Anda di halaman 1dari 15

Makalah Tentang Suku Sunda

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam etnis, suku, budaya dan adat istiadat yang
berbeda-beda. Suku, budaya, etnis, maupun adat istiadat tersebut memiliki corak yang unik,
hanya dimiliki oleh suku yang bersangkutan tersebut dan tidak dimiliki oleh suku lain.
Suku, budaya dan adat istiadat tersebut mempengaruhi gaya dan pola hidup mereka, yang
pada akhirnya membentuk pula tatanan sosial kemasyarakatan masing-masing, dimana
tatanan tersebut akhirnya dipakai dalam pergaulan hidup sehari-hari yang bersifat intern, (
hanya berlaku di dalam suku yang bersangkutan dan hanya di antara mereka saja ).
Ketentuan yang berlaku di dalam tatanan sosial etnis tersebut karena dipakai dalam
pergaulan sehari-hari, dan berlaku secara turun-temurun, akhirnya menjadi ‘kebiasaan’ yang
tidak mencakup peristiwa-peristiwa tertentu. ( misalnya hanya pada peristiwa pernikahan )
namun kemudian mencakup berbagai aspke kehidupan lain, sehingga setiap tatanan,
dipatuhi dan diberlakukan terhadap seluruh anggota masyarakat yang bersangkutan. Hal
tersebut dikenal dengan sebutan “tradisi, adat istiadat, budaya, atau hukum kebiasaan (
customary law ) “.

Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk yang memiliki


keanekaragaman di dalam berbagai aspek kehidupan. Bukti nyata adanya kemajemukan di
dalam masyarakat kita terlihat dalam beragamnya kebudayaan di Indonesia. Tidak dapat
kita pungkiri bahwa kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, karsa manusia yang menjadi
sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia. Tidak ada satu masyarakat pun yang tidak memiliki
kebudayaan. Begitu pula sebaliknya tidak akan ada kebudayaan tanpa adanya masyarakat.
Ini berarti begitu besar kaitan antara kebudayaan dengan masyarakat. Melihat realita
bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural maka akan terlihat pula adanya berbagai
suku bangsa di Indonesia. Tiap suku bangsa inilah yang kemudian mempunyai ciri khas
kebudayaan yang berbeda- beda. Suku Sunda merupakan salah satu suku bangsa yang ada
di Jawa. Sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia, suku Sunda memiliki kharakteristik
yang membedakannya dengan suku lain. Keunikan kharakteristik suku Sunda ini tercermin
dari kebudayaan yang mereka miliki baik dari sistem kekerabatan, tata cara perkawinan,
pembagian waris, dan pidana,segi agama, mata pencaharian, kesenian, dan lain sebagainya.
Dari keunikan tersebut penulis tertarik untuk membahasnya dalam makalah ini.

1.2. Identifikasi Masalah


Untuk memudahkan dalam pembahasan masalah maka maka penulis membatasi hanya
pada permasalahan bagaimana sebenarnya dengan sistem kekerabatan, tata cara
perkawinan, pembagian waris, sanksi pidana di dalam suku sunda?
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana sistem
sistem kekerabatan, tata cara perkawinan, pembagian waris, sanksi pidana di dalam suku
sunda.

1.4 Metode Pengumpulan Data


Dalam penyusunan makalah ini, perlu sekali pengumpulan data serta sejumlah informasi
aktual yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas. Sehubungan dengan masalah
tersebut dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan beberapa metode
pengumpulan data, yang pertama dengan membaca buku sumber, kedua browsing di
Internet,terakhir dengan pengetahuan yang penulis miliki.

1.5 Sistematika Penulisan


Makalah ini disusun dengan urutan sebagai berikut :

a. Bab I Pendahuluan
Pada bab ini dijelaskan tentang latar belakang, identifikasi masalah, metode pengumpulan
data dan sistematika penulisan.

b. Bab II Pembahasan
Pada bab ini ditemukan pembahasan tentang penjelasan Tentang Sunda, Kebudayaan Suku
Sunda, Sistem Kekerabatan dalam Suku Sunda : Sistem Kekerabatan dalam Suku Sunda,
Sistem Perkawinan dalam Suku Sunda, Sistem Pidana di dalam suku Sunda, Sistem Pidana di
dalam suku Sunda
c. Bab III Penutup
Bab terkhir ini memuat kesimpulan.

d. Daftar Pustaka
Pada bagian ini berisi referensi-referensi dari berbagai media yang penulis gunakan untuk
pembuatan makalah ini.

BAB II
PEMBAHASAN

A.Tentang Sunda
Sunda berasal dari kata Su = Bagus/ Baik, segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan,
orang Sunda diyakini memiliki etos/ watak/ karakter Kasundaan sebagai jalan menuju
keutamaan hidup. Watak / karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur
(baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (pandai/ cerdas) yang sudah dijalankan
sejak jaman Salaka Nagara sampai ke Pakuan Pajajaran, telah membawa kemakmuran dan
kesejahteraan lebih dari 1000 tahun .
Istilah Sunda kemungkinan juga berasal dari bahasa Sansekerta yakni sund atau suddha yang
berarti bersinar, terang, atau putih. Dalam bahasa Jawa kuno (Kawi) dan bahasa Bali dikenal
juga istilah Sunda dalam pengertian yang sama yakni bersih, suci, murni, tak
bercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, dan waspada. Menurut R.W. van Bemmelen
seperti dikutip Edi S. Ekadjati, istilah Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk
menamai dataran bagian barat laut wilayah India Timur, sedangkan dataran bagian tenggara
dinamai Sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh sistem Gunung Sunda yang melingkar (Circum-
Sunda Mountain System) yang panjangnya sekira 7.000 km. Dataran Sunda itu terdiri atas
dua bagian utama, yaitu bagian Utara.yang meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau
karang sepanjang Lautan Fasifik bagian Barat serta bagian Selatan hingga Lembah
Brahmaputra di Assam (India). Dengan demikian, bagian Selatan dataran Sunda itu dibentuk
oleh kawasan mulai Pulau Banda di timur, terus ke arah barat melalui pulau-pulau di
kepulauan Sunda Kecil (the lesser Sunda island), Jawa, Sumatra, Kepulauan Andaman, dan
Nikobar sampai Arakan Yoma di Birma. Selanjutnya, dataran ini bersambung dengan
kawasan Sistem Gunung Himalaya di Barat dan dataran Sahul di Timur. Dalam buku-buku
ilmu bumi dikenal pula istilah Sunda Besar dan Sunda Kecil. Sunda Besar adalah himpunan
pulau yang berukuran besar, yaitu Sumatra, Jawa, Madura, dan Kalimantan, sedangkan
Sunda Kecil adalah pulau-pulau yang berukuran kecil yang kini termasuk kedalam Provinsi
Bali, Nusa Tenggara, dan Timor. Dalam perkembangannya, istilah Sunda digunakan juga
dalam konotasi manusia atau sekelompok manusia, yaitu dengan sebutan urang Sunda
(orang Sunda). Di dalam definisi tersebut tercakup kriteria berdasarkan keturunan
(hubungan darah) dan berdasarkan sosial budaya sekaligus. Menurut kriteria pertama,
seseorang bisa disebut orang Sunda, jika orang tuanya, baik dari pihak ayah maupun dari
pihak ibu ataupun keduanya, orang Sunda, di mana pun ia atau mereka berada dan
dibesarkan. Menurut kriteria kedua, orang Sunda adalah orang yang dibesarkan dalam
lingkungan sosial budaya Sunda dan dalam hidupnya menghayati serta mempergunakan
norma-norma dan nilai-nilai budaya Sunda. Dalam hal ini tempat tinggal, kehidupan sosial
budaya dan sikap orangnya yang dianggap penting. Bisa saja seseorang yang orang tuanya
atau leluhurnya orang Sunda, menjadi bukan orang Sunda karena ia atau mereka tidak
mengenal, menghayati, dan mempergunakan norma-norma dan nilai-nilai sosial budaya
Sunda dalam hidupnya . Dalam konteks ini, istilah Sunda, juga dikaitkan secara erat dengan
pengertian kebudayaan. Bahwa ada yang dinamakan Kebudayaan Sunda, yaitu kebudayaan
yang hidup, tumbuh, dan berkembang di kalangan orang Sunda yang pada umumnya
berdomosili di Tanah Sunda. Dalam tata kehidupan sosial budaya Indonesia digolongkan ke
dalam kebudayaan daerah. Di samping memiliki persamaan-persamaan dengan kebudayaan
daerah lain di Indonesia, kebudayaan Sunda memiliki ciri-ciri khas tersendiri yang
membedakannya dari kebudayaan-kebudayaan lain. Secara umum, masyarakat Jawa Barat
atau Tatar Sunda, sering dikenal dengan masyarakat yang memiliki budaya religius.
Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo “silih asih, silih asah, dan silih asuh”
(saling mengasihi, saling mempertajam diri, dan saling memelihara dan melindungi). Di
samping itu, Sunda juga memiliki sejumlah budaya lain yang khas seperti kesopanan
(handap asor), rendah hati terhadap sesama; penghormatan kepada orang tua atau kepada
orang yang lebih tua, serta menyayangi orang yang lebih kecil (hormat ka nu luhur, nyaah ka
nu leutik); membantu orang lain yang membutuhkan dan yang dalam kesusahan (nulung ka
nu butuh nalang ka nu susah), dsb.

B. Kebudayaan Suku Sunda

Kebudayaan adalah adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Budaya
Sunda dikenal dengan budaya yang sangat menjujung tinggi sopan santun. Pada umumnya
karakter masyarakat sunda, ramah tamah (someah), murah senyum, lemah lembut, dan
sangat menghormati orangtua. Itulah cermin budaya dan kultur masyarakat sunda. Di dalam
bahasa Sunda diajarkan bagaimana menggunakan bahasa halus untuk orang tua .
Kebudayaan Sunda merupakan salah satu kebudayaan yang menjadi sumber kekayaan bagi
bangsa Indonesia yang dalam perkembangannya perlu dilestarikan. Kebudayaan-
kebudayaan tersebut akan dijabarkan sebagai berikut :

1.Sistem Kekerabatan dalam Suku Sunda


Sistem keluarga dalam suku Sunda bersifat parental, garis keturunan ditarik dari pihak ayah
dan ibu bersama. Dalam keluarga Sunda, ayah yang bertindak sebagai kepala keluarga.
Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan agama Islam yang sangat mempengaruhi adat
istiadat mewarnai seluruh sendi kehidupan suku Sunda.Dalam suku Sunda dikenal adanya
pancakaki yaitu sebagai istilah-istilah untuk menunjukkan hubungan kekerabatan.
Dicontohkannya, pertama, saudara yang berhubungan langsung, ke bawah, dan vertikal.
Yaitu anak, incu (cucu), buyut (piut), bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg,
kaitsiwur atau gantungsiwur. Kedua, saudara yang berhubungan tidak langsung dan
horizontal seperti anak paman, bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak
saudara piut. Ketiga, saudara yang berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal
seperti keponakan anak kakak, keponakan anak adik, dan seterusnya. Dalam bahasa Sunda
dikenal pula kosa kata sajarah dan sarsilah (salsilah, silsilah) yang maknanya kurang lebih
sama dengan kosa kata sejarah dan silsilah dalam bahasa Indonesia. Makna sajarah adalah
susun galur/garis keturunan. Dalam sistem kekerabatan ada nama-nama angkatan dalam
arti hubungan kekerabatan, dalam hal ini orang Sunda mengenal 7 istilah kekerabatan yang
dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Keatas Kebawah
1. Kolot
2. Embah (Aki dan Nini)
3. Buyut
4. Bao
5. Janggawareng
6. Udeg-udeg
7. Kakait Siwur 1. Anak
2. Incu
3. Buyut
4. Bao
5. Janggawareng
6. Udeg-udeg
7. Kakait Siwur

Penelusuran garis keturunan (sakeseler) dalam khazanah kesundaan diistilahkan dengan


“pancakaki”. Kamus Umum Basa Sunda (1993), mengartikan “pancakaki” dengan dua
pengertian. Pertama, “pancakaki” menunjukkan hubungan seseorang dalam garis keluarga
(perenahna jelema ka jelema deui anu sakulawarga atawa kaasup baraya keneh). Kita pasti
mengenal istilah kekerabatan seperti indung, bapa, aki, nini, emang, bibi, Euceu, anak, incu,
buyut, alo, suan, kapiadi, kapilanceuk, aki ti gigir, nini ti gigir, dan sebagainya.
Istilah-istilah di atas merupakan sistem kekerabatan masyarakat Sunda yang didasarkan
pada hubungan seseorang dalam sebuah komunitas keluarga. Dalam sistem kekerabatan
urang Sunda diakui juga garis saudara (nasab) dari bapak dan ibu seperti bibi, emang,
kapiadi, kapilanceuk, nini ti gigir, aki ti gigir. Menurut Edi S Ekadjati (Kebudayaan Sunda,
2005) urang Sunda memperhitungkan dan mengakui kekerabatan bilateral, baik dari garis
bapak maupun ibu. Berbeda dengan sistem kekerabatan orang Minang dan Batak yang
menganut sistem kekerabatan matriarchal dan patriarchal, yaitu hanya memperhitungkan
garis ibu saja dan garis keturunan bapak. Sedangkan pada pengertian kedua, “pancakaki”
bisa diartikan sebagai suatu proses penelusuran hubungan seseorang dalam jalur
kekerabatan (mapay perenahna kabarayaan). Secara empiris, ketika kita menganjangi suatu
daerah, maka pihak yang dianjangi akan membuka percakapan: “Ujang teh timana, jeung
putra saha?”. Ini dilakukan untuk mengetahui asal-usul keturunan tamu, sehingga
sohibulbet atau pribumi, lebih akrab atau wanoh kepada semah guna mendobrak kekikukan
dalam berinteraksi. Maka, “pancakaki” pada pengertian kedua adalah sebuah proses
pengorekan informasi keturunan untuk menemukan garis kekerabatan yang sempat putus.
Biasanya, hal ini terjadi ketika seseorang nganjang ke suatu daerah dan di sana ia
menemukan bahwa antara si pemilik rumah dan dia ternyata ada ikatan persaudaraan.
Maka, ada pribahasa bahwa dunia itu tidak selebar daun kelor. Antara saya dan anda –
mungkin kalau ber-pancakaki – ternyata dulur! Minimalnya sadulur jauh. “Pancakaki” dalam
bahasa Indonesia mungkin agak sepadan dengan istilah “silsilah”, yakni kata yang digunakan
untuk menunjukkan asal-usul nenek moyang beserta keturunannya. Tapi, ada
perbedaannya. Menurut Ajip Rosidi (1996) “pancakaki” memiliki pengertian suatu hubungan
seseorang dengan seseorang, yang memastikan adanya tali keturunan atau persaudaraan.
Namun, menjadi adat-istiadat-kebiasaan yang penting dalam hidup urang Sunda, karena
selain menggambarkan sifat-sifat urang Sunda yang ingin selalu bersilaturahim, juga
merupakan kebutuhan untuk menentukan sebutan masing-masing pihak dalam
menggunakan bahasa Sunda .
2.Sistem Perkawinan dalam Suku Sunda
Pernikahan memang satu upacara sakral yang diharapkan sekali seumur hidup. Bentuk
pernikahan banyak sekali bentuknya dari yang paling simple, dan yang ribet karena
menggunakan upacara adat. Seperti pernikahan adat Sunda ini, kekayaan budaya tatar
Sunda bisa dilihat juga lewat upacara pernikahan adatnya yang diwarnai dengan humor tapi
tidak menghilangkan nuansa sakral dan khidmat.
Ada beberapa acara yang harus dilakukan untuk melangsungkan pernikahan, mulai dari
lamaran dan lainnya,yakni :
Ada Neundeun Omong (Menyimpan Ucapan): Yaitu, Pembicaraan orang tua atau pihak Pria
yang berminat mempersunting seorang gadis. Dalam pelaksanaannya neundeun omong
biasanya, seperti berikut ini :
• Pihak orang tua calon pengantin bertamu kepada calon besan (calon pengantin
perempuan). Berbincang dalam suasana santai penuh canda tawa, sambil sesekali diselingi
pertanyaan yang bersifat menyelidiki status anak perempuannya apakah sudah ada yang
melamar atau atau masih (belum punya pacar)
• Pihak orang tua (calon besan) pun demikian dalam menjawabnya penuh dengan benyolan
penuh dengan siloka
• Walapun sudah sepakat diantara kedua orang tua itu, pada jaman dahulu kadang-kadang
anak-anak mereka tidak tahu.
• Di beberapa daerah di wilayah pasundan kadang-kadang ada yang menggunakan cara
dengan saling mengirimi barang tertentu. Seperti orang tua anak laki-laki mengirim rokok
cerutu dan orang tua anak perempuan mengerti dengan maksud itu, maka apabila mereka
setuju akan segera membalasnya dengan mengirimkan benih labu siam (binih waluh siam).
Dengan demikian maka anak perempuannya itu sudah diteundeunan omong (disimpan
ucapannya).
Narosan (Lamaran) : Dilaksanakan oleh orang tua calon pengantin beserta keluarga dekat,
yang merupakan awal kesepakatan untuk menjalin hubungan lebih jauh. Pada
pelaksanaannya orang tua anak laki-laki biasanya sambil membawa barang-barang, seperti
yaitu :
• Lemareun, (seperti daun sirih, gambir, apu )
• Pakaian perempuan
• Cincin meneng
• Beubeur tameuh (ikat pinggang sang suka dipakai kaum perempuan terutama setelah
melahirkan
• Uang yang jumlahnya 1/10 dari jumlah yang akan dibawa pada waktu seserahan
Barang-barang yang dibawa dalam pelaksanaan upacara ngalamar itu tidak lepas dari simbol
dan makna seperti :
• Sirih, bentuknya segi tiga meruncing ke bawah kalau dimakan rasanya pedas. Gambir
rasanya pahit dan kesat. Apu rasanya pahit. Tapi kalau sudah menyatu rasanya jadi enak dan
dapat menyehatkan tubuh dan mencegah bau mulut.
• Cincin meneng yaitu cincin tanpa sambungan mengandung makna bahwa rasa kasih dan
sayang tidak ada putusnya
• Pakaian perempuan, mengandung makna sebagai tanda mulainya tanggung jawab dari
pihak laki-laki kepada perempuan
• Beubeur tameuh, mengandung makna sebagai tanda adanya ikatan lahir dan batin antara
kedua belah pihak
Tunangan : Pada tunangan dilakukan patukeur beubeur tameuh, yaitu penyerahan ikat
pinggang warna pelangi atau polos pada si gadis.
Seserahan : Dilakukan 3-7 hari sebelum pernikahan, yaitu calon pengantin pria membawa
uang, pakaian, perabot rumah tangga, perabot dapur, makanan dan lainnya.

Seminggu atau 3 hari menjelang peresmian pernikahan, di rumah calon mempelai


berlangsung sejumpah persiapan yang mengawali proses pernikahan, yaitu Ngebakan atau
Siraman. Berupa acara memandikan calon pengantin agar bersih lahir dan batin, acara
berlangsung siang hari di kediaman masing-masing calon mempelai. Bagi umat muslim,
acara ini terlebih dahulu diawali dengan pengajian. Tahapan acara siraman adalah:
• Ngecagkeun Aisan. Calon pengantin wanita keluar dari kamar dan secara simbolis
digendong oleh sang ibu, sementara ayah calon pengantin wanita berjalan di depan sambil
membawa lilin menuju tempat sungkeman. Upacara ini dilaksanakan sehari sebelum resepsi
pernikahan, sebagai simbol lepasnya tanggung jawab orang tua calon pengantin. Property
yang digunakan:
o Palika atau pelita atau menggunakan lilin yang berjumlah tujuh buah. Hal ini mengandung
makna yaitu rukun iman dan jumlah hari dalam seminggu
o Kain putih, yang mengandung makna niat suci
o Bunga tujuh rupa, mengandung makna bahwa perilaku kita, selama tujuh hari dalam
seminggu harus wangi yang artinya baik.
o Bunga hanjuang, mengandung makna bahawa kedua calon pengantin akan memasuki
alam baru yaitu alam berumah tangga.
Langkah-langkah upacara ini adalah:
• Orang tua calon pengantin perempuan keluar dari kamar sambil membawa lilin/ palika
yang sudah menyala,
• Kemudian di belakangnya diikuti oleh calon pengantin peremupan sambil dililit (diais )oleh
ibunya.
• Setelah sampai di tengah rumah kemudian kedua orang tua calon pengantin perempuan
duduk dikursi yang telah dipersiapkan
• Untuk menambah khidmatnya suasana biasanya sambil diiring alunan kecapi suling dalam
lagu ayun ambing.

Ngaras
Permohonan izin calon mempelai wanita kemudian sungkem dan mencuci kaki kedua
orangtua pelaksanaan upacara ini dilaksanakan setelah upacara ngecagkeun aisan.
Pelaksaannya sebagai berikut:
Calon pengantin perempuan bersujud dipangkuan orang tuanya sambil berkata:
“Ema, Bapa, disuhunkeun wening galihnya, jembar manah ti salira. Ngahapunteun kana
sugrining kalepatan sim abdi. Rehing dina dinten enjing pisan sim abdi seja nohonan sunah
rosul. Hapunten Ema, hapunten Bapa hibar pangdu’a ti salira.”
Orang tua calon perempuan menjawab sambil mengelus kepala anaknya:

“Anaking, titipan Gusti yang Widi. Ulah salempang hariwang, hidep sieun teu tinemu bagja ti
Ema sareng ti Bapa mah, pidu’a sareng pangampura, dadas keur hidep sorangan geulis”
Selanjutnya kedua orang tua calon pengantin perempuan membawa anaknya ke tempat
siraman untuk melaksanakan upacara siraman.
• Pencampuran air siraman. Kedua orangtua menuangkan air siraman ke dalam bokor dan
mengaduknya untuk upacara siraman.
• Siraman. Diawali musik kecapi suling, calon pengantin wanita dibimbing oleh perias
menuju tempat siraman dengan menginjak 7 helai kain. Siraman calon pengantin wanita
dimulai oleh ibu, kemudian ayah, disusul oleh para sesepuh. Jumlah penyiram ganjil; 7, 9
dan paling banyak 11 orang. Secara terpisah, upacara yang sama dilakukan di rumah calon
mempelai pria. Perlengkapan yang diperlukan adalah air bunga setaman (7 macam bunga
wangi), dua helai kain sarung, satu helai selendang batik, satu helai handuk, pedupaan, baju
kebaya, payung besar, dan lilin.

Pelaksanaan upacara siraman seperti berikut:


1. Sesudah membaca doa, Ayah calon pengantin langsung menyiramkan air dimulai dari atas
kepala hingga ujung kakunya. Setelah itu diteruskan oleh Ibunya sama seperti tadi. Dan
dilanjutkan oleh kerabat yang harus sudah menikah.
2. Pada siraman terakhir biasanya dilakukan dengan malafalkan jangjawokan (mantra)
seperti berikut:
cai suci cai hurip
cai rahmat cai nikmat
hayu diri urang mandi
nya mandi jeung para Nabi
nya siram jeung para Malaikat
kokosok badan rohani
cur mancur cahayaning Allah
cur mancur cahayaning ingsun
cai suci badan suka
mulih badan sampurna
sampurna ku paraniam
• Potong rambut atau Ngerik. Calon mempelai wanita dipotong rambutnya oleh kedua
orangtua sebagai lambing memperindah diri lahir dan batin. Dilanjutkan prosesi ngeningan
(dikerik dan dirias), yakni menghilangkan semua bulu-bulu halus pada wajah, kuduk,
membentuk amis cau/sinom, membuat godeg, dan kembang turi. Perlengkapan yang
dibutuhkan: pisau cukur, sisir, gunting rambut, pinset, air bunga setaman, lilin atau pelita,
padupaan, dan kain mori/putih. Biasanya sambil dilantunkan jangjawokan juga:
Peso putih ninggang kana kulit putih
Cep tiis taya rasana
Mangka mumpung mangka melung
Maka eunteup kana sieup
Mangka meleng ka awaking, ngeunyeuk
seureuh
• Rebutan Parawanten. Sambil menunggu calon mempelai dirias, para tamu undangan
menikmati acara rebutan hahampangan danbeubeutian. Juga dilakukan acara pembagian air
siraman.
• Suapan terakhir. Pemotongan tumpeng oleh kedua orangtua calon mempelai wanita,
dilanjutkan dengan menyuapi sang anak untuk terakhir kali masing-masing sebanyak tiga
kali.
• Tanam rambut. Kedua orangtua menanam potongan rambut calon mempelai wanita di
tempat yang telah ditentukan.
Lalu dilanjutkan dengan Ngeuyeuk Seureuh. Kedua calon mempelai meminta restu pada
orangtua masing-masing dengan disaksikan sanak keluarga. Lewat prosesi ini pula orangtua
memberikan nasihat lewat lambang benda-benda yang ada dalam prosesi. Lazimnya,
dilaksanakan bersamaan dengan prosesi seserahan dan dipimpin oleh Nini Pangeuyeuk (juru
rias). Kata ngeuyeuk seureuh sendiri berasal dari ngaheuyeuk yang ngartinya mengolah.
Acara ini biasanya dihadiri oleh kedua calon pengantin beserta keluarganya yang
dilaksanakan pada malam hari sebelum akad nikah.

Pandangan hidup orang Sunda senantiasa dilandasi oleh tiga sifat utama yakni silih asih, silih
asuh, dan silih asah atau secara literal diartikansebagai saling menyayangi, saling menjaga,
dan mengajari. Ketiga sifat itu selalu tampak dalam berbagai upacara adat atau ritual
terutama acara ngeuyeuk seureuh. Diharapkan kedua calon pengantin bisa mengamalkan
sebuah peribahasa kawas gula jeung peuet (bagaikan gula dengan nira yang sudah matang)
artinya hidup yang rukun, saling menyayangi dan sebisa mungkin menghindari perselisihan.
Tata cara Ngeuyeuk Sereuh:
1. Nini Pangeuyeuk memberikan 7 helai benang kanteh sepanjang 2 jengkal kepada kedua
calon mempelai. Sambil duduk menghadap dan memegang ujung-ujung benang, kedua
mempelai meminta izin untuk menikah kepada orangtua mereka.
2. Pangeuyeuk membawakan Kidung berisi permohonan dan doa kepada Tuhan sambil
nyawer (menaburkan beras sedikit-sedikit) kepada calon mempelai, simbol harapan hidup
sejahtera bagi sang mempelai.
3. Calon mempelai dikeprak (dipukul pelan-pelan) dengan sapu lidi, diiringi nasihat untuk
saling memupuk kasih sayang.
4. Kain putih penutup pangeuyeukan dibuka, melambangkan rumah tangga yang bersih dan
tak ternoda. Menggotong dua perangkat pakaian di atas kain pelekat; melambangkan
kerjasama pasangan calon suami istri dalam mengelola rumah tangga.
5. Calon pengantin pria membelah mayang jambe dan buah pinang. Mayang jambe
melambangkan hati dan perasaan wanita yang halus, buah pinang melambangkan suami
istri saling mengasihi dan dapat menyesuaikan diri. Selanjutnya calon pengantin pria
menumbuk alu ke dalam lumping yang dipegang oleh calon pengantin wanita.
6. Membuat lungkun, yakni berupa dua lembar sirih bertangkai berhadapan digulung
menjadi satu memanjang, lalu diikat benang. Kedua orangtua dan tamu melakukan hal yang
sama, melambangkan jika ada rezeki berlebih harus dibagikan.
7. Diaba-abai oleh pangeuyeuk, kedua calon pengantin dan tamu berebut uang yang berada
di bawah tikar sambil disawer. Melambangkan berlomba mencari rezeki dan disayang
keluarga.
8. Kedua calon pengantin dan sesepuh membuang bekas ngeuyeuk seureuh ke perempatan
jalan, simbolisasi membuang yang buruk dan mengharap kebahagiaan dalam menempuh
hidup baru.
9. Menyalakan tujuh buah pelita, sebuah kosmologi Sunda akan jumlah hari yang diterangi
matahari dan harapan akan kejujuran dalam mebina kehidupan rumah tangga.
Pada hari yang telah ditetapkan oleh kedua keluarga calon pengantin. Rombongan keluarga
calon pengantin Pria datang ke kediaman calon pengantin perempuan. Selain membawa
mas kawin, biasanya juga membawa peralatan dapur, perabotan kamar tidur, kayu bakar,
gentong (gerabah untuk menyimpan beras). Di daerah Priangan, susunan acara upacara
akad nikah biasanya sebagai berikut:
• Pembukaan:
1. Penyambutan calon pengantin Pria, dalam acara ini biasanya dilaksanan upacara mapag.
2. Mengalungkan untaian bunga melati
3. Gunting pita
• Penyerahan calon Pengantin Pria:
1. Yang mewakili pemasrahan calon pengantin pria biasanya adalah orang yang dituakan
dan ahli berpidato.
2. Yang menerima dari perwakilan wanita juga diwakilkan
• Akad Nikah:
1. Biasanya diserahkan pada KUA
2. Pada hari pernikahan, calon pengantin pria beserta para pengiring menuju kediaman
calon pengantin wanita, disambut acara Mapag Penganten yang dipimpin oleh penari yang
disebut Mang Lengser. Calon mempelai pria disambut oleh ibu calon mempelai wanita
dengan mengalungkan rangkaian bunga. Selanjutnya upacara nikah sesuai agama dan
dilanjutkan dengan sungkeman dan sawer.
Setelah akad nikah, masih dilakukan beberapa upacara, yaitu: Saweran. Saweran merupakan
upacara memberi nasihat kepada kedua mempelai yang dilaksanakan setelah acara akad
nikah. Melambangkan Mempelai beserta keluarga berbagi rejeki dan kebahagiaan. Kata
sawer berasal dari kata panyaweran , yang dalam bahasa Sunda berarti tempat jatuhnya air
dari atap rumah atau ujung genting bagian bawah. Mungkin kata sawer ini diambil dari
tempat berlangsungnya upacara adat tersebut yaitu panyaweran.Berlangsung di
panyaweran (di teras atau halaman). Kedua orang tua menyawer mempelai dengan diiringi
kidung. Untuk menyawer, menggunakan bokor yang diisi uang logam, beras, irisan kunyit
tipis, permen. Kedua Mempelai duduk berdampingan dengan dinaungi payung, seiring
kidung selesai di lantunkan, isi bokor di tabur, hadirin yang menyaksikan berebut
memunguti uang receh dan permen. Bahan-bahan yang diperlukan dan digunakan dalam
upacara sawer ini tidaklah lepas dari simbol dan maksud yang hendak disampaikan kepada
pengantin baru ini, seperti :
1. beras yang mengandung symbol kemakmuran. Maksudnya mudah-mudah setelah
berumah tangga pengantin bisa hidup makmur
2. uang recehan mengandung symbol kemakmuran maksudnya apabila kita mendapatkan
kemakmuran kita harus ikhlas berbagi dengan Fakir dan yatim
3. kembang gula, artinya mudah-mudah dalam melaksanakan rumah tangga mendapatkan
manisnya hidup berumah tangga.
4. kunyit, sebagai symbol kejayaan mudah-mudahan dalam hidup berumah tangga bisa
meraih kejayaan.
Kemudian semua bahan dan kelengkapan itu dilemparkan, artinya kita harus bersifat
dermawan. Syair-syair yang dinyanyikan pada upacara adat nyawer adalah sebagai berikut :

KIDUNG SAWER
Pangapunten kasadaya
Kanu sami araya
Rehna bade nyawer heula
Ngedalkeun eusi werdaya
Dangukeun ieu piwulang
Tawis nu mikamelang
Teu pisan dek kumalancang

Megatan ngahalang-halang
Bisina tacan kaharti
Tengetkeun masing rastiti
Ucap lampah ati-ati
Kudu silih beuli ati
Lampah ulah pasalia
Singalap hayang waluya
Upama pakiya-kiya
Ahirna matak pasea
Meuleum Harupat ( Membakar Harupat )

Mempelai pria memegang batang harupat,pengantin wanita membakar dengan lilin sampai
menyala. Harupat yang sudah menyala kemudian di masukan ke dalam kendi yang di pegang
mempelai wanita, diangkat kembali dan dipatahkan lalu di buang jauh jauh. Melambangkan
nasihat kepada kedua mempelai untuk senantiasa bersama dalam memecahkan persoalan
dalam rumah tangga. Fungsi istri dengan memegang kendi berisi air adalah untuk
mendinginkan setiap persoalan yang membuat pikiran dan hati suami tidak nyaman.

Buka pintu
Diawali mengetuk pintu tiga kali. Diadakan tanya jawab dengan pantun bersahutan dari
dalam dan luar pintu rumah. Setelah kalimat syahadat dibacakan, pintu dibuka. Pengantin
masuk menuju pelaminan..Dialog pengantin perempuan dengan pengantin laki-laki seperti
berikut ini :
KENTAR BAYUBUD
Istri : Saha eta anu kumawani
Taya tata taya bemakrama
Ketrak- ketrok kana panto

Laki-laki : Geuning bet jadi kitu


Api-api kawas nu pangling
Apan ieu teh engkang
Hayang geura tepung
Tambah teu kuat ku era
Da diluar seueur tamu nu ningali

Istri : Euleuh karah panutan

Nincak Endog (Menginjak Telur)


Mempelai pria menginjak telur di baik papan dan elekan (Batang bambu muda), kemudian
mempelai wanita mencuci kaki mempelai pria dengan air di kendi, me ngelapnya sampai
kering lalu kendi dipecahkan berdua. Melambangkan pengabdian istri kepada suami yang
dimulai dari hari itu.
Ngaleupas Japati ( Melepas Merpati )
Ibunda kedua mempelai berjalan keluar sambil masing masing membawa burung merpati
yang kemudian dilepaskan terbang di halaman. Melambang kan bahwa peran orang tua
sudah berakhir hari itu karena kedua anak mereka telah mandiri dan memiliki keluarga
sendiri.
Huap Lingkung (Suapan)
1. Pasangan mempelai disuapi oleh kedua orang tua. Dimulai oleh para Ibunda yang
dilanjutkan oleh kedua Ayahanda.
2. Kedua mempelai saling menyuapi, Tersedia 7 bulatan nasi punar ( Nasi ketan kuning )
diatas piring. Saling menyuap melalui bahu masing masing kemudian satu bulatan di
perebutkan keduanya untuk kemudian dibelah dua dan disuapkan kepada pasangan .
Melambangkan suapan terakhir dari orang tua karena setelah berkeluarga, kedua anak
mereka harus mencari sendiri sumber kebutuhan hidup mereka dan juga menandakan
bahwa kasih sayang kedua orang tua terhadap anak dan menantu itu sama besarnya.

Pabetot Bakakak (Menarik Ayam Bakar)


Kedua mempelai duduk berhadapan sambil tangan kanan mereka memegang kedua paha
ayam bakakak di atas meja, kemudian pemandu acara memberi aba.
3. Sistem Waris di dalam suku Sunda
Istilah waris berasal dari bahasa Arab. Menurut Teer Haar hukum waris adat adalah aturan-
aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan
dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi.
Sistem pembagian waris di dalam suku sunda sama seperti pembagian menurut hukum
islam yakni :
Empat Golongan yang Berhak Menerima Warisan :
a. Golongan I
Dalam golongan ini, suami atau istri dan atau anak keturunan pewaris yang berhak
menerima warisan. Dalam bagan di atas yang mendapatkan warisan adalah istri/suami dan
ketiga anaknya. Masing-masing mendapat ¼ bagian.
Ayah
Ibu
Pewaris
Saudara
Saudara
b. Golongan II
Golongan ini adalah mereka yang mendapatkan warisan bila pewaris belum mempunyai
suami atau istri, dan anak. Dengan demikian yang berhak adalah kedua orangtua, saudara,
dan atau keturunan saudara pewaris.
Dalam contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah ayah, ibu, dan kedua saudara
kandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada prinsipnya bagian orangtua
tidak boleh kurang dari ¼ bagian
c. Golongan III
Kakek
Nenek
Kakek
Nenek
Dalam golongan ini pewaris tidak mempunyai saudara kandung sehingga yang mendapatkan
waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu maupun ayah.
Contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah kakek atau nenek baik dari ayah dan
ibu. Pembagiannya dipecah menjadi ½ bagian untuk garis ayah dan ½ bagian untuk garis ibu.
d. Golongan IV
Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam garis atas
yang masih hidup. Mereka ini mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis yang
lain dan derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan ½ bagian sisanya.
3. Sistem Pidana di dalam suku Sunda
Pada asasnya, secara substansial sistem hukum pidana adat sunda berlandaskan pada nilai-
nilai yang terkandung dalam masyarakat sunda dengan bercirikan asas kekeluargaan,
religius magis, komunal dengan bertitik tolak bukan atas dasar keadilan individu akan tetapi
keadilan secara bersama. Konsekuensi logis dimensi demikian maka penyelesaian dalam
suatu masyarakat adat berlandaskan pada dimensi penyelesaian yang membawa
keselarasan, kerukunan dan kebersamaan. Tegasnya, hukum pidana adat lebih
mengkedepankan eksistensi pemulihan kembali keadaan terguncang akibat pelanggaran
yang dilakukan oleh pelaku. Soepomo menyebutkan dalam sistem hukum pidana adat
tujuan dijatuhkannya sanksi adat sebagaimana berlaku dan dipertahankan pada suatu
masyarakat adat bukanlah sebagai suatu pembalasan agar pelanggar menjadi jera akan
tetapi adalah untuk memulihkan perimbangan hukum yang terganggu dengan terjadinya
suatu pelanggaran adat. Perimbangan hukum itu meliputi pula perimbangan antara dunia
lahir dengan dunia gaib.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sunda berasal dari kata Su = Bagus/ Baik, segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan,
orang Sunda diyakini memiliki etos/ watak/ karakter Kasundaan sebagai jalan menuju
keutamaan hidup dan bisa juga juga berasal dari bahasa Sansekerta yakni sund atau suddha
yang berarti bersinar, terang, atau putih
Sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia, suku Sunda memiliki kharakteristik yang
membedakannya dengan suku lain. Keunikan kharakteristik suku Sunda ini tercermin dari
kebudayaan yang mereka miliki baik dari sistem kekerabatan, tata cara perkawinan,
pembagian waris, dan pidana,segi agama, mata pencaharian, kesenian, dan lain sebagainya.

B. Saran
Suku sunda sebagai salah satu suku terbesar di Indonesia haruslah dijaga kebudayaan yang
terkandung didalamnya mengingat keragaman dan keunikan kebudayaan ini sunggulah unik
dan menarik dan merupakan salah satu warisan nenek moyang bangsa indonesia yang wajib
dilestarikan oleh para generasi saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Koentjaraningrat . Pengantar Ilmu Antropologi.Edisi Revisi Rineka Cipta.Jakarta.2009.

Wiranata,I Gede A.B. Hukum Adat Indonesia : Perkembangannya dari Masa ke masa.
Departemen Pendidikan Nasional.Jakarta.2003
Internet :

http://indoculture.wordpress.com/2008/08/13/adat-perkawinan-sunda/

http://kultivar.blogspot.com/2008/02/sistem-kekerabatan-dan-perkawinan.html

http://sakola-sukron.blogspot.com/2007/10/kekerabatan-urang-sunda.html

http://sidaus.wordpress.com/2008/05/28/pembagian-harta-warisan/

http://www.kasundaan.org/id/index.php?option=com_content&view=article&id=53&Itemi
d=82
http://www.forumbebas.com/thread-22622.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Sunda

http://3gplus.wordpress.com/2008/04/10/kebudayaan-suku-sunda-2/

Anda mungkin juga menyukai