Anda di halaman 1dari 37

PRESENTASI KASUS

ASMA EKSASERBASI AKUT PADA ASMA TIDAK TERKONTROL

Diajukan kepada :
dr. Indah Rahmawati, Sp.P

Disusun oleh :
Irine Karen Oktaviani 1620221208

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO 2018

LEMBAR PENGESAHAN

Telah ajukan dan disetujui presentasi kasus dengan judul:

ASMA EKSASERBASI AKUT PADA ASMA TIDAK TERKONTROL

Pada tanggal Febuari 2018

Diajukan untuk memenuhi


salah satu syarat mengikuti
ujian di
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun oleh:
Irine Karen Oktaviani 1620221208

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Indah Rahmawati, Sp.P

2
BAB 1
PENDAHULUAN

Asma merupakan masalah kesehatan dunia yang tidak hanya menjadi


masalah di negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan
dari Global Initiatif for Asthma (GINA) pada tahun 2012 dinyatakan bahwa
perkiraan jumlah penderita asma seluruh dunia adalah tiga ratus juta orang,
dengan jumlah kematian yang terus meningkat hingga 180.000 orang per tahun
(GINA, 2012).
Data World Health Organization (WHO) juga menunjukkan data yang
serupa bahwa prevalensi asma terus meningkat dalam tiga puluh tahun terakhir
terutama di negara maju. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat
di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya
(Rengganis, 2008).
Terlambatnya penanganan terhadap penderita asma dapat menimbulkan
dampak yang cukup fatal, bahkan bisa berujung pada kematian. Penyakit asma
masuk dalam sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia. Pada
tahun 2005 Survei Kesehatan Rumah Tangga mencatat 225.000 orang meninggal
karena asma. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) nasional tahun
2007, penyakit asma ditemukan sebesar 4% dari 222.000.000 total populasi
nasional (Depkes RI. 2007).
Sementara itu, menurut RISKESDAS tahun 2013, asma merupakan
penyakit tidak menular (PTM) nomor satu di Indonesia (Depkes RI, 2007).
Melihat epidemiologi asma saat ini, tenaga kesehatan perlu mempelajari lebih
dalam lagi tentang penyakit ini sesuai panduan terbaru. Berikut dilaporkan sebuah
kasus penyakit asma akut ringan pada asma intermitten pada seorang perempuan
berumur 42 tahun di Poli RSUD PROF. DR. Margono Soekarjo.

3
BAB 2
KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny.R
Usia : 42 Tahun
Alamat : Karang Klesem
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Buruh Tani
Pendidikan : SD
Tanggal masuk : 18 Febuari 2018
Tanggal periksa : 21 Febuari 2018
Ruang Rawat : Cendana wanita Bed 9

ANAMNESIS
• Keluhan utama
Sesak Napas
• Keluhan tambahan
Napas bunyi 1 hari SMRS
• Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit. Sesak nafas dirasakan terus menerus dan semakin
mengganggu aktivitas. Pasien mengaku napas berbunyi ketika sesak nafas.
Serangan sesak memberat ketika beraktivitas, flu dan cuaca dingin,
membaik jika diberi minyak angin. Awalnya sesak masih bisa ditahan,
namun lama kelamaan dalam posisi diam saja pasien merasa sangat sesak,
dadanya seperti dihimpit dan diikat sesuatu. Pasien mencoba untuk minum
air namun sulit dan sesak tetap tidak berkurang. Pasien mengaku pencetus
sesak nafas adalah kelelahan setelah aktivitas dan flu yang sedang dialami.
Keluhan sesak sudah didahului oleh flu, pasien mengaku jika flu
dan batuk biasanya akan diikuti napas berbunyi dan sesak. Pasien
mengaku sering bersin-bersin di pagi hari maupun pada cuaca dingin serta

4
memiliki alergi terhadap paparan debu, asap, dan serbuk gergaji. Jika
sudah terkena flu biasanya pasien akan merasakan napas bunyi dan sesak.
Pasien mengaku pernah masuk dan dirawat 2 hari di RSMS karena sesak
napas 2 tahun yang lalu, namun setelah itu pasieen tidak pernah berobat
dan control lagi. Pasien menyangkal mengalami penurunan berat badan,
keluhan batuk berdarah dan nyeri dada.
• Riwayat penyakit dahulu
• Riwayat keluhan serupa 2 tahun yang lalu,
• Riwayat alergi makanan laut dan obat disangkal
• Riwayat hipertensi disangkal
• Riwayat DM disangkal
• Riwayat penyakit jantung disangkal
• Riwayat penyakit asma diakui
• Riwayat penyakit keganasan disangkal
• Riwayat batuk lama disangkal
• Riwayat batuk darah disangkal
• Riwayat penyakit keluarga
• Riwayat asma di keluarga diakui yakni ibu pasien sering memiliki
keluhan napas bunyi dan sesak napas
• Riwayat hipertensi di keluarga disangkal
• Riwayat DM di keluarga disangkal
• Riwayat sosial dan exposure
• Community
Pasien tinggal di rumah sendiri, rumahnya terletak tidak jauh dengan
tempat pembuatan perabot kayu, sehingga sering terpapar dengan
serbuk kayu.
• Home
Pasien tinggal dirumah dengan lantai kramik, rumah terbuat dari
dinding tembok dan atap rumah pasien terbuat dari genteng. Terdapat
beberapa buah jendela serta ventilasi yang kadang-kadang dibuka.
Rumah pasien terdiri dari 2 kamar tidur, satu ruang tamu, satu ruang
keluarga, satu dapur, dan satu kamar mandi, sumber air berasal dari

5
sumur. Pencahayaan rumah pasien berasal dari lampu dan sinar
matahari yang cukup. Pasien tidak memelihara kucing maupun hewan
ternak.
• Occupational
Pasien merupakan buruh tani lepas dengan penghasilan sekitar ± Rp
1.000.000/bulan. Biaya pengobatan pasien ditanggung oleh BPJS non
PBI
• Personal habit
Pasien tidak merokok, namun memiliki kebiasaan ngopi.
• Diet
Pasien makan nasi, sayur, dan jarang makan daging. Pasien terkadang
makan buah-buahan. Pasien mengaku tidak memiliki alergi makanan
dan obat apapun.
• Drug
Pasien tidak sedang mengkonsumsi pengobatan jangka panjang.

• PEMERIKSAAN FISIK
• Keadaan umum : sedang, kooperatif
• Kesadaran : Compos mentis
• Vital sign tanggal 20 Juli 2018 pukul 18.00 di Cendana Wanita bed 12
TD : 120/70 mmHg
N : 88x/menit
RR : 20x/menit
S : 36,50C
Status Generalis
• Pemeriksaan Kepala
Bentuk kepala : Mesocephal, simetris, tanda radang (-)
Rambut : Warna rambut hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata
Mata : Simetris, edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+) normal isokor 3 mm,
Telinga : Discharge (-), deformitas (-)
Hidung : Dicharge (-/-), deformitas (-), nafas cuping hidung (-)

6
Mulut : Bibir kering (-), bibir pucat (-),sianosis (-), lidah kotor (-) ,
atrofi papil lidah (-)
• Pemeriksaaan Leher
Inspeksi : Trakea di tengah, pembesaran kelenjar tiroid (-)
Palpasi : JVP 5+2 cm H2O
• Pemeriksaan Toraks
Pulmo
Inspeksi : Dinding dada simetris, retraksi suprasternal (-), retraksi
interkostal (-), ketinggalan gerak (-), jejas (-)
Palpasi : Vokal fremitus paru kanan sama dengan paru kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara Dasar Vesikuler, RBH (-/-), RBK (-/-), Wh (+/+)
Cor
Inspeksi : ictus cordis tampak SIC V 1 jari medial LMCS
Palpasi : ictus cordis teraba pada SIC V 1 jari medial LMCS, kuat
angkat (-), thrill (-)
Perkusi : batas jantung
Kanan atas SIC II LPSD
Kanan bawah SIC IV LPSD
Kiri atas SIC II LPSS
Kiri bawah SIC V 1 jari medial LMCS
Auskultasi : S1 > S2, regular, murmur (-), gallop (-)
• Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : tampak datar, venektasi (-), spider nevi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) Normal
Perkusi : Tympani, tes pekak alih (-), pekak sisi (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), undulasi (-)
Hepar : tidak teraba, nyeri tekan (-)
Lien : tidak teraba
• Pemeriksaan Ekstremitas
Superior : oedem (-/-), jari tabuh (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-)

7
Inferior : oedem (-/-), jari tabuh (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), refleks
fisiologis (+/+), refleks patologis (-/-)

• PEMERIKSAAN PENUNJANG
(Laboratorium tanggal 18 Februari 2018)
Hematologi
Darah Lengkap :
Hemoglobin : 9.6 g/dL L (11.7-15.5g/dl)
Leukosit : 8090/uL (3600-11000/ml)
Hematokrit : 32% L (35-47 %)
Eritrosit : 4,8 x 106 /uL (3.8-5,2 jt/ml)
Trombosit : 410.000/ml (150.000-400.000/ml)
MCV : 65 L (80-100 fl)
MCH : 30,1 L (27-31 pg)
MCHC : 17,9 L (33-37 g/dl)
Hitung jenis
Eosinofil : 6,3% H (1-4%)
Basofil : 0,2% (0-1%)
Batang : 0,6% L (2-6%)
Segmen : 63,2% (50-70%)
Limfosit : 23,0% L (20-40%)
Monosit : 3.9% (2-8%)
Kimia Klinik
Ureum darah : 13,7 mg/l L

• KESIMPULAN
• Anamnesis
• Sesak nafas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.

8
• Flu sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, Keluhan sesak nafas
timbul ketika pasien kelelahan setelah beraktivitas berat, dan cuaca
dingin.
• Saat serangan sesak nafas muncul pasien mengaku mendengar bunyi
napas ngik-ngik.
• Riwayat keluhan serupa 2 tahun yang lalu.
• Pemeriksaan Fisik
• Keadaan umum : Sedang, kooperatif
• Kesadaran : Compos mentis
• Vital sign tanggal 18 Febuari 2018
TD : 110/70 mmHg
N : 88x/menit
RR : 20x/menit
S : 36,50C

• Pemeriksaan Toraks
Pulmo
Inspeksi : Dinding dada simetris, retraksi suprasternal (-), retraksi
interkostal (-), ketinggalan gerak (-), jejas (-)
Palpasi : Vokal fremitus paru kanan sama dengan paru kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara Dasar Vesikuler(+/+), RBH (-/-), RBK (-/-), Wh
(+/+)
• Laboratorium
• Hitung jenis :
Eosinofil 6,3% H
Batang 0,6 % L
Limfosit 23,0% L

• DIAGNOSIS KERJA
• Asma eksaserbasi akut pada asma tidak terkontrol
• Anemia

9
• PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hitung eosinophil : 73 /uL (50-300)

• PENATALAKSANAAN
Farmakologi :
• Nebul ventoline+ flexotide tiap 6 jam
• Inf RL 20 TPM
• Inj. MP 62.5 mg/ 8 jam
• Ranitidine 1 Ampul /12 jam
• Terasma 3xcth 1
Rencana monitoring
• Awasi KU
• Awasi vital sign
Edukasi
• Menjelaskan pada pasien tentang penyakit, pengelolaan, dan prognosis
CAP dan asma.
• Menjelaskan mengenai identifikasi dan cara mengontrol pencetus asma.
• Menjelaskan cara penanganan serangan asma di rumah.

• PROGNOSIS
Ad fungsional : dubia ad bonam
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

10
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Asma merupakan penyakit yang heterogen yang ditandai dengan
inflamasi kronik saluran napas. Asma ditandai dengan riwayat gejala saluran
pernapasan seperti wheezing (mengi), sesak napas, dada terasa berat, dan batuk
yang bervariasi diantara waktu dan intensitas dan disertai dengan hambatan
jalan napas ekspirasi yang bervariasi. Variasi yang terjadi disebabkan oleh
beberapa faktor seperti olahraga, paparan alergen atau iritan, perubahan cuaca,
atau infeksi virus pada saluran napas (GINA, 2017).
Gejala terbatasnya jalan napas dapat sembuh spontan atau dengan
pengobatan dan dapat menghilang selama beberapa minggu atau beberapa
bulan. Di sisi lain pasien juga dapat mengalami beberapa periode serangan
(eksaserbasi) asma yang dapat mengancam jiwa dan memberikan beban yang
signifikan bagi pasien dan keluarga. Asma biasanya dikaitkan dengan
hiporesponsivitas jalan napas karena stimulus langsung dan tidak langsung, dan
dengan inflamasi jalan napas kronik. Karakteristik tersebut biasanya selalu ada,
walaupun tidak ada gejala dan fungsi paru normal, dan akan membaik dengan
terapi (GINA, 2017).

B. Etiologi dan Faktor Risiko


Faktor genetik memegang peranan penting dalam etiologi asma. Asma
merupakan complex genetic disorder dan dipengaruhi oleh banyak gen
sehingga tidak mengikuti pola pewarisan Mendel (GINA 2017).
Faktor-faktor yang dapat memicu atau memperburuk gejala asma
meliputi infeksi virus, alergen rumah tangga seperti tungau debu rumah, serbuk
sari bunga, kecoa, asap tembakau, olahraga dan stres. Respons ini lebih sering
terjadi bila asma tidak terkontrol. Beberapa obat juga dapat memicu asma
seperti beta bloker, aspirin atau NSAID lainnya. Berikut adalah faktor risiko
asma yang dapat dimodifikasi (Makmuri, 2008).
a) Pasien dengan minimal satu faktor risiko eksaserbasi

11
b) Minimal satu periode eksaserbasi berat di tahun terakhir
c) Paparan tembakau dan rokok
d) Penurunan FEV1 terutama kurang dari 60% prediksi
e) Beban psikologis
f) Beban sosial-ekonomi
g) Alergi makanan
h) Paparan alergen
i) Terdapat eosinophilia pada pemeriksaan sputum
Sekresi mukus pada saluran napas pasien asma tidak hanya berupa
peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Penebalan
dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi musin
saja tetapi juga terdapatnya penumpukan sel epitel, pengendapan albumin yang
berasal dari mikrovaskularisasi bronkial, eosinophil, dan DNA yang berasal
dari sel inflamasi yang lisis (Sundaru dan Sukanto, 2014).

Gambar 3.1. Patofisiologi Asma. Dikutip dari Makmuri, 2008

Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot


bronkus, sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkus.
Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran
napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini menyebabkan udara distal

12
tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa ekspirasi. Selanjutnya terjadi
peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KFR) dan pasien
akan bernapas dengan volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total
(KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka
dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi ini
diperlukan otot-otot bantu napas (Sundaru dan Sukanto, 2014).
Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara
objektif dengan FEV1 ( forced expiratory volum in 1 second) atau FVC
(force vital capacity). Penyempitan saluran napas dapat terjadi pada saluran
napas yang besar , sedang, maupun kecil. Gejala mengi menandakan
adanya penyempitan di saluran napas besar, sedangkan pada saluran napas
yang kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding mengi (Sundaru
dan Sukanto, 2014).

Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian


paru. Ada daerah-daerah yang kurang mendapat ventilasi , sehingga darah
kapiler yang melalui daerah tersebut mengalami hipoksemia, Penurunan
PaO2 mungkin merupakan kelainan pada asma sub-klinis. Untuk mengatasi
kekurangan oksigen, tubuh melakukan hiperventilasi agar kebutuhan
oksigen terpenuhi, tetapi akibatnya pengeluaran CO2 menjadi berlebihan

sehingga PaCO2 menurun yang kemudian menimbulkan alkalosis


respiratorik.
Pada serangan asma yang lebih berat lagi banyak saluran napas dan
alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak memungkinkan lagi terjadinya
pertukaran gas. Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot napas
bertambah berat sehingga terjadi peningkatan produksi CO2. Peningkatan
produksi CO2 yang disertai dengan penurunan ventilasi alveolus
menyebabkan retensi CO2 (hiperkapnia) dan terjadi asidosis respiratorik
atau gagal napas. Hipoksemia yang berlangsung lama menyebabkan
asidosis metabolik dan konstriksi pembuluh darah paru yang kemudian
menyebabkan shunting yaitu peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran
gas yang baik, yang berakibat perburukan hiperkapnia. Dengan demikian
penyempitan saluran napas pada asma, akan menimbulkan hal-hal sebagai

13
berikut : 1). Gangguan ventilasi berupa hipoventilasi. 2).
Ketidakseimbangan ventilasi perfusi dimana distribusi ventilasi tidak setara
dengan sirkulasi darah paru. 3). Gangguan difusi gas di tingkat alveolus.
Ketiga faktor tersebut menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, serta asidosis
respiratorik pada tahap yang sangat lanjut (Sundaru dan Sukanto, 2014).

C. Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting
bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat
asma semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan
berdasarkan gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai .
Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan; dan pengobatan yang
telah berlangsung seringkali tidak adekuat. Dipahami pengobatan akan mengubah
gambaran klinis bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada
penderita dalam pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan itu
sendiri.
Bila pengobatan yang sedang dijalani sesuai dengan gambaran klinis yang
ada, maka derajat berat asma naik satu tingkat. Contoh seorang penderita dalam
pengobatan asma persisten sedang dan gambaran klinis sesuai asma persisten
sedang, maka sebenarnya berat asma penderita tersebut adalah asma persisten
berat. Demikian pula dengan asma persisten ringan.
Akan tetapi berbeda dengan asma persisten berat dan asma intemiten .
Penderita yang gambaran klinis menunjukkan asma persisten berat maka jenis
pengobatan apapun yang sedang dijalani tidak mempengaruhi penilaian berat
asma, dengan kata lain penderita tersebut tetap asma persisten berat. Demikian
pula penderita dengan gambaran klinis asma intermiten yang mendapat
pengobatan sesuai dengan asma intermiten, maka derajat asma adalah intermiten.

14
Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (Sebelum Pengobatan)

15
Klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan

D. Patogenesis
1. Hygiene Hypothesis
Hubungan antara awal kehidupan dan perkembangan alergi sudah
banyak diteliti. Strachan merupakan orang yang pertama kali mengemukakan
teori hygiene hypothesis. Teori tersebut mengatakan infeksi dan kontak
dengan lingkungan yang tak higienis dapat melindungi diri dari
perkembangan alergi (Sohn, 2008) Hipotesis tersebut berdasarkan pemikiran
bahwa sistem imun pada bayi didominasi oleh sitokin T helper (Th2). Setelah
lahir pengaruh lingkungan akan mengaktifkan respons Th1 sehingga akan
terjadi keseimbangan Th1/Th2. Beberapa bukti menunjukkan bahwa
insidensi asma menurun akibat infeksi tertentu (M. tuberkulosis, measless
atau hepatitis A) dan penurunan penggunaan antibiotik. Ketiadaan kejadian
tersebut menyebabkan keberadaan Th2 menetap. Sehingga keseimbangan
akan bergeser kearah Th2, merangsang produksi antibodi IgE untuk melawan
antigen lingkungan seperti debu rumah dan bulu kucing (Alfven, 2006).

16
Sel Th1 dan Th2 menghambat perkembangan satu sama lain. Produksi
IgE pada penderita atopi meningkat sehingga mempengaruhi keseimbangan
Th2 dan Th1. Perkembangan sekresi Th2 memerlukan IL-4. Sitokin ini
dihasilkan oleh plasenta untuk mencegah penolakan imunologis janin.
Menetapnya Th2 plasenta berhubungan dengan perubahan nutrisi sehingga
tidak terbentuk Th1, ini merupakan faktor utama peningkatan prevalensi
penyakit alergi dalam 30 – 40 tahun terahir. Faktor lain adalah turunnya
infeksi berat pada bayi dan interaksi antara alergen dan polusi udara yang
cenderung untuk terjadi sensitisasi. Infeksi akan menyebabkan peningkatan
respons Th1 dan akan menurunkan kecenderungan perkembangan penyakit
yang berhubungan dengan Th 2.12 Sel Th2 akan meningkatkan sintesis IL-4
dan IL-13 yang pada akhirnya akan menaikkan produksi IgE. Sedangkan sel
Th1 yang menghasilkan interferon gama (IFNγ) akan menghambat sel B
untuk menghasilkan IgE.12-13 Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dalam
gambar di bawah (Demoly, 2008).
Sel efektor imun utama yang bertanggung jawab terhadap reaksi alergi
baik di hidung maupun paru adalah sel mast, limfosit T dan eosinofil. Setelah
seseorang mengalami sensitisasi, IgE disintesis kemudian melekat ke target
sel. Pajanan alergen mengakibatkan reaksi yang akan melibatkan sel-sel
tersebut di atas. Sitokin atau kemokin yang berperan dalam perkembangan,
recruitment dan aktivasi eosinofil adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, granulocyte-
machrophage colony stimulating factor (GM-CSF), kemotaksin dan
regulation on activation normal T cell expressed and secreted (RANTES)
(Alan, 2009).

2. Mekanisme Inflamasi Saluran Nafas


Inflamasi mempunyai peran utama dalam patofisiologi rinitis alergi dan
asma. Inflamasi saluran napas melibatkan interaksi beberapa tipe sel dan
mediator yang akan menyebabkan gejala rinitis dan asma. Inhalasi antigen
mengaktifkan sel mast dan sel Th2 di saluran napas. Keadaan tersebut akan
merangsang produksi mediator inflamasi seperti histamin dan leukotrien dan
sitokin seperti IL-4 dan IL-5. Sitokin IL-5 akan menuju ke sumsum tulang

17
menyebabkan deferensiasi eosinofil (Busse, 2001). Eosinofil sirkulasi masuk
ke daerah inflamasi alergi dan mulai mengalami migrasi ke paru dengan
rolling (menggulir di endotel pembuluh darah daerah inflamasi), mengalami
aktivasi, adhesi, ekstravasasi dan kemotaksis (Kamen, 2006) Eosinofil
berinteraksi dengan selektin kemudian menempel di endotel melalui
perlekatannya dengan integrin di superfamili immunoglobulin protein adesi
yaitu vascular-cell adhesion molecule (VCAM)-1 dan intercellular adhesion
molecule (ICAM)-1 (Bussen, 2001).

Gambar 1. Mekanisme masuknya leukosit ke daerah inflamasi

Eosinofil, sel mast, basofil, limfosit T dan sel Langerhan masuk ke


saluran napas melalui pengaruh beberapa kemokin dan sitokin seperti
RANTES, eotaksin, monocyte chemotactic protein (MCP)-1 dan macrofag
inflamatory protein (MIP)-1ά yang dilepas oleh sel epitel. Eosinofil
teraktivasi melepaskan mediator inflamasi seperti leukotrien dan protein
granul untuk menciderai saluran napas. Survival eosinofil diperlama oleh IL-
4 dan GM-CSF, mengakibatkan inflamasi saluran napas yang persisten.14
Untuk keterangan lebih jelas tentang proses inflamasi saluran napas dapat
dilihat pada gambar di bawah (Price, 2005).
Aspek dasar yang dibutuhkan untuk menghasilkan respons inflamasi
yang dimediasi IgE di paru nampaknya sama pada pasien alergi dengan atau
tanpa asma. Akan tetapi faktor yang bertanggung jawab untuk menentukan
mengapa lebih banyak menderita rinitis saja dibanding rinitis dan asma
masih belum diketahui secara pasti (Shaver, 1995).

18
Akumulasi sel mast pada saluran napas merupakan patofisiologi
penting baik pada asma maupun rinitis alergi. Efek biokimia spesifik akibat
degranulasi sel mast hampir sama pada saluran napas atas maupun bawah.
Sedangkan efek fisiologis memiliki perbedaan. Edema mukosa yang
dimediasi oleh sel mast terjadi baik di saluran napas atas maupun bawah,
akan menyebabkan obstruksi. Sedangkan kontraksi otot polos saluran napas
bawah lebih berat dalam merespons inflamasi dibanding saluran napas atas.
Histamin tidak begitu kuat dalam menyebabkan bronkokonstriksi, sehingga
perannya pada saluran napas atas dan bawah berbeda. Akibatnya efek
antihistamin lebih bermakna pada rinitis alergi daripada asma (Alan, 1999).
Imunoglobulin E menempel pada sel mast jaringan dan basofil
sirkulasi melalui reseptor dengan afinitas tinggi yang diekspresikan oleh
permukaan sel. Alergen menempel pada IgE spesifik dan merangsang
aktivasi sel dengan melepas beberapa mediator seperti histamin, leukotrien,
prostaglandin dan kinins. Hal tersebut menyebabkan terjadi gejala rinitis
dan asma melalui pengaruh langsung terhadap reseptor syaraf dan
pembuluh darah pada saluran napas dan juga pada reseptor otot polos
(Peter, 1998)
Histamin dan leukotrien dilepas dari basofil maupun sel mast dan
akan menyebabkan timbulnya gejala secara cepat dalam beberapa menit.
Gejala pada saluran napas atas meliputi rasa gatal pada hidung, bersin dan
rinorea. Sedangkan gejala pada saluran napas bawah meliputi
bronkokonstriksi, hipersekresi kelenjar mukus, sesak napas, batuk dan
mengi (Peter, 1998) Gejala rinitis maupun asma yang timbul akibat
terlepasnya mediator bisa dilihat dalam tabel di bawah.
Tabel 1. Pengaruh mediator terhadap gejala dan tanda penyakit

19
Respons berikutnya akibat degranulasi sel mast karena terinduksi
antigen disebut reaksi tipe lambat. Baik pada saluran napas atas dan bawah,
respons tipe lambat ini menimbulkan gejala obstruksi. Reaksi fase lambat
diawali dengan pajanan alergen oleh antigen presenting cell (APC) ke sel
Th2CD4, selanjutnya terjadi pengeluaran sitokin yaitu IL-3, IL-5 dan GM-
CSF. Interleukin 5 dan GM-CSF menyebabkan penarikan dan aktivasi
eosinofil. Eosinofil yang teraktivasi mengeluarkan berbagai growth factor,
enzim elastase dan metaloproteinase, kemokin (RANTES, MIP-1ά,
eotaksin), mediator lipid dan sitokin. Akibatnya terjadi edema submukosa
dan hiperreaktivitas bronkus (Jay, 2000). Eosinofil menghasilkan mediator
lipid, protein granul kristaloid, sitokin dan kemokin. Mediator lipid, protein
granul kristaloid, sitokin dan kemokin mempunyai peran dalam patogenesis
asma fase lambat. Untuk lebih jelasnya peran dari masing-masing zat yang
dihasilkan oleh eosinofil dapat dilihat dalam gambar 6 (Sohn, 2008).

Gambar 2. Peran eosinofil dalam reaksi asma tipe lambat.


Sel basofil memainkan peranan penting reaksi tipe lambat ini pada
saluran napas atas tapi tidak pada saluran napas bawah. Meskipun demikian
respons tipe lambat baik pada saluran napas atas maupun bawah
diwujudkan oleh masuknya sel inflamasi terutama sel eosinofil ke dalam
saluran napas dan peningkatan reaktifitas saluran napas. Infiltrasi eosinofil
pada rinitis alergi dan asma dapat timbul akibat pelepasan berbagai
mediator dan sitokin dari sel mast, limfosit T, sel epitel dan kalau dari
saluran napas dari sel otot polos. Kerusakan jaringan baik pada rinitis
maupun asma dimediasi oleh eosinophil (Kroegel, 1998)

20
Manfaat leukotrien sebagai kemoatraktan untuk eosinofil dan
mediator yang dihasilkan oleh eosinofil adalah terbatas. Leukotrien
mempunyai banyak cara kerja biologis yang penting dalam menyebabkan
patofisiologi asma dan rinitis. Salah satunya adalah mempunyai
kemampuan menyebabkan atau meningkatkan kontraksi otot polos, sekresi
mukus, permeabilitas pembuluh darah dan infiltrasi sel. Enzim 5-
Lipooxygenase (5-LO) merupakan enzim penting dalam menghasikan
leukotrien. Inhibisi kerja 5-LO atau antagonis kerja cysteinyl leukotrien
pada reseptornya (cysteinil LT1) mempunyai efek yang bermakna pada
penderita rinitis dan asma (Alan, 1998). Mekanisme aktivasi eosinofil pada
saluran napas atas dan bawah masih belum banyak diketahui tetapi
mekanisme utamanya tampak sama dan berhubungan dengan adhesi
molekul. Molekul adhesi dapat meningkatkan proses sekresi eosinofil. Jadi
sitokin, mediator, interaksi matriks dan rangkaian utama saluran napas atas
dan bawah adalah sama. Rangkaian utamanya adalah akibat melekatnya sel
inflamasi pada endotel maupun protein matriks melalui matriks spesifik
yang akan menyebabkan proses inflamasi seperti sekresi leukotriene (Alan,
1999). Eosinofil juga terlibat dalam airway remodelling yang akan
menyebabkan refractory asthma. Akan tetapi masih sulit untuk
mendefinisikan secara pasti apakah airway remodelling merupakan proses
fisiologis, farmakologis atau anatomis. Fibrosis subendotel terlihat pada
proses remodeling asma alergi tetapi bukan merupakan proses analog pada
rinitis alergi. Hal tersebut akibat dari perbedaan respons end organ.21
Eosinofil menghasilkan sitokin, kemokin, mediator lipid dan growth factor
dan mampu menyebabkan peningkatan sekresi mukus, menyebabkan
fibrosis subepitel. Eosinofil teraktivasi melepaskan protein toksik yang
mengakibatkan kerusakan jaringan saluran napas yaitu major basic protein
(MBP) dan eosinophil cationic protein (ECP) yang merusak sel epitel dan
syaraf, eosinophil-derived neurotoxin (EDN), eosinophil peroxidase dan
mediator lipid (Flood, 2003).
Eosinofil menghasilkan protein yang menyebabkan fibrogenesis dan
angiogenesis yang dapat mengaktifkan sel mesenkim dan merangsang

21
sintesis protein extracellular matrix (ECM). Aktivasi fibroblas dilakukan
oleh IL-4, IL-6, IL-11, IL-13, IL-17, TGF-β, NGF dan PDGF. Sitokin
tersebut akan menyebabkan diferensiasi dan migrasi fibroblast (Flood,
2003).
Transforming growth factor (TGF)-β dan fibroblast growth factor
(FGF)-2 mempunyai pengaruh langsung terhadap otot polos saluran napas.
Eosinofil menghasilkan angiogenic factor yaitu VEGF dan angiogenin. Sel
endotel diaktifkan oleh FGF-2 dan tumor necrosis factor (TNF)-ά. Aktivasi
sel epitel, sintesis ECM dan hipersekresi mukus akibat pelepasan sitokin
derivat eosinofil yakni TGF-β, IL-4, IL-13 dan TGF-ά (Flood, 2003).
Faktor lain yang menyebabkan perbedaan respons pada hidung dan
paru adalah ukuran saluran napas, suplai darah permukaan dan pajanan
lingkungan. Perbedaan penting lainnya adalah lamanya sel inflamasi,
mediator dan sitokin tinggal dan mekanisme perbaikan epitel setelah proses
inflamasi. Terdapat waktu tinggal sel inflamasi dan perbaikan kerusakan
epitel yang lebih lama pada saluran napas bawah dibanding atas setelah
terpajan antigen (Alan, 1999).
Perbedaan epitel saluran napas atas dan bawah adalah dalam hal
epithelial shedding dan heterogenitas epitel. Epithelial shedding pada asma
lebih sering terjadi daripada rinitis alergi. Epitel saluran napas bawah
menghasilkan zat yang menyebabkan bronkokonstriksi antara lain mediator
lipid, endotelin dan sitokin yang akan menyebabkan perburukan gejala. Hal
tersebut tidak terjadi pada saluran napas atas. Heterogenitas epitel saluran
napas bawah yang lebih besar daripada atas akan menyebabkan durasi
inflamasi yang lebih lama (Alan, 1999).
Perbedaan penting lainnya adalah keterlibatan otot polos. Otot polos
saluran napas merupakan sel sekresi yang merupakan bagian dari proses
autokrin. Saluran napas atas mempunyai sedikit otot polos berakibat
terdapat perbedaan gejala rinitis alergi dan asma. Otot polos saluran napas
dapat menghasilkan RANTES, eotaksin, GM-CSF dan prostaglandin E2
(PGE2) yang bisa berperan dalam bronkokonstriksi maupun bronkodilatasi
(Alan, 1999).

22
Hidung mempunyai perbedaan dalam hal banyaknya terpajan alergen
dan iritan lingkungan. Demikian juga berbeda tingkatan dan mekanisme
molekul efektor seperti histamin dan leukotrien yang menghasilkan efek
patologis pada hidung dibandingkan pada paru.23 Jadi dapat disimpulkan
bahwa terdapat persamaan dan juga perbedaan dalam hal tipe dan peran sel
efektor dan mediator dalam patogenesis rinitis alergi dan asma. Hal tersebut
akan menyebabkan persamaan dan perbedaan dalam hal tanda dan gejala
rinitis alergi dan asma (Alan, 1999).

3. Sitokin pada Asma


Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi tubuh sebagai respons terhadap
rangsang mikroba dan antigen lainnya dan berperan sebagai mediator pada
reaksi imun dan inflamasi. Sitokin dapat memberikan efek langsung dan
tidak langsung. Efek langsung lebih dari satu efek terhadap berbagai jenis
sel (pleitropi), autoregulasi (fungsi autokrin), terhadap sel yang letaknya
tidak jauh (fungsi parakrin). Efek tidak langsung yaitu menginduksi
ekspresi reseptor untuk sitokin lain dalam merangsang sel (sinergisme),
mencegah ekspresi reseptor atau produksi sitokin (antagonisme) (Kamen,
2006).
Sekresi sitokin terjadi cepat dan hanya sebentar. Kerjanya sering pleitropik
(satu sitokin bekerja terhadap berbagai jenis sel yang menimbulkan
berbagai efek) dan redundant (berbagai sitokin menunjukkan efek yang
sama). Oleh karena itu efek antagonis satu sitokin tidak akan menunjukkan
hasil nyata karena ada kompensasi sitokin lain. Sifat-sifat sitokin dapat
dilihat pada gambar 8 (Kips, 2001)
Sitokin sering berpengaruh terhadap sintesis dan efek sitokin yang lain.
Efek sitokin dapat lokal maupun sistemik. Sinyal luar mengatur ekspresi
reseptor sitokin atau respons sel terhadap sitokin. Efek sitokin terjadi
melalui ikatan dengan reseptornya pada membran sel sasaran. Respons
seluler terhadap kebanyakan sitokin terdiri atas perubahan ekspresi gen
terhadap sel sasaran yang menimbulkan ekspresi fungsi baru dan kadang
proliferasi sel sasaran (Kamen, 2006).

23
Proses inflamasi saluran napas diatur oleh interaksi sitokin dan growth
factor yang disekresi tidak hanya oleh sel inflamasi tetapi juga oleh
komponen jaringan diantaranya sel epitel, fibroblas dan sel otot polos.
Secara keseluruhan sitokin dapat dikelompokkan sebagai (Kips, 2001).
a. Sitokin Th2 seperti IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13,
b. Sitokin proinflamasi diantaranya tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan IL-
1s,
c. Kemokin seperti RANTES, eotaksin dan MCP-1,
d. Growth factor seperti transforming growth factor –s dan epidermal growth
factor.

E. Diagnosis
1. Anamnesis
Diagnosis asma didasarkan pada karakteristik gejala pernapasan seperti
wheezing, dispnea, dada terasa berat dan batuk, serta hambatan udara
ekspirasi yang bervariasi. Berikut ini adalah penjelasan tentang diagnosis
asma (GINA, 2016):
a. Lebih dari satu gejala berikut ini (wheezing, dispnea, batuk, dada terasa
berat), terutama pada dewasa
b. Gejala memburuk pada malam hari atau pada awal pagi hari
c. Gejala bervariasi dalam hal waktu dan internsitas
d. Gejala dipicu oleh infeksi virus (flu), olahraga, paparan alergen, perubahan
musim, atau iritan seperti asap, atau bau yang menyengat.

Berikut ini adalah gejala-gejala yang menurunkan kemungkinan bahwa


seseorang menderita penyakit asma (GINA, 2016):
a. Batuk tanpa gejala respirasi lain
b. Produksi sputum kronik
c. Dispneu terkait dengan kepala pusing, kepala terasa ringan, dan parestesia
perifer
d. Nyeri dada
e. Dispneu dengan inspirasi nyaring terkait olahraga

24
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pada pasien asma seringkali normal. Abnormalitas
yang paling sering adalah wheezing ekspiratorik (ronkhi) pada auskultasi,
tapi kadang tidak terdengar atau hanya terdengar pada ekspirasi kuat yang
dipaksa. Wheezing juga bisa tidak ditemukan pada asma eksaserbasi berat,
karena penurunan aluran udara yang sangat hebat (silent chest), akan tetapi
biasanya tanda-tanda patologis lain muncul. Wheezing juga bisa ditemukan pada
disfungsi jalan nafas atas, misalnya pada PPOK, infeksi saluran nafas,
trakeomalasia, atau corpus alienum. Crackles atau wheezing inspiratorik bukan
karakteristik asma. Perlu juga dilakukan pemeriksaan hidung untuk menemukan
adanya rinitis alergi atau polip nasal (GINA, 2016).

F. Penatalaksanaan
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda
(reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk
meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah
teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini tidak lagi digunakan
atau diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang
disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk
mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan
demikian pemakaian obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak
ada lagi gejalanya kemudian pemberiannya diturunkan pelan – pelan yaitu 25
% setip penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 – 8 minggu
(Rahajoe, 2007)

1. Obat – obat Pereda (Reliever) (Supriyatno, 2008)


• Bronkodilator
• Short-acting β2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma
akut pada anak. Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot
pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot
lurik, hepar, dan pancreas. Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik

25
menyebabkan perubahan ATP menjadi cyclic-AMP sehingga timbul
relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya
bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens mukosilier,
penurunan permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya pelepasan
mediator sel mast (Supriyatno, 2008)
• Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali
tidak ada β2 agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada
reseptor β1, β2, dan α sehingga menimbulkan efek samping
berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia, tremor, dan
hipertensi. Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan
karena durasi efek bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan
menimbulkan efek samping, terutama pada jantung dan CNS.
• β2 agonis selektif
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
• Oral
Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6
jam.
Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6
jam.
Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30
menit, efek puncak dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya
sampai 5 jam.
• Nebulisasi
Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis
maksimum 5mg/kgBB), interval 20
menit, atau nebulisasi kontinu
dengan dosis 0,3 – 0,5
mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15
mg/jam).

26
Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1
respul/nebulisasi.
Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki
onset kerja 1 menit, efek puncak dicapai dalam 10 menit, lama
kerjanya 4 – 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.
• Intravena
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma
berat karena pada keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai
bagian distal obstruksi jalan napas. Efek samping takikardi
lebih sering terjadi.
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit,
dinaikkan 0,1 mcg/kgBB setiap 15 menit, dosis maksimal 4
mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama
10 menit, dilanjutkan dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan
infuse kontinu.
Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal,
sakit kepala, agitasi, palpitasi, dan takikardi.
• Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist
inhalasi, tapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas
keamanannya sempit, obat ini diberikan pada serangan asma berat
dengan kombinasi β2 agonist dan anticholinergick.
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme
terhadap reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5.
Methilxanthine cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau
parenteral. Pemberian teofilin IM harus dihindarkan karena menimbulkan
nyeri setempat yang lama. Umumnya adanya makanan dalam lambung
akan memperlambat kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi

27
derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine didistribusikan keseluruh tubuh,
melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya terutama
melalui metabolism hati, sebagian besar dieksresi bersama urin. Efek
samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi
yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia (Suherman,
2008).
• Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan
nebulisasi β2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik.
Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam (Supriyatno, 2008).
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis :
untuk usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek
sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut.
Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma jangka
panjang pada anak (Supriyatno, 2008).
• Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan :
• Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan
yang cukup lama.
• Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan
kortikosteroid hirupan sebagai kontroler.
• Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.
Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk
mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 – 24
jam. Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau
triamsinolon dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3 kali sehari
selama 3 – 5 kali sehari (Supriyatno, 2008).
Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator.
Obat ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin,
menghambat sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan basofil,
eosinofil dan leukosit lain di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas
vascular (Suherman, 2008).

28
Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan
penetrasi kejaringan paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan
efek mineralokortikoid minimal. Dosis metilprednisolon IV yang
dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis Hidrokortison
IV 4 mg/kgBB tiap 4 – 6 jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 – 1
mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 – 8 jam (Supriyatno, 2008).

2. Obat – obat Pengontrol


Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan
sistemik glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled β2-agonist,
theofilin, cromones, dan long acting oral β2-agonis (Byrne, 2006)
• Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang
paling efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur.
Intervensi awal dengan penggunaan inhalasi budesonide berhubungan
dengan perbaikan dalam pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan
obat-obat tambahan. Terapi pemeliharaan dengan inhalasi
glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-gejala asma,
mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah
sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif
bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.
Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis,
mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi
terjadinya down regulation receptor β2 agonist. Dosis yang dapat
digunakan sampai 400ug/hari (respire anak). Efek samping berupa
gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan
gangguan pada gigi dan mulut.
• Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)
Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan
dan mungkin hasilnya lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka
panjang yang membandingkannya dengan steroid hirupan + LABA.
Keuntungan memakai LTRA adalah sebagai berikut :

29
• LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan
cystenil leukotriane;
• Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap
bronkokonstriktor;
• Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction
• Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali
per hari, penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati;
sayangnya preparat montelukast ini belum ada di Indonesia;
• Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan
meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan
transforming growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan
terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta
diharapkan mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-
inflamator.
Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat
keparahan asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek
samping obat dapat mengganggu fungsi hati (meningkatkan transaminase)
sehingga perlu pemantauan fungsi hati.
• Long acting β2 Agonist (LABA)
Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol.
Pemberian ICS 400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari
frekuensi serangan, FEV1 pagi dan sore, penggunaan steroid oral,,
menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi ICS dan
LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate
dan salmeterol (Seretide), budesonide dan formoterol (Symbicort).
Seretide dalam MDI sedangkan Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini
mempermudah penggunaan obat dan meningkatkan kepatuhan memakai
obat.
• Teofilin lepas lambat
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama
kortikosteroid yang bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi

30
dosis pemeliharaan glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah
daripada glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.
Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala,
stimulasi ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan
jarang, perdarahan lambung. Efek samping muncul pada dosis lebih dari
10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai pada dosis inisial
5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.

3. Terapi Suportif
• Terapi oksigen
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula
hidung, masker atau headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen,
sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%).
• Campuran Helium dan oksigen
Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit
sebagai tambahan pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama
dengan nebulisasi salbutamol dan metilprednisolon IV, secara bermakna
menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan peakflow dan mengurangi
sesak. Campuran helium dan oksigen dapat memperbaiki oksigenasi karena
helium bersifat ringan sehingga dapat mengubah aliran turbulen menjadi
laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli.
• Terapi cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang
adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea serta
efek diuretic teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati kareana pada asma
berat terjadi peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yan
memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan pleura negatif tinggi pada
puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah cairan
yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.

31
Gambar Tatalaksana Asma Eksaserbasi Akut di Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama. Dikutip dari GINA 2017

32
BAB 4
PEMBAHASAN

Asma eksaserbasi akut pada asma tidak terkontrol

Berikut ini adalah beberapa hal yang menjadi poin-poin penting tentang asma
eksaserbasi akut:

1. Eksaserbasi adalah perburukan akut atau subakut dalam hal gejala dan
fungsi paru dari keadaan pasien biasanya, dan dalam beberapa kasus,
gejala klinis pertama dari asma.
2. Penilaian keparahan eksaserbasi seharusnya berdasarkan pada derajat
sesak nafas, laju pernafasan, denyut nadi, saturasi oksigen dan fungsi paru,
sambil memulai terapi short-acting beta2 agonist (SABA) dan terapi
oksigen
3. Pasien dengan peningkatan risiko kematian terkait asma seharusnya
dikenali, dan diperhatikan lebih dalam. Berikut ini adalah ciri-ciri pasien
dengan risiko kematian akibat asma:
a. Pernah mengalami asma berat yang hampir fatal dan membutuhkan
intubasi dan ventilasi
b. Pernah dirawat inap atau perawatan IGD akibat asma dalam waktu
12 bulan terakhir
c. Sedang tidak menggunakan ICS, kepatuhan rendah dengan ICS
d. Saat ini menggunakan atau baru saja menghentikan oral
kortikosteroid
e. Penggunaan SABA yang berlebihan, terutama jika menggunakan
lebih dari 1 canister/bulan
f. Kurangnya rencana penanganan asma yang dibuat
g. Pernah mengalami penyakit psikiatrik atau masalah psikososial
h. Pasien asma dengan alergi makanan
4. Pada kasus ini tidak terdapat risiko kematian, serta derajat eksaserbasi
yakni ringan sampai sedang, didapatkan dari:
a. Klinis pasien yang masih dapat mengucapkan frasa

33
b. Masih nyaman berada dalam posisi duduk
c. Laju respirasi <30 /menit
d. Saturasi oksigen masih berkisar 85-90%
e. Denyut jantung masih berkisar 100-120

Sehingga diberikan terapi berupa:

1. Nebul ventoline+ flexotide tiap 6 jam


2. Inf RL 20 TPM
3. Inj. MP 62.5 mg/ 8 jam
4. Ranitidine 1 Ampul /12 jam
5. Terasma 3xcth 1

34
BAB 5
KESIMPULAN

Asma merupakan penyakit yang cukup banyak dijumpai pada anak-anak.


Asma didefenisikan sebagai wheezing dan/atau batuk dengan karakteristik sebagai
berikut : timbul secara episodik dan/atau kronis, cenderung pada malam hari
(nocturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktifitas fisik, dan
bersifat reversible baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya
riwayat asma atau atopi pada pasien/keluarganya, sedangkan sebab-sebab lain
sudah disingkirkan. Karena asma merupakan penyakit yang berhubungan dengan
imunologi, maka penderita asma dapat mengalami serangan berulang. Asma dapat
diklasifikasikan sebagai asma episodik jarang, episodik sering, dan asma
persisten. Sedangkan jika terjadi serangan, dapat diklasifikasikan sebagai asma
serangan ringan, sedang, dan berat. Serangan asma yang tidak terkontrol dapat
menyebabkan terjadinya apnea. Oleh karena itu, penatalaksanaan serangan asma
tergantung kepada derajat serangannya. Serangan asma ditanggulangi dengan
pemberian bronkodilator, baik secara oral, parenteral, maupun inhalasi.
Tatalaksana asma diluar serangan dapat dilakukan dengan menghindari
faktor pencetus asma serta penggunaan obat pengendali (controller). Diharapkan
dengan dilakukannya tatalaksana asma jangka panjang dapat mengurangi
terjadinya serangan asma, sehingga dapat meningkatkan quality of life dari
penderita asma.

35
DAFTAR PUSTAKA

Alan, R. 1999. Immunobiology of Asthma and Rhinitis : Pathogenic Factors and


Therapeutic Options. Am J Respir Crit Care Med: 160: 1778–87
Bel, E.H. 2004.. Clinical phenotypes of asthma. Curr Opin Pulm Med;10:44-50.
Busse, W.W. 2001. Advances in Immunology. N Engl J Med 2001; 344: 350-62.
Demoly, P. 2008. Links between allergic rhinitis and asthma still reinforced.
Allergy; 63: 251–4.
Depkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Depkes RI.
Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan RI ;2009; 5-
11.
Flood PT. Role of eosinophil and asthma airway remodeling. Am J Respir Crit
Care Med; 167: 199-204.
Global Initiative for Asthma (GINA). 2016. Global Strategy for Asthma
Management and Prevention. Available at: www.ginasthma.or
Makmuri MS. Patofisiologi asma. Dalam: Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto BD,
penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. Cetakan pertama. Jakarta. Badan
Penerbit IDAI, 2008.h.98-104.
Neri M, Spanevello, A Chronic bronchial asthma from challenge to treatment:
epidemiology and social impact. Thorax 2000;55;57-58
O’Byrne P, Bateman ED, Bousquet J, Clark T, Paggario P, Ohta K, dkk. Global
Initiative For Asthma. Medical Communications Resources, Inc ; 2006
Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman Nasional Asma Anak. Jakarta:
UKK Pulmonologi PP IDAI; 2009.
Rahmawati I, Yunus F, Wiyono WH. Patogenesis dan Patofisiologi Asma. Cermin
Dunia Kedokteran 2003; 41: 5-11
Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan Patofisiologi Asma Anak. dalam:
Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar
Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008.
h.85-96.

36
Suherman SK. Ascobat P. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid, Analog
Sintetik dan Antagonisnya. dalam: Gunawan SG, penyunting. Farmakologi
dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. h. 496-500.
Sundaru H, Sukamto. Asma bronkial. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, penyunting. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I, Edisi VI. Jakarta. Internal Publishing, 2014.h.478-
88
Wong G.W.K et al, Individual allergens as risk factors for asthma and bronchial
hyperresponsiveness in Chinese children. Eur Respir J 2002; 19:288–293.

37

Anda mungkin juga menyukai