Anda di halaman 1dari 3

Indonesia sungguh Negara yang besar, dengan jumlah penduduk kurang lebih 241.973.

879
jiwa. Namun, lebih dari 65 juta mulut masyarakat kita menghisap rokok secara rutin saat ini.
Rata-rata mereka menghabiskan 7 batang rokok per hari, membakar uang lebih dari Rp. 300
trilyun untuk rokok setiap harinya. Bahkan, Global Adult Tobacco Survey (GATS) menyebut
angka 370 milyar batang rokok yang ludes dibakar oleh masyarakat Indonesia sepanjang tahun
2015, menempatkan Indonesia sebagai jawara ketiga dunia dalam hal konsumsi rokok. Indonesia
hanya kalah dengan China dan India.

Jumlah Anak yang Mengonsumsi Rokok di Indonesia Sudah Masuk Tahap yang
Mengkhawatirkan

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa perokok
pemula yakni, anak yang berada pada rentang usia 10-14 tahun, naik dua kali lipat lebih dalam
10 tahun terakhir. Jika pada 2001 hanya 5,9 persen, pada 2010 naik menjadi 17,5 persen. Pada
2013, Riskesdas menemukan fakta konsumsi rokok pada kelompok usia 10-14 tahun mencapai
sekitar delapan batang per hari atau 240 batang sebulan. Artinya, anak-anak Indonesia sudah
menghabiskan Rp. 120.000,- hanya ntuk membeli rokok! Tidak heran, jika Global Youth
Tobacco Survey (GYTS), pada 2014, menempatkan Indonesia sebagai salah satu Negara dengan
jumlah perokok anak terbesar. Miris, ini merupakan fakta yang mengkhawatirkan ketika nasib
generasi muda justru tergadaikan.

Biaya Ekonomi Dampak Rokok Menuntut Biaya Tinggi dari Masyarakat

Fakta mengenai, proporsi merokok lebih besar pada penduduk miskin, dibanding penduduk kaya,
konsisten di berbagai Negara, baik di Negara berkembang maupun Negara maju, tak terkecuali
Indonesia. Umumnya, perokok menghabiskan pengeluaran untuk rokok sekitar tujuh kali lebih
tinggi dibandingkan pengeluaran per kapita untuk kesehatan. Pada kelompok yang berada di
bawah garis kemiskinan, rasio ini jauh lebih besar, di mana pengeluaran untuk rokok 19,2 kali
lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk kesehatan, dan 7 kali pengeluaran untuk pendidikan.
Hal ini tentunya menyebabkan, masyarakat miskin perokok dan keluarganya justru menanggung
beban penderitaan akibat konsumsi rokok yang menyebabkan mereka semakin sulit keluar dari
perangkap kemiskinan (poverty trap).
Di lain pihak, Negara mengalami kerugian sebesar 378,75 triliun rupiah akibat menanggulangi
penyakit yang diakibatkan oleh rokok. Peluang ekonomi yang hilang di negara-negara
berkembang dengan populasi padat sangatlah parah karena separuh dari seluruh kematian terkait
rokok terjadi selama masa produktif utama (30–69 tahun). Padahal, mulai dari tahun 2020 hingga
2030, kita akan menghadapi bonus demografi, struktur demografi Indonesia akan lebih banyak
diisi oleh penduduk usia produktif. Namun, jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin
bonus demografi yang seharusnya menjadi sebuah opportunity untuk melejitkan potensi
Indoensia, akan berbalik menjadi malapetaka, dengan penduduk usia produktif yang justru
berisikan orang-orang yang memiliki penyakit kronis yang diakibatkan oleh rokok.

Kenaikan Tarif Cukai dan Harga Rokok sebagai Solusi Efektif untuk Selamatkan
Generasi Muda!

Cukai merupakan salah satu penerimaan pajak yang memiliki karakteristik yang unik. Secara
teori dan praktik dalam kebijakan fiskal, cukai rokok termasuk excise tax, yaitu pajak yang
bertujuan mengurangi konsumsi terhadap barang yang dipajaki. Bila ditinjau dari sisi tujuan
pemungutan, cukai dapat digunakan sebagai sumber penerimaan negara (budgetair) dan juga
dapat diarahkan untuk kepentingan pengaturan (regulerend). Begitupun halnya dengan cukai
rokok. Merupakan hal yang arif, bahwa peningkatan harga rokok melalui peningkatan tarif cukai
adalah win win solution karena dia akan menurunkan konsumsi rokok, terutama pada anak-anak
dan kelompok masyarakat dengan ekonomi kelas menengah ke bawah, dan pada saat yang sama
akan berpotensi meningkatkan penerimaan negara dari cukai tembakau. Hal ini tentunya akan
menjadi solusi yang efektif terhadap upaya menyelamatkan generasi muda dan merupakan
persiapan yang baik untuk meningkatkan kualitas serta produktivitas generasi muda dalam
rangka menyambut tantangan bonus demografi.

Nyala harapan kembali terasa manakala Presiden Joko Widodo dalam kampanyenya menjanjikan
program Nawacita. Dalam Nawacita 5, Presiden Jokowi berjanji akan meningkatkan kualitas
hidup bangsa, antara lain melalui pendidikan (target 1) dan kesehatan (target 2). Dan dalam
target nomor 21, Presiden Jokowi berjanji meningkatkan cukai rokok 200 persen dari nilai pada
2013, mulai 2015. Namun, hingga kini memasuki tahun 2016, belum tampak upaya sungguh-
sungguh untuk mewujudkan target tersebut.
Kesehatan adalah hak setiap orang yang dijamin konstitusi. Hidup sehat adalah hak setiap orang
yang wajib diwujudkan oleh penyelenggara negara. Saya mengajak segenap warga Indonesia
yang peduli akan nasib generasi muda untuk memberikan dukungan terbaiknya terhadap
Presiden Joko Widodo beserta segenap jajaran Kementerian Keuangan untuk meningkatkan tarif
cukai dan harga rokok sebagai solusi efektif menekan konsumsi perokok sekaligus berpotensi
meningkatkan penerimaan negara dari cukai tembakau. Sebab anak adalah generasi penerus
bangsa. Jika generasi muda tumbuh sehat, maka tentu amanat bangsa yang termaktub dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945 akan terlaksana dengan baik. Karena, ini bukan
hanya tentang aku atau kamu tapi, tentang kita, Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai