Anda di halaman 1dari 5

Pemanasan Global Mengancam

Separuh Spesies Tumbuhan di Bumi


PARIS, KOMPAS.com - Lebih dari separuh spesies tumbuhan dan sepertiga spesies hewan
akan menciut tempat hidupnya pada tahun 2080 sebagai akibat pemanasan global. Demikian
dinyatakan dalam sebuah studi yang diumumkan pada Minggu (12/5/2013). Peneliti dari
University of East Anglia yang melakukan studi meneliti 48.786 spesies hewan dan tumbuhan
serta memprediksi bagaimana rentang habitatnya terpengaruh emisi karbon. Menurut riset, 55
persen tumbuhan dan 35 persen hewan akan menciut tempat hidupnya akibat pemanasan
global. Golongan makhluk hidup yang paling terancam adalah amfibi, tumbuhan dan reptil.
Sementara, wilayah yang akan mengalami penurunan keanekaragaman hayati paling besar
adalah Sahara di Afrika, Amerika Tengah, wilayah sekitar Amazon dan Australia. Rachel Warren,
pimpinan penelitian, mengungkapkan bahwa prediksi tersebut sudah menyertakan kemampuan
migrasi hewan untuk tetap bertahan hidup. Namun, studi belum menyertakan faktor bencana
alam terkait perubahan iklim yang bisa turut memperparah keadaan.

Warren mengatakan, gejala lain terkait perubahan iklim, seperti badai, kekeringan, banjir, dan
hama bisa memperbesar dampak. Keanekaragaman tumbuhan yang berkurang juga bisa
memengaruhi ketahanan hewan. "Keragaman hewan sendiri akan mengalami penurunan lebih
dari prediksi kita karena kekurangan makanan akibat berkurangnya keragaman tumbuhan," kata
warren seperti dikutip AFP pada Minggu kemarin. "Akan ada pula dampak tambahan bagi
manusia karena spesies-spesies tersebut penting untuk pemurnian air dan udara, mengontrol
banjir, siklus nutrisi dan dan eko turisme," tambah Warren menjelaskan hasil studi yang
dipublikasikan di jurnal Nature Climate Change ini. Dengan emisi saat ini, ilmuwan memprediksi
bahwa suhu Bumi akan naik sebesar 4 derajat Celsius pada tahun 2100. Berdasarkan skenario
tersebutlah, Warren mengembangkan prediksi yang dipublikasikan di studi ini. Menurut ilmuwan,
bila emisi karbon memuncak pada tahun 2016 dan menurun 3-4 persen per tahun sesudahnya,
suhu Bumi pada tahun 2100 akan meningkat derajat Celsius. Hal ini akan mengurangi dampak
pemanasan global hingga 60 persen. Jika puncak emisi tertunda hingga tahun 2021 dan
dikurangi 6 persen per tahun sesudahnya untuk mencapai target 2 derajat Celsius peningkatan
suhu, usaha pengurangan emisi yang dibutuhkan akan jauh lebih besar. Bila emisi memuncak
pada tahun 2030 dan dikurangi 5 persen per tahun untuk mengurangi pemanasan hingga hanya
2,8 derajat Celsius, dampak berkurangnya rentang habitat akibat pemanasan global bisa
dikurangi hingga 4 persen. Peningkatan suhu Bumi sebenarnya diharapkan bisa dibatasi
hingga hanya 2 derajat Celsius. Namun, negosiasi antarbangsa yang berlangsung lambat dan
emisi yang terus meningkat membuat ilmuwan memprediksi bahwa peningkatan suhu Bumi bisa
mencapai 3-4 derajat Celsius pada akhir abad ini.
PRO KONTRA REKAYASA IKLIM UNTUK
SELAMATKAN BUMI DARI PEMANASAN
GLOBAL

KOMPAS.com -- Isu soal pemanasan global menjadi pekerjaan rumah bagi setiap orang. Tak
terkecuali para ilmuwan yang masih terus mencoba merumuskan cara untuk melawan
perubahan iklim yang terjadi di bumi. Salah satu rencana yang sedang ramai dibicarakan adalah
dengan melakukan rekayasa iklim atau geoengineering. Beberapa ilmuwan percaya bahwa
menembakkan aerosol sulfat ke angkasa akan membantu mendinginkan bumi. Ide ini datang
dari erupsi gunung berapi, di mana ketika terjadi letusan, aerosol yang terbentuk saat erupsi
terlempar ke atmosfer dan menciptakan lapisan reflektif yang menghalangi sinar matahari. Bumi
pun menjadi dingin karena sinar matahari terhalang.

Namun, rekayasa iklim yang disebut dengan injeksi aerosol stratosfer ternyata bisa memicu efek
samping yang tidak menguntungkan bagi bumi. Sebuah laporan terbaru yang dipublikasikan
dalam jurnal Nature Communication, mengungkapkan bahwa peledakan aerosol ke atmosfer
justru akan berdampak buruk, serta menghasilkan efek yang berbeda tergantung di mana
aerosol itu ditembakkan dan bagaimana aerosol menyebar. Riset yang dilakukan oleh peneliti
University of Exeter ini mensimulasikan bagaimana injeksi aerosol ke kedua belahan bumi bisa
mempengaruhi iklim antara tahun 2020 dan 2070. Peneliti juga menemukan adanya konsekuensi
negatif di kedua wilayah tersebut, antara lain kekeringan dan angin topan.

Penyemprotan aerosol di belahan bumi utara, misalnya, akan menyebabkan angin topan yang
lebih sedikit di Atlantik Utara, tetapi akan menimbulkan kekeringan di sub- Sahara Afrika dan
sebagian India. "Baik untuk sebagian daerah tapi akan buruk untuk bagian lain di bumi," kata
Anthony Jones, peneliti yang melakukan studi ini seperti dikutip dari The Verge, Selasa
(14/11/2017). Sementara itu, penyemprotan aerosol di belahan bumi bagian selatan tidak akan
menciptakan kekeringan, tetapi akan menciptakan badai tropis di Atlantik Utara yang berpotensi
merusak. Bukan hanya soal dampak terhadap lingkungan saja, kekhawatiran lain terhadap
rekayasa iklim juga muncul.

Menurut kritikus seperti Pat Mooney dari ETC Group, organisasi lingkungan berbasis Montreal,
geoengineering dapat memicu konflik global antara negara-negara beriklim sedang dan tropis
dengan negara-negara utara yang kaya. Mereka seakan-akan menetapkan suhu dunia,
sementara zona tropis yang lebih miskin dibiarkan menanggung akibatnya. Injeksi aerosol
stratosfer mungkin bukan cara terbaik untuk melawan perubahan iklim, meski peneliti terus
mematangkan dan bereskperimen dengan metode ini. Namun, metode ini merupakan ide yang
menarik dan bisa menjadi opsi menangkal perubahan iklim. Hanya saja penting untuk
memikirkan risiko potensial dan konsekuensi yang tidak merata akibat dari rencana tersebut.

Pemanasan Global, 3 Kota Besar Dunia Bisa


Tenggelam

KOMPAS.com — Sebagian dari luas kota New York, Shanghai, dan Jakarta bisa hilang di bawah
gelombang dan sekitar 100 juta penduduk diperkirakan jatuh miskin. Demikian laporan dari
pertemuan para menteri lingkungan, Senin (9/11/2015), di Paris, Perancis, menjelang Pertemuan
Para Pihak pada Konferensi Perubahan Iklim PBB di Paris, 30 November-11 Desember. Jika
pemanasan global terus pada lintasan sekarang, akan terjadi kenaikan 4 derajat celsius.
Permukaan laut bakal naik hingga merendam daratan yang dihuni lebih dari 600 juta orang,
menurut survei Climate Central, kelompok riset yang berpusat di Amerika Serikat. Kenaikan
permukaan laut paling telak memukul Tiongkok, dengan 145 juta warga yang hidup di daerah
pesisir.
Menurut laporan itu, urutan berdasarkan jumlah warga terancam adalah India, Banglades,
Vietnam, Indonesia, Jepang, AS, Filipina Mesir, Brasil, Thailand, Myanmar, dan Belanda.
Sepuluh megakota dunia yang terancam, antara lain, adalah Shanghai, Hongkong, Kalkutta,
Mumbai, Dhaka, Jakarta, dan Hanoi. Pemanasan 4 derajat celsius bisa menyebabkan
terendamnya daerah yang dihuni lebih dari setengah penduduk Shanghai, Mumbai, dan Hanoi.
Bahkan, jika Pertemuan Para Pihak Ke-21 (COP-21) Lembaga Konvensi Kerangka Kerja PBB
untuk Perubahan Iklim mencapai kesepakatan membatasi kenaikan suhu hingga 2 derajat
celsius dibandingkan era pra-Revolusi Industri, rumah yang dihuni sekitar 280 juta orang akan
terendam air laut. Sebuah kajian yang diterbitkan Bank Dunia, Minggu (8/11/2015) malam,
menyebutkan, akan ada "tambahan lebih dari 100 juta orang yang jatuh miskin sebelum tahun
2030". Itu terjadi jika tak diambil tindakan mengerem perubahan iklim. Menteri Luar Negeri
Perancis Laurent Fabius, tuan rumah COP-21, mengeluarkan peringatan pada pertemuan para
menteri dari 70 negara saat pertemuan persiapan negosiasi akhir. "Kehidupan di planet kita
sendiri yang jadi taruhan," ujar Fabius kepada wartawan. Karena itu, pencapaian tujuan PBB
membatasi kenaikan 2 derajat celsius amat mendesak.

Bagaimana Pemanasan Global Memicu El


Nino yang Lebih Ekstrem?

KOMPAS.com — Sering dikatakan bahwa pemanasan global membuat intensitas El Nino lebih
ekstrem. Namun, mana buktinya? Catatan Badan Administrasi Atmosfer dan Kelautan Amerika
Serikat (NOAA) bisa memberi sedikit petunjuk. Dalam 65 tahun terakhir, telah terjadi 5 El Nino
yang berintensitas kuat, atau dengan anomali suhu lebih dari 1,5 derajat celsius. Terjadinya El
Nino kuat memang terkait dengan banyak faktor, termasuk aktivitas matahari. El Nino kuat
biasanya akan terjadi ketika aktivitas matahari berada pada level minimum

Namun, data NOAA menunjukkan bahwa anomali suhu muka laut pada periode El Nino kuat pun
semakin meningkat, menunjukkan adanya sebab baru. Dalam peristiwa El Nino tahun
1957/1958, anomali suhu tertinggi yang terukur adalah sekitar 1,75 derajat celsius, dan pada
tahun 1965/1966 sekitar 1,8 derajat celsius. Memasuki tahun 1980-an, anomali suhu pada
periode El Nino kuat untuk kali pertama lebih dari 2 derajat celsius. Pada kejadian El Nino tahun
1997/1998, anomali suhunya mencapai 2,3 derajat celsius.
Edvin Aldrian, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG) mengatakan bahwa aktivitas matahari saja belum mampu memberi jawaban
yang memuaskan. "Itu menunjukkan adanya faktor antropogenik," kata Edvin. Pemanasan global
Edvin mengungkapkan, sulit untuk menerangkan secara gamblang pengaruh tingginya emisi gas
rumah kaca, pemanasan suhu Bumi, dan semakin ekstremnya El Nino. "Melihat fenomena yang
terjadi, sebabnya mengarah ke sana," kata Edvin ketika ditemui Kompas.com pada Selasa
(4/8/2015). El Nino pada dasarnya dipicu oleh pemanasan di wilayah Pasifik. Panas cenderung
terkumpul di bagian barat karena faktor arah gerak Bumi. Kecenderungan panas terkumpul di
satu titik memicu perbedaan panas antara bagian barat dan timur Pasifik, dalam hal ini wilayah
Peru di Amerika Selatan dan utara Papua. Sederhananya, perbedaan panas yang terlalu besar
akan memunculkan El Nino. Jika bicara lautan, hal ini berarti adanya air laut dari wilayah panas
yang bergerak jauh ke wilayah yang lebih dingin. Jika emisi gas rumah kaca tinggi, Pasifik akan
semakin terpanaskan. "Semakin panas, maka akan semakin mudah El Nino terjadi," kata Edvin.
Anomalinya juga akan semakin besar. Data dari sejumlah lembaga dunia, seperti Environmental
Protection Agency (EPA) di Amerika Serikat, memang menunjukkan bahwa emisi gas rumah
kaca semakin meningkat. Emisi dari bahan bakar fosil, misalnya, meningkat dari sekitar 2.000
teragram karbon dioksida pada tahun 1900 menjadi lebih dari 3.000 teragram karbon dioksida.

Anda mungkin juga menyukai