Anda di halaman 1dari 16

IMPETIGO PADA POPULASI ANAK-ANAK

Diterjemahkan dari

“Impetigo in the pediatric population”

oleh

Patty Ghazvini *, Phillip Treadwell, Kristen Woodberry, Edouard Nerette


Jr, dan Hermán Powery II

FAMU College of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, Florida, AS

ABSTRAK

Impetigo adalah infeksi bakteri pada kulit endemik yang paling sering dikaitkan
dengan populasi pediatrik; Hal ini terlihat di lebih dari sekitar 162 juta anak
berusia antara 2 dan 5 tahun. Secara geografis, infeksi ini banyak ditemukan di
daerah tropis di seluruh dunia. Impetigo memiliki angka kejadian insidensi
terbesar, dibandingkan dengan berbagai infeksi kulit lainnya yang terlihat pada
anak-anak. Karakteristik utama yang diamati pada infeksi ini adalah lesi-lesinya.
Penyakit ini muncul pertama kali dalam bentuk bullae yang akhirnya membentuk
krusta berwarna seperti madu dan tebal yang bisa menyebabkan pruritus. Ada
tiga bentuk impetigo: bullosa, non-bullosa dan ektima. Organisme penyebab
utama untuk impetigo meliputi Staphylococcus aureus dan Group A Beta
Hemolitikus Streptococcus (GABHS). Sebagian besar infeksi impetigo sembuh
tanpa memerlukan pengobatan; Namun, untuk mengurangi durasi dan
penyebaran penyakit, digunakan dengan antibiotik topikal dan oral. Prognosis
penyakit ini baik dan komplikasi nya minimal yang berhubungan dengan keadaan
penyakit ini.

SINGKATAN

SSTI: ( skin and soft tissue infctions / Infeksi Kulit dan Jaringan lunak; GABHS
Group A Beta Hemolitikus Streptococus:; SSSS: Staphylococcal Scalded Skin
Syndrome; CA-MRSA: Comunity Acquired methicilin Resistant Staphylococcus
Aureus; PVL: Panton-Valentine-Leucodin; PSGN: Glomerulonefritis
postreptococcal

PENGANTAR

Evolusi bakteri dan penyebaran resistansi terhadap antibiotik secara luas terus
meningkat dan selanjutnya hal ini akan membuka era pasca antibiotik yang tak
terelakkan dan telah menembus kesadaran dunia kesehatan. Infeksi kulit dan
jaringan lunak (SSTI) merupakan prioritas klinis, karena efeknya tidak
proporsional terhadap populasi yang paling rentan [1]. Impetigo adalah infeksi
kulit superfisial yang sangat menular yang umumnya disebabkan oleh bakteri
gram positif yang mencakup Staphylococcus aureus atau streptokokus -beta
grup A hemolitik (GABHS), seperti Streptococcus pyogenes. Kedua organisme
tersebut telah berpengaruh dalam penyebaran resistensi bakteri [2,3]. Infeksi
pediatrik terutama diderita oleh orang-orang yang cenderung tinggal di
lingkungan dengan cuaca panas dan lembab [4,5]. Sebuah studi global mengenai
prevalensi populasi impetigo menyimpulkan bahwa lebih dari kira-kira 162 juta
anak-anak berusia antara dua dan lima tahun menderita penyakit ini. Studi
tersebut menunjukkan bahwa anak-anak ini cenderung tinggal di negara
berpenghasilan rendah yang berada di daerah tropis [4,6-8].

PATOFISIOLOGI

Kulit berfungsi sebagai garis pertahanan pertama antara manusia dan


lingkungannya [9]. Ketidakseimbangan homeostasis antara mikrobiom dan inang
di kulit telah dapat menyebabkan penyakit. Faktor faktor yang bertanggung jawab
atas variabilitas unik mikrobiom kulit hanya sebagian dipahami, namun hasil
menunjukkan bahwa pengaruh genetik dan lingkungan host memainkan peran
utama [10,11]. Tentu, dikulit terdapat koloni beragam bakteri. [12]. Infeksi akibat
tingginya konsentrasi bakteri jarang terjadi karena kemampuan perlindungan
alami kuit. Resistensi alami tubuh manusia terhadap infeksi disebabkan oleh pH
kulit dan jaringan subkutan yang rendah sekitar 5,6 serta cairan sebasea yang
mengalami hidrolisis membentuk asam lemak bebas yang sangat menghambat
pertumbuhan bakteri dan jamur, kulit yang memiliki flora normal, membantu
mencegah kolonisasi organisme patogen lainnya [13]. Peptida antimikroba
bakteri, juga disebut bakteriosin, diperkirakan diproduksi oleh banyak atau
kebanyakan bakteri yang ditemukan di flora normal dan memainkan peran utama
yang menguntungkan dalam hubungan antara bakteri dan kulit. Bakteriosin tidak
melindungi kulit terhadap infeksi dalam pengertian tradisional; mereka
berkontribusi terhadap kelangsungan hidup sel bakteri secara individual dengan
membunuh bakteri lain yang mungkin bersaing untuk mendapatkan nutrisi di
lingkungan yang sama [14,15]. Contoh lain dari hubungan yang menguntungkan
antara bakteri dan kulit melibatkan kapasitas bawaan epitel untuk mendeteksi
mikroorganisme dengan toll like receptor (TLRs).

Stimulasi TLRs menginduksi pola ekspresi gen yang berbeda yang menyebabkan
aktivasi berbagai respon imun. Secara tradisional, respons kekebalan ini dianggap
secara eksklusif bersifat pro-inflamasi dan dirancang untuk bertahan melawan
infeksi mikroba yang menyebabkan infeksi [16]. Namun, dalam kondisi tertentu,
patogen dapat menembus barier kulit dari hospes yang rentan dan dapat
menyebabkan kerusakan jaringan yang dapat merangsang respons inflamasi.
Kondisi yang mungkin menjadi predisposisi pasien terhadap perkembangan
infeksi kulit meliputi cacar air, herpes simpleks, gigitan serangga, pedikulosis,
terapi radiasi, skabies, goresan, operasi, luka bakar termal, trauma, konsentrasi
bakteri yang tinggi, kelembapan kulit yang berlebihan, tidak adekuatnya suplai
darah, ketersediaan nutrisi bakteri, dan kerusakan pada lapisan kornea yang
memungkinkan penetrasi bakteri [5,17-19]. Perkembangan impetigo bergantung
pada tiga faktor berikut: adhesi bakteri terhadap sel inang, invasi pada jaringan,
dan penyebaran racun [13]. Invasi bakteri terjadi pada awalnya dalam jumlah
rendah, dengan adhesi yang dimediasi asam teikoat di salah satu mikroorganisme
peyebab impetigo [20,21]. Namun, fibronektin, molekul adhesi sel yang
memungkinkan sel bakteri seperti Streptococcus pyogenes (GABHS), menempel
pada kolagen dan menyerang permukaan kulit yang terganggu diperlukan untuk
berkoloni di kulit [13]. Sebaliknya, Staphylococcus aureus berkoloni di epitel
nasal awalnya dan dari reservoir ini, kolonisasi kulit terjadi [22] Seiring
bertambahnya jumlah bakteri dimana barier kulit terganggu, dan impetigo
muncul. Dengan mayoritas SSTI yang diakibatkan dari rusaknya pertahanan host
normal melalui proses seperti tusukan, abrasi, atau penyakit kulit, harus dipahami
bahwa sifat dan tingkat keparahan infeksi bergantung pada jenis mikroorganisme

ETIOLOGI & EPIDEMIOLOGI

Secara umum, patogen penyebab utama impetigo adalah Staphylococcus aureus


dan streptokokus ß-hemolitik Grup-A (GABHS) [23]. Patogen yang kurang umum
yang terkait dengan impetigo meliputi streptokokus grup C, streptokokus grup G,
dan bakteri anaerobik [23,24]. Ketika kita memusatkan perhatian pada berbagai
jenis impetigo, ada gambaran yang jelas tentang patogen mana yang
mendominasi, karena impetigo dapat dipisahkan menjadi impetigo non-bulosa dan
impetigo bulosa.

Impetigo non-bulosa, juga dikenal sebagai impetigo kontangiosa [24,25] atau


pioderma [23], saat ini sebagian besar disebabkan oleh S. aureus. Setelah S.
aureus dapat pula berupa infeksi campuran staphylococci dan streptococci, dan
kemudian streptococci saja. Namun, ini tidak selalu terjadi. Seiring waktu, agen
penyebab utama bergantian antara S. aureus dan GABHS. Menurut Koning S et
al., Pada iklim sedang, S. aureus adalah organisme penyebab utama pada tahun
1940an dan 1950an, setelah itu GABHS menjadi lebih umum; Dalam dua dekade
terakhir, S. aureus telah menjadi penyebab yang lebih umum lagi. S. aureus
sendiri atau bersamaan dengan GABHS bertanggung jawab atas sekitar 80%
kasus impetigo [25,26]. Untuk lebih memvalidasi prevalensi S. aureus yang lebih
tinggi, menurut data dari Departemen Dermatologi Rumah Sakit Anak Heim Pál
Budapest, lebih dari 70% kasus tersebut disebabkan oleh S. aureus, 20-25%
disebabkan oleh infeksi campuran staphylococci dan streptococci, dan 5-10%
kasus hanya disebabkan oleh streptokokus [27]. Sebaliknya, terdapat laporan
kasus dimana infeksi streptokokus lebih umum terjadi, seperti di iklim yang lebih
hangat dan lembab [24,25].

Impetigo bulosa hampir secara eksklusif disebabkan oleh strain S. aureus yang
menghasilkan racun eksfoliatif yang menyebabkan hilangnya adhesi sel di
epidermis superfisial dengan target desmoglein1 [23,28,29]. Toksin spesifik
adalah toksin eksfoliatif A, berlawanan dengan toksin eksfoliatif B, yang
dihasilkan oleh S. aureus pada Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS)
[26]. Ada sedikit persentase infeksi yang disebabkan oleh GABHS [26].

Ektima, yang digambarkan sebagai bentuk impetigo yang lebih dalam [30], atau
sebagai jenis infeksi yang terpisah namun mirip [31], meluas melalui epidermis
dan mencapai dermis. Serupa dengan impetigo bulosa, patogen utamanya adalah
S. aureus [32], namun streptokokus kadang-kadang dapat menjadi penyebabnya
[27,31].

Kehadiran MRSA sebagai agen penyebab impetigo yang didapat masyarakat (


comunity acquired impetigo ) dianggap tidak biasa dan bersifat heterogen [26].
Impetgo yang di induksi stapilokokus biasanya disebabkan oleh strain S. aureus
yang memiliki gen toksik exfoliatif. Bakteri Staphylococcus aureus yang resisten
terhadap methicillin (CA-MRSA) tidak memiliki gen toksin exfoliatif, namun
memiliki gen Panton-Valentine-Leucodin (PVL). Staphylococci yang memiliki
PVL biasanya menyebabkan abses dan furunkel; Oleh karena itu, kekhawatiran
adanya MRSA tidak berlebihan dalam kasus impetigo [26]. Selanjutnya, tidak ada
penelitian yang mengidentifikasi masalah dengan impetigo terkait MRSA pada
orang dewasa atau anak-anak, namun kultur mungkin masih berguna dalam
beberapa keadaan [24]. Namun, jika ada, MRSA yang terkait dengan impetigo
biasanya terlihat dalam bentuk non-bullosa [29].

PRESENTASI KLINIS

Impetigo non-bulosa dapat terjadi sebagai infeksi bakteri primer atau sekunder.
Infeksi primer terjadi melalui invasi bakteri langsung pada kulit sehat intak [24].
Infeksi sekunder, yang lebih umum terjadi, terjadi melalui infeksi bakteri pada
kulit yang terganggu akibat trauma, eksim, gigitan serangga, skabies, herpes, atau
penyakit lainnya [24]. Terlepas dari sifat primer atau sekundernya, impetigo non-
bulosa awalnya hadir sebagai lesi makulopapular yang menjadi vesikel
berdinding tipis yang terletak diatas dasar eritematosa. Vesikel cenderung <
0,5cm dibandingkan dengan bullae yang terlihat pada impetigo bulosa, yang
biasanya berukuran > 0,5cm [29]. Setelah pecah, ulserasi dangkal berikutnya
ditutupi dengan cairan purulen yang mengering seperti skuama berwarna
kekuningan [24,26]. Infeksi cenderung terjadi di daerah yang terpapar sinar
matahari, terutama pada anggota badan dan wajah (misalnya, nares, daerah
perioral). Lesi satelit, yang disebabkan oleh self-inoculation, sering terjadi; dan
limfadenopati regional [23,26]. Namun, gejala sistemik tidak sering muncul [23-
25] meskipun demam dapat terjadi pada kasus yang parah [26]. Impetigo non-
bulosa cenderung sembuh tanpa bekas luka / skar, dan jika tidak diobati, bisa
sembuh secara spontan dalam 2-3 minggu [24-26].

Impetigo bulosa awalnya dimulai sebagai vesikula kecil, yang kemudian menjadi
bula lembek atau lepuhan lokal berukuran sekitar 2cm; Lepuhan mengandung
cairan yang jernih yang kemudian menjadi purulen [26]. Lepuhan ini tidak pecah
semudah vesikel yang terlihat pada impetigo non-bulosa, dan mungkin bertahan
selama beberapa hari [25]. Begitu lepuhan pecah, dasarnya yang basah dan
eritematosa dapat terlihat. Daerah yang mengalami pembesaran kelenjar getah
bening biasanya tidak ada, dan gejala sistemik jarang terjadi tapi bisa termasuk
demam, diare, dan malaise [24,26]. Bukti pendukung adanya limfadenopati
regional pada impetigo bulosa saling bertentangan.

Beberapa artikel menyatakan bahwa limfadenopati jarang terjadi pada impetigo


bulosa [26,33], sementara yang lain tidak menyebutkan adanya limfadenopati
terkait impetigo bulosa [24,25]. Sebaliknya, satu sumber menyatakan bahwa
limfadenopati lebih sering terjadi pada impetigo bulosa daripada impetigo non-
bullosa [34]. Infeksi cenderung terjadi pada batang tubuh; daerah intertriginosa
seperti daerah popok, axillae, dan leher; dan ekstremitas. Namun, daerah kulit
lainnya juga bisa terkena dampaknya [24,26]. Seperti bentuk impetigo lainnya,
infeksi umumnya sembuh dalam waktu 2-3 minggu tanpa jaringan parut [24].

Ektima ditandai oleh vesikel yang pecah kemudian menghasilkan ulkus


berbentuk bulat dan eritematosa dengan skuama coklat hitam yang melekat..
Biasanya dikelilingi edema [30-32]. Rasa gatal biasa terjadi dan garukan bisa
menularkan infeksi [32]. Ektima terutama terjadi pada kaki dan gluteus setelah
trauma atau saat gigitan serangga telah tergores [27]. Selain itu, tidak seperti
impetigo, ektima sembuh dengan jaringan parut.

DIAGNOSA

Diagnosis impetigo atau ektima biasanya ditegakkan melalui pengamatan visual


dan temuan klinis [29,32]. Pewarnaan Gram dan kultur nanah atau eksudat
dari lesi kulit dianjurkan untuk membantu mengidentifikasi apakah S. aureus dan
/ atau GABHS adalah penyebabnya; Pengobatan tanpa pemeriksaan ini, masuk
akal dalam kasus tipikal [31]. Selain itu, pada pasien yang dicurigai mengalami
glomerulonefritis akut dan impetigo, analisis kadar anti-DNase B yang
meningkat dapat memberikan bukti pendukung infeksi streptokokus sebelumnya
[23].

Saat mendiagnosis impetigo, harus diingat bahwa ada kelainan lain yang hadir
dengan manifestasi klinis serupa. Dengan impetigo non-bullosa, keraguan dalam
diagnostik dapat terjadi dengan berbagai kelainan kulit termasuk shingles, cold
sores, infeksi jamur kulit, dan eksim [25]. Dengan impetigo bulosa,
kebingungan diagnostik dapat terjadi dengan luka bakar termal, gangguan yang
terdapat lesi lepuhan seperti pemfigoid bulosa, dan sindrom Stevens Johnson
[25].

TERAPI

terdapat berbagai pilihan pengobatan yang bisa digunakan dalam pengobatan


impetigo. Bergantung pada tingkat keparahan kondisinya, pilihannya berkisar dari
desinfektan topikal hingga antibiotik topikal dan oral. Untuk impetigo yang tanpa
kompikasi, telah diamati bahwa infeksi sembuh dalam beberapa minggu tanpa
jaringan parut [29]..

Untuk perawatan luka lokal, dianjurkan agar lesi dibersihkan dengan lembut,
lepaskan krusta dari impetigo non-bulosa dengan sabun antibakteri dan kain
pembersih, dan gunkan dressing basah pada daerah yang terkena [26].
Desinfektan topikal adalah pilihan tepat untuk pencegahan kekambuhan dan
menjadi alternatif terapi antibiotik topikal. Telah dibuktikan dalam penelitian
bahwa cairan sodium hipoklorit efektif dalam memberantas beberapa strain
MRSA yang didapati dari komunitas [35]. Meskipun desinfektan topikal efektif
untuk profilaksis, pilihan ini tidak dianjurkan untuk pengobatan impetigo dalam
bentuk aktifnya. Tidak disarankan agar pilihan ini digunakan pada penyakit aktif.

Dalam tinjauan yang dilakukan oleh Database Cochrane of Systemic


Reviews, diketahui bahwa antibiotik topikal menunjukkan tingkat kesembuhan
yang lebih baik daripada plasebo topikal [25]. Mupirocin topikal telah
menunjukkan khasiat yang superior daripada eritromisin agen oral dan telah
terbukti menjadi pilihan tepat bagi pasien dengan strain Staphylococcus aureus
yang resisten terhadap eritromisin. Dalam perbandingan lain, tingkat
kesembuhan antara obat topikal dan oral tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan [25]. Menurut Infectious Diseases Society of America guidelines,
impetigo non-bulosa dan bulosa dapat diobati dengan antimikroba oral atau
topikal selama lima sampai tujuh hari, namun terapi oral dianjurkan pada pasien
dengan berbagai lesi atau endemis yang mempengaruhi beberapa orang untuk
membantu mengurangi transmisi infeksi [31].

ANTIBIOTIK TOPIKAL
Antibiotik topikal merupakan pilihan yang layak untuk penyakit impetigo
tertentu. Antibiotik cenderung untuk memicu resistensi bakteri dan memiliki efek
samping yang lebih sedikit. Untuk bayi, anak-anak, dan remaja di Amerika
Serikat, mupirosin dan retapamulin merupaka dua obat topikal yang paling sering
digunakan (Tabel 1) [14,29]. Mupirosin menghambat sintesis protein bakteri
secara reversibel dan secara khusus berikatan dengan transfer-RNA synthetase.
Hal ini memiliki efek samping yang dapat ditoleransi seperti reaksi pada lokasi
penggunaan (pruritus dan sensasi tersengat pada kulit) [14].

Tabel 1: Regimen Pengobatan Impetigo Pada Anak-anak


Pengobatan Usia Aturan Pakai
Obat Topikal
Mupirosin 2% salep Anak > 2 bulan Gunakan pada lesi 2-3
(Bactroban) kali sehari selama 7
sampai 10 hari
Retamapulin 1% salep Anak > 9 bulan Gunakan pada area
(Altabax) yang terlibat 2 kali
sehari selama 5 hari

Obat Sistemik
Amoxicilin-Asam - Bayi < 3 bulan - 30 mg/kg/hari per
klavulanat (Augmentin) oral setiap 12 jam
selama 10 hari
- Anak ≥ 3 bulan dan < - 30-90 mg/kg/hari per
40 kg oral setiap 8-12 jam
selama 10 hari
- Anak ≥ 40 kg - 250-500 mg per oral
setiap 8 jam atau 875
mg setiap 12 jam
selama 10 hari
Cefuroxim (Ceftin, - Bayi dan Anak 3 bulan - 30 mg/kg/hari
Zinacef) sampain 12 tahun (maksimal 1 g/hari)
setiap 12 jam selama
10 hari (suspensi)
- Anak ≤ 12 tahun - 250 mg setiap 12 jam
selama 10 hari (tablet)
- Remaja - 250-500 mg setiap 12
jam selama 10 hari
(tablet)
Cefalexin (Keflex) - Anak ≥ 1 tahun 25-100mg/kg/hari
dalam dosis terbagi
setiap 6-8 jam selama
10 hari, maks 4 g/hari
Dikloksasilin - Neonatus - Tidak
direkmendasikan
- Anak < 40 kg - 12.5-100 mg/kg/hari
dibagi setiap 6 jam
selama 5-7 hari
- 125-250 mf setiap 6
jam selama 5 sampai
- Anak ≥ 40 kg
7 hari
Eritromisin (E.E.S 400, Berdasarkan berat badan - Eritromisin base: 30-
E.E.S. Granul, Ery-tab, 50 mg/kg/hari dalam
Eryped 200, Eryped 2-4 dosis terbagi
400, Erythrocin selama 5 sampai 7
Stearate) hari; maksimal 2
gr/hari
- Ertromisin
etilsuksinat: 30-50
mg/kg/hari dalam 2-4
dosis terbagi selama 5
sampai 7 hari;
maksimal 3.2 gr/hari
- Eritromisin base
stearate: 30-50
mg/kg/hari dalam 2-4
dosis terbagi selama 5
sampai 7 hari;
maksimal 2 gr/hari

Retapamulin menunjukkan aksinya dengan menghambat sintesis protein


bakteri pada Unit ribosom 50S [14]. Menimbulkan risiko epistaksis, retapamulin
tidak harus digunakan pada mukosa hidung [36]. Asam fusidat juga merupakan
agen topikal yang banyak digunakan di seluruh dunia, tetapi tidak disetujui FDA
di Amerika Serikat.
Over-the-counter: Tripel antibiotik (basitrasin-neomisin-polimiksin)
memiliki beberapa aktivitas terhadap organisme, tetapi mereka tidak efektif untuk
pengobatan [37]. Basitrasin dan neomisin juga telah diketahui menyebabkan
dermatitis kontak. Obat ini tidak dianjurkan untuk pengobatan impetigo.
ANTIBIOTIK SISTEMIK
Untuk lesi yang luas, dianjurkan bahwa pasien menggunakan antibiotik
oral. Obat yang disukai untuk populasi anak termasuk berbagai jenis penisilin dan
sefalosporin (Tabel 1); kedua kelas ini menghambat sintesis dinding sel bakteri.
Dikloksasilin dan Cefaleksin digunakan pada bayi, anak-anak, dan remaja (Tabel
1). Jika dicurigai atau dikonfirmasi MRSA dengan tes kultur dan sensitivitas,
antibiotik yang paling banyak digunakan adalah klindamisin, doksisiklin, atau
trimetoprim-sulfametoksazol. Doksisiklin adalah tetrasiklin yang memberikan
fungsinya dengan menghambat sintesis protein bakteri. Hal ini tidak dianjurkan
pada anak-anak kurang dari 8 tahun karena dapat terjadi perubahan warna gigi.
Pasien neonatus dengan bentuk impetigo bulosa dapat diobati dengan
nafsilin, oksasilin, atau klindamisin. Eritromisin, suatu makrolida, merupakan
obat pilihan untuk neonatus dengan impetigo non-bulosa (Tabel 1). Vankomisin
intravena direkomendasikan untuk kasus MRSA [29]. Obat timikroba sistemik
diindikasikan bila ada keterlibatan struktur jaringan dalam, demam,
limfadenopati, faringitis, infeksi dekat rongga mulut, dan infeksi pada kulit kepala
dan atau berbagai lesi [26].

KOMPLIKASI
Komplikasi jarang terjadi, tetapi penyebaran lokal dan sistemik dari
infeksi dapat mengakibatkan selulitis, limfangitis, septikemia, psoriasis guttate,
demam scarlet, dan postreptococcal glomerulonefritis (PSGN) [25]. PSGN
merupakan salah satu komplikasi yang paling serius dan cenderung terjadi sebagai
akibat dari impetigo streptokokus yang lebih sering dari infeksi tenggorokan oleh
streptokokus [25,26,32]. PSGN dapat terjadi pada sampai dengan 5% dari pasien
dengan impetigo non-bulosa dan cenderung untuk terjadi sekitar 2 minggu setelah
infeksi [24,29].
Gejalanya dapat berupa pembengkakan di wajah, terutama di sekitar mata,
oliguria, hematuria, dan peningkatan tekanan darah. Sebagian besar pasien
cenderung sembuh tanpa kerusakan ginjal permanen, tetapi PSGN dapat
menyebabkan penyakit ginjal kronis [29]. Saat ini tidak ada data yang
menunjukkan bahwa mengobati impetigo memiliki efek mencegah perkembangan
PSGN akut [23-26,29]; Namun, pengobatan tidak mengurangi penyebaran strain
nefritogenik pada populasi manusia [23,25,26].

PROGNOSIS
Impetigo biasanya sembuh dalam 2-3 minggu, bahkan tanpa pengobatan.
Dalam uji coba secara acak, menunjukkan bahwa pada plasebo sekitar 13%
hingga 52% mengalami resolusi spontan dalam waktu 7 sampai 10 hari [14].
Namun, tingkat kesembuhan yang lebih tinggi terlihat dengan penggunaan obat
dan mengurangi resiko penyebaran infeksi [25,38].

PENCEGAHAN
Kebersihan yang tepat sangat penting dalam pencegahan impetigo;
mencuci tangan dengan air hangat dan sabun antibakteri dan mandi secara teratur
akan membantu mengurangi kemungkinan infeksi. Kuku harus selalu dipotong
dan untuk menghindari auto-inokulasi saat menggaruk luka. Pasien yang
terinfeksi dengan impetigo harus menggunakan handuk bersih dan mencuci
pakaian setiap kali setelah digunakan [29]. Anak-anak dapat kembali ke sekolah
24 jam setelah mulai pengobatan dengan regimen antibiotik yang efektif, dan
drainase lesi harus terus terttutup [39]. Untuk membatasi kontaminasi bakteri,
orang tua atau wali harus mencuci mainan anak-anak dan menggunakan tisu
desinfektan di permukaan benda yang keras. Juga, orang tua harus
menindaklanjuti dengan dokter perawatan primer jika mereka melihat bahwa lesi
terus menyebar, luka yang tidak kunjung sembuh, atau anak mengalami gejala-
gejala sistemik [29].

DISKUSI DAN KESIMPULAN


Impetigo merupakan infeksi bakteri yang sangat menular yang terutama
melibatkan anak-anak antara usia 2 sampai 5 tahun; Namun, orang-orang dari
semua usia dapat terinfeksi. Impetigo terutama disebabkan oleh Staphylococcus
aureus, dan Streptococcus pyogenes (GABHS). Diagnosis umumnya dilakukan
melalui pengamatan visual dari manifestasi klinis; kultur dapat dilakukan untuk
menyesuaikan pengobatan. Infeksi yang terbatas diobati dengan antibiotik topikal
seperti Mupirosin atau Retapamulin, sementara penyakit yang lebih luas diobati
dengan antibiotik oral atau intravena. Meskipun jarang, dapat terjadi komplikasi;
Namun, sebagian besar kasus impetigo sembuh sepenuhnya tanpa komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hay RJ, Johns NE, Williams HC, Bolliger IW, Dellavalle RP, Margolis
DJ, et al. The Global Burden of Skin Disease in 2010: An Analysis of the
Prevalence and Impact of skin conditions. J Clin Investig Dermatol. 2014;
134: 1527-1534.
2. Fish DN. Chapter 42. Skin and soft tissue infections. In: Wofford MR,
Posey LM, Linn WD, O’Keefe ME, eds. Pharmacotherapy in Primary
Care. New York, NY: McGraw-Hill; 2009.
3. Mahé AH, Hay RJ. Epidemiology and Management of Common Skin
Diseases in Children in Developing Countries. Geneva: World Health
Organization; 2005.
4. Steer AC, Jenney AWJ, Kado JH, Batzloff MR, La Vincente S,
Waqatakirewa L, et al. High Burden of Impetigo and Scabies in a Tropical
Country. Lancet Infect Dis. 2009; 3.
5. RothRR, James WD. Microbial Ecology of the Skin. Anna Rev Microbial.
1988; 42: 441-464.
6. Bowen AC, Mahé AH, Hay RJ, Andrews RM, Steer AC, Tong SY, et al.
The global epidemiology of impetigo: a systematic review of the
population prevalence of impetigo and pyoderma. PLoS One. 2015; 10.
7. Carapetis JR, Steer AC, Mulholland EK, Weber MW. The Global Burden
of Group A Streptococcal Diseases. Lancet Infect Dis. 2005; 5: 685-694.
8. Andrews RM, McCarthy JS, Carapetis JR, Currie BJ. Skin disorders,
including pyoderma, scabies, and tinea infections. Pediatr Clin North Am.
2009; 56: 1421-1440.
9. Cogen AL, Nizet V, Gallo RL. Skin Microbiota: A Source of Disease or
Defence? Br J Dermatol. 2008; 158: 442-455.
10. Human Microbiome Project Consortium Structure, function and diversity
of the healthy human microbiome. Nature. 2012; 486: 207-214.
11. Costello EK, Lauber CL, Hamady M, Fierer N, Gordon JI, Knight R.
Bacterial community variation in human body habitats across space and
time. Science. 2009; 326: 1694-1697.
12. Hancock RE, Lehrer R. Cationic peptides: a new source of antibiotics.
Trends Biotechnol. 1998; 16: 82-88.
13. McAdam AJ, Sharpe AH: Infectious diseases – bacterial infections. In:
Kumar V, Abbas AK, Fausto N, editors. Robbins & Cotran Pathologic
Basis of Disease. Philadelphia: Elsevier Inc; 2005; 371-396.
14. Klaenhammer TR. Bacteriocins of lactic acid bacteria. Biochimie. 1988;
70: 337-349.
15. Riley MA. Molecular mechanisms of bacteriocin evolution. Annu Rev
Genet. 1998; 32: 255-278.
16. Lai Y, Di Nardo A, Nakatsuji T, Leichtle A, Yang Y, Cogen AL, et al.
Commensal bacteria regulate Toll- like receptor 3-dependent inflammation
after skin injury. Nat Med. 2009; 15: 1377-1382.
17. Gould D. Skin flora: Implications for nursing. Nurs Stand. 2012; 26: 48-
56.
18. Granato PA. Pathogenic and Indigenous Microorganisms of Humans. In:
Murray PR, Baron EJ, Jorgensen JH, et al., eds. Manual of Clinical
Microbiology, 9th ed. Washington, DC: ASM Press 2007; 46-56.
19. Reichel M, Heisig P, Kampf G. Identification of Variables for Aerobic
Bacterial Density at Clinically Relevant Skin Sites. J Hosp Infect. 2011;
78: 5-10.
20. Weidenmaier C, A Peschel. Teichoic Acids and Related Cell-Wall
Glycopolymers in Gram-Positive Physiology and Host Interactions. Nat
Rev Microbiol. 2008; 6: 276-287.
21. Sutcliffe IC, N Shaw. Atypical Lipoteichoic Acids of Gram-Positive
Bacteria. J Bacteriol. 1991; 173: 7065-7069.
22. Darmstadt GL, Lane AT. Impetigo: an overview. Pediatr Dermatol. 1994;
11: 293-303.
23. Stevens DL, Bryant AE. Impetigo, Erysipelas and Cellulitis. 2016 Feb 10.
In: Ferretti JJ, Stevens DL, Fischetti VA, editors. Streptococcus pyogenes:
Basic Biology to Clinical Manifestations [Internet]. Oklahoma City (OK):
University of Oklahoma Health Sciences Center; 2016.
24. Hartman-Adams H, Banvard C, Juckett G. Impetigo: diagnosis and
treatment. Am Fam Physician. 2014; 90: 229-235.
25. Koning S, van der Sande R, Verhagen AP, van Suijlekom-Smit LW,
Morris AD, Butler CC, et al. Interventions for impetigo. Cochrane
Database Syst Rev. 2012; 1.
26. Pereira LB. Impetigo-review. An Bras Dermatol. 2014; 89: 293-299.
27. Zitás É, Mészáros J. The most common childhood skin diseases. Our
Dermatol Online. 2016; 7: 213-218.
28. Amagai M, Matsuyoshi N, Wang ZH, Andl C, Stanley JR. Toxin in
bullous impetigo and staphylococcal scalded-skin syndrome targets
desmoglein-1. Nat Med. 2000; 6: 1275-1277.
29. Sahraoui S, Akiyode O. Impetigo in Children and Adolescents. US Pharm.
2013; 38: 68-71.
30. Davis S. Impetigo: a review with a focus on retapamulin. S Afr Pharm J.
2015; 82: 22-25.
31. Stevens DL, Bisno AL, Chambers HF, Dellinger EP, Goldstein EJ,
Gorbach SL, et al. Practice guidelines for the diagnosis and management
of skin and soft tissue infections: 2014 update by the Infectious Diseases
Society of America. Clin Infect Dis. 2014; 59: 10-52.
32. Behesti M, Ghotbi Sh. Impetigo, a brief review. Shiraz E-Medical
Journal. 2007; 8: 138-141.
33. Dagan R. Impetigo in childhood: changing epidemiology and new
treatments. Pediatric Annals. 1993; 22: 235-240.
34. NHS. Health A-Z. Impetigo. Overview.
35. Fisher RG, Chain RL, Hair PS, Cunnion KM. Hypochlorite killing of
community-acquired methicillin-resistant Staphylococcus aureus. Pediatr
Infect Dis J. 2008; 27: 934-935.
36. Altabax (retapamulin) ointment. FDA Medwatch. September 2010.
37. Bass JW, Chan DS, Creamer KM, Thompson MW, Malone FJ, Becker
TM, et al. Comparison of oral cephalexin, topical mupirocin and topical
bacitracin for treatment of impetigo. Pediatr Infect Dis J. 1997; 16: 708-
710.
38. George A, Rubin G. A systematic review and meta-analysis of treatments
for impetigo. Br J Gen Pract. 2003; 53: 480-487.
39. Baddour. Impetigo. Up to Date.
40. Impetigo Treatment & Management. Medscape.

Anda mungkin juga menyukai