Suparjo2
Abstrak
This article is being aimed to deliver more clarification concerning
compensation aspect in land acquisition for public interests in Indonesia.
Many land cases and disputes are ensued and persisting ' through many
public interest projects. Government of the Republic Indonesia has issued
such regulation since decade of 1970 until the recent that is intentioned to
just process in land acquisition. The two last Presidential Regulations
(number 36 year 2005 and number 65 year 2006) are issued negotiation
process and consensus between land owner and committee of land
acquisition (P2T) have not reflected justice. Inequality is appeared by
limitation of consent given by land owner is only 120 days and then after that
period P2T be deemed has authority to occupy the land and do such clearing
without needs landowner permit. That authority is based on those regulations
by deposit sums of money at district court as well known as "consignatie ".
Consignatie itself is as payment method solution under Indonesia Civil Code
for any contractual scheme which ought not applicable through unsuccessful
negotiation between landowner and P2T clear different transaction to the
Civil Code.
I. Pendahuluan
Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya maka jika diperlukan tanah
dan/atau benda lainnya kepunyaan orang lain untuk sesuatu keperluan
haruslah lebih dahulu diusahakan agar tanah itu dapat diperoleh dengan
persetujuan yang empunya, misaJnya alas dasar jual-beli, t\lkar-menukar atau
lain sebagainya Tetapi cara demikian itu tidak selalu dapat membawa hasil
yang diharapkan, karena ada kemungkinan yang empunya meminta harga
yang terlampau tinggi ataupun tidak bersedia sarna sekali untuk melepaskan
tanahnya yang diperlukan itu. Oleh karena kepentingan umum hams
didahulukan dari pada kepentingan orang-seorang, maka j ika tindakan yang
dimaksudkan itu memang benar-benar untuk kepentingan umum, dalarn
keadaan yang memaksa, yaitu jika jalan musyawarah tidak dapat membawa
hasil yang diharapkan, haruslah ada wewenang pada Pemerintah untuk bisa
mengambil dan menguasai tanah yang bersangkutan. Pengambilan itu
dilakukan dengan jalan mengadakan pencabutan hak sebagai yang dimaksud
dalam pasal 18 Undang-undang Pakok Agraria. Jadi pencabutan hak adalah
jalan yang terakhir untuk memperoleh tanah dan/atau benda lainya yang
diperlukan untuk kepentingan umum. Dalam pada itu di dalam menjalankan
pencabutan hak tersebut kepentingan daripada yang empunya, tidak boleh
diabaikan begitu saja. Oleh karena itu maka selain wewenang untuk
melakukan pencabutan hak, di dalam pasal 18 tersebut dimuat pula jaminan-
jaminan bagi yang empunya. Yaitu bahwa pencabutan hak harns disertai
pemberian ganti kerugian yang layak dan harus pula dilakukan menurut cara
yang diatur dalam Undang-undang.
Selanjutnya mengenai pengadaan tanah diatur dalam berbagai
Peraturan Menteri Dalam Negeri yang telah dicabut Dengan berlakunya
Keputusan Presiden Nomar 55 tahun 1993, yaitu:
1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor I Tahun 1975 tentang
Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah;
2. Peraturan Menteri Dalarn Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang
Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan
Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta;
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985 tentang
Tata Cara Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Proyek
Pembangunan di Wilayah Kecamatan.
72 Jurnai Hukum dan Pembangunan Edisi Khusus Dies Natalis 85 Tahun FHUI
terakhir; (2) Faktor-faktor yang mempengaruhi harga tanah; dan (3) Nilai
taksiran bangunan, tanaman, benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah.
Sementara di dalam Peraturan Kepala BPN No 3 Tahun 2007, penilaian
harga tanah berdasarkan pada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai
nyatalsebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan, dan dapat
berpedoman pada variabel-variabel tersebut dalam Pasal 283 Dari kata-kata
'dapat berpedoman' terse but maka secara hokum tidak mengandung norma
ought to (keharusan) sebagaimana ditetapkan dalam Permen Agraria/Kepala
BPNNo 1 Tahun 1994.
Jika dibaca secara cermat, maka secara hukum ketentuan Pasal 28
Peraturan Kepala BPN No 3 Tahun 2007 tidak mengikat bagi panitia
penaksir menggunakan unsur-unsur yang disebut dalam ketentuan tersebut,
karena tidak ada terkandung norma keharusan sebagaimana yg diatur dalam
pasal 16 Permen Agraria/Kepala BPN No 1 Tahun 1994.
Penjelasan di atas adalah masalah inkonsistensi dalam tataran normatif
yang seringkali menjadi bahan perdebatan yang kerap kali menjadi hambatan
dalam rangka mencapai mufakat dalam musyawarah yang dilakukan.
Sementara untuk lebih jelasnya akibat dalam praktek banyak terjadi
penyimpangan dapat dilihat dalam uraian dalam bab berikutnya.
3 Garis tebal oleh penulis sendiri dimaksudkan untuk memberikan penekanan terhadap
istilah yang dipergunakan dalam nonna hukum yang berlaku.
Perihal Pengaturan Ganti Kerugian Tanah untuk Pembangunan. Suparjo 75
10 JPU Ni/ai Perbuatan Bonyo Merugiko.n Negara, Gaung NTB, II Maret, 2009.
Peri hal Pengaturan Ganti Kerugian Tanah untuk Pembangunan, Suparjo 85
IV. Penutup
Sumber Referensi