Anda di halaman 1dari 9

Kasus Penyimpangan Manajemen

Operasi Merpati Nusantara


Airlines
Minggu, 07 Desember 2014

Kasus Manajemen Operasional Merpati Airlines

Merpati Nusantara Airlines

Merpati Nusantara Airlines atau selanjutnya dikenal dengan nama Merpati Nusantara (Merpati)
adalah salah satu perusahan penerbangan nasional domestik di Indonesia. Pernah beberapa tahun
yang lalu menerbangan rute rute regional Asia Tenggara dan Australia. Maskapai ini masuk penilaian
kategori 1 (kinerja sangat baik) dari Kementerian Perhubungan[1]. Merpati mendapatkan penilaian
bintang 2 (kualitas pelayanan kurang) dari Skytrax[2]. Dalam masalah keselamatan penerbangan,
maskapai ini memiliki rekor keselamatan yang tergolong buruk jika dibandingkan maskapai Indonesia
lainnya, terutama disebabkan oleh fokus penerbangan maskapai ini ke wilayah Indonesia Timur yang
fasilitas bandaranya masih minim. Seperti beberapa maskapai Indonesia lainnya, maskapai ini
masuk daftar hitam Uni Eropakarena masalah keamanan dan keselamatan.

Sejarah

Bermodal Rp10 juta dan enam pesawat, Merpati Nusantara Airlines memulai usahanya sebagai
jembatan udara yang menghubungkan tempat-tempat terpencil di Kalimantan. Sejak berdiri, tanggal 6
September 1962, sampai sekarang, Merpati mengalami pasang surut. "Jembatan Udara
Nusantara"yang sarat misi ini memang seringkali dihimpit masalah.
Merpati "lahir" berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.19 tahun 1962 yang menetapkan pendirian
perusahaan negara perhubungan udara daerah dan penerbangan serbaguna Merpati Nusantara,
yang disebut juga PN Merpati Nusantara. Perusahaan milik negara ini memiliki lapangan usaha,
meliputi penyelenggaraan perhubungan udara di daerah-daerah dan penerbangan serbaguna serta
memajukan segala sesuatu yang berkaitan dengan angkutan udara dalam arti kata yang
seluas-luasnya. Maksud dan tujuannya adalah dalam rangka turut membangun perekonomian
nasional di sektor perhubungan udara dengan mengutamakan kepentingan rakyat.
Sebuah Merpati Nusantara Vickers Vanguard 953 Tahun 1977

F-28 Merpati

Boeing 737 Merpati (Bandara Soekarno-Hatta, 2012)


Awalnya, Merpati memiliki armada jenis de Havilland Otter/DHC-3 empat unit danDakota DC-3 dua
unit, yang merupakan pesawat hibah dari Angkatan Udara Republik Indonesia (TNI AU). Ketika itu
diketahui, modal awal perusahaan berupa uang rupiah lama sejumlah Rp10 juta. Para pilot dan teknisi
dipasok dari AURI, Garuda Indonesia(dulu Garuda Indonesia Airways), dan perusahaan penerbangan
sipil lainnya.
Sebagai direktur utama, ditunjuk Komodor Udara Henk Sutoyo Adiputro (1962-1966), yang
membawahi hanya 17 personel. Beberapa bulan kemudian, tahun 1963, penerbangan Merpati pun tak
hanya di Kalimantan, tapi juga menerbangi rute Jakarta-Semarang, Jakarta-Tanjung Karang,
dan Jakarta-Balikpapan.
Tahun 1964, Merpati menerima penyerahan seluruh hak konsesi dan operasi, serta kepemilikan
sejumlah pesawat bekas maskapai Belanda NV de Kroonduif dari Garuda. Pengalihan ini dilakukan,
dengan alasan Garuda sedang mengembangkan kegiatan untuk menjadi flag carrier nasional dan
internasional. Pesawat hibah itu adalah tiga Dakota DC-3, dua Twin Otter dan satu Beaver. Dengan
armada 12 pesawat, Merpati mulai tumbuh. Penerbangannya mulai merambah Papua (Irian
Jaya), Sumatera, dan Nusa Tenggara Barat.
Seiring pertumbuhannya, Merpati memandang perlu untuk memperkuat armadanya dengan tambahan
tiga Dornier DO-28 dan enam Pilatus Porter PC-6. Namun, beberapa pesawat sebelumnya ada yang
tidak lagi dapat dioperasikan sehingga armada efektif Merpati 15 pesawat. Jumlah karyawan Merpati
pun bertambah, menjadi 583 orang.

Misi pemerintah

Latar belakang pendirian Merpati adalah untuk mengemban tugas dan misi dari pemerintah. Namun,
sejak tahun 1966, Merpati mulai mengkomersialkan diri, di bawah Dirut Capt. R.B. Wibisono
(1966-1967). Pada masa ini juga, perusahaan memperluas wilayah operasinya di Papua dan membeli
tiga pesawat Pilatus Porter. Misinya, berupa penerbangan-penerbangan perintis, tetap dijalankan.
Merpati pun menerima bantuan tiga Twin Otter dari PBB.
Pada masa Marsekal Pertama Udara Santoro Suharto (1967-1975), terlihat kemungkinan Merpati bisa
mandiri. Maka, pemerintah daerah mengurangi subsidi operasi penerbangan perintis. Namun, ternyata,
pengurangan subsidi tersebut menimbulkan masalah keuangan yang cukup pelik karena penerbangan
komersialnya belum beroperasi dengan mantap.
Pemerintah turun tangan lagi, dengan memberinya konsesi untuk ikut ambil bagian dalam
menjalankan penerbangan jarak jauh (trunk operation), jarak sedang (semi trunk), dan jarak dekat
(federline operation). Untuk mendukung operasinya itu, Merpati menambah armada dengan
tujuh Dakota DC-3, yang dibeli dari Australia dan Garuda. Pesawat-pesawat ini dipakai untuk
menerbangi rute di Nusa Tenggara Timur yang ditinggalkan Garuda. Sementara itu, penerbangan
jarak jauh dan menengah baru dilaksanakan tahun 1970.
Guna meningkatkan efisiensi produksi, dan menjalankan tiga kelompok jalur niaganya, Merpati
menambah armada dengan empat Vickers Viscount 828, tiga YS-11, dan dua HS-748. Sebagian dari
pesawat-pesawat ini ada yang menerbangi rute internasional,
seperti Pontianak-Kuching (Serawak,Malaysia) dan Palembang-Singapura. Di bawah Santoso pula,
Merpati menjalin kerjasama dengan sejumlah perusahaan penerbangan nasional dan internasional.
Merpati menyerahkan seluruh pesawat Dakota-nya kepada PT Suryadirgantara, untuk dioperasikan
bersama. Selain itu, dalam meningkatkan pelayanan dan kinerja usaha, Merpati bekerjasama dengan
sejumlah airlines asing, seperti Japan Air Lines, Qantas, Thai Airways
International, Lufthansa, Olympic Airways, Trans Australia Airlines, dan China Airlines. Kerjasama
tersebut, salah satunya berupa kesepakatan dalam hal ticketing. Dengan menggunakan tiket Merpati,
penumpang dapat terbang dengan airlines asing tersebut.
Tahun 1972, dua Vickers Vanguard memperkuat lagi armada Merpati. Wilayah operasinya pun
bertambah hingga ke Kuala Lumpur dan Darwin. Merpati juga memperoleh bantuan dua Twin Otter
dari Pemerintah Kanada. Pada saat itu, Merpati mengoperasikan armada 32 pesawat, yaitu empat
Vicker Viscount, empat YS-11, delapan Pilatus PC-6, tiga Dornier Do-28, tujuh Pilatus Porter, tiga
DHC-6 Twin Otter, satu DHC-3 Otter, dan dua Vanguard.
Langkah-langkah usaha Santoso, yang kemudian mengelola airlines Seulawah yang bergabung
dengan Mandala kini jadiMandala Airlines, dilanjutkan Marsekal Muda Udara Ramli Sumardi
(1975-1978). Merpati memiliki 37 pesawat, terdiri dari empat Dakota DC-3, , empat Twin Otter,
dua Fokker F-27, dua HS-748, lima YS-11, lima VC-8, dan tiga VC-9, untuk menerbangi 97 kota di 19
propinsi. Pesawat-pesawat yang ada sebelumnya, sebagian memang sudah tak lagi operasi. Merpati
juga mengoperasikan pesawat BAC-111 dan Boeing 707 untuk penerbangan borongan (carter)
internasional, yang terbang Denpasar-Manila dan Los Angeles, Amerika Serikat-Denpasar, yang
dihentikan tahun 1979.

Bergabung dengan Garuda

Tahun 1978, keluar PP, yang memengaruhi riwayat Merpati, yaitu PP Nomor 30/1978, yang intinya
mengharuskan Merpati mengalihkan modal ke Garuda Indonesia. Merpati yang menjadi anak
perusahaan Garuda, tetap menjalankan penerbangan perintis, lintas batas, transmigrasi, borongan
wisatawan, dan angkutan barang, serta usaha-usaha lainnya. Pola operasi Merpati memang
menyelenggarakan penerbangan pada semua jaraingan penerbangan dalam negeri, secara terpadu
dan saling mengisi dengan Garuda.
Penerbangan perintis merupakan tantangan besar tapi mulia bagi Merpati. Namun dalam
menjalankannya, Merpati mengikutsertakan sejumlah perusahaan penerbangan swasta. Seperti PT
SMAC untuk melayani Sumatera Utara dan Tengah, sejak tahun 1978, dengan PT DAS untuk wilayah
Kalimantan (sejak 1979), dengan PT Deraya di Kalimantan (sejak1988), dengan PT Indoavia di
Maluku (sejak 1988), dan dengan PT Asahi Mantrust di Kalimantan Timur.
Pasca keluarnya PP itu, tahun 1979, Dirut Garuda Wiweko Soepono pun menunjuk R.A.J. Lumenta
(1979-1983) sebagai direktur utama. Dengan menerapkan sistem manajemen yang ketat dan terarah,
Lumenta membawa Merpati ke untuk melangkah lebih baik lagi. Dia juga meyakinkan pemerintah agar
memberi dana sebesar 18 juta dollar AS, untuk memodernisasi armada.
Lumenta adalah orang pertama yang menyatakan bahwa Merpati tengah merugi, bahkan menuju
kebangkrutan. Oleh karena itu, menjadi anak perusahaan Garuda dinilai sebagai langkah paling
strategis, ketika itu. Kemajuan mulai terlihat, ketika tahun1980, Merpati memperoleh tambahan 14
NC-212 dari pemerintah. Kemudian, ditambah lagi dengan pembelian empat pesawat bekas dan
enam pesawat baru dari jenis yang sama. Selain itu, hanggar-hanggar pemeliharaan pesawat pun
dibangun di Makassar dan Manado. Adanya tempat-tempat perawatan pesawat tersebut, merupakan
awal keberhasilan Merpati beroperasi di wilayah Timur.
Beberapa bulan pada tahun 1983, Merpati dipimpin J. Soekardjo. Karena masa jabatannya yang
singkat itu, ia jarang disebut-sebut. Selanjutnya, pada 10 November 1983, ia digantikan Soeratman
(1983-1989).
Pada masa jabatan Soeratman, Merpati memperoleh hibah dua Pesawat Hercules L-100 (versi sipil
dari C-130) dari Pelita Air Service, tahun 1986. Merpati juga membuka
penerbangan Kupang-Darwin menggunakan HS-748, yang kemudian diganti dengan F-28.
Tanggal 25 Juni 1986, Merpati menandatangani kontrak pembelian 15 CN-235 dari IPTN, pada saat
Indonesia Air Show (IAS) yang pertama di bekas Bandara Kemayoran, Jakarta. Penyerahan pertama
pesawat yang awalnya merupakan hasil kerjasama CASA dan IPTN itu hanya berlangsung akhir tahun
itu juga.
Pada Mei 1989, kembali ada penggatian pucuk pimpinan Merpati. Kali ini giliran Capt. F. H. Sumolang
(1989-1992) Langkah ini sebagai titik tolak realisasi integrasi penuh atau operasi terpadu Merpati ke
dalam Garuda Indonesia Group. Merpati ditetapkan sebagai pendukung operasi penerbangan Garuda
di tingkat domestik. Sejumlah armada Garuda pun dialihkan kepada Merpati, antara lain, enam F-28
Mk.3000, 22 F-28 Mk. 4000, dan sembilan DC-9.

Berlanjutnya masalah Merpati

Pesawat Lockheed TriStar Merpati diBandar Udara Perth (akhir 1990an).

Pesawat Airbus A310-300 Merpati diBandar Udara Perth (akhir 1990an).


Masa-masa "gejolak" di dalam tubuh Merpati masih berlangsung . Ridwan Fataruddin (1992-1995)
yang menggantikan Sumolang, harus berhadapan dengan permasalahan kekurangan tenaga pilot,
menyusul penarikan kembali armada Garuda dari tubuh Merpati. Program pengiriman calon pilot
ke Australia danSelandia Baru yang baru dijalankan, belum dapat mengatasi kekurangan tersebut.
Walau di belakangan hari, pasca pemisahan Merpati-Garuda, masalah pilot ini menguak lagi.
Rencana pemisahan kembali dengan Garuda memang menimbulkan banyak masalah yang
menghambat operasi Merpati. Apalagi pemisahan itu juga memberi kesempatan pada Garuda untuk
menerbangi rute-rute domestik, yang sebelumnya juga diterbangi Merpati. Garuda dan Merpati pun
bersaing di pasar yang sama.
Pada masa itu, Merpati sempat menambah armada, dengan Fokker-100, pesanan Garuda yang
dialihkan, dan B737-200. Armada yang beroperasi pun menjadi 86 pesawat, walaupun masih belum
mencukupi untuk menerbangi 466 rute di lebih dari 130 kota.
Permasalahannya memang kian terbuka, walau tidak pernah diungkapkan seperti sekarang.
Masalah-masalah tersebut berdampak kepada ketepatan jadwal penerbangan (OTP, on time
performace) yang makin rendah. Rendahnya tingkat OTP itu betul-betul menurunkan citra Merpati di
mata pelanggannya.
Menurunnya kinerja tersebut, antara lain karena banyaknya tipe pesawat yang dimilikinya. Merpati
ketika itu memiliki 8 tipe pesawat yang berbeda, yaitu Fokker-100, B737-200, Fokker-28, BAe
ATP, Fokker-27, CN-235, NC- 212, dan Twin Otter. Belum lagi banyaknya pesawat yang perlu
perawatan sehingga menurunkan utilisasinya. Merpati pun sering terdengar "merugi".
Permasalah yang terjadi saling berkait antara satu dengan yang lain. Misalnya, penyewaan pesawat
yang penuh manipulasi, sewa pesawat yang tidak layak, dan berbagai penyimpangan lainnya.
Menjelang pemisahan dengan Garuda, pada akhir tahun 1996, Merpati berusaha mandiri, antara lain
dengan cara lebih mengefisienkan diri dan memperbaiki kinerja perusahaan. Namun semua itu belum
membuahkan hasil seperti yang diharapkan, antara lain karena belum bisa memecahkan masalah
permodalan dan perestruktiurisasian di tubuh perusahaan. Kerugian pun makin membengkak hingga
Rp135 milyar, dengan penurunan kinerja pelayanan yang seringkali mengecewakan para
pelanggannya.
Direktur Utama Budiarto Subroto (1995-1999) berupaya mencari celah perbaikan dengan memangkas
rute yang tidak menguntungkan. Saat itu, 34 rute perintis di Maluku, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, dan Sulawesi, yang biasanya diterbangi NC-212, dan enam rute lain di Papua,
dipangkas jumlah frekuensinya dan ditutup, walau 28 rute perintis masih dipertahankan. Pada masa
itu, Merpati lebih banyak menata kembali rute perintis.
Pada masa itu, Merpati dengan "berani" mendatangkan A310 dan A300-600 untuk menjelajah rute
internasional ke Australia. Penerbangan ini membukukan utang yang tak sedikit. Belum lagi persoalan
pesawat ATP yang tak lagi laik terbang sehingga grounded, walau tetap harus membayar sewa. Ada
lagi Tristar, untuk menggantikan A310, dan kemudian BAe-146-100, yang operasinya hanya
"sekejap".
Kerugian pun tak pernah "beranjak". Pada semester pertama 1997, misalnya, kerugiannya mencapai
Rp40,1 milyar. Makin terpuruk pada semester kedua 1997, saat krisis mulai melanda. Hutang Merpati
pun menjadi lebih besar dari asetnya.
Berdasarkan analisis pengamat penerbangan yang menyebut bahwa pada tahun 1998, nilai aset
Merpati sudah mencapai lebih Rp 830 milyar di bawah utang, tidaklah menjadikan Merpati "bangkrut".
Awal tahun 1999, Wahyu Hidayat dan jajarannya "diperintahkan" untuk membenahinya. Merpati mulai
membenahi kinerja operasinya seperti tingkat keselamatan penerbangan makin tinggi dan OTP (On
Time Performance) secara perlahan merambat naik. Dengan slogan "Get The Feeling", Merpati mulai
berbenah dengan serius. Tahun 1999, diumumkan bahwa Merpati meraih laba operasi, yang kedua
setelah tahun 1992.
Namun, tantangan dan ancaman makin kompleks. Di luar, persaingan makin ketat. Selain
bermunculan airlines swasta yang baru, Garuda pun makin menancapkan keberadaannya di domestik.
Jumlah karyawannya mencapai 4.300 orang dengan 600 pilot, tapi hanya mengoperasikan 35
pesawat.

Merpati kini

Boeing 737-200

Tahun 2007, Merpati mulai melaksanakan program revitalisasi dan modernisasi armada secara
parsial,mengingat Merpati hingga saat ini masih bergelut dengan masalah keuangan [3][4], terutama
armada perintis, dengan memesan 14 pesawat Xian MA60 dari Xian Aircraft China. Merpati juga
sempat menyewa 1 ATR 72, namun kemudian dikembalikan karena dianggap tidak ekonomis
(beberapa sumber menyatakan bahwa ATR hanya disewa sementara, menunggu tambahan MA60) .
Merpati juga mengumumkan akan membeli 11 pesawat 30-kursi untuk rute domestik. (tipe belum
dikonfirmasi), serta juga kemungkinan akan memesan pesawat N-219 buatan PTDI sekitar tahun
2011 ini.
Pada 7 Mei 2011 lalu, sebuah pesawat Xian MA60 (PK-MZK) jatuh di perairan Kaimana, menewaskan
seluruh penumpangnya yang berjumlah 27 orang (21 penumpang dan 6 kru). Kecelakaan ini
menambah panjang daftar kecelakaan yang melibatkan armada perintis Merpati. Kecelakaan terakhir
yang dialami Merpati adalah pada tanggal 2 Agustus 2009, dimana sebuah Twin Otter jatuh di
pegunungan di Papua, menewaskan seluruh 16 penumpangnya (13 penumpang dan 3 kru). Setelah
kecelakaan di Kaimana, banyak pihak mempertanyakan keputusan Merpati membeli pesawat Xian
MA60 tersebut, serta dugaan mark-up dan kolusi yang terjadi saat proses pembeliannya.
5 Juni 2011: Untuk memenuhi misinya sebagai 'Jembatan Udara Nusantara', Merpati Nusantara
Airlines memerlukan 15 pesawat jet, ditambah 40 pesawat 50-penumpang dan 20 pesawat
20-penumpang seperti MA-60, NC-212, N-219, dan DHC-6 Twin Otter.[5] Bulan Juli 2011, Pemerintah
dan DPR menyetujui penyuntikan modal senilai 516 milyar rupiah ke Merpati dalam APBN 2012. [6].
Kemudian, di bulan Oktober 2011, Pertamina menghentikan pasokan avtur ke Merpati di Surabaya
dan Makassar akibat hutang biaya pembelian avtur senilai 270 milyar rupiah, sehingga menghentikan
operasi Merpati dari kedua bandara tersebut[7]. Hutang total Merpati kepada Pertamina adalah sebesar
550 milyar rupiah, terdiri dari hutang pokok 270 milyar, dan sisanya bunga dan denda [8]. Namun,
beberapa waktu kemudian, operasi Merpati dari kedua bandara tersebut sudah normal kembali.
Pada bulan Maret 2012, Merpati meluncurkan program "Tahun Emas Merpati Nusantara". Acara
peluncuran yang disaksikan langsung oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan dan duta maskapai
Merpati Deddy Mizwar ini memberikan garansi OTP (On Time Performance) yang dinamai "On Time
Guarantee".
Mei 2012 , Jabatan tertinggi Merpati yang dipegang oleh Sardjono Jhony digantikan oleh Rudy
Setyopurnomo. Rudy Setyopurnomo ditunjuk langsung oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan untuk
membuat Merpati bisa keluar dari keterpurukan. Sejak dipegang Rudy Setyopurnomo, Merpati
melakukakan gebrakan-gebrakan seperti :
- Menutup 20 rute yang Merugi
- Website baru, Call Centre 24 Jam dan City Check-in di 9 kota
- Kerja Sama Pengangkutan Cargo dengan PT.POS Indonesia
dan akan fokus meningkatkan Load Factor menjadi 85% yang sebelum nya hanya 69%.
Januari 2013 , Merpati berencana mendatangkan 6 unit A320 sebagai langkah memodernisasi
armada nya. Dalam rencana nya Merpati akan mendatangkan A320 pada bulan Juni 2013 hingga
akhir tahun 2013. Untuk mempersiapkan kehadiran A320 nya Merpati menyekolahkan Sekitar 20 Pilot
nya untuk mendapatkan License A320 dengan bekeja sama dengan STAA yg berbasis di Singapura.
Agustus 2013 , Lantaran kondisi nya tak kunjung membaik Dahlan Iskan menunjuk PPA untuk
menyelamatkan Merpati sekaligus mengganti Dirut Merpati yang merupakan mantan Dirops (Direktur
Operasi) Merpati Era Rudy Setyopurnomo yaitu Capt Asep Eka Nugroho. Namun kondisi Merpati juga
belum ada perubahan yang berarti justru Pertamina semakin kesal dengan Merpati lantaran terus
menunggak Avtur yang kemudian Pertamina meng-embargo Avtur Merpati di beberapa kota tujuan
Merpati seperti Palembang, Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang dan Yogyakarta. Untung nya
Merpati masih dapat beroperasi di Hub lain nya yaitu Surabaya, Makassar dan Denpasar.
Desember 2013, 2 unit Armada nya ditarik oleh Lessor karena Merpati menunggak sewa Pesawat 1
B737-300 (PK-MDU) dan 1 B737-400 (PK-MDR). Pesawat ini memperkuat armada Merpati sejak
2012.
Memasuki 2014, Kondisi Merpati belum juga membaik. Merpati disarankan mencari investor strategis
untuk membuat anak perusahaan bersama, selain itu Merpati disarankan menjual anak Perusahaan
nya MMF (Merpati Maintenance Facility) dan MCS (Merpati Catering Service) ke PPA untuk
membayar Gaji Karyawan, Fuel serta Asuransi.
Memasuki bulan Februari 2014, untuk sementara, Merpati memberhentikan semua operasi
penerbangannya sampai bulan Maret 2014. Merpati berhenti beroperasi lantaran tidak mampu
membayar Asuransi, Fuel dan Gaji Kru serta Pegawai nya. Kini Merpati terbebani hutang yang
mencapai 7,3 Trilyun Rupiah. Terkait rencana awal akan beroperasi pada Bulan Maret namun kembali
diundur karena Program RR (Restrukturisasi dan Revitalisasi) yang masih belum selesai

Anda mungkin juga menyukai