Makalah Imun Leprae Fixxxx
Makalah Imun Leprae Fixxxx
PENDAHULUAN
dan disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium Leprae) yang menyerang syaraf tepi,
kulit dan jaringan tubuh lainnya. Penyakit ini sering kali menimbulkan permasalahan
yang kompleks, masalah yang ditimbulkan bukan hanya dari segi medis tetapi sampai
pada masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional (harian
kompasiana, 2012). Organisasi kesehatan dunia yaitu WHO menilai pada tahun 2011
Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia setelah India dan Brazil paling banyak
penderita kusta. Pada tahun 2010 ditemukan 17.012 kasus baru, 1.822 atau 10,71% di
antaranya, ditemukan sudah dalam keadaan cacat tingkat 2 (cacat yang tampak). WHO
juga mencanangkan Global Strategy for Further Reducing the Disease Burden Due To
Leprosy 2011-2015 yaitu target global yang hendak dicapai tahun 2015 yaitu penurunan
35% angka cacat yang kelihatan (tingkat II) pada tahun 2015
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
2.1. Pengertian Kusta
oleh kuman Mycobacterium leprae (M leprae) yang intra seluler obligat menyerang saraf
perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas
kemudian ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Penyakit kusta dikenal juga dengan
nama Morbus Hansen atau lepra. Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni
kushtha yang berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum.(1,11) Penyakit kusta
adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang pertama
kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa (mulut) saluran
pernafasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Penyakit
kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat
kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis, tetapi meluas sampai
2.2. Etiologi
Hansen tahun 1873 di Norwegia. Basil ini bersifat tahan asam, bentuk pleomorf lurus,
batang ramping dan sisanya berbentuk paralel dengan kedua ujung-ujungnya bulat
dengan ukuran panjang 1-8 um dan diameter 0,25-0,3 um. Basil ini menyerupai kuman
berbentuk batang yang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora. Dengan
pewarnaan Ziehl-Nielsen basil yang hidup dapat berbentuk batang yang utuh, berwarna
merah terang, dengan ujung bulat (solid), sedang basil yang mati bentuknya terpecah-
3
pecah(fragmented) atau granular. Basil ini hidup dalam sel terutama jaringan yang
bersuhu rendah dan tidak dapat dikultur dalam media buatan (in vitro).(1,12).
Tanda dan gejala penyakit lepra tergantung pada beberapa hal yaitu :
Multiplikasi dan diseminasi kuman M.leprae, respon imun penderita terhadap kuman M.
1. Pada tipe tuberculoid yaitu awitan dini berkembang dengan cepat,saraf yang terlibat
terbatas (sesuai jumlah lesi ), dan terjadi penebalan saraf yang menyebabkan gangguan
beberapa tahun kemudian terjadi hipotensi ( bagian-bagian dingin pada pada tubuh ),
simetris pada tangan dan kaki yang disebut glove dan stocking anaesthesia terjadi
penebalan saraf menyebabkan gangguan motorik ,sensorik dan otonom dan ada
4
Kusta reaktif adalah episode akut penyakit kusta dengan gejala konstitusi,
aktivasi, dan atau timbulnya efloresensi baru di kulit pada perjalanan penyakit ini yang
Reaksi reversal atau reaksi tipe 1 terjadi saat peningkatan imunitas yang diperantarai
oleh sel (cell mediated immunity), sedangkan reaksi tipe 2 atau eritema nodosum
leprosum (ENL) terjadi akibat reaksi hipersensitivitas humoral. Reaksi ini dapat terjadi
Reaksi Reversal (Tipe 1) Reaksi ini terjadi karena adanya peningkatan hebat dan tiba-
tiba dari respons imun seluler, yang menyebabkan respons inflamasi atau peradangan
kulit atau saraf pada pasien tipe borderline (BT, BB, dan BL). Walaupun pencetus
peningkatan sel tumor necrosis factor (TNF) di kulit dan saraf selama reaksi tipe 1
antigen 18kDa secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan reaksi tipe 1
dibandingkan pasien TT atau borderline tanpa reaksi tipe 1.3,14 Gejala klinis reaksi
reversal yaitu sebagian atau seluruh lesi yang telah ada menjadi lebih banyak dan aktif
dalam waktu singkat. Lesi hipopigmentasi menjadi lebih eritema, lesi eritema menjadi
semakin eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, dan lesi lama bertambah luas.
2.5 Epidemiologi
5
Sumber infeksi kusta adalah penderita dengan banyak basil yaitu tipe
multibasiler (MB). Cara penularan belum diketahui dengan pasti, hanya berdasarkan
anggapan yang klasik ialah melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat.
Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa
hari dalam droplet. Masa tunas kusta bervariasi,40 hari sampai 40 tahun. Kusta
menyerang semua umur dari anakanak sampai dewasa. Faktor sosial ekonomi
memegang peranan, makin rendah sosial ekonomi makin subur penyakit kusta,
kusta tersebar didaerah tropis dan sub tropis yang panas dan lembab, terutama di Asia,
Afrika dan Amerika Latin. Jumlah kasus terbanyak terdapat di India, Brazil,
A. Tuberkuloid ( T )
Terjadi Pada penderita dengan daya tahan tubuh yang tinggi dan sedikit
B. Bordeline ( B )
C. Lepromatosa ( L )
6
Terdapat pada orang yang tidak mempunyai daya tahan tubuh dan
tak terhitung.
D. Indeterminate (L)
2.5.2 Kecacatan
dari kerusakan saraf tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi saraf tepi :
sensorik, motorik dan otonom. Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh
kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena kuman kusta maupun karena terjadinya
a. Tingkat Cacat
Kerusakan saraf pada pendirita kusta meliputi :
1) Kerusakan fungsi sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/matirasa
(anestesi). Akibat kurang/mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi
kedip sehingga mata mudah kemasukan kotoran, benda-benda asing yang dapat
lama otot mengecil (atrofi) oleh karena tidak dipergunakan. Jarijaritangan dan
kaki menjadi bengkok (clow hand/clow toes) danakhirnya dapat terjadi kekakuan
7
pada sendi, bila terjadi kelemahan/kekakuan pada mata, kelopak mata tidak dapat
dirapatkan(lagoptalmus)
3) Kerusakan fungsi otonom
Terjadinya gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dangangguan sirkulasi
darah sehingga kulit menjadi kering, menebal,mengeras, dan akhirnya dapat pecah-
secara tepat dan tepatmaka akan terjadi cacat ke tingkat yang lebih berat.
Tujuan pencegahan cacat adalah jangan sampai ada cacat yang timbul atau
bertambah berat.
Tingkat kecacatan
Tingkat Mata Tangan/Kaki
Tidak ada pada mata akibat Tidak ada anestesi, tidak ada cacat
Ada kelainan mata akibat Ada anestesi tetapi tidak ada cacat
2 jarak 6 meter)
Sumber: Depkes RI (2007)
Keterangan:
A) Cacat tingkat 0 berarti tidak ada cacat, Cacat tingkat I adalah cacat yang
8
kehilangan rasa raba pada telapak tangan dan telapak kaki. Cacat tingkat I
pada telapak kaki berisiko terjadinya ulkus plantaris, namun dengan diri
secara rutin hal ini dapat dicegah. Mati rasa pada bercak bukan merupakan
cacat tingkat I karena bukan disebabkan oleh kerusakan saraf perifer utama
Untuk mata :
a) Luka/ulkus di telapak
b) Deformitas yang disebabkan oleh kelumpuhan otot (kaki simper atau
kontraktur) dan atau hilangnya jaringan (atropi) atau reabsorpsi dari jari-jari
9
1) Penemuan dini penderita sebelum cacat
3) Deteksi dini adanya reaksi kusta dengan pemeriksaan fungsi saraf secararutin
4) Penanganan reaksi
5) Penyuluhan
6) Perawatan diri
Penderita harus mengerti bahwa pengobatan MDT dapat membunuh kuman kusta.
Tetapi cacat pada mata, tangan dan kaki yang terlanjur cacatakan tetap permanen,
sehingga harus dilakukan perawatan diri dengan rajin agar cacatnya tidak bertambah
3) Merawat diri
10
1) Impairment. Kehilangan atau abnormalitas struktur dan fungsi yang bersifat
tugas normal yang bergantung pada umur, jenis kelamin dan faktor sosial budaya.
d. Jenis Cacat
Cacat yang timbul akibat penyakit kusata dapat dikelompokan menjadi 2(dua) yaitu :
1) Cacat primer. Pada kelompok ini cacat disebabkan langsung oleh aktifitas penyakit,
2) Cacat sekunder. Cacat sekunder terjadi akibat cacat primer, terutama kerusakan
akibat saraf sensorik, motorik dan otonom.Contoh : ulkus jari tangan, atau kaki
putus
2.6. Patofisiologi
Mekanisme penularan kusta yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah
dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat bukti
11
bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman Mycobacterium leprae menderita
kusta, Iklim (cuaca panas dan lembab) diet, status gizi, status sosial ekonomi dan genetik
Juga ikut berperan, belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda
pada setiap individu. Faktor ketidak cukupan gizi juga diduga merupakan faktor
penyebab Penyakit kusta dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara
Dua pintu keluar dari Micobacterium leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah
kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepramatosa menunjukan adanya
sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimana masih belum dapat dibuktikan bahwa
bakteri tahan asam di epidermis. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukan bakteri
tahan asam di epitel Deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak
Mycobacterium leprae yang besar dilapisan keratin superficial kulit di penderita kusta
lepromatosa. Hal ini menbentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat
oleh Schaffer pada tahun 1898. Jumlah bakteri dari lesi mukosa hidung pada kusta
secret hidung penderita. Deveydan Rees mengindikasi bahwa secret hidung dari pasien
lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari. Pintu masuk dari
Mycobacterium leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya. Saat ini
12
diperkirakan kulit dan pernafasan atas menjadi gerbang masuknya bakteri. Masa inkubasi
kusta belum dapat dikemukakan. beberapa peneliti berusaha mengukur masa inkubasi
kusta, masa inkubasi kusta minimum dilaporkan beberapa minggu, berdasarkan adanya
kasus kusta pada bayi. Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini
dilaporkan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah
endemik dan kemudian berpindah ke daerah non endemik. Secara umum telah ditetapkan
2.7 Penatalaksanaan
derajat keparahannya. Hal ini dapat dilakukan dengan menarik simpulan dari formulir
pencegahan kecacatan. Formulir ini diisi setiap pasien ke puskesmas atau rumah sakit.
Jika pasien mengalami gangguan fungsi saraf, dicatat pada formulir evaluasi pengobatan
reaksi berat. Kedua formulir ini diisi rutin sebulan sekali untuk pasien non-reaksi dan 2
minggu sekali untuk pasien reaksi. Pengisian formulir ini penting untuk evaluasi
kemajuan fungsi saraf sebagai dasar menentukan dosis terapi obat antireaksi. Terapi
kombinasi tetap dilanjutkan pada pasien yang mengalami reaksi saat pengobatan dengan
13
1. kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi
4. Gangguan konsep diri (citra diri) berhubungan dengan ketidak mampuan dan
2.8.2 Intervensi
Diagnosa 1
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur sembuh.
Kriteria hasil :
1) Menunjukkan regenerasi jaringan
2) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
Intervensi:
1. Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar
luka
Rasional: Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi dan atau
mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.
2. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi
Rasional: Menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar.
3. Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah
penyebaran pada jaringan sekitar
Rasional: Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan mengidentifikasi
terjadinya komplikasi.
4. Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam
Rasional: Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk mempertahankan
kebersihan lesi
5. Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan
Rasional:Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan
14
Diagnosa 2
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur hilang
Kriteria hasil: Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat
berkurang dan nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang
Intervensi:
1.Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri
Rasional: Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan intervensi.
2.Observasi tanda-tanda vital
Rasional: Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien
3.Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi
Rasional: Dapat mengurangi rasa nyeri
4.Atur posisi senyaman mungkin
Rasional: Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri
5.Kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi
Rasional: Menghilangkan rasa nyeri
Diagnosa 3
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi dan
aktivitas dapat dilakukan
Kriteria hasil:
1) Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari,
2) Kekuatan otot penuh
Intervensi:
1. Pertahankan posisi tubuh yang nyaman
Rasional: Meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas
2. Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit
15
Rasional: Oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas
3. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif kemudian
aktif
Rasional: Mencegah secara progresif mengencangkan jaringan, meningkatkan
pemeliharaan fungsi otot/ sendi
4. Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode
istirahat
Rasional: Meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas
5. Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada latihan
Rasional: Menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam perawatan
pasien dan memberikan terapi lebih konstan
Diagnosa 4
Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara
optimal dan konsep diri meningkat
Kriteria hasil:
1) Pasien menyatakan penerimaan situasi diri
2) Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif
Intervensi:
1. Kaji makna perubahan pada pasien
Rasional: Episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini memerlukan
dukungan dalam perbaikan optimal
2. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan
perilaku menarik diri.
Rasional: penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang terjadi
membantu perbaikan
3. Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan
kenyakinan yang salah
Rasional: meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk
menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realitas
4. Berikan penguatan positif
16
Rasional: Kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping
positif
5. Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat
Rasional: meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon yang lebih
membantu pasien
anggota keluarga atau keluarga dapat menolong dirinya sendiridi bidang kesehatan
17
dirinya, makinbaik pula kesehatan masyarakatnya. Kesehatan masyarakat yang
merupakan cermin dari kondisi lingkungan danperilaku individu yang tidak sehat.
2.9.2 Meningkatkan atau menjaga daya tahan tubuh, dengan olahraga dan peningkatan
pemenuhan nutrisi.
2.9.3 Jangan bertukar pakaian dengan penderita,
2.9.4 Kurangi kontak fisik yang lama.
Pada tahun 2012 kasus baru penyakit kusta di Provinsi Jawa Tengah tipe multi basiler
1308 kasus dan tipe pausi basiler 211 kasus dengan newly case detection rate(NCDR)
sebesar >7 per 100.000 penduduk dengan kabupaten tertinggi Brebes (228), Tegal (215),
Pekalongan (138) dan Pemalang (103). Keberhasilan kabupaten dinyatakan sebagai
daerah beban rendah kusta apabila memenuhi indikator NCDR kurang dari 5 per 100.000
penduduk atau jumlah total penemuan kasus baru kurang dari 30 kasus pertahun selama
18
tiga tahun berturut-turu serta jumlah kasus baru dengan cacat tingkat 2 dalam lima tahun
terakhir sebanyak kurang dari 25 kasus (Kemenkes, 2012). Untuk mengetahui
tingkatpenularan di masyarakat digunakan indikator proporsi anak (0-14 tahun) di antara
penderita baru sebesar 5% (Depkes, 2007). Sedangkan proporsi anak di antara penderita
baru pada tahun 2011 sebesar 10,14%(Depkes, 2011).Penyakit kusta di Kabupaten
Pemalang merupakan penyakit lama yang cenderung muncul kembali. Jumlah penderita
kusta baru dan lama di Kabupaten Pemalang pada tahun 2011 (115 penderita) mengalami
penurunan 0,54% dari tahun 2010 (118 penderita) dan pada tahun 2012 (157 penderita)
mengalami kenaikan 42%. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Pemalang tahun 2012,
NCDR 11,98 per 100.000 penduduk. (Dinkes Pemalang,2012).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
19
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular kronik yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium leprae (M leprae) yang intra seluler obligat menyerang saraf perifer
sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas kemudian
Kusta juga dapat menyebabkan kecacatan bagi penderita penderita biasannya akan
3.2 Saran
Kurangi kontak fisik dalam waktu lama dengan penderita kusta, tidak menggunakan
barang barang bersamaan dengan penderita. Atur pola makan dan olahraga secara teratur
Daftar Pustaka
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin_kusta.pdf
20
Alimul H, Aziz A. 2011. Metode Penelitian Kesehatan Paradigma Kuantitatif Surabaya: Health
Books Publishing.
Amiruddin, MD. 2012. Penyakit Kusta Sebuah Pendekatan Klinis. Surabaya: Brilian
Internasional.
Juall,Lynda,1999 Rencana Asuhan Keperawatan dan Dokumentasi Keperawatan edisi II,
EGC.Jakarta
21