Anda di halaman 1dari 4

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Digoksin
Digoksin adalah glikosida kardioaktif yang merupakan obat jantung sekunder yang
diisolasi dari daun Digitalis lanata dan Digitalis purpurea melalui konversi enzimatik dari
masing-masing obat glikosida jantung primer, lanatosida A dan C. Digoksin merupakan obat
yang paling sering digunakan dalam pengobatan kongestif pada kegagalan jantung.
(Meirina, dkk., 2014)

Digoksin masih menjadi obat pilihan untuk pengobatan gagal jantung kongestif, yaitu
bertindak sebagai inhibitor selektif dari Na+, K+ ATPase enzim. Dosis yang dianjurkan
untuk penggunaan digoksin tidak boleh melebihi 0,25 mg/hari dan akan lebih rendah pada
wanita dan orang tua. (Meirina, dkk., 2014)

2.2. Interaksi Obat

1) Digoksin dan furosemid


Furosemid menyebabkan gangguan elektrolit, sehingga mempengaruhi digoksin
menginduksi terjadinya aritmia, interaksi tersebut termasuk interaksi farmakodinamik
dengan onset lambat. Ukur kadar plasma kalium dan magnesium pada saat penggunaan
kombinasi obat ini. Adanya interaksi tersebut dapat diatasi dengan penggunaan kalium
dan magnesium dalam darah. Di samping itu juga dapat dilakukan pemberian suplemen
pada pasien dengan kadar kalsium dan magnesium yang rendah. Pencegahan kehilangan
kalium dan magnesium dengan penggantian diuretik hemat kalium juga bermanfaat
(Windriyati, dkk., 2008).

2) Digoksin dan amiodaron


Interaksi antara digoksin dan amiodaron menyebabkan level serum dari digoksin
meningkat. Interaksi ini termasuk interaksi yang tidak diketahui mekanismenya dengan
onset lambat. Amiodaron meningkatkan efek farmakologi dan toksikologi dari digoksin
dengan mekanisme yang tidak diketahui. Karena itu perlu dimonitor tanda-tanda dan
simptom dari toksisitas digoksin. Perlu diperhatikan pula penurunan level serum digoksin
apabila sedang diterapi dengan amiodaron (Windriyati, dkk., 2008).

4) Digoksin dan spironolakton


Kombinasi ini dapat merugikan jantung. Diuretika menghilangkan kelebihan
cairan tubuh. Umumnya diuretika mengurangi kadar kalium tubuh. Kurangnya kalium
menyebabkan jantung menjadi amat peka terhadap digitalis dan risiko keracunan
terhadap digitalis meningkat dengan gejala mual, bingung, gangguan penglihatan, sakit
kepala, kurang penglihatan, tidak ada nafsu makan, bradikardia, takhikardia, dan aritmia
jantung. Gejala yang perlu diwaspadai adalah menurunnya kadar kalium seperti lemah
otot atau kejang, pengeluaran urin banyak, pusing dan pingsan (Windriyati, dkk., 2008).

2.3. Intoksikasi Digoksin


Meskipun dosis yang diberikan masih dalam batas dosis terapi, digoksin masih sangat
mungkin menjadi penyebab keluhan gastrointestinal yang dialami pasien. Manifestasi
gastrointestinal sangat umum dialami oleh pasien usia lanjut, pasien dengan gastritis,
chronic heart failure atau chronic kidney disease. Meskipun demikian, adanya keluhan
gastrointestinal dan malaise pada pasien dalam terapi digoksin seharusnya menimbulkan
kecurigaan bahwa pasien tersebut mengalami intoksikasi digoksin. (Suprobo, dkk., 2011)

Munculnya gejala malaise, gangguan gastrointestinal, atau aritmia baru pada pasien yang
menerima digitalis memberikan kecurigaan adanya intoksikasi. Apabila gejala-gejala
tersebut membaik setelah penghentian obat atau pengurangan dosis digoksin, maka hal ini
semakin mendukung adanya intoksikasi digoksin. Pengukuran konsentrasi glikosida dalam
plasma atau serum, bersamaan dengan perkiraan konsentrasi kalium dalam plasma akan
sangat membantu penegakan diagnosis. Apabila konsentrasi kalium normal, sangat tidak
mungkin terjadi intoksikasi digoksin dengan konsentrasi digoksin di bawah 2 µg/ml,
sedangkan intoksikasi sangat mungkin terjadi bila kadar digoksin dalam serum di atas 4
µg/ml. Meskipun begitu pada pasien dengan kadar kalium di bawah normal, kadar glikosida
antara di bawah 2 µg/ml mungkin masih dapat dikaitkan dengan intoksikasi. (Suprobo, dkk.,
2011)

2.4. Penatalaksanaan Intoksikasi Digoksin

Penatalaksanaan yang efektif berdasarkan pada penemuan awal bahwa disritmia dan atau
manifestasi nonkardiak mungkin berhubungan dengan intoksikasi digoksin. Prinsip umum
penatalaksanaan meliputi penilaian beratnya masalah dan penyebab terjadinya toksisitas
(misalnya, fungsi ginjal, dosis yang diberikan, obat yang diberikan bersamaan, dan apakah
dosis yang berlebihan sengaja atau tidak sengaja diberikan). Kedua, faktor-faktor yang
mempengaruhi pengobatan, antara lain usia, riwayat penyakit, kronik tidaknya intoksikasi
digoksin, adanya penyakit jantung dan atau gangguan fungsi ginjal, dan yang paling penting
perubahan EKG. Ketiga, penilaian kondisi hemodinamik, meliputi EKG 12 lead dan monitor
jantung, begitu pula perawatan di ICU dan akses intravena. Keempat, pengukuran elektrolit
secara cepat, meliputi kalium dan kalsium, kreatinin, dan kadar digoksin. (Suprobo, dkk.,
2011)
Penatalaksanaan disritmia bervariasi, tergantung ada tidaknya ketidakstabilan kondisi
hemodinamik, perjalanan aritmia, ada tidaknya gangguan elektrolit. Pada bradiaritmia yang
stabil, pasien ditatalaksana dengan observasi dan penghentian obat. Pastikan status volume
yang cukup untuk mengoptimalakan fungsi ginjal dalam membuang obat yang berlebihan.
Obat untuk sebagian besar bradikardi adalah penghentian digoksin, sedangkan pemberian
atropin atau pacu jantung sementara diperlukan pada pasien yang bergejala. (Suprobo, dkk.,
2011)
DAPUS PEMBAHASAN

Meirina, Triana Nurul, dkk., 2014, Analisis Glikosida Kardioaktif Digoksin Menggunakan Ultra
Performance Liquid Chromatography (UPLC), Chimica et Natura Acta Vol. 2 No.1,
Bandung, hal 96-100.

Suprobo, Dewi H., dkk., 2011, Intoksikasi Digoksin: Bagaimana Cara Mengenali dan
Penatalaksanaannya, Jurnal Kardiologi Indonesia Vol. 32 No. 1, Jakarta, hal 36-41.

Windriyati, Yulias Ninik, dkk., 2008, Kajian Interaksi Obat pada Pasien Penyakit Gagal
Jantung Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang Tahun 2008,
Universitas Wahid Hasyim, Semarang.

Anda mungkin juga menyukai