DEFINISI
Merupakan inflamasi pada hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan 2 atau lebih
gejala yang timbul lebih dari 12 minggu dan disertai dengan keluhan hidung tersumbat
ataupun adanya discharge.
EPIDEMIOLOGI
Rhinosinusitis kronik ditemukan pada sekitar 15% jumlah populasi. Sebanyak 33.000
kasus baru terdiagnosis dengan nasal polyposis setiap tahunnya di Inggris dan Wales.
PENYEBAB
PATOGENESIS
Rhinosinusitis kronik terjadi oleh karena adanya sumbatan pada ostium sinus akibat
inflamasi mukosa. Hal ini menyebabkan gangguan pada mukosiliar dalam perannya untuk
membersihkan dan terhadap ventilasi sinus, yang pada akhirnya menyebabkan perubahan
mikroflora didalam sinus.
MANIFESTASI KLINIS
Dua atau lebih gejala yang timbul selama 12 minggu atau lebih, disertai salah satu dari
gejala hidung tersumbat atau discharge nasal. Gejala lainnya termasuk nyeri pada daerah
wajah dan hiposmia. Gejala minor termasuk bersin-bersin, gatal pada hidung, dan mata yang
berair.
Pemeriksaan dengan rhinoskopi anterior menunjukkan inflamasi dan hipertropi pada
mukosa. Jalan masuk udara yang minim dapat menjadi contoh sederhana untuk tes kabut,
dilakukan dengan cara meletakan sebuah tongue spatel dibawah hidung dan amati corakan
uap selama napas. Nasendoskopi sangat penting dalam pemeriksaan caum nasi dan dinding
nasal lateral yang eritema, edema, mukopus, dan polip.
PEMERIKSAAN
Skin-prick test harus dilakukan pada alergen inhalan. Jika dicurigai adanya gangguan
inflamasi kronik biasanya ditemukan adanya krusta pada hidung. Tes darah dilakukan untuk
ACE (sacoidosis) dan ANCA (Granulomatosis Wegener’s). Kultur bakteri dan jamur dapat
menentukan arah terapi dan dimana biasanya penyebab tersebut dapat berimplikasi.
CT-Scan sinus pada pasien menunjukkan abnormalitas pada anatomi dan derajat
keterlibatan sinus, dan rencana pembedahaan.
DIAGNOSIS DAN DIFERENSIAL DIAGNOSIS
MANAJEMEN
Terapi lini pertama adalah dengan terapi farmakologi. Terapi pembedahan dilakukan jika
terapi farmakologi gagal.
PROGNOSIS
Terapi farmakologi biasanya efektif dalam mengontrol gejala pada sebagian besar
pasien. Tindakan pembedahaan sejauh ini dirasa aman, tetapi resiko rekuren sangatlah tinggi
jika tidak diikuti dengan terapi farmakologi secara adekuat dan tindakan pencegahan lainnya.