi.
e. Leher dan tenggorokan
Inspeksi : simetris, tidak ada lesi dan tidak ada benjolan pada leher
Palpasi : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan vena jugularis.
f. Dada : Simetris antara kanan dengan kiri
Paru-paru :
Inspeksi : Warna kulit sama dengan kulit lain, tampak adanya retraksi pada dinding
dada maupun adanya penggunaan otot bantu pernafasan, klien mengatakan saat ini
sesak nafas, frekuensi pernapasan 28 x /mnt, bernafas dangkal, pergerakan dada
simetris.
Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan, tidak teraba adanya benjolan
Perkusi : suara sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : suara napas creakles
g. Jantung
Inspeksi : Tidak ada pembesaran jantung, bentuk simetris
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan/benjolan, ictus cordis teraba di IC ke V midclavikula.,
ada nyeri dada sebelah kiri.
Perkusi : konfigurasi jantung dalam batas normal.
Auskultasi : Terdengar bunyi s1 dan s2 lup dup, tidak ada bunyi jantung tambahan

h. Abdomen
Inspeksi : perut tidak buncit, tidak ada lesi
Palpasi : tidak ada nyeri tekan pada perut bagian bawah, tidak ada pembesaran organ.
Perkusi : suara timpani.
Auskultasi : frekuensi usus peristaltik 12 x/menit.
i. Genetalia: pasien berjenis kelamin laki-laki
j. Ekstermitas :
Superior : tidak terdapat luka, terpasang infus RL 20 tpm ditangan sebelah kanan.
akral teraba dingin, kekuatan otot ekstremitas tangan kiri 5, tidak ada edema, kekuatan
otot ektremitas tangan kanan 5.
Inferior : Tidak terdapat nyeri tekan, tidak terdapat lesi, tidak ada edema, akral teraba
dingin, kekuatan otot ekstremitas kaki kanan 5, ekstremitas kaki kiri 5
k. Keadaan neurologi
GCS: E4M6V5 = 15, Tingkat kesadaran: Composmentis
l. Integumen : warna kulit sawo matang, tekstur elastis, turgor kulit lembab, tidak ada
lesi.

C. DATA FOKUS
 S (Data Subjektif Pasien) :
- Klien mengatakan batuk berdahak lebih dari 1 bulan, sesak napas.
- Klien mengatakan bahwa klien 1 bulan yang lalu pernah periksa rotgen dan BTA,
hasil BTA Positif dan paru-parunya ada yang berlobang

 O (Data Objektif Pasien):


- Pasien tampak lemas
- GCS: E4M6V5 = 15, Tingkat kesadaran: Composmentis
- Napas pendek, auskultasi : creakles pada percabangan bronkus, tampak adanya
retraksi pada dinding dada maupun adanya penggunaan otot bantu pernafasan.
- TD : 110/70 mmHg Suhu : 35,40C
- Nadi : 84 x/menit RR : 28 x/menit SpO2 : 98 %
- Pasien terpasang oksigen nasal kanul 3 liter/menit

 A (Diagnosa Keperawatan Yang Muncul): Ketidakefektifan bersihan jalan nafas


berhubungan dengan mukus dalam jumlah berlebih
 P (Intervensi Keperawatan)

No. DX. Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi


Hasil
1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan - Kaji fungsi pernafasan
bersihan jalan nafas tindakan keperawatan contoh bunyi nafas,
berhubungan dengan selama 1x 30 menit kecepatan, irama, dan
mukus dalam jumlah ketidakefektifan jalan kelemahan dan
berlebih nafas klien teratasi penggunaan otot bantu.
dengan kriteria hasil : - Kaji initial assesment,
- Sekret dapat keluar mengkaji TTV, SPO2
- Bunyi paru-paru - Ajarkan batuk efektif
sonor dan relaksasi nafas
- RR dalam batas dalam
normal (12-20 - Catat kemampuan
x/mnt) untuk mengeluarkan
- SpO2 98-100 % mukosa batuk efektif,
catat karakter, jumlah
sputum.
- Berikan klien posisi
semi atau fowler tinggi
- Berikan obat kolaborasi
advis dokter pemberian
terapi oksigen dan
terapi nebulizer
 I (Implementasi Keperawatan)

Tanggal/ No Implementasi Respon Klien Paraf


Jam Dx &
Kep. Nama
11/04/2017 1 - Mengkaji fungsi S :
15.50 pernafasan : bunyi - Klien mengatakan batuk
WIB nafas, kecepatan, irama, berdahak, sesak nafas.
dan kelemahan dan O :
penggunaan otot bantu. - Air Way : Jalan nafas tidak
- Mengkaji initial efektif, ditandai adanya sumbatan
assesment, mengkaji jalan nafas yaitu sekret kental.
TTV, SPO2 Suara nafas creakles.
- Breathing: RR: 28 x/menit, suara
nafas creakles, tampak adanya
retraksi pada dinding dada
maupun adanya penggunaan otot
bantu pernafasan.
- Circulation : Konjungtiva
anemis, CRT < 3 detik, akral
dingin, tidak terdapat perdarahan,
S:35,4 0C, TD: 110/70 mmHg, N
: 84 x/menit.
- Disability : Keadaan umum baik,
tingkat kesadaran Composmetis,
GCS: 15 (E:4, V:5, M:6).
- Exposure : Tidak ada luka, Tidak
ada jejas

15.55 1 - Memberikan posisi S : -


WIB nyaman semifowler O:
- Klien merasa nyaman dengan
posisi semifowler
16.00 1 - Informconsent tindakan S :
WIB dan memberikan terapi - Klien mengatakan iya mas saya
oksigen 3 liter permenit mau karena masih sesak
O:
- Klien terpasang oksigen nasal
kanul 3 liter/menit

16.15 1 - Inform konsen tindakan S :


WIB dan memberikan obat - Klien mengatakan dahaknya akan
kolaborasi nebulizer keluar
bisolvon O:
- Klien sudah mendapatkan terapi
nebulizer bisolvon selama 15
menit

16.20 1 - Mengajarkan batuk S :


WIB efektif dan relaksasi - Klien mengatakan dadanya tidak
nafas dalam sakit sudah melakukan relaksasi
nafas dalam dan batuk efektif
seperti yang diajarkan perawat
O:
- Klien terlihat nyaman
- Dahak keluar berwarna kuning
kehijauan sebanyak ± 2 cc
- RR : 24 x/mnt
- SPO2 : 99 %

16.30 1 - Memberikan pendidikan S :


WIB kesehatan / dischard - Klien mengatakan iya mas saya
planing dirumah akan minum Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) dan selalu
kontrol
O:
- Klien mendapatkan informasi
mengenai penggunaan obat,
penatalaksanaan dirumah tentang
penyakitnya, informasi
penyakitnya.

 E (Evaluasi Keperawatan)

Hari / PARAF
&
Tanggal / No. Dx EVALUASI / SOAPIER
NAMA
Jam

11/04/ 1 S:
2017 - Klien mengatakan batuk berdahak lebih dari 1 bulan, sesak napas.
16.30 - Klien mengatakan bahwa klien 1 bulan yang lalu pernah periksa
WIB rotgen dan BTA, hasil BTA Positif dan paru-parunya ada yang
berlobang
O:
- Pasien tampak lemas
- GCS: E4M6V5 = 15, Tingkat kesadaran: Composmentis
- Napas pendek, auskultasi : creakles pada percabangan bronkus,
tampak adanya retraksi pada dinding dada maupun adanya
penggunaan otot bantu pernafasan.
- TD : 110/70 mmHg Suhu : 35,40C
- Nadi : 84 x/menit RR : 28 x/menit
- SpO2 : 98 %
- Pasien terpasang oksigen nasal kanul 3 liter/menit
A : Masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas teratasi
P : Lanjutkan intervensi :
- Kaji fungsi pernafasan contoh bunyi nafas, kecepatan, irama, dan
kelemahan dan penggunaan otot bantu.
- Kaji initial assesment, mengkaji TTV, SPO2
- Ajarkan batuk efektif dan relaksasi nafas dalam
- Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa batuk efektif, catat
karakter, jumlah sputum.
- Berikan klien posisi semi atau fowler tinggi
- Berikan obat kolaborasi advis dokter pemberian terapi oksigen dan
terapi nebulizer
LAPORAN ANALISA SINTESA TINDAKAN KEPERAWATAN
PEMBERIAN NEBULIZER DI RUANG IGD RSUD KAJEN
KAB. PEKALONGAN

OLEH :

Akhmad Zubaidi,S.Kep
NPM. 1416000481

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEKALONGAN
2017
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN ANALISA SINTESA TINDAKAN KEPERAWATAN


PEMBERIAN NEBULIZER DI RUANG IGD RSUD KAJEN
KAB. PEKALONGAN

Telah disahkan
Pada tangggal : April 2017

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

(…............................................) (.................................................)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEKALONGAN
2017
ANALISA SINTESA TINDAKAN KEPERAWATAN
PEMBERIAN NEBULIZER

Tanggal Masuk : 11 April 2017 Jam Masuk : 15.50 WIB


Ruang/Kelas : Ruang IGD Kamar/Ruang : Non Bedah
Pengkajian Tanggal : 11 April 2017 Jam : 15.50 WIB

A. IDENTITAS
Nama : Tn. S No RM : 154475
Umur : 63 Th/15/01/1954 Tanggal masuk RS : 11 April 2017
Jenis Kelamin : Laki-laki Diagnosa Medis : TBC Paru
Alamat : Kulu 1/3 Karanganyar, Kab Pekalongan

B. ANALISA DATA
No. Tanggal Data Problem Etiologi
1. 11/04/ DS : Ketidak Mukus
2017 - Klien mengatakan batuk efektifan dalam
berdahak, sesak napas bersihan jalan jumlah
- Klien mengatakan bahwa nafas berlebih
klien 1 bulan yang lalu
pernah periksa rotgen dan
BTA, hasil BTA Positif
dan paru-parunya ada
yang berlobang
DO :
- Napas pendek, auskultasi :
creakles pada percabangan
bronkus, tampak adanya
retraksi pada dinding dada
maupun adanya
penggunaan otot bantu
pernafasan.
- TTV: TD : 110/70 mmHg,
N : 84 x/menit S:35,4 0C,
RR : 28 x/menit, sekret
kental

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mukus dalam jumlah berlebih

D. TINDAKAN KEPERAWATAN
Memberikan terapi Inhalasi/ Nebulizer
E. SOP TINDAKAN
1. Tujuan Tindakan
Untuk membebaskan Jalan Nafas (Airway) dengan Inhalasi / Nebulizer yaitu
mengencerkan dahak/ Sekret
2. Prinsip Tindakan
Bersih
3. Persiapan Alat
 Alat Set Nebulizer dan tube penghubung (Conecting Tube)
 Tissue / Handuk
 Obat Nebulizer/ Bronkodilator ( Bisolvon)
 Air Bersih/ Aquades
 Spuit 5 cc
 Bangkok 1 buah
 Perlak
 Handscon
4. Langkah-Langkah Prosedur Tindakan dan Rasional
NO LANGKAH-LANGKAH RASIONAL
A Prainteraksi
Memastikan kembali program yang akan
1. Mengecek program
diberikan (Double Cek) Untuk mencegah
terapi
kesalahan dalam memberikan terapi.
Berguna untuk menghidari penyebbaran
2. Mencuci tangan
infeksi
3. Menyiapkan alat Mempermudah dalam melakukan
tindakan
B Tahap Orientasi
Membina hubungan saling percaya
1. Memberikan salam
(Caring) serta memvalidasi nama klien
dan sapa nama
kembali benar pemberian obat (6 B)
pasien
salah satunya benar nama
2. Menjelaskan Hal tersebut berguna memberikan
tujuan dan kenyamanan atau menghilangkan rasa
prosedur kahwatir pada klien (dengan menjelaskan
pelaksanaan tujuan serta prosedur)
Setealh prsedur dijelaskan, memvalidasi
kembali kesiapan dan persetujuan klien
3. Menanyakan untuk tindakan yang akan dilakukan. Hal
persetujuan/kesiap ini menghindari malpraktek (Inform
an pasien Consen)

C Tahap Kerja
1. Menjaga privacy
Menghormati klien, serta
pasien
Dengan posisi duduk sesak nafas
2. Mengatur pasien
berkurang serta obat dapat masuk dengan
dalam posisi duduk
maksimal ke jalan pernafasan
3. Menempatkan
Mempermudah dalam kita melakukan
meja/troly di depan
tindakan atau tahap kerja serta dapat
pasien yang berisi
menyingkat waktu tindakan.
set nebulizer
4. Mengisi nebulizer Aquades berfungsi sebagai pelembab /
dengan aquades uap inhalasi/ agar tidak terjadi iritasi/
sesuai takaran radang
5. Memastikan alat
dapat berfungsi -
dengan baik
6. Memasukkan obat Benar pemberian obat yaitu 6 B ( benar
sesuai dosis dosis)
7. Memasang masker
Melindungi obat tercecer atau kebersihan
dan perlak pada
klien
pasien
8. Menghidupkan
nebulizer dan
meminta pasien Saat nebulizer dinyalakan klien nafas
nafas dalam dalam hal ini bertujuan supaya obat
sampai obat habis dapat masuk secara maksimal di saluran
(meminta klien pernafasan.
untuk menutup
mata)
Sisa obat yang masih menempel di
9. Bersihkan mulut bagian kulit hidung mulut dan sekitarnya
dan hidung dengan dapat mengakibatkan iritasi. Jadi hal
tissue tersebut dilakukan untuk mencegah hal
yang tidak diinginkan.
D Tahap Terminasi
Evaluasi indakan dilakukan untuk
1. Melakukan melihat respon klien setelah diberikan
evaluasi tindakan tindakan dan untuk rencana tindakan
selanjutnya.
2. Berpamitan dengan
pasien/keluarga
3. Membereskan alat
Menghidari penyebaran penyakit (infeksi
4. Mencuci tangan
nosokomial)
5. Mencatat kegiatan
dalam lembar
catatan
keperawatan
5. Bahaya –bahaya yang mungkin terjadi akibat tindakan tersebut dan cara pencegahannya
a. Bahaya-bahaya yang mungkin terjadi/ efek samping yang terjadi
 Iritasi pada mata akibat uap
 Iritasi pada saluran nafas (pada penggunaan yang terlalu lama)
 Mengembangnya infeksi jmur pada mulut (thursh)
 Suara serak (dyshopnia)
Tindakan ini memiliki efek samping yang mungkin terjadi seperti mual, muntah,
stomatitis, pilek, iritasi saluran napas, nyeri dada, kram saluran napas, batuk, nyeri
kepala, pusing (Strickland, 2015).
Efek Samping Obat :
 efek samping yang relatif ringan yaitu gangguan pada saluran pencernaan
misalnya mual, muntah, diare, rasa penuh di perut, dan nyeri pada ulu hati.
 Efek samping lain bisa berupa sakit kepala, vertigo, keringat berlebihan, dan
kenaikan enzim transaminase.
 Efek samping yang lebih serius tetapi kejadiannya jarang misalnya reaksi alergi
seperti kulit kemerahan, bengkak pada wajah, sesak nafas dan kadang-kadang
demam
b. Cara pencegahan
 Ketika terapi nebulizer anjurkan lien untuk menutup mata/ lindungi mata dari
uap nebulizer
 Terapi nebulizer sebaiknya tidak terlalu serin atau terjadwal untuk mencegah
iritasi pada saluran nafas
 Klien setelah terapi nebulizer sebaiknya berkumur
 Klien setelah terapi anjurkan untuk minum air hanggat, hal ini untuk mencegah
iritasi pada bagian pita suara.
6. Hasil yang didapat dan maknanya
a. Sekret atau dahak dapat keluar, dari hal tersebut jalan nafas sudah efektif dan
pemenuhan oksigen terpenuhi.
7. Identifikasi tindakan keperawatan lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah/
diagnosa tersebut
a. Fisioterapi dada
b. Batuk Efektif
c. Mengkonsumsi herbal seperti madu dan jahe
8. Evaluasi diri
Menurut saya bahwa tindakan nebulizer dalam mengencerkan dahak sudah cukup
baik, tetapi akan lebih baik lagi dilakukan tindakan kolaborasi dengan tindakan lainya.
Tindakan nebulizer dipadukan dengan fisioterapi dada serta batuk efektif saya kira lebih
efisien.
Secara ilmiah hal tersebut bertentangan, berdasarkan hasil penelitian sistimatik
(sistematic review), diperoleh bukti bahwa terapi dengan nebulizer atau terapi uap, gagal
menunjukkan manfaatnya dalam membantu memecah lendir (mucolytic), pengeluaran
lendir (muco clearance), memperbaiki oksigenasi maupun mempercepat penyembuhan
pada semua penyakit saluran napas baik infeksi maupun non infeksi yang memerlukan
perawatan di rumah sakit (Strickland, 2015).

Pekalongan, April 2017

Mengetahui

Pembimbing Klinik Tanda tangan mahasiswa

(.........................................................) (.........................................................)

Anda mungkin juga menyukai