Anda di halaman 1dari 7

LANDASAN PEMBELAJARAN PAI

1. Landasan Filosofis. Nilai filosofis yang kemudian dijadikan landasan atau dasar filosofis pendidikan, memiliki
makna bahwa kegiatan pendidikan itu harus bersumber pada pandangan hidup yang paling mendasar. Jika
pandangan hidup atau cara berpikir manusia yang paling mendasar bersumber dari nilai-nilai fundamental, maka
muncul semacam pertanyaan dari mana manusia itu ada dan dari mana sumber ilmu diperoleh. Pertanyaan
semacam itu kemudian dijadikan sebagai cara berpikir manusia untuk menemukan jawaban melalui pendidikan.
Nilai-nilai teologis ini merupakan landasan filosifis dalam mengembangkan metodologi pembelajaran PAI
sehingga pembelajaran yang dikelola oleh guru selalu berlandaskan pada landasan ini. Tujuan utama dari proses
pendidikan selalu dikaitkan dengan pencarian jati diri yang sesungguhnya, agar manusia bisa mengerti dari mana
mereka berasal, siapa yang menciptakan mereka. Nilai fundamental ini mengarahkan peserta didik untuk mengenal
tuhannya. Al-Ghazali menjelaskan dalam Abu Muhammad Iqbal menjelaskan bahwa tujuan ahkir dari pendidikan
adalah tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah. Landasan ini
mengarahkan setiap guru yang menjadi aktor yang banyak memainkan peran vital dalam proses pendidikan harus
selalu mengedepankan nilai-nilai filosofis yang dalam kaitaanya ini nilai-nilai agama (Islam) menjadi acuan utama.
Karena, sebagai konsekuensinya, seluruh perilaku kehidupan manusia mutlak harus bernilai ketuhanan. Implikasi
dari landasan filosofis ini adalah guru memilki “paradigma ganda”. Dalam artian bahwa, guru dalam melaksanakan
tugasnya tidak hanya mengajarkan peserta didiknya untuk memiliki kecakapan dan kesempurnaan hidup di dunia
saja tetapi juga kesempurnaan hidup di akhirat. Karena cita-cita ideal dari pendidikan Islam adalah terciptanya
manusia yang sempurna (insan Al-kamil).
2. Landasan Historis. Nilai-nilai historis yang kemudian dijadikan sebagai landasan historis pendidikan, memiliki
makna bahwa peristiwa kemanusian yang terjadi di masa lampau penuh dengan informasi-informasi yang
mengandung kejadian-kejadian, model-model, konsep-konsep, teori-teori, praktik-praktik, moral, cita-cita, bentuk,
dan sebagainya. Informasi dari sebuah peristiwa di masa lampau tersebut mengandung muatan nilai pendidikan
yang dapat dicontohkan dan ditiru oleh generasi masa kini dan yang akan datang. Landasan ini mengarahkan para
guru untuk mengubah sudut pandangnya, agar selalu bisa untuk mengambil hikmah dan pelajaran dari para
pendahulunya, baik dalam bersikap, bebicara, dan dalam segala hal yang berkaitan dengan pendidikan Islam. Al-
Qur’an dan Al-Hadis sebagai pondasi intelektualitas manusia banyak mensinyalir tentang hikmah dan pelajaran
mengenai kehidupan orang-orang terdahulu yang bisa menjadi bahan informasi guna membangun paradigma yang
lebih baik, agar guru mampu mengambil pelajaran dari hal-hal yang telah dijelaskan dari kedua sumber tersebut.
Pada tataran selanjutnya, guru tidak salah langkah atau mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama sebagaimana
yang terjadi sebelumnya. Perenungan-perenungan yang dilakukan guru dalam memahami fenomena dari kisah-
kisah baik yang,...tersirat maupun yang tersurat, baik menyangkut hikmah historis atau pun menyangkut simbol-
simbol, merupakan pelajaran-pelajaran yang berharga untuk mengembangkan model pembelajaran yang lebih baik
bagi para peserta didiknya sehingga tujuan ideal pendidikan Islam bisa terwujud.
3. Landasan Sosiologis. Sosiologi berakar pada kata sosialogi yang berarti ilmu yang mempelajari struktur sosial dan
proses-proses sosial, terutama didalamnya perubahan-perubahan sosial. Menurut Fatah Yasin, nilai sosiologis
memiliki gambaran bahwa, manusia yang hidup dalam pergaulan dan interaksi sosial antar manusia yang bersifat
harmonis, damai dan sejahtera merupakan cita-cita yang harus dipertahankan oleh pendidikan. Dengan landasan
ini maka visi dan misi pendidikan adalah menumbuhkan dan menggerakkan semangat peserta didik (murid) untuk
melakukan interaksi dan kerjasama dengan yang lain dengan baik dan benar. Landasan ini mengarahkan guru
untuk menumbuhkankembangkan potensi sosial peserta didik, agar bisa saling bekerja sama, mengayomi dan
terbentuknya interaksi yang sehat ditengah-tengah peserta didik. Selain itu dengan landasan ini, tidak terjadi
kesenjangan antara guru dengan murid, antara murid dengan murid. Karena pendidikan merupakan gejala sosial
antar semua komponen sekolah baik itu guru, murid, kepala sekolah semua yang ikut berperan aktif di dalamnya.
Pendidikan sebagai gejala sosial dalam kehidupan mempunyai landasan individual, sosial dan kultural. Pada skala
mikro pendidikan bagi individu dan kelompok kecil berlangsung dalam skala yang relatif terbatas, seperti antara
sesama sahabat, antara seorang guru dengan satu atau sekelompopk kecil siswanya, sehingga dimungkinkan
terjadinya interaksi pembelajaran yang mengarahkan pada perkembangan peserta didik baik intelektualitasnya,
spritualitasnya dan sosialitasnya. Sehingga kesenjangan dan diskomunikasi di tengah-tengah siswa dan guru bisa
dihindari. Pada dasarnya proses pendidikan merupakan gejala sosial yang tidak bisa dihindarkan sehingga seorang
murid atau guru tidak bisa berjalan sendiri-sendiri tetapi harus peka dengan kehidupan sosial disekitarnya. Sehingga
terwujud manusia (siswa) yang tidak saja sholeh secara pribadi tetapi sholeh secara sosial.
4. Landasan Kultural. Peserta didik merupakan sekumpulan individu yang berasal dari berbagai etnis-budaya dan
karakter yang berbeda-beda sesuai dengan budaya daerah mereka masing-masing. Budaya yang “dikantonginya”
ikut mempengaruhi guru baik cara pandang, cara bersikap dan cara menilai setiap peserta didiknya. Keunikan
setiap peserta didik dengan segala adat-budayanya mampu dikembang dengan optimal sehingga mampu memfilter
hal-hal negatif yang terus berkembang dari adanya perkembangan teknologi yang semakin mengikis budaya peserta
didik. Fatah yasin mensinyalir bahwa, atas dasar inilah, maka visi dan misi pendidikan adalah berusaha
memanfaatkan (menjadikan fasilitas), mengkritisi serta memfilter perkembangan budaya manusia, terutama dalam
hal negatif dari kemajuan teknologi. Budaya di sini diartikan sebagai budaya yang eksternal yang terbentuk dari
interaksi sosial masyarakat dengan kemajuan teknologi yang telah mempengaruhi pola pikir peserta didik
khususnya, agar pengaruh negatif dari teknologi bisa dihindarkan. Dengan demikian budaya-budaya yang telah
berkembang yang bersifat internal bisa dikembangkan dengan sempurna sebagai citra pendidikan yang didasarkan
pada budaya bangsa.
5. Landasan Psikologis. Setiap peserta didik mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Perkembangan peserta
didik bisa dilihat dari kecakapan-kecakapan yang dalam ini adalah intelektualitas, spritualitas dan sosialnya.
Perkembangan ini terjadi dan dipengaruhi oleh interaksi antar sesama, hasil belajar dan latihan-latihan
psikomotoriknya. Menurut para ahli psikologi aliran behavioristik menegaskan bahwa, dalam bidang kajian mereka
hanya tertuju pada, ...peristiwa-peristiwa yang dapat diamati, yang nyata dan kongkrit, yaitu tingkah laku manusia.
Sehingga guru dapat mengukur, menilai, menimbang dan mengamti setiap perkembangan peserta didiknya.
Kegiatan ini dilakukan agar guru tidak salah tafsir dan salah dalam menerjemahkan setiap perkembangan peserta
didknya. Dengan demikian setiap kegiatan yang akan dilakukan guru dalam proses pembelajaran selalu terpusat
pada perkembangan peserta didiknya. Dan hal ini dipertegas lagi oleh pernyataannya Fatah Yasin yaitu, atas
landasan ini, maka visi dan misi pendidikan adalah berusaha membentuk sikap dan prilaku peserta didik agar
tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangan fisik maupun intelektualitasnya. Agar tujuan
pendidikan teraktulisasi dalam terbentuknya peserta didik yang matang dalam perkembangannya.
6. Landasan Ilmiah-Rasional. Landasan ilmiah-rasional merupakan landasan yang mengacu pada sikap
profesionalisme guru dalam mengajar. Seorang guru hendaknya harus melakukan hal-hal yang bersifat penelitian,
penyelidikan dan menemukan solusi-solusi bagi permasalahan pendidikan, agar guru tidak memaksakan kehendak
dalam mengajar. Atau dengan kata lain guru mengajar hanya berdasarkan pada kebiasaan-kebiasaan dan bukan
didasarkan pada hasil penelitian dan kajian ilmiah-rasional. Mengacu pada pernyataan di atas, sesungguhnya guru
harus melakukan kajian-kajian ilmiah-rasional guna menemukan masalah sekaligus solusi sehingga mampu
membangun dan memperbaiki kualitas dalam proses belajar mengajar, aagar pesan-pesan yang disampaikan
kepada peserta didik bisa dicerna dengan baik. Karena proses pembelajaran di bangun atas dasar sesuatu yang
bersifat ilmial-rasional bukan didasarkan pada hal-hal yang besifat dugaan dan prasangka guru.

7. Landasan Nilai-Nilai Agama. Landasan nilai-nilai agama ini didasarkan pada nilai-nilai Islam yang terkandung
dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnh sebagai pijakan dalam melakukan segala aktivitas, terutama dalam hal pendidikan.
Di dalam kedua sumber tersebut banyak dijelaskan berbagai aturan-aturan, baik dalam hal muamalah, syariah dan
aqidah. Dengan muatan Al-Qur’an dan Al-Hadis yang begitu komplek-universal mencakup setiap lini kehidupan
manusia. Kaitannya dengan ini, Fatah memaparkan, landasan pendidikan Islam pada hakikatnya dengan asas
pendidikan Islam. yakni berdasarkan Al-Qur’an dan hadis nabi. Artinya semua kegiatan harus mengacu dan
bertitik tolak dari al-Qur’an sebagai firman Allah swt dan mencontoh sunnah Rasulullah saw.[17] Karena dari
kedua sumber tersebut tohmerupakan pegangang setiap muslim, untuk membimbing setiap aktivitasnya agar selalu
dan sesuai dengan tuntunan-sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
8. Landasan Hukum Rancangan undang-undang merupakan pijakan dasar dalam melaksanakan proses pendidikan
dalam skala nasional. Karena dimungkinkan pendidikan merupakan salah satu wadah untuk membawa perubahan
yang berarti untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang mampu berdaya saing di dunia global
sekarang ini. Hal ini dipertegas dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) dalam pasal 1 yang mengamanatkan bahwa: “Pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memilki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
ASAS PENGEMBANGAN METODOLOGI PEMBELAJARAN PAI
1. Asas agama, yakni penerapan metode harus mengacu pada sumber asasi ajaran Islam al-Qur’an dan Hadis.
2. Asas biologi, yakni penggunaan metode harus memperhatkan kondisi kebutuhan jasmani dan tingkat
perkembangan peserta didik.
3. Asas psikologis, yakni penerapan metode harus disesuaikan dengan kondisi minat dan bakat atau motivasi
peserta didik.
4. Asas sosial, yakni penerapan metode harus disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan sosial peserta didik yang
selalu berubah dan berkembang setiap saat.
5. Asas teologis. Asumsinya bahwa semua peserta didik sejak lahir sudah membawa potensi keyakinan dan
kepercayaan kepada tuhan, dan keyakinan tersebut dijadikan sebagai landasan dalam mendorong dan
menjalankan tugas serta kewajibannya sebagai hamba Tuhan, termasuk tugas dalam belajar.
6. Asas konstruktivistik. Asumsinya bahwa semua peserta didik memilki kemampuan untuk membangun
gagasan/ide/konsep dan mampu melakukan sendiri dalam berbagai hal dalam belajar.
7. Asas kompetitif. Asumsinya bahwa peserta didik memilki kemampuan dan karakteristik yang beragam. Tingkat
kecerdasan peserta didik ada yang rendah, sedang dan ada pula yang tinggi, baik kecerdasan intelektual,
emosional, maupun spritualnya.
8. Asas partisipatorik. Asumsinya bahwa manusia (peserta didik) adalah mahluk sosial (homo homoni socius) dan
selalu ingin hidup untuk mengaktualisasikan diri bersama dengan orang lain.
9. Asas pencapaian kompetensi. Asumsinya bahwa semua peserta didik apabila belajar tentang sesuatu pasti dirinya
ingin menguasai sesuatu yang dipelajarinya tersebut.
10. Asas efektif, efesien, dan senang. Asumsinya bahwa peserta didik dalam proses belajar menginginkan kondisi
yang rilek, santai tetapi serius, tepat waktu dan tidak membosankan
PRINSIP-PRINSIP PENGEMBANGAN METODOLOGI PEMBELAJARAN PAI
1. Motivasi. Penerapan metodologi diarahkan untuk dapat memberikan dorongan agar peserta didik aktif belajar
dan mengikuti pelajaran.
2. Perhatian. Penerapan metodologi diarahkan untuk dapat membangkitkan perhatian peserta didik agar tertarik
terhadap persoalan-persoalan yang disampaikan atau yang sedang dipelajari, melalui penerapan metodologi
tersebut.
3. Peragaan. Penerapan metodologi diarahkan untuk dapat memberi kesempatan kepada peserta didik supaya
memeragakan atau mendemostrasikan perolehan.
4. Apersepsi. Penerapan metodologi diarahkan untuk dapat dijadikan sebagai sarana penghubung dengan dengan
apa yang pernah dikenal oleh peserta didik sebelumnya, berkaitan dengan persolan yang sedang dipelajari.
5. Individualitas. Penerapan metodologi diarahkan untuk dapat dijadikan sebagai saran penghubung dengan bakat
dan karakter masing-masing individu peserta didik.
6. Konsentrasi. Penerapan metodologi diarahkan untuk dapat dijadikan sebagai sarana yang bisa memusatkan daya
konsentrasi peserta didik pada persoalan yang sedang dipelajari.
7. Korelasi. Penerapan metodologi diarahkan untuk dapat dijadikan sebagai sarana yang bisa mengajak peserta
didik agar dapat menghubungkan mata pelajaran satu dengan lainnya.
8. Sosialisasi. Penerapan metodologi diarahkan untuk dapat dijadikan sebagai sarana yang bisa mengajak peserta
didik menyesuaikan dengan keadaan lingkungan sosial.
9. Penilaian. Penerapan metodologi diarahkan untuk dapat dijadikan sebagai sarana yang bisa dipakai oleh pendidik
dalam memantau, menilai, dan merekam partisipasi aktif peserta didik dalam memahami, menghayati dan
berprilaku dalam belajar

Referensi lain:
1. Niat dan orientasi dalam pendidikan Islam, yakni untuk mendekatkan hubungan antara manusia dengan Allah
dan sesama makluk. Pendekatan kepada Allah dilakukan dengan banyak mengingat-Nya yang disertai dengan
tauhid, mengesakan Allah. Tauhid ini menjadi ruh bagi aktivitas setiap muslim. Prinsip ketauhidan inilah yang
membedakan metode dalam pendidikan Islam dengan metode yang lain.
2. Keterpaduan (integrative, tauhid), dalam arti bahwa dalam pendidikan Islam ada kesatuan antara Ilmu-Ilmu
Amal, Iman-Islam-Ihsan, dzikir-fikr (hati dan fikir), zhahir-batin (jiwa-raga), dunia-akhirat, serta yang dulu-
sekarang-akan datang. Semuanya harus seimbang, selaras dan menyatu. Kesatuan dan kesalingterkaitan ini
marupakan artikulasi dari ketauhidan yang menjadi karakteristik pendidikan Islam.
3. Bertumpu pada kebenaran; dalam arti bahwa materi yang disampaikan itu harus benar, disampaiakan dengan
cara yang benar, dan dengan dasar niat yang benar. Mencari kebenaran dan jalan lurus ini harus terus dilakukan
selama manusia masih menghembuskan nafas.
4. Kejujuran dan amanah (sidq-amanah). Berbagai metode yang dipakai dalam pendidikan Islam harus memegang
teguh prinsip kejujuran (akademik). Kebohongan dan dusta (kidzb) dalam bentuk apa pun tidak bisa
dibenarkan. Misalnya, seorang pendidik (peneliti) harus tetap menyampaikan kebenaran tersebut: katakan
kebenaran meski terasa pahit (qul al-haqqa walau kana murran).
5. Keteladanan. Dalam pendidikan Islam ada kesatuan antara iman-ilmu-amal. Pendidik dituntut menjadi contoh
teladan bagi peserarta didiknya.
6. Berdasar pada nilai. Metode pendidikan Islam tetap berdasarkan pada nilai etika-moral (al-akhlak al-karimah).
Pendidik yang mengajar praktikum kimia atau geologi misalnya, dia tetap harus menjaga hubungan antara laki-
laki dan perempuan, tidak berdua-duan (di ruang tertutup) yang bisa mengakibatkan munculnya fitnah. Hal ini
karena metode pendidikan Islam sarat nilai, tidak bebas nilai.
7. Sesuai dengan usia dan kemampuan akal anak (biqadri uqulihim). Pendidikan hendaknya diberikan kepada
peserta didik setelah mereka berusia minimal tujuh tahun, sehngga mereka mampu merangsang pemikiran serta
memperteguh keimanan dan daya kreatifnya.
8. Sesuai dengan kebutuhan peserta didik (child center), bukan sekadar untuk memnuhi keinginan pendidik,
apalagi untuk proyek semata.
9. Mengambil pelajaran pada setiap kasus atau kejadian (ibrah) yang menyenangkan ataupun yang menyedihkan.
Mengambil pelajaran ini dimulai dengan berpikir positif dan menerima perjalan hidup dengan tidak berlebihan
dalam menyikapinya.
10. Proporsional dalam memberikan janji (wa’d, tarhib) yang menggembirakan dan ancaman (wa’id, tarhib) utuk
mendidik kedisplinan. Proposional karena harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi peserta didik.
PRINSIP-PRINSIP PENGAJARAN:
1. Individualitas. Individu adalah manusia atau orang yang memiliki pribadi atau jiwa sendiri. Kekhususan jiwa
itu menyebabkan individu yang satu berbeda dengan individu yang lain. Dengan perkataan lain, tiap-tiap
manusia mempunyai jiwa sendiri. Secara terperinci perbedaan itu dapat dilihat pada:
a. Perbedaan umur. Sejak dahulu hingga sekarang orang menentukan tingkat kelas murid berdasarkan
umurnya, misalnya kelas satu SD terdiri dari anak-anak yang usianya enam tahun. Semua anak-anak yang
duduk pada tingkat atau kelas berdasar umur dianggap dapat memperoleh keuntungan yang sama dari
pelajaran dan kegiatan-kegiatan yang diberikan dengan metode penyajian yang sama. Ketidakmampuan
seseorang menguasai materi yang diberikan dijelaskan secara sederhana bahwa hal itu hanya disebabkan
oleh faktor kemalasan. Jadi sama sekali tidak diperhatikan kenyataan bahwa murid-murid berbeda
kemampuannya dalam menerima pelajaran atau dengan kata lain tidak dipertimbangkan bahwa anak-anak
yang usianya sama tidak selalu memiliki tingkat kematangan belajar yang sama.
b. Perbedaan intelegensi. Jika kita bandingkan antara yang anak pada dasarnya pandai dengan anak yang
kurang pandai maka akan kelihatan beberapa perbedaan sebagai berikut: 1) Anak yang pandai: Cepat
menangkap isi pelajaran. Tahan lama memusatkan perhatian pada pelajaran dan kegiatan. Dorongan ingin
tahu kuat, banyak inisiatip. Cepat memahami prinsip-prinsip dan pengertian-pengertian. Sanggup bekerja
dengan pengertian abstrak. Dapat mengkritik diri sendiri, tahu bahwa ia tidak tahu. Memiliki minat yang
luas. 2) Sedang anak yang kurang pandai berlaku keadaan sebaliknya: Lambat menangkap pelajaran.
Perhatiannya terhadap pelajaran cepat hilang. Kurang atau tidak punya inisiatif.
c. Perbedaan kesanggupan dan kecepatan. Dalam melakukan kegiatan-kegiatan sekolah, kesanggupan dan
kecepatan anak berbeda. Anak yang cerdas akan jauh lebih cepat menyelesaikan tugas-tugasnya dalam
hitungan daripada anak yang kurang cerdas. Demikian pula dalam berbagai bidang terdapat perbedaan
kesanggupan. Namun demikian jarang dijumpai orang yang pandai atau bodoh dalam segala bidang. Yang
umum ialah kurang pandai dalam satu atau beberapa bidang tetapi dalam hal ini menunjukkan
kesanggupannya.
2. Motivasi. Motivasi memiliki peranan yang sangat penting dalam kegiatan pembelajaran. Motivasi adalah
dorongan atau kekuatan yang dapat menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi
berhubungan erat dengan minat. Siswa yang memiliki minat lebih tinggi pada suatu mata pelajaran cenderung
memiliki perhatian yang lebih terhadap mata pelajaran tersebut sehingga akan menimbulkan motivasi yang
lebih tinggi dalam belajar. Dorongan yang timbul dari dalam dirinya sendiri untuk melakukan sesuatu
dinamakan motivasi instrisik. Sedangkan dorongan yang timbul karena adanya pengaruh luar disebut dengan
motivasi ekstrinsik. Macam-macam motivasi sebagai berikut ; Memberi angka, banyak anak belajar semata-
mata untuk mencapai atau mendapatkan angka yang baik. Angka yang baik bagi mereka merupakan motivasi
dalam kegiatan belajarnya. Hadiah, hal ini dapat membangkitkan motivasi yang kuat bagi setiap orang dalam
melakukan suatu pekerjaan atau belajar sekalipun. Persaingan, faktor persaingan sering digunakan sebagai alat
untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi dilapangan industri, perdagangan dan sekolah. Tugas yang
menantang, memberi kesempatan terhadap anak untuk memperoleh kesuksesan belajar. Pujian, pujian
diberikan ketika pekerjaan atau belajar anak dapat memperoleh hasil belajar yang memuaskan. Teguran dan
kecaman, digunakan untuk memperbaiki kesalahan anak yang melanggar disiplin atau melalaikan tugas yang
diberikan. Hukuman, hal ini diberikan kepada anak yang telah melanggar peraturan dan ketika itu si anak
sudah di beri teguran tetapi tetap melanggar, maka anak itu boleh diberi hukuman.
3. Aktivitas. Mengajar adalah proses membimbing pengalaman belajar. Pengalaman itu sendiri hanya mungkin
diperoleh bila murid itu dengan keaktifan sendiri bereaki terhadap lingkungannya. Kalau seorang murid ingin
belajar memecahkan suatu problem, ia harus berpikir menurut langkah-langkah tertentu kalau ia ingin
menguasai suatu keterampilan ia harus berlatih mengkoordinasikan otot-otot tertentu; kalau ia ingin memiliki
sikap tertentu, ia haru memiliki sejumlah pengalaman emosional. Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa
belajar itu hanya berhasil bila melalui bermacam-macam kegiatan. Kegiatan tersebut dapat digolongkan
menjadi keaktifan jasmani dan rohani. Keaktifan jasmani ialah murid giat dengan anggota badan, membuat
sesuatu, bermain-main atau bekerja. Jadi, murid tidak hanya duduk dan mendengar. Murid aktif rohaninya jika
daya jiwa anak bekerja sebanyak-banyaknya, jadi anak mendengarkan, mengamati-amati, menyelidiki,
mengingat-ingat, menguraikan, mengasosiasikan ketentuan yang satu dengan ketentuan yang lain. Keuntungan
dari penggunaan prinsip aktivitas adalah tanggapan sesuatu dari yang dialami atau dikerjakan sendiri lebih
sempurna dan mudah direproduksikan dan pengertian yang diperoleh adalah jelas. Selain itu beberapa sifat
watak tertentu dapat dipupuk misalnya: hati-hati, rajin, bertekun dan tahan uji, percaya pada diri sendiri,
perasaan sosial dan sebagainya.
4. Minat dan Perhatian. Minat dan perhatian merupakan suatu gejala jiwa yang selalu bertalian. Seorang siswa
yang memiliki minat dalam belajar, akan timbul perhatiannya terhadap pelajaran yang diminati tersebut. Akan
tetapi perhatian seseorang kadang kala timbul dan ada kalanya hilang sama sekali. Suatu saat anak kurang
perhatiannya terhadap penjelasan yang diberikan oleh guru di depan kelas, bukan disebabkan dia tidak
memiliki minat dalam belajar, boleh jadi ada gangguan dalam dirinya atau perhatian lain yang mengusik
ketenagannya di dalam kelas atau guru kurang dapat memberikan teknik pengajaran yang bervariasi. Tidak
semua siswa mempunyai perhatian yang sama terhadap pelajaran yang disajikan oleh seorang guru. Oleh
karena itu diperlukan kecakapan guru untuk dapat membangkitkan perhatian anak didik. Perhatian yang
dibangkitkan oleh guru disebut perhatian yang di sengaja, sedangkan perhatian yang timbul dengan sendirinya
dalam diri anak tersebut disebut dengan perhatian spontan.
5. Peragaan. Peragaan ialah suatu cara yang dilakukan oleh guru dengan maksud memberikan kejelasan secara
realita terhadap pesan yang disampaikan sehingga dapat dimengerti dan dipahami oleh para siswa. Dengan
peragaan, diharapkan proses pengajaran terhindar dari verbalisme. Untuk itu sangat diperlukan peragaan dalam
pengajaran terutama terhadap siswa ditingkat dasar. Peragaan meliputi semua pekerjaan indra yang bertujuan
untuk mencapai pengertian tentang suatu hal secara tepat. Agar peragaan berkesan secara nyata, anak tidak
hanya mengamati benda atau modal yang diperagakan terbatas pada luarnya saja, akan tetapi harus mencapai
berbagai segi, dianalisis, disusun dan dibanding-bandingkan untuk memperoleh gambaran yang jelas dan
lengkap. Dasar psikologis azas peragaan tersebut yakni: sesuatu hal akan lebih berkesan dalam ingatan siswa
bila melalui pengalaman dan pengamatan langsung anak itu sendiri. Ada dua macam peragaan yaitu peragaan
langsung dan peragaaan tidak langsung.
6. Pengulangan. Perlakuan yang dilakukan secara berulang akan melahirkan kebiasaan. Karena kebiasaan adalah
perilaku yang diulang. Dengan adanya pengulangan maka akan memudahkan tertanamnya, fakta, informasi,
pemahaman, dan pemikiran ke dalam benak (memori otak) peserta didik. Para pendidik hendaknya
membiasakan dan melakukan pengulangan dalam menanamkan fakta, konsep dan informasi dalam
melaksanakan proses pembelajaran kepada para peserta didiknya, hal ini akan lebih efektif dalam
memahamkan peserta didiknya tentang apa yang disampaikannya. Pengulangan yang dilakukan secara baik,
dengan informasi yang menarik akan membangkitkan motivasi belajar mereka, dan pembelajaran akan lebih
bermakna.
7. Keteladanan. Keteladanan adalah hal-hal yang dapat ditiru atau dicontohkan oleh seseorang dari orang
lain. Keteladanan yang dimaksud disini adalah keteladanan yang dapat dijadikan sebagai alat pendidikan islam,
yaitu keteladanan yang baik. Keteladanan dapat direalisasikan dengan cara memberi contoh keteladanan yang
baik kepada siswa agar mereka dapat berkembang baik fisik maupun mental dan memiliki akhlak yang baik
dan benar. Keteladanan memberikan konstribusi yang sangat besar dalam pendidikan ibadah, akhlak, kesenian
dan lain-lain.
8. Pembiasaan. Pembiasaan adalah sebuah cara yang dapat dilakukan untuk membiasakan anak didik berfikir,
bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntutan ajaran agama islam. Pembiasaan dinilai sangat efektif jika dalam
penerapannya dilakukan terhadap peserta didik yang berusia kecil. Karena memiliki “rekaman” ingatan yang
kuat dan kondisi kepribadian yang belum matang, sehingga mereka mudah terlalur dengan kebiasaan-kebiasaan
yang mereka lakukan setiap hari. Oleh karena itu, sebagai awal dalam proses pendidikan, pembiasaan
merupakan cara yang sangat efektif dalam menanamkan nilai-nilai moral ke dalam jiwa anak. Nilai-nilai yang
tertanam dalam dirinya ini kemudian akan termanifestasikan dalam kehidupannya semenjak semenjak ia mulai
melangkah ke usia remaja dan dewasa.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMILIHAN METODE PEMBELAJARAN:
1. Siswa atau peserta didik. Pemilihan suatu metode pembelajaran, harus menyesuaikan tingkatan jenjang pendidikan siswa.
Pertimbangan yang menekankan pada perbedaan jenjang pendidikan ini adalah pada kemampuan peserta didik, apakah
sudah mampu untuk berpikir abstrak atau belum. Penerapan suatu metode yang sederhana dan yang kompleks tentu sangat
berbeda, dan keduanya berkaitan dengan tingkatan kemampuan berpikir dan berperilaku peserta didik pada setiap
jenjangnya. Di ruang kelas guru akan berhadapan dengan sejumlah anak dengan latar belakang kehidupan yang
berlainan. Status sosial mereka juga bermacam-macam. Demikian juga dengan jenis kelamin serta postur tubuh.
Pendek kata dari aspek fisik selalu ada perbedaan dan persamaan pada setiap anak didik. Sedangkan dari segi intelektual
pun sama ada perbedaan yang ditunjukkan dari cepat dan lambatnya tanggapan anak didik terhadap rangsangan
yang diberikan dalam kegiatan belajar mengajar. Aspek psikologis juga ada perbedaan yaitu adanya anak didik yang
pendiam, terbuka, dan lain-lain. Perbedaan dari aspek yang disebutkan di atas mempengaruhi pemilihan dan
penentuan metode yang mana sebaiknya guru ambil untuk menciptakan lingkungan belajar yang kreatif dalam waktu
yang relatif lama demi tercapainya tujuan pengajaran yang telah dirumuskan secara operasional.
2. Tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Setiap pelaksanaan pembelajaran tentu memiliki tujuan pembelajaran yang hendak
dicapai. Penyelenggaraan pembelajaran bertujuan agar pesera didik sebagai warga belajar akan memperoleh pengalaman
belajar dan menunjukkan perubahan perilaku, dimana perubahan tersebut bersifat positif dan bertahan lama. Kalimat
tersebut dapat dimaknai bahwa pembelajaran yang berhasil adalah pembelajaran yang tidak hanya akan menambah
pengetahuan peserta didik tetapi juga berpengaruh terhadap sikap dan cara pandang peserta didik terhadap realitas
kehidupan. Tujuan pembelajaran adalah sasaran yang dituju dari setiap kegiatan belajar mengajar. Hal ini dapat
mempengaruhi penyeleksian metode yang harus digunakan. Metode yang dipilih guru harus sesuai dengan taraf
kemampuan yang hendak diisi ke dalam diri setiap anak didik. Jadi metode harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran.
3. Faktor materi pembelajaran. Materi pelajaran memiliki tingkat kedalaman, keluasan, kerumitan yang berbeda-beda. Materi
pembelajaran dengan tingkat kesulitan yang tinggi biasanya menuntut langkah-langkah analisis dalam tataran yang beragam.
Analisis bisa hanya pada tataran dangkal, sedang, maupun analisis secara mendalam. Pemilihan metode pembelajaran yang
tepat mampu memberikan arahan praktis untuk mengatasi tingkat kesulitan suatu materi pembelajaran.
4. Situasi belajar mengajar. Situasi belajar mengajar yang diciptakan guru tidak selamanya sama. Maka guru harus
memilih metode mengajar yang sesuai dengan situasi yang diciptakan. Di waktu lain, sesuai dengan sifat bahan dan
kemampuan yang ingin dicapai oleh tujuan maka guru menciptakan lingkungan belajar secara berkelompok. Jadi situasi yang
diciptakan mempengaruhi pemilihan dan penentuan metode mengajar.
5. Fasilitas belajar mengajar. Fasilitas pembelajaran berfungsi untuk memudahkan proses pembelajaran dan pemenuhan
kebutuhan proses pembelajaran. Bagi sekolah yang telah memiliki fasilitas pembelajaran yang lengkap, ketersediaan fasilitas
belajar bukan lagi suatu kendala. Namun demikian tidak semua sekolah memiliki fasilitas pembelajaran dengan standar yang
diharapkan. Keadaan tersebut hendaknya tidak menjadi suatu hambatan bagi guru dalam merancang pembelajaran yang
tetap mampu menjangkau tujuan pembelajaran. Dalam kondisi tertentu, guru-guru yang memiliki semangat dan komitmen
yang kuat tetap mampu menyelenggarakan pembelajaran yang menarik, menyenangkan, dan mampu mencapai tujuan
pembelajaran yang diharapkan. Fasilitas merupakan hal yang mempengaruhi pemilihan dan penentuan metode
mengajar. Fasilitas adalah kelengkapan yang menunjang belajar anak di sekolah. Lengkap tidaknya fasilitas belajar
akan mempengaruhi pemilihan metode mengajar.
6. Faktor alokasi waktu pembelajaran. Pemilihan metode pembelajaran yang tepat juga harus memperhitungkan ketersediaan
waktu. Rancangan belajar yang baik adalah penggunaan alokasi waktu yang dihitung secara terperinci, agar pembelajaran
berjalan dengan dinamis, tidak ada waktu terbuang tanpa arti. Kegiatan pembukaan, inti, dan penutup disusun secara
sistematis. Dalam kegiatan inti yang meliputi tahap eksplorasi – elaborasi – konfirmasi, mengambil bagian waktu dengan
porsi terbesar dibandingkan dengan kegiatan pembuka dan penutup.
7. Guru. Latar belakang pendidikan guru diakui mempengaruhi kompetensi. Kurangnya penguasaan terhadap berbagai
jenis metode menjadi kendala dalam memilih dan menentukan metode. Apalagi belum memiliki pengalaman
mengajar yang memadai. Tetapi ada juga yang tepatmemilihnya namun dalam pelaksanaannya menemui kendala
disebabkan labilnya kepribadian dan dangkalnya penguasaan atas metode yang digunakan

Anda mungkin juga menyukai