Anda di halaman 1dari 25

Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai

Copyright © 2008 www.bppk.depkeu.go.id

MENINDAKLANJUTI KEWENANGAN
DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DIBIDANG
HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HKI)

Oleh :

Sunarno *)

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Kemajuan tehnologi dan transportasi yang sangat pesat mendorong globalisasi Hak
Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut HKI, pen). Suatu barang atau jasa yang hari
ini diproduksi disuatu Negara, pada hari yang lain telah dapat dihadirkan dinegara lain.
Keberadaan barang atau jasa yang bisa dinikmati semua orang ini tentunya setelah
melalui proses yang panjang mulai dari mempelajari konsep-konsep, serangkaian
penelitian, rancang bangun atau pembuatan blueprint, kemudian baru proses produksi
untuk tujuan komersial. Semua kegiatan tersebut akan membutuhkan tenaga, biaya dan
buah pikiran manusia yang sangat besar dan rumit. Atau dengan perkataan lain
kehadiran barang atau jasa tersebut dalam proses produksinya telah menggunakan HKI.
Karena itu timbul adanya kebutuhan untuk melindungi barang atau jasa yang dalam
proses produksinya menggunakan HKI tersebut dari kemungkinan pemalsuan atau
persaingan yang tidak wajar (curang).

Dalam perkembangannya upaya perlindungan HKI menjadi hal yang sangat penting
bagi negara-negara maju , karena barang atau jasa sebagian besar pada awalnya adalah
buatan negara tersebut . Bahkan isu HKI digunakan oleh negara-negara maju untuk
menekan negara-negara berkembang atau negara tertinggal. Bagi negara maju ,
perlindungan HKI sama pentingnya dengan perlindungan kepentingan ekonomi
didalam sistem perdagangan internasional.

1
Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai
Copyright © 2008 www.bppk.depkeu.go.id

Secara subtanstif , pengertian HKI dapat dideskripsikan sebagai hak atas kekayaan yang
timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. Karya – karya dibidang ilmu
pengetahuan , seni, sastra ataupun tehnologi memang dilahirkan atau dihasilkan oleh
manusia melalui kemampuan intelektualnya, melalui daya cipta, rasa dan karsanya.
Karya-karya seperti ini, penting untuk dibedakan dari jenis kekayaan lain yang juga
dapat dimiliki manusia, tetapi tidak tumbuh atau dihasilkan oleh intelektualita manusia.
Misalnya , kekayaan yang diperoleh dari alam seperti tanah dan atau tumbuhan berikut
hak-hak kebendaan lain yang diturunkannya. Dari segi ini , tampaknya mudah
dipahami bagaimana intellectual property memang berbeda dengan real property 1.

Setiap penggunaan secara tidak sah suatu HKI menimbulkan kerugian terhadap
pemegang yang sah. Bahkan beberapa tahun terakhir semakin meningkat kesadaran
bahwa standar perlindungan HKI serta penegakan hukumnya juga mempunyai
implikasi terhadap perkembangan perdagangan internasional. Beberapa alasan dapat
dikemukakan disini adalah :

a. produksi barang industri di banyak Negara industri maju semakin padat penelitian
dan tehnologi.
b. semakin terbukanya lahan investasi di banyak Negara berkembang membuka
kesempatan baru untuk memproduksi barang dengan merek dagang yang sudah
terkenal atau yang sudah dipatenkan di Negara maju dengan cara lisensi atau
usaha patungan.
c. kemajuan tehnologi pembuatan suatu produk , sehingga pembuatan reproduksi
atau barang tiruan menjadi lebih mudah dan murah.

Standar perlindungan dan penegakan hukum HKI yang berbeda-beda antara satu Negara
dengan Negara lain , dapat menimbulkan ketegangan hubungan antar Negara. Kurang

1
Bambang Kesowo, Pengantar Umum Mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Indonesia, Sekretariat
Negara RI, disampaikan pada Pelatihan HAKI yang diselenggarakan bersama Tim Keppres 34 Pusdiklat BC dan
Indonesia Australia Specialized Training Project.

2
Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai
Copyright © 2008 www.bppk.depkeu.go.id

ketatnya penegakan hukum dibidang HKI juga dapat mendorong perdagangan barang
palsu, sehingga merugikan kepentingan pihak produsen pemegang yang sah.

Didalam kerangka perjanjian pendirian WTO, pada bulan April 1994, telah disepakati
Persetujuan Aspek-aspek Perdagangan Hak Atas Kekayaan Intelektual (Agreement on
Trade related Aspect of Intellectual Property Rights selanjutnya disebut TRIP’s
Agreement). Pada pokoknya Trip’s Agreement terdiri dari Ketentuan Umum dan
Prinsip Dasar, Standar Minimum Perlindungan HKI, Penegakan Hukum HKI, Prosedur
Untuk Memperoleh dan Mempertahankan HKI, Pencegahan dan Penyelesaian Sengketa,
Ketentuan Peralihan, Ketentuan Kelembagaan dan Ketentuan Penutup. Perjanjian
TRIP’s pada dasarnya berpedoman pada berbagai konvensi internasional di bidang
HKI yang sudah ada sebelumnya. Ketentuan – ketentuan berbagai konvensi tersebut
dimuat atau dijadikan referensi pada berbagai HAKI yang dilindungi yaitu :

a. Paten (patent);
b. Hak Cipta dan Hak-hak lain yang terkait (Copyrights and related rights);
c. Merek Dagang (Trademarks);
d. Design Produk Industri (Industrial Design);
e. Design Rangkaian Listrik Terpadu ( Layout-design of integrated circuits);
f. Informasi Tertutup (Undisclosed Information); dan
g. Indikasi Geografis (Geographical Indications).

Sebagai konsekuensi keikutsertaan di dalam Badan Perdagangan Dunia (World Trade


Organization), maka Indonesia diwajibkan menyesuaikan semua ketentuan perundang-
undangnya tentang HKI dengan TRIP’s Agreement. Tindakan penyesuaian perundang-
undang nasional di bidang HKI telah dilaksanakan oleh Indonesia, dan ditandai dengan
serangkaian kegiatan sebagai berikut :

1. Dengan Keputusan Presiden RI No. 16 Tahun 1997 telah disahkan ‘ Patent


Cooperation Treaty (PCT) and Regulation Under the PCT’ sebagai hasil

3
Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai
Copyright © 2008 www.bppk.depkeu.go.id

persidangan dan diterima oleh Negara Angggota ‘World Intellectual Property


Organization (WIPO)’ di Washington, pada tanggal 19 Juni 1970, dengan
perubahan terakhir pada tanggal 3 februari 1970.
2. Dengan Keputusan Presiden RI No. 17 Tahun 1997 telah disahkan ‘ Trade Mark
Law Treaty’ sebagai hasil persidangan dan diterima Negara Anggota ‘World
Intellectual Property Organization (WIPO) di Jenewa tanggal 2 Juli 1971 .
3. Dengan Keputusan Presiden RI No. 18 Tahun 1997, telah disahkan ’Berne
Convention for The Protection of Literary and Artistic Works’, tanggal 9
September 1986 dengan perubahan terakhir pada tanggal 2 Juli 1971.
4. Dengan Keputusan Presiden RI No. 19 tahun 1997 telah disahkan ‘WIPO
Copyrights Treaty’, sebagai hasil persidangan dan diterima Negara Anggota
WIPO, pada tanggal 20 Desember 1966 di Jenewa, Swiss.
5. Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek sebagai pengganti UU No. 14
Tahun 1997 yo. UU No. 19 Tahun 1992.
6. Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta sebagai pengganti UU No.
12 Tahun 1997 yo. UU No. No. 6 Tahun 1982.
7. Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten sebagai pengganti dari UU No.
13 Tahun 1997 yo. UU No. 6 Tahun 1989.
8. Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.
9. Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri.
10. Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
11. Sebagai pelaksanaan dari Bagian 4 TRIPs Agreement tentang persayaratan khusus
yang terkait dengan tindakan di tapal batas Negara, maka ketentuan ini kemudian
diadopsi didalam Bagian Kedua, Bab X UU No. 10 tahun 1995 tentang
Kepabeanan yang telah diubah atau ditambah dengan UU No. 17 Tahun 2006
(selanjutnya disebut UU Kepabeanan ,pen) , yang mengatur tentang pengendalian
impor dan ekspor barang hasil pelanggaran hak atas kekayaan intelektual.

Penegakan hukum yang menyangkut HKI di Indonesia melibatkan beberapa intansi


pemerintah yaitu kepolisian, kejaksaan, badan peradilan, Departemen Kehakiman dan

4
Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai
Copyright © 2008 www.bppk.depkeu.go.id

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Kesiapan aparat penegak hukum dibidang HKI
sangat ditentukan oleh pengetahuan dan kecakapan mereka melaksanakan segala
ketentuan perundang-undangan HKI . Tentu saja Negara harus menciptakan ketentuan
perundang-undangan HKI yang memadai untuk dapat dijadikan dasar menjalankan
segala kewenangan didalam penegakan hukum HKI oleh Pejabat Pemerintah.
Pertanyaannya adalah, sudahkan ketentuan perundang-undangan kepabeanan kita
sudah mengatur secara lengkap tentang HKI sehingga memudahkan para petugas Bea
dan Cukai didalam menjalankan kewenangannya ?

2. Pokok permasalahan

Sampai dengan saat ini, kurang lebih sepuluh tahun sejak diberlakukannya UU
Kepabeanan pada tahun 1995, belum pernah ada permintaan yang diajukan oleh
pemegang HKI untuk menangguhkan pengeluaran barang impor atau barang ekspor dari
Kawasan Pabean yang diduga hasil pelanggaran ketentuan HKI. Padahal hal tersebut
dimungkinkan berdasarkan pasal 54 UU Kepabeanan2. Kemungkinan pertama adalah,
memang tidak pernah ada kasus kegiatan impor atau ekspor yang secara langsung
merugikan pemilik atau pemegang hak atas HKI di Indonesia. Kemungkinan yang lain
adalah beratnya persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemilik atau pemegang hak .
Pasal 55 UU UU Kepabeanan mensyaratkan agar didalam mengajukan permintaan
penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor yang dilakukan pihak lain , pemilik
atau pemegang hak atas HKI harus mempertaruhkan jaminan. Jaminan ini
dimaksudkan untuk melindungi importir / eksportir dari kerugian yang tidak perlu. Ini
berarti bahwa biaya yang dikeluarkan oleh pemilik atau pemegang hak dalam rangka
mempertahankan haknya adalah sangat besar.

2
Pasal ini diadopsi dari Article 51 Trip’s Agreement yang berbunyi : ‘Members shall, in conformity with
provisions below, adopt procedures to anable a right holder, who has valid grounds for suspecting that the
importation of counterfeit trade mark or pirated copy right goods may take place, to lodge an application in writing
with competent authorities , administrative or judicial, for the suspension by customs authorities of the release into
free circulationof such goods. Members may anable such application to be made in respect of goods which involve
other infringements of intellectual property rights, provided that the requirements of this Section are met.
Members may also provide for corresponding procedures concerning the suspension by the customs authorities of
the release of infringing goods destined for exportation form their territories’.

5
Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai
Copyright © 2008 www.bppk.depkeu.go.id

Menyimak hal-hal tersebut diatas , maka sangat dimungkinkan bahwa dimasa datang
permintaan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor dari Kawasan Pabean
yang diprakarsai oleh pemilik atau pemegang HKI mungkin tidak pernah ada ataupun
kalau ada mungkin jumlahnya sangat sedikit, dan itupun dilakukan jika kerugian
pemegang hak relatif sangat besar. Karena itu aktifitas penegakan hukum yang
menyangkut kegiatan impor atau ekspor barang yang mengandung pelanggaran HKI ,
akan lebih banyak bertumpu pada peran aktif Pejabat Bea dan Cukai. Hal ini
dimungkinkan , sesuai pasal 62 UU Kepabeanan yang selengkapnya berbunyi :
“ Tindakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor dapat pula dilakukan
karena jabatan oleh Pejabat Bea dan Cukai apabila terdapat bukti yang cukup bahwa
barang tersebut merupakan atau berasal dari hasil pelanggaran merek atau hak cipta”.
Kewenangan karena jabatan (ex-officio) dibidang HKI sebagaimana diatur dalam pasal
62 UU Kepabeanan hanya ditulis secara singkat dan tentunya masih memerlukan
ketentuan pelaksanaan. Pasal 64 ayat (2) UU Kepabeanan menyebutkan bahwa ,
ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan pasal 54 sampai dengan 63 ,
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Sayangnya sampai dengan saat ini ,
dalam kurun sepuluh tahun sejak diberlakukannya UU Kepabeanan, peraturan
pemerintah dimaksud belum pernah ada. Juga tidak ada ketentuan pelaksanaan di
tingkat dibawahnya yang mengatur pelaksanaan dari pasal 62 dimaksud.

Permasalahan yang timbul karena sedikitnya ketentuan yang diatur didalam UU


Kepabeanan yang berlaku di Indonesia dapat diindentifikasi sebagai berikut :

1. Tindakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor barang yang


diduga melanggar HKI didasarkan pada bukti yang cukup. Apa kriteria ‘bukti
yang cukup’, masih harus dijabarkan lebih lanjut ?.
2. Apa bentuk tindakan penangguhan yang dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai ?
3. Apakah jangka waktu penangguhan oleh Pejabat Pabean harus dibatasi ?

6
Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai
Copyright © 2008 www.bppk.depkeu.go.id

4. Apakah mporter atau eksportir barang impor atau ekspor yang diduga melanggar
HKI dapat mengajukan keberatan atas tindakan Pejabat Bea dan Cukai ?.
5. Bagaimana jika tindakan karena jabatan dari Pejabat Bea dan Cukai itu keliru ?
Apakah importir atau eksportir dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai ?

3. Metodologi

Untuk menyusun naskah ini , penulis menggunakan 2 (dua) metode penelitian , sebagai
berikut :

a. penelitian kepustakaan , yaitu dengan melakukan kutipan-kutipan dan kajian-


kajian terhadap materi-materi yang disajikan oleh para nara sumber , serta
ketentuan HAKI yang berlaku secara internasional maupun nasional.
b. penelitian lapangan , dengan melakukan kegiatan pengumpulan data pelangaran
impor dan ekspor barang yang mengandung HAKI dan wawancara dengan Pejabat
Bea dan Cukai yang bertugas di Subdirektorat Pengawasan Barang Larangan dan
Pembatasan, Direktorat Pencegahan dan Penyidikan, Kantor Pusat Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai.

Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian kepustakaan dan penelitian


lapangan diperkirakan memakan waktu 3 (tiga) minggu.

4. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran yang akan disajikan didalam karya ilmiah ini , penulis
membagi materi penyajian didalam bab dan sub bab sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan
1. Latar belakang

7
Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai
Copyright © 2008 www.bppk.depkeu.go.id

2. Pokok masalah
3. Metodologi

Bab II Landasan Konseptual dan Analisa


1. Teori / konsep / kebijakan
2. Analisis dan interpretasi data

Bab III Penutup


1. Kesimpulan
2. Rekomendasi

8
Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai
Copyright © 2008 www.bppk.depkeu.go.id

BAB II
LANDASAN KONSEPTUAL DAN ANALISIS

1. Teori / konsep / kebijakan

Data-data pelanggaran yang menyangkut HKI yang penulis peroleh dari


Direktorat Pencegahan dan Penyidikan, Sub Direktorat Barang Larangan dan
Pembatasan , Kantor Pusat Direktorat jenderal Bea dan Cukai selama 3 (tiga)
tahun terakhir diberbagai Kantor Pelayanan Bea dan Cukai di seluruh Indonesia
adalah sebagai berikut :

a. Pelanggaran Impor

Tahun 2004 : 16 kasus


Tahun 2005 : 7 kasus
Tahun 2006 : 1 kasus

b. Pelanggaran Ekspor

i. Ekspor rokok palsu : 8 kasus


ii. Ekspor DVD : 1 kasus

Dari Seksi HAKI pada Subdirektorat Pengawasan Barang Larangan dan


Pembatasan, Direktorat Pencegahan dan Penyidikan diperoleh penjelasan bahwa
barang impor atau ekspor hasil pelanggaran HKI yang ditegah Pejabat Bea dan
Cukai tersebut didapat sebagai pelaksaanaan kewenangan pasal 82 Undang-
undang Kepabeaan, yaitu kewenangan pemeriksaan fisik atas barang impor dan
ekspor, yang dilakukan baik secara manual atau dengan menggunakan x-ray di
Terminal Bandara. Jenis pelanggaran yang dilakukan Importir atau Eksportir
adalah tidak memberitahukan barang yang sesungguhnya didalam dokumen

9
Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai
Copyright © 2008 www.bppk.depkeu.go.id

Pemberitahuan Pabean. Kebetulan barang yang diimpor atau diekspor tersebut


adalah barang hasil pelanggaran HKI. . Penyelesaian terhadap pelanggaran-
pelanggaran tersebut sebagian besar didasarkan pada pasal 53 ayat (4) UU
Kepabeanan yang menyatakan , barang yang dilarang atau dibatasi untuk diimpor
atau diekspor yang tidak diberitahukan atau diberitahukan secara tidak benar
dinyatakan sebagai barang yang dikuasai Negara sebagaimana dimaksud dalam
pasal 68, kecuali terhadap barang dimaksud ditetapkan lain berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Penyelesaian terhadap barang yang dinyatakan
dikuasai Negara yang merupakan barang larangan atau pembatasan adalah dengan
menyatakan barang milik Negara (pasal 69 UU Kepabeanan). Selanjutnya
berdasarkan kewenangan yang ada berdasarkan pasal 73 UU Kepabeanan ,
Menteri Keuangan telah mengeluarkan keputusan untuk memusnahkan sebagian
besar barang-barang dimaksud , kecuali yang diserahkan kasusnya kepada
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Departemen Kehakiman atau Badan Peradilan.

Jadi dari data yang tersaji , diperoleh fakta pula bahwa Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai tidak pernah menggunakan kewenangan yang diberikan oleh pasal 62
UU Kepabeanan , yaitu penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor
karena jabatan (ex-officio) terhadap barang hasil pelanggaran merek dan hak cipta,
jika terdapat bukti yang cukup. Pelaksanaan pasal ini mengandung arti bahwa
Pejabat Bea dan Cukai harus memperoleh bukti yang cukup terlebih dahulu, baru
kemudian melakukan penangguhan pengeluaran barang dimaksud.

Didalam kenyataannya Pejabat Bea dan Cukai lebih banyak baru mengetahui
bahwa barang dimaksud merupakan barang hasil pelanggaran HKI setelah ia
menjalankan kewenangan berdasarkan pasal 82 UU Kepabeanan , yaitu
pemeriksaan fisik terhadap barang impor atau ekspor.

10
Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai
Copyright © 2008 www.bppk.depkeu.go.id

2. Analisis dan interpretasi data

Mengapa kewenangan aktif (ex-officio) Pejabat Bea dan Cukai


berdasarkan pasal 62 UU Kepabean hampir tidak pernah digunakan ?

Pasal 62 UU Kepabeanan memberikan kewenangan karena jabatan kepada Pejabat


Bea dan Cukai untuk melakukan tindakan penangguhan pengeluaran barang impor
atau ekspor apabila didapat bukti yang cukup bahwa barang tersebut merupakan
atau berasal dari hasil pelanggaran merek atau hak cipta. Ketentuan pelaksanaan
dari pasal ini hingga saat ini belum ada , meskipun dimungkinkan berdasarkan
pasal 64 ayat (2) UU Kepabean, yaitu dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah.
Dengan tidak adanya ketentuan pelaksanaan, dapat mengakibatkan Pejabat Bea
dan Cukai diliputi keraguan atau bahkan gamang untuk menjalankan peran aktif
mereka berdasarkan pasal 62 UU Kepabeanan.

Beberapa hal yang masih memerlukan ketegasan didalam peraturan


pelaksanaannya adalah menyangkut kriteria ‘bukti yang cukup’ dan bagaimana
cara mendapatkannya, bentuk tindakan penangguhan oleh Pejabat Bea dan Cukai,
jangka waktu penangguhan , keberatan atas penanguhan, penyelesaian jika
terdapat tuntutan ganti rugi dari importir atau eksportir akibat kekeliruan tindak
penangguhan pengeluaran barang oleh Pejabat Bea dan Cukai dan kewenangan
Pejabat Bea dan Cukai terhadap penyelesaian barang yang hasil pelanggaran HKI.

Tindakan pelanggaran HKI yang mana yang menjadi kewenangan Pejabat


Bea dan Cukai ?

Pasal 62 tidak merinci secara spesifik jenis-jenis pelanggaran HKI yang menjadi
kewenangan pihak Pabean. Pasal 62 UU no. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
ini diadop dari pasal 58 TRIP’s Agreement, yang termasuk pada Bagian 4 ,

11
Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai
Copyright © 2008 www.bppk.depkeu.go.id

Special Requirements Related to Border Measures. Bagian 4 itu sendiri terdiri dari
pasal 51 sampai dengan pasal 61.

Didalam pasal 51 TRIP’s Agreement disebutkan bahwa Negara Anggota


diwajibkan menyelenggarakan prosedur yang memungkinkan pemegang hak
yang memiliki dasar yang sah bahwa akan terjadi pengimporan barang yang
bermerek dagang palsu (counterfeit trade mark goods) 3 dan barang hasil
pembajakan hak cipta (pirated copyright goods)4, untuk mengajukan permohonan
tertulis kepada pihak yang berwenang, administasi maupun badan peradilan, untuk
menunda dilepaskannya oleh pabean barang-barang tersebut ke dalam arus
perdagangan. Disini peran pihak Pabean hanya bersifat pasif , artinya pihak
Pabean hanya akan menunda pengeluaran barang yang diduga hasil pelanggaran
HAKI berdasarkan perintah administrasi atau badan peradilan.

Pasal 62 UU No. 10 tahun 1995 tentang Kepabean memberikan kewenangan


kepada Pejabat Bea dan Cukai dengan inisiatif sendiri karena jabatan (ex-officio)
dapat dapat menunda sementara waktu pengeluaran barang impor yang berdasar
bukti yang cukup merupakan atau berasal dari pelanggaran merek atau hak cipta 5.
Dengan denikian jika dianut ketentuan TRIP’s Agreement , maka kewenangan
Pejabat Bea dan Cukai hanya meliputi barang yang bermerek dagang palsu

3
Counterfeit trademark goods shall mean any goods, including packaging, bearing without authorization a
trademark which is identical to the trademark validity registered in respect of such goods,or which cannot be
distinguished in its essential aspects from such a trade mark, and which thereby infringes the right of the owner ot
trade mark in question under the law of the country of importation.
4
Pirates copy rights goods shall mean any goods which are copies made without the consent of the right holder or
person duly authorized by him in the country of production and which are made directly or indirectly from an
article where the making of that copy would have contitued in infringement of copyright or a related right under
the law of the country of importation.
5
Pasal ini diadopsi dari pasal 58 Trip’s Agreement yang berbunyi ‘ Where Members require competent
authorities to act upon their own initiative and to suspend the release of goods in respect of which the have
acquired prima facie evidence that an intellectual property rights is being infringed :
a. the competent authorities may at any time seek from the right holder any information that may assist them to
exercices these powers;
b. the importers and the rights holder shall be promptly notified of the suspension.
Members shall only exempt both public authorities and officials form liability to appropriate remedial measures
where actions are taken or intended in good faith.

12
Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai
Copyright © 2008 www.bppk.depkeu.go.id

(counterfeit trade mark good) dan dan barang hasil pembajakan hak cipta
(pirated copy right goods).

Bukti yang cukup.

Didalam pasal 62 UU Kepabeanan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan


bukti yang cukup. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa keberadaan pasal ini
adalah merupakan adopsi sebagian dari pasal 58 TRIP’s Agreement. Didalam
pasal 58 huruf a. dinyatakan bahwa, pihak yang berwenang (Pejabat Pabean, pen)
dapat setiap saat meminta informasi dari pemegang hak yang membantu mereka
melaksanakan kewenangan tersebut6. Tentu saja permintaan informasi ini setelah
dirangkaikan dengan informasi yang lain yang didapat di lapangan , bisa menjadi
suatu alat bukti . Misalnya , nama pemegang hak berbeda dengan nama consigne
(importir/penerima) barang yang ada pada dokumen Manifest, sedangkan
consigne tidak mendapat kuasa untuk itu dari pemegang hak.

Menurut pasal 3 UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, merek yang dilindungi
adalah merek yang terdaftar. Setiap merek yang terdaftar dimuat didalam Daftar
Umum Merek. Juga kepada pemohon perlindungan merek atau kuasanya
diberikan Sertifikat Merek ( pasal 27 ayat 2 UU Merek ). Hal serupa tidak
terdapat didalam ketentuan tentang hak cipta. Tidak terdapat kewajiban
pendaftaran bagi hak cipta . Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau
Pemegang Hak Cipta untuk ‘mengumumkan’ atau memperbanyak Ciptaannya,
yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi
menurut peraturan perundaang-undangan yang berlaku (pasal 2 UU No. 19 Tahun
2002 tentang Hak Cipta). Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang
menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni atau sastra
(pasal 1 butir 3 UU Hak Cipta) Sedangkan yang dimaksud dengan ‘pengumuman’,
adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran

6
Naskah aslinya berbunyi ‘the component authorities may at any time seek from the right holder any information
that may assist them to exercise these powers’.

13
Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai
Copyright © 2008 www.bppk.depkeu.go.id

sutu Ciptaan dengan menggunakan alat apapun, termasuk media internet, atau
melakukan dengan cara apapun sehingga suatu Ciptaan dapat dibaca, didengar,
atau dilihat orang lain (pasal 1 butir 5 UU Hak Cipta). Kemudian didalam pasal 5
UU Hak Cipta disebutkan bahwa , kecuali terbukti sebaliknya , yang dianggap
sebagai Pencipta adalah :
a. orang yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan ; atau
b. orang yang namanya disebut dalam Ciptaan yang diumumkan sebagai
Pencipta pada suatu Ciptaan.

Dengan demikian sumber-sumber informasi yang dapat digunakan oleh Pejabat


Bea daan Cukai untuk kecukupan suatu bukti adanya pelanggaran impor atau
ekspor barang hasil pelanggaran HKI bisa bersumber :

a. dari pemegang hak atas merek berupa Sertifikat Merek dan dari pemegang
Hak Cipta berupa tanda bukti pemerimaan pendaftaran hak cipta (jika
ciptaan didaftarkan) di Departemen Kehakiman atau bukti pengumuman
ciptaan yang bersangkutan.
b. dari Departemen Kehakiman, yaitu melihat Daftar Umum Merek (untuk
merek-merek yang sudah didaftarkan) atau meminta petikan resmi
pendaftaran merek yang tercatat dalam Daftar Umum Merek. Untuk hak
cipta, jika ciptaan didafarkan, dapat dilihat pada Daftar Umum Ciptaan atau
dapat pula diminta petikan resmi daftar umum ciptaan dengan membayar
biaya.
c. informasi dari asosiasi pemilik atau pemegang hak , misalnya, ASPILUKI,
ASIRI , Yayasan Karya Cipta Indonesia dan lain-lain.
d. Informasi dari WCO-EBB (WCO-Electronic Bulletin Board), yang memuat
profil pelanggaran HAKI yang disusun WCO berdasarkan laporan
anggotanya.
e. Profil perusahaan/orang yang pernah melakukan pelanggaran HKI yang
dikumpulkan oleh aparat penegak hukum lain.

14
Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai
Copyright © 2008 www.bppk.depkeu.go.id

f. Informasi yang digali sendiri oleh Pejabat Bea dan Cukai dari pihak – pihak
lainnya maupun dari pengembangan hasil pemeriksaan fisik barang impor
maupun ekspor.

Di Australia , pihak Pabean tidak berwenang untuk menahan barang yang diduga
hasil pelanggaran HKI karena jabatan, baik dipelabuhan maupun dipasar
domestik ( there is no provision for empower Auastralian Customs officers to
undertake Ex-officio seizure action (in action on its own behalf) in the market
place or at the border)7.

Di Amerika Serikat peran aktif karena jabatan (ex-officio) dibidang HKI lebih
dominan dan dilaksanakan oleh Customs and Border Protection (CBP). Disana,
telah dikembangkan suatu prosedure, dimana para pemilik atau pemegang hak
yang mengehendaki agar haknya dilindungi di tapal batas Negara , dapat
melakukan registrasi kepada pihak CBP 8 . Hasil registrasi ini kemudian diolah
dalam suatu database yang lengkap dan handal. Pengawasan lalu lintas barang
impor yang mengandung HKI ini kemudian sepenuhnya didasarkan pada
validnya database ini. Beberapa ciri sistem penegakan hukum HKI oleh CBP
yang membedakannya dengan prosedur adminstrasi kepabeanan lainnya adalah 9:

a. Petugas Customs dilapangan berwenang mutlak untuk menentukan suatu


barang asli atau palsu;
b. CBP tidak mensyaratkan jaminan (bond) untuk melaksanakan fungsi ex –
officio;
c. Sistem data base dikelola secara terpusat namun dapat sangat mudah diakses
oleh petugas dilapangan;

7
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Perlindungan Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual , dikutip dari http.\\
www.beacukai.go.id
8
Dikutip dari htpp.www.\\ cbp.gov
9
Irianto, Okto, Laporan Mengikuti USPTO Global Intellectual Property Academy Enforcement of Intellectual
Property Rights, Alexandria, Virginia, Amerika Serikat, 24-27 Januari 2006.

15
Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai
Copyright © 2008 www.bppk.depkeu.go.id

d. Penegakan hukum oleh CBP hanya dilakukan terhadap merek dan hak cipta
yang telah didaftarkan.

Karena UU Kepabeanan sudah memberikan kewenangan untuk mengambil


tindakan karena jabatan (ex-officio) kepada Pejabat Bea dan Cukai, tampaknya
sistem yang dianut CBP ini sangat cocok untuk dilaksanakan di Indonesia.
Artinya pelaksanaan kewenangan penanguhan barang impor atau ekspor barang
hasil pelanggaran HKI , hanya lebih banyak bertumpu pada jenis-jenis barang
yang dilaporkan oleh pemilik atau pemegang hak yang melakukan registrasi
pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dengan tujuan agar haknya dilindungi
melalaui pengawasan atas lalulintas barang impor atau ekspor.

Dalam hal terjadi tindak pidana yang menyangkut pelanggaran Undang-undang


Merek dan Hak Cipta , maka proses pengumpulan barang bukti harus
didasarkan pada ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana ( UU No. 8
Tahun 1981). Untuk tindak pidana Kepabeanan dan atau Cukai ,
pengertian ‘bukti permulaan yang cukup’ adalah bukti yang berupa keterangan
dan data yang terkandung di dalam 2 (dua) diantaranya : 10
- laporan Kejadian.
- keterangan saksi termasuk saksi ahli.
- barang bukti.

Karena tindak pidana dibidang merek dan hak cipta bukan merupakan tindak
pidana kepabeanan, maka dalam hal terjadi tindak pidana semacam ini,
penyelesaian kasusnya harus diserahkan kepada Penyidik POLRI atau
Penydidik Pegawai Negeri Sipil Departemen Kehakiman. Pejabat Bea dan Cukai
akan membuat laporan kejadian dengan penyerahan barang bukti kepada
penyidik yang berwenang.

10
Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. Kep-57/BC/1997 tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana Di
Bidang kepabeanan dan Cukai.

16
Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai
Copyright © 2008 www.bppk.depkeu.go.id

Bentuk tindakan penangguhan.

Tindakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor yang diduga


melanggar HKI menurut hemat saya dapat dilakukan dengan tindakan
penegahan11 sebagaimana dimaksud pasal 77 UU Kepabeanan . Jika tindakan ini
dilakukan maka kepada importir atau eksportir harus segera diberikan Surat Bukti
Penindakan (penegahan) dengan mengacu pada Keputusan Menteri Keuangan RI
No. 30/KMK.05/1997 tanggal 16 Januari 1997. Importir dan pemegang HAKI
seyogyanya harus ‘segera’ diberitahu tentang adanya penangguhan tersebut
(pasal 58 Trip’s Agreement). Tidak ada penjelasan tentang apa yang dianggap
sebagai ‘segera’ (shall be promptly) 12 . Prof. Sudargo Gautama menyarankan
bahwa jangka waktu tersebut tidak lebih dari 3 x 24 jam13. Jika hal ini diterapkan,
maka Surat Bukti Penindakan harus disampaikan dalam tenggang waktu dimaksud.
Surat Bukti Penindakan ini menurut hemat saya dapat dianggap pemberitahuan
kepada importir atau eksportir tentang adanya penundaan pengeluaran barang-
barang mereka dari Kawasan Pabean. Salinan dari Surat Bukti Penindakan ini
seyogyanya juga disampaikan kepada pemilik atau pemegang HKI. Bantuan
informasi yang aktif dari pemilik atau pemegang hak didalam penyelesaian kasus
ini akan memudahkan Pejabat Bea dan Cukai didalam melakukan penyelidikan.

Jangka waktu penangguhan

Pasal 62 UU Kepabeanan juga tidak mengatur jangka waktu penangguhan


pengeluaran barang impor atau ekspor yang diduga hasil pelanggaran HAKI
Dengan mengacu pada pasal 57 UU Kepabeanan , saya berpendapat bahwa

11
Penjelasan pasal 77 UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi ,’Yang dimaksud dengan "menengah
barang" adalah tindakan administrasi untuk menunda pengeluaran, pemuatan, dan pengangkutan barang impor
atau ekspor sampai dipenuhinya Kewajiban Pabean’.
12
Naskah asli TRIP’s Agreement berbunyi ‘the importer and the right holder shall be promptly notified the
suspension’.
13
Sudargo Gautama, Prof, Mr, Dr , Hak Milik Intelektual Indonesia dan Perjanjian Internasional, TRIP’s, GATT,
Putaran Uruguay (1994), Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung 1994.

17
Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai
Copyright © 2008 www.bppk.depkeu.go.id

sebaiknya jangka waktu penangguhan seyogyanya selama 10 (sepuluh) hari kerja.


Jangka waktu tersebut adalah cukup untuk memberi kesempatan kepada Pejabat
Bea dan Cukai melakukan penyelidikan untuk menentukan tindakan hukum
selanjutnya . Kemungkinan yang terjadi dari hasil penyelidikan adalah adanya
bukti yang cukup adanya tindak pidana dibidang merek dan hak cipta , yang
kemudian berkas perkara dan barang bukti diserahkan kepada Penyidik yang
berwenang yaitu Penyidik POLRI atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
Departemen Kehakiman. Kemungkinan yang kedua adalah adanya kesalahan
analisa hasil intelijen sehingga hasil penyelidikan kedapatan tidak cukup bukti
adanya tindak pidana dibidang merek dan hak cipta, sehingga Pejabat Bea dan
Cukai harus segera mengeluarkan barang tersebut dari Kawasan Pabean setelah
kewajiban pabean dipenuhi.

TRIP’s Agreement memberikan hak kepada Importir untuk mengajukan keberatan


terhadap tindak penangguhan pengeluaran barang dari Pejabat Bea dan Cukai .
Dalam hal Importir mengajukan keberatan terhadap penangguhan barang yang
bersangkutan, maka penangguhan tersebut harus tunduk kepada ketentuan-
ketentuan seperti (mutatis-mutandis) tercantum dalam pasal 55 Trips Agreement14 .
Sebenarnya pasal ini telah diadopsi didalam pasal 57 UU Kepabeanan , tetapi
tidak seluruhnya. Berpedoman pada pasal 55 TRIP’s Agreement, menurut hemat
saya jika Importir mengajukan keberatan, maka argumentasinya wajib didengar
oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan keputusan dalam jangka waktu yang
wajar harus diambil, apakah tindakan penangguhan pengeluaran barang dari
Kawasan Pabean harus dimodifikasi, dibatalkan atau dikuatkan 15.

14
Naskah asli TRIP’s Agreement (article 57) berbunyi : ‘ Where the importers has lodged an appeal against the
suspension with the competent authorities, the suspension shall be subject to the conditions, mutatis mutandis, set
out at Article 55 above’.
15
Naskah asli TRIP’s Agreement (Article 55) berbunyi : …………..if procedings leading to a decision on the
merits of the case have been initiated, a review, including a right to be heard, shall take place upon request og the
defendant with a view to deciding, within reasonable period, whether these measures shall be modified, revoked or
confirmed .

18
Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai
Copyright © 2008 www.bppk.depkeu.go.id

Tuntutan ganti rugi kepada Pejabat Bea dan Cukai

Kemungkinan terjadi, karena kesalahan menganalisa informasi intelijen, Pejabat


Bea dan Cukai melakukan tindakan penangguhan pengeluaran barang yang diduga
hasil pelanggaran HKI yang ternyata keliru. Karena kekeliruan tindakan
penangguhan ini , importir atau pemilik barang dapat dirugikan . Kerugian
importir dapat berupa penambahan-penambahan biaya penyimpanan dan cargo
handling di pelabuhan , atau bahkan sampai dengan hilangnya akses pasar karena
keterlambatan memasuki pasar pada saat yang tepat. Tuntutan ganti rugi kepada
Pejabat Bea dan Cukai dari Importir atau pemilik barang adalah suatu hal wajar .
Karena tindak penangguhan pengeluaran barang dari Kawasan Pabean adalah
merupakan tindakan pemerintah melalui para Pejabatnya, maka sudah sewajarnya
apabila pemberian ganti rugi tersebut merupakan tanggung jawab Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai dan bukannya tanggung jawab pribadi Pejabat Bea dan
Cukai yang bersangkutan. Sebagai tindak lanjut Pejabat Bea dan Cukai yang
salah mengambil suatu keputusan dapat dikenai sanksi kepegawaian yang
berlaku, sepanjang ia melakukan kesalahan prosedure dengan melanggar kode
etik. Tentu saja Pejabat Bea dan Cukai yang beritikad baik harus dilindungi16.

Pemusnahan barang hasil pelanggaran HKI oleh Direktorat Jenderal Bea


dan Cukai .

Article 59 TRIP’s Agreement memberikan hak kepada pihak yang berwenang


untuk memerintahkan penghancuran atau pemusnahan atas barang-barang hasil
pelanggaran HKI sesuai dengan prinsip-prinsip yang tercantum dalam Article 46 .
Pihak yang berwenang , menurut hemat saya , adalah pihak yang berwenang untuk
menangguhkan pengeluaran barang , yaitu Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Didalam Article 46, kewenangan tersebut diberikan kepada badan peradilan untuk
kasus-kasus pelanggaran HKI yang tidak terkait dengan tindakan di tapal batas

16
TRIP’s Agreement menyebutkan bahwa ‘Members shall only exempt both public authorities and officials from
liability to appropriate remedial measures where actions are taken or intended in good faith’

19
Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai
Copyright © 2008 www.bppk.depkeu.go.id

Negara. Beberapa prinsip yang tercantum didalam pasal 46 adalah tindak


penghancuran atau pemusnahan tersebut ditujukan untuk menciptakan sistem
hukuman yang membuat jera pelakunya (in order to create an effective deterrent
to infringement) dengan mempertimbangkan kepentingan antara kadar keseriusan
dari pelanggaran dan jalan keluar yang ditetapkan serta kepentingan dari pihak
ketiga ( …the need for proportionality between the seriousness of the infringement
and the remedies ordered as well as the interest of third parties shall be taken
into account).

Dalam hal menyangkut barang yang bermerek dagang palsu , cara pemusnahan
dengan mencabutan merek dagang dari barang saja tidak memadai. Demikian
pula pihak Pabean tidak diperkenankan untuk mengekspor kembali barang yang
bermerek dagang palsu dalam ujudnya semula maupun melalui prosedur Bea
dan Cukai yang berbeda 17.

17
TRIP’s Agreement menyebutkan ‘ in regard to counterfeit trade mark goods, the authorities shall not allow the
re-exportation of the infringing goods in an unaltered state or subject them to different customs procedure.’

20
Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai
Copyright © 2008 www.bppk.depkeu.go.id

BAB III

PENUTUP
1. Kesimpulan

Ketentuan tentang tindakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor


hasil pelanggaran HKI karena jabatan oleh Pejabat Bea dan Cukai (active action
procedure) hanya diatur secara sumir didalam pasal 62 UU Kepabeanan.
Sedangkan ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan pasal 54
sampai 63 diatur dengan Peraturan Pemerintah (pasal 64 ayat 2 UU Kepabeanan) .
Sampai dengan saat ini Peraturan Pemerintah dimaksud belum pernah ada ,
padahal ketentuan pelaksanaan lain yang diamanatkan UU Kepabeanan ini sudah
lama ada , bahkan ada yang diterbitkan sejak tahun 1996 . Misalnya , Peraturan
Pemerintah No. 22 Tahun 1996 tentang Pengenaan Sanksi Adminstrasi
Kepabeanan sebagai ketetuan pelaksanaan pasal 114 UU Kepabeanan dan
Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1996 tentang Tempat Penimbunan Berikat
sebagai ketentuan pelaksanaan dari pasal 44 sampai pasal 46 UU Kepabeanan.

Tiadanya ketentuan pelaksanaan, padahal sangat diperlukan, jelas akan


menyulitkan para Pejabat Bea dan Cukai untuk segera mengambil suatu keputusan
apakah tindakan penangguhan karena jabatan (ex-officio) akan dilakukan atau
tidak. Kesulitan pelaksanaan pasal 62 UU Kepabeanan disebabkan Pajabat Bea
dan Cukai tidak mempunyai pedoman – pedoman pelaksaanaan untuk
menentukan kriteria ‘bukti yang cukup’, bentuk-bentuk tindakan penangguhan,
jangka waktu penanguhan , hak importir atau eksportir mengajukan keberatan
serta penyelesian tututan ganti rugi dari importir atau eksportir jika ternyata
tindakan pejabat Bea dan Cukai serta cara penyelesaian terhadap barang impor
atau ekspor hasil pelanggaran HKI .

21
Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai
Copyright © 2008 www.bppk.depkeu.go.id

2. Rekomendasi

Segera diterbitkan Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan pasal 62 UU


Kepabeanan yang dapat dijadikan pedoman pelaksanaan kewenangan jabatan (ex
officio) Pejabat Bea dan Cukai. Peraturan Pemerintah harus berisi materi yang
pada hakekatnya merupakan pemecahan masalah-masalah yang krusial sebagai
berikut :

a. Harus ada suatu kriteria ’bukti yang cukup’ serta bagaimana cara
memperolehnya . Menurut hemat kami, sistem yang sekarang dikembangkan
di Amerika Serikat oleh Customs and Border Protection (CBP) dapat
diadopsi , karena secara tehnis mudah dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai. Pemegang hak atas Merek dan Hak Cipta yang
berkepentingan atas perlindungan HKI melalaui impor dan ekspor dapat
melakukan registrasi pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Registrasi
tentu saja harus disertai dengan dokumen-dokumen misalnya , tanda bukti
pemilikan hak, data alamat dan identitas lengkap pemegang hak, pemegang
lisensi, agen tunggal dan lain-lain serta uraian jelas barang dan data-data
tehnis dari barang yang akan dilindungi. Data registrasi oleh Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai harus dikembangkan menjadi suatu data base yang
handal yang dapat dijadikan dasar oleh Pejabat Bea dan Cukai untuk
menentukan apakah suatu importasi atau eksportasi barang tertentu adalah
merupakan hasil pelanggaran HKI atau tidak.

b. Bentuk tindakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor hasil


pelanggaran HKI hendaknya dalam bentuk tindakan penegahan
sebagaimana dimaksud pasal 77 UU Kepabeanan.. Importir atau kuasanya
dalam waktu 1 x 24 jam harus segera diberitahu tentang adanya
penangguhan tersebut dengan memberikan Surat Bukti Penindakan. Salinan

22
Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai
Copyright © 2008 www.bppk.depkeu.go.id

Surat Bukti penindakan ini seyogyanya juga disampaikan kepada pemilik


atau pemegang HKI , dimana mereka diwajibkan memberi informasi yang
dianggap perlu untuk memudahkan proses penyelidikan oleh Pejabat Bea
dan Cukai. Guna menciptakan ketentuan hukum yang adil dengan
mengindahkan hak azasi manusia maka ketentuan pelaksanaan harus
memberikan hak kepada importer atau eksportir yang barangnya ditegah
untuk mengajukan keberatan atas tindakan penangguhan oleh Pejabat Bea
dan Cukai. Mengingat jangka waktu penangguhan yang sangat singkat,
maka seyogyanya diberi kewenangan kepada Kepala Kantor Pelayanan Bea
dan Cukai untuk memodifikasi, membatalkan atau menguatkan tindakan
penangguhan pengeluaran barang dimaksud.

c. Pasal 62 UU Kepabeanan juga tidak mengatur jangka waktu penangguhan


pengeluaran barang impor atau ekspor yang diduga hasil pelanggaran HKI
oleh Pejabat Bea dan Cukai. Pemberian jangka waktu 10 hari tentunya
dianggap cukup untuk memberi kesempatan kepada Pejabat Bea dan Cukai
melakukan penyelidikan dan selanjutnya menyerahkan berkas perkara dan
barang bukti kepada Penyidik yang berwenang yaitu Penyidik POLRI atau
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Departemen Kehakiman. Jangka
waktu tersebut seyogyanya dapat diperpanjang selama 10 hari jika Pejabat
Bea dan Cukai belum mendapatkan waktu yang cukup untuk proses lebih
lanjut.

d. Tindakan penangguhan pengeluaran barang hasil pelanggaran HKI dari


Kawasan Pabean oleh Pejabat Bea dan Cukai adalah merupakan tindakan
Negara melalaui para pejabatnya. Kemungkinan tindakan tersebut terdapat
kekeliruan dan mengakibatkan kerugian finansial bagi Importir atau
Eksportir adalah sangat besar. Ketentuan perundang-undangan harus
menjujung tinggi azas keadilan dan persamaaan. Karena itu mekanisme
pengajuan tuntutan ganti rugi harus dimungkinkan didalam ketentuan

23
Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai
Copyright © 2008 www.bppk.depkeu.go.id

pelaksanaan. Pemberian ganti rugi ini adalah merupakan tanggung jawab


Institusi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan bukan tanggung jawab
pribadi Pejabat Bea dan Cukai yang salah mengambil keputusan. Pejabat
Bea dan Cukai yang beritikad baik harus dilindungi.

e. Untuk kemudahan adminstrasi dan mempercepat penyelesaian suatu kasus


serta untuk menciptakan sistem hukuman yang membuat jera pelakunya
dengan mempertimbangkan kepentingan antara kadar keseriusan dari
pelanggaran dan jalan keluar yang ditetapkan serta kepentingan dunia usaha,
Direktur Jenderal Bea dan Cukai agar diberi kewenangan untuk segera
memusnahkan barang impor atau barang ekspor hasil pelanggaran HKI
terutama untuk barang-barang yang tidak diketahui lagi siapa pemiliknya.

24
Artikel Pusdiklat Bea dan Cukai
Copyright © 2008 www.bppk.depkeu.go.id

DAFTAR PUSTAKA

1. UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


2. Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1996 tentang Penindakan Di Bidang Kepabeanan.
3. WTO, Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Right , 1994.
4. UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebaimana telah diubah atau ditambah
dengan UU No. 17 Tahun 2006.
5. Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual, Buku Panduan Hak Kekayaan
Intelektual , dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan dibidang hak kekayaan
intelektual , 2006
6. Bambang Kesowo, Pengantar Umum Mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
di Indonesia, Sekretariat Negara RI, disampaikan pada Pelatihan HAKI yang
diselenggarakan bersama Tim Keppres 34 Pusdiklat BC dan Indonesia Australia
Specialized Training Project.
7. Sudargo Gautama, Prof, Mr, Dr , Hak Milik Intelektual Indonesia dan Perjanjian
Internasional, TRIP’s, GATT, Putaran Uruguay (1994), Penerbit PT Citra Aditya Bakti,
Bandung 1994.
6. Irianto, Okto, Laporan Mengikuti USPTO Global Intellectual Property Academy
Enforcement of Intellectual Property Rights, Alexandria, Virginia, Amerika Serikat, 24-
27 Januari 2006.
7. Http.\\ www.cbp.gov. , situs resmi United Stated Customs and Border Protection.
8. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Perlindungan Hukum Atas Hak Kekayaan Intelektual ,
http.\\ www.beacukai.go.id.

*) Penulis adalah Widyaiswara pada Pusdiklat Bea dan Cukai

25

Anda mungkin juga menyukai