Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam catatan sejarah persoalan pertama yang muncul kepermukaan
setelah Nabi Muhammad wafat adalah persoalan pemimpin. Siapa yang akan
menggantikan kedudukan beliau sebagai kepala pemerintahan. Karena sejak
Rasulullah Saw menjadi pemimpin politik dan pemerintahan di Madinah, tidak
pernah sedikit pun beliau membicarakan siapa yang berhak menjadi penggantinya,
apalagi menunjuk penggantinya kelak. Untuk menyelesaikan kebingungan umat
Islam digunakanlah prinsip musyawarah yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.
yang pada akhirnya terpilihlah Abu Bakar As-sidiq sebagai khalifah pertama
pengganti Rasulullulah. Tata cara pemilihan pemimpin tersebut terus dipakai oleh
umat islam untuk memilih khalifah berikutnya, seperti memilih Umar bin Khattab,
Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Kepemimpinan empat sahabat inilah
yang dikenal dengan Khulfaur Rasyidin.
Selama 30 tahun memimpin, Khulafaur Rasyidin menjalankan
pemerintahan dengan bijaksana. Mereka dapat menyelesaikan persoalan dengan
baik, tidak hanya masalah sosial politik tetapi juga masalah keagamaan. Hal itu
terjadi karena mereka adalah para sahabat Raasulullah yang paling dekat,
sehingga mereka memiliki otoritas keagamaan yang cukup mempuni. Berdasarkan
permasalahan diatas, maka akan dibahas tentang kepemimpinan umat Islam pasca
meninggalnya Rasulullah Saw.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kondisi sosial umat islam setelah Rasulullah wafat?
2. Bagaimana perbedaan visi politik pendukung Umar, Ustman, Ali, dan
Muawiyah?
C. Tujuan Pembahasan
1. Memahami kondisi sosial umat islam setelah Rasulullah wafat.
2. Mengetahui akan perbedaan visi politik pendukung Umar, Utsman, Ali, dan
Muawiyah.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kondisi Sosial Setelah Rasulullah Wafat


Dalam catatan sejarah Islam diketahui bahwa Muhammad Saw, selain
sebagai Rasulullah, juga sebagai pemimpin pemerintahan dan pemimpin
masyarakat. Setelah beliau wafat, perannya sebagai rasul tidak dapat digantikan
atau dialihkan kepada orang lain. Karena fungsi rasul merupakan hak prerogratif
Allah, bukan wilayah kekuasaan manusia. Akan tetapi, sebagai kepala
pemerintahan dan pemimpin masyarakat, posisi tersebut harus ada yang
menggantikan. Oleh karena itu, pasca wafatnya rasulullah Saw, terjadi
kebingungan di kalangan masyarakat muslim ketika itu. Bahkan ada di antara
mereka yang tidak percaya kalau Muhammad sebagai seorang Nabi utusan Allah,
juga bisa wafat. Melihat gejala seperti ini, Abu Bakar As-Shidiq, salah satu
sahabat Nabi Muhammad Saw yang mempunyai nama lengkap Abdullah Abi
Quhafah At-Tamimi,1 mendatangi kelompok tersebut dan langsung berpidato.
Dalam pidatonya ia mengatakan “Wahai manusia, siapa yang memuja
Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah wafat, tetapi siapa yang memuja
Allah, Allah hidup selama-lamanya, tidak akan pernah mati”. Untuk memperkuat
pidatonya itu, Abu Bakar mengutip ayat al-Qur’an surat Âli Imrân ayat 144, yang
Artinya: “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah
berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh
kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang,
Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah
akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
Selain itu, dalam situasi seperti ini, muncul beberapa kelompok
masyarakat muslim Madinah yang tengah bermusyawarah guna menentukan siapa
pengganti Muhammad Saw sebagai pemimpin pemerintahan dan pemimpin
masyarakat. Mereka, kaum Anshar tengah mendiskusikan siapa yang akan
menggantikan posisi politik dan kepemimpinan Muhammad Saw. Mereka

1
Deddy Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, (Surakarta: Pustaka Setia, 2008) Hal.67.

2
mencalonkan kandidatnya, bernama Sa’ad bin Ubadah. Sementara dari Muhajirin
Umar mencalonkan Abu Bakar. Hasil dari perdebatan tersebut, muncullah Abu
Bakar as-Shiddiq sebagai pemimpin umat Islam. Kemudian dilanjutkan oleh
sahabat Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Kepemimpinan para sahabat yang empat ini dikenal dalam sejarah Islam dengan
sebutan Khulafaur Rasyidin, yakni para pemimpin pengganti yang mendapat
petunjuk dari Allah Swt.
Selama memimpin, mereka menjalankan pemerintahan dengan bijaksana.
Mereka dapat menyelesaikan persoalan dengan baik, tidak hanya masalah sosial
politik, juga masalah-masalah keagamaan. Hal itu terjadi karena mereka adalah
para sahabat Rasulullah yang paling dekat, sehingga mereka memiliki otoritas
keagamaan yang cukup mumpuni. Meskipun hanya berlangsung selama lebih
kurang 30 tahun, masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, merupakan masa yang
sangat penting dalam perjalanan sejarah umat Islam. Karena pada masa ini, terjadi
kemajuan yang cukup signifikan dalam banyak hal, terutama dalam bidang sosial
politik dan pemerintahan. Pada paruh pertama pemerintahan khalifah Abu Bakar,
misalnya, pergolakan sosial terjadi karena munculnya kelompok pembangkang
yang terdiri dari para nabi palsu, mereka yang menolak membayar zakat, dan
gerakan kaum murtad. Semua itu dapat diselesaikan dengan baik oleh khalifah
Abu Bakar.
Keberhasilan khalifah Abu Bakar dalam mengatasi berbagai gejolak sosial
politik yang terjadi pasca wafatnya Rasululah Saw, membuat suasana politik
menjadi terkendali, sehingga ia mampu menjalankan program pengembangan
wilayah kekuasaan Islam.

B. Perbedaan Visi Politik Pendukung Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, Ali
bin Abi Thalib, dan Muawiyah bin Abu Sofyan

Umar bin Khattab


Umar bin Khattab adalah salah satu sahabat Nabi dan khalifah kedua
setelah wafatnya Abu Bakar As-Shidiq. Jasa dan pengaruhnya terhadap
penyebaran Islam sangat besar. Beliau lahir di Mekah dari Bani Adi, salah satu

3
rumpun Quraisy dengan nama lengkap Umar bin Khattab bin Nafiel bin Abdul
Uzza. Keluarga Umar tergolong keluarga kelas menengah, Umar juga dikenal
karena fisiknya yang kuat dimana ia juara gulat di Mekah.
Setelah dibai’at dan dilantik menjadi Khalifah menyampaikan pidato
penerimaan jabatannya dihadapan kaum muslimin. Bagian dari pidatonya adalah :
“aku telah dipilih jadi Khalifah. Kerendahan hati Abu Bakar selaras dengan
jiwanya yang terbaik diantara kamu dan lebih kuat terhadap kamu dan juga lebih
mampu untuk memikul urusan kamu yang penting-penting. Aku diangkat dalam
jabatan ini tidaklah sama dengan beliau. Andaikata aku tahu ada orang yang
lebih kuat dari padaku untuk memikul jabatan ini, maka memberikan leherku
untuk dipotong lebih aku sukai daripada memikul jabatan ini. Sesungguhnya
Allah menguji kamu dengan saya. Dan menguji saya dengan kamu dan
membiarkan saya memimpin kamu sesudah sahabat saya maka janganlah sesuatu
urusan dari urusan kamu dihadapkan kepada seseorang selain saya; dan
janganlah seseorang menjauhkan diri dari saya, sehingga saya tidak dapat
memilih orang-orang yang benar dan memegang amanah. Jika mereka berbuat
baik tentu saya akan berbuat baik kepada mereka dan jika mereka berbuat jahat,
maka tentu saya akan menghukum mereka”
Pidato tersebut menggambarkan pandangan Umar bahwa jabatan Khalifah
tugas yang berat sebagai amanah dan ujian, antara pemimpin dan terpinpin harus
ada hubungan timbal balik yang seimbang, setiap urusan harus diselesaikan oleh
khalifah dengan baik, khalifah harus memilih orang-orang yang benar dan bisa
memegang amanah untuk membantunya. Hukum harus ditegakkan terhadap
pelaku tindak kejahatan.2
Periode kekhalifahan Umar Tidak dapat diragukan lagi merupakan abad
emas Islam dalam segala zaman. Periodenya terkenal dengan pembangunan Islam
dan perubahan-perubahannya. Khalifah Umar bin Khattab mengikuti langkah-
langkah Rasulullah dengan segenap kemampuannya terutama pengembangan
Islam. Ia bukan sekedar seorang pemimpin biasa, tetapi seorang pemimpin
pemerintahan yang professional. Ia adalah pendiri sesungguhnya dari sistem

2
Suyuti pulungan, Fiqih Siyasah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994) Hal.119.

4
politik Islam. Ia melaksanakan hukum-hukum Illahiyah (syari’at) sebagai kode
(kitab undang-undang) suatu masyarakat Islam yang baru dibentuk. Maka tidak
heran jika ada yang mengatakan bahwa Umarlah pendiri bani Islamiyah (tanpa
mengabaikan jasa-jasa khalifah sebelumnya).
Banyak metode yang digunakan Umar dalam melakukan perluasan
wilayah, sehingga musuh mau menerima Islam karena perlakuan adil kaum
muslim. Disitulah letak kekuatan politik terjadi. Dari usahanya pasukan kaum
muslim mendapatkan gaji dari hasil rampasan sesuai dengan hukum Islam. Untuk
mengurusi masalah ini, telah dibentuk diwannul jund. Sedangkan untuk pegawai
biasa, disamping menerima gaji tetap (rawatib), juga menerima tunjangan (Al-
Itha’). Khusus untuk Amr bin Ash, Umar menggajinya sekitar 200 dinar
mengingat jasanya yang besar dalam ekspansi. Dan untuk Amr bin Yasr, diberi 60
dinar disamping tunjangan (Al-Jizyat) karena hanya sebagai kepala daerah (Al-
Amil). Dalam rangka desentralisasi kekuasaan, pemimpin pemerintahan pusat
tetap dipegang oleh khalifah Umar bin Khattab. Sedangkan di provinsi, ditunjuk
Gubernur (orang Islam) sebagai pembantu khalifah untuk menjalankan roda
pemerintahan. dalam pemerintahannya terdapat majlis syura’, bagi Umar tanpa
musyawarah, maka pemerintahannya tidak dapat berjalan.3
Selain itu membentuk departemen dan membagi daerah kekuasaan Islam
menjadi delapan provinsi, membentuk kepala distrik yang disebut ‘amil, pada
masanya juga terdapat kebijakan yang fenomenal dalam kebijakan ekonomi di
Sawad (daerah subur), ia mengeluarkan dekrit bahwa orang arab termasuk tentara
dilarang transaksi jual beli tanah diluar arab dengan alasan; mutu tentara arab
menurun, produksi menurun negri rugi 80% dari pendapatan, dan rakyat akan
kehilangan mata pencaharian yang menyebabkan mereka mudah memberontak
terhadap negara. Kebijakan yang lain adalah menerapkan pajak perdagangan (bea
cukai), dan lain-lain.

3
Abdul karim, Sejarah Pemikiran dan Perkembangan Islam, (Yogyakarta: Bagaskara, 2012)
Hal.86.

5
Ustman bin Affan
Ketika Utsman bin Affan telah dilantik menjadi khalifah ketiga negara
Madinah, ia menyampaikan pidatonya yang menggambarkan dirinya sebagai sufi
dan citra pemerintahannya lebih bercorak agama ketimbang politik belaka sebagai
dominan. Dalam pidatonya Utsman mengingatkan beberapa hal yang penting:
1. Agar umat Islam berbuat baik sebagai bekal untuk hari kematian.
2. Agar umat Islam tidak terperdaya kemewahan hidup didunia yang penuh
kepalsuan.
3. Agar umat Islam mau mengambil pelajaran dari masa lalu.
4. Sebagai khalifah ia akan melaksanakan perintah Al-Qur’an dan sunnah
rasul.
5. Disamping ia akan meneruskan apa yang telah dilakukan pendahulunya
juga akan membuat hal baru yang akan membawa kepada kebajikan.
6. Umat islam boleh mengkritiknya apabila ia menyimpang dari ketentuan
hukum.
Untuk pelaksanaan administrasi pemerintahan didaerah, khalifah Utsman
mempercayakan kepada seorang gubernur untuk setiap wilayah atau provinsi pada
masanya kekuasaan wilayah membagi menjadi sepuluh provinsi :
1. Nafi’ bin Al-Haris Al-Khuza’I, amir wilayah Mekkah.
2. Sufyan bin Abdullah Al-Tsaqfi, Amir wilayah bani Naufi.
3. Ya’la bin Munabbih Halif bani Nauful bin Abdul Manaf diwilayah Shan’a.
4. Abdullah bin Abi Rabi’ah, Amir wilayah Janad.
5. Utsman bin Abi Al-Ashal-Tsaqafi, Amir wilayah Bahrain.
6. Al-Mughirah bin Syu’bah Al-Tsaqi, Amir wilayah Kuffah.
7. Abu Musa Abdullah bin Qais Al-Asy’ari, Amir wilayah Basrah.
8. Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Amir wilayah Damaskus.
9. Umar bin Sa’ad, Amir wilayah Hims.
10. Amr bin Al-Ash Al-Sahami, Amir wilayah Mesir.4
Sedangkan kekuasaan legislative dipegang oleh dewan penasehat syura,
tempat khalifah mengadakan musyawarah dengan para sahabat terkemuka.

4
Suyuti pulungan, Ibid, Hal.144.

6
Prestasi tertinggi masa pemerintahan Utsman sebagai hasil majlis syura’ adalah
menyusun Al-Qur’an standar, yaitu penyeragaman bacaan dan tulisan Al-Qur’an,
seperti yang dikenal sekarang. Naskah salinan Al-Qur’an tersebut disimpan
dirumah istri Rasulullah.
Tahun-tahun berikutnya, pemerintahannya Utsman mulai goyah. Rakyat
dibeberapa daerah terutama Kuffah, Bashrah, dan mesir mulai memprotes
kepemimpinannya yang dinilai tidak adil. Salah satu faktor yang menyebabkan
banyak rakyat berburuk sangka terhadap kepemimpinan Utsman bin Affan adalah
kebijakannya mengangkat keluarganya dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting
adalah Marwan ibnu Hakam. Dialah pada dasarnya yang dianggap oleh orang-
orang tersebut yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Utsman hanya
menyandang khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam
jabatan-jabatan penting ia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta
kekayaan negara oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Utsman
sendiri. itu semua akibat fitnah yang disebarkan oleh Abdullah bin Saba’. Padahal
utsman paling berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang
besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan,
jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas masjid Nabi di Madinah.5
Ali bin Abi Thalib
Umat yang tidak mempunyai pemimpin pada saat wafatnya Utsman,
membai’at Ali bin Abi thalib sebagai khalifah baru. Pengukuhan Ali menjadi
khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah pendahulunya. Ia di baiat
ditengah kematian Utsman, pertentangan dan kekacauan kebingungan umat Islam
Madinah. Sebab kaum pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat Ali
supaya bersedia dibai’at menjadi khalifah.6 Setelah Ali bin Abi Thalib di bai’at
menjadi Khalifah dimasjid Nabawi dan ia menyampaikan pidatonya. Dalam
pidatonya khalifah Ali menggambarkan dan memerintahkan agar umat Islam :
1. Tetap berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan sunah Rasul.

5
Abdul Syukur Al-Azizi, Kitab sejarah Peradaban Islam, (Jogjakarta : Saufa, 2014) Hal.102.
6
Suyuti pulungan, Ibid, Hal.152.

7
2. Taat dan taqwa kepada Allah serta mengabdi kepada Negara dan sesame
manusia.
3. Saling memelihara kehormatan diantara sesame muslim dan umat lain.
4. Terpanggil untuk berbuat kebajikan bagi kepentingan umum.
5. Taat dan patuh kepada pemerintah.7
Tak lama sesudah itu, Ali bin Abi Thalib menghadapi pemberontakan
Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan mereka Ali tidak mau menghukum para
pembunuh Utsman, dan mereka menuntut bela terhadap darah yang telah
ditumpahkan secara dzalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia
mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk
menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak, akhirnya
pertempuranpun berkobar. Perang ini dinamakan perang Jamal (unta), karena
Aisyah dalam pertempuran itu menunggang unta, dan berhasil mengalahkan
lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim
kembali ke Madinah.8
Dengan demikian masa pemerintahan Ali melalui masa-masa paling kritis
karena pertentangan antar kelompok yang berpangkal dari pembunuhan Utsman.
Namun khalifah Ali menyatakan “ia berhasil memecat gubernur yang korupsi dan
mengembalikan kebijaksanaan Umar pada setiap kesempatan yang
memungkinkan. Ia membenahi dan menyusun arsip Negara untuk mengamankan
dan menyelamatkan dokumen-dokumen khalifah dan kantor Shahib Ushurthah,
serta mengkoordinir polisi dan menetapkan tugas-tugas mereka.9
Kebijaksanaan-kebijaksanaaan Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan
dari para gubernur di Damaskus, Mu’awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas
pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan kedudukan dan kejayaan.
Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali
bergerak dari Kuffah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara.
Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu’awiyah di Shiffin. Pertempuran terjadi
disini yang dikenal dengan nama perang Shiffin. Perang ini diakhiri dengan

7
Suyuti pulungan, Ibid, Hal.154.
8
Suyuti pulungan, Ibid, Hal.157.
9
Suyuti pulungan, Ibid, Hal.158.

8
tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan
menimbulkan golongan ketiga Al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan
Ali. Akibatnya, diujung masa pemerinthan Ali umat Islam terpecah menjadi tiga
kekuatan politik yaitu Mu’awiyah, Syi’ah, (pengikut Abdullah bin Saba’ Al-
Yahudi) yang menyusup pada barisan tentara Ali, dan Al-Khawarij (orang-orang
yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnya
kelompok Al-Khawarij menyebabkan tenteranya semakin lemah, sementara posisi
mu’awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh
oleh salah seorang khawarij yaitu Abdullah bin Muljam.
Muawiyah bin Abu Sofyan
Muawiyah bin Abu Sufyan adalah khalifah pertama dari Bani Umayyah.
Setelah perjanjian damai dengan Imam Hasan as, Muawiyah berkuasa hingga
tahun 61 H/680 di Damaskus, kurang lebih selama 20 tahun. Muawiyah termasuk
golongan Thulaqa’, dia masuk Islam pada masa Penaklukan Mekah. Muawiyah
turut andil dalam penaklukan wilayah Syam di zaman Abu Bakar. Pada zaman
Umar bin Khattab, Muawiyah diangkat sebagai Gubernur Yordania kemudian
kembali diangkat sebagai Gubernur Penuh Syam. Pada zaman kekhalifahan Imam
Ali as, Muawiyah mengobarkan perang Shiffin dengan dalih menuntut balas
terbunuhnya Usman bin Affan. Setelah syahidnya Imam Ali as, Muawiyah
mengadakan perjanjian damai dengan Imam Hasan as dan mengambil alih
kekhalifahan kemudian menjadikan Damaskus sebagai pusat pemerintahannya. Di
masa kekuasaannya, Muawiyah banyak menaklukkan wilayah Barat dan Afrika
Utara, adapun untuk wilayah timur dia hanya mengukuhkannya karena
sebelumnya telah berhasil ditaklukkan. Muawiyah mengubah kekhalifahan
menjadi kesultanan. Dia berupaya keras supaya sepeninggalnya nanti umat Islam
bersedia membaiat putranya, Yazid. Muawiyah banyak mendirikan kantor baru
guna menunjang operasionalisasi pemerintahannya. Dimasanya, Muawiyah
banyak menghadapi pemberontakan yang dilakukan golongan Khawarij dan
Syiah, namun dia berhasil memadamkannya.
Terjadinya perjanjian damai antara Muawiyah dan Imam Hasan as adalah
akhir kekhalifaan pertama sekaligus dimulainya masa kekuasaan Bani Umayyah.

9
Muawiyah menjadikan Damaskus sebagai pusat pemerintahannya. Muawiyah
sadar bahwa untuk menggapai tujuan-tujuannya dia harus memperkokoh pondasi
pemerintahannya. Hal-hal penting yang dilakukan Muawiyah untuk
mempertahankan kekuasaannya adalah sebagai berikut: mengubah sistem politik
dan menjadikan militer sebagai poros kekuatan, menyamaratakan suku-suku,
membentuk sistem putra mahkota, memberantas para penentang, bersikap baik
dan bermurah hati terhadap para pemuka umat Islam, menjaga keamanan dengan
kediktatoran, mengawasi langsung aktifitas pemerintahan dan lain sebagainya.

10
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

A. Persoalan pertama yang muncul dan menjadi masalah besar setelah wafatnya
Rasulullah Saw adalah soal Kepemimpinan. Persoalan ini sepenuhnya diserahkan
kepada masyarakat muslim untuk melakukan proses pemilihan dengan mekanisme
yang didasari oleh prinsip Syura (musyawarah). Dengan prinsip tersebut akhirnya
terpilihlah Abu Bakar, dan prinsip syura berlanjut hingga pemilihan khalifah
berikutnya.
B. Pemikiran ataupun visi politik selepas wafatnya Nabi Muhammad semakin
berkembang, hal ini terbukti dengan terbentuknya lembaga-lembaga pada masa
pemerintahan Khuafaurrasyidin dan Muawiyah, pemikiran-pemikiran poilitik
mereka melalui pidato mereka selepas di bai’at, peraturan-peraturan yang mereka
buat untuk para pejabat negara dan sistem pemerintahan yang semakin
berkembang.

11
DAFTAR PUSTAKA

Supriadi, Deddy. 2008. Sejarah Peradaban Islam (Surakarta: Pustaka Setia).


Al-Azizi, Abdul Syukur. 2014. Kitab sejarah Peradaban Islam (Jogjakarta : Saufa).
Pulungan, Suyuti. 1994. Fiqih Siyasah (Jakarta : Raja Grafindo Persada).
Karim, Abdul. 2012. Sejarah Pemikiran dan Perkembangan Islam (Yogyakarta:
Bagaskara).

12

Anda mungkin juga menyukai