Anda di halaman 1dari 22

3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tekanan Darah


2.1.1. Pengertian Tekanan Darah
Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding arteri. Ada
dua jenis tekanan darah, tekanan sistolik dan tekanan diastolik. Tekanan sistolik
merupakan tekanan maksimum yang diperoleh arteri sewaktu ventrikel
berkontraksi (sistol). Tekanan diastolik merupakan tekanan minimum di dalam
arteri sewaktu ventrikel jantung berelaksasi (diastol) dengan nilai normalnya
berkisar dari 100/60 sampai 140/90, dengan satuan millimeter air raksa (mmHg)
(Tortora, 2009). Rata-rata tekanan darah normal biasanya 120/80 (Aubuchon,
2011).
Menurut Sherwood (2001) tekanan darah arteri rata-rata adalah gaya
utama yang mendorong darah ke jaringan. Tekanan ini harus diatur secara ketat
karena dua alasan. Pertama, tekanan tersebut harus harus cukup tinggi untuk
menghasilkan gaya dorong yang cukup. Kedua, tekanan tidak boleh terlalu tinggi,
sehingga menimbulkan beban kerja tambahan bagi jantung dan meningkatkan
resiko kerusakan pembuluh serta kemungkinan rupturnya pembuluh-pembuluh
halus. Dua penentu utama tekanan darah arteri rata-rata adalah curah jantung dan
resistensi perifer total.

2.1.2. Klasifikasi
Tekanan darah dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi. Berikut
klasifikasi tekanan darah.
Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC VII
Kategori Sistolik Diastolik
Normal <120 <80
Pre-hipertensi 120-139 80-89
Hipertensi
Hipertensi Stage I 140-159 90-99
Hipertensi Stage II >160 >100
4

Sumber : JNC, 2003.

2.1.3. Faktor-Faktor Utama yang Mempengaruhi Tekanan Darah


2.1.3.1. Curah Jantung
Curah jantung adalah volume darah yang dipompa oleh tiap-tiap ventrikel
per menit. Dua faktor penentu curah jantung adalah kecepatan denyut jantung
(denyut per menit) dan volume sekuncup (volume darah yang dipompa per
denyut). Kecepatan denyut jantung rata-rata adalah 70 kali per menit, yang
ditentukan oleh irama nodus SA, sedangkan volume sekuncup rata-rata adalah 70
ml per denyut, sehingga curah jantung rata-rata adalah 4900 ml/menit atau
mendekati 5 liter/menit. Nodus SA dalam keadaaan normal adalah pemacu
jantung karena memiliki kecepatan depolarisasi spontan tertinggi. Ketika nodus
SA mencapai ambang, terbentuk potensial aksi yang menyebar ke seluruh jantung
dan menginduksi jantung berkontraksi. Hal ini berlangsung sekitar 70 kali per
menit, sehingga kecepatan denyut jantung rata-rata adalah 70 kali per menit.
Jantung dipersarafi oleh kedua divisi sistem saraf otonom, yang dapat
memodifikasi kecepatan (serta kekuatan) kontraksi, walaupun untuk memulai
kontraksi tidak memerlukan stimulasi saraf. Stimulasi parasimpatis dan simpatis
menimbulkan efek-efek berikut pada jantung (Sherwood, 2001).
Salah satu faktor yang meningkatkan curah jantung adalah aliran balik
vena. Vasokonstriksi vena dan kompresi vena eksternal keduanya mendorong ke
arah jantung. Darah hanya dapat terdorong ke arah depan karena vena-vena besar
diperlengkapi dengan katup-katup satu arah yang terdapat pada jarak 2 sampai 4
cm. Katup-katup ini memungkinkan darah bergerak ke depan ke arah jantung
tetapi mencegah darah mengalir kembali ke jaringan. Katup-katup vena ini juga
berperan melawan efek gravitasi yang ditimbulkan oleh posisi berdiri dengan
membantu memperkecil aliran balik darah yang cenderung terjadi sewaktu
seseorang berdiri dan untuk sementara waktu menunjang bagian-bagian kolom
darah pada saat otot rangka berelaksasi (Sherwood, 2001).
5

Tabel 2.2. Efek Sistem Saraf Otonom pada Jantung dan Struktur yang
Mempengaruhi Jantung.
Daerah yang Efek Stimulasi Simpatis Efek Stimulasi Parasimpatis
Terpengaruhi
Nodus SA Peningkatan kecepatan Penurunan kecepatan
depolarisasi ke ambang; depolarisasi ke ambang;
peningkatan kecepatan penurunan kecepatan denyut
denyut jantung jantung
Nodus AV Peningkatan eksitabilitas; Penurunan eksitabilitas;
penurunan perlambatan peningkatan perlambatan
nodus AV nodus AV
Jalur penghantar Meningkatkan eksitabilitas; Tidak ada efek
ventrikel meningkatkan hantaran
melalui berkas His dan sel
Purkinje
Otot Atrium Meningkatkan Penurunan kontraktilitas;
kontraktilitas; memperkuat melemahkan kontraksi
kontraksi
Otot Ventrikel Meningkatkan Tidak ada efek
kontraktilitas, memperkuat
kontraksi
Medula adrenal Mendorong sekresi Tidak ada efek
epinefrin, suatu hormon
yang memperkuat efek
simpatis pada jantung, oleh
medula adrenal
Vena Meningkatkan aliran balik Tidak ada efek
vena
Sumber : Sherwood, L., 2001.

Dengan demikian, jantung bekerja lebih “santai” di bawah pengaruh


parasimpatis dimana jantung berdenyut lebih lambat, waktu antara kontraksi
atrium dan ventrikel memanjang, dan kontraksi atrium melemah. Efek-efek ini
sesuai dengan kenyataan bahwa sistem parasimpatis mengontrol kerja jantung
dalam situasi-situasi yang santai dan tenang saat tubuh tidak menuntut
peningkatan curah jantung.

2.1.3.2. Resistensi Perifer Total


Menurut Sherwood (2001), resistensi perifer total dipengaruhi oleh 2
faktor utama yaitu, jari-jari arteriol dan viskositas darah.
6

1. Jari jari Arteriol


Arteriol adalah pembuluh resistensi utama pada sistem vaskuler. Berbeda
dengan resistensi arteri yang rendah, resistensi arteriol yang tinggi menyebabkan
penurunan mencolok tekanan rata-rata ketika darah mengalir melalui pembuluh-
pembuluh ini. Secara rata-rata, tekanan turun dari 93 mmHg, yaitu tekanan arteri
rata-rata menjadi 37 mmHg, tekanan di awal kapiler. Penurunan tekanan ini
membantu membentuk perbedaan tekanan yang mendorong aliran darah dari
jantung ke berbagai organ. Jari-jari arteriol yang memperdarahi organ dapat
disesuaikan secara independen untuk menentukan distribusi curah jantung dan
untuk mengatur tekanan darah arteri.
Tidak seperti arteri, dinding arteriol hanya sedikit mengandung jaringan
ikat elastik. Namun, pembuluh ini memiliki lapisan otot polos yang tebal yang
banyak dipersarafi oleh serat saraf simpatis. Otot polosnya juga peka terhadap
banyak perubahan kimiawi lokal dan terhadap beberapa hormon dalam sirkulasi.
Lapisan otot polos berjalan mengelilingi arteriol, sehingga apabila berkontraksi,
lingkaran pembuluh atau jari-jarinya menjadi lebih kecil, dengan demikian
resistensi meningkat dan aliran melalui pembuluh berkurang. Otot polos arteriol
dalam keadaan normal memperlihatkan keadaan terkonstriksi parsial yang dikenal
sebagai tonus vaskuler. Berbagai faktor dapat mempengaruhi tingkat aktivitas
kontraktil otot polos arteriol, sehingga pada dasarnya resistensi terhadap aliran di
pembuluh ini juga terpengaruh. Faktor-faktor ini dikelompokkan ke dalam dua
kategori, yaitu : kontrol lokal (intrinsik), yang penting untuk menyesuaikan aliran
darah dengan kebutuhan metabolik jaringan tempat pembuluh tersebut berada, dan
kontrol ekstrinsik yang penting untuk mengatur tekanan darah.
Menurut Sherwood (2001), kontrol ekstrinsik terhadap jari-jari arteriol
mencakup pengaruh-pengaruh saraf dan hormonal, dengan efek sistem simpatis
adalah yang terpenting. Peningkatan aktivitas simpatis menimbulkan
vasokonstriksi arteriol umum, sedangkan penurunan aktivitas simpatis
menyebabkan vasodilatasi arteriol umum. Perubahan resistensi arteriol yang luas
ini menyebabkan perubahan tekanan darah arteri rata-rata. Serat-serat simpatis
mempersarafi otot polos arteriol di seluruh tubuh kecuali di otak. Norepinefrin
7

yang dikeluarkan dari ujung-ujung saraf simpatis berikatan dengan reseptor


adrenergik α di otot polos vaskuler untuk menimbulkan vasokonstriksi. Arteriol
otak adalah pembuluh yang tidak memiliki reseptor α, sehingga tidak terjadi
vasokonstriksi di otak. Arteriol otak penting untuk tidak mengalami refleks
konstriksi yang diinduksi oelh pengaruh-pengaruh saraf, karena aliran darah ke
otak harus konstan apapun yang terjadi di bagian tubuh lainnya. Karena itu,
aktivitas simpatis berperan penting untuk mempertahankan tekanan arteri rata-
rata, memastikan gaya dorong untuk aliran darah ke otak tetap adekuat, dengan
mengorbankan organ atau jaringan lain yang dapat lebih bertahan pada keadaan
kekurangan darah.
2. Viskositas Darah
Viskositas darah ditentukan oleh dua faktor utama yaitu jumlah sel darah
merah dan konsentrasi protein plasma (Guyton, 2008).
Viskositas mengacu kepada friksi yang timbul antara molekul suatu cairan
sewaktu mereka bergesekan satu sama lain selama cairan mengalir. Semakin besar
viskositas, semakin besar resistensi terhadap aliran. Secara umum, semakin kental
suatu cairan, semakin tinggi viskositasnya. Plasma 1,8 kali lebih kental daripada
air (Ganong, 2005).

2.1.4. Pengaturan Tekanan Darah


Menurut Seely (2000), tekanan arteri rata-rata secara konstan dipantau
oleh baroreseptor di dalam sistem sirkulasi. Baroreseptor mendeteksi perubahan
tekanan darah dan kontraksi dari pembuluh darah.
Menurut Sherwood (2001), apabila reseptor mendeteksi adanya
penyimpangan dari normal, maka akan dimulai serangkaian respon refleks untuk
memulihkan tekanan arteri ke nilai normalnya. Penyesuaian jangka pendek (dalam
beberapa detik) dilakukan dengan mengubah curah jantung dan resistensi perifer
total, yang diperantarai oleh pengaruh sistem saraf otonom pada jantung,vena, dan
arteriol. Setiap perubahan pada tekanan darah rata-rata akan mencetuskan refleks
baroreseptor yang diperantarai secara otonom dan mempengaruhi jantung serta
pembuluh darah. Reseptor terpenting yang berperan dalam pengaturan terus
8

tekanan darah, yaitu sinus karotikus dan baroreseptor lengkung aorta, adalah
mekanoreseptor yang peka terhadap perubahan tekanan arteri rata-rata dan
tekanan nadi. Jika karena suatu hal tekanan arteri meningkat di atas normal,
baroreseptor sinus karotikus dan lengkung aorta meningkatkan kecepatan
pembentukan potensial aksi di neuron aferen masing-masing. Setelah mendapat
informasi bahwa tekanan arteri terlalu tinggi oleh peningkatan pembentukan
potensial aksi tersebut, pusat kardiovaskular berespons dengan mengurangi
aktivitas simpatis dan meningkatkan aktivitas parasimpatis. Sinyal-sinyal eferen
ini menurunkan kecepatan denyut jantung, menurunkan volume sekuncup dan
menimbulkan vasodilatasi arteriol dan vena, yang pada gilirannya menurunkan
curah jantung dan resistensi perifer total, sehingga tekanan darah kembali ke
tingkat normal. Penyesuaian jangka panjang (memerlukan waktu beberapa menit
sampai hari) melibatkan penyesuaian volume darah total dengan memulihkan
keseimbangan garam dan air melalui mekanisme yang mengatur pengeluaran urin
dan rasa haus.

2.1.5. Aktivitas yang Mempengaruhi Tekanan Darah


Beberapa aktivitas yang mempengaruhi tekanan darah adalah :
1. Olahraga
Saat berolahraga jalan cepat, bersepeda, joging, berenang, atau mengikuti
aktivitas erobik lainnya, tekanan darah akan naik cukup banyak. Misalnya selama
melakukan latihan-latihan fisik yang keras, tekanan darah sistolik dapat naik
menjadi 150 - 200 mmHg dari tekanan sistolik ketika istirahat sebesar 110 - 120
mmHg. Sebaliknya, segera setelah latihan selesai, tekanan darah akan turun
sampai di bawah normal dan berlangsung selama 30 - 120 menit. Penurunan ini
terjadi karena pembuluh darah mengalami pelebaran dan relaksasi. Pada penderita
hipertensi, penurunan itu akan nyata sekali. Kalau dilakukan berulang-ulang, lama
kelamaan penurunan tekanan darah tadi berlangsung lebih lama. Itulah sebabnya
latihan olahraga secara teratur akan dapat menurunkan tekanan darah (Amira binti
Kamaruzaman, 2010).
9

Menurut dr. Rai Wahyuni (2009) dalam Amira binti Kamaruzaman


(2010), olahraga dapat memperbaiki profil lemak darah, yaitu menurunkan kadar
total kolestrol, LDL, dan trigliserida. Olahraga juga dapat memperbaiki HDL,
yaitu jenis kolestrol yang kadarnya sukar dinaikkan. Di samping itu, berbagai
faktor risiko seperti hipertensi, diabetes mellitus, dan kegemukan dapat diturunkan
dengan menjalankan olahraga yang tepat takaran, durasi, dan frekuensinya.

2. Konsumsi Garam
Pembatasan garam dapat menurunkan tekanan darah serta dapat
mencegah kenaikan tekanan darah terkait dengan bertambahnya usia. Jika asupan
garam kurang dari 3 gram sehari prevalensi hipertensi persentasenya rendah,
tetapi jika asupan garam 5-15 gram per hari akan meningkatkan prevalensi
menjadi 15-20% (Sudjaswadi Wiryo Widagdo, 2002:19 dalam Amira binti
Kamaruzaman, 2010).

3. Tidur yang Cukup


Menurut Dr. Susan Redline dari Case Western Reserve (2008) dalam
Amira binti Kamaruzaman (2010), dokter jantung perlu memberikan perhatian
khusus terhadap pasien yang mengalami gangguan tidur, karena gangguan tidur
dianggap sebagai salah satu faktor risiko hipertensi, baik pada pasien dewasa
maupun pada pasien anak dan remaja. Kualitas dan kuantitas tidur dapat
mempengaruhi proses hemostasis dan bila proses ini terganggu, dapat menjadi
salah satu faktor meningkatnya risiko penyakit kardiovaskular. Jadi, selain
modifikasi gaya hidup (pengaturan diet dan olah raga), kualitas tidur sangatlah
penting dalam mempertahankan kesehatan.

2.1.6. Pengukuran Tekanan Darah


Pengukuran tekanan darah dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu
metode lansung dengan menggunakan jarum atau kanula yang dimasukkan ke
dalam pembuluh darah dan dihubungkan dengan manometer. Metode Tidak
10

Lansung dengan menggunakan sphygmomanometer atau tensimeter. Tekanan


darah dapat diukur dengan dua cara, yaitu :

1. Cara Perabaan (Palpasi)


Pengukuran tekanan darah secara palpasi hanya dapat menetapkan
sistolik saja. Cara pengukurannya sebagai berikut: manset dibalutkan pada lengan
sampel, dengan cara memompa bola karet ditiupkan udara kedalamnya sambil
memegang nadi sampel, pada suatu tekanan tertentu dimana nadi tidak teraba lagi
tekanan manometer diturunkan perlahan-lahan dengan jari tetap meraba nadi,
pada suatu saat tertentu akan teraba nadi lagi ini disebut tekanan sistolik dengan
mencatat berapa nilai dalam mmHg (Oktia Woro K.H. dkk, 2005:11, dalam Amira
binti Kamaruzaman, 2010).

2.1.6.2. Cara Pendengaran (Auskultasi)


Cara auskultasi memerlukan tensimeter dan stetoskop dalam
pemeriksaan. Cara pengukurannya adalah pompakan udara kedalam manset
sehingga kolom air raksa naik dan tangan pemeriksa yang meraba nadi sudah
tidak merasakan denyut nadi lagi. Sesudah itu ujung stetoskop diletakan pada
Fossa cubiti. Udara dikeluarkan secara perlahan-lahan, sehingga suatu saat
terdengar suara yang dapat dibedakan dalam lima fase, yaitu: fase I: suara
gelombang nadi yang pertama yang melalui manset, menyerupai suara pertama
jantung yang lemah. Fase II: suara menjadi lebih keras dan diikuti oleh desingan
seperti tiupan. Fase III: suara menjadi maksimal, dan desingan mulai hilang. Fase
IV: sekonyong-konyong suara menjadi kurang nyata, menjadi suara tertutup. Fase
V: suara hilang (Oktia Woro K.H. dkk, 2005:11, dalam Amira binti
Kamaruzaman, 2010).

2.2. Tidur
2.2.1. Pengertian tidur
Tidur adalah periode istirahat untuk tubuh dan pikiran, yang selama saat
ini kemauan dan kesadaran ditangguhkan sebagian atau seluruhnya dan fungsi-
11

fungsi tubuh sebagian dihentikan (Dorland, 2002). Tidur merupakan keadaan


dikarakteristikkan dengan keadaan istirahat, immobilisasi, dan berkurangnya
persepsi terhadap stimulus dari dunia luar dimana fungsi kognisi dan kesadaran
ditangguhkan. Namun, tidur sendiri merupakan suatu proses aktif, bukan sekedar
tidak terjaga. Tingkat aktivitas otak keseluruhan tidak berkurang selama tidur.
Pada stadium-stadium tidur tertentu, penyerapan oksigen oleh otak bahkan
meningkat melebihi tingkat terjaga normal (Sherwood, 2001).
Siklus tidur-jaga adalah variasi siklis normal dalam kesadaran mengenai
keadaan sekitar. Berbeda dengan keadaan terjaga, orang yang sedang tidur tidak
secara sadar wasapada akan dunia luar, tetapi tetap memiliki pengalaman
kesadaran dalam batin, misalnya mimpi. Selain itu, mereka dapat dibangunkan
oleh ransangan eksternal, misalnya bunyi alarm (Sherwood, 2001).

2.2.2. Pola Tidur


Tidur yang normal dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe : tidur non
rapid eye movement (NREM) dan tidur rapid eye movement (REM). Klasifikasi
tidur ini di bedakan oleh parameter neurofisiologis seperti elektroensefalogram
(EEG), elektrookulograf (EOG), dan elektromyogram (EMG). Karakteristik inilah
yang membedakan dengan jelas keadaan sadar penuh, tidur REM, dan tidur
NREM (Sherwood, 2001).
Dari kedua tipe tidur tersebut, terdapat 5 stadium dalam tidur : 4 di
antaranya merupakan tidur NREM dan satu merupakan tidur REM. Seseorang
yang baru tertidur akan memasuki stadium 1, yang ditandai oleh aktivitas EEG
frekuensi tinggi amplitudo rendah. Stadium 2 ditandai oleh munculnya kumparan
tidur (sleep spindle). Pada stadium ini terjadi letupan-letupan gelombang tidur
mirip gelombang alfa, dengan frekuensi 10-14 Hz, dan amplitudo 50 µV. Pada
stadium 3, pola tidur yang timbul adalah gelombang EEG dengan frekuensi yang
lebih rendah dan amplitudo yang meningkat. Perlambatan maksimum dengan
gambaran gelombang-gelombang besar dijumpai pada stadium 4. Sedangkan pada
stadium REM atau tidur parodoksikal, gelombang EEG yang tampak serupa
dengan orang yang terjaga atau waspada (Sherwood, 2001).
12

Pada permulaan tidur, seseorang akan masuk ke dalam tidur ringan


stadium satu (REM). Kemudian berpindah ke satdium 2, 3 hingga ke stadium 4
dalam selang waktu sekitar 90 menit. Pada akhir setiap siklus tidur gelombang-
lambat terdapat episode-episode tidur paradoksikal (NREM) yang berlangsung
selama 20-30 menit. Setelah episode paradoksikal, stadium-stadium tidur
gelombang-lambat berulang lagi. Seoseorang secara siklis normal mengalami
kedua jenis tidur berganti sepanjang malam. Selama masa remaja dan dewasa,
tidur paradoksikal rata-rata menempati sekitar 20% waktu tidur total. Bayi
menghabiskan waktunya jauh lebih banyak pada tidur paradoksikal. Sebaliknya,
pada orang lanjut usia, tidur paradoksikal dan gelombang-lambat stadium 4
berkurang (Sherwood, 2001).
Tidur paradoksikal dapat dianggap sebagai tidur yang paling dalam karena
pada saat ini orang yang sedang tidur paling sulit dibangunkan, atau tidur paling
ringan, karena orang yang tidur paling mudah terbangun sendiri selama stadium
ini (Sherwood, 2001).
Selain pola EEG yang khas, kedua jenis tidur dibedakan berdasarkan
perbedaan perilaku. Sulit ditentukan secara pasti kapan seseorang bergeser dari
mengantuk menjadi tidur gelombang-lambat. Dalam tidur jenis ini, indivisu masih
memiliki tonus otot yang memadai dan sering menggeser-geser posisi tubuhnya.
Yang terjadi hanya penurunan kecil kecepatan jantung, kecepatan bernafas, dan
menurunnya tekanan darah. Selama waktu ini orang yang tidur masih dapat
dibangunkan dan jarang bermimpi. Perkecualian utama adalah mimpi buruk, yang
terjadi selama stadium 3 dan 4. Pada stadium ini dapat dijumpai keadaan orang
yang berjalan dan berbicara saat tidur (Sherwood, 2001).
Pola perilaku yang terjadi saat tidur paradoksikal yang paling nyata adalah
hilangnya tonus otot seluruh tubuh, kecuali otot mata dan otot pernafasan. Otot
mengalami relaksasi total tanpa pergerakan. Selain itu, tidur paradoksikal dapat
ditandai dengan adanya pergerakan mata yang cepat (rapid eye movement),
sehingga disebut juga tidur REM. Kecepatan denyut jantung dan frekuensi
pernafasan menjadi tidak teratur (irreguler) dan tekanan darah mungkin
berfluktuasi. Karakteristik lain pada tidur REM adalah bermimpi. Terdapat sedikit
13

bukti yang menyatakan bahwa pergerakan mata yang cepat berkaitan dengan
”melihat” mimpi secara imajinatif. Gerakan bola mata tersebut tampaknya
berlangsung dalam pola bolak-balik yang sudah terkunci dan tidak terpengaruhi
oleh isi mimpi (Sherwood, 2001).
Berikut gambaran EEG pada setiap stadium tidur.

Gambar 2.1 Gambaran EEG pada setiap stadium tidur pada manusia.
Sumber : Tortora, G.J., Derrickson, B.H., 2009. Principles of anatomy and
physiology.12th ed. Hoboken: John Wiley & Son, Inc.

Tabel 2.3. Perbedaan tidur non-rapid eye movement (NREM) dan tidur
rapid eye movement (REM).
Karakteristik NREM REM
EEG Memperlihatkan Serupa dengan EEG
gelombang lambat pada orang terjaga dan
waspada
Aktivitas Motorik Dijumpai tonus otot; Inhibisi tonus otot
sering berubah posisi secara mendadak; tidak
ada gerakan
Kecepatan denyu jantung, Penurunan ringan Tidak teratur
kecepatan pernafasan,
tekanan darah
14

Bermimpi Jarang Sering


Tingkat keadaan bangun Mudah dibangunkan Sulit dibangunkan, tapi
mudah terbangun
sendiri
Presentase waktu tidur 80% 20%
Karakteristik penting lainMemiliki 4 stadium; Gerakan mata cepat
orang yang tidur pertama
harus melewati jenis tidur
ini
Sumber : Sherwood, L., 2001.

2.2.3. Pengaturan Tidur


Sebagian besar peneliti berpikir bahwa sebenarnya tidak ada satu pusat
pengendali tidur sederhana, melainkan terdapat sejumlah kecil sistem atau pusat
yang terutama terletak di batang otak dan saling mengaktifkan serta menghambat
satu sama lain (Sadock, 2010).
Siklus tidur-jaga serta berbagai stadium tidur diperkirakan disebabkan oleh
hubungan timbal balik dari tiga sistem saraf yang berbeda di batang otak : (1)
arousal system, yang merupakan bagian dari reticular activating system, (2) pusat
tidur gelombang-lambat, dan (3) pusat tidur paradoksikal. Pola interaksi ketiga
daerah saraf itulah yang menyebabkan munculnya urutan siklis teratur antara
bangun dan tidur. Bagaimanapun, mekanisme molekuler yang mengontrol siklus
tidur-bangun masih belum dipahami (Sherwood, 2001).
Tidur juga dapat dipengaruhi oleh aktivitas kimia pada otak.
Neurotransmitter seperti sistem serotoninergik, noradrenergik, kolonergik, dan
histaminergik sangat mempengaruhi siklus tidur-bangun.
a. Sistem Serotoninergik
Menurut beberapa penelitian, lokasi dimana banyak dijumpai sistem
serotoninergik ini adalah terletak di batang otak, tepatnya di raphe nuclei dorsalis.
Semakin banyak jumlah serotonin, maka akan menyebabkan keadaan mengantuk
(Japardi, 2002).
b. Sistem Noradrenergik
Neuron-neuron terbanyak mengandung norepineprin terletak di badan sel
nukleus cereleus di batang otak. Kerusakan sel neuron pada lokus cereleus sangat
15

mempengaruhi penurunan atau hilangnya tidur REM (Japardi, 2002).


c. Sistem Kolinergik
Stimulasi sistem kolinergik akan mengakibatkan gambaran EEG seperti
keadaan terjaga (Japardi, 2002).
d. Sistem Histaminergik
Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur (Japardi, 2002).
e. Hormon
Pengaruh hormon terhadap siklus tidur dipengaruhi oleh hormon seperti
Adrenalin Corticotropin Hormon (ACTH), Growth Hormon (GH), Thyroid
Stimulating Hormon (TSH), dan Luteinizing Hormon (LH). Hormon-hormon ini
masing-masing disekresi secara teratur oleh kelenjar hipofisis anterior melalui
jalur hipotalamus. Sistem iini secara langsung mempengaruhi pengeluaran
morepineprin, dopamin, serotonin yang bertugas mengatur mekanisme tidur dan
bangun. Bukti menunjukkan bahwa dopamin memiliki efek menyaigakan. Obat-
obat yang meningkatkan kadar dopamin otak cenderung menyebabkan bangun
dan keadaan sadar. Sebaliknya, penyekat dopamin, cenderung meningkatkan
waktu tidur (Sadock, 2010).

2.2.4. Kebutuhan tidur


Kebutuhan tidur yang cukup ditentukan oleh jumlah faktor jam tidur
(kuantitas tidur) dan faktor kedalaman tidur (kualitas tidur) (Lanywati, 2001
dalam Pujiyantoro, 2009). Setiap golongan usia memiliki kebutuhan tidur yang
berbeda-beda. Berikut tabel yang berisikan tentang kebutuhan tidur pada masing-
masing golongan usia.
Tabel 2.4. Kebutuhan tidur berdasarkan golongan usia.
Umur Kebutuhan tidur
Bayi Baru Lahir 16-18 jam / hari
Anak pre- sekolah 10-12 jam / hari
Anak sekolahan ≥ 9 jam / hari
Dewasa 8-8,5 jam / hari
Sumber: National Heart Lung and Blood Institute, 2005.
16

2.2.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi tidur


1. Penyakit
Sakit dapat mempengaruhi kebutuhan tidur seseorang. Banyak penyakit
yang memperbesar kebutuhan tidur, misalnya penyakit yang disebabkan oleh
infeksi akan memerlukan lebih banyak waktu tidur untuk mengatasi keletihan.
Banyak juga keadaan sakit menjadikan pasien kurang tidur, bahkan tidak bias
tidur (Pujiyantoro, 2009).
2. Lingkungan
Keadaan lingkungan yang aman dan nyaman bagi seseorang dapat
mempercepat terjadinya proses tidur (Pujiyantoro, 2009).
3. Motivasi
Motivasi adalah suatu dorongan atau keinginan seseorang untuk tidur,
yang dapat mempengaruhi proses tidur. Keinginan untuk menahan tidak tidur
dapat menimbulkan gangguan proses tidur (Pujiyantoro, 2009).
4. Kelelahan
Kelelahan akibat aktivitas yang tinggi dapat memerlukan lebih banyak
tidur untuk menjaga keseimbangan energi yang telah dikeluarkan, hal tersebut
terlihat pada seseorang yang telah melakukan aktivitas dan mencapai kelelahan.
Orang yang mengalami kelelahan akan lebih cepat untuk dapat tidur karena tahap
tidur gelombang lambatnya diperpendek (Pujiyantoro, 2009).
5. Kecemasan
Kondisi cemas seseorang mungkin meningkatkan saraf parasimpatis
sehingga mengganggu tidurnya (Pujiyantoro, 2009).
6. Nutrisi
Terpenuhinya kebutuhan nutrisi yang cukup dapat mempercepat proses
tidur. Protein yang tinggi dapat mempercepat terjadinya proses tidur, karena
adanya tryptophan yang merupakan asam amino dari protein yang dicerna
(Pujiyantoro, 2009).
7. Alkohol
Alkohol menekan REM secara normal, seseorang yang tahan minum
alkohol dapat mengakibatkan insomnia dan lekas marah (Pujiyantoro, 2009).
17

8. Obat-obatan
Obat dapat juga mempengaruhi proses tidur. Beberapa jenis obat yang
dapat memperngaruhi proses tidur adalah jenis golongan obat diuretik
menyebabkan seseorang insomnia, anti depresan dapat menekan REM, kafein
dapat meningkatkan saraf simpatis yang menyebabkan kesulitan untuk tidur,
golongan beta bloker dapat berefek pada timbulnya insomnia dan golongan
narkotika dapat menekan REM sehingga mudah mengantuk (Pujiyantoro, 2009).

2.2.6. Gangguan Tidur


Ganguan tidur merupakan salah satu keluhan yang paling sering
ditemukan pada penderita yang berkunjung ke praktek. Gangguan tidur dapat
dialami oleh semua lapisan masyarakat baik kaya, miskin, berpendidikan tinggi
dan rendah maupun orang muda, serta yang paling sering ditemukan pada usia
lanjut. Pada orang normal, gangguan tidur yang berkepanjangan akan
mengakibatkan perubahan-perubahan pada siklus tidur biologiknya, menurun
daya tahan tubuh serta menurunkan prestasi kerja, mudah tersinggung, depresi,
kurang konsentrasi, kelelahan, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi
keselamatan diri sendiri atau orang lain (Japardi, 2002).
Menurut beberapa peneliti gangguan tidur yang berkepanjangan
didapatkan 2,5 kali lebih sering mengalami kecelakaan mobil dibandingkan pada
orang yang tidurnya cukup. Diperkirakan jumlah penderita akibat gangguan tidur
setiap tahun semakin lama semakin meningkat sehingga menimbulkan maslah
kesehatan. Di dalam praktek sehari-hari, kecendrungan untuk mempergunakan
obat hipnotik, tanpa menentukan lebih dahulu penyebab yang mendasari
penyakitnya, sehingga sering menimbulkan masalah yang baru akibat penggunaan
obat yang tidak adekuat. Melihat hal diatas, jelas bahwa gangguan tidur
merupakan masalah kesehatan yang akan dihadapkan pada tahun-tahun yang akan
dating (Japardi, 2002).

2.2.6.1. Klasifikasi
Revisi teks edisi keempat Diagnostic and Statistical Manual of Mental
18

Disorders (DSM-IV-TR) menggolongkan gangguan tidur berdasarkan kriteria


diagnostik klinis dan perkiraan etiologi. Ketiga kategori utama gangguan tidur
dalam DSM-IV-TR adalah gangguan tidur primer, gangguan tidur yang berkaitan
dengan gangguan jiwa lainnya, dan gangguan tidur lainnya (akibat keadaan medis
umum dan dicetuskan oleh zat) (Sadock, 2010).
A. Gangguan Tidur Primer
a. Disomnia
i. Insomnia Primer
Insomnia primer didiagnosis jika keluhan utama adalah tidur yang tidak
bersifat menyegarkan atau kesulitan memulai atau mempertahankan tidur, dan
keluhan ini terus berlangsung sedikitnya satu bulan. Istilah primer menunjukkan
bahwa insomnia bebas dari adanya gangguan fisikatau psikologis. Bangun
psikologis atau fisiologis di malam hari yang tampak makin sering serta
pembelajaran negatif untuk tidur sering tampak. Pasien dengan insomnia primer
secara umum memiliki preokupasi mengenai tidur cukup. Semakin mereka
mencobaa tidur, semakin besar rasa frustasi dan penderitaan serta makin sulit
terjadinya tidur (Sadock, 2010).
i. Hipersomnia Primer
Hipersomnia primer didiagnosis jika tidak ada penyebab lain yang
ditemukan untuk somnolen berlebihan yang terjadi dalam waktu sedikitnya satu
bulan. Rasa mengantuk pada hipersomnia ini bukanlah yang disebabkan oleh
insomnia, gangguan jiwa lain, dan gangguan penggunaan zat (Sadock, 2010).
ii. Narkolepsi
Narkolepsi terdiri atas rasa mengantuk yang berlebihan di siang hari serta
manifestasi abnormal tidur REM yang terjadi setiap hari selama sedikitnya 3
bulan. Saerangan tidur ini khasnya terjadi 2-6 kali sehari dan berlangsung 10-20
menit. Narkolepsi terdiri dari simptom tetrad yaitu (1) serangan tidur yang terjadi
secara tiba-tiba dan singkat (kira-kira 15 menit) yang dapat terjadi pada saat
mengerjakan aktivitas apa saja; (2) katapleksi - hilangnya tonus otot kecil yang
spesifik ataupun kelemahan otot yang menyeluruh yang dapat menyebabkan
penderitanya tersungkur ke tanah, tidak dapat bergerak, sering berhubungan
19

dengan reaksi emosiaonal; (3) paralisiss tidur – kelemahan otot secara umum yang
didapati pada transisi antara tidur dan bangun; dan (4) halusinasi hipnagonik yang
terjadi sebelum serangan tidur (Sadock, 2010).
iii. Gangguan Tidur Terkait Pernafasan
Gangguan tidur yang terkait dengan pernafasan ditandai dengan
penghentian tidur yang menyebabkan rasa mengantuk berlebihan atau insomnia
yang disebabkan gangguan pernafasan terkait tidur. Gangguan pernafasan yang
dapat terjadi selama tidur mencakup apnea, hipopnea, dan desaturasi oksigen.
Gangguan ini selalu menyebabkan hipersomnia. Dua gangguan sistem pernafasan
yang dapat menimbulkan hipersomnia adalah apnea tidur dan hiperventilasi
alveolar sentral (Sadock, 2010).
Apnea tidur mengacu pada penghentian aliran udara pada hidung dan
mulut. Periode apneik adalah periode yang berlangsung selama 10 detik atau
lebih. Apnea tidur dapat memiliki beberapa tipe yang berbeda. Pada apnea tidur
sentral murni, upaya aliran udara dan pernafasan berhenti saat episode apneik dan
mulai kembali saat bangun. Pada apnea tidur sentral murni, aliran udara berhenti
tetapi upaya pernafasan meningkat selama periode apneik. Pola ini menunjukkan
adanya suatu obstruktif pada jalan nafas dan upaya bertambah oleh otot-otot
abdomen dan toraks untuk mendorong udara melewati obstruksi ini. Episode ini
juga berhenti saat bangun. Tipe campuran meliputi unsur apnea tidur sentral dan
obstruksif. Apnea tidur biasanya dianggap patologis bila pasien mengalami
setidaknya 5 episode apnea dalam 1 jam atau 30 episode apnea sepanjang malam
(Sadock, 2010).
Hiperventilasi alveolar pusat mengacu pada beberapa keadaan yang
ditandai dengan gangguan ventilasi berupa kelainan pernafasan yang tampak atau
sangat buruk hanya saat tidur tanpa adanya episode apnea yang signifikan.
Disfungsi ventilasi ditandai dengan tidak adekuatnya volume tidal atau frekuensi
pernfasan selama tidur (Sadock, 2010).
iv. Gangguan Tidur Irama Sirkadian
Gangguan tidur irama sirkadian mencakup suatu kisaran luas pada keadan
yang melibatkan ketidaksejajaran antara periode tidur yang sebenarnya dengan
20

periode tidur yang diinginkan. DSM-IV-TR mendaftarkan empat jenis tidur


tertunda gangguan tidur irama sirkadian : tipe fase tidur tertunda, tipe fase jet lag,
tipe kerja bergiliran, dan tidak tergolongkan (Sadock, 2010).
Pada tipe fase tidur tertunda, pola onset tidur dan waktu bangun tertunda
secara menetap , dengan ketidakmampuan untuk jatuh tertidur dan terbangun pada
waktu lebih awal yang diinginkan (Sadock, 2010).
Tipe jet lag ditandai dengaan rasa mengantuk dan sadar yang terjadi pada
saat yang tidak tepat dibandingkan dengan waktu setempat, terjadi setelah
perjalanan berulang melintasi lebih dari satu zona waktu (Sadock, 2010).
Pada tipe kerja giliran, insomnia terjadi selama periode tidur utama atau
rasa mengantuk berlebihan selama periode bangun yang utama karena pekerjaan
dengan giliran malam atau sering berubahnya jadwal bergiliran (Sadock, 2010).
vi. Disomnia yang Tidak Tergolongkan
Kategori disomnia yang tidak tergolongkan adalah untuk insomnia,
hipersomnia, atau gangguan irama sirkadian yang tidak memenuhi kriteria
disomniaspesifik apapun. Misalnya, keluhan insomnia atau hipersomnia yang
secara klinis bermakna dan disebabkan oleh faktor lingkungan (mis, bising), rasa
mengantuk berlebihan yang disebabkan oleh kurang tidur yang terus menerus,
restless leg syndrome yang ditandai dengan keinginan untuk menggerakkan
tungkai dan lengan akibat perasaan yang tidak nyaman dimana gejala memburuk
pada saat istirahat sore atau malam hari, gerakan ektremitas periodik yang berupa
kedutan ektremitas singkat berulang yang dimulai menjelang onset tidur dan
disertai bangun singkat dan berulang, dan situasi saat klinisi telah menyimpulkan
disomnia ada tetapi tidak dapat menentukan apakah primer, akibat keadaan medis
umum atau dicetuskan zat (Sadock, 2010).
b. Parasomnia
i. Gangguan Mimpi Buruk
Mimpi buruk adalah mimpi yang lama dan menakutkan yang membuat
orang terbangun dangan rasa ketakutan. Seperti mimpi buruk lain, mimpi buruk
selalu terjadi selama tidur REM dan biasanya setelah periode REM yang panjang
di akhir malam. Beberapa orang sering mengalami mimpi buruk sebagai keadaan
21

yang berlangsung seumur hidup; yang lainnya mengalami mimpi buruk terutama
saat stres dan sakit. Saat bangun dari mimpi yang menakutkan, pasien dengan
cepat memiliki orientasi dan kesiagaan (Sadock, 2010).
ii. Gangguan Teror Tidur
Gangguan teror tidur adalah terbangun pada sepertiga awal malam selama
tidur NREM yang dalam (tahap 3 dan 4). Gangguaan ini hampir selalu diawali
dengan jeritan atau tangisan pilu yang disertai manifestasi perilaku ansietas hebat
yang hampir mendekati panik dengan adanya bangkitan otonom seperti takikardia,
pernafasan cepat, dan berkeringat selama episode ini (Sadock, 2010).
Khasnya, pasien bangun diatas tempat tidur dengan ekspresi ketakutan,
berteriak keras, dan kadang-kadang bangun secepatnya dengan perasaan terteror
yang intens. Pasien mungkin tetap terbangun dalam keadaan disorientasi tetapi
lebih sering tertidur dan mereka melupakan episode ini (Sadock, 2010).
iii. Gangguan Berjalan Sambil Tidur
Gangguan ini, yang juga dikenal senagai somnabulisme, terdiri atas
rangkaian perilaku kompleks yang diawali pada sepertiga malam pertama selama
tidur NREM yang dalam (tahap 3 dan 4) dan sering, meskipun tidak selalu,
dilanjutkan - tanpa kesadaran penuh atau ingatan mengenai episode tersebut -
untuk meninggalkan tempat tidur dan berjalan keliling. Selama berjalan dalam
tidur, orang memiliki wajah yang kosong, dan menatap, relatif tidak responsif
terhadap upaya orang lain untuk berbicara kepada mereka, dan sangat sulit
dibangunkan. Saat bangun, orang ini akan mengalami amnesia terhadap episode
terhadap episode tersebut. Dalam beberapa menit setelah bangun dari episode
berjalan dalam tidur, tidak ada aktivitas atau perilaku mental yang terganggu
(meskipun awalnya bisa terdapat periode singkat bingung dan disorientasi).
Berjalan di dalam tidur menyebabkan penderitaan yang secara klinis bermakna
atau hendaya fungsi sosial, pekerjaan pekerjaan atau area fungsi penting lain.
Gangguan ini juga harus tidak disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat
(Sadock, 2010).
iv. Parasomnia yang Tidak Tergolongkan
Kategori parasomnia yang tidak tergolongkan digunakan untuk gangguan
22

yang ditandai dengan perilaku atau peristiwa psikologis abnormal selama tidur
atau transisi dari tidur ke bangun tetapi yang tidak memenuhi kriteria parasomnia
yang lebih spesifik (Sadock, 2010).

B. Gangguan Tidur Akibat Gangguan Jiwa Lain


a. Insomnia akibat Gangguan Jiwa Lain
Insomnia jenis ini terjadi selama sedikitnya 1 bulan dan jelas disebabkan
gejala perilaku dan psikologis gangguan jiwa yang dikenal baik secara klinis.
Gangguan yang dikaitkan dengan insomnia jenis ini adalah gangguan Aksis I dan
II (cth., gangguan depresif berat, gangguan asietas menyeluruh, gangguan
penyesuaian dengan ansietas). Gangguan tidur yang terjadi menyebabkan
penderitaan yang secara klinis bermakna atau hendaya fungsi sosial, pekerjaan,
atau area fungsi penting lain. Perlu diperhatikan juga, bahwa insomnia yang
diakibatkan oleh gangguan jiwa lain tidak boleh diakibatkan oleh gangguan tidur
lain, misalnya narkolepsi dan tidak boleh disebabkan efek fisiologis langsung
suatu zat atau keadaan medis umum (Sadock, 2010).

b. Hipersomnia akibat Gangguan Jiwa Lain


Hipersomnia pada kasus ini terjadi selama sedikitnya 1 bulan dan terkait
dengan gangguan jiwa yang ditemukan di dalam berbagai keadaan, termasuk
gangguan mood. Rasa mengantuk di siang hari yang berlebihan mungkin
dilaporkan pada tahap awal banyak gangguan depresif ringan dan secara khas
pada fase depresi gangguan bipolar I. Gangguan jiwa lain – seperti gangguan
kepribadian, gangguan disosiatif, gangguan somatoform, fugue disosiatif dan
gangguan amnestik – dapat menyebabkan hipersomnia. Terapi gangguan primer
tersebut harus memberikan perbaikan pada hipersomnia. Gangguan jenis ini juga
harus tidak disebabkan oleh gangguan tidur lain (cth., narkolepsi, gangguan tidur
terkait pernafasan, parasomnia) atau kurang tidur dan efek fisiologis langsung
suatu zat dan keadaan medis umum (Sadock, 2010).

c. Gangguan Tidur Lain


23

i. Gangguan Tidur akibat Keadaan Medis Umum


Setiap gangguan tidur dapat disebabkan oleh keadaan medis umum.
Hampir setiap keadaan medis yang disertai rasa nyeri atai tidak nyaman dapat
menimbulkan insomnia. Beberapa keadaan disertai insomnia bahkan ketika rasa
nyeri atau tidak nyaman tidak khas muncul. Keadaan-keadaan ini mencakup
neoplasma, lesi vaskular, keadaan degeneratif, serta traumatik. Keadaan lain,
terutama penyakit endokrin dan metabolik, sering meliputi beberapa gangguan
tidur. Dalam menegakkan diagnosa penyakit golongan ini, perlu adanya bukti dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium bahwa gangguan tidur
merupakan akibat fisiologis langsung suatu keadaan medis umum. Keadaan medis
yang sering dihubungkan dengan gangguan tidur ini antara lain : bangkitan
epileptik terkait tidur, sakit kepala cluster terkait tidur, sindrom menelan
abnormal, asma, gejala kardiovaskular, refluks esophagus, dan hemolisis terkait
tidur (Sadock, 2010).

ii. Gangguan Tidur yang Dicetuskan Zat


Setiap gangguan tidur dapat disebabkan oleh suatu zat. Gangguan tidur
yang terjadi cukup menonjol dan berat sehingga memerlukan perhatian klinis
tersendiri. Dalam menegakkan diagnosa, harus terdapat bukti dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium baik gejala gangguan tidur terjadi
selama, atau dalam sebulan sejak intoksikasi atau putus obat serta penggunaan
obat tersebut secara etiologis terkait dengan gangguan tidur. Diagnosis pada
gangguan tidur yang disebabkan zat ini juga harus ditentukan apakah onset gejala
terjadi saat intoksikasiatau terjadi saat putus obat (Sadock, 2010).

2.2.7. Kualitas tidur


Kualitas adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga seseorang
tersebut tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan gelisah, lesu
dan apatis, kehitaman disekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva merah,
mata perih, perhatian terpecah-pecah, sakit kepala dan sering menguap atau
mengantuk (A. Aziz Alimul Hidayat, 2006 : 130 dalam Pujiyantoro, 2009).
24

Seseorang dikatakan memenuhi kualitas tidur bila seseorang tersebut tidak


menunjukkan tanda-tanda kekurangan tidur dan tidak mengalami masalah dalam
tidurnya. Tanda-tanda kekurangan tidur dapat berupa:
a. Medah lelah, lemas, kurang motivasi, mudah tersinggung
b. Kreativitas dan kemempuan menyelesaikan masalah menurun
c. Imunitas menurun; demam dan mudah terinfeksi
d. Sulit berkonsentrasi dan mengingat, mudah kecelakaan, gangguan
kemampuan bergerak
e. Resiko diabetes melitus, masalah jantung, dan masalah kesehatan lainnya
meningkat (Smith, 2010).

2.3. Hubungan Kualitas Tidur dengan Tekanan Darah


Selama tidur NREM, tekanan darah arteri mengalami penurunan jika
dibandingkan dengan keadaan sadar. Hal ini diakibatkan oleh penurunan frekuensi
jantung, sehingga tanpa dipengaruhi oleh stroke volume (volume sekuncup) curah
jantung akan mengalami penurunan (Silvani, 2008).
Hal lain yang dijumpai pada keadaan tidur NREM yang mempengaruhi
tekanan darah adalah aktivitas simpatis. Penurunan aktivitas simpatis dijumpai
pada stadium gelombang-lambat pada tidur NREM (Silvani, 2008). Sedangkan
pada tidur REM, terjadi peningkatan aktivitas simpatis yang dideteksi pada
pembuluh darah otot skeletal (Legramante, 2005).
Menurut Dr. Susan Redline dari Case Western Reserve (2008) dalam
Amira binti Kamaruzaman (2010), gangguan tidur dianggap sebagai salah satu
faktor risiko hipertensi, baik pada pasien dewasa maupun pada pasien anak dan
remaja. Kualitas dan kuantitas tidur dapat mempengaruhi proses hemostasis dan
bila proses ini terganggu, dapat menjadi salah satu faktor meningkatnya risiko
penyakit kardiovaskular.
Tekanan darah dipengaruhi oleh sistem otonom, yakni simpatis dan
parasimpatis. Pada orang yang kualitas tidurnya buruk, didapatkan peningkatan
aktivitas simpatis dan penurunan aktivitas parasimpatis (Wendy et al, 2007, dalam
Angkat, 2009).

Anda mungkin juga menyukai