LAPORAN KASUS
I. IdentitasPasien
Nama : Ny. J
Umur : 26 Tahun
JenisKelamin : Perempuan
Pekerjaan : Wiraswasta
Suku : Jawa
II. Anamnesis
1
Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien tidak pernah mengalami hal yang sama
sebelumnya.
Riwayat Pengobatan : Pasien mengaku sebelumnya meminum obat – obatan
seperti, amoxicillin dan asam mefenamat.
RiwayatAlergi :Pasien tidak mengetahui mempunyai alergi.
RiwayatPenyakitKeluarga :Pasien menyangkal mempunyai riwayat penyakit yang
sama di keluarga.
III. PemeriksaanFisik
o Status Generalis
Kesadaran : Composmentis
Keadaanumum : Sakit berat
Kepala/ leher : Normocephali, rambut hitam/tidak teraba massa atau
KBG
Thoraks : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas : dalam batas normal
o Status Lokalis
2
Lokasi : Extremitas Atas dan Bawah, Thorakal, dan Mukosa
Orificum
Effloresensi : Erosi dan Krusta kehitaman
V. Diagnosis
Overlap SJS-TEN
3
Toxic Epidermal Necrolitic
VII. Penatalaksanaan
VIII. Prognosis
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.Definisi SJS
yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama
selaput mukosa. Juga ada versi efek samping ini yang lebih buruk, yang disebut sebagai
nekrolisis epidermis toksik (toxik epidermal necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium
serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-
Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-
Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, dr. Stevens
dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat
II.2.Etiologi SJS
Hampir semua kasus SJS dan TEN disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat,
terutama antibiotik (mis. obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin) dan obat nyeri,
termasuk yang dijual tanpa resep (mis. ibuprofen). Terkait HIV, alasan SJS yang paling
umum adalah nevirapine (hingga 1,5 persen penggunanya) dan kotrimoksazol (jarang).
5
Reaksi ini dialami segera setelah mulai obat, biasanya dalam 2-3 minggu (Adithan, 2006;
Siregar, 2004).
Berdasarkan kasus yang terdaftar dan diobservasi kejadian SJS terjadi 1-3 kasus per
satu juta penduduk setiap tahunnya. SSJ juga telah dilaporkan lebih sering terjadi pada ras
Kaukasia. Walaupun SJS dapat mempengaruhi orang dari semua umur, tampaknya anak
lebih rentan. Tampaknya juga perempuan sedikit lebih rentan daripada laki-laki (Siregar,
2004).
II.4.Patofisiologi SJS
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan
reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks
soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi
hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang
dimediasi oleh limfosit T yang spesifik. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi
dan glukosuriat
3. Kegagalan termoregulasi
5. Infeksi
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang dapat
berupa didahului panas tinggi, dan nyeri kontinyu. Erupsi timbul mendadak, gejala bermula
6
di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata, genitalia
sehingga terbentuk trias (stomatitis, konjunctivitis, dan uretritis). Gejala prodormal tidak
spesifik, dapat berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4
minggu tanpa sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan pada
selaput lendir, mulut dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus
yang berat penderita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai krusta
SJS dan TEN biasanya mulai dengan gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari
berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan
atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Kemudian
pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh, sering kali
kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar dan
meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah
Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus.
Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang. Daerah kulit yang
terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam.
7
Pada SJS dan TEN, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang melapisi
Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama
berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah
kulit yang rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab
Mengenal gejala awal SJS dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk
mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang
Ruam
8
Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh
tubuh.
Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna
merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada
utama.
Pada mata terjadi: konjungtivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam
iridosiklitis, simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat
terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera
tahun.
Bila kita mengalami dua atau lebih gejala ini, terutama bila kita baru mulai
9
Sindrom Steven Johnson
II.6.Diagnosis SJS
Diagnosa ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit,
mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi
berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung
biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik
biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya
normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat
meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks
imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa
10
2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Pada penyakit ini lesi kulit
ditandai dengan krusta yang mengelupas pada kulit. Biasanya mukosa terkena
(Siregar, 2004).
1. Pemeriksaan laboratorium :
b) Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang
normal atau leukositosis non spesifik, penurunan tajam kadar sel darah putih
e) Pemeriksaan elektrolit.
f) Kultur darah, urine, dan luka, diindikasikan ketika dicurigai terjadi infeksi.
2. Imaging studies :
II.9.Prognosis SJS
11
SJS dan TEN adalah reaksi yang gawat. Bila tidak diobati dengan baik, reaksi ini
dapat menyebabkan kematian, umumnya sampai 35 persen orang yang mengalami TEN dan
5-15 persen orang dengan SJS, walaupun angka ini dapat dikurangi dengan pengobatan yang
baik sebelum gejala menjadi terlalu gawat. Reaksi ini juga dapat menyebabkan kebutaan
total, kerusakan pada paru, dan beberapa masalah lain yang tidak dapat disembuhkan.
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam
waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai
komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi
purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan
Terdapat scoring yang digunakan untuk menilai prognosis dan tingkat keparahan
Faktor Skor
Prognostik
Usia >40 1
TAHUN
Denyut Nadi 1
>120x/menit
Kanker atau 1
keganasan hematologis
12
Luas permukaan 1
10%
Kadar BUN 27 1
mg/dl
Kadar 1
mEq/L
Kadar Glukosa 1
0-1 3.2
2 12.1
3 35.3
4 58.3
>5 90
II.10.Komplikasi SJS
13
Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut:
o Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina
o Pulmonari – pneumonia
o Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit
sekunder
Komplikasi awal yang mengenai mata dapat timbul dalam hitungan jam sampai
hari, dengan ditandai timbulnya konjungtivitis yang bersamaan pada kedua mata. Akibat
membranosa, yang dapat mengakibatkan sikatrik konjungtivitis. Pada komplilasi yang lebih
lanjut dapat menimbulkan perlukaan pada palpebra yang mendorong terjadinya ektropion,
yang dapat berakibat simblefaron dan ankyloblefaron. Defisiensi air mata sering
menyebabkan masalah dan hal tersebut sebagai tanda menuju ke fase komplikasi yang
terakhir. Yang mana komplikasi tersebut beralih dari komplikasi pada konjungtiva ke
komplikasi pada kornea dengan kelainan pada permukaan bola mata. Fase terakhir pada
komplikasi kornea meningkat dari hanya berupa pemaparan kornea sampai terjadinya
keratitis epitelial pungtata, defek epitelial yang rekuren, hingga timbulnya pembuluh darah
baru (neovaskularisasi pada kornea) yang dapat berujung pada kebutaan. Akhirnya bila daya
tahan tubuh penderita menurun ditambah dengan adanya kelainan akibat komplikasi-
14
komplikasi di atas akan menimbulkan komplikasi yang lebih serius seperti peradangan pada
kornea dan sklera. Peradangan atau infeksi yang tak terkontrol akan mengakibatkan
terjadinya perforasi kornea, endoftalmitis dan panoftalmitis yang pada akhirnya harus
II.11.Penatalaksanaan SJS
Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yang
dicurigai penyebab reaksi. Dengan tindakan ini, kita dapat mencegah keburukan. Orang
dengan SJS/TEN biasanya dirawat inap. Bila mungkin, pasien TEN dirawat dalam unit rawat
luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi. Pasien SJS
spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairan
dengan kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk mendorong kepulihan. Antibiotik
diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis. Obat nyeri,
misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman (Adithan, 2006; Siregar,
2004).
Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertama
memberi manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat ini
menekankan sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada
Pada umumnya penderita SJS datang dengan keadaan umum berat sehingga terapi
Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.
15
Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi
selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih
kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak
bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan,
nyawa.
Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat
(Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-
diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10
mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3,
4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam
proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS (Adithan, 2006; Siregar, 2004).
Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan dengan :
16
o Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis
setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan
o Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah terjadinya
17
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd edition. Bagian
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai
Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at:
www.jipmer.edu
Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita
Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson. In Ilmu Penyakit Mata. 3rd edition. Fakultas Kedokteran
Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd edition. EGC.
at a tertiary eye vare centre in South India. L V Prasad Eye Institute. 2002. Access
18
Done!!!
19