Anda di halaman 1dari 5

Interview eksklusif dilakukan dengan Yon Arsal , Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan

Pajak, DJP. Interview membahas mengenai seputar Pajak atas Selebgram dan Aktivitas
Endorsement yang akhir-akhir ini menjadi banyak perbincangan di berbagai media. Bagaimana
sebenarnya skema pungutan pajak atas Selebgram dan Aktivitas Endorsement?

Apa yang dimaksud dengan pajak Selebgram atau aktivitas endorsement?

Kami dari Direktorat Jenderal Pajak pada prinsipnya sebenarnya kembali ke prinsip pemajakan
secara umum saja. Kami tidak membedakan secara spesifik menyebutnya sebagai suatu pajak atas
selebgram, tidak juga. Kembali kepada prinsip pajak PPh di PPh Pasal 4 ya bahwa segala macam
penghasilan, penghasilan itu adalah segala macam tambahan kemampuan ekonomis dengan cara
dan bentuk apapun, dalam nama dan bentuk apapun. Nah ini maksudnya adalah perkembangan
teknologi terakhir menyebabkan banyaknya perubahan media orang memperoleh penghasilan,
tetapi pada prinsipnya tetap penghasilan. Sehingga dengan demikian kami lebih senang
menyebutnya sebagai, sebenarnya begini, bukan suatu hal yang baru, tetapi ini hanya sebagai
model baru saja dari cara memperoleh penghasilan. Hampir sama sepanjang dia tetap memperoleh
penghasilan, maka kami akan tentu berlaku pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, itu
klarifikasi yang pertama. Kemudian yang kedua selebgram ini juga, kami juga sebenarnya sudah
melakukan banyak kajian terkait dengan, tidak terkait dengan, khusus dengan selebgram
sebenarnya. Kami melakukan kajian, ada tim khusus juga di DJP sejak tahun 2013 yang kita bentuk
untuk melakukan kajian dan penelitian mendalam terkait dengan perpajakan secara online. Nah ini
timnya sudah jalan sejak 2013, 2014, 2015, sudah banyak yang kita lakukan. Memang kita akui
bahwa 2016 ini selebgram itu menjadi in, gitu ya. Ada sesuatu yang baru. Kalau sebelumnya kita
hanya kenal transaksi online yang sekarang sudah keliatan menjadi internasional jadinya, gitu.
Seperti online marketplace, kemudian classified ads, kemudian daily coupon dan sebagainya itu
malah menjadi biasa sekarang. Setahun ini ada tiba-tiba muncul selebgram-selebgram. Nah ini
menjadi issue yang memang kita kaji terus, kita petakan terus pemain-pemainnya, untuk
memastikan bahwa apakah mereka sudah membayar pajaknya sesuai dengan ketentuan yang
berlaku atau tidak.

Apakah pajak atas Selebgram dan Aktivitas Endorsement merupakan salah satu bentuk
penggalian objek pajak baru atau penegasan dari peraturan yang sudah ada?

Ya, pajak baru tidak. Pada dasarnya karena ini basisnya kembali kepada penghasilan setiap orang
yang mempunyai tambahan kemampuan ekonomis ya berarti wajib membayar pajak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Sepanjang yang memperoleh penghasilan sudah memenuhi kriteria ada
objeknya dan di atas PTKP tentu dia harus bayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku itu
sebenarnya prinsip yang kita pegang. Kemudian kalau masalah pengawasannya, kalau objek
pajaknya bukan sesuatu yang baru, pengawasannya memang buat kami baru. Karena media orang
bertransaksinya sekarang baru sehingga kita tentu harus come up dengan ide-ide pengawasan yang
baru juga, gitu. Kita tidak bisa mengandalkan strategi yang lama. Karena dia memakai metode
atau media yang berbeda dan kita coba bandingkan sebenarnya selebgram ini sebagai contoh kalau
kita memandangnya apakah baru atau tidak sama dengan online marketplace. Kalau menurut kami
tidak ada perbedaan antara orang yang berdagang di tanah abang, buka toko secara fisik dengan
orang yang berdagang di online marketplace, buka toko tapi di secara online. Bedanya yang satu
punya toko, yang satu tidak punya toko. Tetapi kan prinsip dagangnya sama, dia mentransaksikan
barang sehingga perlakuan pajaknya sama. Sama juga dengan selebgram sebenarnya. Ini kan kalau
menurut pendapat kami sepertinya oleh DJP bahwa ya selebgram itu sebenarnya fungsinya apa
sih? Sebenarnya fungsinya dia kan membantu pemasaran produk, jadi kan sebenarnya kalau kita
dalam konteks bisnis biasa tenaga marketing sebenarnya, kan gitu. Jadi objek pajak ini sudah
dikenal sejak lama, itu dilakukan baik oleh badan, dilakukan baik oleh orang pribadi. Jadi
sebenarnya kalau menurut perspektifnya Direktorat Jenderal Pajak ya memang bukan sesuatu
hal yang baru. Memang pengawasannya baru, ya pengawasannya modelnya harus baru karena
memakai media yang berbeda.

Bagaimana skema pungutan pajak atas Selebgram dan Aktivitas Endorsement?

Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh tim kita, itu kita memahami sekarang mulai
memahami juga karena kembali lagi ini aktivitas bisnis yang baru modelnya. Ternyata dalam
konteks selebgram yang kami pahami bahwa ini melibatkan banyak pihak sebenarnya. Yang
pertama tentu pihak yang mempunyai produk. Nah, dalam pihak yang mempunyai produk ini
ternyata dalam hasil kajian kami dia bisa menghubungi katakanlah artis selebgramnya itu atau
selebgramnya tadi itu bisa secara langsung ke artis yang bersangkutan, bisa juga melewati agen,
agen atau seperti manajemen artis saja seperti biasa. Nah, kalau dalam manajemen artis nanti
manajemen artisnya yang meng-contact si selebgram yang bersangkutan. Nah dalam konteks ini
tentu perlakuan perpajakan sebenarnya standar saja, kalau misalnya dia lewat agen yang
merupakan corporate pada dasarnya dia tentu dipotong PPh pasal 23. Tapi kalau misalnya dia
lewat (langsung) artis langsung, ini juga kita petakan ada yang disebut dengan paid endorsement
ada yang disebut paid promote. Ada yang si artis atau selebgram yang bersangkutan memakai
produk yang bersangkutan, ada yang cuma sekedar memberikan promosi saja karena
sepemahaman kita ya. Nah, jadi dengan demikian perlakuan perpajakannya juga sama juga, nanti
dipotong PPh juga. Kalau si yang pemberi penghasilan dalam hal ini perusahaan itu adalah
merupakan berkewajiban memotong PPh Pasal 21 ya dia harus potong PPh Pasal 21 kalau nggak,
ya berarti si selebgram yang bersangkutan tentu harus melaporkan penghasilan yang diterima di
SPT-nya di akhir tahun,. Dan menarik juga sebenarnya kalau kita lihat dari beberapa yang sudah
kita gali penghasilannya memang luar biasa. Baik itu selebgram, youtubers, yang sudah yang
terima, memperoleh penghasilan seperti yang sudah kita lakukan penggalian. Ada beberapa orang
yang mungkin selebgram juga, youtubers juga, ada yang artis. Nah ini memang sebenarnya pada
kesempatan ini kita justru menghimbau juga, nih. Artinya jangan sampai lupa juga mereka bahwa
walaupun penghasilannya sudah dipotong oleh si pemberi kerja ataupun baik itu si perusahaan
langsung ataupun si manajemen artis, itu kan kalau digabungkan penghasilan di akhir tahun kan
tidak tentu, kemungkinan masih ada kurang bayar pajak. Jadi kita mengingatkan juga kepada para
selebgram bahwa kewajibannya tidak hanya dipotong PPh, tetapi juga nanti harus melaporkan dan
nanti kan harus dihitung kembali seluruh penghasilannya di akhir tahun. Kalau ada kurang bayar
ya dibayarkan, kalau memang ternyata lebih bayar ya bisa dimintakan restitusi.

Langkah-langkah apa yang akan dilakukan Ditjen Pajak dalam mengawasi selebgram dan
aktivitas endorsement?
Ya, dalam konteks ini tentunya yang paling menjadi krusial sebagaimana juga di dalam konteks
perpajakan kita secara umum yang, apa namanya, self assessment system, tentu kita perlu yang
pertama data pembanding nih. Ini menjadi satu hal yang krusial, untuk data selebgram atau
aktivitas endorsement ini sebagian besar data pembandingnya bisa kita peroleh internet
sebenarnya. Setidaknya kita bisa tahu si A ini mempromosikan barang apa, begitu ya. Nah nanti
akan kita coba cek kalau memang sudah ada informasi kita tinggal bandingkan saja nanti dengan
kewajiban. Kalau dia lewat manajemen artis misalnya, kita cek saja di laporannya si manajemen
artis apakah dia sudah melakukan pemotongan atas penghasilan yang diterima oleh selebgram
bersangkutan atau kalau dia memperoleh pekerjaan ini, project ini, langsung dari perusahaan kita
akan coba cek juga di perusahaan yang bersangkutan apakah dia juga sudah dilakukan
pemotongan, apakah si perusahaan yang bersangkutan sudah melakukan pemotongan atau tidak,
gitu. Memang menjadi issue kalau seandainya dia memperoleh penghasilan ini terus berasal dari
atau tidak dilakukan pemotongan oleh si pihak yang memberikan penghasilan,nah ini menjadi
issue. Tetapi sekali lagi yang kita lakukan saat ini adalah kita berada pada tahapan kita melakukan
profiling, memetakan kurang lebih siapa saja yang terlibat atau siapa saja yang ikut dalam aktivitas
endorsement atau selebgram ini dan kalau tidak salah di tim saya sudah ratusan juga yang sudah
berhasil kita petakan selebgram dan youtubers-nya. Sudah kita petakan juga kemungkinan berapa
potensi penghasilan yang mereka peroleh. Nah dengan demikian kita nanti tentu akan mencarikan,
tinggal kita carikan data pembandingnya saja. Dan ini mungkin tidak bisa kita lakukan sekarang
juga karena seingat saya ini aktivitas ini kan baru dilakukan, menjadi in, di 2016. Kita tentu harus
menunggu dulu sampai dengan setidaknya SPT-nya masuk. Nanti baru kita cek nih, data kita
dengan SPT-nya si Wajib Pajak yang bersangkutan cocok apa nggak. Kalau tidak cocok nanti kita
lakukan tahapan yang berlaku secara umum. Ya kalau ini kita himbau atau kita konseling lebih
dulu kemudian ya baru ke tahapan-tahapan selanjutnya, begitu. Jadi kalau prosedurnya sekarang
memang kita lakukan masih dalam tahap kajian, pemetaan pemain atau pelaku-pelaku yang ada di
endorsement dan selebgram, nanti akan kita bandingkan dengan data kita yang ada dengan SPT
yang mereka laporkan, nanti baru tindak lanjutnya nanti di tahun depan. Di awal tahun depanlah,
setelah SPT-nya masuk.

Kendala apa yang mungkin dihadapi Ditjen Pajak dalam menerapkan pajak atas
Selebgram dan Aktivitas Endorsement?

Berbeda halnya dengan aktivitas transaksi yang menggunakan tempat bisnis fisik, itu seperti toko
dan sebagainya memang terus terang pengawasannya ini memang melibatkan dengan model yang
berbeda, begitu ya. Apabila kalau kita berhadapan dengan toko online dan sebagainya itu, fisik
kita secara pengawasan lebih gampang kita lakukan, atau kita berhadapan dengan orang yang
melakukan memberikan jasa marketing secara fisik juga lebih gampang kita lakukan. Memang ini
tidak dapat dipungkiri bahwa ini tentu tingkat kesulitan dalam pengawasannya menjadi agak
sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan pengawasan toko-toko yang bersifat fisik ataupun
aktivitas yang dilakukan melalui media fisik, nah ini challenging buat DJP. Kembali lagi pada
dasarnya tugas DJP kan kalau dalam konteks self-assessment Wajib Pajak yang hitung, lapor,
memperhitungkan, setor gitu ya. Kita adalah menjadi, tugas utama kita adalah mengawasi
kepatuhan Wajib Pajak tadi. Nah untuk itu kita perlu data pembanding. Jadi challenging pertama
yang terberat sebenarnya adalah memperoleh data pembanding. Nah data pembanding yang untuk
menguji apakah laporan Wajib Pajak yang nantinya disampaikan itu sudah benar atau tidak. Jadi,
challenging pertama, kendala pertama itu sebenarnya. Untuk hal ini apa yang kita lakukan? Yang
pertama sebenarnya dalam konteks tidak hanya selebgram, dalam konteks yang pertama kita sudah
bangun tadi yang saya sampaikan, ada task force khusus sejak tahun 2013, aktif 2014, bekerja
membenahi regulasi, kemudian sudah melakukan audit juga secara umum, ada himbauan juga
yang sudah dihasilkan dan sudah ada beberapa yang menghasilkan juga, maksudnya sudah respon.
Nah tim ini juga sudah mengelola melalui mapping Wajib Pajak-Wajib Pajak pelaku online
business kita membuat database juga terpisah untuk Wajib Pajak pelaku e-commerce dan
sebagainya. Jadi itu tahapan yang kita lakukan sampai dengan saat ini. Nah dari perjalanan ini
memang apa yang saya sampaikan tadi, kendala dalam konteks pengawasan ini menjadi sesuatu
yang cukup menantang juga buat kita karena tidak seluruh data pembanding itu ternyata tersedia.
Nah ini masih PR-nya, kita PR-nya masih banyak nih. Satu kita memperoleh data pembanding,
kemudian kita melakukan follow-up begitu ya, nah di-follow-up nya nanti ada tantangan tersendiri
juga, gitu. Tetapi kami sebenarnya optimis untuk proses ini. Kenapa? Karena hal ini juga sudah
menjadi perhatian pemerintah secara umum. Dan seingat saya kalau tidak salah ini pemerintah
dipimpin oleh Kementerian Perekonomian sebenarnya sudah membuat roadmap untuk
penanganan transaksi e-commerce ini atau online ke depan. Nah ini mudah-mudahan kalau ini jadi
kita bisa menangani ini secara komprehensif, gitu maksud saya. Jadi tidak, kalau kantor pajak kan
itu sudah di ujung prosesnya. Nah ini ada proses di depan, ada perizinannya, ada license business-
nya dan sebagainya itu yang diatur di sisi hulu. Kami ini kan berada di sisi hilir, ketika semua
proses sudah menghasilkan kemudian orangnya memperoleh penghasilan sudah di atas PTKP
barulah pajak masuk, gitu. Sepanjang dia memperoleh penghasilan belum diatas PTKP ya pajak
belum boleh masuk,gitu. Jadi mudah-mudahan kalau saya sih berharap sebenarnya pembenahan
ini komprehensif. Artinya kita mulai secara melibatkan antar instansi pemerintah, tidak hanya
Kementerian Keuangan tetapi juga kementerian yang terkait, misalnya Kemenkominfo. Saya tidak
tahu nanti apakah izinnya juga akan dikeluarkan dikeluarkan Kementerian Perindustrian atau
Kementerian Perdagangan nanti untuk orang-orang yang beraktivitas di sini. Nanti kita coba
koordinasikanlah dengan kementerian terkait.

Berapa perkiraan potensi pajak yang dapat digali Pemerintah atas Selebgram dan Aktivitas
Endorsement?

Terimakasih, ini pertanyaan yang sulit nih. Saya selalu sulit kalau ditanya soal potensi. Kita
memang pada tahapan ini kita lakukan mapping, cuma saya sampai saat ini belum bisa
memberikan angka yang fix, berapa jumlah berapa triliun. Banyak angka beredar di media, 15,
16 triliun gitu misalnya ya. Tetapi itu pada dasarnya itu bukan angka resmi yang dikeluarkan
oleh Direktorat Jenderal Pajak, gitu. Kenapa mungkin barangkali orang melihat kalau tidak salah
tahun lalu dari asosiasi internet ya, saya lupa, e-commerce ya, kurang lebih 300 triliunan
transaksi yang beredar di dunia maya, begitu. Saya tidak ada detailnya apakah ini melibatkan
transaksi over the top-nya yang keluar negeri juga seperti Google, YouTube, atau kemudian
Twitter dan sebagainya atau ini memang transaksi yang ada di Indonesia saja. Makanya saya
masih agak komparasi karena kami dalam konteks menghitung berapa potensi kami melihat peta-
nya dulu, nih. Peta makronya berapa ini, data makro ini seperti kita menghitung PDB saja, ya
kira-kira populasi umumnya berapa nanti kita coba bandingkan dengan yang sudah kita punya
data pembanding. Baru kita lihat berapa tax gap nya, gitu. Nah sampai saat ini sebenarnya angka
makronya ini kami belum bisa berikan gambaran, belum dapat angka yang betul-betul valid-lah
begitu kira-kira, tersegmentasinya jelas. Kita masih cuma sebatas estimasi dari para pelaku, jadi
kalau saya ditanya kira-kira berapa tax gap-nya dan berapa potensinya mungkin belum bisa
dijawab sekarang. Mudah-mudahan kalau tim kami ini kan masih jalan terus nih, kalau saya
harus akui bahwa belum seluruhnya bisa kita mapping, gitu. Kalau semuanya sudah ter-cover
cukup banyak, baru kita bisa ini penjelasan bahwa ini populasi ini sudah memberikan gambaran
populasi. Sejauh ini saya belum confident enough lah, kalau ditanya soal potensi. Jadi mungkin
setahun atau dua tahun lagi kita sudah bisa come-up dengan angka yang lebih real mengenai
potensi yang bisa kita gali dari kegiatan e-commerce termasuk selebgram tadi.

http://www.ortax.org/ortax/?mod=video&page=show&id=28

Anda mungkin juga menyukai