Anda di halaman 1dari 2

Wajah Pendidikan di kota Makassar,

Muramkah?
Sudah sekitar hampir 4 minggu ini saya berperan di Makassar. Dalam waktu yang berjalan
cepat ini, ada beberapa realitas yang kutangkap - terutama realitas remaja dan pendidikan di
Makassar. Dengan berperan di ESA cabang Makassar, kali ini saya lebih banyak berinteraksi
langsung dengan dunia remaja SMP-SMA/Kejuruan. Remaja-remaja di Makassar sebenarnya
juga menyimpan potensi besar yang luar biasa bila dikembangkan dengan serius. Kali ini
saya pengin menyampaikan apa saja yang menjadi kendala saat hendak mengembangkan
potensi kepemudaan dan pendidikan tingkat menengah di Makassar.
Setidaknya ada 4 besaran yang menjadi pokok masalah yang menjadi pangkal tersendatnya
pengembangan di Makassar, yang bisa saya sebut sebagai "PatMaDik" yaitu empat masalah
pendidikan.
Yang pertama sebagai penyebab tentu kita perlu melihat bagaimana komitmen dari
pemerintah daerah setempat untuk membina remaja dan meningkatkan kualitas pendidikan
disini. Kemudian yang kedua, tentu pengaruh pengelola sekolah. Dalam hal ini yakni kepala
sekolah serta seluruh perangkat pengajar di sekolah tersebut. Kemudian yang ketiga ialah
input dari siswa, hal ini tentu menjadi semacam lingkaran setan karena tentu input tersebut
pengaruh dari proses pendidikan di tingkat sebelumnya. yang terakhir adalah kondisi
lingkungan pergaulan di Makassar yang penuh dengan dilematis. Mengapa ku sebut
dilematis? karena semua perkembangan pergaulan disini makin sulit terkontrol, lagi-lagi
penyebabnya dari rendahnya tingkat pendidikan serta kesadaran dari warga di Makassar.
Sementara itu, sebenarnya persoalan ini juga terpengaruh besar dari budaya Makassar. Tapi
kurasa, ku belum punya kapasitas buat menyinggung persoalan ini. Saya juga masih terbilang
baru untuk menilai secara komprehensif. Tetapi setidaknya dari pengalaman keorganisasian
hal tersebut masih layak untuk menjadi bahan telaah lebih dalam.
Okey, inilah beberapa pengamatan yang bisa Saya sampaikan, apabila ada pihak yang
berwenang yang bisa memperdalam bahkan syukur-syukur punya itikad baik untuk
menyelesaikan ini, bisa saja mari kita berdiskusi.
1. Pengaruh pemerintah daerah
Kedudukan pemerintah daerah disini merupakan yang memiliki road map atas kualitas
pendidikan yang diharapkan terbentuk di daerahnya. Masalahnya, saat ini alih-alih
pemerintah daerah memprioritaskan pembangunan pendidikan sementara realitas saat ini,
peserta didik malah dijadikan obyek politik yang diarahkan kepada pilihan politik tertentu.
Bentuknya antara lain dengan melakukan mobilisasi pelajar untuk mengikuti acara tertentu
yang diselenggarakan oleh pihak-pihak berkepentingan. Hal ini dilakukan, memang karena
sekarang di Makassar merupakan masa-masa kampanye.

2. Stakeholder di sekolah
Para pelaku pendidikan di sekolah ialah Garda terdepan pada pembelajaran siswa. Tetapi
sebenarnya bukan berarti juga pendidik menjadi tulang punggung untuk menyelesaikan
permasalahan pendidikan. Perlu dukungan dari orang tua siswa untuk melakukan
pembimbingan. Kembali pada persoalan pendidik, kepala sekolah yang memegang
kewenangan mutlak di sekolah perlu bekerja sama dan berkomitmen dengan para Guru serta
siswa. Kepala sekolah diperlukan bukan hanya sebagai pemimpin secara formal, tetapi
menjadi tauladan yang terbaik bagi peserta didik. Namun, ternyata menjadi kepala sekolah
tidaklah semudah bila kita melihat dari luar. Kepala sekolah juga mendapat pressure dari
tingkat diatasnya. Tidak bisa dipungkiri, penempatan saat menjadi kepala sekolah juga
mengalami perjalanan yang "berliku". Penempatan ini tentu harus ada kontribusi balik yang
pantas. Bila ini tetap dibiarkan terjadi, yang menjadi korban tetap saja pendidik dan peserta
didik. Akan tetapi, bila kepala sekolah tetap memiliki komitmen yang tinggi, kemungkinan
besar yang perlu dibenahi adalah sistem koordinasi antara kepala sekolah dengan guru-siswa.
bentuk konkret atas hal ini ialah sulitnya menyampaikan keluhan dalam persoalan
pembelajaran yang berasal dari siswa atau guru ke kepala sekolah. Bila kepala sekolah bisa
lebih "membumi" tentu akan terbuka ruang dialog yang akan membuat batasan antara realitas
masalah dengan penyelesaiannya akan semakin mendekat.

3. Input siswa
Menurut pembacaan saya selama ini, terdapat jurang yang demikian lebar antar lembaga
pendidikan (baca: sekolah) yang unggulan dengan yang bukan unggulan. Bila diperhatikan,
pada sekolah-sekolah yang unggulan akan nampak "hawa" belajar yang demikian besar.
Sementara tidak demikian bila kita mengunjungi sekolah yang bukan unggulan, apalagi
sekolah pinggiran. Ini memang menjadi persoalan pendidikan dari sebuah kota besar, seperti
halnya disini di kota Makassar.

4. Pengaruh lingkungan pergaulan remaja


Sebagai kota metropolitan, Makassar juga mengalami apa yang biasa disebut sebagai "arus
budaya Urban. Yakni percampuran antara budaya modern yang cenderung liberal atau bebas
sementara masih terwarnai sifat unsur lokal kedaerahan. Yang terasa benar imbasnya tentu
saja kalangan pemuda, yang secara akses akan informasi lebih cepat menjangkau. Bila tidak
ada filter yang tepat, maka dengan mudahnya mempengaruhi pola pikir dan perilaku.
Kemajuan zaman tidak berarti suatu hal yang buruk tetapi penyikapan yang salah bisa
menyebabkan kerugian bagi diri.

Itulah telaah singkat atas penilaian saya selama 4 pekan berada dan berinteraksi langsung
dengan dunia pendidikan di Makassar. Tentu penilaian ini masih dangkal karena hanya
sebatas catatan kecil, tetapi setidaknya bagi para pembaca blog ini bisa menjadi awal untuk
memperbaiki kualitas pendidikan di Makassar. Terakhir saya perlu sampaikan, perbaikan ini
tidak mungkin hanya menjadi tanggung jawab satu pihak saja. Masyarakat dan Lembaga
Independen perlu juga bersinergis untuk membantu memberikan kontribusi konkret untuk
menyelesaikan masalah ini.

Diposkan 20th December 2012 oleh ari fattah

Anda mungkin juga menyukai