Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

AGAMA DAN TUHAN


BAB I
PENDAHULUAN

Pembicaraan tentang Tuhan merupakan pembicaraan yang menyedot pemikiran manusia


sejak jaman dahulu kala. Manusia senantiasa bertanya tentang siapa di balik adanya alam
semesta ini. Apakah alam semesta terjadi dengan sendirinya ataukah ada kekuatan lain yang
mengatur alam semesta ini. Bertitik-tolak dari keinginan manusia untuk mengetahui keberadaan
alam semesta ini, maka manusia mencoba mengkajinya sesuai dengan kemampuan akal yang
dimilikinya. Hasil dari kajian-kajian yang dilakukan, manusia sejak jaman primitif sudah
mempercayai adanya kekuatan lain di luar diri manusia yang disebut dengan Tuhan.
Namun, kepercayaan kepada adanya Tuhan berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena
perbedaan tingkat kemampuan akal manusia. Menurut Ibnu Thufail yang menulis kisah novel
Hayy bin Yaqdzan mengatakan bahwa manusia dengan akalnya mampu mempercayai adanya
Tuhan.Demikian juga para pemikir dari semua aliran teologi dalam Islam seperti Mu’tazilah,
Asy’ariyah, Maturidiyah Bukhara dan Samarkand berpendapat bahwa mengetahui Tuhan dapat
diketahui melalui akal.
Mengingat kepercayaan terhadap Tuhan berbeda-beda, lantas apakah semua Tuhan yang
dipercayai oleh manusia merupakan Tuhan yang Haq (benar), dan bagaimana cara mengetahui
Tuhan yang Haq (benar) tersebut? Tulisan ini akan menjelaskan tentang Tuhan yang Haq (benar)
dalam perspektif Islam, dan menguji Tuhan-Tuhan yang ada dalam kepercayaan manusia di luar
Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

Penjelasan Konsep Agama (Etimologi & Terminologi)


Agama merupakan wujud ketundukkan dan kepatuhan selanjutnya menjadi kebiasaan,
kemudian kebiasaan itu dapat menguasai kehidupannya sehari-hari dengan kepercayaan bahwa
segala kepatuhan itu nantinya mendapatkan balasan. Keimanan kepada Allah dalam akidah
seorang Muslim menempati posisi yang sangat sentral. Keesaan Allah merupakan aspek yang
terpenting dari keimanan kepada Allah SWT. Persaksian dalam dua kalimah syahadat merupakan
pintu gerbang memasuki kehidupan baru bagi setiap umat manusia. Syahadat inilah yang
menegasikan antara manusia dengan Tuhannya terjalin sebuah ikatan yang tidak bias
terpisahkan. Ketika janji sudah terucap maka wajib bagi kita untuk memenuhi segala apa yang
menjadi tanggungjawab kita sebagai umat muslim. Kehadiran agama Islam yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtra
lahir dan batin. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia
itu menyikapai hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti yang seluas luasnya
(Nata, 2000 : 1).
Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat
di dalam sumber ajarannya yaitu al-Qur’an dan Hadits, Nampak amat ideal dan agung. Islam
mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal fikiran melalui
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan
material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian social, menghargai waktu,
bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik,
mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan sikap-sikap positif
lainya (Jamali, 1992 : 11-12).
Agama, sebagaimana didefinisikan Roland Roberston dalam buku Agama dan Analisis
Sosiologis, adalah benteng moralitas bagi umat. Lewat agama diatur bagaimana menjalin
hubungan yang baik dengan sesama mausia, dan antara umat manusia dengan Tuhannya.
Demikian juga dalam ajaran Islam, agama adalah petunjuk bagi manusia antar manusia
senantiasa terkontrol dalam tingkah laku yang luhur, saling mengasihi dan mencintai. Dalam
ajaran agama dinyatakan, manusia yang beriman adalah bersaudara. Yang kuat harus menolong
yang lemah dan yang kaya harus menyantuni yang miskin (Daulay, 2002 : 58-59).
Pengertian agama sebagaimana diuraikan oleh Harun Nasution terdiri dari dua kata yaitu
A memiliki makna Tidak dan GAM memiliki arti Pergi. Jadi agama artinya tidak pergi, tetap
ditempat, diwarisi secara turun temurun. Ada yang yang mengatakan bahwasanya agama
memiliki makna Teks atau Kitab Suci. Agama juga memiliki makna Tuntunan hal ini
menggambarkan bahwasanya agama memiliki fungsi sebagai tuntunan bagi kehidupan manusia.
Din dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hokum. Dalam bahasa Arab kata ini
mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, dan kebiasaan. Pengertian ini
sejalan dengan kandungan agama yang didalamnya terdapat peraturan-peraturan sebagai hokum
yang harus dipatuhi oleh penganut agama yang bersangkutan. Adapun kata religi berasal dari
bahasa Latin, Harun mengatakan bahwasanya religi berasal dari kata relegere yang mengandung
arti mengumpulkan dan membaca. Hal ini sejalan dengan isi agama yang mengandung kumpulan
cara-cara mengabdi kepada Tuhan yang terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca (Nata,
2000 : 9-10).
Selanjutnya sebagai agama terakhir, Islam diketahui memiliki karastritik khas
dibandingkan dengan agama-agama yang dating sebelumnya. Melalui berbagai literature yang
berbicara mengenai Islam banyak dijumpai tentang pengertian agama Islam. Ada dua sisi yang
digunakan dalam memahami pengertian agama Islam yaitu agama Islam dalam sudut pandang
persitilahan dan kebahasaan.
Dari segi kebahasaan Islam bermula dari bahasa Arab “salima” memiliki arti selamat,
sentosa, dan damai. Dari kata inilah selanjutnya diubah menjadi bentuk “aslama” yang berarti
berserah diri masuk dalam kedamaian (Ali, 1980 : 2). Dari segi kebahasaan Islam dekat dengan
kata aga-ma yang berarti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, dan kebiasaan
(Nasution, 1979 : 9). Senada dengan Nurkolis Madjid, ia berpendapat bahwa Islam memiliki
makna pasrah terhadap Tuhannya, hal ini merupakan hakekat ajaran Islam. Sikap ini tidah hanya
merupakan ajaran Tuhan kepada Hamba-Nya, tetapi ia diajarkan oleh-Nya dengan disangkut
pautkan kepada alam manusia itu sendiri (Madjid, 1992 : 426).
Sedangkan Islam menurut istilah memiliki beragam pengertian. Menurut Harun Nasution
Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia
melalui nabi Muhammad SAW sebagai Rasul. Maulana Muhammad Ali mengatakan bahwa
Islam adalah agama perdamaian, dan dua ajaran pokoknya adalah keesaan Tuhan dan kesatuan
atau persaudaraan umat manusia, dan masih banyak pengertian Islam yang lain.
Dalam agama Islam, akidah dapat diartikan sebagai sebuah keyakinan ataupun
kepercayaan yang tumbuh didalam sanubari hati manusia dan tidak dapat dipaksakan
keberadaannya. Dari aqidah inilah, kemudian diejawantahkan menjadi beberapa unsur keimanan.
Sehingga Islam sangat menekankan pentingnya keberadaan iman dalam diri manusia. Iman
sebagai suatu ketetapan dan pembenaran hati yang diimpelementasikan dalam konteks kepatuhan
dan ketaatan dalam menjalankan seluruh ajaran yang ada dalam agama (Ghofir, 2012 : 100-101)
Demikian pula keberadaan agama lain, puncak dari semua ajaranya adalah ketuhanan
(ketahuidan atau teologi). Setiap agama pastilah memiliki sebuah konsep ataupun system
ketuhanan. Keberadaan Tuhan dinisbatkan atau digambarkan sedemikian rupa, sehingga
timbullah perbedaan dalam pengambaran agama yang satu dengan agama yang lainnya. Pada
akhirnya menjadikan salah satu faktor pemecah belah umat beragama (Nadhroh, 1999 : 51).
Karakteristik, Definisi dan Kriteria "Tuhan"
Dalam konsep Islam, Tuhan disebut Allah dan diyakini sebagai Zat Maha Tinggi Yang
Nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan
Hakim bagi semesta alam.
Islam menitik beratkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa (tauhid)
Dia itu wahid dan Esa (ahad), Maha Pengasih dan Maha Kuasa. Menurut Al-Quran terdapat 99
Nama Allah (asma'ul husna artinya: "nama-nama yang paling baik") yang mengingatkan setiap
sifat-sifat Tuhan yang berbeda. Semua nama tersebut mengacu pada Allah, nama Tuhan Maha
Tinggi dan Maha Luas.Di antara 99 nama Allah tersebut, yang paling terkenal dan paling sering
digunakan adalah "Maha Pengasih" (ar-rahman) dan "Maha Penyayang" (ar-rahim).
Penciptaan dan penguasaan alam semesta dideskripsikan sebagai suatu tindakan
kemurahhatian yang paling utama untuk semua ciptaan yang memuji keagungan-Nya dan
menjadi saksi atas keesan-Nya dan kuasa-Nya. Menurut ajaran Islam, Tuhan muncul di mana
pun tanpa harus menjelma dalam bentuk apa pun. Al-Quran menjelaskan, "Dia tidak dapat
dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang
Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (Al-'An'am 6:103).
Tuhan dalam Islam tidak hanya Maha Agung dan Maha Kuasa, namun juga Tuhan yang
personal: Menurut Al-Quran, Dia lebih dekat pada manusia daripada urat nadi manusia. Dia
menjawab bagi yang membutuhkan dan memohon pertolongan jika mereka berdoa pada-Nya. Di
atas itu semua, Dia memandu manusia pada jalan yang lurus, “jalan yang diridhai-Nya.”
Islam mengajarkan bahwa Tuhan dalam konsep Islam merupakan Tuhan sama yang
disembah oleh kelompok agama Abrahamik lainnya seperti Kristen dan Yahudi. Namun, hal ini
tidak diterima secara universal oleh kalangan kedua agama tersebut.
Beberapa teori mencoba menganalisa etimologi dari kata "Allah". Salah satunya
mengatakan bahwa kata Allāh (‫ )ااا‬berasal dari gabungan dari kata al- (sang) dan ʾilāh (tuhan)
sehingga berarti "Sang Tuhan". Namun teori ini menyalahi bahasa dan kaidah bahasa Arab.
Bentuk ma'rifat (definitif) dari ilah adalah al-ilah, bukan Allah. Dengan demikian kata al-ilah
dikenal dalam bahasa Arab. Penggunaan kata tersebut misalnya oleh Abul A'la al-Maududi dalam
Mushthalahatul Arba'ah fil Qur'an (h. 13) dan Syaikh Abdul Qadir Syaibah Hamad dalam al-
Adyan wal Furuq wal Dzahibul Mu'ashirah (h. 54).
Kedua penulis tersebut bukannya menggunakan kata Allah, melainkan al-ilah sebagai
bentuk ma'rifat dari ilah. Dalam bahasa Arab pun dikenal kaidah, setiap isim (kata benda atau
kata sifat) nakiroh (umum) yang mempunyai bentuk mutsanna (dua) dan jamak, maka isim
ma'rifat kata itupun mempunyai bentuk mutsanna dan jamak. Hal ini tidak berlaku untuk kata
Allah, kata ini tidak mempunyai bentuk ma'rifat mutsanna dan jamak. Sedangkan kata ilah
mempunyai bentuk ma'rifat baik mutsanna (yaitu al-ilahani atau al-ilahaini) maupun jamak (yaitu
al-alihah). Dengan demikian kata al-ilah dan Allah adalah dua kata yang berlainan.
Teori lain mengatakan kata ini berasal dari kata bahasa Aram Alāhā.[12] Cendekiawan
muslim kadang-kadang menerjemahkan Allah menjadi "God" dalam bahasa Inggris. Namun,
sebagian yang lain mengatakan bahwa Allah tidak untuk diterjemahkan, dengan berargumen
bahwa kata tersebut khusus dan agung sehingga mesti dijaga, tidak memiliki bentuk jamak dan
gender (berbeda dengan God yang memiliki bentuk jamak Gods dan bentuk feminin Goddess
dalam bahasa inggris). Isu ini menjadi penting dalam upaya penerjemahan Al-Qur'an.
Para salafush sholeh atau tiga generasi Muslim awal dan terbaik, meyakini bahwa Allah
memiliki wajah, tangan dan kaki, hanya saja hal-hal tersebut sangatlah berbeda dengan makhluk
ciptaan-Nya. Kemudian mereka meyakini pula Allah berada di atas 'Arsy[18] dan tidak ada satu
pun dari makhluk yang serupa dengan-Nya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan: “Wajah (Allah) merupakan
sifat yang terbukti keberadaannya berdasarkan dalil al-kitab, as-sunnah dan kesepakatan ulama
salaf.” Ia menyebutkan ayat ke-27 dalam surah Ar-Rahman. Ia menjelaskan di dalam kitabnya
yang lain: “Nash-nash yang menetapkan wajah dari al-kitab dan as-sunnah tidak terhitung
banyaknya, semuanya menolak ta’wil kaum Mu'tazilah yang menafsirkan wajah dengan arah,
pahala atau dzat.
Al-Qur'an merujuk sifat Tuhan ada pada asma'ul husna (lihat QS. Al-A'raf 7:180, Al-Isra'
17:110, Ta Ha :8, Al-Hasyr 59:24). Menurut Gerhard Böwering, "Nama-nama tersebut menurut
tradisi dijumlahkan 99 sebagai nama tertinggi (al-ism al-aʿẓam), nama tertinggi Tuhan, Allāh.
Perintah untuk menyeru nama-nama Tuhan dalam sastra tafsir Qurʾān ada dalam Surah Al-Isra'
ayat 110, "Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja
kamu seru, Dia mempunyai asma'ul husna (nama-nama yang terbaik)," dan juga Surah Al-Hasyr
ayat 22-24, yang mencakup lebih dari selusin nama Tuhan."
Sesungguhnya sifat-sifat Allah yang mulia tidak terbatas/terhingga. Di antaranya juga
tercantum dalam Asma'ul Husna. Sebagian ulama merumuskan 20 Sifat Allah yang wajib
dipahami dan diimani oleh umat Islam

Alasan Filosofis Adanya Tuhan Pencipta Alam


Pembahasan mengenai Tuhan dalam Filsafat Islam sebenarnya menjadi pembahasan
utama, seperti yang dituliskan al-Kindi dalam kitabnya al-Falsafah Ula. Dalam kitab tersebut al-
Kindi menyatakan bahwa concern utama dan pertama dalam Filsafat islam ialah Metafisika atau
pembahasan mengenai Tuhan.
Tuhan juga dalam Filsafat islam merupakan bagian dari pembahasan mengenai wujud,
yang di dalamnya terdapat empat cabang pembahasan yaitu, 1). Alam, 2). Jiwa, 3). Nubuwwah,
dan 4). Tuhan. Jadi setiap Filosof muslim tidak pernah meninggalkan pembahsan mengenai yang
empat di atas, terutama tentang Tuhan. Karena Tuhan adalah segalanya, Ia adalah sumber yang
tanpa-Nya tak ada satupun benda di dunia ini -termasuk manusia- akan pernah muncul.
Pembahaan kali ini akan lebih jauh mengeksplorasi pendapat-pendapat Filosof-filosof
pertama islam, yang biasa dikenal beraliran ”Peripatetik” (mengutamakan logika yang
berdasarkan nalar akal)

Al-Kindi (801-873), sebagai filosof pertama islam, menyatakan bahwa Tuhan sebagai
sebab pertama yang wujudnya menjadi sebab bagi wujud yang lain. Dia mempersepsikan Tuhan
sebagai sebab beranjak dari keyakinan bahwa suatu kejadian tidak bisa terjadi karena dirinya
sendiri, tetapi terjadi karena sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain itulah yang disebut sebab,
sedangkan kejadian itu sendiri disebut akibat. Kejadian selalu mengandaikan adanya perubahan,
setiap perubahan atau kejadian membutuhkan alasan yang memadai untuk pengaktualannya.
Tuhan dikatakan sebagai sebab pertama, yang menunjukkan betapa Ia adalah sebab
paling fundamental dari semua sebab-sebab lainnya yang berderet panjang. Sebagai sebab
pertama, maka Ia sekaligus adalah sumber, dari mana sesuatu yang lain, yakni alam semesta
berasal.
Filosof Muslim selanjutnya setelah al-Kindi, terutama al-Farabi (872-920) dan Ibn Sina
(980-1037), memaparakan lebih lanjut atau memperjelas konsep tuhan al-Kindi dengan
mengungkapkan dalil Wajib al-wujud dan mumkin al-wujud. Menurut keduanya, segala yang ada
di dunia ini hanya ada dua kemungkinan dan tidak ada alternatif ketiga. Tuhan adalah wajib al-
wujud (wujud niscaya) sedangkan selainnya (alam) dipandang sebagai mumkin al-wujud (wujud
yang mungkin). Tetapi yang dimaksud wajib al-wujud di sini adalah wujud yang ada dengan
sebenarnya, atau wujud yang senantiasa aktual. Dengan demikian Allah adalah wujud yang
senantiasa ada dengan sendirinya dan tidak membutuhkan sesuatu apapun untuk
mengaktualkannya.
Berbeda dengan alam yang dikategorikan sebagai mumkin al-wujud, artinya wujud
potensial, sehingga memiliki kemungkinan untuk ada atau aktual. Sebagai wujud potensi ia tidak
bisa mengaktualkan atau mewujudkan dirinya sendiri, karena ia tidak memiliki prinsip aktualitas
untuk mengaktualkan potensinya.
Dengan alam yang kita sekarang ini atau ketika alam mewujud, pastilah ada sesuatu,
selain alam, yang telah mewujudkan alam yang ia sendiri pasti bersifat aktual. Karena hanya
yang telah aktuallah yang bisa mewujudkan segala yang potensial, ialah yang disebut dengan
Tuhan.
Sebagai wajib al-wujud, Tuhan menurut al-Farabi adalah Maha Satu, tidak berubah, jauh
dari materi, jauh dari arti banyak, Maha sempurna, dan tidak berhajat apapun. Berdasarkan
hakekat Tuhan diatas, al-Farabi menjelaskan alur bagaimana yang banyak (alam semesta) bisa
timbul dari yang satu (Tuhan), menurutnya alam dan yang lainnya terjadi dengan cara Emanasi.
Menurut teori Emanasi (pancaran), wujud Allah sebagai suatu wujud intelegensia (akal)
mutlak yang berpikir -tentang dirinya- secara otomatis menghasilkan –memancarkan- akal
pertama sebagai hasil proses berpikir-Nya. Pada gilirannya, sang akal pertama berpikir tentang
Allah dan sebagai hasilnya terpancarlah akal kedua. Proses ini berjalan terus menerus hingga
terciptalah akal ketiga, akal keempat, hingga akal kesepuluh. Akal kesepuluh ini adalah akal
terakhir dan terendah di tingkatan-tingkatan wujud di alam material.
Di samping terciptanya akal-akal tersebut, proses ini juga menghasilkan terciptanya jiwa
dan planet-planet. (teori emanasi lihat di halaman terakhir)
Pada Akal 10/Wujud 11 berhentilah terjadinya akal-akal. Tetapi dari akal 10 muncullah
bumi, manusia, dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur yakni api, udara, air,
dan tanah. Akal 10 mengatur dunia yang ditempati manusia ini. Akal 10 ini disebut juga ‘Aql
Fa’al (Akal Aktif) atau wahib al-shuwar (pemberi bentuk) dan terkadang disebut Jibril yang
mengurusi kehidupan di bumi.
Tujuan al-Farabi mengemukakan teori Emanasi tersebut untuk menegaskan kemahaesaan
Tuhan. Karena tidak mungkin yang esa berhubungan dengan yang tidak esa atau banyak.
Andaikata alam diciptakan secara langsung mengakibatkan Tuhan berhubungan dengan yang
tidak sempurna, dan ini menodai keesaan-Nya. Jadi dari Tuhan yang maha esa hanya muncul
satu, yakni akal pertama yang berfungsi sebagai perantara dengan yang banyak.
Keterbatasan Pikiran Manusia
Ajaran Islam sangat relevan dengan perkembangan zaman dan sangat masuk akal.
Namun tidak semua ajaran atau prinsip-prinsip dalam Islam itu harus sesuai dengan akal
manusia. Ada beberapa hal dalam ajaran Islam yang wajib kita imani secara mutlak tanpa harus
dicocokkan dengan logika terlebih dahulu. Misalnya terkait dengan hal-hal yang sifatnya ghaib,
yaitu Syurga dan neraka, hari kiamat, hari akhirat dan lain sebagainya. Dalam hal tersebut kita
wajib mengimani dengan penuh keyakinan.
Salah satu contoh syariat Islam yang tidak melulu harus disesuaikan dengan logika atau
penalaran manusia adalah terkait dengan masalah wudhu. Seandainya semuanya harus masuk
akal, maka ketika kita kentut yang dibasuh duburnya, bukan mukanya, telapak tangannya, dan
seterusnya. Dalam berwudhu tidak ada ritual membasuh dubur. he...he... Jadi bagi mereka yang
masih mendewakan akal, segeralah bertaubat. Ketahuilah bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala itu
berbeda dengan manusia. Karena, "....tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia". (QS. Al
Ikhlas Ayat 4).
Pengetahuan manusia sangat terbatas dan tidak ada apa-apanya dengan pengetahuan
Allah 'Azza wa Jalla. Maka jangan mencoba mengkritisi sebagian atau keseluruhan ajaran Islam
karena dianggap tidak sesuai dengan pemikiran manusia. Perlu digaris bawahi bahwa ajaran
islam itu sangat masuk akal, namun tidak semua ajaran islam itu harus sesuai dengan pemikiran
manusia.
Salah satu ayat yang menjelaskan tentang ketidaksesuaian fikiran atau pendapat manusia
dengan apa yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah surat Al Baqarah ayat 216
berikut ini :
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi
kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai
sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (Al
Baqarah: 216)

BAB III
KESIMPULAN
Kepercayaan kepada Tuhan adalah kepercayaan yang sudah lama ada sepanjang
peradaban manusia. Kepercayaan ini merupakan naluri insani, setiap manusia pasti dalam dirinya
meyakini keberadaan Tuhan. Hal tersebut bisa dilihat dari pembuktian historis dan antropologis,
akan tetapi, persepsi tentang esensi Tuhan yang diimani berbeda-beda. Manusia primitif
misalnya, mempercayai benda-benda yang memiliki kesan misterius dan mengangumkan.
Kenyataan ini menunjukkan adanya potensi bertuhan dalam diri manusia.
Perdebatan mutakkallimi>n dalam hal aspek ketuhanan yang memunculkan perdebatan
dalam sejarah teologi Islam dalam kaitannya dengan kalimat tauhid tersebut memacu pada
paradigma umat Islam tersebut dalam menyikapi berbagai perkembangan, dan menjadi sebuah
bangunan kokoh dalam memahami esensi ketuhanan dan mengesakan Tuhan.
Jika menyimak beberapa literatur tentang teologi Islam setidaknya kita bisa
menyimpulkan bahwa banyaknya aliran teologi Islam yang muncul disebabkan oleh beberapa
faktor. Pertama pemahaman yang beragam tentang satu ayat dalam al-Quran maupun hadits
Rasulullah saw. Kedua adalah ekspansi umat Islam yang menyebabkan terjadinya campur baur
antara Islam dan ideologi lainnya. Ketiga proses penerjemahan karya-karya filsafat kedalam
bahasa Arab, dan terakhir keempat memanasnya suhu politik dan ekonomi dikalangan umat
Islam. Semua runtutan perdebatan yang ada dalam khazanah keilmuan Islam akan mengarah
pada faktor-faktor tersebut. Ini membawa dampak negatif di satu sisi akan tetapi lebih banyak
memberikan manfaat yang baik bagi perkembangan sejarah dan peradaban umat Islam. Dalam
teologi sendiri misalnya, dengan munculnya perdebatan tersebut umat Islam bisa membuktikan
bahwa kebertuhanan dalam agama Islam tidak hanya sebuah konteks dan taklid buta terhadap
doktrin agama melainkan mampu di dekati melalu pendekatan rasio dan berfikir yang sistematis.
Berkaitan dengan perdebatan ketuhanan yang ada kaitannya dengan kalimat tauhid, setidaknya
Islam mengacu pada beberapa aliran yang secara konstan menjadi rujukan perdebatan ini. Yaitu
Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturudiyah.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab, Syeikh Sulaiman bin Abdullah bin Abdullah bin Muhammad. TT. Taisirul Azizil
Hamid Fi
Syarhi Kitab at-Tauhid, Terj. Dja’far Sudjarwo, Ketuhanan Yang Maha Esa Menurut Islam.
Surabaya: al-Ikhlas.
Asshiddiqie, M. Hasbi. 1973. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam. Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Bajuri, Syeikh Ibrahim. TT. Kifayatul Awam, Asia: Sirkatu al-Nuri.
Davis, Paul. 2001. The Mind of God. Terj. Hamzah, Membaca Pikiran Tuhan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Departemen Agama RI. 1969. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Jamunu, Cet. Ke-3. Gazalba,
Sidi. 1975. Asas Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
al-Khaibawi, Utsman. TT. Durratun Nasihin, Terj. Abdullah Shonhaji. Semarang: al-Munawar.
Madkour, Ibrahim. 1993. Filsafat Islam Metode dan Penerapan Bagian I. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, Cet. Ke-3.

Anda mungkin juga menyukai