102015208
___________________________________________________________________________
Abstrak
Leukimia Limfositik Akut adalah merupakan keganasan klonal dari sel-sel prekursur
limfoid. Penyebab terjadinya penyakit ini masih belum jelas tetapi berkemungkinan besar
karena faktor eksogen seperti sinar X, sinar radioaktif, hormone, bahan kimia, infeksi. Bisa
juga karena faktor endogen seperti ras, kelainan kromosom dan herediter. Diklasifikasikan
menurut imunologi dan klasifikasi morfologi French-American-British (FAB). LLA dapat
didiagnosis dengan pemeriksaan laboratorium seperti hapusan darah tepi, aspirasi sumsum
tulang, sitogenetik, sitokimia dan sebagainya. Gejala klinis yang biasa tejadi adalah anemia,
demam, infeksi, perdarahan, splenomegali, hepatosplenomegali dan limfadenopati.
Abstract
Skenario
Laki-laki 56 tahun datang dengan keluhan utama demam sejak 3 hari smrs.
Perbahasan
Anamnesis
Data klinik yang ingin didapat oleh dokter dalam anamnesis diantaranya adalah
keluhan utama beserta waktunya, riwayat penyakit sekarang yang sesuai dengan keluhan,
riwayat penyakit dahulu yang pernah diderita atau trauma dan kecelakaan, riwayat keluarga
apakah ada yang sakit seperti ini atau penyakit tertentu, riwayat sosial, ekonomi, dan budaya
yang berkaitan dengan problem medis, riwayat lingkungan tempat tinggal dan bekerja, serta
kebiasaan hidup sehari-hari dan untuk pasien wanita, perlu ditanya tentang riwayat
perkawinan, persalinannya, menstruasi terakhir, dan riwayat keluarga berencana.1
Anamnesis pada LLA harus ditanyakan apakah ada gejala anemia, kelemahan tubuh, berat
badan menurun, anoreksia, mudah sakit, sering demam, perdarahan, nyeri tulang, nyeri sendi.
Ada beberapa point penting yang perlu ditanyakan pada saat anamnesis, antara lain:
Keluhan utama:
o Pucat. Seringkali terlihat pada pasien anemia. Pucat paling baik dinilai
pada telapak tangan/kaki, kuku, mukosa mulut, dan konjungtiva.
Keluhan penyerta:
o Biasanya lemas, demam, penurunan kadar trombosit, muntah sehingga
menunjukkan gejala seperti serangan demam berdarah bahkan dapat
ditemukan kulit yang tampak kuning pucat seperti penyakit kuning.2
Hasil anamnesis yang didapat dari pasien ini keluhan utamanya adalah pasien demam
sejak 3 hari yang lalu. Riwayat penyakit sekarang didapatkan pasien ada sesak, batuk,
mimisan dan perdarahan gusi. Riwayat penyakit dahulu 1 bulan sebelumnya pasien
mengalami perut membesar dan teraba keras dan sejak 1 tahun lalu pasien mengalami sesak
dan cepat cape kerja ringan bisa dilakukan tetapi kerja berat tidak sanggup.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik yang umum dilakukan adalah TTV, kesadaran dan keadaan
umum. Seterunya dilakukan pemeriksaan abdomen. Gejala yang khas ditemukan ialah pucat,
panas, dan perdarahan disertai splenomegaly, dan kadang-kadang hepatomegali serta
limfadenopatia. Penderita yang menunjukkan gejala lengkap seperti tersebut di atas, secara
klinis dapat didiagnosis leukemia. Pucat dapat terjadi mendadak. Perdarahan dapat berupa
ekimosis, petekia, epistaksis, perdarahan gusi, dan sebagainya. Pada stadium awal mungkin
tidak terdapat splenomegali. Gejala yang tidak khas ialah sakit sendi atau sakit tulang yang
dapat disalah-tafsirkan sebagai penyakit reumatik. Gejala lain dapat timbul sebagai akibat
infiltrasi sel leukemia pada alat tubuh, seperti lesi purpura pada kulit, efusi pleura, kejang
pada leukemia serebral dan sebagainya.3
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien ini, tekanan darah 120/80
mmHg, suhu 38⁰C, frekuensi nafas 28x/menit, pemeriksaan head to toe didapatkan ronki
basah sedang, ptekiae dan hepar teraba 2 jari.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah tepi, gejala yang terlihat adalah adanya pansitopenia, limfositosis
yang kadang-kadang menyebabkan gambaran darah tepi monoton dan terdapat sel blast
(menunjukkan gejala patogonomik untuk leukemia). Pemeriksaan sumsum tulang
ditemukan gambaran monoton yaitu hanya terdiri dari sel limfopoetik patologis sedangkan
sistem lain terdesak (aplasia sekunder). Pemeriksaan biopsi limfa memperlihatkan
proliferasi sel leukemia dan sel yang berasal dari jaringan limfa yang terdesak seperti: limfosit
normal, RES, granulosit, pulp cell.3
Terdapat marker kromosom yaitu elemen yang secara morfologis bukan merupakan
kromosom normal, dari bentuk yang sangat besar sampai yang sangat kecil. Untuk
menentukan pengobatannya harus diketahui jenis kelainan yang ditemukan. Pada leukemia
biasanya didapatkan dari hasil darah tepi berupa limfositosis lebih dari 80% atau terdapat sel
blast. Juga diperlukan pemeriksaan dari sumsum tulang dengan menggunakan mikroskop
elektron akan terlihat adanya sel patologis.
• Biopsi
Dokter mengangkat beberapa sumsum tulang dari tulang pinggul atau tulang besar lainnya.
Seorang ahli patologi memeriksa contoh dibahwah sebuah mikroskop. Pengangkatan jaringan
untuk mencari sel-sel kanker disebut suatu biopsi. Suatu biopsi adalah cara satu-satunya yang
pasti untuk mengetahui apakah sel-sel leukemia ada didalam sumsum tulang. Terdapat dua
cara untuk memperoleh sumsum tulang yaitu Bone marrow aspiration (Penyedotan sumsum
tulang) yaitu dengan menggunakan jarum untuk mengangkat contoh-contoh dari sumsum
tulang. Kedua, Bone marrow biopsy (Biopsi Sumsum Tulang) dengan menggunakan jarum
yang sangat tebal untuk mengangkat sepotong kecil dari tulang dan sumsum tulang.
• Cytogenetics
Pemeriksaan laboratorium dengan melihat kromosom-kromosom dari sel contoh dari
peripheral blood, sumsum tulang, atau nodus-nodus getah bening.
• Spinal tap
Mengambil cairan cerebrospinal dengan menggunakan jarum panjang yang kecil untuk
mengangkat cairan dari kolom tulang belakang (spinal column) Prosedur ini dilaksanakan
dengan pembiusan lokal. Pasien harus terbaring untuk beberapa jam setelahnya untuk
mempertahankannya dari mendapat sakit kepala. Lab akan memeriksa cairan untuk sel-sel
leukemia.
• Chest x-ray—X-ray dapat mengungkap tanda-tanda dari penyakit di dada.4
Imunoperoksidase peningkatan TdT (enzim nuklear yang mengatur kembali gen reseptor sel
T dan Ig
Flowcytometry precursor B: CD 10, 19, 79A, 22, cytoplasmic m-heavy chain, TdT
T: CD1a, 2, 3, 4, 5, 7, 8, TdT
Hasil pemeriksaan penunjang dari darah rutin didapatkan Hb 6,2 g/dL, leukosit
105,500/uL, trombosit 15,000/uL.
Diagnosis Kerja
Diagnosis Banding
Anemia aplastik.6
Anemia aplastik adalah merupakan suatu kondisi dimana sumsum tulang tubuh berhenti
memproduksi sel-sel darah baru yang cukup. Anemia aplastik ini tidak hanya sel darah merah
yang berhenti produksinya, akan tetapi juga sel darah putih dan leukosit. Oleh itu kondisi ini
juga disebut sebagai pansitopenia. Anemia aplastik membuat penderitanya merasa lelah dan
berisiko tinggi terhadap infeksi dan perdarahan yang tidak terkontrol.
Penyebab anemia aplastik adalah zat kimia seperti benzene, insektisida. Bisa juga karena
obat , radiasi, infeksi, dan sebagainya seperti kehamilan, malnutrisi dan disfungsi imunologi.
Gejala klinis yang biasa terjadi sesak nafas, palpitasi, perdarahan, kelemahan, infeksi, pucat.
Masuknya limfosit ini ke dalam sumsum tulang akan menggeser sel-sel yang normal
sehingga terjadi anemia dan penurunan jumlah sel darah putih dan trombosit dalam darah.
Kadar antibodi juga berkurang. Penyebabnya belum diketahui. Kemungkinan disebabkan
abnormalitas kromosom, onkogen dan retrovirus.
Gejala klinis yang sering terjadi adalah pembesaran KGB simetris, limfadenopati,
kelelahan, infeksi. Akibat penumpukan sel B neoplastik, pasien yang mulanya asimptomatik
akan mengalami limfadenopati , splenomegali dan hepatomegali. Pemeriksaan lab didapatkan
pasien limfositosis, absolut, leukositosis, hapusan darah tepi 70-99% leukosit sama dengan
limfosit matang, trombositopenia, Ig serum berkurang pada stadium lanjut, smudge sel.
Etiologi
Etiologinya sampai saat ini masih belum jelas, diduga kemungkinan besar karena virus
(virus onkogenik). Faktor lain yang turut berperan ialah faktor eksogen seperti sinar X, sinar
radioaktif, hormone, bahan kimia (benzol, Arsen, preparat sulfat), infeksi (virus, bakteri). Bisa
juga karena faktor endogen seperti ras (orang Yahudi mudah menderita LLK), kelainan
kromosom (angka kejadian LMK lebih tinggi dari Sindrom Down), herediter (kadang-kadang
dijumpai kasus leukemia pada kakak-beradik atau kembar satu telur), angka kejadian pada
anak lebih tinggi sesuai dengan usia. Faktor predisposisi LLA adalah faktor genetik
contohnya virus tertentu yang menyebabkan terjadinya perubahan struktur gen (T cell
leukimia-lymphoma virus/HTLV), radiasi ionisasi seperti di lingkungan kerja, prenatal,
pengobatan kanker sebelumnya, sering terpapar zat-zat kimiawi seperti benzen, arsen,
kloramfenikol, fenilbutazon, dan agen anti neoplastik, mengkonsumsi obat-obat
imunosupresif dan obat karsinogenik seperti diethylstilbestrol. Selain itu, faktor herediter
misalnya pada kembar satu telur dan pada seseorang yang mengalami kelainan kromosom.7
Epidemiologi
Insidensi LLA adalah 1/60.000 orang per tahun, dengan 75% pasien berusia kurang
dari 15 tahun. Insidensi puncaknya usia 3-5 tahun. LLA lebih banyak ditemukan pada pria
daripada perempuan. Saudara kandung dari pasien LLA mempunyai risiko empat kali lebih
besar untuk berkembang menjadi LLA, sedangkan kembar monozigot dari pasien LLA
mempunyai risiko 20% untuk berkembang menjadi LLA.7
Patogenesis
Kelainan sitogenetik yang sering ditemukan pada kasus dewasa ialah t(9;22)/BCR-
ABL (20-30%) dan t(4;11)/ALL1-AF4 (6%) yang prognosisnya buruk. ABL adalah
nonreceptor tyrosine protein kinase yang secara enzimatik mentransfer molekul fosfat ke
substrat protein sehingga terjadi aktivasi jalur transduksi sinyal yang penting dalam regulasi
proliferasi dan pertumbuhan sel. Mekanisme umum lain dari pembentukan kanker adalah
inaktivasi gen supresor tumor Rb dan p53 yang berperan mengontrol progresi siklus sel.
Kelainan yang lain meliputi delesi, mikrodelesi, dan penyusunan kembali gen yang
melibatkan p16.
Gejala klinis
Penatalaksanaan
Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah dicapai remisi dan jumlah
sel leukimia cukup rendah (105-106), imunoterapi mulai diberikan (menangani cara
pengobatan yang terbaru masih dalam perkembangan). Cara pengobatan berbeda-beda pada
setiap klinik bergantung dari pengalaman, tetapi prinsipnya sama, yaitu dengan pola dasar:
a. Induksi, dimaksudkan untuk mencapai remisi dengan berbagai obat tersebut sampai sel
blas dalam sumsum kurang dari 5%. Dimulai 4-6 minggu setelah diagnosa ditegakkan. Pada
fase ini diberikan terapi kortikosteroid (prednison), vineristin, dan L-asparaginase. Fase
induksi dinyatakan berhasil jika tanda-tanda penyakit berkurang atau tidak ada dan di dalam
sumsum tulang ditemukan jumlah sel muda kurang dari 5%.
b. Konsilidasi, bertujuan agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri lagi. Pada fase
ini, kombinasi pengobatan dilakukan untuk mempertahankan remisis dan mengurangi jumlah
sel-sel leukemia yang beredar dalam tubuh. Secara berkala, dilakukan pemeriksaan darah
lengkap untuk menilai respon sumsum tulang terhadap pengobatan. Jika terjadi supresi
sumsum tulang, maka pengobatan dihentikan sementara atau dosis obat dikurangi.
c. Rumat, untuk mempertahankan masa remisi agar lebih lama, biasanya dengan memberikan
sitostatika setengah dosis biasa.
d. Reinduksi, dimaksudkan untuk mencegah relaps, biasanya dilakukan setiap 3-6 bulan
dengan pemberian obat-obat seperti pad induksi selama 10-14 hari.
e. Mencegah terjadinya leukimia pada susunan saraf pusat diberikan MTX secara intratekal
dan radiasi kranial.
f. Pengobatan imunologik. Bertujuan untuk menghilangkan sel leukemia yang ada di dalam
tubuh agar pasien dapat sembuh sempurna. Pengobatan seluruhnya dihentikan setelah 3 tahun
remisi terus menerus.
Induksi
Sistemik :
a) VCR (vinkristin): 2 mg/m2/minggu, intravena diberikan 6 kali.
b) ADR (adriamisin): 40mg/m2/2 minggu intravena diberikan 3 kali dimulai
pada hari ketiga pengobatan
c) Prednisone 50mg/m2/hari peroral diberikan selama 5 minggu kemudian
tapering off selama 1 minggu.
Radiasi cranial: dosis total 2.400 rad dimulai setelah konsolidasi terakhir
(siklofosfamid)
Konsolidasi
a. MTX: 15 mg/m2/hari intravena diberikan 3 kali dimulai satu minggu setelah
VCR keenam, kemudian dilanjutkan dengan :
b. 6-MP (6-merkaptopurin): 500 mg/m2/hari peroral diberikan 3 kali
c. CPA (siklofosfamid) 800mg/m2/kali diberikan pada akhir minggu kedua dari
konsolidasi
Rumat
Dimulai satu minggu setelah konsolidasi terakhir (CPA) dengan :
a. 6-MP: 65 mg/m2/hari peroral
b. MTX: 20 mg/m2/minggu peroral dibagi dalam 2 dosis (misalnya Senin dan
Kamis)
Reinduksi
Diberikan tiap 3 bulan sejak VCR terakhir. Selama reinduksi obat - obat rumat
dihentikan.
Sistemik :
a. VCR: dosis sama dengan dosis induksi, diberikan 2 kali
b. Prednison dosis sama dengan dosis induksi diberikan 1 minggu penuh dan 1
minggu kemudian tapering off
SSP: MTX intratrakeal, dosis sama dengan profilaksis, diberikan 2 kaliSSP:
MTX intratrakeal, dosis sama dengan profilaksis, diberikan 2 kali
Imunoterapi
BCG diberikan 2 minggu setelah VCR kedua pada reinduksi pertama. Dosis 0,6 ml
intrakutan, diberikan pada 3 tempat masing – masing 0,2 ml. Suntikan BCG
diberikan 3 kali dengan interval 4 minggu. Selama pengobatan ini, obat – obat
rumat diteruskan.
Pengobatan seluruhnya dihentikan setelah 3 tahun remisi terus menerus.
Pungsi sumsum tulang ulangan rutin dilakukan setelah induksi pengobatan (setelah 6
minggu).3,8
Komplikasi
Komplikasi metabolik pada anak dengan LLA dapat disebabkan oleh lisis sel
leukemik akibat kemoterapi atau secara spontan dan komplikasi ini dapat mengancam jiwa
pasien yang memiliki beban sel leukimia yang besar. Terlepasnya komponen intraselular
dapat menyebabkan hiperurisemia, hiperkalsemia, dan hiperfosfatemia dengan hipokalsemia
sekunder. Hidrasi, pemberian alopurinol dan alumunium hidroksida, serta penggunaan
alkalinisasi urin yang tepat dapat mencegah atau memperbaiki komplikasi ini. Infiltrasi
leukemik yang difus pada ginjal juga dapat menimbulkan kegagalan ginjal. Terapi vinkristin
atau siklofossamid dapat mengakibatkan peningkatan hormon antidiuretik, dan pemberian
antibiotika tertentu yang mengandung natrium, seperti tikarsilin atau kabernisilin, dapat
mengakibatkan hipokalemia. Hiperglikemia dapat terjadi pada 10 % pasien setelah
pengobatan dengan prednison dan asparaginasi dan memerlukan penggunaan insulin jangka
pendek.
Karena efek mielosupresif dan imunosupresif LLA dan juga kemoterapi, penderita
leukemia lebih rentan terhadap infeksi. Sifat infeksi ini bervariasi dengan pengobatan dan fase
penyakit. Infeksi yang paling awal adalah bakteri, yang dimanifestasikan oleh sepsis,
pneumonia, selulitis, dan otitis media. Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli,
Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumonia, Staphylococcus epidrmidis, Proteus mirabilis,
dan Haemophilus influenza adalah organisme yang biasanya menyebabkan septik. Setiap
pasien yang mengalami febris dengan granulositopenia yang berat harus dianggap septik dan
diobati dengan antibiotik spektrum luas. Transfusi granulosit diindikasikan untuk pasien
dengan granulositopenia absolut dan septikemia akibat kuman gram negatif yang berespon
buruk terhadap pengobatan.
Dengan pengguanaan kemoterapi yang intensif dan pemajanan antibiotika atau
hidrokortison yang lama, infeksi jamur yang diseminata oleh Candida atau Aspergillus lebih
sering terjadi, meskipun organisme itu sulit dibiakkan dari bahan darah. CT scan bermanfaat
untuk mengetahui keterlibatan organ viscera. Abses paru, hati, limpa, ginjal, sinus, atau kulit
memberi kesan infeksi jamur. Amfositerin B adalah pengobatan pilihan, dengan 5-
fluorositosin dan rifamisin kadang kala ditambahkan untuk memperkuat efek obat tersebut.
Karena adanya trombositopenia yang disebabkan oleh leukemia atau
pengobatannya, manifestasi perdarahan adalah umum tetapi biasanya terbatas pada kulit dan
membran mukosa. Manifestasi perdarahan pada sistem saraf pusat, paru, atau saluran cerna
jarang terjadi, tetapi dapat mengancam jiwa pasien. Transfusi dengan komponen trommbosit
diberikan untuk episode perdarahan. Koagulopati akibat koagulasi intravaskuler diseminata,
gangguan fungsi hati, atau kemoterapi pada LLA biasanya ringan. Dewasa ini, trombosis vena
perifer atau serebral, atau keduanya, telah dijumpai pada 1 – 3 % anak setelah diinduksi
pengobatan dengan prednison, vinkristin, dan asparaginase. Patogenesis dari komplikasi ini
belum diketahui, tetapi disebabkan oleh status hiperkoagulasi akibat obat. Biasanya, obat
yang dapat menyebabkan gangguan fungsi trombosit, seperti salisilat, harus dihindari oleh
penderita leukemia.
Dengan adanya keberhasilan dalam pengobatan LLA, perhatian sekarang lebih banyak
ditujukan pada efek terapi yang lambat. Profilaksis sistem saraf pusat dan pengobatan
sistemik yang diintensifkan telah mengakibatkan leukoensefalopati, mineralisasi
mikroangiopati, kejang, dan gangguan intelektual pada beberapa pasien. Pasien juga memiliki
resiko tinggi untuk menderita keganasan sekunder. Efek lambat lainnya adalah gangguan
pertumbuhan dan disfungsi gonad, tiroid, hati, dan jantung. Kerusakan jantung terutama
terjadi secara tersembunyi, karena gangguan fungsional tidak terlihat sampai beberapa tahun
kemudian. Terdapat juga beberapa pertanyaan mengenai arteri koroner serta insufiensi
miokard dini. Sedikit informasi yang didapat tentang efek teratogenik dan muagenik pada
terapi antileukemik; meskipun demikian, tidak ada bukti meningkatnya cacat lahir di antara
anak yang dilahirkan oleh orang tua yang penah mendapat pengobatan leukemia.8,9
Pencegahan
Tidak diketahui secara pasti cara-cara pencegahan berbagai tipe leukemia. Karena
kebanyakan penderita leukemia tidak mengetahui faktor risiko mereka masing-masing.
Beberapa tipe dari leukemia mungkin dapat dicegah dengan cara menghindari paparan radiasi
dosis tinggi (bahkan pasca kemoterapi / terapi radiasi), pajanan zat kimia (benzene),
menghindari merokok ataupun paparan asap rokok.
Banyak kasus dari leukemia tidak dapat dicegah. Karena sesungguhnya tidak dapat
diidentifikasi secara nyata dan pasti mengenai penyebabnya. Hanya saja perlu dihindari
faktor-faktor lain (eksogen) yang dapat mencetuskan LLA.7
Prognosis
Prognosis LLA untuk pasien dewasa biasanya lebih buruk dari yang berusia lebih
muda. Untuk yang berusia 15-20 tahun prognosisnya baik dan bisa sembuh dengan
kemoterapi jika disertai faktor prognostik yang baik. Tapi pada pasien LLA dewasa
sebenarnya juga tergantung dari intensifnya terapi yang diberikan, seperti transplantasi
sumsum tulang. Untuk usia > 60 tahun prognosisnya agak buruk, karena survival ratenya
biasanya hanya 10% setelah remisi komplit.10