Bahan Presentasi Perpajakan
Bahan Presentasi Perpajakan
Bahan Presentasi Perpajakan
PENGANTAR :
PPH 22
• Pajak merupakan saka guru ekonomi sebuah negara. Dengan pajak, negara dapat
menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan demi kemaslahatan publik. Tanpa
pajak, bisa dipastikan keuangan negara defisit dan perkembangan negara tersendat-
sendat. Banyak kasus, ketika banyak warga negara yang tidak taat pajak atau ada indikasi
penggelapan pajak dalam waktu yang lama, kondisi keuangan negara mengalami
penurunan.
• Inilah yang mendorong Pemerintah untuk bekerja keras dalam meningkatkan dan
menjaga pendapatan negara dari sektor pajak. Salah satu kebijakan Pemerintah yang
populer belakangan ini adalah Tax Amnesty
Banyaknya Wajib Pajak yang tidak taat aturan dalam membayar pajak membuat Pemerintah
berusaha keras agar Negara tidak dirugikan. Bahkan, kabarnya sekitar 56% dari total simpanan
di perbankan Singapura adalah harta kekayaan Warga Negara Indonesia (WNI). Tentu saja ini
merupakan potensi pendapatan pajak yang masif. Persoalan itulah yang kemudian mendorong
Pemerintah mengeluarkan kebijakan Tax Amnesty atau pengampunan pajak.
Dari sekian jenis pajak yang tak dibayarkan sepenuhnya, tak menutup kemungkinan Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah salah satunya. PPh Pasal 22 merupakan pajak penghasilan
yang dibebankan pada badan usaha tertentu, baik milik Pemerintah (BUMN) maupun swasta,
yang melakukan kegiatan perdagangan terkait dengan ekspor, impor, ataupun re-impor. Tarif
untuk pajak jenis ini bervariasi dan bergantung dari pemungut serta objek dan jenis transaksinya.
BAHAN PRESENTASI
Menurut UU Pajak Penghasilan (PPh) Nomor 36 tahun 2008, Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh
Pasal 22) adalah bentuk pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukan satu pihak
terhadap Wajib Pajak dan berkaitan dengan kegiatan perdagangan barang. Mengingat
sangat bervariasinya obyek, pemungut, dan bahkan tarifnya, ketentuan PPh Pasal 22 relatif lebih
rumit dibandingkan dengan PPh lainnya, seperti PPh 21 atau pun PPh 23. Pada umumnya, PPh
Pasal 22 dikenakan terhadap perdagangan barang yang dianggap ‘menguntungkan’, sehingga
baik penjual maupun pembelinya dapat menerima keuntungan dari perdagangan tersebut. Karena
itulah, PPh Pasal 22 dapat dikenakan baik saat penjualan maupun pembelian.
PPh Pasal 22 atau Pajak Penghasilan Pasal 22 dikenakan kepada badan-badan usaha tertentu,
baik milik pemerintah maupun swasta yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor dan
re-impor. Melalui penerbitan peraturan No. 90/PMK.03/2015, pemerintah melebarkan badan-
badan yang berhak memungut PPh Pasal 22 yaitu menjadi wajib pajak badan yang melakukan
penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Penjelasan Detail PPh Pasal 22 dan Perbedaannya dengan Pph Lain
Berdasarkan Undang-Undang, PPh tak hanya Pph Pasal 22 saja, tetapi juga ada PPh 21
dan Pph 23. PPh Pasal 22 dikenakan kepada badan-badan usaha tertentu, baik milik
Pemerintah maupun swasta, yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor, dan
re-impor.
Bedanya dengan PPh lain, objek pajak pada PPh 22 sangat bervariasi, termasuk juga
dengan objek kena pajaknya yang beragam. Sementara untuk PPh Pasal 21, yang menjadi
objek pajaknya adalah gaji, honorarium, upah, ataupun tunjangan dan penerimaan apa
pun yang terkait dengan jabatan atau pemberian jasa. Sementara pada PPh Pasal 23,
objek pajaknya adalah modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan selain yang
terkena potongan PPh Pasal 21.
Landasan hukum PPh Pasal 22 adalah UU No. 36 Tahun 2008. Undang-undang menyebutkan
objek pajak PPh Pasal 22 adalah barang yang dianggap “menguntungkan”. Menguntungkan di
sini maksudnya adalah baik penjual maupun pembeli sama-sama bisa mengambil keuntungan
dari transaksi perdagangan tersebut. Secara spesifik, subjek pajak PPh Pasal 22 meliputi Badan
Usaha (industri semen, kertas, baja, otomotif, dan farmasi), Agen Tunggal Pemegang Merek
(ATPM), produsen atau importir bahan bakar minyak, badan usaha yang bergerak dalam bidang
usaha industri baja, dan pedagang pengumpul (pengumpul hasil hutan, perkebunan, pertanian,
dsb).
Selain itu, penjualan barang mewah, seperti pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari
Rp20.000.000.000, penjualan kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari
Rp10.000.000.000, dan penjualan rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga
pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000, juga dikenakan PPh Pasal 22 ini.
Yang berwenang menjadi pemungut PPh Pasal 22 adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
(DJBC) dan Bank Devisa yang mengurusi pemungutan PPh Pasal 22 untuk objek pajak terkait
impor serta Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Dan Bendahara Pemerintah yang melakukan
pemungutan PPh Pasal 22 pada Pemerintah, baik pusat maupun daerah, instansi, serta lembaga
negara lainnya, terkait dengan pembayaran serta pembelian barang. Dari penjelasan tersebut, bisa
diketahui bahwa PPh Pasal 22 memiliki subjek dan objek pajak yang beragam yang telah
ditentukan Pemerintah sebagaimana dalam penjelasan tadi.
Mengingat bervariasinya objek pajak PPh Pasal 22, perlu dipahami secara mendalam penentuan
tarif dan besaran tarifnya. Berikut adalah besaran tarif serta penghitungan tarif PPh Pasal 22.
1. Untuk Impor
Jika menggunakan Angka Pengenal Importir (API), tarif yang dikenakan adalah 2,5% x nilai
impor. Sementara untuk non-API, tarifnya sama dengan 7,5% x nilai impor dan untuk impor
yang tidak dikuasai dikenakan tarif 7,5% x harga jual lelang.
Jika pembelian barang dilakukan Bendahara Pemerintah, DJPB, dan BUMN/BUMD, tarif yang
dikenakan adalah 1,5% x harga pembelian belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
tidak final.
Sebagaimana ditetapkan lewat Keputusan Direktur Jenderal Pajak, barang yang kena Pajak PPh
Pasal 22 meliputi: semen (tarif 0,25% x DPP PPN), kertas (tarif 0,1% x DPP PPN), produk baja
(0,3% x DPP PPN), dan produk otomotif (0,45% x DPP PPN). Semua tarif tersebut bersifat tidak
final.
Jenis ini juga dikenakan kepada eksportir dan pedagang pengumpul dengan tarif 0,25 % x harga
pembelian dan ini tidak termasuk PPN.
5. Untuk impor kedelai, gandum, dan tepung terigu
Jika menggunakan API, tarif yang dikenakan sebesar 0,5% x nilai impor.
Besarnya lingkup objek pajak yang diatur dalam PPh Pasal 22 menyisakan beberapa
pengecualian terhadap pemungutan PPh Pasal 22, yaitu:
Impor barang-barang yang dibebaskan dari bea masuk termasuk impor yang dilakukan ke
dalam Kawasan Berikat (kawasan tanpa bea masuk hingga barang tersebut dikeluarkan
untuk impor, ekspor atau re-impor) dan Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE).
Pembayaran atas penyerahan barang yang dibebankan pada belanja negara/daerah yang
meliputi jumlah kurang dari Rp2.000.000 (bukan merupakan jumlah yang dipecah-
pecah).
Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-
benda pos, dan telepon.
Ilustrasi Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 22 dan PPN oleh Bendahara Pemerintah
Agar lebih paham, berikut ini ilustrasi besarnya pungutan dan kewajiban pemungut dalam
aplikasi PPh Pasal 22 ini.
Pada 20 Februari 2015, Bendahara membeli 4 (empat) printer dari PT Super Komputindo
(NPWP/NPPKP 01.222.355.5-063.000) dengan harga beli Rp22.000.000 (harga termasuk PPN).
Pemungutan PPh
Pemungutan PPN:
Melakukan pengecekan keabsahan Faktur Pajak yang telah diisi dengan data Wajib Pajak
PT Super Komputerindo.
PPh Pasal 22 diberlakukan pada banyak subjek pajak, baik milik pemerintah maupun swasta,
yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor, dan re-impor. Pemberlakuan bahkan
meluas sampai ke perdagangan barang yang dianggap "menguntungkan’. Sebab PPh Pasal 22
dapat dikenakan saat penjualan ataupun pembelian. Adalah perlu untuk mencermati dan
memahami sepenuhnya segala hal terkait PPh Pasal 22. Dengan begitu, bisa diketahui dengan
pasti apakah badan usaha Anda masuk sebagai subjek pajak. Dan transaksi pembelian yang Anda
atau badan usaha Anda dikategorikan sebagai objek pajak PPh Pasal 22 atau tidak.
P e m b a ya r a n P P h P a s a l 2 2
PPh Pasal 22 adalah cicilan PPh pada tahun berjalan. Maksudnya, pada akhir tahun, cicilan ini
akan diperhitungkan menjadi kredit pajak PPh badan atau PPh orang pribadi.
PPh Pasal 22 yang berbentuk SSE, artinya PPh Pasal 22 tersebut dibayar langsung ke bank
persepsi oleh wajib pajak yang bersangkutan pada saat transaksi. Transaksi yang wajib dibayar
langsung adalah transaksi yang berkaitan dengan impor dan bendahara.
1. PPh Pasal 22 atas impor barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 1)
disetor oleh importir dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak, Cukai dan
Pabean (SSPCP). PPh Pasal 22 atas impor barang yang dipungut oleh DJBC harus disetor
ke bank devisa, atau bank persepsi, atau bendahara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,
dalam jangka waktu 1 (satu) hari setelah pemungutan pajak dan dilaporkan ke KPP
secara mingguan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran pajak
berakhir.
2. PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk
dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22 atas impor harus
dilunasi saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor. Dilaporkan ke KPP
paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.
3. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2)
disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak rekanan ke bank persepsi atau
Kantor Pos pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan
barang. Pemungut menerbitkan bukti pungutan rangkap tiga, yaitu :
c. lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan, dan dilaporkan ke
KPP paling lambat 14 (empat belas ) hari setelah masa pajak berakhir.
4. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 3)
disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual ke bank persepsi atau
Kantor Pos paling lama tanggal 10 sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir. Dilaporkan ke KPP paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.
5. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 4 )
disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual ke bank persepsi atau
Kantor Pos paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan
menggunakan formulir SSP dan menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua
puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
6. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 5, dan 7 ) dan hasil penjualan barang sangat mewah (Lihat Pemungut dan Objek
PPh Pasal 22 butir 8) disetor oleh pemungut atas nama wajib pajak ke bank persepsi atau
Kantor Pos paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan
menggunakan formulir SSP. Pemungut menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat
20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
7. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 6) disetor oleh pemungut ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lama tanggal
10(sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Pemungut wajib menerbitkan
bukti pemungutan PPh Ps. 22 rangkap 3 yaitu:
b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak;