Anda di halaman 1dari 18

Kategori Sosial (In-Group dan Out-Group) dengan Efek Bystander

Mahasiswi Angkatan 2017 Fakultas Psikologi

Abstrak
Banyak dijumpai kejadian yang tidak mengenakkan terjadi di sekitar kita. Akan tetapi
sering kali kita hanya menonton atau bahkan membiarkannya. Tidak ada keinginan untuk
menolong. Salah satunya, dikarenakan adanya perbedaan kategori sosial antara penolong
dengan korban. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan
kategori sosial (in-group dan out-group) dengan efek bystander mahasiswi Angkatan 2017
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kuantitatif dengan metode eksperimen, dimana ada dua video yang berisi korban dengan
etnis jawa dan video lainnya, korban dengan etnis cina. Partisipan dalam penelitian ini
sebanyak 46 mahasiswi Fakultas Psikologi UNAIR dari etnis jawa, dimana dibagi menjadi 2
kelompok sama rata, yaitu 23 mahasiswi di kelompok eksperimen dan 23 mahasiswi
lainnya di kelompok kontrol. Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa adanya kategori
sosial dengan efek bystander yang dilakukan oleh mahasiswi 2017 Fakultas Psikologi
Universitas Airlangga dengan effect size sebesar 0,995 atau masuk dalam kategori besar.
Kata kunci: kategori sosial, efek bystander, mahasiswi

Abstract
A lot of unfortunate things happen around us. But we often just watch or even let it
go. There is no desire to help. One of the reason is, because of the difference of social
categorization between helper and victim. The purpose of this study is to find out whether
there is a social categorization (in-group and out-group) with the effect of bystander female
student of 2017 Faculty of Psychology, Airlangga University. This study used quantitative
approach with experimental method, where there are two videos containing victims with
ethnic Java (Javanese) and other videos, victims with ethnic Chinese. Participants in this
study were 46 female students of the Faculty of Psychology UNAIR from ethnic Java, which
was divided into 2 groups equally, 23 female students in the experimental group and 23
other female students in the control group. The result of this research proves that there is
social categorization with bystander effect which is done by student of 2017 Faculty of
Psychology Universitas Airlangga, with effect size of 0.995 or included in big category.
Keywords: social categorization, bystander effect, female students

PENDAHULUAN
PREFACE
Kita mungkin masih ingat dengan kasus Angeline di tahun 2015. Angeline merupakan
seorang gadis cantik korban pembunuhan sadis di rumahnya sendiri. Angeline yang tinggal
dirumah bersama banyak pekerja rumah tangga Margriet (ibu angkat Angeline), namun
pekerja rumah tangga tersebut hanya diam mendengarkan tangisan Angeline yang disiksa
oleh Margriet dan tidak berani menegur majikannya. Seperti yang diberitakan oleh
Liputan6.com (Divianta, 2015), salah satu saksi menyatakan bahwa dia melihat Angeline
menangis dan diseret ke dalam kamar. Namun, saksi hanya pulang dari rumah Margriet
tanpa berpamitan atau berniat menolong Angeline dan dia mengaku masih mendengar
tangisan Angeline saat dia meninggalkan rumah itu.
We may still remember the case of Angeline in 2015. Angeline is a pretty girl the victim of a
sadistic murder in her own home. Angeline who lives at home with domestic workers (atau
pake ‘housemaids’ / ‘house keepers’ pilih yg lebih cocok yg mana rek) and Margriet
(Angeline's adoptive mother), but the housekeepers just quietly listen to Angeline's
tortured cry by Margriet and doesn’t dare to admonish her employer (atau pake ‘boss’). As
reported by Liputan6.com (Divianta, 2015), one witness stated that he saw Angeline crying
and being dragged into the room. However, the witness only came home from Margriet's
house without saying goodbye or intend to help Angeline and she admitted to still hearing
Angeline's cries as she left the house.
Hal tersebut merupakan salah satu kasus yang terjadi di Indonesia dan perlu ditinjau ulang
alasan dari saksi mata yang hanya terdiam melihat kejadian tersebut. Sebenarnya jika
mereka takut, mereka dapat langsung melaporkan tindak kekerasan tersebut ke pihak
berwajib sehingga tidak sampai menyebabkan kematian Angeline. Fenomena diam, dalam
ilmu psikologi, ini dikenal dengan sebutan efek bystander. Orang cenderung tidak
membantu dalam keadaan darurat saat berada bersama orang lain daripada saat sendiri,
semakin besar jumlahnya (orang yang ada), semakin kecil pula kemungkinan untuk
membantu (Hogg & Vaughan, 2011).
This is one of the cases that occurred in Indonesia and need to be reviewed the reason of
eyewitnesses who just silence saw the incident. Actually if they are afraid, they can
immediately report the violent acts to the authorities so as not to cause Angeline's death.
The silent phenomenon, in psychology, is known as the bystander effect. People tend to be
unhelpful in times of emergency while being with others rather than on their own, the
greater the number, the less likely it is to help (Hogg & Vaughan, 2011).
Memutuskan untuk menolong pun tidak langsung dengan mudah dilakukan. Melihat diri
sendiri sebagai bagian dari kita atau kami, berlawanan dengan saya atau aku, memiliki
implikasi penting untuk perilaku para bystander. Oleh karena itu, ketika bystander
dihadapkan dengan situasi yang ambigu, dia akan cepat dipengaruhi oleh kategori yang
sama (Levine, Cassidy, Brazier, & Reicher, 2002). Misalnya, entah itu dari kampung yang
sama, atau dari almamater yang sama, sesama dari satu suku, satu bahasa dan yang
lainnya. Padahal menolong tidak seharusnya memilih-milih karena ada persamaan, akan
tetapi menolong harus dilakukan dengan segera.
Deciding to help isn’t immediately easy to do. Seeing ourselves as part of us or us, contrary
to me or me, (help, aku kok bingung (?)) has important implications for the behavior of the
bystander. Therefore, when the bystander is faced with an ambiguous situation, he or she
will quickly be influenced by the same category (Levine, Cassidy, Brazier, & Reicher, 2002).
For example, whether it's from the same village, or from the same alma mater (atau pake
‘university’), fellow of one tribe, one language and the other. Though help shouldn’t be
picky because there are similarities, but help must be done immediately.
Sehingga dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa salah satu penyebab dari bystander
adalah adanya bias persepsi yang dilakukan oleh si penolong ketika dihadapkan pada
situasi ambigu. Pada saat si penolong dihadapkan pada suatu kondisi yang ambigu,
kebanyak bias persepsi yang dilakukan si penolong adalah in-group bias atau sering
disebut dengan in-group favoritism. Adanya in-group favoritism tersebut si penolong
cenderung tertarik menolong orang lain yang mempunyai kesamaan dengan dirinya.
Fenomena ini dijelaskan dalam sebuah penelitian yang menyatakan bahwa seseorang
mengembangkan identitas berdasarkan kelompok sosial mana ia berada. Penelitian juga
menunjukkan hanya dengan sekadar menyebutkan kepada seseorang bahwa ia merupakan
bagian dari kelompok tertentu (in-group favoritism) akan memengaruhi penilainnya
terhadap kelompok lain (out-group derogation). Jika individu berasal dari satu kategori (in-
group) akan lebih cenderung menolong idividu yang berasal dari kategori yang sama
karena merasa memiliki kesamaan identitas dan akan lebih cenderung pasif dalam
menolong orang dari luar kategori (out-group).
So from the description above, it can be seen that one of the causes of bystander is the
existence of perception bias done by the helper when faced with ambiguous situations.
When the helper is faced with an ambiguous condition, most of the auxiliaries' perceptions
of bias are in-group biases or often called in-group favoritism. The presence of in-group
favoritism the helper tends to be interested in helping others who have similarities with
him. This phenomenon is explained in a study that states that a person develops an identity
based on which social group he belongs to. Research also shows that simply by mentioning
to someone that it is part of a particular group (in-group favoritism) will influence its
assessment of other groups (out-group derogation). If an individual comes from one
category (in-group) will be more likely to help individuals who come from the same
category because they feel they have a common identity and will be more passive in
helping people from outside the category (out-group).
Identifikasi masalah yang peneliti temukan yaitu: (1) Perilaku bystander ada disekitar kita,
(2) Tidak beraninya para bystander mengambil keputusan untuk menolong korban, (3)
Menolong karena ada kesamaan kategori sosial, (4) Tidak menolong karena tidak merasa
adanya hubungan atau kesamaan. Agar lebih fokus, sempurna dan mendalam. Batasan
masalah yang kami ambil adalah pada keputusan bystander untuk ikut campur ketika dia
menemukan suatu hubungan dan tidak ikut campur ketika dia tidak melihat adanya
kesamaan.
Identify the problem that the researcher finds: (1) The behavior of the bystander is around
us, (2) Don’t dare the bystander to make the decision to help the victim, (3) help because
there are similarities in social category, (4) Not help because they don’t feel any
relationship similarity. To be more focused, perfect and deep. The limitation of the problem
we took was on the bystander's decision to interfere when they found a relationship and
didn’t interfere when they didn’t see any similarities.
Hipotesis penelitian ini yaitu: H0: Tidak adanya kecenderungan efek bystander akan
meningkat apabila latar belakang korban adalah out-group. H1: Kecenderungan efek
bystander akan meningkat apabila latar belakang korban adalah out-group.
The hypothesis of this research are: H0: The absence of tendency of the bystander effect
will increase if the victim background is out-group. H1: The tendency of the bystander
effects will increase if the victim's background is out-group.
Maka dari itu, peneliti memutuskan untuk melakukan eksperimen dengan tujuan penelitian
yaitu untuk mengetahui apakah ada hubungan kategori sosial (in-group dan out-group)
dengan efek bystander pada mahasiswi angkatan 2017 Fakultas Psikologi Universitas
Airlangga.
Therefore, the researchers decided to conduct experiments with the purpose of research is
to determine whether there is a relationship in social categorization (in-group and out-
group) with the bystander effect on student class of 2017 Faculty of Psychology Airlangga
University.

Efek Bystander
The Bystander Effect
Efek bystander merupakan pengaruh kehadiran orang lain akan mengurangi kemungkinan
setiap orang akan memberi bantuan pada orang yang sedang mengalami kesulitan (Taylor,
Peplau, & Sears, 2009). Perilaku Bystander biasanya akan muncul pada situasi
yangterdapat banyak kerumunan. Salah satu kasus yang tepat dalam menggambarkan
perilaku Bystander adalah kasus pembunuhan yang dialami oleh seorang wanita muda
bernama Kitty Genovese dimana saat kejadiian pembunuhan berlangsung terdapat begitu
banyak orang yang mendengarkan jeritan Kitty tetapi tidak ada seorangpun yang
menghubungi polisi. Para pengamat sosial menginterpretasikan hal tersebut sebagai tanda
merosotnya moral dan alienasi dalam masyarakat. Namun, hal tersebut dibantah oleh
seorang psikolog sosial. Psikolog tersebut mengemukakan bahwa hal tersebut dipengaruhi
oleh kehadiran penonton yang banyak sehingga menjadi alasan kerumunan tersebut tidak
memberi pertolongan. Orang-orang yang berada dalam kerumunan tersebut mungkin akan
menduga bahwa terdapat orang lain yang menghubungi polisi sehingga turun tangan akan
tanggung jawab pertolongan yang seharusnya diberikan (Sears, Freedman, & Peplau,
1985). Dalam rangka menguji pengaruh kerumunan terhadap tindakan menolong
melakukan suatu studi lapangan di Nu-Way Beverage Center di Suffern, New York. Setting
yang dilakukan yaitu dengan melakukan kerjasama dengan salesman dan dua aktor yang
berperan sebagai penjahat. Perampokan tersebut dilakukan ketika terdapat satu atau
beberapa orang yang berada dalam toko. Ketika salesman berpura-pura mengecek sesuatu
keruang belakang, dua pencuri tersebut masuk dan keluar sambil membawa bahan curian.
Seperti yang sudah diduga, satu orang yang menyaksikan pencurian tersebut lebih
melakukan tindakan menolong seperti menghubungi polisi daripada dua orang atau
kerumunan yang berada dalam toko (Taylor, Peplau, & Sears, 2009).
The bystander effect is the effect that other people's presence will reduce the likelihood
that everyone will help people in trouble (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Bystander
behavior usually appears in a crowded situation. One good case in describing Bystander's
behavior is the murder case experienced by a young woman named Kitty Genovese where
during the murder scene there were so many people listening to Kitty's screams but no one
contacted the police. Social commentators interpret this as a sign of degeneration of morale
and alienation in society. However, it is disputed by a social psychologist. The psychologist
argued that it was influenced by the presence of a large audience that it became the reason
the crowd didn’t give help. The people in the crowd may suspect that there are others who
contact the police to intervene for the responsibilities of help that should be provided
(Sears, Freedman, & Peplau, 1985). In order to test the effect of the crowd on the actions of
conducting a field study at the Nu-Way Beverage Center in Suffern, New York. Setting is
done by doing cooperation with the salesman and two actors who act as criminals. The
robbery is done when there are one or more people who are in store. When the salesman
pretended to check something behind the back room, the two thieves went in and out while
carrying the stolen material. As one might expect, one person who witnessed the theft was
more helpful than calling the police rather than two people or the crowd in the store
(Taylor, Peplau, & Sears, 2009).
Terdapat beberapa faktor penyebeb perilaku efek bystander dalam (Sears, Freedman, &
Peplau, 1985), diantaranya adalah: (1) Penyebaran tanggung jawab dapat terjadi karena
kehadiran orang lain. Bila hanya terdapat satu orang yang menyaksikan suatu tindakan
seperti kriminalitas, maka orang tersebut akan memiliki tanggung jawab penuh untuk
menolong dan akan merasa bersalah dan menyesal karena tidak melakukan suatu tindakan
penyelamatan. Sebaliknya, bila terdapat beberapa orang yang hadir pertolongan akan
dimungkinkan berasal dari banyak orang sehingga tanggung jawab untuk menolong akan
terbagi. (2) Ambiguitas dalam menginterpretasikan situasi. Pada faktor ini, penolong
bahkan merasa tidak yakin apakah situasi-situasi tertentu benar-benar situasi yang darurat
yang membutuhkan suatu pertolongan atau tindakan. Keambiguan dalam
menginterpretasikan situasi ini akan sangat bergantung pada pemaknaan suatu situasi oleh
penolong. (3) Rasa takut dinilai. Bila penolong mengetahui bahwa terdapat orang lain yang
juga mengamati perilakunya, mungkin penolong akan memberikan suatu kesan yang baik.
Sehingga fokus penolong bukan tertuju pada korban, namun pengamat. (4) Kondisi
Lingkungan. Kondisi lingkungan seperti cuaca, ukuran kota dan tingkat kebisingan ternyata
mempengaruhi kesediaan seseorang untuk membantu. Penelitian lainnya menyebutkan
bahwa seseorang akan cenderung banyak membantu pada cuaca yang cerah, siang hari
dibandingkan pada saat cuaca mendung ataupun pada saat malam hari.
There are several contributing factors to the behavior of bystander effects in (Sears,
Freedman, & Peplau, 1985), among which are: (1) Spread of responsibilities can occur due
to the presence of others. If there is only one person who witnesses an act like crime, then
that person will have full responsibility to help and will feel guilty and regret for not doing
any rescue action. On the contrary, if there are some people present the help will be
possible from so many people that the responsibility to help will be divided. (2) Ambiguity
in interpreting the situation. On this factor, the helper is even unsure whether certain
situations are really an emergency situation that requires a relief or action. The ambiguity
in interpreting this situation will depend on the meaning of a situation by the helper. (3)
Fear is judged. If the helper knows that there are others who are also observing his
behavior, perhaps the helper will give a good impression. So the focus of the helper isn’t on
the victim, but the observer. (4) Environmental Conditions. Environmental conditions such
as weather, city size and noise levels affect a person's willingness to help. Other research
suggests that a person will tend to help a lot in sunny, daytime weather compared to cloudy
days or during the night.
Terdapat beberapa karakteristik perilaku Bystander dalam (Sears, Freedman, & Peplau,
1985) diantaranya adalah: (a) Penolong akan cenderung memberikan pertolongan
terhadap mereka yang memiliki hubungan genetik, misalnya anggota keluarga ataupun
orangyang sudah dikenal sebelumnya, (b) Orang yang ditolong memiliki kecenderungan
memiliki persamaan dengan penolong baik ras, etnis, agama, tempat asal bahkan
penampilan, (c) Bystander beranggapan bahwa orang yang ditolong memang layak untuk
ditolong bukan justru yang menyebabkan kerugian bagi dirinya.
There are several characteristics of Bystander's behavior in (Sears, Freedman, & Peplau,
1985) including: (a) Helpers will tend to help those with genetic connections, such as
family members or familiar persons, (b) the tendency to have similarities with the helper of
race, ethnicity, religion, place of origin and even appearance, (c) Bystander assumes that
the rescued person is worthy to be helped, not precisely what causes harm to him.

Kategori Sosial (In-group dan Out-group)

Social Categorization (In-group and Out-group)

Teori identitas sosial berawal dari karya Henri Tajfel pada kategorisasi sosial, hubungan
antar kelompok, perbandingan sosial, prasangka dan stereotip sering disebut teori
identitas sosial hubungan antar kelompok dan kemudian diorientasikan oleh John Turner
dan rekan-rekannya mengenai peran kategorisasi diri dalam menghasilkan perilaku
kelompok yang terkait dengan konsepsi diri bersama yang disebut teori identitas sosial
dari kelompok, atau teori kategorisasi diri (Hogg & Vaughan, 2011).

There are several characteristics of Bystander's behavior in (Sears, Freedman, & Peplau,
1985) including: (a) Helpers will tend to help those with genetic connections, such as
family members or familiar persons, (b) the tendency to have similarities with a helper of
either race, ethnicity, religion, place of origin and even appearance, (c) Bystander assumes
that the rescued person is worthy to be helped, not precisely what causes harm to him.

Kategori sosial mengacu pada pembagian orang berdasarkan kewarganegaraan (Inggris /


Perancis), ras (Arab / Yahudi), kelas (pekerja / kapitalis), pekerjaan (dokter / tukang las),
seks (pria / wanita), agama (Muslim / Hindu), dan sebagainya. Sementara 'kekuasaan dan
status hubungan 'mengacu pada fakta bahwa beberapa kategori di masyarakat memiliki
kekuatan, prestise, status, dan sebagainya, dari yang lain. Kategori tidak ada dalam isolasi.
Sebuah kategori hanya seperti adanya perbedaan dengan yang lain misalnya, kategori
sosial 'Hitam' berfungsi untuk membedakan antara mereka yang 'Hitam' dan mereka yang
tidak hitam yaitu merupakan kategori kontras. Setiap individu sekaligus merupakan
anggota dari sosial yang berbeda kategori (e.g. a male Buddhist Australian surfer), namun
tidak mungkin menjadi anggota kategori yang saling eksklusif, seperti Protestan dan
Katolik di Irlandia Utara.
Social categorization refers to the division of persons by nationality (English / French),
race (Arab / Jew), class (worker / capitalist), occupation (doctor / welder), sex (male /
female), religion (Muslim / etc). While 'power and relationship status' refers to the fact that
some categories in society have strength, prestige, status, and so on, from others.
Categories don’t exist in isolation. A category is just like a difference with another, for
example, social categorization 'Black' (people with dark skin) serves to distinguish
between those who are 'Black' and those who are ‘Not Black’ is a category of contrast.
(help.. help..) Each individual is at the same time a member of a different social category
(e.g. a male Buddhist Australian surfer), but is unlikely to be a member of a mutually
exclusive category, such as Protestants and Catholics in Northern Ireland.

Tajfel dan Turner (dalam Hogg & Vaughan, 2011) menyatakan, kategorisasi membentuk
identitas sosial yang dapat menjelaskan hubungan antar kelompok. (1) Kategorisasi
menekankan pada hal-hal yang terasa sama di antara anggota kelompok, (2) Kategorisasi
dapat meningkatkan persepsi dalam homogenitas dalam kelompok. Inilah yang
memunculkan streotype dalam kelompok, (3) Dalam melakukan kategorisasi, anggota
kelompok cenderung melakukan polarisasi dua kutub secara ekstrim, kami (ingroup) atau
mereka (outgroup). Sehingga setiap anggota kelompok berusaha mempertahankan
keanggotaannya dengan melakukan konformitas.

Tajfel and Turner (in Hogg & Vaughan, 2011) states, categorization establishes a social
identity that can explain the relationships between groups. (1) Categorization emphasizes
on things that feel the same among group members, (2) Categorization can increase
perceptions in homogeneity in groups. This is what gives rise to streotypes in groups, (3) In
categorization, group members tend to polarize two poles in extreme, we (in-group) or
they (out-group). So every member of the group tried to maintain its membership by doing
conformity.

Keterkaitan Efek Bystander dengan Kategori Sosial (In-group dan Out-group)

Linkage of The Bystander Effect with Social Categorization (In-group and Out-group)
In group dan out group merupakan bentuk kelompok sosial yang mendasari kepentingan
dan seseorang untuk mengidentifikasi dirinya apakah termasuk in group maupun out
group. Sikap in group biasanya menunjukkan adanya faktor simpati dan perasaan yang
dekat diantara aggota-anggota kelompoknya sedangkan sikap outgroup biasanya
menunjukan adanya faktor antipati dengan kelompok lain. Pada dasarya kelompok-
kelompok sosial tersebut sering terjadi di kehidupan masyarakat dalam bentuk
kerumunan, suku budaya, etnis, jabatan dan massa (Narwoko & Suryanto, 2010).

In group and out group is a form of social group that underlies interests and a person to
identify himself whether included in group or out group. In-group attitudes usually indicate
a factor of sympathy and close feelings among members of the group while outgroup
attitudes usually indicate an antipathy factor with other groups. At the base of such social
groups often occur in the life of the community in the form of a crowd, ethnicity, ethnicity,
position and mass (Narwoko & Suryanto, 2010).

Efek Bystander atau sindrom Genovese merupakan suatu fenomena psikologi sosial yang
terjadi ketika individu tidak membantu dalam keadaan darurat, ketika ada saksi yang lain
yang hadir karena mereka percaya bahwa orang lain akan membantu. Efek Bystander
sendiri merupakan suatu sikap seseorang yang ada di lingkungan tersebut yang
mempunyai peran besar dalam mempengaruhi individu tersebut untuk memutuskan
antara menolong atau tidak (Sarwono, 2002).

The effects of Bystander or Genovese syndrome are a social psychological phenomenon


that occurs when individuals are unhelpful in an emergency, when other witnesses are
present because they believe others will help. Bystander effect itself is an attitude of
someone who is in the environment that has a big role in influencing the individual to
decide between help or not (Sarwono, 2002).

Keterkaitan In group dan Out group pada Efek Bystander menurut Clark yaitu kesediaan
individu yang mengevaluasi seseorang secara positif (memiliki daya tarik) akan
mempengaruhi seseorang dalam memberikan bantuan yang menyebabkan keterkaitan
pada Efek Bystander yang akan meningkatkan respon untuk menolong, sehingga dalam hal
ini orang akan cenderung menolong karena adanya sebuah kepentingan atau kemiripan
dengan dirinya (Sarwono, 2002). Oleh karena itu individu pada umumnya lebih bisa
menolong terhadap kelompoknya sendiri (in-group) baru menolong orang lain (out-group),
karena dalam hal tersebut tentunya kelompok memiliki kesamaan dalam diri mereka yang
mengikuti kelompok (Sarwono, 2002).

Linkage of In group and Out group on the bystander effect according to Clack is the
willingness of the individual to evaluate a person positively (having attraction) will
influence a person in providing assistance that causes a linkage to the bystander effect
which will increase the response to help, so in this case people will tend help because of an
interest or resemblance to him (Sarwono, 2002). Therefore, individuals are generally more
able to help their own group (in-group) to help others (out-group), because in that case of
course the group has similarities in those who follow the group (Sarwono, 2002).

METODE
METHODS
Variabel independen dalam penelitian ini adalah kategori sosial (in-group dan out-group),
sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah efek bystander. Subjek penelitian
ini adalah mahasiswi angkatan 2017 Fakultas Psikologi Universitas Airlangga yang berasal
dari etnis Jawa. Dimana kami mendapatkan 46 subjek yang kami bagi menjadi dua, yaitu 23
subjek berada pada kelompok kontrol dan 23 subjek lainnya berada pada kelompok
eksperimen.

The independent variables in this study are social category (in-group and out-group), while
the dependent variable in this study is the effect of bystander. The subject of this research
is student of class of 2017 Faculty of Psychology, Universitas Airlangga, which come from
ethnic Java (Javanese). Where we get the 46 subjects we divide into two, ie 23 subjects are
in the control group and 23 other subjects are in the experimental group.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif. Guna memperoleh


data, peneliti menggunakan metode eksperimen. Dalam mendesain penelitian ini, peneliti
menggunakan desain eksperimen The Posttest-Only Control Group Comparison. Berikut
adalah desain eksperimen dalam penelitian ini. (1) Terdapat 2 kelompok, yaitu kelompok
eksperimen (subjek jawa - video CCTV korban cina) dan kelompok kontrol (subjek jawa -
video CCTV korban jawa), (2) Kemudian masing-masing kelompok, diberikan 1 treatment
yang berbeda. Kelompok eksperimen diperlihatkan video CCTV dengan korban berasal dari
etnis cina. Kelompok kontrol diperlihatkan video CCTV dengan korban berasal dari etnis
jawa. (3) Setelah itu, masing-masing kelompok diberi posttest berupa kuesioner.

In this study, researchers used a quantitative approach. In order to obtain the data, the
researcher uses experimental method. In designing this study, researchers used the
experimental design of The Posttest-Only Control Group Comparison. Here is the
experimental design in this study. (1) There are 2 groups, namely experimental group
(Javanese subject - video CCTV victim chinese) and control group (Javanese subject - video
CCTV victim of Java), (2) Then each group, given 1 different treatment. The experimental
group was shown CCTV videos with victims from ethnic Chinese. The control group was
shown CCTV video with the victims from ethnic Java. (3) After that, each group was given a
post-test in the form of questionnaire.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kuisioner yang akan
diberikan sesudah pemberian treatment. Setelah menonton video, subjek diberikan
kuesioner dalam bentuk poin skala yang berisi tentang (1) tingkat keparahan insiden
tersebut, (2) respon emosional dan (3) peluang ikut terlibat jika berada di situasi yang
sama seperti video.

Data collection techniques in this study using a questionnaire to be given after treatment.
After watching the video, the subject is given a questionnaire in the form of a scale point
that contains (1) the severity of the incident, (2) the emotional response and (3) the chance
to be involved if in the same situation as the video.

Bentuk data yang diperoleh dari penelitian ini adalah skor post-test subjek pada kelompok
kontrol dan kelompok eksperimen. Kedua nilai tersebut bermanfaat untuk menjawab
apakah kategori sosial memiliki pengaruh pada bystander effect. Oleh karenanya, teknik
analisis data setelah mendapatkan skor dari kedua kelompok, hasilnya akan dibandingkan
rata-ratanya menggunakan Independent Sample T-Test.
Form of data obtained from this study is the score of post-test subjects in the control group
and experimental group. Both values are useful for answering whether social categories
have an effect on the bystander effect. Therefore, data analysis techniques after obtaining
scores from both groups, the results will be compared with the average using the
Independent Sample T-Test.

buat ‘is not’ ‘did not’ boleh disingkat ‘isn’t’ ‘didn’t’ apa di jurnal pada ditulis biasa ‘is not’ ‘
did not’

HASIL PENELITIAN

Tabel 1
Tests of Normality Kelompok 1 dan Kelompok 2
Shapiro-Wilk
Statistik Frekuensi Sig.
1 0.935 23 0.142
2 0.968 23 0.645

Pada tabel di atas menunjukan bahwa hasil uji normalitas menunjukkan taraf signifikasi
pada data kelompok 1 dan kelompok 2 sebesar 0.142 dan 0.645. Berdasarkan nilai tersebut
dapat disimpulkan bahwa data kelompok 1 dan kelompok 2 merupakan data yang normal,
karena memiliki taraf signifikasi >0.05 .

Tabel 2

Data Statistik Kelompok 1 dan Kelompok 2

1 2
N Valid 23 23
Missing 0 0
Skewness -0.415 -0.111
Std. Error of Skewness 0.481 0.481
Z-score Skewness -0.862 -0.230
Kurtosis 0.772 -0.396
Std. Error of Kurtosis 0.935 0.935
Z-score Kurtosis 0.825 -0.423

Pada tabel di atas menunjukan bahwa data kelompok 1 dan kelompok 2 adalah valid
karena menunjukkan jumlah 23 yang berarti semua subjek sudah terinput dan data missing
adalah 0, yang berarti tidak ada data yang belum terinput. Untuk nilai z skewness dan z
kurtosis pada data kelompok 1 dan kelompok 2 menunjukan nilai -1,96 sampai dengan +
1,96 sehingga data dari kelompok 1 dan kelompok 2 menunjukan data yang berdistribusi
normal.
Tabel 3
Levene's Test for Equality of Variances

F Sig.
1 0.001 0.002
2 0.044 0.002

Pada tabel hasil uji homogenitas di atas menunjukkan bahwa taraf signifikansi pada
kelompok 1 dan kelompok 2 sebesar 0,002 dan 0,002. Berdasarkan nilai tersebut dapat
disimpulkan bahwa skor varians kelompok 1 dan kelompok 2 tersebut tidak homogen
karena taraf signifikansi <0.05.

Tabel 4
Group Statistics

Kelompok_Penelitian N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Total 1 23 29.61 2.919 0.609


Skor 2 23 25.13 5.659 1.180
Pada tabel di atas menunjukkan Mean dari kedua kelompok berbeda yang artinya ada
perbedaan perilaku bystander pada dua kelompok. Semakin tinggi nilai Mean berarti
semakin tinggi keinginan kelompok untuk ikut terlibat dalam insiden.

Tabel 5
Independent Samples Test

Levene's Test
for Equality of t-test for Equality of Means
Variances

95% Confidence
Sig.
Mean Std. Error Interval of the
F Sig. t df (2-
Difference Difference Difference
tailed)
Lower Upper

Equal 10.655 .002 3.373 44 .002 4.478 1.328 1.802 7.154


variances
assumed

Equal 3.373 32.933 .002 4.478 1.328 1.777 7.180


variances
Total not
Skor assumed

Pada tabel di atas, peneliti menggunakan signifikansi dari Equal variances not assumed
karena data penelitian tidak homogen. Hasil menunjukkan bahwa taraf signifikansi adalah
0.002 (p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa penelitian signifikan sehingga Ho dari
penelitian dapat ditolak dan H1 dapat diterima.

Effect Size
Setelah melakukan perhitungan effect size menggunakan rumus Cohen, didapatkan hasil
effect size penelitian sebesar 0.995005. Hasil ini mendekati 1 yang berarti effect size
penelitian besar.

DISKUSI
Penelitian sebelumnya yang mengangkat judul Self-categorizaton and Bystander Non-
Intervention: Two Experimental Studies, menunjukkan hasil bahwa perilaku bystander
dipengaruhi oleh hubungan kategoris sebagai kunci interaksi dalam sebuah situasi yang
membutuhkan intervensi. Peneliti melakukan dua eksperimen. Eksperimen pertama
menjelaskan kategorisasi sosial dari sesama pelaku bystander yang menyaksikan sebuah
kejahatan. Eksperimen ke dua, menjelaskan hubungan kategorisasi sosial antara pelaku
bystander dan korban (Levine, Cassidy, & Brazier, 2002).

Kesamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah sama-sama mengangkat


tema bagaimana perilaku bystander dan hubungannya dengan kategorisasi sosial. Hal yang
membedakan penelitian adalah pada pemilihan kategorisasi sosial. Jika penelitian
sebelumnya menetapkan kategorisasi sosial in-group dan out-group dari instansi
pendidikan, maka dalam penelitian ini, peneliti menetapkan kategorisasi sosial in-group
dan out-group dari etnis. Etnis yang dipilih sebagai in-group adalah etnis Jawa dan out-
group adalah etnis Cina.

Dalam penelitian ini, peneliti mendapatkan hasil yang menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan kecenderungan efek bystander. Hal ini ditunjukkan dari hasil Mean kedua
kelompok yang berbeda.

Berdasarkan kuesioner yang disebarkan kepada partisipan, ditemukan data tambahan


berupa:

Tabel 6

Kategori pada kuesioner


Skor Total
Kategorisasi Skor Total Skor Total
Respons
Sosial Keparahan Insiden Peluang Terlibat
Emosional

In-group
401 111 169
(Jawa-Jawa)

Out-group
328 95 155
(Jawa-Cina)

Dari temuan ini, peneliti memberikan informasi bahwa etnis dapat memberikan pengaruh
kepada perilaku bystander. Hal ini dapat memberikan manfaat untuk peninjauan kembali
tentang teori umum perilaku bystander yang cenderung berfokus pada bagaimana
bystander dipengaruhi oleh kehadiran orang lain. Pandangan ini tidak mepertimbangkan
individu dalam konteks kolektif.

Kekurangan dari penelitian ini adalah yang pertama, masih kurangnya jumlah sampel dan
penelitian masih terbatas pada satu gender yaitu perempuan, perlu adanya perbandingan
dengan gender laki-laki untuk dapat membuat penelitian memiliki validitas eksternal yang
baik. Kedua, instrumen penelitian yang digunakan masih mengikuti instrumen dari
penelitian sebelumnya. Kedua penelitian memiliki variabel yang berbeda sehingga perlu
adanya penyesuaian instrumen penelitian. Ketiga, penelitian masih hanya terbatas pada
menemukan perbandingan perilaku bystander dengan kategorisasi sosial, belum bisa
menjelaskan faktor penyebab secara mendalam perilaku bystander dan belum memberikan
intervensi bagaimana menurunkan perilaku bystander.

Temuan ini dinilai penting karena perilaku bystander adalah hal yang sering sekali trjadi di
kehidupan sehari-hari. Mengangkat kategorisasi sosial berupa etnis juga adalah hal yang
penting karena Indonesia merupakan negara multikultural dan isu-isu etnisitas adalah
salah satu hal yang sensitif di negara ini.
SIMPULAN
Adanya efek bystander yang dimiliki oleh mahasiswi angkatan 2017 Fakultas Psikologi
UNAIR salah satunya yaitu kategori sosial yang kuat pada diri mereka. Rasa keinginan
menolong hanya karena adanya kesamaan korban dengan dirinyalah yang menjadikan
mereka mampu memilih untuk ikut terlibat dan jika korban tidak ada kesamaan dengan
para subjek penelitian kami, kemungkinan besar mereka enggan menolong.
Setelah penelitian dilakukan, peneliti dapat memberikan saran untuk kedepannya, pada
Program Pembinaan Kebersamaan Mahasiswa Baru kelak untuk memasukkan materi
bystander akan mencegah adanya kategori sosial pada diri mahasiswa-mahasiswa baru.
Sehingga, jika di kehidupan nyata para mahasiswa menjumpai kejadian-kejadian yang
sama atau menyerupai seperti metode dalam penelitian ini, mereka bisa ikut andil
membantu dan tidak menjadi bystander semata.

PUSTAKA ACUAN

Divianta, D. (2015). Kesaksian Mencengangkan di Persidangan Kasus Angeline. Diakses pada


tanggal 9 September 2017 dari http://news.liputan6.com/read/2373929/5-
kesaksian-mencengangkan-di-persidangan-kasus-angeline
Hogg, M., & Vaughan, G. (2011). Social psychology. (Sixth Edition). Harlow: Pearson
Education Limited.
Levine, M., Cassidy, C., Brazier, G., & Reicher, S. (2002). Self-categorization and bystander
non-intervention: two experimental studies. Journal of Applied Social Psychology ,
32 (7), 1452-1463.
Narwoko, J. D., & Suryanto, B. (2010). Sosiologi teks pengantar dan terapan. In B. S.
Narwoko J. D, Soisologi Teks pengantar dan terapan (p. 35). Jakarta: Prenada.
Sears, D. O., Freedman, J. L., & Peplau, L. A. (1985). Psikologi sosial Edisi Kelima. Jakarta:
Erlangga.
Sarwono, S. W. (2002). Psikologi sosial : individu dan teori-teori psikologi sosial . Jakarta :
Balai Pustaka.
Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O. (2009). Psikologi sosial Edisi Kedua Belas. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.

Anda mungkin juga menyukai