Anda di halaman 1dari 8

Penyakit Dan Penyebabnya

Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi


bakteri adalah leptospira dari ordo Spirochaetales. Sumber penularan penyakit
Leptospirosis adalah tikus, babi, sapi dan anjing dan ada banyak hewan lain.
Angka kematian leptospirosis di Indonesian termasuk tinggi, bisa mencapai 2,50 –
16,45 % (rata-rata 7,1 %). Pada usia lebih dari 50 tahun bisa mencapai 56%.
Penderita yang disertai selaput mata berwarna kuning (kerusakan jaringan hati),
risiko kematian akan lebih tinggi, bahkan setiap tahun ada kejadian baru di
wilayah semarang (Januarti, 2012).
Leptospirosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
Leptospira interrogans. Penyakit ini merupakan penyakit infeksi yang ditularkan
dari hewan ke manusia (zoonosis). Pada dasarnya penyakit leptospirosis
merupakan infeksi pada hewan. Infeksi pada manusia terjadi secara kebetulan
(accidental hospes), karena tidak sengaja kontak dengan material yang tercemar
oleh bakteri leptospirosis. Manusia terinfeksi melalui kontak langsung dengan
urin, darah, atau jaringan hewan yang terinfeksi dan kontak tidak langsung
melalui lingkungan yang terkontaminasi. Bakteri Leptospira masuk ke dalam
tubuh manusia melalui membran mukosa atau luka lecet di kulit. Selanjutnya
bakteri Leptospira menginvasi epitel penderita dan akan berproliferasi serta
menyebar ke organ sasaran. Masa inkubasi leptospirosis berlangsung pendek
antara 4-19 hari dengan rata-rata 10 hari. Penyakit ini bersifat akut dan
menyebabkan risiko kematian cukup tinggi (Nuraini dkk, 2017).
Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia
dan hewan, serta digolongkan penyakit zoonosis. Berdasarkan penyebab,
leptospirosis adalah zoonosis bakterial, sedangkan berdasarkan cara penularan,
leptospirosis merupakan direct zoonosis karena tidak memerlukan vektor.
Leptospirosis pada manusia ditularkan oleh hewan yang terinfeksi kuman
Leptospira sp. dengan reservoir utama adalah roden. Kuman Leptospira sp. hidup
di dalam ginjal penjamu reservoir dan dikeluarkan melalui urin saat berkemih.
Penyakit ini terdistribusi luas di seluruh dunia dan dilaporkan pertama kali pada
tahun 1886 oleh Adolf Weil dengan gejala panas tinggi disertai beberapa gejala
gangguan saraf serta pembesaran hati dan limfa. International Leptospirosis
Society (ILS) menyatakan Indonesia sebagai negara dengan kasus leptospirosis
cukup tinggi dan menduduki peringkat mortalitas ketiga di dunia. Hal ini
didasarkan pada jumlah kasus Leptopirosis di DKI Jakarta akibat banjir besar
yang terjadi tahun 2002 mencapai 113 pasien dan 20 orang di antaranya
meninggal (Case Fatality Rate Leptospirosis adalah 19,4%) (Ramadhani dan
Yunianto, 2012).
Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri
leptospira berbentuk spiral yang menyerang hewan dan manusia dan dapat hidup
di air tawar selama lebih kurang 1 bulan. Kuman ini hidup dan 8 berbiak di tubuh
hewan. Semua hewan bisa terjangkiti, paling banyak tikus dan hewan pengerat
lainnya, selain hewan ternak, hewan piaraan dan hewan liar pun dapat terjangkit
juga eptospira mempunyai lebih dari 170 serovar pathogen yang telah
diidentifikasi dan hampir setengahnya terdapat di Indoensia. Bakteri spiral dengan
pilinan yang rapat dan ujung-ujungnya yang bengkok, seperti kait dari bakteri
leptospira menyebabkan gerakan leptospira sangat aktif, baik gerakan berputar
sepanjang sumbunya, maju mundur, maupun melengkung, karena ukurannya yang
sangat kecil. Leptospira menyukai tinggal dipermukaan air dalam kurun waktu
yang lama dan siap menginfeksi manusia apabila kontak dengannya, karena itu
leptospirosis sering disebut sebagai penyakit yang timbul dari air (water born
disease). Serovar yang pernah berhasil diisolasi dari ternak sapi yaitu jenis
L.hardjo, L.pomona, L.grippotyphosa, L.canicola dan L. icterohaemorrahagiae.
Dua yang disebutkan terakhir umumnya menyerang pada anjing. Bila infeksi
terjadi, maka pada tubuh penderita dalam waktu 6-12 hari akan terbentuk zat
kebal aglutinasi (Ramadhani dkk, 2015).
International Leptospirosis Society (ILS) menyatakan bahwa Uruguay,
India, dan Indonesia merupakan tiga negara tertinggi di dunia untuk angka Case
Fatality Rate (CFR). Sedangkan Indonesia sebagai negara peringkat ketiga
tertinggi di dunia yang mempunyai angka CFR sebesar 2,5%-16,45% atau rata-
rata 7,1%. Angka ini dapat lebih tinggi sampai 56% apabila penderita
leptospirosis telah berusia lebih dari 50 tahun dan terlambat mendapatkan
pengobatan. (Nuraini dkk, 2017).
Di Indonesia, kasus leptospirosis pada tahun 2014 tersebar di empat
provinsi, yaitu DKI Jakarta, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Boyolali
merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang dilaporkan telah terjadi
kasus leptospirosis. Kejadian leptospirosis di Kabupaten Boyolali pertama kali
teridentifikasi pada tahun 2012. Kemudian pada tahun 2014 di Kabupaten
Boyolali dinyatakan telah terjadi kejadian luar biasa (KLB) leptospirosis dengan
peningkatan jumlah kasus yang cukup signifikan dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya (CFR sebesar 33,3%) (Nuraini dkk, 2017).

Epidemiologi
Penularan leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira yang tersebar
diseluruh dunia dan ditransmisikan baik secara langsung ataupun tidak langsung
dari binatang ke manusia (zoonosis). Transmisi dari manusia ke manusia dapat
terjadi, namun sangat jarang. Transmisi leptospira ke manusia terjadi karena
kontak dengan urin, darah, atau organ dari binatang terinfeksi; serta kontak
dengan lingkungan (tanah, air) yang terkontaminasi leptospira.
Leptospira dapat hidup beberapa waktu dalam air dan alam terbuka. Iklim
yang sesuai untuk perkembangan leptospira ialah udara hangat (25oC), tanah
basah/ lembab, dan pH tanah 6,2-8. Leptospira dapat bertahan hidup di tanah yang
sesuai sampai 43 hari dan di dalam air dapat hidup berminggu-minggu lamanya.
Hal ini dapat dijumpai sepanjang tahun di negara tropis sehingga kejadian
leptospirosis lebih banyak 1000 kali dibandingkan negara subtropis, dengan risiko
penyakit yang lebih berat. Insiden leptospirosis di negara tropis saat musim hujan
sebanyak 5-20/100.000 penduduk per tahun. Selama wabah dan dalam kelompok
risiko tinggi paparan, insiden penyakit dapat mencapai lebih dari 100 per 100.000
penduduk
Di Indonesia, leptospirosis tersebar di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah,
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Lampung, Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, Riau, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi
Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Jumlah pasien laki-laki dengan
leptospirosis lebih tinggi dibandingkan perempuan. Hal ini mungkin
mencerminkan paparan dalam kegiatan yang didominasi laki-laki. Untuk alasan
yang sama, laki-laki remaja dan setengah baya memiliki prevalensi lebih tinggi
dibandingkan anak laki-laki dan orang usia lanjut. Angka kematian akibat
leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,5%- 16,4% dan hal ini
tergantung sistem organ yang terinfeksi. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian
mencapai 56%.

Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri dari genus Leptospira dari famili
Leptospiraceae, ordo Spirochaetales. Pewarnaan untuk kuman ini ialah impregnasi
perak (gambar 1). Leptospira tumbuh baik pada kondisi aerobik di suhu 28°C-
30°C.6 Genus Leptospira terdiri dari dua spesies yaitu L. interrogans (bersifat
patogen) dan L. biflexa (bersifat saprofit/non-patogen). Leptospira patogen
terpelihara dalam tubulus ginjal hewan tertentu. Leptospira saprofit ditemukan di
lingkungan basah atau lembab mulai dari air permukaan, tanah lembab, serta air
keran.

Spesies L. interrogans dibagi dalam beberapa serogrup yang terbagi lagi


menjadi lebih 250 serovar berdasarkan komposisi antigennya. Beberapa serovar
L. interrogans yang patogen pada manusia antara lain L. icterohaemorrhagiae, L.
canicola, L. pomona, L. grippothyphosa, L. javanica, L. celledoni, L. ballum, L.
pyrogenes, L. bataviae, dan L. hardjo. Berbagai spesies hewan, terutama
mamalia, dapat bertindak sebagai sumber infeksi manusia, diantaranya ialah:
1. Spesies mamalia kecil, seperti tikus liar (termasuk mencit), bajing,
landak
2. Hewan domestik (sapi, babi, anjing, domba, kambing, kuda, kerbau)
3. Hewan penghasil bulu (rubah perak) di penangkaran
4. Reptil dan amfibi mungkin juga membawa leptospira

Faktor risiko
Orang yang berisiko ialah orang yang sering menyentuh binatang atau air,
lumpur, tanah, dan tanaman yang telah dicemari air kencing binatang yang
terkontaminasi leptospirosis. Beberapa pekerjaan yang berisiko seperti petani
sawah, pekerja pejagalan, peternak, pekerja tambang, industri perikanan, serta
petani tebu dan pisang. Dokter hewan maupun staf laboratorium yang kontak
dengan kultur leptospirosis juga memiliki risiko terpapar leptospirosis. Beberapa
kegemaran yang bersentuhan dengan air atau tanah yang tercemar juga bisa
menularkan leptospirosis, seperti berkemah, berkebun, berkelana di hutan, berakit
di air berjeram, dan olahraga air lainnya (Gambar 2).

Meskipun leptospirosis sering dianggap sebagai penyakit pedesaan, orang


yang tinggal di kota juga dapat terkena, tergantung pada kondisi hidup dan tingkat
kebersihan baik di rumah maupun lingkungan terdekatnya. Wabah leptospirosis
telah dilaporkan mengikuti terjadinya bencana alam seperti banjir dan badai.

Patogenesis
Leptospira dapat masuk melalui luka di kulit atau menembus jaringan
mukosa seperti konjungtiva, nasofaring, dan vagina kemudian masuk ke dalam
darah, berkembang biak, dan menyebar ke jaringan tubuh. Leptospira juga dapat
menembus jaringan seperti ruang depan mata dan ruang subarakhnoid tanpa
menimbulkan reaksi peradangan yang berarti. Tubuh manusia akan memberikan
respon imunologik, baik secara selular maupun humoral. Leptospira berkembang
biak terutama di ginjal (tubulus konvoluta), serta akan bertahan dan diekskresi
melalui urin. Leptospira dapat berada di urin sekitar 8 hari setelah infeksi hingga
bertahuntahun. Setelah fase leptospiremia (4-7 hari), leptospira hanya dijumpai
pada jaringan ginjal dan mata. Pada fase ini, leptospira melepaskan toksin yang
menyebabkan gangguan pada beberapa organ.
Beberapa penemuan menegaskan bahwa leptospira yang lisis dapat
mengeluarkan enzim, toksin, atau metabolit lain yang dapat menimbulkan gejala-
gejala klinis. Hemolisis dapat terjadi karena hemolisin yang bersirkulasi diserap
oleh eritrosit sehingga eritrosit tersebut lisis, walaupun di dalam darah sudah
terdapat antibodi. Diatesis perdarahan umumnya terbatas pada kulit dan mukosa,
tetapi pada keadaan tertentu terjadi perdarahan saluran cerna atau organ vital yang
dapat menyebabkan kematian. Setiap organ penting dapat terkena dan antigen
leptospira dapat dideteksi pada jaringan yang terkena. Gejala fase awal
ditimbulkan karena kerusakan jaringan akibat leptospira, sedangkan gejala fase
kedua timbul akibat respons imun pejamu. Beberapa organ yang mengalami
gangguan akibat toksin leptospira ialah ginjal, mata, hati, otot rangka, pembuluh
darah dan jantung. Bila leptospira masuk ke dalam cairan serebrospinal (CSS)
kemudian ke selaput otak, dapat menyebabkan meningitis yang merupakan
komplikasi neurologik tersering dari leptospirosis.
Leptospira termasuk kuman nefrofilik yang dapat menyerang seluruh
bagian ginjal secara invasi langsung. Nefritis interstisial dengan infiltrasi sel
mononuklear dapat terjadi tanpa adanya gangguan fungsi ginjal. Selanjutnya
pasien dapat mengalami nekrosis tubuler, yang dapat menyebabkan komplikasi
acute kidney injury (AKI), disebut juga sindrom pseudohepatorenal.

Penularan penyakit melalui tikus


Adanya perubahan lingkungan seperti banyaknya genangan air,
lingkungan menjadi becek, berlumpur, serta banyak timbunan sampah yang
menyebabkan mudahnya bakteri Leptospira berkembang biak. Air kencing tikus
terbawa aliran air kemudian masuk ke tubuh manusia melalui permukaan kulit
yang terluka, selaput lendir mata dan hidung. Sejauh ini tikus merupakan reservoir
dan sekaligus penyebar utama Leptospirosis karena bertindak sebagai inang alami
dan memiliki daya reproduksi tinggi Beberapa hewan lain seperti sapi, kambing,
domba, kuda, babi, anjing dapat terserang Leptospirosis, tetapi potensi
menularkan ke manusia tidak sebesar tikus (Ramadhani dkk, 2015).
Bakteri Leptospira khususnya species L. icterrohaemorrhagiae banyak
menyerang pada tikus got (Ratus norvegicus) dan tikus rumah (Ratus tanezumi).
Infeksi bakteri leptospira pada R. tanezumi diduga terpelihara secara alami yang
diwariskan melalui keturunan atau antar inang reservoir yang terkena leptospirosis
terlebih dahulu. R.tanezumi diketahui mempunyai pH urine yang cocok bagi
perkembangan bakteri leptospira sehingga tikus spesies ini paling sering
ditemukan bakteri leptospira. Keberadaan R.tanezumi yang dekat dengan manusia
menjadikan risiko penularan leptospirosis semakin besar, sehingga perlu upaya
pengurangan sumber-sumber air yang tergenang, sebagai salah satu tempat
bersarangnya tikus. Hal ini diperlukan mengingat leptospira paling mudah masuk
menginfeksi manusia melalui permukaan tubuh yang terbuka terutama luka, kulit
yang terendam lama akan jadi lembek dan lunak sehingga mudah masuk.
Leptospira mampu bertahan hidup di luar tubuh tikus selama 7 — 12 jam
tergantung dan media tempat bakteri berada, tetapi ada pendapat lain yang
mengatakan bahwa spora bakteri leptospira di luar tubuh tikus dapat bertahan
sampai berminggu-minggu lamanya pada media dengan pH alkali (Ramadhani
dkk, 2015).

Kriteria dan Gejala Klinis


Terdapat tiga kriteria yang ditetapkan dalam mendefinisikan kasus Leptospirosis,
yaitu:
1. Kasus suspek: Demam akut dengan atau tanpa sakit kepala, disertai nyeri otot,
lemah (malaise), conjungtival suffusion, dan riwayat terpapar dengan
lingkungan yang terkontaminasi atau aktifitas yang merupakan faktor risiko
leptospirosis dalam kurun waktu 2 minggu.
2. Kasus probable: Dinyatakan probable disaat kasus suspek memiliki dua gejala
klinis di antara berikut: nyeri betis, ikterus, manifestasi pendarahan, sesak
nafas, oliguria atau anuria, aritmia jantung, batuk dengan atau tanpa
hemoptisis, dan ruam kulit. Selain itu, memiliki gambaran laboratorium:
trombositopenia 80%, kenaikan jumlah bilirubin total >2 g% atau peningkatan
SGPT, amilase, lipase, dan creatine phosphokinase (CPK), penggunaan rapid
diagnostic test (RDT) untuk mendeteksi IgM anti-leptospira.
3. Kasus konfirmasi: Dinyatakan sebagai kasus konfirmasi saat kasus probable
disertai salah satu dari: isolasi bakteri Leptospira dari spesimen klinik, hasil
polymerase chain reaction (PCR) positif, dan serokonversi macroscopic
agglutination test (MAT) dari negatif menjadi positif.

Pencegahan
Upaya pencegahan untuk tidak tertular leptospirosis dilakukan dengan
membersihkan tempat-tempat yang menjadi habitat atau sarang tikus dan
menghilangkan akses tikus masuk ke lingkungan pemukiman. Upaya yang
diperlukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mencegah
penularan leptospirosis adalah menghindari kontak dengan air dan tanah yang
terkontaminasi. Orang-orang yang mempunyai risiko terpapar oleh hewan yang
terinfeksi harus menggunakan pakaian pelindung atau alas kaki (Ramadhani dkk,
2015).
Pemberian doksisiklin 200 mg/minggu dapat memberikan pencegahan
sekitar 95% pada orang dewasa yang berisiko tinggi, namun profilaksis pada anak
belum ditemukan. Pengontrolan lingkungan rumah dan penggunaan alat
pelindung diri terutama di daerah endemik dapat memberikan pencegahan pada
penduduk berisiko tinggi walaupun hanya sedikit manfaatnya. Imunisasi hanya
memberikan sedikit perlindungan karena terdapat serotipe kuman yang berbeda
(Rampengan, 2016).

Kerangka Teori
Menurut John Gordon penyebaran penyakit tergantung adanya interaksi 3
faktor dasar epidemiologi yaitu agent, host, dan environment. Begitu pula untuk
penyakit leptospirosis.
Faktor agent antara lain: bakteri Leptospira. Faktor host antara lain: usia
dan jenis kelamin. Faktor environment meliputi: lingkungan fisik, lingkungan
biologi, lingkungan sosial.
Faktor lingkungan terdiri dari adanya riwayat banjir, kondisi selokan,
kondisi lingkungan rumah, sumber air untuk kebutuhan sehari-hari, keberadaan
tikus/wirok di dalam dan atau sekitar rumah, keberadaan hewan piaraan sebagai
hospes perantara, lama pendidikan, pekerjaan, ketersediaan pelayanan untuk
pengumpulan limbah padat, dan ketersediaan sistem distribusi air bersih dengan
saluran perpipaan.
Perilaku terdiri dari kebiasaan mandi/mencuci di sungai, kebiasaan
menggunakan sabun/deterjen, kebiasaan menggunakan desinfektan, kebiasaan
memakai alat pelindung diri ketika bekerja, kegiatan membersihkan lingkungan
sekitar rumah, riwayat luka, dan riwayat kontak dengan bangkai tikus/wirok.

Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori, untuk penelitian ini dibuat kerangka konsep
penelitian yang dibatasi hanya faktor risiko lingkungan dan faktor risiko perilaku
untuk terjadi leptospirosis. Jadi tidak semua faktor risiko yang berhubungan
dengan kejadian leptospirosis akan diteliti sebagaimana tampak pada kerangka
teori.
Variabel yang diteliti pada penelitian ini hanya faktor risiko lingkungan
dan faktor risiko perilaku. Faktor risiko lingkungan terdiri dari adanya riwayat
banjir, kondisi selokan, kondisi lingkungan rumah, sumber air untuk kebutuhan
sehari-hari, keberadaan tikus/wirok di dalam dan atau sekitar rumah, keberadaan
hewan piaraan sebagai hospes perantara, lama pendidikan, pekerjaan, ketersediaan
pelayanan untuk pengumpulan limbah padat, dan ketersediaan sistem distribusi air
bersih dengan saluran perpipaan.
Faktor risiko perilaku terdiri dari kebiasaan mandi/mencuci di sungai,
kebiasaan menggunakan sabun/deterjen, kebiasaan menggunakan desinfektan,
kebiasaan memakai alat pelindung diri ketika bekerja, kegiatan membersihkan
lingkungan sekitar rumah, riwayat luka, dan riwayat kontak dengan bangkai
tikus/wirok.
Kerangka konsep faktor risiko lingkungan dan faktor perilaku yang
berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis dapat dilihat pada bagan 3 berikut

Kerangka Konsep Kejadian Leptospirosis Berat

Anda mungkin juga menyukai