NAMA KELOMPOK 1:
MUHAMMAD RIKI RINALDI (15.0501.0010)
YULIYANI (15.0501.0035)
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
FAKULTAS TEKNIK PRODI TEKNIK INDUSTRI
TAHUN 2016
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat limpahan rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan Presentasi Al-Islam 3 tentang Shalat sebagaimana
mestinya dan terlaksananya menyelesaikan pembuatan Makalah Al-Islam 3mengenai “(a)
Hakekat shalat; (b) Mengapa Allah mewajibkan shalat; (c) Tujuan dan fungsi shalat; (d) Akhlak
dalam shalat; (e) Hikmah shalat; (f) Makna spiritual shalat; (g) Ancaman bagi orang yang
meninggalkan shalat (h) ruhsoh sholat (i) permasalahan kontemporer”.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan mengingat
kurangnya pengetahuan serta pengalaman penulis, oleh karena itu diharapkan adanya kritik dan
saran yang bersifat membangun. Mungkin hanya sekian pengantar ini kami buat, besar
harapan bahwa makalah ini dapat diterima. Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.
Magelang, 07 Oktober 2016
PENULIS
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sudah kita ketahui bersama bahwa ibadah merupakan suatu kewajiban bagi umat manusia
terhadap Tuhannya dan dengan ibadah manusia kan mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan
di dunia dan di akhirat nanti. Bentuk dan jenis ibadah sangat bermacam-macam, seperti shalat,
puasa, naik haji, membaca Al-Qur’an, jihad dan lainnya. Shalat merupakan salah satu
kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah baligh berakal dan harus dikerjakan bagi seorang
mukmin dalam keadaan bagaimanapun. Shalat merupakan rukun islam yang kedua setelah
syahadat. Islam didirikan atas lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat. Sehingga barang
siapa yang mendirikan shalat, maka dia telah mendirikan agama, dan barang siapa yang
meninggalkan shalat, maka ia meruntuhkan agama (islam).
Shalat adalah amal yang pertama kali dihitung diakhirat maka dari itu jika shalatnya baik, maka
akan beruntung dan jika shalatnya rusak maka akan gagal dan merugi. Sehingga kita sebagai
umat muslimin yang baik mempunyai kewajiban untuk menjaga shalat 5 waktu dalam sehari
semalam. Karena pada hakekatnya shalat adalah mencegah kekejian dan kemungkaran bagi
umat muslim. Konsekwensi dari shalat itu harus sedapat mungkin berusaha mencegah
perbuatan yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah, artinya:bagi setiap yang sudah
melakukan shalat dan sesuai dengan esensi yang dikandung dalam shalat, maka dirinya akan
terus bergerak melawan kemungkaran.
Dalam kehidupan yang era ini masih banyak umat muslimin yang masih mengesampingkan
waktu shalat demi memuaskan kesenangan duniawi. Mereka sibuk akan kehidupan yang fana,
tanpa memikirkan kehidupan diakhirat yang abadi. Kesadaran mereka akan kewajibannya
sebagai umat muslim kepada Tuhannya masih rendah dan menyelewengkan kebeneran dalam
beribadah khususnya shalat sehingga menyebabkan munculnya syirik, bid’ah dan permasalahn
konterporer yang sedang mengerogoti pemuda muslim.
Oleh sebab itu, kami menyusun makalah ini mengenai shalat untuk memberikan kebenaran
melaui bentuk tulisan mengenai masalah ibadah (shalat). Walaupun masih banyak perlu
referensi untuk menguatkan bukti yang sudah ada.
Dan masih membutuhkan kritik dan saran pembaca untuk menyempurkan makalah tentang
Shala ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakekat Shalat
Ibnul Qoyyim rahimahullah menguraikan hakikat shalat, “Tidak dapat diragukan bahwa shalat
merupakan perkara yang sangat menggembirakan hati bagi orang-orang yang mencintainya
dan merupakan kenikmatan ruh bagi orang-orang yang mengesakan Allah, puncak keadaaan
orang-orang yang jujur dan parameter keadaan orang-orang yang meniti jalan menuju kepada
Allah. Shalat merupakan rahmat Allah yang dianugerahkan kepada hamba-Nya, Allah
memberi petunjuk kepada mereka untuk bisa melaksanakannya dan memperkenalkannya
sebagai rahmat bagi mereka dan kehormatan bagi mereka, supaya dengan shalat tersebut
mereka memperoleh kemulian dari-Nya dan keberuntungan karena dekat dengan-Nya. Allah
tidak membutuhkan mereka (dalam pelaksanaan shalat), namun justru (hakikatnya shalat
tersebut) merupakan anugerah dan karunia Allah untuk mereka. Dengan shalat, hati seorang
hamba dan seluruh anggota tubuh beribadah. (Dalam shalat),Allah menjadikan bagian
(anugerah) untuk hati lebih sempurna dan lebih besar, yaitu berupa (hati bisa) menghadap
kepada Rabb nya Subhanahu, bergembira dan merasakan kelezatan berdekatan dengan-Nya,
merasakan nikmat dengan mencintai-Nya, riang gembira menghadap kepada-Nya, tidak
berpaling kepada selain-Nya saat beribadah (shalat) serta menyempurnakan hak-hak
peribadatan kepada-Nya, sehingga ibadahnya sesuai dengan apa yang Dia ridhoi” (Dzauqush
Shalah, Ibnul Qoyyim. Hal. 8).
Kelalaian hati diantara shalat yang satu dengan shalat yang lain
Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan tentang hal ini, “(Dalam shalat lima waktu), diantara
dua shalat, pada diri seorang hamba (bisa saja) terjadi kelalaian, kegersangan, kekerasan dan
keberpalingan hati, ketergelinciran serta kesalahan-kesalahan, hingga (hal ini) menjauhkan
hatinya dari Rabb nya, menyingkirkan dari kedekatan dengan-Nya, (lalu) jadilah sebuah hati
yang terasing dari peribadatan kepada-Nya” (Asraarush Shalaah, Ibnul Qoyyim. Hal.10).
Memperbarui panggilan shalat
Ibnul Qoyyim rahimahullah pun juga menjelaskan hikmah diulang-ulangnya panggilan shalat
sehari semalam lima kali, beliau bertutur, “Tatkala kekeringan (kelalaian hati) senantiasa
mengancam dari waktu ke waktu dan kegersangan jiwa datang silih berganti, maka panggilan
untuk menghadiri hidangan hati (shalat) selalu diperbarui dari waktu ke waktu, sebagai rahmat
dari Allah bagi hati itu. Sehingga ia senantiasa memohon siraman (hujan yang bermanfa’at)
kepada Dzat yang di tangan-Nya ada hujan yang mengguyur hati tersebut, ia memohon hujan
rahmat-Nya agar tidak kering, yang diharapkan bisa menumbuhkan rerumputan dan bebuahan
keimanan dan agar tidak terputus dari materi pertumbuhan (keimanan)” (Dzauqush Shalah,
Ibnul Qoyyim. Hal.9).
Shalat adalah hidangan hati
Selanjutnya Ibnul Qoyyim rahimahullah menggambarkan ibadah shalat dengan gambaran
yang sangat indah, agar kita benar-benar merasa bahwa shalat adalah sebuah kebutuhan yang
mendasar dalam hidup kita. Beliau mendeskripsikan hal ini dengan mengatakan, “Ketika
Allah Subhanahu menguji seorang hamba dengan ujian syahwat dan sebab-sebab yang
mengantarkan kepadanya -baik dari dalam maupun dari luar dirinya- maka tuntutan
kesempurnaan hikmah-Nya dan Ihsan-Nya kepada hamba tersebut, Allah persiapkan baginya
sebuah hidangan (bagi hatinya) yang mengumpulkan beraneka ragam warna, persembahan,
selera dan anugerah. Allah mengundang hamba tersebut untuk menghadiri jamuan hidangan
(shalat) itu dalam sehari lima kali, dan menjadikan setiap macam dari hidangan tersebut (baca:
dalam setiap shalat) sebuah kelezatan, manfaat dan kemaslahatan (tersendiri) bagi hamba yang
diundang untuk menyantap hidangan tersebut, yang tidak didapatkan dalam macam
hidangan yang lain (dalam shalat yang lainnya) agar menjadi sempurna kelezatan yang
dirasakan oleh hamba itu dalam setiap macam peribadatan. Allah juga hendak memuliakannya
dengan segala jenis kemuliaan, sehingga setiap perbuatan ubudiyyah (peribadatan) itu
menghapus hal yang tercela dan hal yang Dia benci, dan agar Allah mengganjarnya dengan
cahaya yang khusus, kekuatan dalam hati dan anggota tubuhnya serta pahala yang khusus pada
hari perjumpaan dengan-Nya” (Dzauqush Shalah, Ibnul Qoyyim. Hal.8).
Shalat adalah hujan yang bermanfa’at bagi hati
Pada penjelasan di atas, Ibnul Qoyyim rahimahullah telah menjelaskan tentang kelalaian hati
yang terjadi diantara shalat yang satu dengan shalat yang lain. Pada ucapan yang lainnya, beliau
pun menjelaskan bahwa kelalaian hati tersebut hakikatnya adalah sebuah kegersangan dan
kekeringan, beliau berkata, “Kelalaian yang menimpa hati merupakan kekeringan dan
kegersangan, (namun) selagi hati tersebut mengingat Allah dan menghadap kepada-Nya
(dengan melaksanakan shalat), maka itu merupakan hujan rahmat-Nya yang dicurahkan
kepadanya, seperti hujan yang mengguyur (Namun) jika hati itu lalai, maka ia akan mengalami
kegersangan sesuai dengan sedikit-banyaknya kelalaian yang menimpanya, lalu jika kelalaian
itu sudah menguasainya, maka tanahnya menjadi mati dan tahunnya menjadi menjadi tak
bertanaman lagi kering kerontang, serta api syahwat siap membakar dari segala sisi, seperti
angin kering yang siap membakar apapun” (Dzauqush Shalah, Ibnul Qoyyim. hal. 9).
e. Latihan kebersamaan
Dalam mengerjakan shalat sangat disarankan untuk melakukannya secara berjamaah (bersama
orang lain). Dari sisi pahala, berdasarkan hadits nabi SAW jauh lebih besar bila dibandingkan
dengan shalat sendiri-sendiri. Dari sisi psikologis, shalat berjamaah bisa memberikan aspek
terapi yang sangat hebat manfaatnya, baik bersifat preventif maupun kuratif. Dengan shalat
berjamaah, seseorang dapat menghindarkan diri dari gangguan kejiwaan seperti gejala
keterasingan diri. Dengan shalat berjamaah, seseorang merasa adanya kebersamaan dalam hal
nasib, kedudukan, rasa derita dan senang. Tidak ada lagi perbedaan antar individu berdasarkan
pangkat, kedudukan, jabatan, dan lain-lain di dalam pelaksanaan shalat berjamaah.
E. Hikmah Shalat
Hikmah ibadah shalat sangat besar bagi kehidupan umat Islam baik dari segi kehidupan
pribadi maupun masyarakat. Pelaksanaan shalat itu sendiri telah menunjukkan adanya rasa
kepatuhan diri seseorang terhadap Khaliknya serta menunjukkan adanya rasa syukur terhadap
segala apa yang dianugerahkan Allah sehingga seorang hamba berhadapan dengan Tuhannya
untuk menyampaikan segala puji-pujian yang Maha Agung.
Abul A’la Maududi menjelaskan bahwa hikmah ibadah shalat tersebut di antaranya:
a. Kesadaran kedudukan sebagai budak.
b. Rasa berkewajiban.
c. Latihan kepatuhan.
d. Menimbulkan rasa kepatuhan kepada Allah.
e. Kesadaran akan hukum Allah.
f. Praktek kebersamaan.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa melalui ibadah shalat tersebut akan menumbuhkan
sifat rendah hati karena menyadari bahwa manusia dicimtakan untuk menghambakan diri
kepada Allah dengan kewajiban menghambakan diri dan mematuhi kepada hukum-hukum
yang datang dari Allah SWT dan jika ibadah shalat itu dilaksanakan secara berjama’ah maka
akan membawa dampak positif bagi pembinaan persatuan dan kesatuan antara umat Islam itu
sendiri serta menumbuhkan rasa kebersamaan di berbagai bidang.
Zakiah daradjat menyatakan bahwa “Shalat lima waktu merupakan latihan bagi pembinaan
disiplin pribadi”.
Dan jika shalat itu dikerjakan secara berjama’ah juga mengandung hikmah: “Komunikasi
langsung antara anggota masyarakat sehingga selalu menguasai situasi up to date yang sangat
diperlukan dalam kehidupan harmonis bermasyarakat, di samping menumbuhkan
persaudaraan, persamaan, solideritas, kekeluargaaan dan sebagainya”.
Dengan demikian dapat dipetik berbagai hikmah yang teramat penting memalui kewajiban beribadah
shalat tersebut yaitu unsur yang pertama adalah pembinaan pribadi individu dimana melalui ibadah
shalat tersebut akan menumbuhkan diri yang berjiwa disiplin selalu mematuhi hukum dan aturan
serta berjiwa optimis terhadap anugerah dan rahmat dari Allah SWT.
F. Makna Spiritual Shalat
1. Menyelami Hakekat Sujud
Sayidina Ali pernah ditanya tentang makna sujud pertama. Ia menjawab, itu
artinya: Allahumma innaka minha khalaqtana (Ya Allah sesungguhnya Engkau menciptakan
kami dari tanah). Makna bangkit dari sujud ialah: Wa minha akhrajtana (Dan daripadanya
engkau mengeluarkan kami). Makna sujud kedua ialah: Wa ilaina tu'iduna (Dan kepadanya
Engkau akan mengembalikan kami). Bangkit dari sujud kedua maknanya: Wa minha takhrujna
taratan ukra (Dan daripadanya Engkau akan membangkitkan lagi).
Sayidina Ali mengingatkan kita filosofi dua sujud. Sujud pertama mengingatkan kita bahwa
manusia berasal-usul dari tanah. Dari tanah ia diciptakan dan tumbuh menjadi makhluk hidup
yang diberi kepercayaan sebagai khalifah di bumi dengan segala aktivitasnya. Meski demikian,
setiap manusia mempunyai ajal dan pada akhirnya juga ia kembali ke tanah, masuk ke liang
lahat, dan kembali menjadi tanah. Bangkit dari sujud mempunyai makna eskatologis.
2. Rahasia Di Balik Shalat
Seorang yang shalat berarti melakukan hubungan langsung (direct connecting) dengan Allah
SWT. Dengan demikian, tercipta rasa aman, tenang, damai, indah, sejuk, dan lapang di dada,
seperti yang dilukiskan Allah dalam ayat, "(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka
menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati
menjadi tenteram." (QS ar-Rad [13]:29). Karena itulah, Allah SWT menyerukan, "Dirikanlah
shalat untuk mengingat Aku." (QS.Taha:14).
Mengingat Allah SWT untuk menenangkan jiwa harus dilakukan secara konstan dan dengan
waktu yang teratur, sebagaimana ditegaskan dalam ayat lain, "Sesungguhnya shalat itu adalah
kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS an-Nisa [4]:103).
Melaksanakan shalat secara rutin sebagaimana waktu-waktu yang ditentukan Allah SWT
diharapkan dapat melahirkan hamba-hamba yang istimewa, yakni hamba yang selalu berada di
"dunia atas" (al-'alam al-'ulya), bukankah shalat itu adalah mikraj bagi orang yang beriman (al-
shalatu mi'raj al-mu'minin), sebagaimana sabda Rasulullah SAW.
Untuk meraih shalat yang memungkinkan seseorang mikraj ke "dunia atas", seseorang betul-
betul harus mengindahkan petunjuk dan directions Tuhan untuk sesuatu yang berhubungan
dengan shalat. Antara lain melakukan penyempurnaan thaharah, seperti mandi junub bagi
orang yang janabah, berwudhu atau bertayamum dengan baik, menggunakan penutup aurat
yang bersih dan muru'ah, melaksanakan atau menjawab suara azan, menghadap ke kiblat, dan
melakukan amaliah shalat secara tumaninah.
Shalat yang khusyuk menurut kalangan sufi dimulai saat seseorang mengambil air wudhu. Di
antara mereka ada yang mengatakan, orang yang tidak khusyuk saat mengambil air wudhu sulit
untuk khusyuk di dalam shalat. Mereka menyarankan agar jangan ada kata-kata duniawi seusai
mengambil air wudhu sampai selesai shalat. Jika seseorang telah melakukan dosa, meskipun
secara fikih wudhu belum batal, disarankan agar memperbaharui wudhunya. Energi spiritual
pada wudhu diperlukan untuk melahirkan shalat khusyuk. Allahu a'lam.
3. Rahasia Bangkit dari Sujud
Secara spiritual, sujud juga bisa dimaknai pencurahan dan penyerahan secara total (tafwidh)
kepada Allah SWT. Seolah-olah, rongga diri yang berisi noda, dosa, dan kelemahan diri
sebagai manusia ditumpahkan di atas sajadah sampai tetes terakhir, lalu bangkit di antara dua
sujud, lalu sang hamba merasa diisi dengan air suci yang akan membilas keseluruhan rongga
dirinya, lalu ditumpahkan sekali lagi, sampai betul-betul bejana dalam bentuk rongga ini bersih
sebersih-bersihnya, lalu bangkit dari sujud untuk siap diisi kembali dengan cahaya kesucian.
Saat merasa suci dan putih inilah seorang mushalli ber-tasyahhud, yang secara harfiah berarti
"kehadiran" dan "penyaksian" yang dalam bahasa tasawuf disebut kesadaran tajalli (divine
conciousnes), di mana sang hamba dan Sang Tuhan merasa terjadi kesatuan (al-ittihad). Ittihad
itu sendiri adalah suatu tingkatan (maqam) di mana seorang salih telah merasakan dirinya
bersatu dengan Tuhan. Yang dicintai dan yang mencintai menjadi satu atau yang menyembah
dan yang disembah sudah menyatu (al-'abid wa al-ma'bud wahid).
Bangkit dari sujud juga dianggap simbol dari kebangkitan kedua atau kebangkitan terakhir bagi
manusia, sebagaimana diisyaratkan dalam Alquran: Minha khalaqnakum wa fiha nu'idukum
wa minha nukhrijukum taratan ukhra (Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan
kepadanya Kami akan mengembalikan kamu, serta darinya Kami akan mengeluarkan kamu
pada kali yang lain) (QS Thaha [20]:55).
4. Rahasia Salam
Ketika seorang mushalli sudah menunaikan dua sujud terakhir, maka ia seperti merasa dalam
puncak pendakian (al-qaus al-al-su'ud). Ia merasakan suasana batin: Inna lillah wa inna ilaihi
raji'un (Kita berasal dari Allah dan kembali lagi kepada-Nya/QS al-Baqarah [2]:156). Ia merasa
telah melakukan perjalanan meninggalkan wujud lahir menuju wujud batin (al-sair min al-
adhahir ila al-bathin), dari wujud keteruraian ke wujud kebersatuan (min al-tafshil ila al-ijmal),
dan dari wujud partikular ke wujud universal.
Setelah mencapai puncak "kefanaan" atau "mabuk spiritual" di dalam sujud pertama lalu
bangkit ke dalam kesadaran normal (al-sahwu ba'da al-mahwu), kemudian disusul sujud kedua,
kembali dari kesadaran kepada "mabuk spiritual" (al-mahwu ba'da al-sahwu) lalu bangkit lagi
dari sujud kedua ke "kesadaran abadi" (al-baqa' ba'da al-sahwu). Ketika dalam al-baqa' sesudah
sujud terakhir, seorang mushalli mencapai puncak penyaksian (tasyahhud).
Ketika dalam tasyahhud maka yang bersangkutan merasakan sebuah perasaan misteri, seolah-
olah ia merasa sangat plong. Ia merasa seperti terbebas dari beban yang selama ini menggunung
di pundaknya. Kepasrahan total yang dirasakannya membuat beban berat yang menggunung
itu beterbangan bagaikan kapas yang halus, seperti yang dilukiskan di dalam ayat: Wa takun
al-jibal ka al-'ihn al-manfus (dan gunung-gunung seperti bulu yang beterbangan/QS al-Qari'ah
[101]:5). Ia merasakan kedamaian sejati karena sudah berada di dalam puncak pencapaian. Ia
berada dalam suasana batin: Al-taraqqi ila 'ain al-jam' wa al-Hadhrah al-Ahadiyyah (pendakian
menuju penyatuan dengan wujud Ahadiyyah).
H. Rukhsoh shalat
1. Pengertian Rukhsah
Kata rukhsah ( )رخصةsecara bahasa bermakna “keringanan”, kata ini berasal dari kata kerja
bentuk lampau (fi’il madhi) yaitu rakhasa ( )ر ّخصyang bermakna “telah menurunkan” atau
“telah mengurangkan”. Seseorang yang mendapat keringanan disebut
sebagai ”raakhis” ()راخص, kata ini jika digabungkan dengan kata lain memiliki makna yang
sama, misalnya ungkapan “Rukhusha as-Si’ru” maka berarti harga yang murah. Jika huruf
“kha” dibaca fathah (menjadi Rukhashah) maka ia adalah bentuk ungkapan tentang seseorang
yang mengambil, atau menjalankan rukhshah, seperti yang disebutkan oleh Amidi.
Dalam Kamus Lisaan Al-Arab Ibnu Mandzur menyatakan :
ُوالر ُخصة
ُّ ُالر ْخصة
ُّ ص له في األَمر أَذِنَ له فيه بعد النهي عنه واالسم َ والر ْفصة بمعنى واحد
َ ور َّخ ُّ والر ْخصة وهي الفُ ْرصة ُّ
ّللا للعبد في أ َشيا َء َخفَّ َفها عنه
ّ يصُ والر ْخصةُ ت َْر ِخ
ُّ
Rukhsah bermakna juga furshah dan rufshah ketiganya memiliki satu makna. Kata “rakhasa
lahu fi amri” bermakna memberikan keringanan setelah sebelumnya
dilarang.[1][1] Kata rukhsah bermakna Allah telah memberikan keringanan bagi hamba pada
suatu perkara.
Secara istilah, kata rukhsah memiliki beberapa pengertian, secara
umumrukhsah diartikan dengan :
. الحكم الثابت على خالف الدليل لعذر
Hukum yang berlaku berdasarkan suatu dalil menyalahi dalil yang ada karena adanya uzur.
Para Ahli Ushul Fikih mendefinisikan rukhshah dengan beberapa definisi:
1. As-Sarkhasi mendefinisikannya dengan sesuatu yang dibolehkan karena udzur (alasan), tetapi
dalil diharamkannya adalah tetap.
2. Syathibi berpendapat bahwa rukhshah adalah sesuatu yang disyariatkan karena udzur yang
sulit, sebagai pengecualian dari hukum asli yang umum, yang dilarang dengan hanya
mencukupkan pada saat-saat dibutuhkan.
3. Imam Al-Ghazali mendefinisikan rukhsah sebagai “sesuatu yang dibolehkan kepada seseorang
mukallaf untuk melakukannya karena uzur”.
4. Al-Baidhawi mendefinisikan rukhsah sebagai “Hukum yang berlaku yang tidak sesuai dengan
dalil yang ada dikarenakan adanya halangan (udzur)”.[2][2]
5. Ali Abu Al-Basal berpendapat bahwa rukhsah adalah lawan dari azimah, hal ini
dikarenakan azimah adalah perintah untuk mengamalkan sesuatu sesuai dengan dalil yang ada,
semantara rukhsah adalah mengamalkan sesuatu yang tidak sesuai dengan dalil yang ada
dikarenakan adanya udzur yang menjadi halangan pelaksanannya tersebut. Ia menambahkan
bahwa azimah adalah hak Allah atas hambaNya, sedangkanrukhsah adalah hadiah Allah
kepada para hambaNya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa hukum rukhsah adalah:
1. Hukum yang disyariatkan pada tahap kedua, sebagai pengucualian dari hukum asli yang umum
yaitu ‘azimah.
2. Bahwa dalil hukum asli yaitu ‘azimah masih tetap berlaku dan masih harus dilaksanakan bagi
orang yang tidak memiliki udzur.
3. Faktor udzur-lah yang membolehkan dilaksanakannya rukhshah.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa adanya rukhsah adalah sebagai bentuk kemurahan
dari Allah ta’ala kepada para hambaNya, terutama ketika kondisi tidak memungkinkan untuk
melaksanakan ‘azimah tersebut.
2. Perbedaan antara Rukhshah dan Udzur
Pada dasarnya tidak ada perbedaan mendasar antara udzur dengan rukhshah, di antara
ulama yang membedakannya adalah Al-Syathibi, Al-Ghazali dan Al-Isnawi. Udzur secara
makna memiliki pengertian yang lebih umum dari rukhshah, karena ia mencakup
seluruh ‘awaridh (hal-hal yang tidak tetap yang muncul dari sesuatu), yang terjadi pada hak
seorang mukallaf (manusia) karena suatu keadaan dan kondisi. Di antara udzur itu ada yang
masuk dalam cakupan al-Hajiyyat al-Kulliyyat (maslahat sekunder yang umum) seperti al-
Qiradh, di mana ia disyariatkan karena adanya udzur pada hukum asal, yaitu ketidakmampuan
pemilik harta dalam berusaha mencari rezeki dan qiradh dibolehkan karena tidak ada
masyaqqah, atau ketidakmampuan, begitu juga dengan transaksi al-Musaqat. Oleh karena itu,
akad Qiradh dan akad salam tidak disebut sebagai rukhshah. Di antara udzur juga ada yang
dikembalikan kepada aslu takmili(hukum asal yang bersifat penyempurna), ini juga tidak
dinamakan rukhshah, seperti shalat makmum yang mampu berdiri dibelakang imam yang tidak
mampu berdiri.
Sedangkan rukhshah tidak terjadi kecuali adanya udzur yang syaqq (sulit), seperti
shalat dalam bepergiaan. Bepergian adalah udzur karena ada masyaqqah (kesulitan), sehingga
disyariatkan rukhshah untuk mengqashar (memendekkan) shalat. Berdasarkan penjelasan di
atas maka dapat kami tetapkan bahwa setiap rukhshah adalah udzur, tetapi tidak setiap udzur
itu adalah rukhshah.
3. Sebab-Sebab Rukhsah
Rukhsah atau keringanan tidaklah terjadi begitu saja, ia memiliki sebab-sebab terwujudnya
rukhsah tersebut, diantaranya adalah:
a. Bermusafir. Seseorang yang dalam keadaan safar (perjalanan) diberikan keringanan untuk
mengqasar dan menjamak shalat, mengusap khuf dan tidak berpuasa selama masa safarnya.
b. Sakit. Ketika seseorang dalam keadaan sakit, maka dibolehkan baginya menjamak shalat,
bertayamum dan shalat berjama’ah di masjid.
c. Lupa. Seseorang yang dalam keadaan lupa padahal ia sedang berpuasa maka ia tidak batal jika
makan atau minum karena terlupa. Begitu juga orang yang terlupa belum menunaikan shalat
tidak dihukum berdosa, walapun ia harus segera melaksanakannya ketika ia ingat belum
melakukan shalat tersebut.
d. Kebodohan. Seseorang yang karena kejahilannya melakukan suatu perbuatan maka
mendapatkan keringanan untuk perbuatannya tersebut. Misalnyaseseorang yang tidak paham
bahwa buang angin itu membatalkan shalat dan wudhunya, namun ia tetap melanjutkan
shalatnya tersebut. Maka shalat dan wudhunya tersebut dimaafkan karena kebodohannya.
e. Kesukaran. Setiap hal yang menyulitkan dalam Islam maka hal tersebut dimaafkan, misalnya
seseorang yang terkena penyakit selalu mengeluarkan air seni, padahal wajib baginya untuk
shalat dalam keadan suci, maka wajib baginya untuk tetap melaksanakan shalat walaupun
keadaannya demikian. Hal ini berlaku juga bagi wanita yang mengalami darah istihadhah.
f. Paksaan. Seseorang yang melakukan sesuatu bukan karena kehendaknya sendiri maka ia
tidaklah dapat dihukumi dengan perbuatannya tersebut, misalnya dia dipaksa untuk
mengucapkan kalimat kufur, dipaksa untuk meminum khamr dan bentuk paksaan lainnya maka
tidaklah ia dihukumi dengan perbuatan tersebut selama hatinya tidak condong dan suka dengan
perbuatan tersebut.
g. Kekurangan. Maksud kekurangan di sini adalah kekurangan akal yang ada pada anak kecil,
orang gila atau seseorang yang mabuk dan lupa ingatan. Maka mereka dibebaskan dari
tanggung jawab atas segala perbuatannya tersebut. Selain itu ia juga terbebas dari segala
kewajiban seperti shalat, jihad, zakat, haji dan lain sebagainya.
4. Jenis-jenis Rukhsah
Keringanan, disebut juga sebagai takhfif selain rukhsah, ia adalah bentuk kemudahan
yang diberikan oleh Islam bagi setiap hambaNya yang berada pada keadaan tertentu, Ibnu
Nujaim menyebutkan bahwa rukhsah terdiri dari beberapa jenis:
a. Menggugurkan (Takhfif isqath), seperti pengguguran kewajiban shalat jum’at kepada orang
yang sakit kronik.
b. Mengurangkan (Takhfif tanqish), seperti qasar shalat empat rakaat menjadi dua ketika dalam
keadaan safar, dibolehkan shalat sesuai dengan kemampuan bagi seseorang yang dalam
keadaan sakit dann yang lainnya.
c. Menggantikan (Takhfif ibdal). Misalnya mengganti wdudhu dengan air dengan tayamum
menggunakan debu dikarenakan tidak adanya air yang digunakan untuk berwudhu.
d. Mendahulukan (Takhfif taqdim), seperti rukhsah jamak taqdim.
e. Mengakhirkan (Takhfif takhir). Ini termasuklah rukhsah jamak takhir, melewatkan solat
‘isyak dan lain-lain.
f. Meringankan (Takhfif tarkhish), seperti dibolehkan minum arak jika tercekik sesuatu apabila
tiada minuman lain di sekelilingnya.
g. Mengubah (Takhfif taghyir). Misalnya perubahan bentuk perbuatan shalat menjadi lebih
ringan ketika terjadi peperangan.
Semua rukhsah tersebut adalah bentuk perhatian Islam kepada para pemeluknya, aturan-aturan
yang ada dalam Islam bukanlah untuk menyusahkan manusia, sebaliknya ia adalah bentuk
pernghargaan kepada manusia sesuai dengan fitrahnya.
I. Permasalahan Kontemporer
Dibawah ini ada beberapa masalah kontemporer tentang shalat:
1. Bagaimanakah jika shalat diluar pesawat ruang angkasa? Bagaimana menurut pandang
islam?
Sebagaimana kita ketahui bahwa ketika seseorang berada di luar angkasa maka tidaklah
mungkin ia dapat menghadap ke arah kiblat, dan juga ia tidak mungkin dapat mengetahui waktu
masuk maupun berakhirnya shalat.
Jawabanya adalah, bahwasanya shalat itu tidaklah gugur dengan keadaan apapun, dalam
keadaan apapun kita wajib dan bisa melakukan shalat. Maka orang yang sedang dalam pesawat
ruang angkasa melakukan shalat dengan menghadap kearah manapun pesawat itu menghadap.
Hal ini sebagaimana pula Nabi Shalallohu alaihi wa Sallam shalat di atas kendaraan beliau.
Dalam sebuah hadits di sebutkan :
Mengenai masuknya waktu shalat apabila hal itu sulit untuk di ketahui maka
berdasarkan “ghalabatu ad dzan” atau persangkaan yang kuat. Karena syariat tidaklah
membebani seseorang di luar kemampuannya.
Maka apabila seseorang yang sedang berada di pesawat ruang angkasa mampu untuk
mengetahui arah kiblat yang benar dan masuknya waktu shalat maka hal itu baik, dan
hendaknya ia menghadap ke arah tersebut dan shalat pada waktunya. Akan tetapi apabila ia
tidak mampu untuk mengetahui arah kiblat dan waktu masuknya shalat dengan tepat maka ia
shalat dengan menghadap ke arah pesawat itu menghadap dan dengan persangkaan kuat telah
masuk waktu shalat.
Yang demikian itu karena agama Islam adalah agama yang mudah dan tidak membebani
pemeluknya di luar batas kemampuannya. Alloh berfirman :
DAFTAR PUSTAKA