Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kusta (lepra) atau Morbus Hansen merupakan penyakit menular yang menahun

dan disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium Leprae) yang menyerang syaraf tepi,

kulit dan jaringan tubuh lainnya. Penyakit ini sering kali menimbulkan permasalahan

yang kompleks, masalah yang ditimbulkan bukan hanya dari segi medis tetapi sampai

pada masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional (harian

kompasiana, 2012). Organisasi kesehatan dunia yaitu WHO menilai pada tahun 2011

Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia setelah India dan Brazil paling banyak

penderita kusta. Pada tahun 2010 ditemukan 17.012 kasus baru, 1.822 atau 10,71% di

antaranya, ditemukan sudah dalam keadaan cacat tingkat 2 (cacat yang tampak). WHO

juga mencanangkan Global Strategy for Further Reducing the Disease Burden Due To

Leprosy 2011-2015 yaitu target global yang hendak dicapai tahun 2015 yaitu penurunan

35% angka cacat yang kelihatan (tingkat II) pada tahun 2015

1.2 RUMUSAN MASALAH

A. Apa itu Leprae ?


B. Bagaimana Etiologinya ?
C. Bagaimana Epidemologinya ?
D. Mengapa bisa menyebabkan Kecacatan ?
E. Bagaimanakah proses Patofisiologinya ? ?
F. Apa saja Fakor-faktor Penyebab Kusta ?
G. Bagaimana Cara Pencegahan Penyakit Kusta ?
1.3 TUJUAN
Untuk mengetahui apa itu Kusta dan bagaimana proses Terjadinya sampai dengan
pencegahannya.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2
2.1. Pengertian Kusta

Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular kronik yangdisebabkan

oleh kuman Mycobacterium leprae (M leprae) yang intra seluler obligat menyerang saraf

perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas

kemudian ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Penyakit kusta dikenal juga dengan

nama Morbus Hansen atau lepra. Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni

kushtha yang berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum.(1,11) Penyakit kusta

adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang pertama

kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa (mulut) saluran

pernafasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Penyakit

kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat

kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis, tetapi meluas sampai

masalah sosial, ekonomi, dan psikologis.

2.2. Etiologi

Penyakit kusta disebabkan oleh M .leprae yang ditemukan oleh G.H.Armauer

Hansen tahun 1873 di Norwegia. Basil ini bersifat tahan asam, bentuk pleomorf lurus,

batang ramping dan sisanya berbentuk paralel dengan kedua ujung-ujungnya bulat

dengan ukuran panjang 1-8 um dan diameter 0,25-0,3 um. Basil ini menyerupai kuman

berbentuk batang yang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora. Dengan

pewarnaan Ziehl-Nielsen basil yang hidup dapat berbentuk batang yang utuh, berwarna

merah terang, dengan ujung bulat (solid), sedang basil yang mati bentuknya terpecah-

3
pecah(fragmented) atau granular. Basil ini hidup dalam sel terutama jaringan yang

bersuhu rendah dan tidak dapat dikultur dalam media buatan (in vitro).(1,12).

2.3 Manifestasi klinis lepra

Tanda dan gejala penyakit lepra tergantung pada beberapa hal yaitu :

Multiplikasi dan diseminasi kuman M.leprae, respon imun penderita terhadap kuman M.

Leprae serta komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer

Karakteristik klinis kerusakan saraf tepi :

1. Pada tipe tuberculoid yaitu awitan dini berkembang dengan cepat,saraf yang terlibat

terbatas (sesuai jumlah lesi ), dan terjadi penebalan saraf yang menyebabkan gangguan

motorik, sensorik dan otonom.


2. Pada tipe lepromatosa yaitu terjadi kerusakan saraf tersebar,perlahan tetapi progresif,

beberapa tahun kemudian terjadi hipotensi ( bagian-bagian dingin pada pada tubuh ),

simetris pada tangan dan kaki yang disebut glove dan stocking anaesthesia terjadi

penebalan saraf menyebabkan gangguan motorik ,sensorik dan otonom dan ada

keadaan akut apabila terjadi reaksi tipe 2.

2.4 Kusta Reaktif

4
Kusta reaktif adalah episode akut penyakit kusta dengan gejala konstitusi,

aktivasi, dan atau timbulnya efloresensi baru di kulit pada perjalanan penyakit ini yang

sebenarnya sangat kronis. Reaksi kusta merupakan reaksi hipersensitivitas.1,10,13

Reaksi reversal atau reaksi tipe 1 terjadi saat peningkatan imunitas yang diperantarai

oleh sel (cell mediated immunity), sedangkan reaksi tipe 2 atau eritema nodosum

leprosum (ENL) terjadi akibat reaksi hipersensitivitas humoral. Reaksi ini dapat terjadi

sebelum pengobatan, namun lebih sering selama atau setelah pengobatan.1,4,7,10,13

Reaksi Reversal (Tipe 1) Reaksi ini terjadi karena adanya peningkatan hebat dan tiba-

tiba dari respons imun seluler, yang menyebabkan respons inflamasi atau peradangan

kulit atau saraf pada pasien tipe borderline (BT, BB, dan BL). Walaupun pencetus

utama belum diketahui, tetapi diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi

hipersensitivitas tipe lambat.12 Pemeriksaan imunohistokimia menunjukkan

peningkatan sel tumor necrosis factor (TNF) di kulit dan saraf selama reaksi tipe 1

dibandingkan dengan kontrol. Pada penelitian di India, didapatkan respons antibodi ke

antigen 18kDa secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan reaksi tipe 1

dibandingkan pasien TT atau borderline tanpa reaksi tipe 1.3,14 Gejala klinis reaksi

reversal yaitu sebagian atau seluruh lesi yang telah ada menjadi lebih banyak dan aktif

dalam waktu singkat. Lesi hipopigmentasi menjadi lebih eritema, lesi eritema menjadi

semakin eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, dan lesi lama bertambah luas.

Umumnya gejala konstitusi lebih ringan daripada ENL.

2.5 Epidemiologi

5
Sumber infeksi kusta adalah penderita dengan banyak basil yaitu tipe

multibasiler (MB). Cara penularan belum diketahui dengan pasti, hanya berdasarkan

anggapan yang klasik ialah melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat.

Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa

hari dalam droplet. Masa tunas kusta bervariasi,40 hari sampai 40 tahun. Kusta

menyerang semua umur dari anakanak sampai dewasa. Faktor sosial ekonomi

memegang peranan, makin rendah sosial ekonomi makin subur penyakit kusta,

sebaliknya sosial ekonomi tinggi membantu penyembuhan. Sehubungan dengan iklim,

kusta tersebar didaerah tropis dan sub tropis yang panas dan lembab, terutama di Asia,

Afrika dan Amerika Latin. Jumlah kasus terbanyak terdapat di India, Brazil,

Bangladesh, dan Indonesia

2.5.1 jenis-jenis klasifikasi yang umum adalah :

A. Tuberkuloid ( T )

Terjadi Pada penderita dengan daya tahan tubuh yang tinggi dan sedikit

mycobacterium leprae untuk berkembang biak menjadi banyak.

B. Bordeline ( B )

Berkembang pada penderita dengan dayatahan tubuh sedang, daya tahan

tubuh ini dapat mengurangi jumlah mycobacterium leprae.

C. Lepromatosa ( L )

6
Terdapat pada orang yang tidak mempunyai daya tahan tubuh dan

mycrobacterium leprae berkembang biak di tubuhnya dalam jumlah yang

tak terhitung.

D. Indeterminate (L)

Bahwa tipenya tidak diketahui.

2.5.2 Kecacatan

Micobacterium leprae menyerang saraf tepi tubuh manusia. Tergantung

dari kerusakan saraf tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi saraf tepi :

sensorik, motorik dan otonom. Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh

kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena kuman kusta maupun karena terjadinya

peradangan (neuritis) sewaktu keadaan reaksi lepra.

a. Tingkat Cacat
Kerusakan saraf pada pendirita kusta meliputi :
1) Kerusakan fungsi sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/matirasa

(anestesi). Akibat kurang/mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi

luka. Sedangkan pada kornea mata akan mengakibatkan kurang/hilangnya reflek

kedip sehingga mata mudah kemasukan kotoran, benda-benda asing yang dapat

menyebabkan infeksi mata dan akibatnya buta.

2) Kerusakan fungsi motoric


Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/lumpuh danlama-

lama otot mengecil (atrofi) oleh karena tidak dipergunakan. Jarijaritangan dan

kaki menjadi bengkok (clow hand/clow toes) danakhirnya dapat terjadi kekakuan

7
pada sendi, bila terjadi kelemahan/kekakuan pada mata, kelopak mata tidak dapat

dirapatkan(lagoptalmus)
3) Kerusakan fungsi otonom
Terjadinya gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dangangguan sirkulasi

darah sehingga kulit menjadi kering, menebal,mengeras, dan akhirnya dapat pecah-

pecah. Pada umumnya apabilaterdapat kerusakan fungsi saraf tidak ditangani

secara tepat dan tepatmaka akan terjadi cacat ke tingkat yang lebih berat.

Tujuan pencegahan cacat adalah jangan sampai ada cacat yang timbul atau

bertambah berat.

Tingkat kecacatan
Tingkat Mata Tangan/Kaki
Tidak ada pada mata akibat Tidak ada anestesi, tidak ada cacat

0 kusta, penglihatan masih normal yang terlihat akibat kusta.

Ada kelainan mata akibat Ada anestesi tetapi tidak ada cacat

1 kusta,penglihatan kurang terang atau terlihat yang kelihatan

(masih dapat menghitung jari

pada jarak 6 meter)


Penglihatan sangat kurang terang Ada cacat atau kerusakan yang

(tidak dapat menghitung jari pada terlihat.

2 jarak 6 meter)
Sumber: Depkes RI (2007)

Keterangan:

A) Cacat tingkat 0 berarti tidak ada cacat, Cacat tingkat I adalah cacat yang

disebabkan oleh kerusakan saraf sensorik yang tidak terlihat seperti

8
kehilangan rasa raba pada telapak tangan dan telapak kaki. Cacat tingkat I

pada telapak kaki berisiko terjadinya ulkus plantaris, namun dengan diri

secara rutin hal ini dapat dicegah. Mati rasa pada bercak bukan merupakan

cacat tingkat I karena bukan disebabkan oleh kerusakan saraf perifer utama

tetapi rusaknya saraf lokal pada kulit.

B) Cacat tingkat II berarti cacat atau kerusakan yang terlihat.

Untuk mata :

a) Tidak mampu menutup mata dengan rapat (lagopthalmus)

b)Kemerahan yang jelas pada mata

c) Gangguan penglihatan berat atau kebutaan

Untuk tangan dan kaki :

a) Luka/ulkus di telapak
b) Deformitas yang disebabkan oleh kelumpuhan otot (kaki simper atau

kontraktur) dan atau hilangnya jaringan (atropi) atau reabsorpsi dari jari-jari

b. Upaya pencegahan cacat

Komponen pencegahan cacat terdiri dari :

9
1) Penemuan dini penderita sebelum cacat

2) Pengobatan penderita dengan MDT

3) Deteksi dini adanya reaksi kusta dengan pemeriksaan fungsi saraf secararutin

4) Penanganan reaksi

5) Penyuluhan

6) Perawatan diri

7) Penggunaan alat bantu

8) Rehabilitasi medis (operasi rekontruksi)

Penderita harus mengerti bahwa pengobatan MDT dapat membunuh kuman kusta.

Tetapi cacat pada mata, tangan dan kaki yang terlanjur cacatakan tetap permanen,

sehingga harus dilakukan perawatan diri dengan rajin agar cacatnya tidak bertambah

berat. Prinsip pencegahan pencegahan bertambahnya cacat pada dsarnya adalah 3 M :

1) Memeriksa mata, tangan dan kaki secara teratur

2) Melindungi mata, tangan dan kaki dari trauma fisik

3) Merawat diri

c. Batasan Cacat Kusta

Menurut WHO dalam Srinvasan (2004) batasan kusta adalah sebagaiberikut:

10
1) Impairment. Kehilangan atau abnormalitas struktur dan fungsi yang bersifat

psikologik, fisiologik atau anatomi

2) Disability. Keterbatasan akibat empairment untuk melakukan kegiatan dalam batas

batas kehidupan yang normal bagi manusia.

3) Handicap. Kemunduran pada individu yng membatasi ataumenghalangi penyelesaian

tugas normal yang bergantung pada umur, jenis kelamin dan faktor sosial budaya.

d. Jenis Cacat

Cacat yang timbul akibat penyakit kusata dapat dikelompokan menjadi 2(dua) yaitu :

1) Cacat primer. Pada kelompok ini cacat disebabkan langsung oleh aktifitas penyakit,

terutama kerusakan akibat respon jaringan terhadap Micobacterium leprae

2) Cacat sekunder. Cacat sekunder terjadi akibat cacat primer, terutama kerusakan

akibat saraf sensorik, motorik dan otonom.Contoh : ulkus jari tangan, atau kaki

putus

2.6. Patofisiologi

Mekanisme penularan kusta yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah

dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat bukti

11
bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman Mycobacterium leprae menderita

kusta, Iklim (cuaca panas dan lembab) diet, status gizi, status sosial ekonomi dan genetik

Juga ikut berperan, belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda

pada setiap individu. Faktor ketidak cukupan gizi juga diduga merupakan faktor

penyebab Penyakit kusta dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara

orang yang terinfeksi dengan orang sehat.

Dua pintu keluar dari Micobacterium leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah

kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepramatosa menunjukan adanya

sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimana masih belum dapat dibuktikan bahwa

organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun telah ditemukan

bakteri tahan asam di epidermis. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukan bakteri

tahan asam di epitel Deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak

menemukan bakteri tahan asam di epidermis. Menemukan adanya sejumlah

Mycobacterium leprae yang besar dilapisan keratin superficial kulit di penderita kusta

lepromatosa. Hal ini menbentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat

keluar melalui kelenjar keringat.

Pentingnya mukosa hidung dalam penularan Mycobacterium leprae telah ditemukan

oleh Schaffer pada tahun 1898. Jumlah bakteri dari lesi mukosa hidung pada kusta

lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley

melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di

secret hidung penderita. Deveydan Rees mengindikasi bahwa secret hidung dari pasien

lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari. Pintu masuk dari

Mycobacterium leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya. Saat ini

12
diperkirakan kulit dan pernafasan atas menjadi gerbang masuknya bakteri. Masa inkubasi

kusta belum dapat dikemukakan. beberapa peneliti berusaha mengukur masa inkubasi

kusta, masa inkubasi kusta minimum dilaporkan beberapa minggu, berdasarkan adanya

kasus kusta pada bayi. Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini

dilaporkan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah

endemik dan kemudian berpindah ke daerah non endemik. Secara umum telah ditetapkan

masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.

2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan Sebelum pengobatan, ditentukan terlebih dahulu tipe reaksi dan

derajat keparahannya. Hal ini dapat dilakukan dengan menarik simpulan dari formulir

pencegahan kecacatan. Formulir ini diisi setiap pasien ke puskesmas atau rumah sakit.

Jika pasien mengalami gangguan fungsi saraf, dicatat pada formulir evaluasi pengobatan

reaksi berat. Kedua formulir ini diisi rutin sebulan sekali untuk pasien non-reaksi dan 2

minggu sekali untuk pasien reaksi. Pengisian formulir ini penting untuk evaluasi

kemajuan fungsi saraf sebagai dasar menentukan dosis terapi obat antireaksi. Terapi

kombinasi tetap dilanjutkan pada pasien yang mengalami reaksi saat pengobatan dengan

dosis yang sama.

2.8 Rencana asuhan keperawatan pada klien dengan infeksi M leprae

2.8.1 Diagnosa Keperawatan

13
1. kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi

2. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan proses inflamasi jaringan

3. Intolenransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik

4. Gangguan konsep diri (citra diri) berhubungan dengan ketidak mampuan dan

kehilangan fungsi tubuh

2.8.2 Intervensi
Diagnosa 1
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur sembuh.
Kriteria hasil :
1) Menunjukkan regenerasi jaringan
2) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
Intervensi:
1. Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar
luka
Rasional: Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi dan atau
mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.
2. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi
Rasional: Menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar.
3. Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah
penyebaran pada jaringan sekitar
Rasional: Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan mengidentifikasi
terjadinya komplikasi.
4. Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam
Rasional: Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk mempertahankan
kebersihan lesi
5. Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan
Rasional:Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan
14
Diagnosa 2
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur hilang
Kriteria hasil: Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat
berkurang dan nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang

Intervensi:
1.Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri
Rasional: Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan intervensi.
2.Observasi tanda-tanda vital
Rasional: Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien
3.Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi
Rasional: Dapat mengurangi rasa nyeri
4.Atur posisi senyaman mungkin
Rasional: Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri
5.Kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi
Rasional: Menghilangkan rasa nyeri

Diagnosa 3
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi dan
aktivitas dapat dilakukan
Kriteria hasil:
1) Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari,
2) Kekuatan otot penuh
Intervensi:
1. Pertahankan posisi tubuh yang nyaman
Rasional: Meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas
2. Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit

15
Rasional: Oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas
3. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif kemudian
aktif
Rasional: Mencegah secara progresif mengencangkan jaringan, meningkatkan
pemeliharaan fungsi otot/ sendi
4. Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode
istirahat
Rasional: Meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas
5. Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada latihan
Rasional: Menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam perawatan
pasien dan memberikan terapi lebih konstan

Diagnosa 4
Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara
optimal dan konsep diri meningkat
Kriteria hasil:
1) Pasien menyatakan penerimaan situasi diri
2) Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif
Intervensi:
1. Kaji makna perubahan pada pasien
Rasional: Episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini memerlukan
dukungan dalam perbaikan optimal
2. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan
perilaku menarik diri.
Rasional: penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang terjadi
membantu perbaikan
3. Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan
kenyakinan yang salah
Rasional: meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk
menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realitas
4. Berikan penguatan positif

16
Rasional: Kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping
positif
5. Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat
Rasional: meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon yang lebih
membantu pasien

2.9 Proses pencegahan diri terhadap penyakit kusta


Ada beberapa langkah yang dapat kita lakukan untuk menghindarkan atau mencegah

diri dari dari tertularnya penyakit kusta ini, antara lain :


2.9.1 Personal hygine
Semua perilaku kesehatan yang dilakukan atas kesadaran sendirisehingga

anggota keluarga atau keluarga dapat menolong dirinya sendiridi bidang kesehatan

dan berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatandi masyarakat.Hygiene

perorangan adalah kebersihan terhadap keadaan individuindividuyang bertujuan

untuk mengadakan pencegahan atau penolakkanterhadap faktor yang

menimbulkan faktor secara epidemis.


Usaha kesehatan pribadi adalah upaya individu untuk memelihara

danmeningkatkan derajat kesehatannya sendiri seperti memelihara

kebersihanpakaian dimana setiap hari harus dicuci apabila sudah

digunakan,pemakaian handuk yang tidak berganti-ganti, kebiasaan mandi

sehariminimal 2 kali, makanan yang sehat, cara hidup teratur, meningkatkandaya

tahan tubuh, menghindari terjadinya penyakit, meningkatkan tarafkecerdasan dan

rohaniah, melengkapi rumah dengan fasilitas-fasilitasyang menjamin hidup sehat

dan pemeriksaan kesehatan.(18,19) Kebersihan individu sangat erat dengan

kebersihan masyarakatdan saling mempengaruhi secara timbal balik. Makin

banyak orang yangmemperhatikan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan

17
dirinya, makinbaik pula kesehatan masyarakatnya. Kesehatan masyarakat yang

baikakan berpengaruh terhadap kesehatan lingkungan, baik lingkunganindividu

maupun lingkungan masyarakat. Kebersihan (hygiene)perseorangan yang buruk

merupakan cermin dari kondisi lingkungan danperilaku individu yang tidak sehat.

Penduduk miskin dengan kebersihandiri buruk mempunyai kemungkinan lebih

besar untuk terinfeksi suatupenyakit.

2.9.2 Meningkatkan atau menjaga daya tahan tubuh, dengan olahraga dan peningkatan

pemenuhan nutrisi.
2.9.3 Jangan bertukar pakaian dengan penderita,
2.9.4 Kurangi kontak fisik yang lama.

2.10 Hasil penelitian

Pada tahun 2012 kasus baru penyakit kusta di Provinsi Jawa Tengah tipe multi basiler
1308 kasus dan tipe pausi basiler 211 kasus dengan newly case detection rate(NCDR)
sebesar >7 per 100.000 penduduk dengan kabupaten tertinggi Brebes (228), Tegal (215),
Pekalongan (138) dan Pemalang (103). Keberhasilan kabupaten dinyatakan sebagai
daerah beban rendah kusta apabila memenuhi indikator NCDR kurang dari 5 per 100.000
penduduk atau jumlah total penemuan kasus baru kurang dari 30 kasus pertahun selama

18
tiga tahun berturut-turu serta jumlah kasus baru dengan cacat tingkat 2 dalam lima tahun
terakhir sebanyak kurang dari 25 kasus (Kemenkes, 2012). Untuk mengetahui
tingkatpenularan di masyarakat digunakan indikator proporsi anak (0-14 tahun) di antara
penderita baru sebesar 5% (Depkes, 2007). Sedangkan proporsi anak di antara penderita
baru pada tahun 2011 sebesar 10,14%(Depkes, 2011).Penyakit kusta di Kabupaten
Pemalang merupakan penyakit lama yang cenderung muncul kembali. Jumlah penderita
kusta baru dan lama di Kabupaten Pemalang pada tahun 2011 (115 penderita) mengalami
penurunan 0,54% dari tahun 2010 (118 penderita) dan pada tahun 2012 (157 penderita)
mengalami kenaikan 42%. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Pemalang tahun 2012,
NCDR 11,98 per 100.000 penduduk. (Dinkes Pemalang,2012).

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

19
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular kronik yang disebabkan oleh

kuman Mycobacterium leprae (M leprae) yang intra seluler obligat menyerang saraf perifer

sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas kemudian

ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.

Kusta juga dapat menyebabkan kecacatan bagi penderita penderita biasannya akan

mengalami kerusakn sensorik, sistem motorik dan sistem otonom.

3.2 Saran

Kurangi kontak fisik dalam waktu lama dengan penderita kusta, tidak menggunakan

barang barang bersamaan dengan penderita. Atur pola makan dan olahraga secara teratur

untuk menjaga kesehatan dan terhindar dari berbagai macam penyakit.

Daftar Pustaka

http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin_kusta.pdf

Anita L pangelis.(2004). .Asuhan keperawatan keluarga, Jakarta.EGC

20
Alimul H, Aziz A. 2011. Metode Penelitian Kesehatan Paradigma Kuantitatif Surabaya: Health
Books Publishing.
Amiruddin, MD. 2012. Penyakit Kusta Sebuah Pendekatan Klinis. Surabaya: Brilian
Internasional.
Juall,Lynda,1999 Rencana Asuhan Keperawatan dan Dokumentasi Keperawatan edisi II,

EGC.Jakarta

21

Anda mungkin juga menyukai