Anda di halaman 1dari 19

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IdentitasPasien

Nama : Ny. J

Umur : 26 Tahun

JenisKelamin : Perempuan

Pendidikan Terakhir : SMA

Pekerjaan : Wiraswasta

Suku : Jawa

TanggalKunjungan : 03 Juni 2017

Tempat : Bangsal Cut Nyak Din RSUD Arjawinangun

II. Anamnesis

 Keluhan Utama : Pasien datang dengan keluhan kulit yang mengelupas


pada tangan, kaki, dan badan sejak satu hari SMRS
 Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan kulit yang mengelupas
pada tangan, kaki, dan badan sejak satu hari SMRS. Keluhan disertai dengan rasa gatal
dan merasakan nyeri pada mulut. Pasien juga menyangkal adanya pandangan yang
buram. Sebelumnya tiga hari SMRS pasien mengeluh adanya demam, batuk pilek, dan
rasa pegal – pegal. Pasien menyangkal adanya diare dan nyeri menelan. Kurang lebih
sekitar satu minggu sebelumnya pasien meminum obat – obatan karena pasien merasa
demam.

1
 Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien tidak pernah mengalami hal yang sama
sebelumnya.
 Riwayat Pengobatan : Pasien mengaku sebelumnya meminum obat – obatan
seperti, amoxicillin dan asam mefenamat.
 RiwayatAlergi :Pasien tidak mengetahui mempunyai alergi.
 RiwayatPenyakitKeluarga :Pasien menyangkal mempunyai riwayat penyakit yang
sama di keluarga.

III. PemeriksaanFisik

o Status Generalis
 Kesadaran : Composmentis
 Keadaanumum : Sakit berat
 Kepala/ leher : Normocephali, rambut hitam/tidak teraba massa atau
KBG
 Thoraks : dalam batas normal
 Abdomen : dalam batas normal
 Ekstremitas : dalam batas normal

o Status Lokalis

2
 Lokasi : Extremitas Atas dan Bawah, Thorakal, dan Mukosa
Orificum
 Effloresensi : Erosi dan Krusta kehitaman

IV. Saran Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Biopsi Kulit


2. Pemeriksaan Darah Lengkap
3. Pemeriksaan Fungsi Hepar
4. Pemeriksaan Fungsi Ginjal
5. Pemeriksaan Elektrolit

V. Diagnosis

Overlap SJS-TEN

VI. Diagnosis Banding

3
Toxic Epidermal Necrolitic

VII. Penatalaksanaan

1. Infus dexamethason intravena 0.15 – 0.2 mg /kgBB/hari


2. Intravena Immunoglobulin
3. Antibiotik Intravena Klindamisin 2x600mg/hari
4. IVFD
5. Diet tinggi protein dan tinggi kalori

VIII. Prognosis

 Quo Ad vitam :dubia ad Bonam


 Quo Ad functionam :dubia ad Bonam
 Quo Ad sanationam :dubia ad Bonam

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

STEVEN JOHNSON SYNDROME

II.1.Definisi SJS

Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SJS, adalah reaksi buruk

yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama

selaput mukosa. Juga ada versi efek samping ini yang lebih buruk, yang disebut sebagai

nekrolisis epidermis toksik (toxik epidermal necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih

ringan, disebut sebagai eritema multiforme (EM) (Adithan,2006).

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi

mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium

serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-

Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-

kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.

Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, dr. Stevens

dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat

menentukan penyebabnya (Adithan,2006).

II.2.Etiologi SJS

Hampir semua kasus SJS dan TEN disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat,

terutama antibiotik (mis. obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin) dan obat nyeri,

termasuk yang dijual tanpa resep (mis. ibuprofen). Terkait HIV, alasan SJS yang paling

umum adalah nevirapine (hingga 1,5 persen penggunanya) dan kotrimoksazol (jarang).

5
Reaksi ini dialami segera setelah mulai obat, biasanya dalam 2-3 minggu (Adithan, 2006;

Siregar, 2004).

II.3.Faktor predisposisi SJS

Berdasarkan kasus yang terdaftar dan diobservasi kejadian SJS terjadi 1-3 kasus per

satu juta penduduk setiap tahunnya. SSJ juga telah dilaporkan lebih sering terjadi pada ras

Kaukasia. Walaupun SJS dapat mempengaruhi orang dari semua umur, tampaknya anak

lebih rentan. Tampaknya juga perempuan sedikit lebih rentan daripada laki-laki (Siregar,

2004).

II.4.Patofisiologi SJS

Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan

reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks

soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi

hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang

dimediasi oleh limfosit T yang spesifik. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi

kerusakan kulit sehingga terjadi (Carroll, 2001) :

1. Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan

2. Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia

dan glukosuriat

3. Kegagalan termoregulasi

4. Kegagalan fungsi imun

5. Infeksi

Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang dapat

berupa didahului panas tinggi, dan nyeri kontinyu. Erupsi timbul mendadak, gejala bermula

6
di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata, genitalia

sehingga terbentuk trias (stomatitis, konjunctivitis, dan uretritis). Gejala prodormal tidak

spesifik, dapat berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4

minggu tanpa sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan pada

selaput lendir, mulut dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus

yang berat penderita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai krusta

hemoragik (Ilyas, 2004).

II.5.Manifestasi klinis SJS

SJS dan TEN biasanya mulai dengan gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari

berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan

atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Kemudian

pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh, sering kali

kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar dan

meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah

dilepas bila digosok.

Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus.

Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang. Daerah kulit yang

terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam.

Pada beberapa orang, kuku dan rambut rontok (Adithan, 2006).

7
Pada SJS dan TEN, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang melapisi

mulut, tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata.

Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama

berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah

kulit yang rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab

kematian utama akibat TEN.

Mengenal gejala awal SJS dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk

mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang

mengalaminya. Gejala awal termasuk (Mansjoer, 2002) :

 Ruam

 Lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin

8
 Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh

tubuh.

 Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna

merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada

membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan

meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran

utama.

 Bengkak di kelopak mata, atau mata merah.

 Pada mata terjadi: konjungtivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam

kelopak mata dan bola mata), konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis,

iridosiklitis, simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat

terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera

mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular

cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang

menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya

ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31

tahun.

Bila kita mengalami dua atau lebih gejala ini, terutama bila kita baru mulai

memakai obat baru, segera periksa ke dokter.

9
Sindrom Steven Johnson

II.6.Diagnosis SJS

Diagnosa ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit,

mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi

berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung

pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik,

biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik

biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya

normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat

meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks

imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa

membantu diagnosa kasus-kasus atipik (Siregar, 2004; Adithan, 2006).

II.7.Diagnosis Banding SJS

Ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan sindroma Steven Johnson :

1. Toxic Epidermolysis Necroticans. Sindroma steven johnson sangat dekat dengan

7TEN. SJS dengan bula lebih dari 30% disebut TEN.

10
2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Pada penyakit ini lesi kulit

ditandai dengan krusta yang mengelupas pada kulit. Biasanya mukosa terkena

(Siregar, 2004).

II.8.Pemeriksaan penunjang SJS

1. Pemeriksaan laboratorium :

a) Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter dalam

diagnose selain pemeriksaan biopsy.

b) Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang

normal atau leukositosis non spesifik, penurunan tajam kadar sel darah putih

dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bacterial berat.

c) Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven Johnson

dengan panyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya.

d) Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah dalam urin.

e) Pemeriksaan elektrolit.

f) Kultur darah, urine, dan luka, diindikasikan ketika dicurigai terjadi infeksi.

g) Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan

kolonoskopi dapat dilakukan.

2. Imaging studies :

a. Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis.

3. Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dapat mendukung ditegakkannya

diagnose (Adithan, 2006).

II.9.Prognosis SJS

11
SJS dan TEN adalah reaksi yang gawat. Bila tidak diobati dengan baik, reaksi ini

dapat menyebabkan kematian, umumnya sampai 35 persen orang yang mengalami TEN dan

5-15 persen orang dengan SJS, walaupun angka ini dapat dikurangi dengan pengobatan yang

baik sebelum gejala menjadi terlalu gawat. Reaksi ini juga dapat menyebabkan kebutaan

total, kerusakan pada paru, dan beberapa masalah lain yang tidak dapat disembuhkan.

Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam

waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai

komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi

purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan

dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis (Adithan, 2006; Siregar, 2004).

Terdapat scoring yang digunakan untuk menilai prognosis dan tingkat keparahan

dari SSJ, yaitu sistem scoring SCORETEN.

Faktor Skor

Prognostik

Usia >40 1

TAHUN

Denyut Nadi 1

>120x/menit

Kanker atau 1

keganasan hematologis

12
Luas permukaan 1

tubuh yang terkena >

10%

Kadar BUN 27 1

mg/dl

Kadar 1

bikarbonat serum <20

mEq/L

Kadar Glukosa 1

Darah >250 mg/dl

SCORTEN MORTALITAS (%)

0-1 3.2

2 12.1

3 35.3

4 58.3

>5 90

II.10.Komplikasi SJS

13
Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut:

o Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan

o Gastroenterologi - Esophageal strictures

o Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina

o Pulmonari – pneumonia

o Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit

sekunder

o Infeksi sitemik, sepsis

o Kehilangan cairan tubuh, shock (Mansjoer, 2002).

Komplikasi awal yang mengenai mata dapat timbul dalam hitungan jam sampai

hari, dengan ditandai timbulnya konjungtivitis yang bersamaan pada kedua mata. Akibat

adanya perlukaan di konjungtiva dapat menyebabkan pseudomembran atau konjungtivitis

membranosa, yang dapat mengakibatkan sikatrik konjungtivitis. Pada komplilasi yang lebih

lanjut dapat menimbulkan perlukaan pada palpebra yang mendorong terjadinya ektropion,

entropion, trikriasis dan lagoftalmus. Penyembuhan konjungtiva meninggalkan perlukaan

yang dapat berakibat simblefaron dan ankyloblefaron. Defisiensi air mata sering

menyebabkan masalah dan hal tersebut sebagai tanda menuju ke fase komplikasi yang

terakhir. Yang mana komplikasi tersebut beralih dari komplikasi pada konjungtiva ke

komplikasi pada kornea dengan kelainan pada permukaan bola mata. Fase terakhir pada

komplikasi kornea meningkat dari hanya berupa pemaparan kornea sampai terjadinya

keratitis epitelial pungtata, defek epitelial yang rekuren, hingga timbulnya pembuluh darah

baru (neovaskularisasi pada kornea) yang dapat berujung pada kebutaan. Akhirnya bila daya

tahan tubuh penderita menurun ditambah dengan adanya kelainan akibat komplikasi-

14
komplikasi di atas akan menimbulkan komplikasi yang lebih serius seperti peradangan pada

kornea dan sklera. Peradangan atau infeksi yang tak terkontrol akan mengakibatkan

terjadinya perforasi kornea, endoftalmitis dan panoftalmitis yang pada akhirnya harus

dilakukan eviserasi dan enukleasi bola mata (Viswanadh, 2002)

II.11.Penatalaksanaan SJS

Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yang

dicurigai penyebab reaksi. Dengan tindakan ini, kita dapat mencegah keburukan. Orang

dengan SJS/TEN biasanya dirawat inap. Bila mungkin, pasien TEN dirawat dalam unit rawat

luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi. Pasien SJS

biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan

spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairan

dengan kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk mendorong kepulihan. Antibiotik

diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis. Obat nyeri,

misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman (Adithan, 2006; Siregar,

2004).

Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SJS/TEN.

Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertama

memberi manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat ini

menekankan sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada

Odha dengan sistem kekebalan yang sudah lemah.

Pada umumnya penderita SJS datang dengan keadaan umum berat sehingga terapi

yang diberikan biasanya adalah :

 Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.

15
 Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi

kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.

 Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian

selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih

kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak

bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan,

namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan

nyawa.

 Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat

(Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-

12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat

diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10

mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.

 Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.

 Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.

 Lesi mulut diberi kenalog in orabase.

 Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi,

berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya

klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.

 Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3,

4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam

proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS (Adithan, 2006; Siregar, 2004).

Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan dengan :

16
o Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis

setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan

pada bola mata.

o Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah terjadinya

perlekatan konjungtiva (Sharma, 2006)

17
DAFTAR PUSTAKA

Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd edition. Bagian

Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2002. p:139-142

Wijana, N. Konjungtiva. In Ilmu Penyakit Mata.1993. hal 40-41.

Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1. Departement of

Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at:

www.jipmer.edu

Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita

Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139

Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson. In Ilmu Penyakit Mata. 3rd edition. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Jakarta. 2004. Hal 135-136.

Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd edition. EGC.

Jakarta. 2004. hal 141-142.

Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced hypersensitivity syndrome in

pediatric patients. Pediatrics 2001; 108 : 485-92.

Sharma, V.K. : Proposed IADVL Consensus Guidelines 2006: Management of Stevens-

Johnson Syndrome ( SJS) and Toxic Epidermal Necrolysis ( TEN). IADVL.2006

Viswanadh, B. : Ophthalmic complications and management of Steven Johnson syndrome

at a tertiary eye vare centre in South India. L V Prasad Eye Institute. 2002. Access

on : June 22, 2008. Available at : www.indianjournalofophthalmology.com

18
Done!!!

19

Anda mungkin juga menyukai