Anda di halaman 1dari 12

PENGELOLAAN EROSI DAN SEDIMENTASI DAS

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Teknik Konservasi


Waduk yang diampu oleh Ir. Sholichin MT., Ph.D

Disusun Oleh:

Yessy Noviyanti Putri (1450604011110440

Dien Rifki Annisa (145060407111012)

M. Chico Andriansyah (145060401111023)

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS TEKNIK
MALANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Air dan tanah memiliki keterkaitan yang sangat erat, pada saat air hujan sampai ke
permukaan bumi, sebagian akan masuk ke dalam tanah (infiltrasi) untuk menjadi bagian dari
air tanah (groundwater), sedangkan air hujan yang tidak terserap tanah akan menjadi aliran
permukaan (run-off). Tidak semua air infiltrasi (air tanah) mengalir ke sungai atau
tampungan air lainnya, melainkan ada sebagian yang tetap tinggal dalam lapisan bagian atas
(top soil) untuk kemudian di uapkan kembali ke atmosfer melalui permukaan tanah
(evaporation) dan melalui permukaan tajuk vegetasi (transpiration) (Asdak, 2001). Dalam
penelitian Rosyidah dan Wirosoedarmo (2013) mengatakan bahwa pergerakan air dalam
tanah yang kondisinya jenuh akan mempengaruhi limpasan dan infiltrasi di daerah tersebut,
sedangkan proses pergerakan tersebut sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik tanah dan
perubahan penggunaan lahan akan mempengaruhi sifat fisik tanah sehingga berpengaruh
juga dalam pergerakan air dalam tanah. Suatu studi oleh Arsyad (2000) dalam Saribun
(2007), mengemukakan bahwa kemunduran sifatsifat fisik tanah tercermin antara lain
menurunnya kapasitas infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air, meningkatnya
kepadatan dan ketahanan penetrasi tanah dan berkurangnya kemantapan struktur tanah
sehingga dapat menyebabkan terjadinya erosi.

Erosi menimbulkan dampak terhadap lingkungan, tidak terbatas pada wilayah on


site tetapi dapat juga meluas hingga wilayah off site. Seringkali erosi berdampak meluas di
dalam suatu kawasan daerah aliran sungai (DAS). Dampak langsung, misalnya menurunnya
tingkat kesuburan tanah, menyempitnya lahan pertanian dan kehutanan produktif serta
meluasnya lahan kritis. Dampak tidak langsung dapat berupa polusi kimia dari pupuk dan
pestisida, serta sedimentasi yang dapat menurunkan kualitas perariran sebagai sumber air
permukaan maupun sebagai suatu ekosistem (Nugroho, 2002). Dalam konteks pengelolaan
DAS, kegiatan pengelolaan yang dilakukan umumnya bertujuan mengendalikan atau
menurunkan laju sedimentasi karena kerugian yang ditimbulkan oleh adanya proses
sedimentasi jauh lebih besar dari pada manfaat yang diperoleh (Asdak, 2001).

Banyak laporan menyebutkan bahwa umur guna suatu waduk dapat berkurang jika
sedimentasi dari daerah tangkapan waduk terlalu tinggi. Sedimentasi yang terlalu tinggi
mengakibatkan pendangkalan waduk yang cepat sehingga kemampuan waduk tersebut
untuk menyimpan air berkurang. Hal ini akan menyebabkan penurunan umur guna waduk
yang berdampak pada fungsi waduk untuk pelayanan irigasi, pengbangkit listrik, kegiatan
perikanan, pariwisata, serta pengendali banjir (World Bank, 1990).

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana definisi pengelolaan erosi dan sedimentasi di DAS?
2. Bagaimana upaya pengelolaan erosi dan sedimentasi di DAS?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari pengelolaan erosi dan sedimentasi di DAS
2. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan untuk pengelolaan ersi dan sedimentasi di
DAS
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi Pengelolaan Erosi dan Sedimentasi DAS


2.1.1. Definisi Erosi dan Sedimentasi
Erosi adalah suatu proses dimana tanah dihancurkan (detached) dan kemudian
dipindahkan ke tempat lain oleh kekuatan air, angin dan gravitasi (Hardjowigeno, 1987).
Pada dasarnya erosi yang paling sering terjadi dengan tingkat produksi sedimen (sediment
yield) paling besar adalah erosi permukaan (sheet erosion) jika dibandingkan dengan
beberapa jenis erosi yang lain yakni erosi alur (rill erosion), erosi parit (gully erosion) dan
erosi tebing sungai (stream bank erosion). Secara keseluruhan laju erosi yang terjadi
disebabkan dan dipengaruhi oleh lima factor diantaranya factor iklim, struktur dan jenis
tanah, vegetasi, topografi dan factor pengelolaan tanah. Faktor iklim yang paling
menentukan laju erosi adalah hujan yang dinyatakan dalam nilai indeks erosi vitas hujan
(Arsyad, 2010:29). Curah hujan yang jatuh secara langsung atau tidak langsung dapat
mengikis permukaan tanah secara perlahan dengan pertambahan waktu dan akumulasi
intensitas hujan tersebut akan mendatangkan erosi (Asdak, 2007:35). Dari kerusakan yang
ditimbulkan oleh peristiwa erosi dapat terjadi didua tempat, yaitu pada tanah tempat erosi
terjadi dan pada tempat tujuan akhir tanah yang terangkut diendapkan. (Arsyad, 2006:29).
Proses erosi terdiri dari tiga bagian yang berurutan yaitu pengelupasan (detachment),
pengangkutan (transportation), dan pengendapan (sedimentation).
Sedimen adalah hasil proses erosi, baik berupa erosi permukaan, erosi parit, atau
jenis erosi lainnya. Sedimentasi diartikan sebagai proses pengendapan butir-butir tanah yang
telah hanyut atau terangkut air pada tempat-tempat yang lebih rendah Sedimentasi yang
terjadi pada sungai disamping menyebabkan pendangkalan sungai juga sering menimbulkan
penciutan lebar sungai akibat pembentukan tanah baru. Sedimen umumnya mengendap
dibagian bawah kaki bukit, didaerah genangan banjir, di saluran air, sungai dan waduk. Hasil
sedimen (sediment yield) adalah besarnya sedimen yang berasal dari erosi yang terjadi di
daerah tangkapan air yang diukur pada periode waktu dan tempat tertentu. Hasil sedimen
biasanya diperoleh dari pengukuran sedimen terlarut dalam sungai (suspended sediment)
atau dengan pengukuran langsung didalam waduk.
Sedimen yang sering dijumpai didalam sungai, baik terlarut dan tidak terlarut, adalah
merupakan produk dari pelapukan batuan induk yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan,
terutama perubahan iklim. Hasil pelapukan batuan induk tersebut dikenal sebagai partikel-
partikel tanah. Oleh karena pengaruh tenaga kinetis air hujan dan aliran air permukaan
(untuk kasus di daerah tropis), partikel-partikel tanah tersebut dapat terkelupas dan terangkut
ke tempat yang lebih rendah untuk kemudian masuk ke dalam sungai dan dikenal sebagai
sedimen. Oleh adanya transpor sedimen dari tempat yang lebih tinggi ke daerah hilir dapat
menyebabkan pendangkalan waduk, sungai, saluran irigasi dan terbentuknya tanah-tanah
baru di pinggir-pinggir dan di delta-delta sungai. Dengan demikian proses sedimentasi dapat
memberikan dampak yang menguntungkan dan merugikan. Dikatakan menguntungkan
karena pada tingkat tertentu adanya aliran sedimen ke daerah hilir dapat menambah
kesuburan tanah serta terbentuknya tanah garapan baru didaerah hilir. Tetapi, pada saat
bersamaan aliran sedimen juga dapat menurunkan kualitas perairan dan pendangkalan badan
perairan. Dalam konteks pengelolaan DAS, kegiatan pengelolaan dilakukan umumnya
bertujuan mengendalikan atau menurunkan laju sedimentasi karena kerugian yang
ditimbulkan oleh adanya proses sedimentasi jauh lebih besar dari pada manfaat yang
diperoleh (Asdak, 2001).

2.1.2. Definisi Pengelolaan Erosi dan Sedimentasi DAS


Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh punggung-
punggung bukit yang menampung air hujan dan mengalirkannya melalui saluran air, dan
kemudian berkumpul menuju suatu muara sungai, laut, danau atau waduk. Pengelolaan DAS
sendiri menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian adalah upaya manusia dalam
mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia dan segala
aktivitasnya, dengan tujuan membina kelestarian ekosistem serta meningkatkan
kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia.
Definisi lainnya disampaikan oleh Boehmer et al. (1997), pengelolaan DAS adalah
suatu proses penyusunan dan penerapan suatu tindakan yang melibatkan sumber daya alam
dan manusia di dalam DAS, dengan mempertimbangkan faktor-faktor sosial, politik,
ekonomi, lingkungan dan institusi (kelembagaan) dama DAS, untuk mencapai dan seluas
mungkin mengembangkan lingkup dari tujuan masyarakat jangka pendek dan jangka
panjang. Sehingga dapat disimpulkan pengelolaan erosi dan sedimentasi di DAS yaitu
upaya-upaya yang dilakukan manusia untuk mengendalikan erosi dan sedimentasi pada DAS
sehingga dapat meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia dalam jangka
pendek maupun jangka panjang.
2.2. Ekosistem Daerah Aliran Sungai
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen-komponen yang
saling berintegrasi sehingga membentuk suatu kesatuan. Sistem tersebut mempunyai sifat
tertentu, tergantung pada jumlah dan jenis komponen penyusunnya. Besar-kecilnya ukuran
ekosistem tergantung pada pandangan dan batas yang diberikan pada ekosistem tersebut.
Daerah Aliran Sungai dapat dianggap sebagai suatu ekosistem.
Ekosistem terdiri atas komponen biotis dan abiotis yang saling berinteraksi
membentuk satu kesatuan yang teratur. Dengan demikian, dalam suatu ekosistem tidak ada
satu komponenpun yang berdiri sendiri, melainkan mempunyai keterkaitan dengan
komponen lain, langsung atau tidak langsung, besar atau kecil. Aktivitas suatu komponen
ekosistem selalu memberi pengaruh pada komponen ekosistem yang lain. Manusia adalah
satu komponen yang penting. Sebagai komponen yang dinamis, manusia dalam menjalankan
aktivitasnya seringkali mengakibatkan dampak pada salah satu komponen lingkungan, dan
dengan demikian mempengaruji ekosistem secara keseluruhan. Selama hubungan
timbalbalik antar komponen ekosistem dalam keadaan seimbang, selama itu pula ekosistem
berada dalam kondisi stabil. Sebaliknya, bila hubungan timbal-balik antar komponen-
komponen lingkungan mengalami gangguan, maka terjadilah gangguan ekologis.

Gambar 1.2 Hubungan Biofisik Daerah Hulu & Hilir DAS (Asdak, 2001)

Dalam mempelajari ekosistem DAS, daerah aliran sungai biasanya dibagi menjadi
daerah hulu, tengah dan hilir. Ekosistem hulu merupakan bagian yang penting karena
mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Perlindungan ini, antara lain,
dari segi fungsi tata air. Oleh karena itu, DAS hulu seringkali menjadi fokus perencanaan
pengelolaan DAS mengingat bahwa dalam suatu DAS, daerah hulu dan hilir mempunyai
keterkaitan biofisik antara daerah hulu dan hilir suatu DAS (Asdak, 2001).

2.3. Pengelolaan Erosi dan Sedimentasi


2.3.1. Pengendalian Erosi Lahan
Pengendalian erosi dimaksudkan sebagai upaya pencegahan kerusakan tanah dengan
cara mengupayakan resistansi tanah terhadap daya erosi dan mengurangi sifat erosif dari
aliran permukaan (surface runoff). Kegiatan pengendalian erosi di lahan (upaya konservasi)
adalah upaya untuk mempertahankan, meningkatkan, dan/atau mengembalikan fungsi atau
daya dukung lahan sesuai dengan peruntukannya yaitu, sebagai Kawasan Lindung, Kawasan
Budidaya dan lain-lain yang dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
 Memperbesar resistensi permukaan tanah sehingga lapisan permukaan tanah tahan
terhadap pengaruh tumbukan butir-butir air hujan,
 Memperbesar kapasitas infiltrasi tanah, sehingga laju aliran permukaan dapat diredusir
(dikurangi);
 Meredusir laju aliran permukaan agar daya kikis terhadap tanah yang dilalui dapat
diperkecil; dan
 Memperbesar resistensi tanah sehingga daya rusak dan daya hanyut aliran permukaan
terhadap partikel-partikel tanah dapat diperkecil atau diredusir.
Dengan memperhatikan prinsip-prinsip tersebut di atas, maka usaha pengendalian
erosi dan atau usaha pengawetan tanah dapat dilaksanakan dengan teknologi atau beberapa
cara seperti cara vegetatif, cara mekanik, cara gabungan vegetatif dan mekanis serta cara
kimiawi. Pada Tulisan ini akan dijelaskan cara vegetatif dan cara teknis atau mekanis.
Pengendalian erosi cara vegetatif Pengendalian erosi cara vegetatif pada prinsipnya
adalah pengendalian erosi melalui perubahan faktor C (faktor penutup lahan pada formula
USLE) untuk menahan energi hujan yang bersifat erosif, menjaga infiltrasi yang besar dan
mengurangi laju aliran permukaan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Triyono Sudarmaji
dan Gazali Rachman (1998) berkaitan dengan Percobaan Penggunaan Mulsa Alang-Alang
untuk Pengendalian Erosi Tanah pada Lahan Kritis dengan Kelerengan yang Beragam,
mencoba melakukan perubahan nilai C dengan mulsa alang-alang pada beberapa variasi
penempatannya. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Widianto, Didik Suprayogo,
Herman Noveras, Rudi Harto Widodo, Pratiknyo Purnomosidhi Dan Meine Van Noordwijk
(2004) berkaitan dengan Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian: Apakah Fungsi
Hidrologis Hutan Dapat Digantikan Sistem Kopi Monokultur, dimaksudkan untuk
menganalisis perubahan perubahan perilaku limpasan permukaan dan erosi akibat alih-guna
lahan hutan menjadi sistem kopi monokultur. Dengan kata lain penelitian ini mempelajari
perilaku erosi melalui perubahan fungsi tutupan lahan (faktor C). Usaha pengendalian erosi
dengan cara vegetatif didasarkan pada peran tanaman untuk mengurangi erosi seperti
menghalangi tumbukan langsung butir-butir hujan ke permukaan tanah, mengurangi
kecepatan aliran di permukaan tanah dan memperbesar kapasitas infiltrasi. Berbagai
jenis vegetasi danpenggunaan tanah mempunyaiefisiensi yang berlainan dalam konservasi
tanah. Efisiensi relatif tinggi jika digunakan vegetasi permanen, seperti hutan lebat dengan
semak-semak. Cara vegetatif dapat meliputi kegiatan-kegiatan seperti :
 Penghutanan kembali (reboisasi) dan penghijauan,
 Penanaman tanaman penutup tanah,
 Penanaman tanaman secara garis kontur,
 Penanaman tanaman dalam strip,
 Penanaman tanaman secara bergilir, dan
 Pemulsaan.
2.3.2. Pengendalian Sedimen Waduk
Terdapat dua kelompok kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka mengurangi
laju sedimentasi waduk, yaitu kegiatan pada daerah tangkapan, serta kegiatan pada
waduknya sendiri. Tingkat kemudahan dan keberhasilan dari kegiatan yang dilakukan sangat
tergantung pada tingkat permasalahan sedimentasi dari waduk yang bersangkutan. Namun
demikian, pada umumnya penanganan sedimentasi dengan cara evakuasi atau pembuangan
sedimen dari dalam Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, aktifitas dan
pemanfaatan lahan di daerah tangkapan waduk akan meningkat, baik secara ekspansi lahan
maupun peningkatan intensitas lahan. Dengan adanya aktifitas tersebut akan terjadi
perubahan sifat dan krakteristika daerah tangkapan. Beberapa aktifitas waduk dengan cara
pengerukan merupakan alternatif terakhir yang sebaiknya dihindari. Untuk itu suatu strategi
pengelolaan sedimentasi waduk perlu disusun secara cermat, sehingga pilihan jenis kegiatan
penanganan akan merupakan pilihan terbaik baik dari segi teknis ataupun non-teknis.
Penyusunan strategi pengelolaan sedimentasi waduk perlu didasarkan pada runtutan kajian
yang memandu kearah pilihan terbaik atas kegiatan penanganan yang harus dilakukan.
Penanganan sedimentasi waduk secara umum dapat dibedakan menjadi empat jenis
kegiatan atau usaha, yaitu:
a. Penekanan Laju Erosi Kawasan Hulu
Penekanan laju erosi kawasan hulu merupakan tindakan penting yang harus
dilakukan dalam upaya pengurangan masalah sedimentasi waduk. Tindakan penekanan laju
erosi kawasan hulu dapat dilakukan secara struktural (perlakukan sipil dan vegetasi),
ataupun tindakan nonstruktural (sosial). Pada umumnya penekanan laju erosi kawasan hulu
akan berhasil baik apabila usikan atau sentuhan manusia terhadap lahan kawasan hulu
dikurangi atau bahkan bila memungkinkan dihilangkan.
b. Usaha meminimalkan beban sedimen yang masuk ke waduk
Fenomena aliran sedimen yang masuk ke waduk sebagai kelanjutan migrasi sedimen
hasil erosi permukaan merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Sejauh jumlah yang masuk
ke dalam waduk tidak dalam jumlah yang berlebihan maka hal tersebut tentunya bukan
merupakan keberatan. Dengan demikian persoalannya terletak pada bagaimana usaha yang
harus dilakukan dalam upaya memperkecil jumlah sedimen yang masuk ke waduk tersebut.
Pengurangan beban sedimen yang masuk ke waduk dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu
penangkapan sedimen melalui sistem alur cekungan, serta pengalihan sedimen yang akan
masuk ke waduk tersebut ke daerah lain di luar waduk. Pada cara pertama umumnya
ditempuh dengan membangun checkdam dan kantong pasir, sedangkan pada cara yang
kedua ditempuh dengan cara membangun sudetan atau sand bypass. Perlu diingat bahwa
fungsi bangunan dalam menahan material untuk tidak mengalir menuju ke waduk adalah
terbatas. Selain tergantung pada ketersediaan aliran air, juga tergantung pada jenis sedimen
yang dapat ditahan ataupun oleh bangunanbangunan tersebut. Pada umumnya hanya
material berukuran relatif besar (ukuran butir pasir dan yang lebih besar) yang dapat ditahan
oleh bangunan-bangunan tersebut. Sedangkan butir-butir halus (lebih kecil dari ukuran
pasir) akan tetap lolos dan mengalir menuju ke waduk.
c. Usaha meminimalkan jumlah sedimen yang mengendap di waduk
Walaupun jumlah sedimen yang masuk ke waduk cukup besar, permasalahan
sedimentasi masih dapat diatasi dengan cara mencegah terjadinya deposisi sedimen yang
masuk tersebut ke dasar waduk. Cara ini umumnya disebut pelewatan (sluicing) sejumlah
sedimen yang masuk ke waduk tersebut. Beberapa persyaratan umum yang dapat menunjang
keberhasilan kegiatan pelewatan sedimen antara lain adalah tersedia volume air yang cukup
selama waktu pelewatan sedimen, bentuk kolam waduk memanjang dan jenis sedimen yang
akan dikeluarkan mempunyai ukuran relatif kecil (fraksi lumpur atau lempung)
d. Pemindahan (evacuation) sedimen keluar dari waduk
Usaha pengurangan jumlah sedimen yang masuk ke waduk serta pencegahan
sedimen yang mengendap di dasar waduk kemungkinan tidak cukup untuk mengatasi
permasalahan sedimentasi waduk Apabila dijumpai kondisi yang demikian maka
pemindahan sedimen keluar dari waduk merupakan upaya terakhir yang tetap harus
dilaksanakan. Dua cara yang sering ditempuh adalah dengan cara penggelontoran (flushing)
melalui fasilitas keluaran bawah (bottom outlet), serta pengerukan (dredging).
Persyaratan tindakan penggelontoran sedimen adalah hampir sama dengan
persyaratan tindakan pelewatan sedimen, antara lain tersedia volume air yang cukup selama
waktu penggelontoran sedimen, jenis sedimen yang akan dikeluarkan mempunyai ukuran
relatif kecil (fraksi lumpur atau lempung), hanya sedimen yang berada di dekat daerah pintu
pengambilan saja yang dapat digelontor dan perlu disertai dengan penguraian sedimen yang
terlanjur memadat, misalnya dengan metode penyemprotan dengan bubble jet. Sedangkan
hal-hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan pengerukan atau dredging adalah volume
sedimen yang akan dikeruk, lokasi pengerukan yang tidak membahayakan stabilitas struktur
bendungan, lokasi tempat pembuangan bahan hasil pengerukan dan masalah lingkungan
lainnya (pencemaran jalan akses, dll).
Setiap usaha penanganan, baik di sistem lahan, sistem alur, ataupun di waduknya
sendiri, harus mempunyai tolok ukur, dan sedapat mungkin dikuantifikasi. Tolok ukur
keberhasilan penanganan sedimentasi waduk ditetapkan berdasar beberapa pendekatan,
antara lain :
1. Menurunnya nilai erosi daerah tangkapan,
2. Menurunnya jumlah sedimen yang masuk ke waduk,
3. Menurunnya gradien perubahan nilai SDR,
4. Bertahannya kapasitas tampung waduk,
5. Meningkatnya peran serta masyarakat dalam usaha konservasi daerah tangkapan.
 Penanganan Secara Vegetatif
Metode konservasi kawasan hulu dalam rangka mengurangi atau mencegah sedimen
masuk ke waduk dapat ditempuh dengan penanganan struktural maupun non-struktural.
Penanganan struktural termasuk pembangunan tampungan sedimen, bangunan terjunan
untuk mengurangi erosi alur, perlindungan tebing untuk mengurangi erosi tebing, serta
bangunan pengendali dasar sungai (ambang) untuk menstabilkan elevasi dasar sungai.
Penanganan nonstruktural mencakup perbaikan daerah tangkapan dengan perbaikan
tanaman penutup dan rotasi tanaman untuk menekan laju erosi serta dengan pengaturan
tanaman untuk menahan angkutan sedimen.
 Penanganan Secara Sosial
Keberhasilan penanganan sedimentasi waduk sangat tergantung pada aktivitas
manusia sehari-hari pada lahan yang memberi kontribusi terhadap sedimentasi waduk,
khususnya kawasan di hulu waduk. Di dalam mengelola kawasan hulu, peran serta
masyarakat yang tinggal di kawasan hulu sangat diperlukan, dengan suatu alasan bahwa
merekalah yang sehari-hari berdekatan dengan lahan kawasan hulu tersebut. Pengembangan
peran serta masyarakat perlu didahului dengan penjaringan kondisi sosial masyarakat (mata
pencaharian, persepsi konservasi lahan, nilai budaya masyarakat, khususnya dalam
berinteraksi dengan alam sekitarnya, dan lain-lain). Mengetahui pola aspirasi masyarakat
kawasan hulu adalah langkah bijaksana yang harus dilakukan, untuk kemudian bersamasama
dengan tingkat kesesuaian lahan mencarikan bentuk konservasi lahan yang paling sesuai
bagi masyarakat tersebut. Nilai lebih dan kompetitif suatu kegiatan perlu diciptakan agar
masyarakat dapat menerima manfaat langsung dengan keikut sertaan mereka dalam kegiatan
konservasi lahan kawasan hulu.
Implementasi atau pelaksanaan dari konservasi tanah dan air sangat tidak mungkin
hanya dilaksanakan secara struktural. Tindakan secara tidak langsung yang bersifat
nonstruktural sangat perlu dilakukan demi kesuksesan tindakan secara struktural. Di dalam
membangun suatu kegiatan non-struktural yang terkait dengan pengembangan peran serta
masyarakat, maka tata perundangan yang ada, misal Undang-Undang No.41 Tahun /1999
tentang peran serta masyarakat, ataupun UndangUndang No. 7 Tahun 2004 Tentang
Sumberdaya Air, perlu diacu secara arif dengan memperhatikan kesesuaiannya di lapangan.
Selanjutnya perlu diingat bahwa pengembangan kegiatan nonstruktural dalam upaya
pengelolaan sedimentasi waduk mempunyai beberapa tujuan pokok. Tujuan pokok tersebut
adalah:
a) menunjang pelaksanaan penaganan sedimentasi waduk secara struktural
b) menunjang pelaksanaan konservasi lahan
c) memberi kesempatan kepada masyarakat di sekitar obyek untuk berperan serta melakukan
tindakan pengamanan sedimentasi waduk serta memperoleh peningkatan kesejahteraan
dengan adanya kegiatan penanganan struktural, termasuk penanganan secara vegetasi.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1. DAS merupakan sebuah ekosistem yang saling berhubungn, yaitu bagian hulu, tengah,
dan hilir. Ekosistem hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi
perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Perlindungan ini, antara lain, dari segi
fungsi tata air. Oleh karena itu, DAS hulu seringkali menjadi fokus perencanaan
pengelolaan DAS, dan sangat berpengaruh pada ekosistem tengah dan hilirnya.
2. Pengendalian erosi bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu vegetatif dan non vegetatif
3. Pengendalian sedimen di waduk dapat dilakukan dengan cara non vegetatif, cara
vegetatif (struktural dan non struktral) serta penanganan secara sosial
4. Tolok ukur keberhasilan penanganan sedimentasi waduk ditetapkan berdasar beberapa
pendekatan, antara lain :
- Menurunnya nilai erosi daerah tangkapan,
- Menurunnya jumlah sedimen yang masuk ke waduk,
- Menurunnya gradien perubahan nilai SDR,
- Bertahannya kapasitas tampung waduk,
- Meningkatnya peran serta masyarakat dalam usaha konservasi daerah tangkapan.

Anda mungkin juga menyukai