Anemia hemolitik baik yang ekstrinsik maupun intrinsik dapat muncul dalam jangka
waktu pendek (temporer) maupun muncul sebagai penyakit kronis. Anemia hemolitik
temporer dapat diobati dan hilang setelah beberapa bulan, sedangkan anemia hemolitik
kronis dapat diderita seumur hidup dan menyebabkan terjadinya kekambuhan setelah
periode waktu tertentu.
Anemia hemolitik bisa terjadi pada siapa saja tanpa memandang umur, serta dapat
disebabkan oleh berbagai hal. Pada sebagian penderita, anemia hemolitik hanya
menampakkan gejala ringan. Sedangkan pada sebagian lainnya, kondisi ini
memerlukan perawatan intensif sepanjang hidup.
Talassemia.
Leukemia.
Limfoma.
Tumor.
Lupus.
Sindrom Wiskott-Aldrich.
Sindrom HELLP.
Anemia hemolitik ekstrinsik juga dapat terjadi akibat efek samping konsumsi
obat-obatan tertentu, seperti:
Paracetamol.
Chlorpromazine.
Ibuprofen.
Interferon
Procainamide.
Quinine (kina).
Rifampin.
Salah satu penyebab utama anemia hemolitik berat adalah kesalahan transfusi darah
dimana golongan darah pendonor dan penerima tidak cocok. Jika penerima donor
diberikan darah yang tidak sesuai golongannya, maka antibodi yang terkandung
dalam plasma darah orang tersebut akan menyerang sel darah merah pada darah yang
didonorkan. Kondisi ini dapat menyebabkan kerusakan sel darah merah secara luas di
dalam tubuh.
Ada juga yang dinamakan dengan anemia hemolitik mikroangiopatik, yaitu kondisi
pada saat sel darah merah terfragmentasi. Beberapa penyakit yang dapat menimbulkan
kondisi tersebut adalah:
Sedangkan pada bayi yang baru lahir, terdapat suatu kondisi anemia hemolitik yang
dinamakan eritroblastosis fetalis. Kondisi ini terjadi akibat ketidakcocokan golongan
darah rhesus antara ibu hamil dengan janin. Jika seorang ibu hamil memiliki golongan
darah rhesus negatif dan ayah janin bergolongan rhesus positif, terdapat kemungkinan
janin di dalam kandungan memiliki rhesus positif. Keadaan tersebut akan
menyebabkan sel darah merah janin diserang oleh antibodi dari tubuh ibu. Kasus
eritroblastosis fetalis umumnya terjadi pada kehamilan kedua ketika ibu hamil sudah
memiliki antibodi yang terbentuk dari kehamilan pertama.
Penyakit anemia hemolitik cukup berbahaya bagi bayi dikarenakan komplikasi dari
anemia tersebut. Saat ini, pengobatan untuk bayi yang mengalami eritroblastosis fetalis
adalah dengan pemberian imunoglobulin intravena (IVIG) atau transfusi darah. Dokter
juga dapat mencegah munculnya eritroblastosis fetalis pada ibu hamil yang terdiagnosa
kondisi tersebut dengan memberikan injeksi RhoGAM pada usia kehamilan 28
minggu.
Kulit pucat.
Kelelahan.
Demam.
Sedangkan gejala lainnya yang mungkin juga dapat muncul pada penderita anemia
hemolitik adalah:
Pada saat pemeriksaan fisik, dokter juga akan melakukan pengecekan warna kulit
(terutama jika ada penguningan pada kulit atau pada putih mata). Setelah itu dokter
akan mengecek perut pasien untuk melihat adanya pengerasan atau pembengkakan
sebagai tanda dari membesarnya organ hati dan limpa.
Jika pasien dicurigai menderita anemia hemolitik, dokter akan melakukan pengecekan
darah. Beberapa parameter yang dicek adalah sebagai berikut:
Jumlah sel darah total, guna mengetahui jumlah sel darah pada pasien.
Bilirubin, guna mengetahui jumlah sel darah merah yang dihancurkan oleh hati.
Pada penderita anemia hemolitik, konsentrasi bilirubin yang tidak terkonjugasi dalam
tubuh umumnya di bawah 0,3 mg/L.
Hemoglobin, guna mengetahui jumlah sel darah merah yang masih hidup.
Fungsi hati.
Beberapa tes tambahan yang dapat membantu diagnosis anemia hemolitik adalah:
Biopsi sumsum tulang, untuk menentukan jumlah sel darah merah yang
diproduksi beserta bentuknya.
Bagi penderita anemia hemolitik yang sudah didiagnosis oleh dokter, perlu
diperhatikan hal-hal berikut ini agar dapat menjalani aktivitas normal, di antaranya:
Gagal jantung.