Anda di halaman 1dari 6

Anemia hemolitik adalah kondisi di mana hancurnya sel darah merah (eritrosit) lebih

cepat dibandingkan pembentukannya. Terjadinya anemia hemolitik dapat dipicu oleh


faktor dari dalam sel darah merah (intrinsik) maupun faktor dari luar sel darah merah
(ekstrinsik).

Anemia hemolitik ekstrinsik merupakan anemia hemolitik yang disebabkan oleh


respons sistem imun yang merangsang limpa untuk menghancurkan sel darah merah.
Sedangkan anemia hemolitik intrinsik merupakan anemia hemolitik yang disebabkan
oleh sel darah merah yang tidak normal. Kondisi tersebut menyebabkan sel darah
merah tidak memiliki masa hidup seperti sel normal. Anemia hemolitik intrinsik
umumnya diturunkan secara genetik seperti anemia sel sabit atau thalassemia.

Anemia hemolitik baik yang ekstrinsik maupun intrinsik dapat muncul dalam jangka
waktu pendek (temporer) maupun muncul sebagai penyakit kronis. Anemia hemolitik
temporer dapat diobati dan hilang setelah beberapa bulan, sedangkan anemia hemolitik
kronis dapat diderita seumur hidup dan menyebabkan terjadinya kekambuhan setelah
periode waktu tertentu.

Anemia hemolitik bisa terjadi pada siapa saja tanpa memandang umur, serta dapat
disebabkan oleh berbagai hal. Pada sebagian penderita, anemia hemolitik hanya
menampakkan gejala ringan. Sedangkan pada sebagian lainnya, kondisi ini
memerlukan perawatan intensif sepanjang hidup.

Penyebab Anemia Hemolitik


Beberapa kondisi yang dapat mengakibatkan terjadinya anemia hemolitik intrinsik
adalah:

 Anemia sel sabit.

 Talassemia.

 Defisiensi enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD).

 Defisiensi enzim piruvat kinase

Sedangkan beberapa kondisi yang dapat mengakibatkan terjadinya anemia hemolitik


ekstrinsik adalah:
 Pembesaran limpa.

 Infeksi virus Epstein-Barr dan Hepatitis.

 Infeksi bakteri Coli, Salmonella typhi, dan Streptococcus sp.

 Leukemia.

 Limfoma.

 Tumor.

 Lupus.

 Sindrom Wiskott-Aldrich.

 Sindrom HELLP.

Anemia hemolitik ekstrinsik juga dapat terjadi akibat efek samping konsumsi
obat-obatan tertentu, seperti:

 Paracetamol.

 Antibiotik, terutama penisilin, ampisilin, dan metisilin.

 Chlorpromazine.

 Ibuprofen.

 Interferon

 Procainamide.

 Quinine (kina).

 Rifampin.

Salah satu penyebab utama anemia hemolitik berat adalah kesalahan transfusi darah
dimana golongan darah pendonor dan penerima tidak cocok. Jika penerima donor
diberikan darah yang tidak sesuai golongannya, maka antibodi yang terkandung
dalam plasma darah orang tersebut akan menyerang sel darah merah pada darah yang
didonorkan. Kondisi ini dapat menyebabkan kerusakan sel darah merah secara luas di
dalam tubuh.
Ada juga yang dinamakan dengan anemia hemolitik mikroangiopatik, yaitu kondisi
pada saat sel darah merah terfragmentasi. Beberapa penyakit yang dapat menimbulkan
kondisi tersebut adalah:

 Gangguan katup jantung buatan.

 Sindrom hemolitik uremia (SHU).

 Thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP).

 Disseminated Intravascular Coagulation (DIC).

Sedangkan pada bayi yang baru lahir, terdapat suatu kondisi anemia hemolitik yang
dinamakan eritroblastosis fetalis. Kondisi ini terjadi akibat ketidakcocokan golongan
darah rhesus antara ibu hamil dengan janin. Jika seorang ibu hamil memiliki golongan
darah rhesus negatif dan ayah janin bergolongan rhesus positif, terdapat kemungkinan
janin di dalam kandungan memiliki rhesus positif. Keadaan tersebut akan
menyebabkan sel darah merah janin diserang oleh antibodi dari tubuh ibu. Kasus
eritroblastosis fetalis umumnya terjadi pada kehamilan kedua ketika ibu hamil sudah
memiliki antibodi yang terbentuk dari kehamilan pertama.

Penyakit anemia hemolitik cukup berbahaya bagi bayi dikarenakan komplikasi dari
anemia tersebut. Saat ini, pengobatan untuk bayi yang mengalami eritroblastosis fetalis
adalah dengan pemberian imunoglobulin intravena (IVIG) atau transfusi darah. Dokter
juga dapat mencegah munculnya eritroblastosis fetalis pada ibu hamil yang terdiagnosa
kondisi tersebut dengan memberikan injeksi RhoGAM pada usia kehamilan 28
minggu.

Gejala Anemia Hemolitik


Gejala anemia hemolitik hampir mirip dengan anemia jenis lain. Untuk
membedakannya, perlu dilakukan diagnosis lebih lanjut. Beberapa gejala anemia
hemolitik yang sering muncul adalah:

 Kulit pucat.

 Kelelahan.

 Demam.

 Kepala terasa berat dan berkunang-kunang.


 Pusing.

 Letih dan tidak dapat melakukan aktivitas fisik berat.

Sedangkan gejala lainnya yang mungkin juga dapat muncul pada penderita anemia
hemolitik adalah:

 Urine yang berubah jadi gelap.

 Kulit dan putih mata menguning.

 Jantung terasa berdesir.

 Denyut jantung meningkat.

 Pembesaran limpa dan hati.

Diagnosis Anemia Hemolitik


Dokter akan menanyakan tentang gejala-gejala yang muncul, meninjau riwayat
kesehatan pasien, serta melakukan pemeriksaan fisik sebagai langkah awal diagnosis
anemia hemolitik.

Pada saat pemeriksaan fisik, dokter juga akan melakukan pengecekan warna kulit
(terutama jika ada penguningan pada kulit atau pada putih mata). Setelah itu dokter
akan mengecek perut pasien untuk melihat adanya pengerasan atau pembengkakan
sebagai tanda dari membesarnya organ hati dan limpa.

Jika pasien dicurigai menderita anemia hemolitik, dokter akan melakukan pengecekan
darah. Beberapa parameter yang dicek adalah sebagai berikut:

 Jumlah sel darah total, guna mengetahui jumlah sel darah pada pasien.

 Bilirubin, guna mengetahui jumlah sel darah merah yang dihancurkan oleh hati.
Pada penderita anemia hemolitik, konsentrasi bilirubin yang tidak terkonjugasi dalam
tubuh umumnya di bawah 0,3 mg/L.

 Hemoglobin, guna mengetahui jumlah sel darah merah yang masih hidup.

 Jumlah retikulosit, guna mengetahui banyaknya sel darah merah yang


diproduksi oleh tubuh.

 Fungsi hati.
Beberapa tes tambahan yang dapat membantu diagnosis anemia hemolitik adalah:

 Tes urine, guna mendeteksi keberadaan sel darah dalam urine.

 Biopsi sumsum tulang, untuk menentukan jumlah sel darah merah yang
diproduksi beserta bentuknya.

 Pewarnaan darah (peripheral blood smear). Pewarnaan darah digunakan


untuk melihat bentuk sel darah melalui pengamatan mikroskopis. Melalui pemeriksaan
ini, dokter dapat mengetahui kematangan sel darah, fragmentasi sel darah, dan
sebagainya. Pewarnaan darah juga dapat mendeteksi apakah seseorang terkena anemia
sel sabit atau tidak dilihat dari bentuk sel darah merahnya.

 Studi enzim laktat dehidrogenase. Enzim laktat dehidrogenase merupakan


salah satu indikator penting dalam menentukan adanya hemolisis pada pasien. Pasien
yang menderita anemia hemolitik dapat didiagnosis dari peningkatan serum laktat
dehidrogenase dalam darah. Meskipun demikian, beberapa penyakit keganasan (kanker)
lainnya juga dapat meningkatkan kadar serum laktat dehidrogenase dalam darah.

 Studi serum haptoglobin. Penurunan serum haptoglobin dalam darah dapat


mengindikasikan adanya anemia hemolitik menengah hingga berat.

Pengobatan Anemia Hemolitik


Pengobatan anemia hemolitik akan bergantung pada tingkat keparahan anemia, usia,
kondisi kesehatan pasien secara umum, dan toleransi pasien terhadap obat-obatan
tertentu. Metode pengobatan anemia hemolitik antara lain adalah:

 Transfusi darah. Transfusi darah bertujuan untuk meningkatkan jumlah sel


darah merah pasien dan mengganti sel darah yang rusak secara cepat.

 Imunoglobulin intravena (IVIG). Kekurangan sel darah merah dapat


menyebabkan pasien lebih rentan terkena infeksi. Untuk mencegah hal tersebut, pasien
akan diberikan imunoglobulin melalui cairan intravena.

 Kortikosteroid. Pada pasien anemia hemolitik ekstrinsik yang disebabkan oleh


penyakit autoimun, kortikosteroid berfungsi untuk menekan respons sistem imun agar
sel darah merah tidak dihancurkan dengan mudah.

 Operasi pengangkatan limpa. Limpa merupakan organ yang befungsi


menghancurkan sel darah merah. Pada kasus anemia hemolitik yang berat dan tidak
dapat diatasi dengan metode pengobatan lain, limpa pasien dapat diangkat untuk
mengurangi kerusakan sel darah merah.

Bagi penderita anemia hemolitik yang sudah didiagnosis oleh dokter, perlu
diperhatikan hal-hal berikut ini agar dapat menjalani aktivitas normal, di antaranya:

 Menghindari kontak langsung dengan orang sakit, terutama yang terkena


penyakit infeksi.

 Menghindari kerumunan orang banyak untuk menurunkan risiko infeksi.

 Rutin mencuci tangan.

 Menghindari memakan makanan mentah.

 Rutin menggosok gigi.

 Menjalani vaksinasi flu tiap tahun secara rutin.

Komplikasi Anemia Hemolitik


Beberapa komplikasi yang dapat muncul pada penderita anemia hemolitik adalah:

 Tingkat keparahan anemia meningkat. Pada pasien penderita hemolisis


intravaskular, kekurangan zat besi akibat hemoglobinuria kronis dapat memperparah
anemia yang sudah muncul.

 Sakit kuning (jaundice).

 Gagal jantung.

Anda mungkin juga menyukai