Anda di halaman 1dari 19

FAKTOR RISIKO LINGKUNGAN DAN PERILAKU YANG BERPENGARUH

TERHADAP KEJADIAN LEPTOSPIROSIS

Disusun oleh:
Kelompok 12/ Kelas D
1. Anissyah Dian Mawarny (155050101111202)
2. Anis Noer Aisyah (155050101111223)
3. Irfan Agus Setiawan (155050101111321)

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG

2018

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik, dan
hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah penelitian bahasa
Indonesia yang berjudul “Analisis Faktor Risiko Lingkungan Dan Perilaku Yang
Berpengaruh Terhadap Kejadian Leptospirosis Berat”.

i
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun banyak mendapat hambatan akan
tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak, alhamdulillah hambatan itu bisa teratasi. Oleh
karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuan dari semua pihak tersebut
mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penyusun makalah menyadari bahwa makalah penelitian ini masih jauh dari
sempurna, maka dari itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi perbaikan berikutnya. Semoga proposal ini bermanfaat bagi pembaca
pada umumnya dan penulis pad khususnya sebagaimana yang diharapkan. Amin.

Penyusun

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................................ii

ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................iii
BAB.I. PENDAHULUAN................................................................................................1
1.1. Latar Belakang...............................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah..........................................................................................2
1.3. Tujuan............................................................................................................2
BAB.II. PEMBAHASAN.................................................................................................3
2.1. Morfologi dan Sifat Bakteri Leptospira.........................................................3
2.2. Siklus Hidup Leptospira................................................................................3
2.3. Cara Infeksi Leptospira..................................................................................4
2.4. Pengertian Penyakit Leptospirosis.................................................................4
2.5. Patologi dan Gejala Klinis Leptospirosis.......................................................5
2.6. Epidemioogi Leptospirosis............................................................................7
2.7. Faktor yang mempengaruhi penyebaran leptospirosis...................................7
2.8. Diagnosis Penyakit Leptospirosis..................................................................8
2.9. Faktor-faktor Risiko Leptospirosis................................................................9
2.10. Pencegahan Leptospirosis..........................................................................12
2.11. Pengobatan Leptospirosis..........................................................................14
BAB.III. KESIMPULAN...............................................................................................15
3.1. Kesimpulan..................................................................................................15
3.2. Saran.............................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Leptospirosis adalah salah satu the emerging infectious diseases yang disebabkan
oleh bakteri patogen yang disebut leptospira dan ditularkan dari hewan kepada manusia
(zoonosis). Penularan bisa terjadi secara langsung akibat terjadi kontak langsung antara
manusia (sebagai host) dengan urin atau jaringan binatang yang terinfeksi, dan secara
tidak langsung akibat terjadi kontak antara manusia dengan air, tanah atau tanaman yang
terkontaminasi urin dari binatang yang terinfeksi leptospira. Jalan masuk yang biasa pada
manusia adalah kulit yang terluka, terutama sekitar kaki, dan atau selaput mukosa di
kelopak mata, hidung, dan selaput lendir mulut. Leptospira bisa terdapat pada binatang
peliharaan seperti kucing, anjing, sapi, babi, kerbau, maupun binatang liar seperti tikus,
musang, dan tupai. Di dalam tubuh hewan, leptospira hidup di ginjal dan air kemihnya.
Penularan leptospirosis dari manusia ke manusia sangat jarang terjadi.
Penyakit ini memiliki gejala panas tinggi disertai dengan beberapa gejala saraf serta
pembesaran hati dan limpa. Manifestasi klinis dari leptospirosis sangat bervariasi, mulai
dari hanya seperti flu biasa sampai terjadinya gagal ginjal dan perdarahan paru disertai
kegagalan bernafas. Gejala klinis lepstospirosis juga menyerupai beberapa penyakit
lainnya, seperti penyakit demam dengue, thypus, malaria, influensa dan sebagainya.
Secara epidemiologik, kejadian leptopsirosis dipengaruhi oleh 3 faktor pokok, yaitu
faktor agent penyakit, seperti jumlah, virulensi, dan patogenitas bakteri leptospira; faktor
host (pejamu), seperti kebersihan perorangan, kebiasaan menggunakan alat pelindung
diri ketika sedang bekerja di tempat berisiko leptospirosis, keadaan gizi, usia, dan tingkat
pendidikan; dan faktor lingkungan, seperti lingkungan fisik, kimia, biologik, dan sosial.
Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia khususnya
di negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis serta memiliki curah hujan yang
tinggi. Tingginya angka prevalensi leptospirosis di daerah yang memiliki iklim tropis dan
subtropis, dapat dihubungkan dengan kondisi lingkungan yang kurang baik sehingga
memungkinkan lingkungan tersebut menjadi tempat yang baik atau cocok untuk hidup
dan berkembangbiaknya bakteri leptospira. Lingkungan optimal untuk hidup dan
berkembangbiaknya leptospira ialah pada suasana lembab, suhu sekitar 25 oC, serta pH
mendekati neutral (pH sekitar 7); merupakan suatu keadaan yang selalu dijumpai di
daerah tropis sepanjang tahun ataupun pada musim panas dan musim gugur yang
beriklim sub tropis. Pada keadaan tersebut leptospira dapat tahan hidup sampai
berminggu-minggu.
Hospes reservoir dari bakeri Leptospira ini adalah tikus yang gemar dengan keadaan
lingkungan yang lembab, becek, kotor. Penyebaran Leptospirosis (penyakit kencing
tikus) diakibatkan karena urine hewan yang terinfeksi kuman Leptospira akan terbawa
oleh genangan air dan mencemari lingkungan rumah. Dibutuhkan pengetahuan mengenai
bakteri ini, patologi dari leptospirosis, epidemiologi, tindakan pengendalian, dan
pencegahan yang tepat untuk menekan penyebaran bakteri ini.
1.2 Rumusan Masalah
1
1. Bagaimana morfologi dan sifat bakteri Leptospira?
2. Bagaimana siklus hidup bakteri Leptospira?
3. Bagaimana cara infeksi bakteri Leptospira pada manusia?
4. Apa yang dimaksud dengan penyakit leptospirosis?
5. Apa saja patologi dan gejala klinis yang ditimbulkan dari penyakit leptospirosis?
6. Bagaimana epidemiologi penyakit leptospirosis?
7. Apa saja faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit leptospirosis di
masyarakat?
8. Bagaimana diagnosis penyakit leptospirosis?
9. Apa saja upaya-upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk menekan penularan
penyakit leptospirosis?
10. Bagaimana pengobatan penyakit leptospirosis?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui morfologi dan sifat bakteri Leptospira.
2. Untuk mengetahui siklus hidup bakteri Leptospira.
3. Untuk mengetahui cara infeksi bakteri Leptospira pada manusia.
4. Untuk mengetahui penyakit leptospirosis.
5. Untuk mengetahui patologi dan gejala klinis yang ditimbulkan dari penyakit
leptospirosis.
6. Untuk mengetahui epidemiologi penyakit leptospirosis.
7. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit leptospirosis di
masyarakat.
8. Untuk mengetahui diagnosis penyakit leptospirosis.
9. Untuk mengetahui upaya-upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk menekan
penularan penyakit leptospirosis.
10. Untuk mengetahui pengobatan penyakit leptospirosis.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Morfologi dan Sifat Bakteri Leptospira

2
Leptospirosis disebabkan kuman dari genus Leptospira dari famili Leptospiraceae.
Leptospira merupakan bakteri aerob, berbentuk spiral yang rapat, bersifat motil, dan
merupakan spiroketa gram negatif. Bakteri ini juga tipis, halus dan fleksibel dengan
ukuran panjang 5-15 μm, lebar 0,1-0,2 μm. Salah satu ujung Leptospira berbentuk
bengkok seperti kait. Leptospira tidak berflagel, namun dapat melakukan gerakan rotasi
aktif. Kuman ini tidak mudah diwarnai, namun dapat diwarnai dengan impregnasi perak.
Leptospira tumbuh baik pada kondisi aerobik di suhu 28-30°C. (Jawetz,2010). Pada
media yang mengandung serum kelinci (Fletcher’s medium), juga pada media yang
mengandung serum sapi (Ellinghausen- Mc Cullough-Johnson-Harris/ EMJH medium),
pertumbuhannya terlihat dalam beberapa hari sampai 4 minggu. Genus Leptospira
sendiri terdiri dari dua spesies yaitu L.interrogans (yang patogen) dan L.biflexa (yang
bersifat saprofit/ nonpatogen). Spesies L.interrogans dibagi dalam beberapa serogrup
yang terbagi lagi menjadi lebih 250 serovar berdasarkan komposisi antigennya. Beberapa
serovar L.interrogans yang patogen pada manusia adalah L.icterohaemorrhagiae,
L.canicola, L.pomona, L.grippothyphosa, L.javanica, L.celledoni, L.ballum,
L.pyrogenes, L.bataviae, L. hardjo, dan lain- lain. (Tri, 2012)
Leptospira masuk ke dalam darah, berkembang biak dan menyebar di jaringan
tubuh. Tubuh manusia akan memberikan respon imunologi, baik secara selular maupun
humoral. Leptospira berkembang biak terutama di ginjal (tubulus konvoluta). Leptospira
ini akan bertahan dan diekresi melalui urin. Leptospira dapat berada di urin sekitar 8 hari
setelah infeksi hingga bertahun-tahun. Leptospira dapat dihilangkan melalui mekanisme
fagositosis dan imunitas humoral. (Kunadi, 2012)

2.2 Siklus Hidup Leptospira

Hewan yang terjangkit Leptospira adalah hewan peliharaan seperti babi, lembu,
kambing, kucing, anjing sedangkan kelompok unggas serta beberapa hewan liar seperti
tikus, bajing, ular, dan lain-lain. Resevoar utama adalah roden. Kuman Leptospira hidup

3
didalam ginjal pejamu reservoar dan dikeluarkan melalui urin saat berkemih. Manusia
merupakan hospes insidentil.

2.3 Cara Infeksi Leptospira


Penularan leptospirosis pada manusia ditularkan oleh hewan yang terinfeksi kuman
leptospira yang biasanya masuk melalui conjunctiva atau kulit yang terluka. Pada kulit
yang utuh infeksi dapat pula terjadi apabila seseorang kontak dengan air, tanah, dan
tanaman yang terkontaminasi urin tikus atau hewan lain yang sakit leptospirosis dalam
waktu yang lama. (Mari, 2007)
Bakteri ini masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang luka atau membran mukosa.
Menurut Saroso (2003) penularan leptospirosis dapat secara langsung dan tidak
langsung yaitu :
a. Penularan secara langsung dapat terjadi :
1. Melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman
Leptospira masuk kedalam tubuh pejamu.
2. Dari hewan ke manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan, terjadi pada
orang yang merawat hewan atau menangani organ tubuh hewan misalnya
pekerja potong hewan, atau seseorang yang tertular dari hewan peliharaan.
3. Dari manusia ke manusia meskipun jarang, dapat terjadi melalui hubungan
seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita leptospirosis ke janin
melalui sawar plasenta dan air susu ibu.
b. Penularan tidak langsung dapat terjadi melalui :
1. Genangan air.
2. Sungai atau badan air.
3. Danau.
4. Selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan.
5. Jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah.

2.4 Pengertian Penyakit Leptospirosis


Leptospirosis merupakan penyakit infeksi pada manusia dan binatang yang
disebabkan oleh bakteri Leptospira yang berbentuk spiral dan bergerak aktif.
Leptospirosis merupakan zoonosis yang paling tersebar luas di dunia. Leptospirosis atau
penyakit kuning adalah penyakit penting pada manusia, tikus, anjing, babi dan sapi.
Penyakit ini disebabkan oleh spirochaeta leptospira icterohaemorrhagiae yang hidup
pada ginjal dan urine tikus. (Stephen, 2008)
Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia,
khususnya negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis yang memiliki curah hujan
tinggi.1 Leptospirosis adalah salah satu penyakit infeksi yang terabaikan atau Neglected
Infectious Diseases (NIDs) yaitu penyakit infeksi yang endemis pada masyarakat miskin
atau populasi petani dan pekerja yang berhubungan dengan air dan tanah di negera
berkembang. (Ferry, 2013)
Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 o1eh Adolf Weil dengan gejala
panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa. Penyakit
dengan gejala tersebut di atas oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai "Weil's Disease".
Pada tahun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa "Weil's Disease" disebabkan oleh

4
bakteri Leptospira icterohemorrhagiae. Sejak itu beberapa jenis leptospira dapat diisolasi
dengan baik dari manusia maupun hewan (Agus, 2008). Leptospirosis juga dikenal
dengan nama flood fever atau demam banjir karena memang muncul dikarenakan banjir.
Di beberapa negara, leptospirosis dikenal dengan nama mudfever, slime fever, swamp
fever, autumnal fever, field fever, canicola fever, dan icterohemorrhagic fever. (Aru,
2009)

2.5 Patologi dan Gejala Klinis Leptospirosis


Sistem saraf pusat, hati, dan ginjal merupakan organ yang paling sering terkena
infeksi bakteri Leptospira pada manusia. Beratnya patologi bervariasi tergantung dari
antarsevoar, misalnya infeksi L. icterohaemorrhagiae biasanya lebih berat daripada
infeksi L. copenhageni. Gangguan fungsi hati yang paling mencolok adalah ikterus,
gangguan faktor pembekuan, albumin serum menurun, globulin serum meningkat. Gagal
ginjal merupakan penyebab kematian yang penting pada leptospirosis. Pada kasus yang
meninggal minggu pertama perjalanan penyakit, terlihat pembengkakan atau nekrosis sel
epitel tubulus ginjal. Pada kasus yang meninggal pada minggu ke dua, terlihat banyak
fokus nekrosis pada epitel tubulus ginjal. Sedangkan yang meninggal setelah hari ke dua
belas ditemukan sel radang yang menginfiltrasi seluruh ginjal (medula dan korteks).
Penurunan fungsi ginjal disebabkan oleh hipotensi, hipovolemia dan kegagalan sirkulasi.
Gangguan aliran darah ke ginjal menimbulkan nefropati pada leptospirosis. Kadang-
kadang dapat terjadi insufisiensi adrenal karena perdarahan pada kelenjar adrenal.
Mialgia merupakan keluhan umum pada leptospirosis, hal ini disebabkan oleh
vakuolisasi sitoplasma pada myofibril. Keadaan lain yang dapat terjadi antara lain
pneumonia hemoragik akut, hemoptisis, meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis,
radikulitis, mielitis dan neuritis perifer. Peningkatan titer antibodi didalam serum tidak
disertai peningkatan antibodi leptospira (hamper tidak ada) di dalam cairan bola mata,
sehingga leptospira masih dapat bertahan hidup diserambi depan mata selama berbulan-
bulan. Hal ini penting dalam terjadinya uveitis rekurens, kronik atau laten pada kasus
leptospirosis.
Gejala klinik leptospirosis tidak spesifik, sering menyerupai influenza, meningitis
aseptika, ensefalitis, dengue fever, hepatitis atau gastro enteritis. Gejala ringan yang
timbul berupa panas, lesu, sakit pada otot, dan sakit kepala. Gejala yang berat ditandai
dengan demam, ikterus, disertai perdarahan, anemia, azotemia dan gangguan kesadaran.
Bentuk berat dari penyakit leptospirosis ini dikenal sebagai Weil’s disease. Masa inkubasi
leptospirosis 2-26 hari, biasanya 7-13 hari dengan rata-rata 10 hari. Leptospirosis
mempunyai 3 fase penyakit yang khas yaitu:
1. Fase Leptospiremia
Pada fase ini Leptospira dapat dijumpai dalam darah dan cairan tubuh lain.
Gejala ditandai dengan sakit kepala pada daerah frontal, sakit otot betis, paha,
pinggang disertai nyeri saat ditekan. Gejala ini diikuti hiperestesi kulit, demam
tinggi, menggigil, mual, diare, bahkan penurunan kesadaran. Pada sakit berat
dapat ditemui bradikardia dan ikterus (50%). Pada sebagian penderita dapat
ditemui fotofobia, rash, urtikaria kulit, splenomegali, hepatomegali, dan
limfadenopati. Gejala ini terjadi saat hari ke 4-7. Jika pasien ditangani secara

5
baik, suhu tubuh akan kembali normal dengan organ-organ yang terlibat akan
membaik. Fungsi organ-organ ini akan kembali ke 3-6 minggu setelah perawatan.
Pada keadaan sakit lebih berat, demam turun setelah hari ke-7 diikuti fase bebas
demam 1-3 hari, lalu demam kembali. Keadaan ini disebut sebagai fase kedua
atau fase imun.
2. Fase Imun
Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi, demam hingga 40°C
disertai mengigil dan kelemahan umum. Pada leher, perut, dan otot kaki dijumpai
rasa sakit. Perdarahan paling jelas saat fase ikterik, dapat ditemukan purpura,
peteki, epistaksis, dan perdarahan gusi. Conjuntiva injection dan conjungtival
suffusion dengan ikterus merupakan tanda patognomonis untuk leptospirosis.
Fase ini juga dapat ditandai dengan meningitis, yang dapat menetap dalam
beberapa minggu dan menghilang setelah 2 hari. Pada fase ini, leptospira juga
dapat dijumpai dalam urin. (Kunadi, 2012)
3. Fase Penyembuhan
Fase ini terjadi pada minggu ke 2 - 4 dengan patogenesis yang belum jelas.
Gejala klinis pada penelitian ditemukan berupa demam dengan atau tanpa
muntah, nyeri otot, ikterik, sakit kepala, batuk, hepatomegali, perdarahan dan
menggigil serta splenomegali.
Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan berat, tetapi
untuk pendekatan diagnosis klinis dan penanganannya, para ahli lebih senang membagi
penyakit ini menjadi leptospirosis anikterik (non ikterik) dan leptospirosis ikterik. Berikut
perbedaannya.
Spesimen
Sindrom, Fase Manifestasi Klinik
laboratorium
Leptospirosis anikterik
Fase leptospiremia (3-7 Demam tinggi, nyeri kepala, Darah, LCS
hari) mialgia, nyeri perut, mual,
muntah, conjungtiva suffusion
Demam ringan, nyeri kepala, Urin
Fase imun (3-30 hari) muntah
Leptospirosis ikterik
Fase leptospiremia dan Demam tinggi, nyeri kepala,
Darah, LCS
fase imun ( sering mialgia, ikterik gagal ginjal,
Minggu pertama
menjadi satu atau hipotensi, manifestasi
Urin
overlapping) terdapat perdarahan, pneumonitis,
Minggu kedua
periode asimptomatik leukositosis
(1-3 hari)

2.6 Epidemioogi Leptospirosis


Sebagai host (inang), pada hewan dan manusia, dapat dibedakan atas maintenance
host dan incidental host. Dalam tubulus ginjal maintenance host, leptospirosis akan
menetap sebagai infeksi kronik. Infeksi biasanya ditularkan dari hewan ke hewan melalui
kontak langsung. Biasanya, infeksi didapat pada usia dini, dan prevalensi ekskresi kronik

6
melalui urin meningkat dengan bertambahnya umur hewan. Pada manusia, penularan
melalui kontak tidak langsung dengan-maintenance host. Luasnya penularan tergantung
dari banyak faktor yang meliputi iklim, kepadatan populasi, dan derajat kontak antara
maintenance host dan incidental host. Hal ini dan juga tentang serovar penting untuk
studi epidemiologi leptospirosis pada setiap daerah. (Stephen, 2008).
Penularan juga dapat terjadi melalui gigitan hewan yang sebelumnya telah terinfeksi
leptospirosis atau kontak dengan kultur leptospirosis di laboratorium. Manusia yang
mempunyai risiko tinggi tertular penyakit ini adalah pekerja di sawah, peternak, pekerja
tambang, penjagalan hewan, pekerja industri perikanan, dan dokter hewan. Aktivitas
yang berisiko tertular penyakit ini antara lain : berenang di sungai, berburu, dan kegiatan
di hutan. Sebagai contoh pada tahun 2000, 80 peserta Ecochallenge multi sport di
Borneo, Malaysia yang berenang di sungai Segama terkena leptospirosis. Kelompok
yang rentan terkena leptospirosis adalah peternakan, lingkungan banjir, dan lingkungan
yang banyak tikus. (Kunadi, 2012)
Kejadian pada negara beriklim hangat lebih tinggi dari Negara yang beriklim
sedang, karena Leptospira hidup lebih lama dalam lingkungan yang hangat dan kondisi
lembab. Kebanyakan negara-negara tropis merupakan negara berkembang dimana
terdapat kesempatan lebih besar pada manusia untuk terpapar dengan hewan yang
terinfeksi karena tidak terbatas pada pekerjaan tetapi lebih sering disebabkan oleh
kontaminasi yang tersebar luas di lingkungan. Lingkungan yang terkontaminasi oleh urin
hewan yang terinfeksi Leptospira merupakan titik sentral epidemiologi leptospirosis.
Kejadian leptospirosis dapat meningkat pada saat curah hujan yang tinggi dan
lingkungan yang banyak genangan air.

2.7 Faktor yang mempengaruhi penyebaran leptospirosis


 Kondisi Selokan Buruk
Banyak selokan di Indonesia yang tidak memenuhi standar. Sebagai contoh, jumlah
sampah yang banyak di selokan, ukuran selokan yang tidak pas, tidak ada penutup
selokan, dan lainnya. Hal ini membuat air yang seharusnya mengalir menjadi
tersumbat atau meluber ke jalan. Tikus sangat senang dengan tempat yang gelap dan
lembab. Bisa saja tikus buang air di selokan dan air selokan yang terkontaminasi
dapat terinjak oleh manusia.
 Keberadaan sampah dalam rumah
Tikus sangat menyukai sampah dan makanannya terdapat dalam tumpukan sampah.
Oleh karena itu, tikus bisa buang air di dalam rumah yang terdapat sampahnya.
Urinnya dapat menempel di perabot rumah atau terbawa air banjir.
 Keberadaan tikus didalam dan sekitar rumah
Adanya tikus di dalam dan sekitar rumah meningkatkan probabilitas adanya urin
tikus di sekitar rumah yang terinfeksi bakteri Leptospira.
 Kebiasaan tidak memakai alas kaki
Kebiasaan tidak memakai alas kaki ini juga menjadi faktor infeksi leptospirosis. Air
yang terkontaminasi urin tikus dapat mengenai kulit kaki dan bakteri Leprospira
dapat masuk ke dalam jaringan kulit dan menimbulkan infeksi.

7
 Kebiasaan mandi/mencuci di sungai
Saat mandi/mencuci di sungai pasti membutuhkan air yang tersedia di sungai. Air
sungai tersebut tidak dijamin bebas dari mikroba. Air tersebut dapat mengandung
urin tikus. Air yang terkontaminasi akan menempel pada badan kita dan terjadi
infeksi bakter Leptospira.
 Pekerjaan berisiko
Pekerjaan yang berisiko terkena infeksi leptospirosis antara lain pekerja di sawah,
peternak, pekerja tambang, penjagalan hewan, pekerja industri perikanan, dan dokter
hewan.
 Tidak ada penyuluhan tentang leptospirosis
Sebab tidak ada penyuluhan tentang leptospirosis, maka masyarakat tidak
mengetahui mengenai penyakit leptospirosis, cara infeksinya, gejala klinisnya,
pencegahannya, dan lain-lain sehingga masyarakat tetap melakukan aktivitasnya
yang tidak sehat dan berpotensi terkena infeksi. (Agus, 2008)

2.8 Diagnosis Penyakit Leptospirosis


Salah satu kendala penanganan leptospirosis adalah kesulitan dalam melakukan
diagnosis awal. Biasanya pasien datang dengan berbagai macam keluhan dari berbagai
sistem organ seperti: demam, sakit kepala, hepatitis, nefritis, meningitis, pneumonia,
influenza, bahkan pankreatitis. Pada anamnesis, penting untuk menanyakan identitas
pasien, misalnya pekerjaan dan tempat tinggal. Itu dapat menunjukkan apakah pasien
termasuk orang berisiko tinggi atau tidak. Gejala demam, sakit kepala frontal, nyeri otot,
mual, muntah, dan foto fobia dapat dicurigai kearah leptospirosis. Pada pemeriksaan fisik
dijumpai demam, bradikardia, nyeri tekan otot, hepatomegali, dan lainlain.
Diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik langsung, spesimen
darah segar (pada permukaan masa infeksi) yang dibuat sediaan darah tebal dengan
teknik Giemsa, juga dilakukan dengan pembiakan leptospira, berasal dari darah dan
cairan serebrospinal (minggu pertama masa sakit) dan urin (sesudah minggu pertama
sampai hari ke 40). Spesimen tersebut ditanam pada media Fletcher’s atau media EMJH.
Pada media ini, pertumbuhan akan terlihat dalam beberapa hari sampai 4 minggu.
Adanya leptospira pada media ini dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop
lapangan gelap atau menggunakan mikroskop fluoresen (fluorerescent antibodi stain).
Pemeriksaan uji imunoserologi sangat penting untuk diagnosis leptospirosis. Pada
umumnya antibodi baru ditemukan setelah hari ke-7 atau ke-10. Titernya akan meningkat
dan akan mencapai puncaknya pada minggu ke-3 atau ke-4 masa sakit. Uji
imunoserologi yang biasa digunakan: (Levett,2003. Tansupaseri,2005),,,,,,,,,,,,,,,,,,
1. MAT (Microscopic Agglutination Test)
2. IgM dot ELISA dipstick test
Hasil penelitian terbaru menyebutkan adanya antigen spesifik leptospira, yaitu
lipoprotein rLipl32 yang dapat menjadi gold standard diagnosis leptospirosis. (Kunadi,
2012)

2.9 Faktor-faktor Risiko Leptospirosis

8
Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia. Lingkungan di
sekitar manusia dapat dikategorikan menjadi lingkungan fisik, biologi, kimia, sosial
budaya. Jadi lingkungan adalah kumpulan dari semua kondisi dari luar yang
mempengaruhi kehidupan dan perkembangan dari organisme hidup manusia. Lingkungan
dan manusia harus ada keseimbangan, apabila terjadi ketidakseimbangan lingkungan
maka akan menimbulkan berbagai macam penyakit.
Triangulasi epidemiologi penyebaran penyakit keseimbangannya tergantung adanya
interaksi tiga faktor dasar epidemiologi yaitu agent (penyebab penyakit), host (manusia
dan karakteristiknya) dan environment (lingkungan). Ketiga faktor tersebut membentuk
model leptospirosis angle sebagai berikut:

Jika dalam keadaan seimbang antara ketiga faktor tersebut maka akan tercipta
kondisi sehat pada seseorang/masyarakat. Perubahan pada satu komponen akan
mengubah keseimbangan, sehingga akan mengakibatkan menaikkan atau menurunkan
kejadian penyakit.
1. Faktor Agen (Agent Factor)
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri patogen yang
disebut Leptospira. Leptospira terdiri dari kelompok leptospira patogen yaitu L.
intterogans dan leptospira non-patogen yaitu L. Biflexa (kelompok saprofit).
2. Faktor Pejamu (Host Factor)
Dengan adanya binatang yang terinfeksi bakteri leptospira di manamana, leptospirosis
pada manusia dapat terjadi pada semua kelompok umur dan pada kedua jenis kelamin
(laki-laki/perempuan). Namun demikian, leptospirosis ini merupakan penyakit yang
terutama menyerang anak-anak belasan tahun dan dewasa muda (sekitar 50% kasus
umumnya berumur antara 10-39 tahun), dan terutama terjadi pada laki-laki (80%).
3. Faktor Lingkungan (Environmental Factor)
Perubahan komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya kesehatan
masyarakat pada kejadian leptospirosis ini meliputi: lingkungan fisik seperti
keberadaan sungai yang membanjiri lingkungan sekitar rumah, keberadaan
parit/selokan yang airnya tergenang, keberadaan genangan air, keberadaan sampah,
keberadaan tempat pengumpulan sampah, jarak rumah dengan sungai, jarak rumah
dengan parit/selokan, jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah, sumber air
yang digunakan untuk mandi/mencuci,lingkungan biologik seperti keberadaan tikus

9
ataupun wirok di dalam dan sekitar rumah, keberadaan hewan piaraan sebagai hospes
perantara (kucing, anjing, kambing, sapi, kerbau, babi), lingkungan sosial seperti lama
pendidikan, jenis pekerjaan, kondisi tempat bekerja, ketersediaan pelayanan untuk
pengumpulan limbah padat, ketersediaan sistem distribusi air bersih dengan saluran
perpipaan, ketersediaan sistem pembuangan air limbah dengan saluran tertutup.
A. Lingkungan Fisik
 Keberadaan sungai yang membanjiri lingkungan sekitar rumah
Keberadaan sungai menjadikannya sebagai media untuk menularkan
berbagai jenis penyakit termasuk penyakit leptospirosis. Peran sungai sebagai
media penularan penyakit leptospirosis terjadi ketika air sungai
terkontaminasi oleh urin tikus atau hewan peliharaan yang terinfeksi bakteri
leptospira sehingga cara penularannya disebut Water-Borne Infection.
Kotoran yang berasal dari hewan dan orang yang mengandung bakteri dan
virus dapat dihanyutkan dalam sungai-sungai dan biasa terdapat dalam tanki-
tanki tinja di desa dan bisa juga berada di dalam sumur-sumur atau mata air
yang tidak terlindungi
 Keberadaan parit/selokan yang airnya tergenang
Parit/Selokan menjadi tempat yang sering dijadikan tempat tinggal tikus
atau wirok serta sering juga dilalui oleh hewan-hewan peliharaan yang lain
sehingga parit/selokan ini dapat menjadi media untuk menularkan penyakit
leptospirosis. Peran parit/selokan sebagai media penularan penyakit
leptospirosis terjadi ketika air yang ada di parit/selokan terkontaminasi oleh
urin tikus atau hewan peliharaan yang terinfeksi bakteri leptospira.
 Sampah
Adanya kumpulan sampah di rumah dan sekitarnya akan menjadi tempat
yang disenangi tikus. Kondisi sanitasi yang jelek seperti adanya kumpulan
sampah dan kehadiran tikus merupakan variabel determinan kasus
leptospirosis. Adanya kumpulan sampah dijadikan indikator dari kehadiran
tikus.
 Sumber Air
Untuk keperluan sehari-hari, air dapat diperoleh dari beberapa macam
sumber diantaranya:
1. Air Hujan
Air hujan merupakan penyubliman awan/uap air menjadi air murni yang
ketika turun dan melalui udara akan melarutkan benda benda yang
terdapat di udara.
2. Air Permukaan
Air permukaan merupakan salah satu sumber yang dapat dipakai untuk
bahan baku air bersih. Dalam menyediakan air bersih terutama untuk air
minum, dalam sumbernya perlu diperhatikan tiga segi yang penting
yaitu: mutu air baku, banyaknya air baku, dan kontinuitas air baku.
Dibandingkan dengan sumber lain, air permukaan merupakan sumber air
yang tercemar benar. Keadaan ini terutama berlaku bagi tempat-tempat
yang dekat dengan tempat tinggal penduduk. Hampir semua buangan

10
dan sisa kegiatan manusia dilimpahkan kepada air atau dicuci dengan air,
dan pada waktunya akan dibuang ke dalam badan air permukaan.
 Jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah
Tikus senang berkeliaran di tempat sampah untuk mencari makanan. Jarak
rumah yang dekat dengan tempat pengumpul sampah mengakibatkan tikus
dapat masuk ke rumah dan kencing di sembarang tempat. Jarak rumah yang
kurang dari 500 meter dari tempat pengumpulan sampah menunjukkan kasus
leptospirosis lebih besar dibanding yang lebih dari 500 meter.
B. Lingkungan Biologik
 Populasi tikus di dalam dan sekitar rumah
Bakteri leptospira khususnya spesies L. Ichterrohaemorrhagiae banyak
menyerang tikus besar seperti tikus wirok (Rattus norvegicus dan tikus
rumah (Rattus diardii).18 Sedangkan L.ballum menyerang tikus kecil (mus
musculus). Tikus yang diduga mempunyai peranan penting adalah:
R.norvegicus, R.diardii, Suncus murinus dan R.exulat.
 Keberadaan hewan peliharaan sebagai hospes perantara
Leptospira juga terdapat pada binatang piaraan seperti anjing, lembu, babi,
kerbau dan lain-lain maupun binatang liar seperti tikus, musang, tupai dan
sebagainya. Di dalam tubuh binatang tadi yang bertindak sebagai hospes
reservoar, mikroorganisme leptospira hidup didalam ginjal/air kemih.
C. Faktor Periku
Faktor-faktor risiko terinfeksi bakteri leptospira, bila kontak langsung/terpajan
air dan rawa yang terkontaminasi yaitu:23
 Kontak dengan air yang terkontaminasi bakteri leptospira/urin tikus, saat
banjir
 Pekerja tukang perahu, rakit bambu, pemulung
 Mencuci atau mandi di sungai/danau
 Peternak, pemelihara hewan dan dokter hewan yang terpajan karena
menangani ternak/hewan, terutama saat memerah susu, menyentuh
hewan mati, menolong hewan melahirkan, atau kontak dengan bahan lain
seperti plasenta, cairan amnion dan bila kontak dengan percikan infeksius
saat hewan berkemih.
 Tukang kebun/pekerja di perkebunan.
 Petani tanpa alas kaki di sawah.
 Pekerja potong hewan, tukang daging yang terpajan saat memotong
hewan.
 Pembersih selokan.
 Pekerja tambang.
 Pemancing ikan, pekerja tambak udang/ikan air tawar.
 Tentara, pemburu dan pendaki gunung, bila mengarungi permukaan air
atau rawa
 Anak-anak yang bermain di taman, genangan air hujan atau kubangan.
 Tempat rekreasi di air tawar: berenang, arum jeram dan olah raga air
lain,memasuki gua, mendaki gunung.
 Petugas laboratorium yang sedang memeriksa spesimen bakteri
leptospira dan zoonosis lainnya.

11
Faktor agent antara lain: bakteri Leptospira. Faktor host antara lain: usia dan jenis
kelamin. Faktor environment meliputi: lingkungan fisik, lingkungan biologi,
lingkungan sosial. Faktor lingkungan terdiri dari adanya riwayat banjir, kondisi
selokan, kondisi lingkungan rumah, sumber air untuk kebutuhan sehari-hari,
keberadaan tikus/wirok di dalam dan atau sekitar rumah, keberadaan hewan piaraan
sebagai hospes perantara, lama pendidikan, pekerjaan, ketersediaan pelayanan untuk
pengumpulan limbah padat, dan ketersediaan sistem distribusi air bersih dengan saluran
perpipaan
Perilaku terdiri dari kebiasaan mandi/mencuci di sungai, kebiasaan menggunakan
sabun/deterjen, kebiasaan menggunakan desinfektan, kebiasaan memakai alat
pelindung diri ketika bekerja, kegiatan membersihkan lingkungan sekitar rumah,
riwayat luka, dan riwayat kontak dengan bangkai tikus/wirok.

2.10 Pencegahan Leptospirosis


Pencegahan penularan kuman leptospirosis dapat dilakukan melalui tiga jalur yang
meliputi :
a. Jalur sumber infeksi
 Melakukan tindakan isolasi atau membunuh hewan yang terinfeksi.
 Memberikan antibiotik pada hewan yang terinfeksi, seperti penisilin, ampisilin,
atau dihydrostreptomycin, agar tidak menjadi karier kuman leptospira. Dosis dan
cara pemberian berbeda-beda, tergantung jenis hewan yang terinfeksi.
 Mengurangi populasi tikus dengan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus,
pemasangan jebakan, penggunaan rondentisida dan predator ronden.
 Meniadakan akses tikus ke lingkungan pemukiman, makanan dan air minum
dengan membangun gudang penyimpanan makanan atau hasil pertanian, sumber
penampungan air, dan perkarangan yang kedap tikus, dan dengan membuang sisa
makanan serta sampah jauh dari jangkauan tikus.
 Mencegah tikus dan hewan liar lain tinggal di habitat manusia dengan
memelihara lingkungan bersih, membuang sampah, memangkas rumput dan
semak berlukar, menjaga sanitasi, khususnya dengan membangun sarana
pembuangan limbah dan kamar mandi yang baik, dan menyediakan air minum
yang bersih.
a. Melakukan vaksinasi hewan ternak dan hewan peliharaan.
b. Membuang kotoran hewan peliharaan. Sedemikian rupa sehinnga tidak
menimbulkan kontaminasi, misalnya dengan pemberian desinfektan.
b. Jalur penularan
Penularan dapat dicegah dengan :
 Memakai pelindung kerja (sepatu, sarung tangan, pelindung mata, apron,
masker)
 Mencuci luka dengan cairan antiseptik, dan ditutup dengan plester kedap air.
 Mencuci atau mandi dengan sabun antiseptik setelah terpajan percikan urin,
tanah, dan air yang terkontaminasi.
 Menumbuhkan kesadara terhadap potensi resiko dan metode untuk mencegah
atau mengurangi pajanan misalnya dengan mewaspadai percikan atau aerosol,

12
tidak menyentuh bangkai hewan, janin, plasenta, organ (ginjal, kandung kemih)
dengan tangan telanjang, dan jangn menolong persalinan hewan tanpa sarung
tangan.
 Mengenakan sarung tangan saat melakukan tindakan higienik saat kontak
dengan urin hewan, cuci tangan setelah selesai dan waspada terhadap
kemungkinan terinfeksi saat merawat hewan yang sakit.
 Melakukan desinfektan daerah yang terkontaminasi, dengan membersihkan
lantai kandang, rumah potong hewan dan lain-lain.
 Melindungi sanitasi air minum penduduk dengan pengolalaan air minum yang
baik, filtrasi dan korinasi untuk mencengah infeksi kuman leptospira.
 Menurunkan PH air sawah menjadi asam dengan pemakaian pupuk aau bahan-
bahan kimia sehingga jumlah dan virulensi kuman leptospira berkurang.
 Memberikan peringatan kepada masyarakat mengenai air kolam, genagan air
dan sungai yang telah atau diduga terkontaminasi kuman leptospira.
 Manajemen ternak yang baik.
c. Jalur pejamu manusia
 Menumbuhkan sikap waspada
Diperlukan pendekatan penting pada masyarakat umum dan kelompok resiko
tinggi terinfeksi kuman leptospira. Masyarakat perlu mengetahui aspek penyakit
leptospira, cara-cara menghindari pajanan dan segera ke sarana kesehatan bila di
duga terinfeksi kuman leptospira.
 Melakukan upaya edukasi
Dalam upaya promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan cara-
cara edukasi yang meliputi :
a) Memberikan selembaran kepada klinik kesehatan, departemen pertanian,
institusi militer, dan lain-lain. Di dalamnya diuraikan mengenai penyakit
leptospirosis, kriteria menengakkan diagnosis, terapi dan cara mencengah
pajanan. Dicatumkan pula nomor telepon yang dapat dihubungi untuk
informasi lebih lanjut.
b) Melakukan penyebaran informasi

2.11 Pengobatan Leptospirosis


Pada umumnya leptospirosis diobati dengan antibiotika seperti doxycycline atau
penicillin. Berhubung ujicobanya memakan waktu dan penyakitnya mungkin parah,
dokter mungkin mulai memberi antibiotika itu sebelum meneguhkannya dengan
ujicoba. Pengobatan dengan antibiotika dianggap paling efektif jika dimulai dini.
Doxycycline merupakan agen profilaktik yang efektif jika pajanan infeksi tampaknya
telah terjadi. (Stephen, 2008)
Doksisiklin telah berhasil digunakan dengan baik sebagai agen kemoprofilaktik
untuk personil militer yang mengadakan pelatihan di daerah tropis. Doksisiklin oral
dengan dosis 200mg seminggu sekali bila terdapat pemaparan yang berat, memberikan
profilaksis yang efektif. Leptospiura dihilangkan dengan ampisin dan beberapa obat

13
beta-laktamnya, tetapi tidak dengan tetrasiklin atau obat beta-laktam tertentu. (Sylvia,
2011)

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Leptospirosis disebabkan kuman dari genus Leptospira dari famili Leptospiraceae.
Leptospira merupakan bakteri aerob, berbentuk spiral yang rapat, bersifat motil, dan
merupakan spiroketa gram negative. Penularan leptospirosis dapat secara langsung dan
tidak langsung. Faktor yang mempengaruhi penyebaran leptospirosis antara lain kondisi
selokan buruk, keberadaan sampah dalam rumah, keberadaan tikus didalam dan sekitar

14
rumah, kebiasaan tidak memakai alas kaki, kebiasaan mandi/mencuci di sungai,
pekerjaan berisiko, tidak ada penyuluhan tentang leptospirosis
Beratnya patologi bervariasi tergantung dari antarsevoar. Pada pemeriksaan fisik
dijumpai demam, bradikardia, nyeri tekan otot, hepatomegali, dan lain-lain. Diagnosis
dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik langsung. Kejadian pada negara
beriklim hangat lebih tinggi dari negara yang beriklim sedang, karena Leptospira hidup
lebih lama dalam lingkungan yang hangat dan kondisi lembab. Pencegahan dapat
dilakukan dengan melakukan tindakan isolasi atau membunuh hewan yang terinfeksi,
memelihara lingkungan bersih, membuang sampah pada tong sampah, menjaga sanitasi,
meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan. Leptospirosis diobati dengan antibiotika
seperti doxycycline atau penicillin.

3.2 Saran
Saran untuk masyarakat adalah masyarakat diharapkan dapat meningkatkan
pengetahuan kesehatan terutama mengenai penyakit leptospirosis. Dengan mengetahui
akan penyakit tersebut, pencegahan dan penanggulangannya dapat dilakukan sehingga
penyakit leptospirosis tidak menimbulkan patologi atau infeksi yang berat karena
telatnya penanganan. Masyarakat juga harus meningkatkan dan menjaga sanitasi diri
sendiri maupun lingkungan karena bakteri Leptospira menyebar pada lingkungan yang
kotor dan dapat terbawa oleh air. Saran bagi pemerintah adalah pemerintah dapat
melakukan promosi kesehatan mengenai penyakit leptospirosis kepada masyarakat,
memperbaiki tatanan kota yang buruk, dan meningkatkan pelayanan medis dalam
mengobati penderita leptospirosis.

DAFTAR PUSTAKA

Febrian, Ferry dan Sholihah. 2013. Analisis Spasial Kejadian Penyakit Leptospirosis di
Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. KES MAS Vol. 7 No. 1: 1 –
54.

Gillespie, Stephen H. dan Bamford, K. B. 2008. At A Glance Mikrobiologi Medis dan Infeksi.
Erlangga: Jakarta.

15
Muliawan, Sylvia Y. 2011. Bakteri Spiral Patogen. Erlangga: Jakarta.

Oktini, Mari, dkk. 2007. Hubungan Faktor Lingkungan Dan Karakteristik Individu Terhadap
Kejadian Penyakit Leptospirosis di Jakarta, 2003-2005. MAKARA, KESEHATAN,
VOL. 11, NO. 1: 17-24.

Priyanto, Agus, dkk. 2008. Faktor-Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
Leptospirosis. Universitas Diponegoro: Semarang.

Ramadhani, Tri dan Yunianto, Bambang. 2012. Reservoir dan Kasus Leptospirosis di
Wilayah Kejadian Luar Biasa. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No.
4:162-168.

Sudoyo, Aru W., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Internal Publishing: Jakarta.

Tanzil, Kunadi. 2012. Ekologi Dan Patogenitas Kuman Leptospira. Bagian Mikrobiologi
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Tahun 29 Nomor 324.

16

Anda mungkin juga menyukai