BAB II
PEMBAHASAN
Al-Kindi (801-873), sebagai filosof pertama islam, menyatakan bahwa Tuhan sebagai
sebab pertama yang wujudnya menjadi sebab bagi wujud yang lain. Dia mempersepsikan Tuhan
sebagai sebab beranjak dari keyakinan bahwa suatu kejadian tidak bisa terjadi karena dirinya
sendiri, tetapi terjadi karena sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain itulah yang disebut sebab,
sedangkan kejadian itu sendiri disebut akibat. Kejadian selalu mengandaikan adanya perubahan,
setiap perubahan atau kejadian membutuhkan alasan yang memadai untuk pengaktualannya.
Tuhan dikatakan sebagai sebab pertama, yang menunjukkan betapa Ia adalah sebab
paling fundamental dari semua sebab-sebab lainnya yang berderet panjang. Sebagai sebab
pertama, maka Ia sekaligus adalah sumber, dari mana sesuatu yang lain, yakni alam semesta
berasal.
Filosof Muslim selanjutnya setelah al-Kindi, terutama al-Farabi (872-920) dan Ibn Sina
(980-1037), memaparakan lebih lanjut atau memperjelas konsep tuhan al-Kindi dengan
mengungkapkan dalil Wajib al-wujud dan mumkin al-wujud. Menurut keduanya, segala yang ada
di dunia ini hanya ada dua kemungkinan dan tidak ada alternatif ketiga. Tuhan adalah wajib al-
wujud (wujud niscaya) sedangkan selainnya (alam) dipandang sebagai mumkin al-wujud (wujud
yang mungkin). Tetapi yang dimaksud wajib al-wujud di sini adalah wujud yang ada dengan
sebenarnya, atau wujud yang senantiasa aktual. Dengan demikian Allah adalah wujud yang
senantiasa ada dengan sendirinya dan tidak membutuhkan sesuatu apapun untuk
mengaktualkannya.
Berbeda dengan alam yang dikategorikan sebagai mumkin al-wujud, artinya wujud
potensial, sehingga memiliki kemungkinan untuk ada atau aktual. Sebagai wujud potensi ia tidak
bisa mengaktualkan atau mewujudkan dirinya sendiri, karena ia tidak memiliki prinsip aktualitas
untuk mengaktualkan potensinya.
Dengan alam yang kita sekarang ini atau ketika alam mewujud, pastilah ada sesuatu,
selain alam, yang telah mewujudkan alam yang ia sendiri pasti bersifat aktual. Karena hanya
yang telah aktuallah yang bisa mewujudkan segala yang potensial, ialah yang disebut dengan
Tuhan.
Sebagai wajib al-wujud, Tuhan menurut al-Farabi adalah Maha Satu, tidak berubah, jauh
dari materi, jauh dari arti banyak, Maha sempurna, dan tidak berhajat apapun. Berdasarkan
hakekat Tuhan diatas, al-Farabi menjelaskan alur bagaimana yang banyak (alam semesta) bisa
timbul dari yang satu (Tuhan), menurutnya alam dan yang lainnya terjadi dengan cara Emanasi.
Menurut teori Emanasi (pancaran), wujud Allah sebagai suatu wujud intelegensia (akal)
mutlak yang berpikir -tentang dirinya- secara otomatis menghasilkan –memancarkan- akal
pertama sebagai hasil proses berpikir-Nya. Pada gilirannya, sang akal pertama berpikir tentang
Allah dan sebagai hasilnya terpancarlah akal kedua. Proses ini berjalan terus menerus hingga
terciptalah akal ketiga, akal keempat, hingga akal kesepuluh. Akal kesepuluh ini adalah akal
terakhir dan terendah di tingkatan-tingkatan wujud di alam material.
Di samping terciptanya akal-akal tersebut, proses ini juga menghasilkan terciptanya jiwa
dan planet-planet. (teori emanasi lihat di halaman terakhir)
Pada Akal 10/Wujud 11 berhentilah terjadinya akal-akal. Tetapi dari akal 10 muncullah
bumi, manusia, dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur yakni api, udara, air,
dan tanah. Akal 10 mengatur dunia yang ditempati manusia ini. Akal 10 ini disebut juga ‘Aql
Fa’al (Akal Aktif) atau wahib al-shuwar (pemberi bentuk) dan terkadang disebut Jibril yang
mengurusi kehidupan di bumi.
Tujuan al-Farabi mengemukakan teori Emanasi tersebut untuk menegaskan kemahaesaan
Tuhan. Karena tidak mungkin yang esa berhubungan dengan yang tidak esa atau banyak.
Andaikata alam diciptakan secara langsung mengakibatkan Tuhan berhubungan dengan yang
tidak sempurna, dan ini menodai keesaan-Nya. Jadi dari Tuhan yang maha esa hanya muncul
satu, yakni akal pertama yang berfungsi sebagai perantara dengan yang banyak.
Keterbatasan Pikiran Manusia
Ajaran Islam sangat relevan dengan perkembangan zaman dan sangat masuk akal.
Namun tidak semua ajaran atau prinsip-prinsip dalam Islam itu harus sesuai dengan akal
manusia. Ada beberapa hal dalam ajaran Islam yang wajib kita imani secara mutlak tanpa harus
dicocokkan dengan logika terlebih dahulu. Misalnya terkait dengan hal-hal yang sifatnya ghaib,
yaitu Syurga dan neraka, hari kiamat, hari akhirat dan lain sebagainya. Dalam hal tersebut kita
wajib mengimani dengan penuh keyakinan.
Salah satu contoh syariat Islam yang tidak melulu harus disesuaikan dengan logika atau
penalaran manusia adalah terkait dengan masalah wudhu. Seandainya semuanya harus masuk
akal, maka ketika kita kentut yang dibasuh duburnya, bukan mukanya, telapak tangannya, dan
seterusnya. Dalam berwudhu tidak ada ritual membasuh dubur. he...he... Jadi bagi mereka yang
masih mendewakan akal, segeralah bertaubat. Ketahuilah bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala itu
berbeda dengan manusia. Karena, "....tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia". (QS. Al
Ikhlas Ayat 4).
Pengetahuan manusia sangat terbatas dan tidak ada apa-apanya dengan pengetahuan
Allah 'Azza wa Jalla. Maka jangan mencoba mengkritisi sebagian atau keseluruhan ajaran Islam
karena dianggap tidak sesuai dengan pemikiran manusia. Perlu digaris bawahi bahwa ajaran
islam itu sangat masuk akal, namun tidak semua ajaran islam itu harus sesuai dengan pemikiran
manusia.
Salah satu ayat yang menjelaskan tentang ketidaksesuaian fikiran atau pendapat manusia
dengan apa yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah surat Al Baqarah ayat 216
berikut ini :
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi
kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai
sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (Al
Baqarah: 216)
BAB III
KESIMPULAN
Kepercayaan kepada Tuhan adalah kepercayaan yang sudah lama ada sepanjang
peradaban manusia. Kepercayaan ini merupakan naluri insani, setiap manusia pasti dalam dirinya
meyakini keberadaan Tuhan. Hal tersebut bisa dilihat dari pembuktian historis dan antropologis,
akan tetapi, persepsi tentang esensi Tuhan yang diimani berbeda-beda. Manusia primitif
misalnya, mempercayai benda-benda yang memiliki kesan misterius dan mengangumkan.
Kenyataan ini menunjukkan adanya potensi bertuhan dalam diri manusia.
Perdebatan mutakkallimi>n dalam hal aspek ketuhanan yang memunculkan perdebatan
dalam sejarah teologi Islam dalam kaitannya dengan kalimat tauhid tersebut memacu pada
paradigma umat Islam tersebut dalam menyikapi berbagai perkembangan, dan menjadi sebuah
bangunan kokoh dalam memahami esensi ketuhanan dan mengesakan Tuhan.
Jika menyimak beberapa literatur tentang teologi Islam setidaknya kita bisa
menyimpulkan bahwa banyaknya aliran teologi Islam yang muncul disebabkan oleh beberapa
faktor. Pertama pemahaman yang beragam tentang satu ayat dalam al-Quran maupun hadits
Rasulullah saw. Kedua adalah ekspansi umat Islam yang menyebabkan terjadinya campur baur
antara Islam dan ideologi lainnya. Ketiga proses penerjemahan karya-karya filsafat kedalam
bahasa Arab, dan terakhir keempat memanasnya suhu politik dan ekonomi dikalangan umat
Islam. Semua runtutan perdebatan yang ada dalam khazanah keilmuan Islam akan mengarah
pada faktor-faktor tersebut. Ini membawa dampak negatif di satu sisi akan tetapi lebih banyak
memberikan manfaat yang baik bagi perkembangan sejarah dan peradaban umat Islam. Dalam
teologi sendiri misalnya, dengan munculnya perdebatan tersebut umat Islam bisa membuktikan
bahwa kebertuhanan dalam agama Islam tidak hanya sebuah konteks dan taklid buta terhadap
doktrin agama melainkan mampu di dekati melalu pendekatan rasio dan berfikir yang sistematis.
Berkaitan dengan perdebatan ketuhanan yang ada kaitannya dengan kalimat tauhid, setidaknya
Islam mengacu pada beberapa aliran yang secara konstan menjadi rujukan perdebatan ini. Yaitu
Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturudiyah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab, Syeikh Sulaiman bin Abdullah bin Abdullah bin Muhammad. TT. Taisirul Azizil
Hamid Fi
Syarhi Kitab at-Tauhid, Terj. Dja’far Sudjarwo, Ketuhanan Yang Maha Esa Menurut Islam.
Surabaya: al-Ikhlas.
Asshiddiqie, M. Hasbi. 1973. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam. Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Bajuri, Syeikh Ibrahim. TT. Kifayatul Awam, Asia: Sirkatu al-Nuri.
Davis, Paul. 2001. The Mind of God. Terj. Hamzah, Membaca Pikiran Tuhan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Departemen Agama RI. 1969. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Jamunu, Cet. Ke-3. Gazalba,
Sidi. 1975. Asas Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
al-Khaibawi, Utsman. TT. Durratun Nasihin, Terj. Abdullah Shonhaji. Semarang: al-Munawar.
Madkour, Ibrahim. 1993. Filsafat Islam Metode dan Penerapan Bagian I. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, Cet. Ke-3.