Anda di halaman 1dari 6

9.

Banyak Yang Pintar Tapi Sedikit Yang Kreatif


Oleh: Marjohan, M.Pd
(Guru SMAN 3 Batusangkar)

Dalam dunia sastra, bahwa cerita-cerita yang datang dari dunia Barat telah sangat
mengglobal sejak dahulu kala. Kita mengenal cerita Pinokio, Cinderella, The Swan, dan
malah dalam zaman sekarang ada cerita Harry Porter yang juga ditulis oleh JK. Rowling
yang lahir di Yate, Gloucestershire Utara, Inggris. Sementara untuk bidang cyber atau
internet dengan fiturnya seperti Google, Yahoo, Gmail, Blogspot, hingga ke media sosial
(medsos) seperti BBM, Facebook, Twitter dan Instagram diciptakan oleh orang Barat dan
termasuk oleh orang Asia yang besar dan terdidik di Barat- di Eropa dan Amerika.
Dengan demikian terasa adanya suatu fenomena bahwa “orang Barat lebih kreatif
dari orang Asia dan termasuk orang Indonesia”. Mengapa hal ini bisa terjadi ? Ini dapat
dijawab dengan menelaah artikel yang ditulis oleh seorang dosen dari Malaysia dan juga
sebuah buku yang ditulis oleh seorang dosen dari Universitas Queensland- Australia.
Tulisan seorang dosen yang bernama William K. Lim dari Universiti Malaysia
Serawak yang berjudul "Asian Test-Score Culture Thwarts Creativity- Budaya Ujian Hanya
Berdasarkan Skor Menghancurkan Kreatifitas". Dituturkannya bahwa meskipun sejak
bertahun-tahun lalu Asia didaulat akan menjadi penghela dunia sains berkat sangat
besarnya investasi di bidang sains dan teknologi, kenyataannya Asia masih tetap saja
tertinggal di banding negeri-negeri barat (Eropa Barat dan Amerika Utara).
Menurutnya bahwa akar permasalahannya adalah budaya pendidikan Asia yang
berorientasi pada skor-tes, yang alhasil tidak mampu mengasah keterampilan berpikir dan
kreativitas pelajar. Padahal kedua kemampuan itulah yang menjadi dasar untuk bisa
menjadi ilmuwan yang berhasil. Di Asia, para pelajar dan sekolah berorientasi mengejar
skor-tes setinggi-tingginya. Para pelajar yang memiliki skor-tes lebih tinggi akan lebih baik
karir masa depannya karena persyaratan masuk ke berbagai institusi pendidikan yang lebih
tinggi dan lebih baik ditentukan oleh skor-tes.
Semakin tinggi skornya tentu semakin baik pula peluangnya. Beragam pekerjaan
bergengsi juga hanya bisa dimasuki oleh mereka-mereka yang memiliki skor tinggi. Sekolah
yang para siswanya meraih skor-tes tinggi akan naik reputasinya, dan dengan demikian
menjamin pendanaan lebih banyak. Guru pun ditekan untuk mengajar dengan orientasi agar
siswa bisa memperoleh skor-tes yang tinggi. Tidak heran jika kemudian latihan-latihan tes
mengambil porsi besar dalam pendidikan di sekolah-sekolah di Asia karena keberhasilan
sebuah sekolah semata-mata dinilai dari catatan skor-tes yang diperoleh sekolah itu.
Akibat iklim pendidikan berorientasi skor-tes, para orang tua lazim memasukkan
anak-anaknya ke suatu les pelajaran tambahan di luar sekolah sejak usia dini. Akibat waktu
sekolah yang panjang dan beban PR yang berat, para pelajar hanya terasah kemampuan
intelektualnya dalam hal mengingat fakta-fakta untuk kemudian ditumpahkan kembali saat
ujian. Hasil dari budaya pendidikan semacam itu adalah kurangnya keterampilan menelaah,
menginvestigasi dan bernalar, yang sangat dibutuhkan dalam penemuan-penemuan ilmiah.
Seorang dosen dari Universitas Queensland yang bernama Prof. Ng Aik Kwang
melihat fenomena ini. Apalagi dosen ini adalah juga seorang Australia keturunan China
merasakan langsung fenomena ini. Renungan dan fenomena ini dikupasnya dalam bentuk
buku yang berjudul "Why Asians Are Less Creative Than Westerners- Mengapa orang Asia
kurang kreatif dari orang Barat". Pada mulanya tulisan dosen ini dipandang cukup
kontroversial, namun akhirnya menjadi buku best-seller dan cukup membuka mata dan
fikiran para pembaca di Australia (www.idearesort.com/trainers/T01.p).
Sebagai dosen dan Professor yang memiliki kepekaan intelektual, ia menemui
fenomena ini pada mahasiswa dan keluarga besar Universitas Queensland yang bersifat
multi kultur dan multi bangsa, namun mereka semua dikelompokan atas “the Asians and the
Westerners -orang Asia dan orang Barat”, tentu saja ia memahami proses kreativitas orang
Eropa, Amerika (sebagai Orang Barat) dan orang-orang Asia. Jadinya kreativitas
sebagaimana yang diobservasi oleh Prof. Ng Aik Kwang lebih tumbuh pada orang Barat. Ini
terjadi karena titik pandang dan juga akibat metode pembelajaran di sekolah-sekolah kita
yang jarang menumbuhkan kebiasan bereksplorasi atau bertanya jawab.
Karena beda titik pandang atau budaya, misal untuk sukses, orang kita (juga
sebagian orang Asia) menganggap yang sukses itu kalau punya banyak materi (rumah,
mobil, uang dan harta lain). Jadi orang yang bisa menjadi dokter spesialis atau manajer
pada perusahaan minyak dipandang lebih sukses dibanding dengan seorang ulama,
jurnalis, wartawan dan pelayan public (PNS), yang melalui karir mereka tidak bisa
mengumpulkan banyak materi. Sehingga sekarang orang berbuat/ beraktivitas, bersekolah
dan termasuk menuntut ilmu pada perguruan tinggi dengan tujuan materialism oriented.
Bagi org Asia dan juga termasuk orang kita bahwa banyaknya kekayaan yang dimiliki
lebih dihargai dibandingkan orang yang memiliki sedikit materi. Guru yang memilki mobil
lebih terpandang dari pada guru yang hanya datang berjalan kaki. Begitu juga seorang
Ustad atau seorang motivator yang datang hanya dengan sepeda motor butut bisa jadi
dibayar lebih rendah dari pada yang datang dengan mobil sedan. Bisa jadi orang yang
hanya datang dengan jalan kaki atau punya sepeda motor butut lebih berkualitas. Dengan
demikian orang kita lebih peduli pada bentuk casing atau kulit luar saja.
Perilaku orang kitayang lebih menghormati materi dan kekayaan bersifat benda
duniawi ini juga terpantau dari kegemaran banyak orang yang menyukai ceritera, novel,
sinetron atau film yang bertema orang miskin jadi kaya mendadak karena beruntung
menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh pangeran dan sejenis itu. Tidak heran pula
bila perilaku koruptif pun ditolerir atau diterima sebagai sesuatu yang wajar.
Dalam pembelajaran, kita terbiasa dengan budaya menghafal. Pendidikan kita
identik dengan hafalan berbasis "kunci jawaban" bukan pada pengertian. Ujian Nasional,
dan juga tes masuk perguruan tinggi dll semuanya berbasis hafalan. Sampai tingkat
sarjana, mahasiswa diharuskan hafal dengan rumus- rumus Imu pasti dan ilmu hitung
lainnya bukan diarahkan utk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus rumus
tersebut.
Sebuah cara pandang yang berbeda, misalnya untuk mata pelajaran sejaran. Murid
penulis menganggap sebagai mata pelajaran mudah. Karena ujian sejarah hanya sebatas
menghafal dan mencari jawaban antara A, B, C, D atau E. Sementara seorang siswa dari
Jerman yang bernama Lewin Gastrich, saat ia ujian sejarah, menyatakan sangat sulit.
Karena ia harus mampu menyampaikan sebab akibat peristiwa sejarah dan dampaknya di
depan guru sejarahnya.
Ya betul bahwa metode belajar siswa kita, malah hingga mahasiswa adalah bersifat
hafalan. Karena berbasis hafalan, murid-murid di sekolah dijejali sebanyak mungkin
pelajaran. Mereka dididik menjadi "Jack of all trades, but master of none" (tahu sedikit
sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai apapun).
Karena berbasis hafalan, banyak pelajar Asia termasuk pelajar Indonesia bisa jadi
juara dalam Olympiade Fisika, dan Matematika. Tapi jarang sekali- atau hampir tidak pernah
ada orang Asia yang menang Nobel atau hadiah internasional lainnya yang berbasis inovasi
dan kreativitas.
Penyebab lain adalah karena sifat eksploratif atau penjelajah yang kurang. Kalau
ada menjelajah, siswa kita baru sebatas senang menjelajah atau melintasi alam atau
mendaki gunung. Eksplorasi yang dimaksud adalah pencarian buat menjawab rasa ingin
tahu. Ya sifat eksploratif sebagai upaya memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk
mengambil resiko.
Adi Jaderock melalui Forum Orisinil (http://forum.orisinil.com/index) menggagas
dialog online tentang mengapa bangsa Asia kalah kreatif dibandingkan dengan bangsa
Barat.Ia menjelaskan tentang rasa ingin tahu dan eksplorasinya bagi ilmuwan Barat telah
menyebabkan munculnya temuan- temuan baru. Misalnya rasa ingin tahu yang muncul dari
fikiran Newton, Edwin land, Wright bersaudara, Johan Gutenberg, Ray Tomlinson, Graham
Bell, Martin Cooper, Mark Zuckerberg, dan ilmuwan lainnya.
“Newton bertanya dalam bathin... mengapa buah apel ini bisa jatuhnya ke bawah
dan bukan ke atas...? Jadilah Hukum Gravitasi”.
“Edwin land bertanya dalam bathin, Mengapa hasil foto harus menunggu berhari-hari
untuk di cetak..? maka terciptalah foto langsung jadi Polaroid”.
“Wright bersaudara bertanya dalam bathin mengapa burung bisa terbang dan
manusia tidak? maka terciptalah pesawat udara”.
“Johan Gutenberg bertanya dalam bathin mengapa kita harus menulis ulang naskah-
naskah sebanyak ini..? maka terciptalah Mesin Cetak”.
“Ray Tomlinson bertanya mengapa surat harus dikirim via post dan penerimanya
menunggu berhari-hari ?, maka terciptalah email”.
“Graham Bell bertanya bagaimana ya agar orang dapat bicara meskipun terpisah
jarak?, maka terciptalah telepon”.
“Martin Cooper bertanya dalam bathin mengapa telepon harus pakai kabel? bikir
repot saja, maka terciptalah Handphone”.
“Mark Zuckerberg bertanya dalam bathin Bagaimana ya supaya kita bisa saling
berbagi pencerahan dan kebaikan bagi sesama tanpa harus beranjak dari depan meja kerja
kita..? maka terciptalah face book yang sangat digandrungi di Indonesia dan di seluruh
dunia”.
Pertanyaannya kita adalah: “Mengapa para penemu fitur atau produk teknologi ini
semua berasal dari Barat dan bukan dari Indonesia ?’. Salah satu alasannya terbesarnya
adalah karena selama ini anak-anak Indonesia dilatih untuk pandai menjawab soal-soal
ujian yang sudah ada jawabannya di buku dan bukan dilatih untuk pandai bertanya dan
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari dalam bathinnya sendiri untuk
memecahkan masalah-masalah dunia.
Kemudian konsep memahami ilmu kita cenderung sempit. Untuk tingkat SMA yang
dianggap sains itu adalah “kimia, biologi dan fisika”. Maka seorang siswa jurusan IPA hanya
tertarik memahami dan mendalami bidang studi tadi. Sebaliknya buat jurusan sosial adalah
“akutansi, ekonomi dan sosiologi” dan siswa jurusan IPS hanya tertarik membaca mata
pelajaran IPS saja. Untuk ukuran mahasiswa, mahasiswa kedokteran hanya mendalami
kedokteran dan tidak begitu peduli untuk bidang yang lain, demikian pula sebaliknya untuk
mahasiswa jurusan lain.
Pada hal ilmuwan besar dunia, seperti Ibnu Sina dan Ibnu Arabi mendalami berbagai
bidang ilmu. Ibnu Sina fasih berbahasa Arab dan Persia, ia mendalami filsafat, agama atau
teologi, matematika, astronomi, kedokteran, psikologi dan puisi. Sehingga ia mampu menulis
99 buku. Ibnu Arabi sendiri menguasai ilmu politik, teologi atau agama, filsafat dan agama.
Untuk ilmuwan dari barat juga demikian. Frank Loyd, seorang arsitektur Amerika
Serikat memiliki ilmu yang luas. Ia seorang arsitek, seorang penulis dan juga seorang
pendidik. Begitu pula dengan Benjamin Franklin, ia memahami matematika, politik,
diplomasi atau bahasa dan fisika. Jadi ilmu yang luaslah yang membuat mereka jadi kreatif
pada konsep berfikir.
Penulis jadi memahami semangat eksplorasi teman dari Perancis, mereka adalah
Louis Deharveng, Anne Bedos dan Francois Brouquisse, yang dengan senang hati berulang
ulang datang ke Batusangkar dan menjelajah goa-goa (dalam group speleologie) untuk
mencari serangga baru yang belum teridentifikasi di sana. Atau eksplorasi yang dilakukan
oleh Jerry Drawhorm, antroplog dari Universitas California, untuk menemui fosil-fosil kecil
sesuai dengan tulisan yang dia baca.
Eksplorasi juga bisa terbentuk dalam kelas, untuk penemuan pemahaman konsep
dan menjawab rasa ingin tahu (curiousity) namun sayangnya PBM kita miskin dengan
suasana tanya jawab. Saat diberikan sesi Tanya jawab, cukup banyak siswa yang tidak tahu
apa yang ditanyakan dan juga tidak mau bertanya. Mungkin mereka punya prinsip bahwa
bertanya artinya bodoh, makanya rasa penasaran (rasa ingin tahu) tidak mendapat tempat
dalam proses pendidikan di sekolah.
Juga karena takut salah dan takut dianggap bodoh, di sekolah atau dalam seminar
atau workshop, peserta jarang mau bertanya tetapi setelah sesi berakhir peserta
mengerumuni guru atau narasumber utk minta penjelasan tambahan. Prof.Ng Aik Kwang
menawarkan bebrapa solusi agar para pelajar kita bisa menjadi lebih kreatif seperti berikut:
1). Hargai proses pembelajaran. Hargailah orang karena pengabdiannya bukan
karena kekayaannya. Jangan bangga dapat menantu kaya raya, punya ruko dan 7 mobil
mewah namun semua diperoleh melalui cara yang tidak jelas.
2). Hentikan pendidikan berbasis kunci jawaban, imbangi dengan ujian berbasis
essay dan penalaran. Jangan memaksa murid untuk menguasai semua bidang studi namun
biarkan mereka memahami bidang studi yang paling disukainya.
3). Jangan menjejali murid dengan banyak hafalan, apalagi matematika dan sains
yang punya rumus. Untuk apa diciptakan kalkulator kalau jawaban utk X x Y harus
dihapalkan? Biarkan murid memilih sedikit mata pelajaran tapi benar-benar mereka kuasai.
4). Biarkan anak/ siswa memilih profesi berdasarkan passion (rasa cinta) nya pada
bidang itu, bukan memaksanya mengambil jurusan atau profesi tertentu yang
lebih cepat menghasilkan uang.
5). Dasar kreativitas adalah adanya rasa penasaran atau rasa ingin tahu (curiosity)
dan berani ambil resiko. Maka mari aktifkan anak/ siswa untuk banyak bertanya dan jangan
pernah bosa untuk memberi jawaban yang bisa melepaskan dahaga ingin tahu mereka.
Kalau tidak bisa menjawab maka cari sumbernya bersama- sama.
6). Guru dan dosen adalah seorang fasilitator, bukan kotak Pandora yang harus tahu
segala jawabannya. Maka kalau guru dan dosen tidak tahu ya akui tentang ketidak tahuan
tersebut.
7). Passion atau rasa cinta seorang manusia adalah anugerah Tuhan. Maka sebagai
orang tua dan guru/dosen kita perlu punya rasa bertanggung-jawab untuk mengarahkan
mereka dalam menemukan passionnya dan selalu memberi mereka dukungan.
Mudah- mudahaan dengan cara begini kita bisa memiliki anak-anak, para siswa dan
mahasiswa menjadi manusia yang kreatif. Kelak bila mereka dewasa maka mereka juga
mewariskan model parenting yang kita ajarkan buat generasi mereka sehingga anak-anak
mereka juga menjadi generasi yang kreatif, komunikatif, inovatif tapi juga memiliki integritas
dan idealisme tinggi dan menolak nilai-nilai KKN- kolusi, korupsi dan nepotisme.

Catatan:
Prof. Ng Aik Kwang "Why Asians Are Less Creative Than Westerners- Mengapa orang
Asia kurang kreatif dari orang Barat".

William K. Lim dari Universiti Malaysia Serawak yang berjudul "Asian Test-Score Culture
Thwarts Creativity-

Anda mungkin juga menyukai