Disusun Oleh :
Andhika Jaya Saputra 1608062191
Leliani Fitri Anggraini 1608062164
Endang Wulan Sari 1608062157
Nadia Utami Noor 1608062177
Gita Ayu Aprianti 1608062179
Nita Dwi Indriani 1608062208
Nurul Muthmainnah 1608062226
Wistari Manoppo 1608062282
i
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
FARMASI RUMAH SAKIT
di
RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO
1 Agustus – 30 September 2017
Disetujui Oleh:
Ginanjar Zukhruf Saputri, M.Sc., Apt Widi Warindra R.S., S.Farm., Apt.
Mengetahui,
Ketua Program Studi Profesi Apoteker
Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan
ii
KATA PENGANTAR
iii
Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan ini jauh dari kesempurnaan
dan tidak lepas dari kesalahan. Oleh karena hal tersebut, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan laporan ini.
Harapan kami, semoga laporan ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan khususnya di bidang kefarmasian dan menjadi bekal untuk
pengabdian profesi Apoteker. Terima kasih.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
LAPORAN i
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI v
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR LAMPIRAN x
DAFTAR SINGKATAN xi
BAB I
PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Kompetensi Farmasi di Rumah Sakit 4
C. Tujuan PKPA 4
D. Pelaksanaan PKPA di Rumah Sakit 5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 6
A. Rumah Sakit 6
B. Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit 20
C. Instalasi Farmasi di Rumah Sakit 47
D. Manajemen Pendukung 51
BAB III
TINJAUAN UMUM RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO 59
A. Falsafah, Visi, Misi, dan Tujuan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto 59
B. Struktur Organisasi RSUD Prof.Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
60
C. Akreditasi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto 62
D. Komite Medik RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto 62
E. Tim Farmasi dan Terapi 64
F. Instalasi Farmasi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
66
BAB IV
KEGIATAN PKPA DAN PEMBAHASAN 73
A. Administrasi Instalasi Farmasi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
73
B. Unit Produksi Perbekalan Farmasi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
73
C. Perbekalan Logistik Gudang Sediaan Farmasi RSUD Prof. Dr. Margono
Soekarjo 75
D. Depo Farmasi Rawat Jalan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo 90
E. Depo Farmasi Rawat Inap RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo 106
F. Depo Farmasi Instalasi Maternal Perinatal (IMP) RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo 113
G. Depo Farmasi Instalasi Gawat Darurat RSUD Prof. Dr. Margono
Soekarjo 117
H. Depo Farmasi Intensive RSUD Prof. Margono Soekarjo 125
I. Depo Farmasi Bedah Sentral RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
146
J. Farmasi Klinik 150
K. Pelayanan Informasi Obat 181
L. Central Sterilization Supply Departement (CSSD) RSUD Prof.Dr.
Margono Soekarjo 184
M.Quality Assurance RSUD Prof.Dr. Margono Soekarjo 187
BAB V 201
PENUTUP 201
A. Kesimpulan201
B. Saran 202
DAFTAR PUSTAKA 203
LAMPIRAN 208
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
A. Latar Belakang
Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk
pencegahan penyakit (preventif), peningkatan kesehatan (promotif), pengobatan
penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) oleh pemerintah
dan/atau masyarakat. Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur,
menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh
masyarakat melalui fasilitas pelayanan kesehatan (Anonim, 2009a).
Rumah Sakit adalah institusi kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat Sesuai dengan UU RI No.
44 Tahun 2009 Rumah Sakit (Anonim, 2009b). Rumah sakit merupakan salah
satu dari sarana kesehatan yang menjadi rujukan pelayanan kesehatan dengan
fungsi utama menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan
dan pemulihan bagi pasien. Rumah sakit juga merupakan sarana yang
menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan yang berfungsi sebagai
tempat pendidikan bagi tenaga kesehatan dan kegiatan penelitian (Anonim,
2009b).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 Tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit mengatakan bahwa pelayanan
kefarmasian di Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang berorientasi kepada pelayanan
pasien, penyediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk
pelayanan farmasi klinik (Depkes, 2016).
Apoteker adalah tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan dalam bidang kefarmasian sehingga berperan penting dalam
1
pelayanan farmasi pada khususnya. Apoteker dalam melaksanakan kegiatan
pelayanan kefarmasian tersebut juga harus mempertimbangkan faktor risiko
yang terjadi yang disebut dengan manajemen risiko. Apoteker bertanggung
jawab terhadap pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai di Rumah Sakit serta memastikan kualitas, manfaat, dan
keamanannya. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai merupakan suatu siklus kegiatan, dimulai dari pemilihan,
perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan,
pendistribusian, pemusnahan dan penarikan, pengendalian, dan administrasi
yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan kefarmasian (Depkes,2016). Selain
itu tugas Apoteker di rumah sakit yakni melakukan pengkajian dan pelayanan
resep, penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat, Pelayanan
Informasi Obat (PIO), konseling, visite, Pemantauan Terapi Obat (PTO),
Monitoring Efek Samping Obat (MESO), Evaluasi Penggunaan Obat (EPO),
dispensing sediaan steril dan Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD).
Kegiatan tersebut harus didukung oleh sumber daya manusia, sarana, dan
peralatan (Depkes,2016).
Pelatihan bagi para calon Apoteker menjadi suatu hal yang mutlak
sebelum berhadapan langsung dengan masyarakat, yaitu melaksanakan Praktek
Kerja Profesi Apoteker (PKPA). Berkaitan dengan hal tersebut maka dalam
kurikulum pendidikan program profesi Apoteker, PKPA menjadi salah satu
mata kuliah yang sangat penting guna mempersiapkan mahasiswa calon
Apoteker menjadi Apoteker yang siap menjalankan perannya sebagai farmasis,
tidak hanya di bidang manajerial saja tetapi juga di bidang fungsional secara
profesional. Calon Apoteker dalam pelaksanaan PKPA diharapkan dapat
menerapkan teori yang pernah diperoleh selama pendidikan formal untuk
diimplementasikan di dalam dunia kerja sehingga menjadi Apoteker yang
kompeten.
2
B. Kompetensi Farmasi di Rumah Sakit
Apoteker yang bekerja di instalasi farmasi rumah sakit harus memenuhi
syarat kompetensi dasar Apoteker Indonesia secara umum, yang meliputi (IAI,
2011):
1. Mampu melakukan praktik kefarmasian secara professional dan etik
2. Mampu menyelesaikan masalah terkait dengan penggunaan sediaan farmasi
3. Mampu melakukan dispensing sediaan farmasi dan alat kesehatan
4. Mampu memformulasi dan memproduksi sediaan farmasi dan alat
kesehatan sesuai standar yang berlaku
5. Mempunyai ketrampilan komunikasi dalam pemberian informasi sediaan
farmasi dan alat kesehatan
6. Mampu berkontribusi dalam upaya preventif dan promotif kesehatan
masyarakat
7. Mampu mengelola sediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai standar yang
berlaku
8. Mempunyai ketrampilan organisasi dan mampu membangun hubungan
interpersonal dalam melakukan praktik professional kefarmasian
9. Mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
berhubungan dengan kefarmasian.
C. Tujuan PKPA
Setelah pelaksanaan PKPA, mahasiswa calon Apoteker diharapkan
mampu:
1. Mengetahui peran, fungsi, dan tanggung jawab Apoteker dalam pelayanan
kefarmasian di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto (RSMS).
2. Mengetahui pengelolaan perbekalan farmasi di RSUD Prof. Dr. Margono
Soekarjo Purwokerto (RSMS).
3. Mengetahui peran Apoteker dalam Panitia Farmasi dan Terapi (PFT)
khususnya dalam seleksi obat di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto (RSMS).
4. Mengetahui proses pelaksanaan farmasi klinik yang telah dilakukan di
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto (RSMS).
4
5. Mengetahui sistem distribusi perbekalan farmasi di RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto (RSMS).
6. Mengembangkan keterampilan berkomunikasi dengan pasien, keluarga
pasien dan tenaga kesehatan lainnya.
7. Memahami konsep pharmaceutical care dan penerapannya dalam pelayanan
kepada pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
A. Rumah Sakit
1. Peraturan Perundangan Sebagai Dasar Rumah Sakit
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2009
Pasal 1 tentang Rumah Sakit dan PMK No. 72 Tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit Pasal 1 Rumah Sakit adalah
institusi pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat
dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu
pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi
masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih
bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya. Dalam rangka peningkatan mutu dan jangkauan
pelayanan Rumah Sakit serta pengaturan hak dan kewajiban masyarakat
dalam memperoleh pelayanan kesehatan, perlu mengatur Rumah Sakit
dengan Undang-Undang (Anonim, 2009b).
Adapun peraturan yang mengatur mengenai rumah sakit adalah :
a. Permenkes RI No. 1045/Menkes/Per/XI/2006 tentang Struktur Organisasi
Rumah Sakit.
b. Peraturan Menteri Kesehatan No. 56 Tahun 2014 Tentang klasifikasi dan
Perizinan Rumah Sakit.
c. Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 Tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
d. Undang-Undang RI No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
e. Permenkes RI No. 69 Tahun 2014 Tentang Kewajiban Rumah Sakit dan
Kewajiban Pasien.
f. Perpres RI No. 77 Tahun 2015 Tentang Pedoman Organisasi Rumah
Sakit.
g. Permenkes RI No. 34 tahun 2017 Tentang Akreditasi Rumah Sakit.
h. Permenkes RI No. 24 Tahun 2016 Tentang Persyaratan Teknis
Bangunan dan Prasarana Rumah Sakit.
6
2. Definisi Rumah Sakit
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.72 tahun 2016 tentang
standar pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit, Rumah sakit adalah institusi
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat
jalan, dan gawat darurat. (Anonim, 2009b).
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2009
rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna. Guna melaksanakan tugasnya, rumah sakit mempunyai
berbagai fungsi, yaitu:
a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit;
b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan
medis;
c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan;
dan
d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangkapeningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan; umum dan
keuangan.
7
Pelayanan medik paling sedikit terdiri dari: pelayanan gawat
darurat (harus diselenggarakan selama 24 jam sehari secara terus
menerus); pelayanan medik spesialis dasar (meliputi pelayanan
penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, dan obstetri dan ginekologi);
pelayanan medik spesialis penunjang (meliputi pelayanan
anastesiologi, radiologi, patologi klinik, patologi anatomi, dan
rehabilitasi medik); pelayanan medik spesialis lain (meliputi pelayanan
mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah,
kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah
syaraf, bedah plastik, dan kedokteran forensik); pelayanan medik
subspesialis (meliputi pelayanan subspesialis di bidang spesialisasi
bedah, penyakit dalam, kesehatan anak, obstretri dan ginekologi,
mata, telinga hidung dan tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh
darah kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi,
bedah syaraf, bedah plastik dan gigi mulut); dan pelayanan medik
spesialis gigi dan mulut (meliputi pelayanan bedah mulut,
konservasi/endodonsi, periodonti, orthodonti, prosthodonti, pedodonsi,
dan penyakit mulut). Pelayanan kefarmasian meliputi pengelolaan
sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, dan
pelayanan farmasi klinik.
Pelayanan rawat inap harus dilengkapi dengan fasilitas sebagai
berikut:
a) Jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 30% (tiga
puluh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit Milik
Pemerintah;
b) Jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 20% (dua
puliuh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit Milik
Swasta;
c) Jumlah tempat tidur perawatan intensif sebanyak 5% (lima persen)
dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit MIlik Pemerintah dan
Rumah Sakit Milik Swasta.
Sumber Daya Manusia (SDM) Rumah Sakit Umum kelas A untuk
8
tenaga kefarmasian terdiri atas sebagai berikut: paling sedikit terdiri
atas: 1 (satu) Apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit, 5
(lima) Apoteker yang bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling
sedikit 10 (sepuluh) tenaga teknis kefarmasian, 5 (lima) Apoteker di
rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 10 (sepuluh) tenaga teknis
kefarmasian, 1 (satu) Apoteker di instalasi gawat darurat yang dibantu
oleh minimal 2 (dua) tenaga teknis kefarmasian, 1 (satu) Apoteker di
ruang ICU yang dibantu oleh paling sedikit 2 (dua) tenaga teknis
kefarmasian, 1 (satu) Apoteker sebagai koordinator penerimaan dan
distribusi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik
di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis
kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja
pelayanan kefarmasian Rumah Sakit, dan 1 (satu) Apoteker sebagai
koordinator produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan
farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga
teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja
pelayanan kefarmasian Rumah Sakit.
2) Rumah Sakit Umum Kelas B
Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum kelas B paling
sedikit meliputi : pelayanan medik, pelayanan kefarmasian, pelayanan
keperawatan dan kebidanan, pelayanan penunjang klinik, pelayanan
penunjang nonklinik dan pelayanan rawat inap.
Pelayanan medik paling sedikit terdiri dari: pelayanan gawat
darurat (harus diselenggarakan selama 24 jam sehari secara terus
menerus); pelayanan medik spesialis dasar (meliputi pelayanan
penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, dan obstetri dan ginekologi),
pelayanan medik spesialis penunjang (meliputi pelayanan
anastesiologi, radiologi, patologi klinik, patologi anatomi, dan
rehabilitasi medik), pelayanan medik spesialis lain (paling sedikit
berjumlah 8 dari 13 pelayanan yang meliputi: pelayanan mata, telinga
hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan
9
kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah syaraf,
bedah plastik, dan kedokteran forensik), pelayanan medik subspesialis
(paling sedikit berjumlah 2 pelayanan subspesialis dari 4 pelayanan
subspesialis yang meliputi pelayanan subspesialis di bidang
spesialisasi bedah, penyakit dalam, kesehatan anak, obstretr dan
ginekologi, mata, telinga hidung dan tenggorokan, syaraf, jantung dan
pembuluh darah kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi,
urologi, bedah syaraf, bedah plastik dan gigi mulut), dan pelayanan
medik spesialis gigi dan mulut (paling sedikit berjumlah 3 pelayanan
yang meliputi pelayanan bedah mulut, konservasi/endodonsi,
periodonti, orthodonti, prosthodonti, pedodonsi, dan penyakit mulut).
Pelayanan kefarmasian meliputi pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan bahan medis habis pakai, dan pelayanan farmasi klinik.
Pelayanan rawat inap harus dilengkapi dengan fasilitas sebagai
berikut:
a) Jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 30% (tiga
puluh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit Milik
Pemerintah.
b) Jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 20% (dua
puliuh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit Milik
Swasta.
c) Jumlah tempat tidur perawatan intensif sebanyak 5% (lima persen)
dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit MIlik Pemerintah dan
Rumah Sakit Milik Swasta.
Sumber Daya Manusia (SDM) Rumah Sakit Umum kelas B untuk
tenaga kefarmasian terdiri atas sebagai berikut:, paling sedikit terdiri
atas: 1 (satu) Apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit, 4
(empat) Apoteker yang bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh
paling sedikit 8 (delapan) tenaga teknis kefarmasian, 4 (empat)
Apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 8 (delapan)
tenaga teknis kefarmasian, 1 (satu) Apoteker di instalasi gawat darurat
yang dibantu olehminimal 2 (dua) tenaga teknis kefarmasian, 1 (satu)
10
Apoteker di ruang ICU yang dibantu oleh paling sedikit 2 (dua) tenaga
teknis kefarmasian; 1 (satu) Apoteker sebagai koordinator penerimaan
dan distribusi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi
klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis
kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja
pelayanan kefarmasian Rumah Sakit; dan 1 (satu) Apoteker sebagai
koordinator produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan
farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga
teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja
pelayanan kefarmasian Rumah Sakit.
3) Rumah Sakit Umum Kelas C
Pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit Umum kelas C paling
sedikit meliputi : pelayanan medik, pelayanan kefarmasian, pelayanan
keperawatan dan kebidanan, pelayanan penunjang klinik, pelayanan
penunjang nonklinik dan pelayanan rawat inap.
Pelayanan medik paling sedikit terdiri dari: pelayanan gawat
darurat (harus diselenggarakan selama 24 jam sehari secara terus
menerus); pelayanan medik umum (meliputi pelayanan medik dasar,
medik gigi mulut, kesehatan ibu dan anak dan keluarga berencana);
pelayanan medik spesialis dasar (meliputi pelayanan penyakit dalam,
kesehatan anak, bedah, dan obstetri dan ginekologi); pelayanan medik
spesialis penunjang (meliputi pelayanan anastesiologi, radiologi, dan
patologi klinik); pelayanan medik spesialis gigi dan mulut (paling
sedikit berjumlah 1 pelayanan). Pelayanan kefarmasian meliputi
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis
pakai, dan pelayanan farmasi klinik.
Pelayanan rawat inap harus dilengkapi dengan fasilitas sebagai
berikut:
a) Jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 30% (tiga
puluh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit Milik
Pemerintah;
11
b) Jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 20% (dua
puliuh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit Milik
Swasta;
c) Jumlah tempat tidur perawatan intensif sebanyak 5% (lima persen)
dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit Milik Pemerintah dan
Rumah Sakit Milik Swasta.
Sumber Daya Manusia (SDM) Rumah Sakit Umum kelas C untuk
tenaga kefarmasian terdiri atas sebagai berikut: paling sedikit terdiri
atas : 1 (satu) Apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit;
2 (dua) Apoteker yang bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling
sedikit 4 (empat) tenaga teknis kefarmasian; 4 (empat) Apoteker di
rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 8 (delapan) tenaga teknis
kefarmasian; 1 (satu) Apoteker sebagai koordinator penerimaan,
distribusi dan produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan
farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga
teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja
pelayanan kefarmasian Rumah Sakit.
4) Rumah Sakit Umum Kelas D
Rumah Sakit Umum Kelas D diklasifikasikan menjadi Rumah
Sakit Umum Kelas D dan Rumah Sakit Umum Kelas D Pratama.
Untuk pelayanan Rumah Sakit Umum Kelas D, pelayanan yang
diberikan oleh Rumah Sakit Umum kelas D paling sedikit meliputi:
pelayanan medik, pelayanan kefarmasian, pelayanan keperawatan dan
kebidanan, pelayanan penunjang klinik, pelayanan penunjang
nonklinik dan pelayanan rawat inap.
Pelayanan medik paling sedikit terdiri dari: pelayanan gawat
darurat (harus diselenggarakan selama 24 jam sehari secara terus
menerus), pelayanan medik umum (meliputi pelayanan medik dasar,
medik gigi mulut, kesehatan ibu dan anak dan keluarga berencana),
pelayanan medik spesialis dasar (paling sedikit dua yang meliputi
pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, dan obstetri dan
ginekologi), pelayanan medik spesialis penunjang (meliputi pelayanan
12
radiologi dan laboratorium). Pelayanan kefarmasian meliputi
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis
pakai, dan pelayanan farmasi klinik.
Pelayanan rawat inap harus dilengkapi dengan fasilitas sebagai
berikut:
a) Jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 30% (tiga
puluh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit Milik
Pemerintah;
b) Jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 20% (dua
puliuh persen) dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit Milik
Swasta;
c) Jumlah tempat tidur perawatan intensif sebanyak 5% (lima persen)
dari seluruh tempat tidur untuk Rumah Sakit MIlik Pemerintah dan
Rumah Sakit Milik Swasta.
Sumber Daya Manusia (SDM) Rumah Sakit Umum kelas D untuk
tenaga kefarmasian terdiri atas sebagai berikut: paling sedikit terdiri
atas : 1 (satu) Apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit;
1 (satu) Apoteker yang bertugas di rawat inap dan rawat jalan yang
dibantu oleh paling sedikit 2 (dua) tenaga teknis kefarmasian; 1 (satu)
Apoteker sebagai koordinator penerimaan, distribusi dan produksi
yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat
inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang
jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian
Rumah Sakit. .
Rumah Sakit Umum Kelas D Pratama hanya dapat didirikan dan
diselenggarakan di daerah tertinggal, perbatasan, atau kepulauan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Rumah Sakit Umum
kelas D pratama dapat juga didirikan di kabupaten/kota, apabila
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) Belum tersedia Rumah Sakit di kabupaten atau kota yang
bersangkutan.
13
b) Rumah Sakit yang telah beroperasi di kabupaten/kota yang
bersangkutan kapasitasnya belum mencukupi.
c) Lokasi Rumah Sakit yang telah beroperasi sulit dijangkau secara
geografis oleh sebagian penduduk di kabupaten atau kota yang
bersangkutan.
b. Klasifikasi Rumah Sakit Khusus
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 56 Tahun 2014, Rumah
sakit khusus harus mempunyai fasilitas dan kemampuan, paling sedikit
meliputi:
1) Pelayanan yang diselenggarakan meliputi:
a) Pelayanan medik, paling sedikit terdiri dari: pelayanan gawat
darurat, tersedia 24 (dua puluh empat) jam sehari terus menerus
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; pelayanan
medik umum; pelayanan medik spesialis dasar sesuai dengan
kekhususan; pelayanan medik spesialis dan/atau subspesialis sesuai
kekhususan; pelayanan medik spesialis penunjang
b) Pelayanan Kefarmasian
c) Pelayanan keperawatan
d) Pelayanan Penunjang Klinik
e) Pelayanan penunjang nonklinik
2) Sumber daya manusia untuk tenaga kefarmasian, paling sedikit terdiri
dari: kualifikasi Apoteker dan tenaga tekhnis kefarmasian dengan
jumlah yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan kefarmasian rumah
sakit (Depkes, 2014b).
14
Perpres RI No. 77 Tahun 2015 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit,
organisasi Rumah Sakit paling sedikit terdiri atas:
a. Kepala Rumah Sakit atau direktur Rumah Sakit
b. Unsur pelayanan medis
c. Unsur keperawatan
d. Unsur penunjang medis
e. Unsur administrasi umum dan keuangan
f. Komite medis
g. Satuan pemeriksaan internal (Anonim, 2015).
15
2. Akreditasi tingkat dasar : jika dari 15 bab yang disurvei hanya 4
bab yang mendapat nilai minimal 80% dan 11 bab lainnya tidak ada
yang mendapat nilai dibawah 20%.
3. Akreditasi tingkat madya : jika dari 15 bab yang disurvei ada 8 bab
yang mendapat nilai minimal 80% dan 7 bab lainnya tidak ada
yang mendapat nilai dibawah 20%.
4. Akreditasi tingkat utama : jika dari 15 bab yang disurvei ada 12
bab yang mendapat nilai minimal 80% dan 3 bab lainnya tidak ada
yang mendapat nilai dibawah 20%.
5. Akreditasi tingkat paripurna : jika dari 15 bab yang disurvei semua
bab mendapat nilai minimal 80%.
b. Rumah Sakit Pendidikan
1. Tidak lulus : jika 16 bab yang disurvei, semua mendapat nilai
kurang dari 60%. Jika Rumah Sakit tidak lulus akreditasi, dapat
mengajukan akreditasi ulang setelah rekomendasi dari surveior
dilaksanakan.
2. Akreditasi tingkat dasar : jika dari 16 bab yang disurvei hanya 4
bab, dimana salah satu babnya adalah institusi pendidikan
pelayanan kesehatan mendapat nilai minimal 80% dan 12 bab
lainnya tidak ada yang mendapat nilai dibawah 20%.
3. Akreditasi tingkat madya : jika dari 16 bab yang disurvei ada 8 bab,
dimana salah satu babnya adalah institusi pendidikan pelayanan
kesehatan mendapat nilai minimal 80% dan 8 bab lainnya tidak ada
yang mendapat nilai dibawah 20%.
4. Akreditasi tingkat utama : jika dari 16 bab yang disurvei ada 12
bab, dimana salah satu babnya adalah institusi pendidikan
pelayanan kesehatan mendapat nilai minimal 80% dan 4 bab
lainnya tidak ada yang mendapat nilai dibawah 20%.
5. Akreditasi tingkat paripurna : jika dari 16 bab yang disurvei semua
bab mendapat nilai minimal 80%.
16
B. Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 Tahun 2014 menyatakan
bahwa pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang berorientasi
kepada pelayanan pasien, penyediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan
masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik (Depkes, 2016).
Apoteker sekarang dituntut untuk meningatkan kompetensi yang
meliputi pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku langsung dengan pasien.
Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah melaksakan pemberian informasi
obat, monitoring penggunaan obat, dan hasil akhir yang sesuai harapan, serta
terdokumentasi dengan baik. Apoteker harus memahami dan menyadari
kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam
proses pekerjaan kefarmasian, sehingga dalam menjalankan praktik harus
sesuai dengan standar yang ada. Apoteker juga harus mampu berkomunikasi
dengan tenaga kesehatan lainnya dalam penetapan terapi untuk mendukung
penggunaan obat yanag rasional (Depkes, 2016).
Dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
dinyatakan bahwa Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan,
prasarana, sumber daya manusia, kefarmasian, dan peralatan. Persyaratan
kefarmasian harus menjamin ketersediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai yang bermutu, bermanfaat, aman, dan terjangkau.
Selain itu, pelayanan sediaan farmasi di Rumah Sakit harus mengikuti standar
pelayanan kefarmasian yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan
(Anonim, 2009b).
Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan baha medis habis
pakai harus dilaksanakan secara multidisiplin, terkoordinir dan menggunakan
proses yang efektif untuk menjamin kendali mutu dan kendali biaya.
Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan baha medis habis pakai di
Rumah Sakit harus dilakukan oleh Instalasi Farmasi satu pintu. Alat kesehatan
yang dikelola oleh Instalasi Farmasi Satu Pintu berupa alat medis habis
17
pakai/peralatan non elektromedik, antara lain alat kontrsepsi (IUD), alat pacu
jantung, implan, dan Stent (Depkes, 2016).
Pelayanan farmasi dengan sistem satu pintu adalah satu kebijakan
kefarmasian termasuk pembuatan formularium, pengadaan, dan pendistribusian
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang bertujuan
untuk mengutamakan kepentingan pasien melalui Instalasi Farmasi Rumah
Sakit. Dengan demikian semua sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai yang beredar di Rumah Sakit merupakan tanggung jawab
Instalasi Farmasi Rumah Sakit, sehingga tidak ada pengelolaan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai di Rumah Sakit yang
dilaksanakan selain oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit (Depkes, 2016).
Pengorganisasian Instalasi Farmasi harus mencakup penyelenggaraan
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai,
pelayanan farmasi klinik dan manajemen mutu, dan bersifat dinamis dapat
direvisi sesuai kebutuhan dengan tetap menjaga mutu. Tugas Instalasi Farmasi,
meliputi:
1. Menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh
kegiatan Pelayanan Kefarmasian yang optimal dan profesional serta sesuai
prosedur dan etik profesi.
2. Melaksanakan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai yang efektif, aman, bermutu dan efisien.
3. Melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai guna memaksimalkan efek terapi
dan keamanan serta meminimalkan risiko.
4. Melaksanakan Komunikasi, Edukasi dan Informasi (KIE) serta memberikan
rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien.
5. Berperan aktif dalam Komite/Tim Farmasi dan Terapi.
6. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan pelayanan
kefarmasian.
7. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan
formularium Rumah Sakit (Depkes, 2016).
18
Dengan kebijakan pengelolaan sistem satu pintu pula, Instalasi Farmasi
sebagai satu-satunya penyelenggara pelayanan kefarmasian, sehingga Rumah
Sakit akan mendapatkan manfaat dalam hal :
1. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian penggunaan sediaan farmasi,
alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai.
2. Standarisasi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai.
3. Penjaminan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai.
4. Pengendalian harga sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai.
5. Pemantauan terapi Obat.
6. Penurunan risiko kesalahan terkait penggunaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai (keselamatan pasien).
7. Kemudahan akses data sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai yang akurat.
8. Peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit dan citra Rumah Sakit.
9. Peningkatan pendapatan Rumah Sakit dan peningkatan kesejahteraan
pegawai (Depkes, 2016).
Rumah Sakit harus menyusun kebijakan terkait manajemen pengunaan
obat yang efektif. Kebijakan tersebut harus ditinjau ulang sekurang-kurangnya
sekali setahun. Peninjauan ulang sangat membantu Rumah Sakit memahami
kebutuhan dan prioritas dari perbaikan sistem mutu dan keselamatan
penggunaan obat yang berkelanjutan. Rumah Sakit perlu mengembangkan
kebijakan pengelolaan obat untuk meningkatkan keamanan, khususnya obat
yang perlu diwaspadai (high-alert medication) (Depkes, 2016).
High-alert medication adalah obat yang harus diwaspadai karena sering
menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan serius (sentinel event) dan obat yang
berisiko tinggi menyebabkan Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan (ROTD).
Kelompok obat high-alert diantaranya:
1. Obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan
Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Sound Alike/LASA).
2. Elektrolit konsentrasi tinggi (misalnya kalium klorida 2meq/ml atau yang
lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0,9%, dan
magnesium sulfat = 50% atau lebih pekat).
19
3. Obat-obat sitostatika.
Kegiatan pelayanan farmasi di Rumah Sakit, meliputi pengelolaan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai (pengelolaan
perbekalan farmasi) dan pelayanan farmasi klinik (Depkes, 2016).
1. Pengelolaan Perbekalan Farmasi
a. Pemilihan/Seleksi
Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan
kebutuhan. Pemilihan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai ini berdasarkan:
1) Formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi
2) Standar sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
yang telah ditetapkan
3) Pola penyakit
4) Efektifitas dan keamanan
5) Pengobatan berbasis bukti
6) Mutu
7) Harga
8) Ketersediaan di pasaran
Formularium Rumah Sakit disusun mengacu kepada Formularium
Nasional. Formularium Rumah Sakit merupakan daftar obat yang
disepakati staf medis, disusun oleh Tim Farmasi dan Terapi (TFT) yang
ditetapkan oleh Pimpinan Rumah Sakit. Formularium Rumah Sakit harus
tersedia untuk semua penulis resep, pemberi obat, dan penyedia obat di
Rumah Sakit. Evaluasi terhadap formularium Rumah Sakit harus secara
rutin dan dilakukan revisi sesuai kebijakan dan kebutuhan Rumah Sakit.
Penyusunan dan revisi formularium Rumah Sakit dikembangkan
berdasarkan pertimbangan terapetik dan ekonomi dari penggunaan obat
agar dihasilkan formularium Rumah Sakit yang selalu mutakhir dan
dapat memenuhi kebutuhan pengobatan yang rasional (Depkes, 2016).
Kriteria pemilihan obat untuk masuk formularium Rumah Sakit:
20
1) Mengutamakan penggunaan obat generik.
2) Memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio) yang paling
menguntungkan penderita.
3) Mutu terjamin, termasuk stabilitas dan bioavailabilitas.
4) Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan.
5) Praktis dalam penggunaan dan penyerahan.
6) Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh pasien.
7) Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi
berdasarkan biaya langsung dan tidak lansung.
8) Obat lain yang terbukti paling efektif secara ilmiah dan aman
(evidence based medicines) yang paling dibutuhkan untuk pelayanan
dengan harga yang terjangkau (Depkes, 2016).
Pemilihan obat di rumah sakit merujuk pada Formularium
Nasional (FORNAS) dan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN).
Sedangkan pemilihan alat kesehatan di rumah sakit dapat berdasarkan
dari data pemakaian sebelumnya, standar ISO, daftar harga alat, daftar
alat kesehatan yang dikeluarkan oleh Ditjen Binfar dan Alkes, serta
spesifikasi yang ditetapkan oleh rumah sakit (Depkes, 2008a).
b. Perencanaan Kebutuhan
Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan
jumlah dan periode pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk
menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan
efisien. Perencanaan dilakukan untuk menghindari kekosongan Obat
dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan
dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi,
epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi dan
disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.
Pedoman perencanaan harus mempertimbangkan:
1) Anggaran yang tersedia
2) Penetapan prioritas
21
3) Sisa persediaan
4) Data pemakaian periode yang lalu
5) Waktu tunggu pemesanan
6) Rencana pengembangan (Depkes, 2016).
Tahapan perencanaan yaitu:
1) Tahap pemilihan obat, dilakukan untuk menentukan obat yang benar-
benar diperlukan sesuai dengan pola penyakit.
2) Tahap kompilasi pemakaian obat adalah rekapitulasi data pemakaian
obat di unit pelayanan kesehatan.
3) Tahap perhitungan kebutuhan obat, dapat dilakukan dengan metode
konsumsi, epidemiologi maupun metode gabungan konsumsi dan
epidemiologi.
4) Tahap proyeksi kebutuhan obat, adalah perhitungan kebutuhan obat
secara komprehensif dengan mempertimbangkan data pemakaian obat
dan jumlah sisa stok pada periode yang masih berjalan.
5) Tahap penyesuaian rencana pengadaan obat, dilakukan penyesuaian
terhadap rencana pengadaan obat dengan anggaran dana yang tersedia
(Depkes, 2008a).
Perencanaan dapat dibuat berdasarkan beberapa metode, yaitu
konsumsi, epidemiologi, serta kombinasi antara metode konsumsi
dan epidemiologi.
1) Metode Konsumsi
Metode konsumsi adalah metode yang didasarkan atas
analisa data konsumsi obat periode sebelumnya. Perhitungan
kebutuhan obat dengan metode konsumsi perlu memperhatikan hal-
hal berikut:
a). Pengumpulan dan pengolahan data
b). Analisa data untuk informasi dan evaluasi
c). Perhitungan perkiraan kebutuhan obat
d). Penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan alokasi dana (Depkes,
2008a).
22
Data yang perlu dipersiapkan untuk perhitungan dengan
metodekonsumsi:
a). Daftar obat
b). Stok awal
c). Penerimaan
d). Pengeluaran
e). Sisa stok
f). Obat hilang/rusak, kadaluarsa
g). Kekosongan obat
h). Pemakaian rata-rata/pergerakan obat pertahun
i). Waktu tunggu
j). Stok pengaman/safety stock
k). Perkembangan pola kunjungan
Rumus yang digunakan:
CT = (CA x T) + SS – Si
Keterangan:
CT = Kebutuhan per periode waktu
CA = Kebutuhan rata-rata waktu (bulan)
T = Lama kebutuhan (bulan/tahun)
SS = Safety Stok
Si = Sisa Stok
Kelebihan dari metode konsumsi ini yaitu mudah digunakan,
tidak memerlukan data penyakit maupun standar pengobatan, serta
jika data konsumsi lengkap, pola penulisan resep tidak berubah dan
kebutuhan relatif konstan data yang diperoleh dinilai akurat sehingga
kemungkinan kelebihan maupun kekurangan obat sangat kecil.
2) Metode Epidemiologi
Metode ini dapat juga disebut dengan metode morbiditas.
Metode ini dalam perhitungannya menggunakan data pola penyakit.
Metode epidemiologi didasarkan pada jumlah kunjungan, frekuensi
penyakit, serta standar pengobatan. Langkah-langkah yang dilakukan
23
dalam metode ini yaitu menghitung jumlah pasien yang akan
dilayani, menentukan jumlah kunjungan kasus berdasarkan frekuensi
penyakit, serta menghitung kebutuhan obat berdasarkan standar
pengobatan yang disesuaikan dengan jumlah pasien yang akan
dilayani (Depkes, 2008a).
Langkah-langkah dalam metode ini adalah:
a). Menetapkan pola morbiditas penyakit berdasarkan kelompok umur
dan penyakit.
b). Menyiapkan data populasi penduduk.
c). Menyediakan data masing-masing penyakit pertahun untuk seluruh
populasi pada kelompok umur yang ada.
d). Menghitung frekuensi kejadian masing-masing penyakit pertahun
untuk seluruh populasi pada kelompok umur yang ada.
e). Menghitung jenis, jumlah, dosis, frekuensi dan lama pembelian
obat menggunakan pedoman pengobatan yang ada.
f). Menghitung jumlah yang harus diadakan untuk tahun anggaran
yang akan datang (Depkes, 2008a).
Rumus yang digunakan:
CT = (CE x T) + SS – Si
Keterangan:
CT = Kebutuhan per periode waktu
CE = Perhitungan standar pengobatan
T = Lama kebutuhan (bulan/tahun)
SS = Safety Stok
Si = Sisa Stok
Kelebihan dari metode epidemiologi ini yaitu perkiraan
kebutuhan obat mendekati kebenaran dan dapat mendukung usaha
untuk memperbaiki pola penggunaan obat karena dalam
perhitungannya menggunakan standar pengobatan. Kekurangan dari
metode ini yaitu membutuhan banyak waktu dan tenaga, sebab
perhitungannya lebih sulit terutama jika data penyakit tidak mudah
24
didapatkan karena tidak dilakukannya pencatatan dan pelaporan yang
baik (Depkes, 2008a).
3) Metode Kombinasi Konsumsi dan Epidemiologi
Metode ini digunakan karena adanya keterbatasan pada kedua
metode konsumsi dan epidemiologi, dengan metode kombinasi bisa
meminimalkan kekurangan dari masing-masing metode konsumsi
maupun epidemiologi (Quick et al, 2012).
Proses perencanaan dilakukan dengan mempertimbangkan
berbagai hal, salah satunya yaitu alokasi dana sehingga dalam
penyusunan perencanaan diperlukan skala prioritas untuk menentukan
obat-obat yang akan masuk dalam daftar perencanaan. Adapun
metode yang digunakan dalam menentukan skala prioritas, yaitu:
a) Analisa ABC
Analisis ABC digunakan untuk meningkatkan efisiensi
penggunaan dana dengan pengelompokan obat atau perbekalan
farmasi berdasarkan jumlah anggaran yang digunakan (Suciati,
2006). Obat yang termasuk dalam kelompok A adalah obat yang
jumlah nilai rencana pengadaannya menyerap dana sekitar 80%
dan jumlah item obatnya 20%. Kelompok B adalah obat yang
jumlah nilai rencana pengadaannya menyerap dana sekitar 15% dan
jumlah item obatnya sekitar 30%, sedangkan kelompok C
menyerap dana sekitar 5% dan jumlah item obatnya 50%. (Suciati,
2006).
b) Analisa VEN
Analisis VEN digunakan untuk meningkatkan efisiensi
penggunaan dana dengan pengelompokan obat atau perbekalan
farmasi berdasarkan dampak tiap jenis obat pada kesehatan.
Kelompok V (vital) adalah obat-obat life saving, vaksin, dan obat-
obat untuk penyakit penyebab kematian terbesar. Kelompok E
(essensial) adalah kelompok obat yang bekerja kausal/obat-obat
yang dapat menyembuhkan. Kelompok N (non essensial) yaitu
25
obat-obat penunjang atau untuk mengatasi keluhan ringan (Depkes,
2008a).
c) Kombinasi ABC-VEN
Metode ini digunakan untuk menetapkan prioritas untuk
pengadaan obat dimana anggaran yang ada tidak sesuai dengan
kebutuhan, yang dilakukan dengan mengkombinasikan metode
ABC-VEN, kemudian mengurangi obat pada kelompok tertentu
(Depkes, 2008a). Berikut adalah gambar metode ABC-VEN :
A B C
V VA VB VC
E EA EB EC
N NA NB NC
26
4) Expired date minimal 2 (dua) tahun kecuali untuk sediaan farmasi,
alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai tertentu (vaksin,
reagensia, dan lain-lain).
Rumah Sakit harus memiliki mekanisme yang mencegah
kekosongan stok obat yang secara normal tersedia di Rumah Sakit dan
mendapatkan obat saat Instalasi Farmasi tutup.
Pengadaan dapat dilakukan melalui:
1) Pembelian
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1197 Tahun
2004 pembelian yang di lakukan untuk merealisasikan kebutuhan
yang telah direncanakan dan disetujui yaitu secara tender oleh Panitia
Pembelian Barang Farmasi dan pembelian langsung dari
pabrik/distributor/pedagang besar farmasi/rekanan. Untuk Rumah
Sakit pemerintah pembelian sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai harus sesuai dengan ketentuan pengadaan
barang dan jasa yang berlaku.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelian adalah:
a). Kriteria sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai, yang meliputi kriteria umum dan kriteria mutu obat.
b). Persyaratan pemasok.
c). Penentuan waktu pengadaan dan kedatangan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai.
d). Pemantauan rencana pengadaan sesuai jenis, jumlah dan waktu.
2) Produksi Sediaan Farmasi
Produksi perbekalan farmasi di Rumah Sakit merupakan
kegiatan membuat, merubah bentuk, dan pengemasan kembali sediaan
farmasi steril atau non steril untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
kesehatan di rumah sakit. Instalasi Farmasi Rumah Sakit dapat
memproduksi sediaan tertentu apabila:
a). Sediaan farmasi tidak ada di pasaran. Contoh: ekstrak allergen.
27
b). Sediaan farmasi lebih murah jika diproduksi sendiri. Contoh:
betadine gargle, tetes telinga peroksida.
c). Sediaan farmasi dengan formula khusus. Contoh: salep zink.
d). Sediaan farmasi dengan kemasan yang lebih kecil/repacking.
Contoh: povidone iodine, alkohol 70%.
e). Sediaan farmasi untuk penelitian. Contoh: Reagen.
f). Sediaan farmasi yang tidak stabil dalam penyimpanan/harus dibuat
baru (recenter paratus). Contohnya: alcuta (cairan untuk cuci
tangan).
Sediaan yang dibuat di Rumah Sakit harus memenuhi
persyaratan mutu dan terbatas hanya untuk memenuhi kebutuhan
pelayanan di Rumah Sakit tersebut.
3) Sumbangan/Dropping/Hibah
Instalasi Farmasi harus melakukan pencatatan dan pelaporan
terhadap penerimaan dan penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai sumbangan/dropping/ hibah. Seluruh
kegiatan penerimaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai dengan cara sumbangan/dropping/hibah harus disertai
dokumen administrasi yang lengkap dan jelas. agar penyediaan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dapat
membantu pelayanan kesehatan, maka jenis sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai harus sesuai dengan
kebutuhan pasien di Rumah Sakit. Instalasi Farmasi dapat
memberikan rekomendasi kepada pimpinan RS untuk
mengembalikan/menolak sumbangan/dropping/hibah sediaan farmasi,
alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang tidak bermanfaat
bagi kepentingan pasien Rumah Sakit (Depkes, 2016).
d. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian
jenis, spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera
dalam kontrak atau surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.
28
Semua dokumen terkait penerimaan barang harus tersimpan dengan baik
(Depkes, 2016).
e. Penyimpanan
Setelah barang diterima di Instalasi Farmasi perlu dilakukan
penyimpanan sebelum dilakukan pendistribusian. Penyimpanan harus
dapat menjamin kualitas dan keamanan sediaan farmasi, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai sesuai dengan persyaratan kefarmasian.
Persyaratan kefarmasian yang dimaksud meliputi persyaratan stabilitas
dan keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan
penggolongan jenis sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai.
Komponen yang harus diperhatikan antara lain:
1) Obat dan bahan kimia yang digunakan untuk mempersiapkan obat
diberi label yang secara jelas terbaca memuat nama, tanggal pertama
kemasan dibuka, tanggal kadaluwarsa dan peringatan khusus.
2) Elektrolit konsentrasi tinggi tidak disimpan di unit perawatan kecuali
untuk kebutuhan klinis yang penting.
3) Elektrolit konsentrasi tinggi yang disimpan pada unit perawatan
pasien dilengkapi dengan pengaman, harus diberi label yang jelas dan
disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted) untuk mencegah
penatalaksanaan yang kurang hati-hati.
4) Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang
dibawa oleh pasien harus disimpan secara khusus dan dapat
diidentifikasi.
Instalasi Farmasi harus dapat memastikan bahwa obat disimpan
secara benar dan diinspeksi secara periodik. Sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang harus disimpan terpisah
yaitu:
1) Bahan yang mudah terbakar, disimpan dalam ruang tahan api dan
diberi tanda khusus bahan berbahaya
29
2) Gas medis disimpan dengan posisi berdiri, terikat, dan diberi
penandaaan untuk menghindari kesalahan pengambilan jenis gas
medis. Penyimpanan tabung gas medis kosong terpisah dari tabung
gas medis yang ada isinya. Penyimpanan tabung gas medis di ruangan
harus menggunakan tutup demi keselamatan.
Sistem penyimpanan di gudang dapat berdasarkan suhu
penyimpanan, meliputi :
1) Suhu dingin (2°-8°C): insulin, erithropoetin, ketoprofen sup.
2) Suhu sejuk (15°-25°C): injeksi ranitidin, ondansetron, furosemid,
salep, tetes mata, sirup, sitostatika dan obat-obat oral.
Penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai yang penampilan dan penamaan yang mirip (LASA/Look
Alike Sound Alike) tidak ditempatkan berdekatan dan harus diberi
penandaan khusus untuk mencegah terjadinya kesalahan pengambilan
obat. Sedangkan untuk penyimpanan sediaan farmasi yang perlu
diwaspadai penggunaannya harus diberi diberi label “High Alert” dan
disimpan ditempat terpisah dari sediaan farmasi lain. Untuk penyimpanan
sediaan farmasi seperti infus diletakkan di atas pallet untuk menghidari
dari kelembaban. Penggunaan pallet perlu mengatur jarak dan tingginya,
tinggi alas pallet dari lantai minimal 10 cm, jarak antar pallet dan antar
dinding tidak kurang dari 30 cm, serta tinggi tumpukan pallet maksimal
2,5 meter (Febriawati, 2013).
Rumah Sakit harus dapat menyediakan lokasi penyimpanan obat
emergensi untuk kondisi kegawatdaruratan. Tempat penyimpanan harus
mudah diakses dan terhindar dari penyalahgunaan dan pencurian.
Pengelolaan obat emergensi harus menjamin:
1) Jumlah dan jenis obat sesuai dengan daftar obat emergensi yang telah
ditetapkan.
2) Tidak boleh bercampur dengan persediaan obat untuk kebutuhan lain.
3) Bila dipakai untuk keperluan emergensi harus segera diganti.
4) Dicek secara berkala apakah ada yang kadaluwarsa.
30
5) Dilarang untuk dipinjam untuk kebutuhan lain (Depkes, 2016).
f. Pendistribusian
Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka
menyalurkan/menyerahkan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai dari tempat penyimpanan sampai kepada unit
pelayanan/pasien dengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah,
dan ketepatan waktu. Rumah Sakit harus menentukan sistem distribusi
yang dapat menjamin terlaksananya pengawasan dan pengendalian
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai di unit
pelayanan (Depkes, 2016).
Sistem distribusi obat secara umum terbagi menjadi dua, yaitu
distribusi internal dan eksternal. Sistem internal dengan cara sentralisasi
dan desentralisasi. Sentralisaasi adalah sistem distribusi obat dimana
semua pelayanan yang berhubungan dengan obat ditangani langsung oleh
IFRS pusat, mulai dari resep orisinil dikirim oleh perawat ke IFRS,
kemudian resep tersebut diproses dan disiapkan untuk didistribusikan
pada penderita. Sedangkan desentralisasi adalah suatu sistem distribusi
yang dilokasikan di daerah perawatan/unit-unit pelayanan. Dengan
sistem desentralisasi, pelayanan farmasi menjadi lebih dekat pada
penderita dan staf professional (Quick et al, 2012).
Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam
pendistribusian obat di rumah sakit, yaitu:
1) Individual Prescribing
Sistem individual prescribing merupakan order/resep yang
ditulis oleh dokter untuk setiap pasien dan obat disiapkan oleh IFRS
sesuai dengan yang tertulis pada resep. Kelebihan dari sistem
individual prescribing yaitu:
a). Semua resep/order dikaji langsung oleh Apoteker, yang juga dapat
memberi keterangan atau informasi kepada perawat tentang obat
penderita.
31
b). Memberi kesempatan interaksi profesional antara Apoteker, dokter,
perawat, dan penderita.
c). Mempermudah penagihan biaya obat penderita
Kekurangan dari sistem individual prescribing yaitu: :
a). Kemungkinan keterlambatan sediaan obat sampai ke pasien.
b). Jumlah kebutuhan personel di IFRS meningkat
c). Perlu jumlah perawat dan waktu yang lebih banyak untuk
penyiapan obat pada waktu konsumsi obat.
d). Kemungkinan kesalahan obat karena kurang pemeriksaan pada
waktu penyiapan (Siregar, 2004).
2) Floor Stock
Sistem floor stock atau sistem distribusi dengan persediaan
lengkap di ruangan adalah kegiatan distribusi obat untuk pasien sesuai
dengan yang diresepkan oleh dokter dan disiapkan di ruangan oleh
perawat untuk kemudian diberikan pada pasien.
Kelebihan floor stock antara lain :
a). Obat yang diperlukan segera tersedia bagi penderita .
b). Peniadaan pengembalian obat yang tidak terpakai ke IFRS .
c). Pengurangan penyalinan kembali order obat.
Kekurangan floor stock terdiri dari :
a). Kesalahan obat meningkat karena order obat tidak dikaji Apoteker.
Penyiapan obat dan konsumsi dilakukan perawat sendiri, sehingga
tidak ada pemeriksaan ganda.
b). Persediaan obat di ruang meningkat, sementara ruang terbatas.
Pemantauan persediaan, mutu dan waktu kadaluwarsa kurang
diperhatikan perawat.
c). Meningkatnya bahaya karena kerusakan obat.
d). Meningkatkanya kerugian karena kerusakan obat.
e). Pencurian obat meningkat (Siregar, 2004).
3) Unit Dose Dispensing (UDD)
32
Sistem distribusi Unit Dose Dispensing (UDD) adalah
pendistribusian perbekalan farmasi yang diorder oleh dokter untuk
pasien, terdiri atas satu atau beberapa jenis perbekalan farmasi yang
masing-masing dalam kemasan dosis unit tunggal dalam jumlah
persediaan yang cukup untuk suatu waktu tertentu. Adapun kelebihan
dari sistem distribusi dosis unit, yaitu sebagai berikut:
a). Pasien hanya membayar perbekalan farmasi yang dikonsumsinya
saja.
b). Semua dosis yang diperlukan pada unit perawatan telah disiapkan
oleh IFRS.
c). Mengurangi kesalahan pemberian perbekalan farmasi.
d). Menghindari duplikasi order perbekalan farmasi yang berlebihan.
e). Meningkatkan pemberdayaan petugas profesional dan non
profesional yang lebih efisien.
f). Mengurangi risiko kehilangan dan pemborosan perbekalan farmasi.
g). Memperluas cakupan dan pengendalian IFRS di rumah sakit secara
keseluruhan sejak dari dokter menulis resep/order sampai pasien
menerima dosis unit.
h). Sistem komunikasi pengorderan dan distribusi perbekalan farmasi
bertambah baik.
i). Apoteker dapat datang ke unit perawatan/ruang pasien, untuk
melakukan konsultasi perbekalan farmasi, membantu memberikan
masukan kepada tim, sebagai upaya yang diperlukan untuk
perawatan psaien yang lebih baik.
j). Peningkatan dan pengendalian dan pemantauan penggunaan
perbekalan farmasi menyeluruh.
k). Memberikan peluang yang lebih besar untuk prosedur
komputerisasi.
Kekurangan metode ini yaitu :
a). Perlu tenaga farmasis yang lebih banyak.
33
b). Administrasi akan lebih rumit dan lebih banyak. Solusi untuk
mengatasi hal ini adalah dengan meningkatkan kinerja karyawan
dan menyederhanakan birokrasi serta administrasi.
4) Sistem Distribusi Kombinasi
Sistem pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai bagi pasien rawat inap dengan menggunakan
kombinasi a+b atau b+c atau a+c. Sistem distribusi Unit Dose
Dispensing (UDD) sangat dianjurkan untuk pasien rawat inap
mengingat dengan sistem ini tingkat kesalahan pemberian Obat dapat
diminimalkan sampai kurang dari 5% dibandingkan dengan sistem
floor stock atau resep individu yang mencapai 18% (Depkes, 2016).
34
g. Pemusnahan
Pemusnahan dilakukan untuk sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai apabila:
1) Produk tidak memenuhi persyaratan mutu;
2) Telah kadaluwarsa;
3) Tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan
kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan; dan
4) Dicabut izin edarnya.
Tahapan pemusnahan Obat terdiri dari:
1) Membuat daftar sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai yang akan dimusnahkan;
2) Menyiapkan Berita Acara Pemusnahan (BAP);
3) Mengoordinasikan jadwal, metode dan tempat pemusnahan kepada
pihak terkait;
4) Menyiapkan tempat pemusnahan; dan
5) Melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan bentuk sediaan
serta peraturan yang berlaku.
Penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai dilakukan terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Penarikan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai dilakukan oleh BPOM atau
pabrik asal. Rumah Sakit harus mempunyai sistem pencatatan terhadap
kegiatan penarikan (Depkes, 2016
h. Pengendalian
Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah persediaan dan
penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai. Pengendalian penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai dapat dilakukan oleh Instalasi Farmasi harus
bersama dengan Tim Farmasi dan Terapi (TFT) di Rumah Sakit.
Tujuan pengendalian persediaan sediaan farmasi, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai adalah untuk:
1) Penggunaan obat sesuai dengan Formularium Rumah Sakit;
2) Penggunaan obat sesuai dengan diagnosis dan terapi;
3) Memastikan persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi kelebihan
dan kekurangan/kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, dan kehilangan
35
serta pengembalian pesanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai.
Cara untuk mengendalikan persediaan perbekalan farmasi adalah:
1) Melakukan evaluasi persediaan yang jarang digunakan (slow moving);
2) Melakukan evaluasi persediaan yang tidak digunakan dalam waktu
tiga bulan berturut-turut (death stock);
3) Stok opname yang dilakukan secara periodik dan berkala (Depkes,
2016).
2. Pelayanan Farmasi Klinik
Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang
diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome
terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk
tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien
(quality of life) terjamin.
Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi:
a. Pengkajian dan Pelayanan Resep
Pengkajian resep dilakukan untuk menganalisa adanya masalah
terkait obat, bila ditemukan masalah terkait obat harus dikonsultasikan
kepada dokter penulis resep. Apoteker harus melakukan pengkajian resep
sesuai persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan
klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan (Depkes, 2016).
Persyaratan administrasi meliputi:
1) Nama, umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan pasien;
2) Nama, No. izin, alamat dan paraf dokter;
3) Tanggal resep; dan
4) Ruangan/unit asal resep.
Persyaratan farmasetik meliputi:
1) Nama obat, bentuk dan kekuatan sediaan;
2) Dosis dan jumlah obat;
3) Stabilitas; dan
4) Aturan dan cara penggunaan.
Persyaratan klinis meliputi:
1) Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat;
2) Duplikasi pengobatan;
36
3) Alergi dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD);
4) Kontraindikasi; dan
5) Interaksi obat (Depkes, 2016).
b. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat
Penelusuran riwayat penggunaan obat merupakan proses untuk
mendapatkan informasi mengenai seluruh obat/sediaan farmasi lain yang
pernah dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari
wawancara atau data rekam medik/pencatatan penggunaan obat pasien.
Tahapan penelusuran riwayat penggunaan obat:
1) Membandingkan riwayat penggunaan obat dengan data rekam
medik/pencatatan penggunaan obat untuk mengetahui perbedaan
informasi penggunaan obat;
2) Melakukan verifikasi riwayat penggunaan obat yang diberikan oleh
tenaga kesehatan lain dan memberikan informasi tambahan jika
diperlukan;
3) Mendokumentasikan adanya alergi dan Reaksi Obat yang Tidak
Dikehendaki (ROTD);
4) Mengidentifikasi potensi terjadinya interaksi obat;
5) Melakukan penilaian terhadap kepatuhan pasien dalam menggunakan
obat;
6) Melakukan penilaian rasionalitas obat yang diresepkan;
7) Melakukan penilaian terhadap pemahaman pasien terhadap obat yang
digunakan;
8) Melakukan penilaian adanya bukti penyalahgunaan obat;
9) Melakukan penilaian terhadap teknik penggunaan obat;
10) Memeriksa adanya kebutuhan pasien terhadap obat dan alat bantu
kepatuhan minum obat (concordance aids);
11) Mendokumentasikan obat yang digunakan pasien sendiri tanpa
sepengetahuan dokter; dan
12) Mengidentifikasi terapi lain, misalnya suplemen dan pengobatan
alternatif yang mungkin digunakan oleh pasien (Depkes, 2016).
c. Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi obat merupakan proses membandingkan instruksi
pengobatan dengan obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi
dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan obat (medication error)
seperti obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi
obat. Kesalahan obat (medication error) rentan terjadi pada pemindahan
37
pasien dari satu Rumah Sakit ke Rumah Sakit lain, antar ruang
perawatan, serta pada pasien yang keluar dari Rumah Sakit ke layanan
kesehatan primer dan sebaliknya.
Tahap proses rekonsiliasi obat, yaitu:
1) Pengumpulan data,
2) Komparasi,
3) Melakukan konfirmasi kepada dokter jika menemukan ketidak
sesuaian dokumentasi,
4) Komunikasi,
d. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan
dan pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat,
tidak bias, terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh Apoteker
kepada dokter, Apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien
dan pihak lain di luar Rumah Sakit.
PIO bertujuan untuk:
1) Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga
kesehatan di lingkungan Rumah Sakit dan pihak lain di luar Rumah
Sakit;
2) Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan
dengan obat/sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai, terutama bagi tim farmasi dan terapi;
3) Menunjang penggunaan obat yang rasional.
Kegiatan PIO meliputi:
1) Menjawab pertanyaan;
2) Menerbitkan buletin, leaflet, poster, newsletter;
3) Menyediakan informasi bagi tim farmasi dan terapi sehubungan
dengan penyusunan formularium rumah sakit;
4) Bersama dengan tim penyuluhan kesehatan Rumah Sakit (pkrs)
melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat
inap;
5) Melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kefarmasian dan
tenaga kesehatan lainnya; dan
6) Melakukan penelitian (Depkes,2016).
e. Konseling
38
Konseling obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau
saran terkait terapi obat dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau
keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap di
semua fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif Apoteker,
rujukan dokter, keinginan pasien atau keluarganya. Pemberian konseling
yang efektif memerlukan kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap
Apoteker.
Kegiatan dalam konseling Obat meliputi:
1) Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien;
2) Mengidentifikasi tingkat pemahaman pasien tentang penggunaan obat
melalui Three Prime Questions;
3) Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada
pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat;
4) Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
pengunaan obat;
5) Melakukan verifikasi akhir dalam rangka mengecek pemahaman
pasien; dan
6) Dokumentasi (Depkes,2016).
f. Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang
dilakukan Apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan
untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji
masalah terkait obat, memantau terapi obat dan reaksi obat yang tidak
dikehendaki, meningkatkan terapi obat yang rasional, dan menyajikan
informasi obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya
(Depkes,2016).
g. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang
mencakup kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan
rasional bagi pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi
dan meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD).
Kegiatan dalam PTO meliputi:
1. Pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons
terapi, Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD).
39
2. Pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat; dan
3. Pemantauan efektivitas dan efek samping terapi obat.
Tahapan PTO:
a. Pengumpulan data pasien;
b. Identifikasi masalah terkait obat;
c. Rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat;
d. Pemantauan; dan
e. Tindak lanjut PTO (Depkes, 2016).
Faktor yang harus diperhatikan:
1) Kemampuan penelusuran informasi dan penilaian kritis terhadap bukti
terkini dan terpercaya (Evidence Best Medicine);
2) Kerahasiaan informasi; dan
3) Kerjasama dengan tim kesehatan lain (dokter dan perawat)
(Depkes,2016).
h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan
pemantauan setiap respon terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang
terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan
profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek samping obat adalah reaksi obat
yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi.
MESO bertujuan:
1) Menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin terutama yang
berat, tidak dikenal, frekuensinya jarang;
2) Menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal dan
yang baru saja ditemukan;
3) mengenal semua faktor yang mungkin dapat
menimbulkan/mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya ESO;
4) meminimalkan risiko kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki;
dan
5) mencegah terulangnya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki.
Kegiatan pemantauan dan pelaporan ESO:
1) Mendeteksi adanya kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki
(ESO);
40
2) Mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai risiko
tinggi mengalami ESO;
3) Mengevaluasi laporan ESO dengan algoritme Naranjo;
4) Mendiskusikan dan mendokumentasikan ESO di Tim/Sub Tim
Farmasi dan Terapi;
5) Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional.
Faktor yang perlu diperhatikan:
1) kerjasama dengan Tim Farmasi dan Terapi dan ruang rawat; dan
2) ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat (Depkes,2016).
i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program evaluasi
penggunaan Obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara
kualitatif dan kuantitatif.
Tujuan EPO yaitu:
1) Mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat;
2) Membandingkan pola penggunaan obat pada periode waktu tertentu;
3) Memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan obat; dan
4) Menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat.
Kegiatan praktek EPO:
1) Mengevaluasi pengggunaan obat secara kualitatif; dan
2) Mengevaluasi pengggunaan obat secara kuantitatif.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan:
1) Indikator peresepan;
2) Indikator pelayanan; dan
3) Indikator fasilitas.
j. Dispensing Sediaan Steril
Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi
Rumah Sakit dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan
stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat berbahaya
serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat.
Dispensing sediaan steril bertujuan:
1) Menjamin agar pasien menerima obat sesuai dengan dosis yang
dibutuhkan;
2) Menjamin sterilitas dan stabilitas produk;
3) Melindungi petugas dari paparan zat berbahaya; dan
4) Menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat.
41
Kegiatan dispensing sediaan steril meliputi:
1) Pencampuran obat suntik
2) Penyiapan nutrisi parenteral
3) Penanganan sediaan sitostatik (Depkes,2016).
k. Pemantauan Kadar Obat Dalam Darah (PKOD)
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan
interpretasi hasil pemeriksaan kadar obat tertentu atas permintaan dari
dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit atau atas usulan
dari Apoteker kepada dokter.
PKOD bertujuan:
1) Mengetahui kadar obat dalam darah; dan
2) Memberikan rekomendasi kepada dokter yang merawat.
42
Instalasi Farmasi harus memiliki Apoteker dan tenaga teknis
kefarmasian yang sesuai dengan beban kerja dan petugas penunjang lain
agar tercapai sasaran dan tujuan Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
Ketersediaan jumlah tenaga Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian di
Rumah Sakit dipenuhi sesuai dengan ketentuan klasifikasi dan perizinan
Rumah Sakit yang ditetapkan oleh Menteri (Depkes, 2016).
Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus dikepalai oleh seorang
Apoteker yang merupakan Apoteker penanggung jawab seluruh pelayanan
kefarmasian di Rumah Sakit. Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit
diutamakan telah memiliki pengalaman bekerja di Instalasi Farmasi Rumah
Sakit minimal 3 (tiga) tahun (Depkes, 2016).
43
g. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan
formularium Rumah Sakit (Depkes, 2016).
Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit, meliputi:
a. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis
Habis Pakai
1) Memilih sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai sesuai kebutuhan pelayanan Rumah Sakit;
2) Merencanakan kebutuhan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai secara efektif, efisien dan optimal;
3) Mengadakan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai
ketentuan yang berlaku;
4) Memproduksi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di
Rumah Sakit;
5) Menerima sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku;
6) Menyimpan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian;
7) Mendistribusikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai ke unit-unit pelayanan di Rumah Sakit;
8) Melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu;
9) Melaksanakan pelayanan Obat “unit dose”/dosis sehari;
10) Melaksanakan komputerisasi pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai (apabila sudah
memungkinkan);
11) Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait
dengan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai;
12) Melakukan pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang sudah tidak dapat
digunakan;
13) Mengendalikan persediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai;
44
14) Melakukan administrasi pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai.
b. Pelayanan farmasi klinik
1) Mengkaji dan melaksanakan pelayanan resep atau permintaan
obat;
2) Melaksanakan penelusuran riwayat penggunaan obat;
3) Melaksanakan rekonsiliasi obat;
4) memberikan informasi dan edukasi penggunaan obat baik
berdasarkan resep maupun obat non resep kepada pasien/keluarga
pasien;
5) Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait
dengan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai;
6) Melaksanakan visite mandiri maupun bersama tenaga kesehatan
lain;
7) Memberikan konseling pada pasien dan/atau keluarganya;
8) Melaksanakan Pemantauan Terapi Obat (PTO);
a) Pemantauan efek terapi Obat
b) Pemantauan efek samping Obat
c) Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
9) Melaksanakan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
10) Melaksanakan dispensing sediaan steril;
a) Melakukan pencampuran obat suntik
b) Menyiapkan nutrisi parenteral
c) Melaksanakan penanganan sediaan sitotoksik
d) Melaksanakan pengemasan ulang sediaan steril yang tidak
stabil
11) Melaksanakan Pelayanan Informasi Obat (PIO) kepada tenaga
kesehatan lain, pasien/keluarga, masyarakat dan institusi di luar
Rumah Sakit;
12) Melaksanakan Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS)
(Depkes, 2016).
3. Struktur Organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit
45
Pengorganisasian instalasi farmasi rumah sakit (IFRS) harus
mencakup penyelenggaraan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai, pelayanan farmasi klinik dan manajemen
mutu, serta bersifat dinamis dapat direvisi sesuai kebutuhan dengan tetap
menjaga mutu. Ketentuan terkait jabatan fungsional di IFRS diatur menurut
kebutuhan organisasi dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini
menjelaskan bahwa pengorganisasian IFRS minimal terdiri dari kepala
IFRS, pengelolaan perbekalan farmasi, pelayanan farmasi klinik dan
manajemen mutu (Depkes, 2016).
D. Manajemen Pendukung
1. Administrasi
Administrasi harus dilakukan secara tertib dan berkesinambungan
untuk memudahkan penelusuran kegiatan yang sudah berlalu. Kegiatan
administrasi terdiri dari:
a. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dan pelaporan terhadap kegiatan pengelolaan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis Pakai yang meliputi
perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan, pendistribusian,
pengendalian persediaan, pengembalian, pemusnahan dan penarikan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai. Pelaporan
dibuat secara periodik yang dilakukan Instalasi Farmasi dalam periode
waktu tertentu (bulanan, triwulanan, semester atau pertahun) (Depkes,
2016).
Jenis-jenis pelaporan yang dibuat menyesuaikan dengan peraturan
yang berlaku.
Pencatatan dilakukan untuk:
1) persyaratan Kementerian Kesehatan/BPOM;
2) dasar akreditasi Rumah Sakit;
3) dasar audit Rumah Sakit; dan
4) dokumentasi farmasi.
Pelaporan dilakukan sebagai:
1) komunikasi antara level manajemen;
46
2) penyiapan laporan tahunan yang komprehensif mengenai kegiatan di
Instalasi Farmasi; dan
3) laporan tahunan.
b. Administrasi Keuangan
Apabila Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus mengelola
keuangan maka perlu menyelenggarakan administrasi keuangan.
Administrasi keuangan merupakan pengaturan anggaran, pengendalian
dan analisa biaya, pengumpulan informasi keuangan, penyiapan laporan,
penggunaan laporan yang berkaitan dengan semua kegiatan Pelayanan
kefarmasian secara rutin atau tidak rutin dalam periode bulanan,
triwulanan, semesteran atau tahunan (Depkes, 2016).
c. Administrasi Penghapusan
Administrasi penghapusan merupakan kegiatan penyelesaian
terhadap sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
yang tidak terpakai karena kadaluwarsa, rusak, mutu tidak memenuhi
standar dengan cara membuat usulan penghapusan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai kepada pihak terkait sesuai
dengan prosedur yang berlaku (Depkes, 2016).
2. Organisasi
Kemampuan Apoteker dalam mengatur dan mengawasi sesuatu
untuk mencapai sasaran yang efektif dan efisien dituangkan dalam
manajemen pendukung yang meliputi kemampuan organisasi, manajemen
keuangan yang memadai, informasi terbaru dalam dunia kesehatan dan
manusia yang bersumber daya.
Pengorganisasian Rumah Sakit harus dapat menggambarkan
pembagian tugas, koordinasi kewenangan, fungsi dan tanggung jawab
Rumah Sakit (Depkes, 2016). Organisasi Rumah Sakit paling sedikit terdiri
atas Kepala Rumah Sakit atau Direktur Rumah Sakit, unsur pelayanan
medis, unsur keperawatan, unsur penunjang medis, komite medis, satuan
pemeriksaan internal, serta administrasi umum dan keuangan. Kepala
Rumah Sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan
keahlian di bidang perumahsakitan (Anonim, 2009b).
47
Pengorganisasian Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus mencakup
penyelenggaraan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai, pelayanan farmasi klinik dan manajemen mutu, dan
bersifat dinamis dapat direvisi sesuai kebutuhan dengan tetap menjaga
mutu.
Dalam pengorganisasian Rumah Sakit juga dibentuk Tim Farmasi
dan Terapi (TFT) yang merupakan unit kerja dalam memberikan
rekomendasi kepada pimpinan Rumah Sakit mengenai kebijakan
penggunaan obat di Rumah Sakit yang anggotanya terdiri dari dokter yang
mewakili semua spesialisasi yang ada di Rumah Sakit, Apoteker Instalasi
Farmasi, serta tenaga kesehatan lainnya apabila diperlukan. TFT harus dapat
membina hubungan kerja dengan komite lain di dalam Rumah Sakit yang
berhubungan/berkaitan dengan penggunaan Obat (Anonim, 2009b).
3. Sistem Informasi
Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) adalah suatu
sistem yang menyediakan kepada pengelola organisasi mengenai
pemrosesan data-data baik data-data umum rumah sakit maupun data-data
medik pasien sehingga dapat mendukung proses pengambilan keputusan
manajemen, sistem ini berbasiskan komputer untuk mengolah data-data
medik pasien maupun data-data administrasi yang dimiliki rumah sakit
(Wijaya, 2014).
Penanganan informasi dalam sistem pengendalian obat (misalnya,
pengumpulan, perekaman, penyimpanan, penemuan kembali, peringkasan,
pengiriman, dan mempertunjukkan informasi penggunaan obat) dapat
dilakukan lebih efisien oleh komputer daripada sistem manual. Akan tetapi,
sebelum sistem pengendalian obat dapat dikomputerisasi, suatu studi yang
teliti dan komprehensif dari sistem manual wajib dilakukan. Studi ini harus
mengidentifikasi aliran data didalam sistem dan menetapkan berbagai fungsi
yang dilakukan dan hubungan timbal balik berbagai fungsi itu. Informasi ini
kemudian digunakan sebagai dasar untuk mendesain atau mengevaluasi
secara prospektif suatu sistem komputer. Fungsi penting lainnya dari sistem
48
informasi manajemen obat yaitu meningkatkan akuntabilitas, banyak catatan
dan laporan dalam sistem informasi manajemen obat diharapkan dapat
membuat sebuah paper audit produk yang masuk maupun keluar dari sistem
pengadaan obat (Kusrini, 2007).
49
seperti yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Ketentuan terkait jabatan fungsional di Instalasi Farmasi Rumah
Sakit diatur menurut kebutuhan organisasi dan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus dikepalai oleh seorang
Apoteker yang merupakan Apoteker penanggung jawab seluruh
pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit. Kepala Instalasi Farmasi Rumah
Sakit diutamakan telah memiliki pengalaman bekerja di Instalasi Farmasi
Rumah Sakit minimal 3 (tiga) tahun.
c. Beban Kerja dan Kebutuhan
1) Beban Kerja
Dalam perhitungan beban kerja perlu diperhatikan faktor-faktor
yang berpengaruh pada kegiatan yang dilakukan, yaitu:
a). Kapasitas tempat tidur dan Bed Occupancy Rate (BOR);
b). Jumlah dan jenis kegiatan farmasi yang dilakukan (manajemen,
klinik dan produksi);
c). Jumlah resep atau formulir permintaan obat (floor stock) per hari;
dan
d). Volume sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai.
2) Penghitungan Beban Kerja
Penghitungan kebutuhan Apoteker berdasarkan beban kerja
pada pelayanan kefarmasian di rawat inap yang meliputi pelayanan
farmasi manajerial dan pelayanan farmasi klinik dengan aktivitas
pengkajian resep, penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi
obat, pemantauan terapi obat, pemberian informasi obat, konseling,
edukasi dan visite, idealnya dibutuhkan tenaga Apoteker dengan rasio
Apoteker untuk 30 pasien.
Penghitungan kebutuhan Apoteker berdasarkan beban kerja
pada pelayanan kefarmasian di rawat jalan yang meliputi pelayanan
farmasi menajerial dan pelayanan farmasi klinik dengan aktivitas
pengkajian Resep, penyerahan Obat, Pencatatan Penggunaan Obat
50
(PPP) dan konseling, idealnya dibutuhkan tenaga Apoteker dengan
rasio 1 Apoteker untuk 50 pasien.
Selain kebutuhan Apoteker untuk pelayanan kefarmasian rawat
inap dan rawat jalan, maka kebutuhan tenaga Apoteker juga
diperlukan untuk pelayanan farmasi yang lain seperti di unit logistik
medik/distribusi, unit produksi steril/aseptic dispensing, unit
pelayanan informasi obat dan lain-lain tergantung pada jenis aktivitas
dan tingkat cakupan pelayanan yang dilakukan oleh Instalasi Farmasi.
Selain kebutuhan Apoteker untuk pelayanan kefarmasian di
rawat inap dan rawat jalan, diperlukan juga masing-masing 1 (satu)
orang Apoteker untuk kegiatan pelayanan kefarmasian di ruang
tertentu, yaitu:
a). Unit Gawat Darurat;
b). Intensive Care Unit (ICU), Intensive Cardiac Care Unit (ICCU),
Neonatus Intensive Care Unit (NICU), Pediatric Intensive Care
Unit (PICU);
Mengingat kekhususan pelayanan kefarmasian pada unit rawat
intensif dan unit gawat darurat, maka diperlukan pedoman teknis
mengenai pelayanan kefarmasian pada unit rawat intensif dan unit
rawat darurat yang akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
d. Pengembangan Staf dan Program Pendidikan
Setiap staf di Rumah Sakit harus diberi kesempatan untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya. Peran Kepala Instalasi
Farmasi dalam pengembangan staf dan program pendidikan meliputi:
1) Menyusun program orientasi staf baru, pendidikan dan pelatihan
berdasarkan kebutuhan pengembangan kompetensi SDM.
2) Menentukan dan mengirim staf sesuai dengan spesifikasi pekerjaan
(tugas dan tanggung jawabnya) untuk meningkatkan kompetensi yang
diperlukan.
3) Menentukan staf sebagai narasumber/pelatih/fasilitator sesuai dengan
kompetensinya.
e. Penelitian dan Pengembangan
51
Apoteker harus didorong untuk melakukan penelitian mandiri
atau berkontribusi dalam tim penelitian mengembangkan praktik
pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit. Apoteker yang terlibat dalam
penelitian harus mentaati prinsip dan prosedur yang ditetapkan dan sesuai
dengan kaidah-kaidah penelitian yang berlaku.
Instalasi Farmasi harus melakukan pengembangan pelayanan
kefarmasian sesuai dengan situasi perkembangan kefarmasian terkini.
Apoteker juga dapat berperan dalam uji klinik obat yang dilakukan di
Rumah Sakit dengan mengelola obat-obat yang diteliti sampai
dipergunakan oleh subyek penelitian dan mencatat Reaksi Obat yang
Tidak Dikehendaki (ROTD) yang terjadi selama penelitian (Depkes,
2016).
5. Manajemen Keuangan
Manajemen keuangan adalah bagaimana merencanakan dan
memperoleh biaya atau dana, kemudian mempergunakannya dengan efisien,
dengan tujuan untuk mencegah meningkatnya pembiayaan yang tidak
berguna.
Secara operasional manajemen keuangan di Rumah Sakit harus
dapat menghasilkan data, informasi dan petunjuk untuk membantu pimpinan
Rumah Sakit dalam merencanakan, mengendalikan dan mengawasi seluruh
kegiatan agar mutu pelayanan dapat dipertahankan/ditingkatkan pada
tingkat pembiayaan yang wajar.
Fungsi utama dari manajemen keuangan di Rumah sakit adalah
sebagai sumber informasi yang diperlukan untuk pengambilan keputusan
dalam pemecahan masalah dan perencanaan untuk keberhasilan
pengembangan Rumah Sakit. Dengan demikian untuk pengambilan
keputusan yang tepat serta keberhasilan perencanaan diperlukan sistem dan
pelaksanaan manajemen keuangan Rumah Sakit secara optimal (Djuhaeni,
2009).
Manajemen pendukung lainnya yang harus dimiliki oleh seorang
Apoteker adalah manajemen keuangan. Apoteker harus dapat mengatur
52
mengenai pengurangan beban manajemen dan administrasi, mengurangi
pemborosan, menurunkan biaya pengelolaan dan investasi obat,
menghindari kekurangan obat dan menambah pendapatan rumah sakit
(Djuhaeni, 2009).
53
BAB III
TINJAUAN UMUM RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
A. Falsafah, Visi, Misi, dan Tujuan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto
1. Falsafah RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
Pelayanan Farmasi Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang utuh dan berorientasi
kepada pelayanan pasien penyediaan obat yang bermutu dan terjangkau bagi
semua lapisan masyarakat.
2. Visi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
"Prima Dalam Pelayanan Sub Spesialistik & Pendidikan Profesi"
Penjelasan:
Prima: Berorientasi pada standar mutu dan kepuasan pelanggan.
3. Misi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
a. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan rujukan sub spesialistik
b. Menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat di
bidang kesehatan
c. Mengembangkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) melalui
peningkatan profesionalisme dan kesejahteraan
d. Mengembangkan sarana dan prasarana yang unggul, tepat dan aman
e. Mengembangkan sistem manajemen yang handal, transparan, akuntabel,
efektif dan efisien.
4. Motto RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
“Melayani Dengan Sepenuh Hati”.
5. Tujuan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
a. Tujuan Umum
Menyelenggarakan pelayanan kefarmasian yang profesional sehingga
tercapai peningkatan kualitas hidup pasien.
b. Tujuan Khusus
1) Terselenggaranya pengelolaan perbekalan farmasi yang efisien, efektif
dan aman dengan biaya terjangkau.
54
2) Terselenggaranya asuhan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat
kesehatan.
3) Terselenggaranya pendidikan tenaga kesehatan yang berkualitas.
4) Terselenggaranya pencatatan dan pelaporan dari kegiatan farmasi
rumah sakit.
B. Struktur Organisasi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
Struktur organisasi yang terdapat pada RSMS Purwokerto serta tata
kerjanya dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah
melalui Peraturan Daerah Tingkat I Jawa Tengah No. 4 tahun 1997, dimana
direktur memegang pimpinan tertinggi dan dibantu oleh tiga orang wakil, yaitu
wakil direktur pelayanan, wakil direktur penunjang dan pendidikan, dan wakil
direktur keuangan (Pemda Jawa Tengah, 1997). Struktur organisasi RSMS
dapat dilihat pada Gambar 2.
55
Direktur
Kelompok Bid Bid Bid Penjaminan Bid Bid. Bid. 77Bagian Bagian Bagian
Pelayanan Keperawat Mutu dan Diklit Penunjang Penunjang Keuangan Umum
jabatan Perencanaan
an Kerjasama Medis Sarpras RS
fungsional
Seksi Seksi Seksi Seksi Instalasi Seksi 77SubBa SubBag
Pelayanan Keperawat- Penjaminan Diklit Farmasi Penunjang Anggaran
an Mutu
g
Rawat Sarpras Program
Rawat Jalan Pelayanan
jalan Medis
Seksi
Seksi Seksi Seksi Seksi 00SubBag SubBag
Seksi Perawatan Pelatihan Penunjang Akuntasi
Kerjasama Penunjang Monitoring
Rawat Inap Diagnosa
Pelayanan Sarpras Non & Evaluasi
Rawat Medis
Inap SubBag
SubBag
Seksi bendaharaan
RM
Penunjang &verifikasi
Terapi
KETUA
Dr. Taufan Hidayat, SpB
SEKRETARIS
Widi Warindra S, S.Farm., Apt
Anggota Anggota
Dr. Tendi Novara, SpAn Dr. Yunanto Dwi Nugroho, SpPD
Dr. Ariadne Tiara H, SpA,MSi.Med Dr. Anton Budi Dharmawan, SpTHT
Dr. Hernawan, SpS Dr. Teguh Anamani, Sp.M
Molina Galuh Januar, Apt., M.Sc Drg. Wahyu Molariawan
Dewanto, Apt., M.Sc
Gambar 3. Struktur Organisasi TFT
65
sehingga pasien dapat memperoleh terapi yang tepat dan segera sembuh dari
penyakitnya.
4. Manajemen Pendukung
a. SIM (Sistem Informasi Manajemen)
SIM menjadi perantara di setiap depo farmasi dan unit-unit lainnya
untuk mengirimkan permintaan barang dan pelayanan order (PO) yaitu
pengiriman barang yang dilakukan oleh gudang berdasarkan surat
pesanan yang telah dikirimkan ke gudang.
Barang yang tersedia dikirimkan sesuai dengan pesanan dari
masing-masing instalasi. Daftar pesanan tersebut memuat No., nama
perbekalan farmasi, satuan, jumlah sisa, jumlah yang diminta, jumlah
yang diberi, sisa stok serta memuat tandatangan petugas instalasi yang
meminta dan tandatangan petugas gudang yang menerima pesanan.
Pesanan barang yang bersifat CITO/segera (harus sesuai dengan
inventory yang ada di SIM), biasanya permintaan lewat telepon dan
petugas gudang langsung mengantarkan ke depo farmasi atau
menggunakan sistem pengantaran menggunakan alat pengiriman yaitu
aerocom ke ruangan yang membutuhkan. Semua permintaan yang tidak
sesuai dengan inventory yang ada di SIM tidak akan dilayani.
b. Logistik
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
610/MenKes/SK/XI/1981 tentang organisasi dan tata gudang perbekalan
farmasi, tugas gudang farmasi adalah melaksanakan pengelolaan
perbekalan farmasi, meliputi perencanaan, penerimaan, penyimpanan dan
pendistribusian perbekalan farmasi. Instalasi gudang merupakan bagian
dari pelayanan kefarmasian yang bertugas dalam pengelolaan perbekalan
farmasi yang meliputi obat-obatan dan alat medis (Depkes, 1981).
Tujuan pembentukan gudang farmasi adalah terpeliharanya mutu
obat dan alat kesehatan yang menunjang pelaksanaan upaya kesehatan
yang menyeluruh, terarah dan terpadu. Adapun fungsi gudang farmasi
dalam mendukung terciptanya pelayanan kefarmasian adalah sebagai
berikut :
66
1) Menerima, menyimpan, memelihara, dan mendistribusikan obat, alat
kesehatan, dan perbekalan farmasi lainnya.
2) Menjaga mutu dan khasiat obat pada setiap barang persediaan ataupun
yang akan didistribusikan.
3) Menyiapkan penyusunan rencana, pencatatan, dan pelaporan
mengenai persediaan dan penggunaan obat, alat kesehatan, dan
perbekalan farmasi lainnya.
67
BAB IV
KEGIATAN PKPA DAN PEMBAHASAN
68
Sediaan yang dibuat di Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan mutu
dan terbatas hanya untuk memenuhi kebutuhan pelayanan di Rumah Sakit
tersebut.
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto memiliki gudang
farmasi yang melakukan produksi perbekalan farmasi dengan cara pengenceran
dan repacking (pengemasan kembali) pada sediaan produksi non steril saja.
Produksi sediaan steril tidak dapat dilakukan dikarenakan RSMS tidak
memiliki fasilitas untuk produksi steril sesuai dengan CPOB.
Kegiatan pengenceran pada prinsipnya menambahkan pelarut tanpa
mengubah jumlah mol zat terlarut. Pengenceran hanya dapat dilakukan jika
terdapat surat permintaan (SP) dari unit kerja lain diluar Instalasi Farmasi
Rumah Sakit kepada gudang pusat RSMS. Kegiatan ini dilakukan sesuai
dengan jumlah dan sediaan yang diinginkan berdasarkan SP yang diterima.
Sediaan farmasi yang paling sering diminta untuk dilakukan pengenceran, yaitu
sediaan B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya) seperti formalin 10% (dari
konsentrasi 40%) dan H2O2 3% (HydrogenPeroxide) (dari konsentrasi 50%).
Permintaan tersebut datang dari IBS (Instalasi Bedah Sentral) dan IGD OK
(Instalasi Gawat Darurat OperatieKamer). Alat pengenceran yang diperlukan
antara lain beaker glass, gelas ukur, jerigen, dan lain-lain. Petugas yang
melakukan pengenceran, yaitu tenaga teknis kefarmasian.
Kegiatan produksi yang dilakukan di gudang pusat RSMS selain
pengenceran, yaitu repacking (pengemasan kembali). Repacking merupakan
kegiatan mengemas kembali dari kemasan primer yang berisi obat dengan
jumlah banyak menjadi kemasan yang lebih kecil dengan jumlah obat yang
lebih sedikit pula. Repacking ini dilakukan pada sediaan yang kemasan
primernya berupa botol dan berisi sediaan yang jumlahnya banyak, misalnya
1000 kapsul. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mempermudah dan
mempercepat pelayanan di depo farmasi. Sediaan obat-obatan yang
direpacking, antara lain: Fenitoin kapsul @ 100 kapsul, @ 60 kapsul, dan @ 30
kapsul; Diazepam tablet @ 10 tablet, @ 15 tablet, dan @ 30 tablet; Kalk tablet
@ 10 tablet dan @ 15 tablet; serta Vitamin B complex @ 15 tablet. Alat
69
repacking yang diperlukan, yaitu sarung tangan, sendok obat, wadah/mangkuk
untuk obat, plastik klip dan lain-lain. Petugas yang melakukan repacking
adalah tenaga teknis kefarmasian. Sebelum dilakukan repacking, petugas perlu
menyiapkan etiket berwarna putih yang memuat informasi sebagai berikut: (a)
Tanggal sediaan dibuka, (b) Nama dan kekuatan sediaan, serta (c) Tanggal
kadaluwarsa.
Setelah obat yang direpacking sudah dalam kemasan kecil, maka
dilakukan pemberian etiket. Salah satu tujuan pemberian etiket tersebut adalah
untuk mengetahui tanggal kadaluwarsa obat meskipun obat sudah tidak
terdapat di kemasan primernya. Hal ini juga untuk memudahkan gudang dalam
pendistribusian ke depo, sehingga gudang akan mendistribusikan obat yang
tanggal kadaluwarsanya lebih cepat atau berdasarkan FEFO (First Expired
First Out). Setelah itu, gudang mendistribusikan obat ke unit yang selanjutnya
akan dilakukan dispensing sehingga obat sampai ke pasien. Dari pemaparan
diatas, dapat dimuat alur repacking sebagai berikut: (a) Surat Permintaan/SP,
(b) Entry+check ketersediaan barang, (c) Pembuatan etiket, (d) Penyiapan alat
dan bahan, (e) Pengenceran.
70
71
Ruang penyimpanan gudang instalasi farmasi RS Margono terdiri
dari ruang injeksi dan obat luar; ruang sitotoksik; ruang infus; ruang obat
oral meliputi tablet, kapsul, sirup dan lemari narkotik psikotropik; ruang
alkes; ruang B3; dan refrigerator untuk menyimpan obat-obat yang
disimpan pada suhu dingin. Adapun ruangan-ruangan yang terdapat dalam
gudang farmasi dapat dilihat pada Lampiran 6,7,8.
Gudang farmasi terdapat juga di Paviliun Abiyasa RSUD Prof Dr.
Margono Soekarjo atau yang biasa disebut dengan gudang Buffer Abiyasa
mempunyai tugas dalam pengelolaan (penerimaan, penyimpanan dan
pendistribusian) sediaan farmasi dan peralatan kesehatan.
Tujuan pembentukan Gudang Buffer Abiyasa adalah menjamin
ketersediaan obat yang diperlukan dalam pelayanan setiap depo yang ada di
Paviliun Abiyasa RSUD Prof Dr. Margono Soekarjo serta terpeliharanya
mutu obat dan alat kesehatan yang menunjang pelaksanaan upaya kesehatan
yang menyeluruh, terarah dan terpadu. Fungsi Gudang Buffer Abiyasa
meliputi:
a). Penerimaan, penyimpanan, pemeliharaan dan pendistribusian obat, alat
kesehatan dan sediaan farmasi yang didapat dari Gudang Farmasi Pusat
RSMS untuk pelayanan kesehatan di Paviliun Abiyasa RSUD Prof Dr.
Margono Soekarjo
b). penyusunan perencanaan obat dan alkes, pencatatan dan pelaporan
mengenai penggunaan obat, alat kesehatan dan sediaan farmasi di Paviliun
Abiyasa RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
c). Dokumentasi;
d). Pengamatan dan penjagaan terhadap mutu dan keamanan obat;
e). Melakukan urusan tatausaha dan kepegawaian
Adapun cara permintaan yang diajukan oleh Gudang Buffer Abiyasa
untuk menjamin ketersediaan sediaan farmasi dan mencegah kekosongan
sediaan farmasi di Paviliun Abiyasa RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
adalah mengirim surat permintaan kepada Gudang Pusat RSMS dibawah
tanggung jawab Apoteker sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan yaitu
hari senin dan kamis.
72
Setelah itu Gudang Pusat RSMS akan menyiapkan sediaan farmasi
sesuai dengan surat permintaan dari Gudang Buffer Abiyasa, setelah semua
sudah sesuai dan ditandatangani oleh kepala gudang pusat RSMS maka
sediaan farmasi akan segera dikirim menggunakan kendaraan dengan
memperhatikan penyimpanan dengan tujuan tidak ada barang rusak ketika
sampai di Gudang Buffer Abiyasa.
73
Sumber anggaran yang digunakan dalam pengadaan kebutuhan
sediaan farmasi di RSMS berasal dari APBD (Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah) dan BLUD (Badan Layanan Umum Daerah). Penggunan
anggaran lebih diprioritaskan untuk menggunakan dana APBD, jika dana
tersebut tidak bisa memenuhi kebutuhan, maka digunakan BLUD.
Pejabat pengadaan akan menyerahkan surat pesanan ke distributor/
PBF yang telah ditetapkan dan meminta distributor tersebut mengirimkan
perbekalan farmasi sesuai dengan pesanan. Selain itu tugas dari pejabat
pengadaan yaitu menghubungi distributor lain apabila distributor
sebelumnya terjadi kekosongan barang dan membuat pelaporan
pengadaan setiap bulannya. Pengadaan yang dilakukan di RSMS melalui
pembelian, hibah, produksi dan konsinyasi. Pengadaan melalui
pembelian ada 2 metode yakni e-Catalogue dan non e-Catalogue.
Dengan cara pembelian e-Purchasing, pembelian langsung dan sistem
tender. Pembelian melalui sistem tender di gudang pusat RSMS
dilakukan sebanyak 2 kali tiap tahun. Pemilihan metode pengadaan di
RSMS berdasarkan pada situasi dan kondisi tertentu. Semua obat yang
masuk dalam e-Catalogue maka cara pembeliannya wajib menggunakan
metode e-purchasing.
Pengadaan sediaan farmasi, alkes, obat dan BMHP tidak dilakukan
oleh Instalasi Farmasi namun dilakukan oleh unit pengadaan tersendiri
atau Unit Layanan Pengadaan (ULP). Hal ini sesuai dengan Peraturan
Presiden No. 70 tahun 2012 tentang perubahan kedua atas peraturan
presiden no. 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah.
Pengadaan dimulai dari perencanaan Rumah Sakit di gudang setiap
bulan pada tanggal 25, dengan meminta persetujuan kepada kepala
instalasi farmasi, bidang penunjang medis, bagian keuangan, wakil
direktur serta direktur dari Rumah Sakit. Setelah mendapat persetujuan
dari masing masing pihak, PPKom (Pejabat Pembuat Komitmen) akan
membuat perjanjian dengan pihak lain, PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis
Kegiatan) akan mengeluarkan surat perintah beli (SPB) kemudian bagian
74
Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang akan mengkoordinasikan semua
pengadaan barang tidak hanya sediaan farmasi setelahitu dilimpahkan
kepada Pejabat Pengadaan (PP) yang akan melaksaankan kegiatan
pengadaan sampai barang tersedia.
Selanjutnya Pejabat Pengadaan (PP) akan mengirimkan surat
pesanan 1 (satu) kepada pabrik sesuai dengan perjanjian sebelumnya
selambat-lambatnya 21 hari, kemudian pabrik akan mengirimkan notif
(pemberitahuan) kepada Pejabat Pengadaan. Notif yang dikirim oleh
pabrik dapat berupa bentuk approve atau penerimaan, approve dengan
pemberitahuan tertentu dan reject atau penolakan. Proses pengiriman
Perencanaan Rumah Sakit setiap bulan pada tanggal 25
notif ini bisanya berlangsung selama 1-2 bulan. Setelah notif diterima,
Pejabat Pengadaan akan membuat
Persetujuan surat
oleh Kepala pesanan
Instalasi Farmasi2 rangkap yang akan
dikirim kepada PBF pengirim perbekalan farmasi dan pabrik akan
Persetujuan oleh Bidang Penunjang Medis
menghubungi PBF tersebut untuk melakukan pengiriman perbekalan
farmasi ke Rumah Sakit.Persetujuan oleh Keuangan
Skema alur pengadaan barang dapat dilihat pada Gambar 6
Persetujuan oleh Wakil Direktur Umum
pabrik akan mengirimkan notif (pemberitahuan) kepada Pejabat Pengadaan. Notif yang
dikirim oleh pabrik dapat berupa bentuk approve atau penerimaan, approve dengan
pemberitahuan tertentu dan reject atau penolakan
notif diterima
Pejabat Pengadaan akan membuat surat pesanan 2 yang akan dikirim kepada PBF pengirim
75 farmasi
perbekalan
pabrik akan menghubungi PBF tersebut untuk melakukan pengiriman perbekalan farmasi ke
Rumah Sakit
Gambar 6. Alur Pengadaan Barang di RSMS
c. Penerimaan
Kegiatan untuk menerima sediaan farmasi yang telah diadakan
sesuai dengan aturan kefarmasian. Adapun tahap-tahap dalam
penerimaan barang/ jasa adalah sebagai berikut :
1. Barang yang telah dipesan kepada PBF dikirimkan ke gudang
sentral.
2. Barang diperiksa terlebih dahulu sebelum barang diterima oleh
panitia penerimaan. Pemeriksaannya meliputi kesesuaian nama
barang, jenis sediaan, kekuatan sediaan dan jumlah barang dengan
surat pesanan.
3. Setelah semua sesuai dengan pesanan maka dilakukan pemeriksaan
keadaan barang, No. batch, jumlah fisik, kemasan barang, tanggal
Expired Date (ED) serta MSDS.
4. Jika semua sudah sesuai maka langkah selanjutnya adalah
penandatanganan faktur oleh panitia pemeriksaan dengan
menuliskan nama, No. SIP dan tanggal tanda tangan faktur tersebut
serta distempel. Untuk obat narkotik, psikotropik, prekursor dan
OOT ditambah dengan tanda tangan dari Apoteker penanggung
jawab dari gudang tersebut. Berikut ini adalah alur penerimaan
sediaan farmasi yang dikirim oleh PBF ke gudang pada gambar 7
76
Menandatangani faktur barang dengan mencantumkan nama
petugas penerima, tanggal penerimaan, No. SIK, serta
membubuhkan stampel.
77
8) Tanggal kadaluarsa (expired date) minimal 2 tahun kecuali sediaan
farmasi tertentu yang memang tanggal kadaluarsanya pendek.
d. Penyimpanan
Sediaan farmasi yang telah diterima dan diperiksa selanjutnya di
simpan dalam gudang. Fungsi dari penyimpanan adalah untuk
memelihara mutu dan kualitas sediaan farmasi sehingga dapat
memudahkan dalam pengelolaan dan pengawasan.
Tata letak penyimpanan obat di gudang pusat RSMS dibedakan
berdasarkan:
1) Suhu penyimpanan:
a) Ruang 1 : Suhu sejuk (15-25 oC), seperti injeksi, suppositoria,
infus kemasan kecil, salep, tetes mata dan obat luar.
b) Ruang 2 : Suhu sejuk (15– 25 oC) dan suhu 2o – 8oC (kulkas),
seperti obat-obat sitostatika dan preparat gigi.
c) Ruang 3 : Suhu ruang (>25 oC), seperti infus cairan dasar,
cairan lain, dan alkes khusus hemodialisa.
d) Ruang 4 : Suhu sejuk (15-25 oC), seperti obat-obat oral, infus
kemasan besar yang disimpan pada suhu sejuk dan
lemari obat psikotropika dan narkotika.
e) Ruang 5 : Suhu ruang (>25 oC) seperti obat-obat oral dan obat
narkotika yang disimpan pada suhu ruang dan.
f) Ruang 6 : Suhu ruang (>25 oC) seperti alat-alat kesehatan,
peralatan rumah tangga dan bahan baku.
2) Menyusun di dalam rak/almari berdasarkan bentuk sediaan dan
disusun secara alfabetis, serta untuk masing-masing jenis sediaan
dominan menggunakan metode FEFO (First Expired First Out).
3) Mencatat pada kartu stok, meliputi: tanggal barang datang, nama
barang, jumlah, distributor, no. batch, tanggal kadaluarsa, dan
menyertakan MSDS (Material Safety Data Sheet) untuk Bahan
Beracun dan Berbahaya.
Penyimpanan untuk obat sitostatika sudah memenuhi persyaratan
penyimpanan obat sitostatik, antara lain:
78
1) Obat sitostatika disimpan secara terpisah dari obat-obat lain.
2) Terdapat lembar pengaman di dekat tempat penyimpanan.
3) Letak penyimpanan obat sitostatika diusahakan minimal sejajar
dengan mata atau lebih rendah agar mudah terlihat tanda berbahaya
oleh petugas.
4) Tanda obat berbahaya pada kotak kemasan luar berada di sisi
sebelah luar sehingga mudah terlihat.
5) Obat yang disimpan di lemari pendingin (2-80C), diletakkan di
lemari pendingin yang terpisah.
6) Bila tidak tersedia lemari pendingin yang terpisah, maka obat
sitostatika dimasukkan dalam wadah tertutup dari bahan anti bocor
dan disimpan bersama obat lainnya di lemari pendingin yang sama.
Penyimpanan B3 dengan ketentuan sebagai berikut :
1) Menyimpan B3 di ruang terpisah
dari sediaan farmasi lain.
2) Meletakkan B3 di tempat
penyimpanan dengan posisi sejajar dengan mata atau lebih rendah
agar mudah terlihat oleh petugas.
3) Memberi logo tanda bahan
berbahaya pada tempat penyimpanan B3 sesuai dengan logo yang
berlaku untuk klasifikasi B3 yang dimaksud.
4) Menjaga ventilasi atau sirkulasi
udara di ruang penyimpanan.
5) Menjaga suhu di ruang
penyimpanan agar jangan terlalu tinggi untuk menghindari
kemungkinan terjadinya kebakaran dan dilarang menempatkan
barang serta melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan suhu
ruangan.
6) Memasang tanda “Dilarang
Merokok” di sekitar tempat penyimpanan B3.
7) Menyediakan peralatan pemadam
79
kebakaran dalam jumlah yang cukup dan siap pakai serta meletakkan
lembar data MSDS di tiap tempat penyimpanan B3.
8) Menyediakan tempat pembuangan
sementara B3 yang sudah rusak atau kadaluarsa dan melakukan
pembuangan/pemusnahan B3 dengan bekerja sama dengan instalasi
pembuangan limbah dan disaksikan oleh petugas yang berwenang.
e. Distribusi
1) Alur Distribusi Sediaan Gudang RSMS
Proses pendistribusian sediaan dari gudang pusat ke depo
farmasi melalui beberapa langkah yaitu masing-masing depo farmasi
memberikan surat permintaan ke gudang. Petugas gudang akan
memeriksa surat permintaan tersebut dimana akan diperiksa lagi
sesuai dengan SIM. Setelah itu petugas akan mengambil barang-
barang seperti yang tertera di surat permintaan. Sebelum dikirim ke
masing-masing depo, petugas lain melakukan pemeriksaan kembali
antara surat permintaan dengan barang, dan jika sudah sesuai surat
permintaan akan ditandatangani dan barang siap dikirim ke depo
farmasi. Alur distribusi sediaan farmasi dari gudang dapat dilihat pada
Gambar 8.
80
Penerimaan Surat Permintaan
Penyiapan obat
Pengiriman barang ke SF
81
Pengendalian penggunaan sediaan farmasi dapat dilakukan
oleh Instalasi Farmasi beserta pihak manajemen, sedangkan
pengendalian anggaran dilakukan oleh direktur dan bidang penunjang.
Cara untuk mengendalikan sediaan farmasi adalah:
1) Memperkirakan / menghitung pemakaian rata-rata periode tertentu
2) Menentukan stok aman di gudang
3) Menentukan waktu pemesanan sampai obat diterima
4) Melakukan evaluasi perperbekalan yang jarang digunakan (slow
moving)
5) Melakukan evaluasi perperbekalan yang tidak digunakan dalam
waktu tiga bulan berturut-turut (death stock)
6) Stok opname yang dilakukan secara periodik dan berkala.
Alat yang digunakan untuk pengendalian sediaan farmasi
adalah:
1) Formularium Rumah Sakit mengacu pada Formularium Nasional,
perencanaan mengacu pada Formularium Rumah Sakit. Pembelian
obat mengacu pada formularium rumah sakit dan peresepan obat
untuk formularium
2) Sistem Informasi Manajemen (SIM) Rumah Sakit
3) Semuat transaksi barang datang dan barang keluar ke pasien
melalui transaksi SIM
4) Pencatatan manual
5) Pencatatan manual dilakukan dikartu stok barang
6) Stock opname pertiga bulan
7) Mencocokkan antara data SIM dan fisik obat
8) Pemberian logo untuk obat-obat near ED.
a. Penanganan obat ED
Kebijakan yang ditetapkan Gudang pusat dan Gudang buffer
Abiyasa RSUD Margono Soekarjo Purwokerto tentang near ED
ditetapkan dengan Standar Prosedur Operasional No Dokumen
SPO.FAR.50 yang diterbitkan pada tanggal 7 Maret 2014. SPO
tersebut berisi mengenai prosedur penanganaan obat mendekati ED,
meliputi:
82
a). Sediaan farmasi yang hampir kadaluarsa adalah sediaan
farmasi yang tanggal kadaluarsanya tiga bulan yang akan datang
atau kurang
b). Pemantauan tanggal kadaluarsa dilakukan secara periodik
setiap satu bulan sekali, dengan melihat catatan tanggal ED pada
kartu stok.
c). Apabila sediaan farmasi telah masuk ke dalam kriteria hampir
kadaluarsa, maka diberi penandaan khusus, menggunakan kertas
warna merah menyala (asturo) dengan tulisan NEAR ED berwarna
hitam.
d). Sediaan farmasi yang hampir kadaluarsa diletakkan dalam rak
yang paling depan sehingga mudah terlihat dan diambil pertama
kali.
e). Melaporkan keberadaan sediaan farmasi yang hapir kadaluarsa
kepada Kepala Instalasi Farmasi.
f). Kepala Instalasi Farmasi memberikan informasi kepada dokter
penulis resep untuk segera meresepkan sediaan farmasi yang
hampir kadaluarsa tersebut.
g). Apabila telah mencapai atau melewati tanggal kadaluarsa,
sediaan farmasi tersebut dikumpulkan di gudang sentral untuk
dilakukan pemusnahan sesuai dengan prosedur pemusnahan.
b. Alur Evaluasi Obat Macet
Dalam mengatasi adanya obat macet di Gudang, kebijakan
yang diterapkan oleh Rumah Sakit Prof. Margono Soekarjo adalah
sebagai berikut:
a). Mencatat obat macet dari kartu stok atau computer.
b). Melaporkan hasil data obat macet ke atasan (Kepala Sub Instalasi
Sediaan Farmasi)
c). Ka.Sub Instalasi Sediaan Farmasi melaporkan kepada Kepala
Instalasi Farmasi mengenai adanya obat macet
d). Pengambilan tindakan oleh Kepala Instalasi Farmasi atas
permasalahan obat macet, yaitu melakukan tindakan :
(1) Memberikan informasi obat macet kepada SMF (Staf Medis
Fungsional) baik secara individu maupun melalui TFT (Tim
Farmasi dan Terapi)
83
(2) Memberikan informasi kepada principle atau distributor lewat
Kepala Sub Instalasi Sediaan Farmasi
(3) Jika kedua hal di atas tidak berhasil maka Kepala IFRS dapat
melaporkan perihal tersebut langsung kepada Direktur untuk
ditindaklanjuti.
Pelayanan Pembekalan
Administrasi
84
2. Sumber Daya Manusia
Depo Farmasi Rawat Jalan RSMS dikelola oleh 12 tenaga
kefarmasian, yang terdiri dari Satelit Farmasi Rawat Jalan memiliki 4
Apoteker dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian (D3 Farmasi = 8
orang, Administrasi = 5 orang) dalam kegiatan manajemen perbekalan
farmasi dan pelayanan kefarmasian. Keempat Apoteker tersebut masing-
masing bertanggung jawab dalam screening kelengkapan administrasi,
farmasetis, dan klinis resep, pemeriksaan hasil dispensing obat (checking),
penyerahan dan penyampaian informasi obat, serta berperan fungsional
yaitu memecahkan masalah yang terjadi.
Tugas koordinator di Depo Farmasi Rawat Jalan adalah mengordinir
pelayanan obat Rawat Jalan. Kegiatannya meliputi merencanakan,
menyimpan, dan mendistribusikan persediaan obat dan perbekalan farmasi.
Apoteker pelaksana memiliki tugas yaitu memberikan pelayanan asuhan
kefarmasian. Tenaga Teknis Kefarmasian yang bertugas untuk penerimaan
resep dari pasien, dan peracikan obat.
3. Pelayanan Resep di Depo Farmasi Rawat Jalan
Depo Farmasi Rawat Jalan dalam melayani resep pasien
menggunakan sistem pelayanan resep manual dan komputerisasi. Sistem
peresepan secara manual merupakan sistem peresepan konvensional dimana
permintaan obat pasien ditulis secara tertulis dalam resep oleh dokter dan
resep tersebut harus diserahkan di depo farmasi rawat jalan. Sedangkan
sistem peresepan komputerisasi merupakan sistem peresepan yang
permintaan obat pasien tertulis dalam komputer dan permintaan obat
tersebut sudah dapat diakses langsung dalam komputer di depo farmasi
rawat jalan yang telah terintergrasi oleh suatu sistem informasi. Peresepan
secara komputerisasi bertujuan untuk mempercepat waktu pelayanan
sehingga waktu tunggu pasien dalam pengambilan obat menjadi lebih
singkat. Selain itu dengan adanya sistem peresepan secara komputerisasi
juga dapat mempermudah dalam pembacaan resep sehingga dapat
meminimalkan terjadinya medication error.
85
Gambar 10. Kelompok Resep Rawat Jalan
Pelayanan di Satelit Farmasi Rawat Jalan melayani resep Umum dan
resep BPJS baik kategori PBI maupun non PBI. Resep umum Rawat Jalan
berwarna kuning, sedangkan resep BPJS PBI (Penerima Bantuan Iuran) dan
resep BPJS non PBI (Penerima Bantuan Iuran) berwarna putih. Selain itu
pada kegiatan pelayanan resep di rawat jalan juga dikelompokan menjadi
resep B (BPJS), C (racikan), dan D (umum). Secara umum yang
membedakan resep umum dan resep BPJS adalah pada sistem pembayaran
dimana pasien umum membayar sejumlah obat yang diterima, sedangkan
pada pasien BPJS pembayarannya telah ditanggung asuransi kesehatan.
Kelompok resep B merupakan kelompok resep khusus untuk pasien
BPJS, kelompok resep C untuk pasien yang menerima obat racikan, dan
kelompok resep D adalah kelompok pasien umum. Secara umum yang
membedakan resep umum dan resep BPJS adalah pada sistem pembayaran
dimana pasien umum membayar sejumlah obat yang diterima, sedangkan
pada pasien BPJS pembayarannya telah ditanggung asuransi kesehatan.
Pelayanan resep oleh Depo Farmasi Rawat Jalan terdapat suatu alur
pelayanan yang dimulai dari pasien datang dengan membawa resep hingga
pasien pulang dengan membawa obat. Secara garis besar, alur pelayanan
resep tersebut dibedakan menjadi 2 yaitu pelayanan resep untuk pasien
umum dan pelayanan resep untuk pasien BPJS. Berikut merupakan
penjelasan masing-masing alur pelayanan :
1) Alur Pelayanan Resep Pasien Umum
Pelayanan resep untuk pasien umum dimulai ketika pasien
yang telah mendapat resep dari poliklinik tertentu datang ke depo
86
farmasi rawat jalan hingga pasien pulang dengan membawa obat.
Secara umum alur pelayanan resep umum adalah sebagai berikut
dapat dilihat pada gambar 11.
Pemeriksaan akhir
Gambar
Penyerahan 11.
obat Alur1Pelayanan
diloket Rawat Jalan Pasien Umum RSMS
Berdasarkan alur pelayanan resep pasien umum tersebut pasien
yang akan menebus resep maka harus menyerahkan resepnya atau
kartu pendaftaran kepada petugas penerima resep dari depo farmasi
rawat jalan yang terdapat pada loket 3. Selanjutnya petugas bagian
penerimaan resep tersebut akan mengidentifikasi resep yang dibawa
pasien tersebut, memberikan No. resep, dan memberikan No. urut
pasien. Dalam hal ini petugas bagian penerimaan resep juga dapat
mengidentifikasi jenis-jenis pasien yang perlu pelayanan cepat karena
suatu kondisi khusus.
Petugas bagian penerimaan resep selanjutnya melakukan
pengkajian terhadap resep pasien dan menghitung harga keseluruhan
obat pasien. Penentuan harga obat ini sudah terdapat ketetapan oleh
pihak rumah sakit. Pada umumnya apabila harga keseluruhan obat
yang diterima pasien melebihi Rp. 100.000,- maka harus dilakukan
87
persetujuan terkait dengan harga obat kepada pasien yang
bersangkutan. Apabila dalam pengajuan harga obat ini pasien setuju
maka dapat langsung dilanjutkan pembayaran obat dan penyiapan
obat. Namun apabila pasien merasa keberatan terkait dengan harga
obat yang akan diterima pasien, maka petugas penerimaan resep dapat
memberikan pilihan yaitu menebus sebagian obat atau ditawarkan
penggantian obat yang memiliki khasiat yang sama namun dengan
harga yang lebih terjangkau. Proses pembayaran terhadap obat-obatan
yang diterima pasien dilakukan pada loket 2 yaitu bagian kasir.
Setelah dilakukan pembayaran maka resep pasien akan masuk
bagian penyiapan obat. Sebelum obat disiapkan, maka resep akan
diterima bagian administrasi untuk dilakukan entry resep serta
pembuatan etiket. Etiket yang digunakan di depo farmasi rawat jalan
terdiri dari 3 jenis yaitu etiket berwarna putih, etiket berwarna biru,
dan etiket sticker. Etiket berwarna putih digunakan untuk obat-obat
yang digunakan secara oral dan melewati saluran gastrointestinal.
Etiket berwarna biru digunakan untuk obat-obatan yang
administrasinya tidak melewati saluran gastrointestinal. Sedangkan
etiket dalam bentuk sticker merupakan etiket yang digunakan untuk
obat-obatan yang melewati saluran gastrointestinal. Namun resep ini
pembuatannya sudah secara otomatis dan telah memuat informasi
tentang pasien dan obat yang diterima pasien.
Pembuatan etiket dalam bentuk sticker ini bertujuan untuk
mempermudah dalam penyiapan obat sehingga dapat menurunkan
waktu tunggu pasien. Selain kegiatan-kegiatan ini, bagian skrining
juga berperan dalam pembuatan copy resep apabila terdapat resep
yang hanya ditebus sebagian atau tidak adanya salah satu jenis obat
yang diminta dalam resep. Output dari bagian administrasi berupa
berkas-berkas yang terdiri dari resep, slip pendaftaran, etiket, dan slip
lain yang terkait dengan kondisi pasien.
88
Setelah resep dilakukan entry dan dibuatkan etiket, maka
selanjutnya dilakukan penyiapan obat. Pada kegiatan penyiapan obat
terdapat banyak petugas yang memiliki bagian masing-masing.
Petugas bagian penyiapan obat ini terdiri dari petugas yang bertugas
dalam pengambilan obat-obatan, petugas pengemasan obat, petugas
peracikan sediaan puyer dan kapsul, dan petugas bagian peracikan
sediaan topikal. Selanjutnya sebelum obat diserahkan ke bagian
penyerahan obat, maka dilakukan pemeriksaan kelengkapan obat
secara keseluruhan oleh petugas mulai dari nama pasien, nama obat,
dosis bentuk sediaan, dan etiket. Apabila obat-obatan dinilai telah
sesuai, maka obat-obatan dapat langsung diserahkan ke bagian
penyerahan obat yaitu pada loket 1.
Proses penyerahan obat kepada pasien dimulai dengan
memanggil No. urut pasien. Selanjutnya petugas bagian penyerahan
obat harus memastikan ketepatan pasien dengan cara mengecek
kesesuaian No. urut pasien, nama pasien, dan alamat pasien dengan
yang tertulis dalam resep pasien. Saat petugas menyerahkan obat
kepada pasien harus disertai dengan pemberian informasi obat yang
meliputi nama obat, kegunaan obat, efek samping dan aturan pakai.
Apabila terdapat pasien kriteria tertentu yang membutuhkan
konseling, maka dapat dilakukan konseling kepada pasien oleh
Apoteker. Kriteria pasien yang perlu dilakukan konseling dalam hal
ini adalah pasien yang mendapatkan obat dengan cara kerja khusus
dan merupakan pasien yang pertama kali mendapatkan sediaan
tersebut. Selain itu kegiatan konseling juga dapat dilakukan kepada
pasien yang dinilai perlu untuk dilakukan konseling. Pada proses
penerimaan resep, pemeriksaan akhir dan penyerahan dan pemberian
informasi obat dilakukan oleh Apoteker.
89
sama seperti alur pelayanan pada pasien umum. Namun terdapat hal
yang membedakan antara keduanya, yaitu terkait dengan pembayaran.
Pasien BPJS tidak dikenakan biaya obat karena pembayarannya telah
ditanggung asuransi kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Alur pelayanan pasien BPJS dari pasien datang menyerahkan resep ke
bagian penerimaan resep depo farmasi rawat jalan hingga pasien
menerima obat adalah sebagai berikut pada gambar 12.
90
dalam hal ini bertugas dalam melakukan entry resep, membuat etiket
baik manual maupun secara komputerisasi, serta membuat copy resep
apabila terdapat suatu jenis obat yang tidak tersedia. Berkas-berkas
dari bagian administrasi yang telah siap untuk dilakukan penyiapan
obat selanjutnya dapat langsung dilakukan penyiapan obat. Dalam hal
ini resep dapat dibagi menjadi 2 yang terdiri dari resep racikan dan
non racikan. Resep racikan sendiri juga dapat dibedakan menjadi 2
yaitu resep racikan untuk sediaan topikal dan sediaan puyer/kapsul.
Untuk resep racikan maka obat-obatan yang perlu diracik
dikumpulkan dalam 1 plastik dan dibawa ke petugas bagian peracikan.
Sedangkan untuk resep non racikan maka obat-obatan cukup
disiapkan, dikemas, dan diberikan etiket yang telah disiapkan oleh
bagian administrasi sebelumnya.
Obat yang telah disiapkan sebelum diserahkan bagian
penyerahan obat, maka harus dilakukan pemeriksaan kembali oleh
petugas bagian pengecekan akhir. Dalam hal ini pengecekan kembali
berfungsi untuk meminimalkan terjadinya kesalahan dalam penyiapan
obat serta meminimalkan terjadinya medication error. Setelah obat-
obatan diteliti kembali dan dinyatakan sesuai, maka selanjutnya obat-
obatan beserta dengan berkas-berkas terkait diserahkan ke bagian
penyerahan obat pada loket 1 untuk dilakukan penyerahan obat dan
pemberian informasi terkait dengan pengobatan pasien.
Bagian penyerahan obat di loket 1 terdapat petugas yang
bertugas dalam menyerahkan obat-obatan sesuai dengan resep pasien.
Sebelum dilakukan penyerahan obat kepada pasien, maka pasien
dipanggil berdasarkan No. urut antrian. Ketika pasien datang maka
juga harus dilakukan pemeriksaan terkait dengan kesesuaian No. urut
antrian, nama pasien, dan alamat pasien. Bagian ini selain
menyerahkan obat juga memberikan informasi terkait dengan instruksi
pengobatan pasien serta informasi lain yang diperlukan. Sama halnya
dengan pelayanan pasien umum, apabila terdapat obat-obatan dengan
91
cara kerja khusus seperti seretide discuss, spiriva, inhaler dan lain-
lainnya maka perlu dilakukan konseling oleh Apoteker. Kegiatan
konseling ini dilakukan pada ruangan khusus dan bertujuan untuk
meningkatkan pemahaman pasien terkait dengan instruksi dan cara
pakai obat yang diterima pasien. Setelah kegiatan konseling berakhir,
maka kegiatan konseling harus dilakukan dokumentasi yang disertai
dengan tanda tangan pasien.
4. Pengelolaan Obat Di Depo Rawat Jalan RSMS
Pengelolaan obat dan alkes di rawat jalan RSMS meliputi
perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian,
pelaporan, evaluasi dan pengendalian obat dan alkes. Perencanaan depo
farmasi rawat jalan menggunakan metode konsumsi yang dilihat
berdasarkan pada pengeluaran harian dan jumlah kebutuhan obat
berdasarkan pola peresepan di pelayanan poliklinik.
Pengadaan obat di depo farmasi rawat jalan dilakukan sebanyak
dua kali dalam semingg. Depo farmasi rawat jalan melakukan pemesanan
secara langsung ke bagian gudang pusat RSMS menggunakan surat
pesanan. Barang yang dipesan diterima dan disimpan di gudang buffer di
bagian depo farmasi rawat jalan. Penataan obat di gudang buffer yaitu
berdasarkan bentuk sediaan, alfabetis, dan dipisahkan antara obat generik
dan obat merek dagang.
5. Penyimpanan Obat
Penyimpanan obat untuk pelayanan di rawat jalan disimpan di
rak-rak berdasarkan bentuk sediaan (tablet, kapsul, suppositoria, cair,
tetes mata, salep mata, salep kulit), alfabetis, dipisahkan antara obat
generik dengan obat merek dagang, obat yang harus disimpan pada suhu
dingin disimpan di kulkas, dan untuk penyimpanan narkotik dan
psikotropika menggunakan lemari yang mempunyai kunci ganda.
Penyimpanan juga berdasarkan obat fast moving dan slow moving. Hal
ini dilakukan agar dapat mempermudah pengambilan obat saat
dispensing.
92
Obat-obat high alert dan obat-obat yang penggunaannya berisiko
tinggi disimpan di lemari khusus high alert. Penyimpanan obat di
pelayanan farmasi rawat jalan secara keseluruhan sudah baik. Namun ada
beberapa hal yang masih kurang yaitu penyimpanan obat LASA belum
semua diberi stiker LASA dan di beri jarak antar obat. Hal ini terjadi
karena kurangnya rak penyimpanan obat. Selain itu saat dispensing
penyusunan obat menjadi tidak teratur dan terjadi perubahan susunan
obat.
Penyusunan sesuai urutan alfabetis yang sudah dilakukan menjadi
teracak dikarenakan pelayanan obat di rawat jalan yang sangat cepat.
Untuk mengatasi hal ini dibutuhkan kebiasaan untuk menata kembali
obat-obatan sesuai dengan aturan setelah pelayanan di depo farmasi
rawat jalan selesai dilakukan. Depo farmasi rawat jalan setiap harinya
melayani resep kurang lebih 700 resep, dengan SDM berjumlah 12 orang
masih kurang melihat banyaknya resep yang dilayani sehingga
diperlukan SDM yang lebih banyak agar kinerja lebih optimal.
6. Pembahasan
Depo farmasi rawat jalan melakukan pelayanan pengelolaan obat
dan alat kesehatan dan pelayanan farmasi klinis. Pengelolaan obat dan
alkes di rawat jalan RSMS meliputi perencanaan, pengadaan,
penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pelaporan, evaluasi dan
pengendalian obat dan alkes. Perencanaan depo farmasi rawat jalan
menggunakan metode konsumsi yang dilihat berdasarkan pada
pengeluaran harian dan jumlah kebutuhan obat berdasarkan pola
peresepan di pelayanan poliklinik.
Pengadaan obat di depo farmasi rawat jalan dilakukan setiap hari
pada pagi hari sebelum pelayanan berlangsung. Depo farmasi rawat jalan
melakukan pemesanan secara langsung ke bagian gudang pusat RSMS
menggunakan surat pesanan. Barang yang dipesan diterima dan disimpan
di gudang buffer di bagian depo farmasi rawat jalan. Penataan obat di
93
gudang buffer yaitu berdasarkan bentuk sediaan, alfabetis, dan
dipisahkan antara obat generik dan obat merek dagang.
Penyimpanan obat untuk pelayanan di rawat jalan disimpan di
rak-rak berdasarkan bentuk sediaan (tablet, kapsul, suppositoria, cair,
tetes mata, salep mata, salep kulit), alfabetis, dipisahkan antara obat
generik dengan obat merek dagang, obat yang harus disimpan pada suhu
dingin disimpan di kulkas, dan untuk penyimpanan narkotik dan
psikotropika menggunakan lemari yang mempunyai kunci ganda.
Penyimpanan juga berdasarkan obat fast moving dan slow moving. Hal
ini dilakukan agar dapat mempermudah pengambilan obat saat
dispensing.
Obat-obat high alert dan obat-obat yang penggunaannya berisiko
tinggi disimpan di lemari khusus high alert. Penyimpanan obat di
pelayanan farmasi rawat jalan secara keseluruhan sudah baik. Namun ada
beberapa hal yang masih kurang yaitu penyimpanan obat LASA belum
semua diberi stiker LASA dan di beri jarak antar obat. Hal ini terjadi
karena kurangnya rak penyimpanan obat. Selain itu saat dispensing
penyusunan obat menjadi tidak teratur dan terjadi perubahan susunan
obat.
Penyusunan sesuai urutan alfabetis yang sudah dilakukan menjadi
teracak dikarenakan pelayanan obat di rawat jalan yang sangat cepat.
Untuk mengatasi hal ini dibutuhkan kebiasaan untuk menata kembali
obat-obatan sesuai dengan aturan setelah pelayanan di depo farmasi
rawat jalan selesai dilakukan. Depo farmasi rawat jalan setiap harinya
melayani resep kurang lebih 500 resep, dengan SDM berjumlah 12 orang
masih kurang melihat banyaknya resep yang dilayani sehingga
diperlukan SDM yang lebih3 banyak agar kinerja lebih optimal.
Pendistribusian di depo farmasi rawat jalan dilakukan dengan
sistem individual prescribing yaitu menyiapkan obat untuk setiap pasien
sesuai dengan yang tertulis pada resep.
94
Pelaporan yang dilakukan oleh depo farmasi rawat jalan yaitu
pelaporan narkotik dan psikotropik yang dilaporkan kepada Penanggung
Jawab Instalasi Farmasi RSMS yang nantinya digunakan untuk pelaporan
sesuai perundang-undangan. Pelaporan lain yang dilakukan adalah
melaporkan sisa stok ke gudang pusat. Pelaporan ini dilakukan setiap
bulan.
Selain pelaporan dilakukan juga evaluasi yang meliputi evaluasi
stok dengan menyesuaikan jumlah stok fisik dengan jumlah stok yang
ada dikartu stok dan yang ada di SIM, evaluasi obat fast moving, slow
moving, dan obat-obat ED.
Kegiatan pelayanan farmasi klinik yang dilakukan di pelayan
rawat jalan antara lain pelayanan resep, Dispensing, pemberian informasi
obat dan konseling. Tahap kegiatan utama dalam proses pelayanan resep
di DFRJ RSMS, antara lain:
1) Penerimaan resep
Pasien menyerahkan resep kemudian diberi No. urut
pengambilan obat, yang dibedakan antara resep racikan, non racikan
dan DM.
2) Skrining Resep
Skrining resep dilakukan untuk mendeteksi dan mencegah
terjadinya Medication error dan Drug Related Problem (DRP)
terhadap pasien yang menerima obat. Skrining resep yang dilakukan
meliputi skrining administrasi, farmasetis dan klinis. Skrining
administrasi meliputi nama pasien, alamat pasien, usia pasien, ruang
perawatan, kelengkapan resep (nama dokter, SIK dokter, paraf dokter,
tanggal penulisan resep). Skrining farmasetis meliputi nama obat,
bentuk sediaan, dosis, kekuatan obat, frekuensi obat, inkompatibilitas.
Skrining klinis meliputi interaksi obat, DRP (Drug Related Problem),
toksisitas. Setelah dilakukan skrining resep jika tidak ada masalah
maka obat yang diberikan rasional, dilanjutkan dengan penulisan
95
etiket yang meliputi tanggal, nama pasien, aturan pakai, waktu
pemberian obat, dan paraf.Jika terdapat permasalahan dalam resep,
masalah tersebut dapat diselesaikan oleh Apoteker, bila perlu
didiskusikan juga dengan dokter penulis resep. Berikut ini skrining
resep yang dilakukan Apoteker dapat dilihat pada gambar 13.
96
krim/salep. Repackaging dilakukan jika volume obat yang besar
dibuat menjadi volume yang lebih kecil.
Dispensing obat dilakukan sesuai dengan jenis sediaan dan
jumlah obat yang diminta dan memasukkannya ke dalam wadah
obat/plastik, untuk obat non racikan. Jika obat yang diminta racikan
(puyer, kapsul, sirup, salep campuran dan lain-lain) bahan di ambil
sesuai dengan jumlah yang di minta dalam resep. Reseptir akan
melakukan pencampuran obat, sehingga obat racikan siap dikemas
menggunakan wadah obat atau plastik. Sedangkan untuk obat – obat
yang sering di gunakan, depo farmasi sudah mempersiapkan
sebelumnya untuk mempercepat proses pelayanan. Setelah dispensing
selesai, dilakukan pemeriksaan kesesuaian obat yang telah
didispensing dengan permintaan dalam resep berupa:
a). Identitas pasien dan asal resep (poliklinik)
b). Nama Obat, Jenis Sediaan dan jumlahnya
c). Aturan pakai obat dalam etiket.
4) Pemeriksaan obat (final checking)
Sebelum obat diserahkan kepada pasien, dilakukan
pemeriksaan kelengkapan obat secara keseluruhan, dimulai dari nama
pasien, nama obat, dosis, jumlah dan bentuk sediaan, dan etiket.
5) Penyerahan obat
Apoteker menyerahkan obat kepada pasien disertai dengan
pemberian informasi obat yang meliputi nama obat, kegunaan obat,
efek samping dan aturan pakai. Jika diperlukan lakukan konseling
untuk obat-obat tertentu misalnya sediaan inhaler, tetes mata, tetes
telinga, salep mata, suppositoria dan lain lain. Informasi tertentu
diberikan untuk pasien yang baru pertama kali menggunakan sediaan
tersebut.
Kegiatan farmasi klinis lain yang dilakukan yaitu kegiatan
konseling. Kegiatan konseling merupakan suatu aktivitas dalam
memberikan nasehat atau saran oleh Apoteker terkait dengan terapi
obat kepada pasien dan/atau keluarganya. Berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit disebutkan bahwa kegiatan konseling
97
baik di rawat jalan atau di rawat inap dilakukan atas dasar inisiatif
Apoteker, rujukan dokter, maupun keinginan pasien atau keluarganya.
Konseling bertujuan untuk meningkatkan pemahaman pasien terkait
dengan instruksi pengobatan yang diberikan sehingga dapat
meningkatkan komitmen pasien dalam pengobatannya. Selain itu juga
dapat bermanfaat untuk mencegah terjadinya pengobatan yang tidak
rasional oleh pasien.
Implementasi kegiatan konseling di depo farmasi rawat jalan
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dilaksanakan dengan baik.
Pelaksanaan kegiatan konseling di depo farmasi rawat jalan dilakukan
oleh Apoteker yang kompeten. Ditinjau dari segi sarana dan prasarana,
depo farmasi rawat jalan menyediakan ruangan konseling yang
nyaman bagi pasien dimana ruangan tersebut merupakan ruangan
yang tertutup, nyaman, serta cukup luas. Selain itu di ruang konseling
juga terdapat beberapa alat peraga yang dapat digunakan Apoteker
untuk memberikan instruksi atau contoh dalam menggunakan suatu
obat yang memiliki cara penggunaan khusus. Dengan hal-hal tersebut
diharapkan dapat membantu pasien dalam mendapatkan terapi yang
optimal serta meningkatkan keamanan penggunaan obat bagi pasien.
Berdasarkan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
disebutkan bahwa terdapat suatu kriteria pasien yang perlu dilakukan
konseling. Kriteria pasien tersebut terdiri dari pasien kondisi khusus
(pediatri, geriatri, gangguan ginjal, hamil dan menyusui), pasien
dengan terapi jangka panjang, pasien yang mendapatka obat dengan
cara kerja khusus, pasien yang mendapatkan obat dengan indeks terapi
yang sempit, pasien dengan polifarmasi, dan pasien yang memiliki
tingkat kepatuhan yang rendah. Dalam hal ini depo farmasi rawat
jalan RSMS pelaksanaan kegiatan konseling tidak dilakukan terhadap
keseluruhan kriteria pasien tersebut. Hal ini disebabkan karena
tingginya tingkat kegiatan di depo farmasi rawat jalan serta kurangnya
waktu dalam melaksanakan konseling. Pelaksanaan kegiatan
98
konseling di depo farmasi rawat jalan hanya dilakukan kepada pasien
yang pertama kali mendapatkan obat dengan instruksi penggunaan
khusus dan atas permintaaan pasien sendiri, contohnya adalah pasien
yang pertama kali mendapatkan obat seretide discuss, spiriva, maupun
inhaler.
Kegiatan konseling dimulai dengan cara membuka komunikasi
antara Apoteker dan pasien. Selanjutnya dilakukan identifikasi
pemahaman pasien terkait dengan obat yang diterimanya yaitu dengan
teknik three prime questions serta menggali informasi pasien lebih
lanjut apabila diperlukan. Setelah pengetahuan pasien terkait dengan
pengobatan tersebut diketahui, kemudian dilakukan pemberian
penjelasan kepada pasien terkait dengan instruksi pengobatan. Pada
akhir kegiatan konseling dilakukan dokumentasi kegiatan dengan cara
mengisi buku kegiatan konseling yang berisi tanggal dilakukannya
konseling, nama pasien, tanda tangan Apoteker yang memberikan
konseling, dan tanda tangan pasien.
99
Rumah Sakit Prof. Dr. Margono Soekarjo (RSMS) telah menerapkan
Standar Prosedur Operasional (SPO) dalam hal pelayanan resep rawat inap
yaitu dari penerimaan resep hingga penyerahan obat dan konseling pasien.
Alur pelayanan resep di Depo Farmasi Rawat Inap RSMS dapat dilihat pada
gambar 14, di bawah ini
Gambar 14. Alur Pelayanan Resep di Instalasi Farmasi Rawat Inap RSUD Prof.
Dr. Margono Soekarjo
100
Selain itu untuk resep obat retur, alur pelayanan resepnya dapat dilihat
pada gambar 15, sebagai berikut :
Gambar 15. Alur Pelayanan Resep Obat Return di Instalasi Farmasi Rawat
Inap RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Pelayanan resep untuk pasien rawat inap yaitu memberikan pelayanan
obat dan atau alat kesehatan sesuai resep yang tertulis dalam kartu obat yang
diberikan oleh dokter ke Depo Farmasi Rawat Inap dan melayani
pengembalian obat dan atau alat kesehatan yang tidak digunakan kembali
(return).
101
Depo Farmasi Rawat Inap memberikan pelayanan resep yang
berbentuk kartu obat untuk pasien rawat inap umum, BPJS PBI dan BPJS
NON PBI. Kartu obat untuk masing-masing pelayanan dibedakan menjadi
beberapa jenis yaitu:
1) Kartu obat warna kuning, untuk pasien Umum.
2) Kartu obat warna putih, untuk pasien BPJS non PBI.
3) Kartu obat warna hijau, untuk pasien BPJS PBI.
Alur pelayanan resep pasien rawat inap dan pasien pulang di apotek
rawat inap RSMS adalah sebagai berikut :
1) Penyerahan kartu obat
Kartu obat diserahkan ke bagian penerimaan resep. Bagian
penerimaan resep akan menanyakan apakah resep ditunngu atau tidak.
Pasien dengan kartu obat yang memiliki keterangan ditunggu atau
“CITO”, maka resep tersebut diutamakan untuk dilayani. Tanda
“CITO” yang berwarna merah muda menandakan bahwa obat dan
alkes untuk pasien rawat inap sedangkan tanda “CITO” yang berwarna
kuning menandakan obat dan alkes untuk pasien pulang. Kartu obat
yang tidak ditandai dengan CITO maka petugas akan mencatat nama
pasien, tanggal, dan waktu datang resep di buku ekspedisi, kemudian
kartu obat diproses.
2) Skrining Resep
Skrining resep yang dilakukan meliputi skrining administrasi,
skrining farmasetis, dan skrining klinis. Skrining administrasi meliputi
nama pasien, alamat pasien, usia pasien, ruang perawatan,
kelengkapan resep (nama dokter, SIK dokter, paraf dokter, tanggal
penulisan resep). Skrining farmasetis meliputi nama obat, bentuk
sediaan, dosis, kekuatan obat, frekuensi obat, inkompatibilitas.
Skrining klinis meliputi interaksi obat, DRP (Drug Related Problem),
toksisitas. Setelah dilakukan skrining resep jika tidak ada masalah
maka obat yang diberikan rasional, dilanjutkan dengan penulisan
102
etiket yang meliputi tanggal, nama pasien, aturan pakai, waktu
pemberian obat, dan paraf.
3) Pembuatan Etiket
Etiket yang ada di Depo Farmasi Rawat Inap menggunakan
sistem etiket elektronik. Etiket elektronik digunakan untuk peresepan
OUDD (One-daily Unit Dose Dispensing).
4) Entry Data
Entry data dilakukan oleh petugas administrasi yang meliputi
nama pasien, alamat pasien, ruang perawatan, jaminan pembayaran,
nama obat, jumlah obat dan harga obat. Setelah data di entry resep
akan diberi cap validasi farmasi.
5) Dispensing
Data yang telah dientry dan dicap validasi pada kartu obat
kemudian diserahkan ke bagian dispensing untuk dilakukan penyiapan
obat dan alkes yang tertulis dalam resep, untuk obat racikan
diserahkan ke bagian peracikan untuk dilakukan pencampuran obat.
Proses dispensing dibawah pengawasan Apoteker penanggung jawab.
Semua obat yang sudah disediakan kemudian dilakukan checking
akhir oleh petugas farmasi.
6) Checking
Obat dan alkes yang telah lengkap diserahkan ke bagian
checking untuk dilakukan pengecekan ulang. Tujuannya untuk
meminimalkan kesalahan pemberian obat dan alkes. Obat dan alkes
yang telah dipastikan benar sesuai dengan yang tertera pada kartu
obat, kemudian dilanjutkan dengan pengemasan. Jika obat kosong
atau sedang dalam proses pencarian maka resep ditunda terlebih
dahulu.
7) Penyerahan Obat dan alkes
a) Penyerahan langsung kepada pasien atau keluarga pasien
Obat dan alkes yang disiapkan berdasarkan kartu obat dengan tanda
“CITO” diserahkan langsung kepada keluarga pasien dengan
memanggil nama pasien, menanyakan No. antrian, ruangan pasien
dan alamat pasien, yang disesuaikan pada kartu obat. Penyerahan
103
obat langsung diserahkan kepada keluarga pasien diikuti dengan
pemberian PIO dan konseling.
104
d. Penyimpanan Obat dan Alkes Di Depo Farmasi Rawat Inap RSMS
Penyimpanan obat untuk pelayanan di depo farmasi rawat inap di
tempatkan pada rak-rak berdasarkan bentuk sediaan (tablet, kapsul,
suppositoria, cair, tetes mata, salep mata, salep kulit), alfabetis, diurutkan
berdasarkan tanggal kadaluarsa obat tersebut (First Expired First Out)
dan dipisah antara obat generik dengan obat merek dagang, obat yang
harus disimpan pada suhu dingin disimpan di kulkas, dan untuk
penyimpanan narkotik dan psikotropika menggunakan lemari yang
mempunyai kunci ganda. Penyimpanan juga berdasarkan obat fast
moving dan slow moving. Hal ini dilakukan agar dapat mempermudah
pengambilan obat saat dispensing. Untuk obat yang mendekati tanggal
kadaluwarsanya (6 bulan sebelum tanggal kadaluwarsa) dipisahkan dan
diberi tanda dengan stiker bertuliskan “NEAR ED 1”.
Obat-obat high alert dan obat-obat yang penggunaannya berisiko
tinggi disimpan di lemari khusus yang diberi tanda “high alert” dengan
background merah dengan tulisan berwarna putih, penandaan high alert
di tempelkan pada lemari, dus obat, kemasan skunder dan kemasan
primer obat. Untuk obat-obat dengan tampilan dan ucapan yang hampir
sama diberi tanda “LASA”, Penandaan obat-obat golongan LASA
diberikan pada lokasi penyimpanan suatu obat. Selain itu penandaan juga
diberikan pada kemasan sekunder suatu obat. Penataan obat-obat LASA
di depo farmasi rawat inap RSMS dilakukan dengan memisahkan atau
memberikan jarak/ jeda yang cukup kepada 2 jenis obat dengan kategori
LASA.
Untuk obat Stok emergency merupakan persediaan yang
digunakan dalam keadaan darurat yang ditempatkan di setiap ruang
perawatan rawat inap dalam emergency trolley. Emergency Trolley berisi
obat-obat dan alat kesehatan yang di cek setiap bulannya untuk
memastikan stok dan tanggal kadaluarsanya. Pengecekan tanggal
kadaluarsa adalah salah satu cara untuk mengendalikan persediaan obat
105
yang ada. Penjagaan stok emergency digunakan pengunci berbahan
plastik berwarna merah dengan No. kode untuk pencatatan dan hanya
dapat dibuka dengan cara digunting.
106
Sistem distribusi obat dan alkes yang diterapkan di Depo Farmasi IMP
yaitu :
1) Sistem OUDD (One-Daily Unit Dose Dispensing)
Sistem One-Daily Unit Dose Dispensing (OUDD) yaitu obat dan
alkes disiapkan untuk digunakan sesuai kebutuhan pasien untuk 1 kali
penggunaan selama 24 jam. Obat lalu didistribusikan ke masing-masing
ruang perawatan yaitu ruang bersalin, ruang Flamboyan dan ruang
Melati. Penyerahan obat dilakukan oleh oleh perawat ruangan yang
bertugas.
2) Sistem Paket
Pada sistem ini obat dan alat kesehatan sudah disiapkan sesuai
dengan jenis kebutuhan meliputi persalinan normal dan Sectio Caesarea
(SC).
3) Stok Emergency
Stok emergency merupakan persediaan Floor Stok yang digunakan
dalam keadaan darurat yang ditempatkan di ruang bersalin dan ruang
perawatan IMP (Flamboyan dan Melati) dalam emergency trolley.
Emergency Trolley berisi obat-obat dan alat kesehatan yang di cek setiap
bulannya untuk memastikan stok dan tanggal kadaluarsanya. Jika stok obat
berkurang maka dicari penyebabnya di buku pencatatan penggunaan
emergency trolley setelah itu dilengkapi lagi. Pengecekan tanggal
kadaluarsa adalah salah satu cara untuk mengendalikan persediaan obat
yang ada. Pengecekan dilakukan sekali dalam sebulan. Penjagaan stok
emergency digunakan pengunci berbahan plastik berwarna merah dengan
No. kode untuk pencatatan dan hanya dapat dibuka dengan cara digunting.
Untuk penyusunan obat baik di Depo Farmasi Rawat Inap maupun
Depo Farmasi Instalasi Maternal dan Perinatal tidak berbeda jauh. Pertama
obat dipisahkan menurut suhu rute, setelah itu dipisahkan menurut rute
pemberiannya lalu jenis obat (generic atau paten) dan terakhir disusun
berdasarkan alfabetis dan diurutkan berdasarkan tanggal kadaluarsa obat
tersebut (First Expired First Out).
107
Untuk obat yang mendekati tanggal kadaluwarsanya (6 bulan
sebelum tanggal kadaluwarsa) dipisahkan dan diberi tanda dengan stiker
bertuliskan “NEAR ED 1”. Obat- obat High Alert disimpan ditempat yang
terpisah dengan obat reguler yaitu di lemari berbeda atau di lemari yang
sama tapi di sekitar tempat penyimpanan obat High Alert ditempelkan
stiker “High Alert” pada kemasan terkecil obat tersebut agar tidak keliru
dalam mengambil obat dan perawat yang memberikan obat dapat hati-hati
ketika memberikan obat tersebut.
Obat LASA (look alike sounds like) diberi stiker “LASA” pada
tempat menyimpan obat tersebut dan penempatan obat-obat LASA
diselingi dengan obat lain agar tidak berdampingan dan untuk menghindari
kesalahan ketika pengambilan obat oleh Apoteker maupun TTK. Untuk
obat psikotropika disimpan di lemari khusus yang memiliki kunci dan
kunci tersebut disimpan oleh Apoteker atau petugas yang
bertanggungjawab.
c. Pelayanan Resep
Pelayanan resep di Instalasi Maternal dan Perinatal Rumah Sakit
Margono Soekarjo dibedakan menjadi dua jenis yaitu untuk pasien di ruang
bersalin dan untuk pasien yang sedang dirawat. Berikut pada gambar 16
adalah skema alur pelayanan resep di ruang bersalin.
108
Dicatat oleh TTK
109
Sementara pasien yang sedang dirawat di bangsal, alur pelayanan
resepnya adalah sebagai berikut pada gambar 17.
Gambar 17. Alur distribusi obat/ alat kesehatan untuk pasien yang
dirawat maternal dan neonatal
110
1. Struktur Organisasi
Apoteker
111
resep untuk pasien di IGD menggunakan kartu obat yang telah disediakan
oleh RSMS. Penulisan resep dibedakan melalui kertas warna resep yang
dibagi menjadi 3 jenis yaitu untuk pasien rawat inap BPJS PBI
menggunakan kertas resep berwarna hijau, sementara pasien rawat inap
BPJS Non PBI menggunakan kertas resep berwarna putih, dan untuk pasien
rawat inap Non BPJS menggunakan kertas resep warna kuning. Pemberian
obat dilakukan selama diobservasi di IGD atau maksimal untuk 1 hari.
Kegiatan pelayanan kefarmasian di IGD yaitu pengelolaan obat dan
pelayanan farmasi klinis. Perencanaan pengadaan perbekalan farmasi di
depo farmasi IGD didasarkan pada pola dan jumlah pemakaiannya di IGD.
Untuk obat-obatan dan alkes yang bersifat fast moving maka permintaan
untuk barang tersebut juga besar. Barang yang habis atau hampir habis
dicatat ke dalam buku defekta. Kemudian petugas melakukan permintaan
stok barang tersebut ke gudang pusat RSMS dengan melampirkan surat
pemesanan (SP). Permintaan stok barang ke gudang pusat RSMS dilakukan
setiap hari rabu dan sabtu, namun jika ada permintaan cito, pengadaan
langsung dilakukan pada hari itu juga. Ketika barang datang, maka petugas
depo farmasi IGD bersama petugas gudang pusat melakukan pengecekan
untuk menyesuaikan antara nama perbekalan farmasi, jenis, bentuk sediaan
dan jumlah barang yang diterima dari gudang pusat dengan jumlah yang
dipesan oleh depo farmasi IGD. Apabila telah sesuai, penambahan stok
barang di depo IGD akan diproses melalui SIM.
Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang
diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome
terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk
tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien
(quality of life) terjamin.
Beberapa jenis pelayanan farmasi klinik yang dilakukan antara lain:
1) Pengkajian dan pelayanan resep
Pengkajian dan pelayanan resep yang dilakukan di Instalasi
Gawat Darurat hanya mencakup penerimaan, pemeriksaan ketersediaan,
112
penyiapan dan penyerahan sediaan farmasi yaitu obat, Alat Kesehatan
dan bahan medis habis pakai tanpa disertai dengan pemberian informasi
obat. Hal ini karena kegawat daruratan pasien yang harus terlebih dahulu
segera ditangani. Untuk membantu memudahkan pelayanan, resep yang
ada di RSMS dibuat dalam format kartu obat yang berisi daftar obat dan
alat kesehatan yang digunakan.
2) Rekonsiliasi obat dan alat kesehatan
Rekonsiliasi obat merupakan proses membandingkan instruksi
pengobatan dengan obat yang telah didapat pasien. Pada umumnya,
rekonsiliasi obat bertujuan untuk memastikan informasi yang akurat
tentang obat yang digunakan pasien, mengidentifikasi ketidaksesuaian
akibat tidak terdokumentasinya instruksi dokter dan mengidentifikasi
ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya instruksi dokter. Di IGD,
rekonsiliasi obat dilakukan dengan membandingkan dan mengecek obat
yang telah digunakan oleh pasien sebelum masuk ke IGD.
3) Pelayanan informasi obat
Dilakukan pada saat penyerahan obat kepada pasien yang akan
pulang. Pemberian informasi obat diutamakan untuk pasien dengan
penggunaan obat khusus dan berkelanjutan. Adapun untuk kegiatan
monitoring obat yakni menyesuaikan antara obat yang diresepkan oleh
dokter dengan rencana pengobatan dalam status pasien belum dapat
diterapkan secara maksimal.
4. Alur Pelayanan Kefarmasian
Pasien yang datang ke IGD dibedakan menjadi 3, yaitu pasien yang
sedang diobservasi, pasien yang dioperasi di OK atau VK IGD, dan pasien
yang diperbolehkan pulang dari IGD.
Alur pelayanan untuk pasien yang sedang diobservasi yaitu: perawat
IGD datang ke DF IGD untuk mengambil obat dan alat kesehatan yang
diperlukan untuk penanganan segera pasien dengan menuliskan nama, dosis,
dan jumlahnya ke dalam kartu obat pasien. Petugas farmasi DF IGD
kemudian mengecek obat atau alat kesehatan apa saja yang akan diambil
113
dan mencatat dalam buku catatan DF IGD. Setelah kondisi kedaruratan
teratasi, perawat IGD menyerahkan kartu obat yang telah berisi catatan obat
dan alat kesehatan yang diambil sebelumnya beserta instruksi yang ditulis
dokter IGD paska kedaruratan teratasi kepada petugas farmasi Depo
Farmasi IGD.
Pengambilan alat kesehatan oleh perawat dilakukan secara langsung
ke Depo Farmasi IGD dan jarang mengambil perbekalan kesehatan berupa
obat atau perbekalan lain yang ada di emergency kit. Hal ini dilakukan
karena perbekalan kesehatan yang ada di emergency kit tidak rutin
dilakukan pengecekan terhadap stock obat yang kosong dan waktu ED.
Apabila obat yang terdapat di emergency kit mempunyai ED tahun ini maka
diganti dengan obat yang ED nya minimal tahun depan. Hal ini dilakukan
untuk mencegah penggunaan obat ED pada pasien gawat darurat.
Petugas farmasi Depo Farmasi IGD menerima dan memeriksa
kelengkapan kartu obat (nama pasien, alamat pasien, no. registrasi/rekam
medik, nama dan paraf dokter penulis resep), serta mencocokkan nama,
dosis dan jumlah obat atau alat kesehatan yang digunakan sebagai terapi
kedaruratan dengan catatan Depo Farmasi IGD. Kemudian petugas farmasi
Depo Farmasi IGD mengambil dan menyerahkan obat atau alat kesehatan
sesuai dengan resep yang ditulis dokter IGD paska kedaruratan. Selanjutnya
untuk pasien yang akan dipindahkan ke ruang rawat inap, maka petugas
farmasi memasukkan data ke SIM. Setelah itu petugas farmasi menyerahkan
kartu obat pasien kepada petugas transporter.
Berikut ini skema pada Gambar 19 alur pelayanan untuk pasien yang
sedang diobservasi di Depo farmasi IGD.
114
Perawat IGD datang ke DF IGD untuk melakukan permintaan obat dan
alkes yang diperlukan
115
Pengecekkan akhir
Pelayanan perbekalan farmasi di OK dan VK IGD untuk pasien
yang akan dioperasi menggunakan system paket (craneotomi,
laparotomi, dan sectio)
116
Pasien Resep dibawa Petugas/pasien
masuk oleh petugas menyerahkan resep
datang
IGD/pasien ke Apotek IGD
Melakukan
Petugas farmasi IGD
konfirmasi harga Entry Resep melakukan skrining
obat
resep
Pasien melakukan
pembayaran
Gambar 21. Alur Pelayanan untuk Pasien yang diperbolehkan Pulang dari
IGD
5. Pengelolaan Perbekalan Farmasi di IGD
Perencanaan pengadaan perbekalan farmasi di depo farmasi IGD
didasarkan pada pola dan jumlah pemakaiannya di IGD. Untuk obat-obatan
dan alkes yang bersifat fast moving maka permintaan untuk barang tersebut
juga besar. Barang yang habis atau hampir habis dicatat ke dalam buku
defekta. Kemudian petugas melakukan permintaan stok barang tersebut ke
gudang pusat RSMS dengan melampirkan surat pemesanan (SP).
Permintaan stok barang ke gudang pusat RSMS dilakukan setiap hari rabu
dan sabtu, namun jika ada permintaan CITO, pengadaan langsung
dilakukan. Ketika barang datang, maka petugas depo farmasi IGD bersama
petugas gudang pusat melakukan pengecekan untuk menyesuaikan antara
nama perbekalan farmasi, jenis, bentuk sediaan dan jumlah barang yang
diterima dari gudang pusat dengan jumlah yang dipesan oleh depo farmasi
117
IGD. Apabila telah sesuai, penambahan stok barang di depo IGD akan
diproses melalui system komputerisasi yang ada.
Penyimpanan perbekalan farmasi di Depo Farmasi IGD telah diatur
sesuai dengan persyaratan dan standar kefarmasian. Susunan penyimpanan
dibuat berdasarkan pembagian berikut:
1) Bentuk dan jenis perbekalan farmasi
a) Obat
Penyusunan obat dibedakan lagi berdasarkan bentuk sediaannya, yaitu
sediaan tablet, sediaan cair, sediaan topikal, injeksi dan cairan infus.
b) Alat kesehatan.
Penyusunan alat kesehatan dikelompokkan berdasarkan kegunaannya.
2) Suhu penyimpanan dan stabilitas
Obat-obat termolabil yang memerlukan penyimpanan di suhu dingin (2-
80C) disimpan dalam lemari pendingin.
3) Susunan alfabetis
Obat disusun sesuai urutan alfabetis nama generik atau nama dagangnya.
4) Sistem FIFO dan FEFO
Perbekalan farmasi disusun dengan menempatkan barang yang pertama
kali masuk atau barang dengan tanggal kadaluwarsa paling dekat terletak
di bagian depan sehingga dapat dengan mudah dikeluarkan lebih dulu.
Penyimpanan di depo farmasi IGD juga menerapkan pengaturan
khusus untuk obat-obat yang termasuk dalam kelompok obat high alert dan
obat LASA sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Sediaan narkotika
dan psikotropika disimpan di dalam lemari khusus yang terletak di bagian
belakang depo, terpisah dari lemari penyimpanan obar lain, lemari tersebut
selalu terkunci.
118
bertugas memberikan pelayanan kefarmasian kepada pasien rawat inap yang
membutuhkan pelayanan yang intensif. Depo farmasi Intensive Care RSMS
memiliki 3 Depo Farmasi yang terdiri terdiri dari Depo Farmasi Intensive
Care Unit (ICU), Depo Farmasi High Care Unit (HCU), Depo Farmasi
Intensive Coronary Care Unit (ICCU).
Depo farmasi Intensive Care Unit (ICU) bertugas menangani pasien
gawat karena penyakit, trauma atau komplikasi penyakit lain dan pasien
dengan kondisi tidak stabil pasca operasi. ICU berfokus pada pasien yang
membutuhkan perawatan intensif yang memerlukan support terhadap
instabilitas hemodinamik, airway atau respiratory compromise dan atau
gagal ginjal, kadang ketiga-tiganya. Perawatan intensif biasanya hanya
disediakan untuk pasien-pasien dengan kondisi yang potensial reversible
atau mereka yang memiliki peluang baik untuk bertahan hidup.
Depo farmasi High Care Unit (HCU) yang memberikan pelayanan di
rumah sakit bagi pasien dengan kondisi respirasi, hemodinamik dan
kesadaran yang stabil yang masih memerlukan pengobatan, perawatan, dan
observasi secara ketat dengan tingkat pelayanan yang berada di antara ICU
dan ruang rawat inap. Sedangkan Depo farmasi Intensive Coronary Care
Unit (ICCU) memberikan pelayanan atau menangani pasien dengan
penyakit jantung dan pembuluh darah.
Depo farmasi ICU, HCU, ICCU dan Kemoterapi merupakan bagian
dari Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) di RSUD Prof. Dr. Margono
Soekarjo Purwokerto (RSMS) yang bertugas memberikan pelayanan
kefarmasian kepada pasien rawat inap yang membutuhkan pelayanan ketat
atau intensif. Struktur di pelayanan intensif terdiri dari 1 Apoteker
penanggung jawab untuk 3 Depo farmasi serta depo kemoterapi dan
masing-masing depo farmasi memiliki 1 orang Apoteker koordinator. Pada
depo HCU terdapat 1 TTK, sedangkan untuk Depo kemoterapi terdapat 3
TTK. Jumlah tempat tidur pasien yang tersedia di ICU 11 tempat tidur, HCU
18 tempat tidur, dan ICCU 5 tempat tidur. Waktu pelayanan farmasi di
Intensive Care dan Kemoterapi dimulai pagi pukul 07.00-14.00 wib dengan
6 hari kerja (senin-sabtu). Berikt pada gabar 22 dapat dilihat struktur
119
organisasi dan sumber daya di depo Farmasi Intensive Care dan
Kemoterapi.
a. Sumber Daya Manusia
Kepala Instalasi
Depo
Farmasi
Depo Depo
Depo ICCU
Farmasi Farmasi
Farmasi ICU
Gambar (1 Apoteker)
22. Struktur Organisasi dan Sumber DayaHCU
Manusia di Depo
(1 Apoteker) Farmasi Intensive Care dan Kemoterapi Kemoterapi
(1 Apoteker) (1 Apoteker
b. Alur Pelayanan Resep dan 4 TTK)
Adapun alur pelayanan resep di depo ICU/ICCU/HCU meliputi :
1) Dokter menuliskan instruksi terapi ke Catatan Medik (CM) pasien.
2) Apoteker melakukan skrining kartu obat dengan cara melihat
kesesuaian, identitas pasien, kesesuaian obat, pelarut dan jumlah
obat yang diberikan, profil klinik serta jaminan pelayanan medik,
3) Skrining kesesuaian status pasien dengan obat yang akan diberikan,
jika obat tidak masuk dalam jaminan kesehatan dikonsultasikan
dengan dokter, keluarga pasien, dan tim pengendali farmasi,
4) Skrining DRP, jika terdapat DRP, maka Apoteker mengkonsultasikan
dengan dokter yang merawat.
5) Menyelesaikan problem yang ada di kartu obat dengan merujuk ke
literatur atau pedoman tata laksana serta dapat mengkonsultasikan
dengan Apoteker senior dan dokter yang merawat.
6) Menentukan jumlah obat atau alat kesehatan yang akan diberikan ke
pasien.
7) Menyalin rencana terapi dari status pasien atau lembar pemantauan
pasien ke kartu obat pasien.
120
8) Menyalin bon obat dan alkes ke kartu obat. Bon dapat disiapkan
perawat ketika ada terapi baru ataupun terapi tambahan pada pasien
lama diluar shift jaga Apoteker yang dicatat dalam buku bon.
9) Menyiapkan obat sesuai dengan kartu obat pasien.
10) Mengisi obat sesuai dengan jenis sediaan ke dalam loker obat pasien,
yang pengemasannya secara OUDD (One-Daily Unit Dose
Dispensing) dimana penyiapan obat untuk 1 hari kemudian dikemas
untuk 1 kali pemakain yang terbagi menjadi 3 dengan warna etiket
yang berbeda yaitu pagi (etiket kuning), sore (etiket pink) dan malam
(etiket hijau) serta untuk infus diberi etiket warna biru.
11) Mengecekan kembali obat yang diberikan sesuai dengan lembar
terapi atau status pasien.
12) Mengentri data berdasarkan kartu obat pasien serta melakukan
validasi yang meliputi :
a). Menulis jumlah obat setiap resep yang muncul dalam display
pada kartu obat
b). Pemberian stempel pada tiap resep
13) Apabila terdapat obat yang tidak sesuai dengan terapi obat pasien
pada saat itu, maka obat akan segera direturn oleh Apoteker.
14) Mencatat kejadian Medication Error, jika Apoteker menemukan
adanya DRP aktual maka dapat mengkonsultasikan ke Apoteker
senior atau dokter penanggungjawab.
15) Memberikan informasi yang tepat dan secukupnya kepada perawat
atau dokter.
16) Membuat laporan harian tentang terapi pasien
Pelayanan narkotika dan psikotropika meliputi :
1) Pada shift jaga Apoteker, obat narkotik disiapkan oleh Apoteker
dengan menyertakan resep narkotik yang akan ditandatangani oleh
dokter yang memberikan terapi, melakukan dispensing atau penyiapan
obat, kemudian diserahkan ke perawat atau disimpan di loker obat
pasien.
121
2) Diluar shift jaga Apoteker, yang bertanggungjawab untuk menyiapkan
obat narkotika adalah perawat yang diberi wewenang dan harus
menyertakan resep narkotika yang akan ditandatangani oleh dokter
yang memberikan terapi. Obat tersebut ditulis dalam buku bon.
3) Melakukan dispensing atau penyiapan obat.
4) Diserahkan ke perawat atau disimpan di loker obat pasien.
5) Melakukan entery resep ke computer.
Pada umumnya pasien ICU berasal dari IGD (Instasi Gawat
Darurat), IBS (Instasi Bedah Sentral) dan bangsal rawat inap dengan
kasus-kasus antara lain post operasi sectio caesarea, laparotomi (operasi
bagian abdomen), operasi batu ginjal, dan operasi craniotomi dan lain-
lain yang masih membutuhkan monitoring hemodinamik dan airways.
Pasien yang dirawat di bagian ICCU berasal dari IGD, bangsal rawat
jalan dan rawat inap. Pasien tersebut memerlukan penanganan khusus
jantung dan pembuluh darah, baik pasien rawat inap maupun bagi pasien
yang hanya memerlukan observasi jantung dan dikembalikan ke bangsal.
Pasien yang mendapatkan pelayanan HCU dapat berasal dari ICU, ICCU,
IGD, kamar operasi, bangsal (ruang rawat inap). Pemindahan pasien ini
berdasarkan instruksi dokter.
Pasien yang masuk ke ICU, HCU dan ICCU dimulai pada pagi
hari (07.00-14.00 WIB), setelah mendapatkan instruksi dokter pada resep
yang tertera pada form rekam medik, Apoteker melakukan skrining atau
telaah resep, menyalin instruksi ke kartu obat, setelah itu proses
dispensing obat, pendistribusian ke rak obat pasien, memasukkan data
dan harga obat pada SIM RSMS dan selanjutnya melakukan monitoring.
Sedangkan apabila pasien baru yang masuk siang hari atau pasien lama
yang mendapat terapi tambahan di luar jam kerja Apoteker/TTK,
pemberian obat dilakukan oleh perawat dengan menggunakan sistem
floor stock dimana dilakukan dengan mencatat pada buku bon yang
disertai tanda tangan perawat yang bersangkutan dan esok hari Apoteker
menyalin ke kartu obat pasien.
122
Alur pelayanan obat dan alkes di depo farmasi ICU RSMS sudah
sesuai standar pelayanan kefarmasian berdasarkan PMK No 72 tahun
2016, dimana kegiatan farmasi klinik dimulai dari dokter visite
memberikan rekomendasi untuk pengobatan, kemudian Apoteker
sekaligus melakukan skrining resep, apabila ditemukan masalah terkait
obat langsung dikonsultasikan kepada dokter penulis resep atau dokter
penanggung jawab pasien (DPJP). Selain itu Apoteker dapat memberikan
rekomendasi terapi jika ada. Kemudian Apoteker menyiapkan obat dan
mendistribusikan obat dengan OUDD (One-Daily Unit Dose Dispensing)
dan floor stock. Floor Stock dilakukan ketika Apoteker telah selesai
melakukan pelayanan kefarmasian di Apotek. Kekurangan dalam
pelayanan di depo farmasi ICU adalah Apoteker tidak berada 24 jam di
ICU, dan apabila ada pasien datang di luar jam kerja maupun pada hari
libur, Apoteker tidak dapat langsung melakukan skrining farmasetis dan
klinis terhadap instruksi (resep). Sehingga jika terdapat masalah terkait
resep maupun DRP tidak dapat segera ditangani. Ketidaksesuaian lain
juga terdapat pada proses dispensing obat yang dilakukan oleh perawat
pada saat Apoteker tidak pada jam kerja, dimana perawat tidak langsung
menuliskan pengeluaran obat di buku BON, namun direkap di akhir shift
perawat sehingga rawan lupa yang dapat menyebabkan ketidaksesuaian
stock obat.
Sistem distribusi di Depo Farmasi ICCU yaitu OUDD (One-Daily
Unit Dose Dispensing) dan floor stock. Floor Stock dilakukan ketika
Apoteker telah selesai melakukan pelayanan kefarmasian di Apotek.
Pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
(BMHP) dilakukan 2 kali dalam seminggu yaitu setiap hari kamis dan
sabtu dengan mengajukan surat (2 rangkap) berisi kebutuhan sediaan
farmasi, alat kesehatan dan BMHP diserahkan ke gudang farmasi.
Apoteker pada depo berperan dalam pelayanan farmasi klinik
diantaranya yaitu ketika dokter visite maka dilakukan skrining resep,
pembuatan etiket, dispensing, distribusi kemudian pencatatan di
123
komputer, selain itu melakukan rekonsiliasi obat, pemantauan terapi obat
(SOAP) dan konseling. Apoteker juga melakukan manajemen farmasi di
Depo Farmasi ICCU.
Alur pelayanan obat dan alat kesehatan yang ada di depo Farmasi
High Care Unit sudah sesuai standar pelayanan kefarmasian PMK No 72
tahun 2016, dimana kegiatan farmasi klinik dimulai dengan melakukan
pengkajian dan memberikan pelayanan obat dan alat kesehatan sesuai
instruksi terapi yang ditulis oleh dokter hingga dilakukannya penelusuran
riwayat penggunaan obat harian, rekonsiliasi obat dan visite bersama
dokter. Sistem distribusi depo farmasi HCU yaitu OUDD (One-Daily
Unit Dose Dispensing) dan floor stock, dimulai dari skrining resep,
pemberian etiket, dispensing, distibusi ke pasien kemudian entry data ke
komputer. Sistem Floor Stock di Unit HCU dilakukan ketika Apoteker
telah selesai melakukan pelayanan kefarmasian di Apotek Penyimpanan
obat di HCU berdasarkan FEFO-FIFO dan Alfabetis. Pemberian obat dan
alat kesehatan pada pasien diberikan untuk penggunaan dalam sehari.
Kekurangan dalam pelayanan di depo HCU RSMS yaitu Apoteker
tidak berada 24 jam di HCU, sehingga ketika ada pasien baru datang di
luar jam kerja maupun pada hari libur, Apoteker tidak dapat melakukan
skrining administratif, farmasetis dan klinis terhadap instruksi (resep)
dari dokter secara langsung. Hal tersebut dapat menimbulkan
permasalahan dari resep (DRP). Masalah lain terdapat pada proses
pengambilan obat dari rak yang dilakukan oleh perawat, tidak langsung
dituliskan pengeluaran obat pada kartu stok tetapi dituliskan di buku
BON oleh tenaga kesehatan lain sehingga menyebabkan jumlah obat
tidak sesuai dengan yang berada di rak obat. Penyimpanan obat-obat
golongan narkotika dan psikotropika disimpan dalam lemari biasa dan
laci meja tidak disimpan dalam lemari yang terdiri dari dua pintu dan
kunci yang berbeda serta lemari penyimpanan tidak menempel langsung
pada dinding sehingga penyimpanan obat golongan psikotropika dan
narkotika tidak sesuai dengan dengan peraturan yang berlaku,
124
penyimpanan obat narkotika harus disimpan dalam lemari khusus
narkotika dengan pintu terkunci ganda. Selain itu, penyimpanan obat-
obatan lainnya juga belum sepenuhnya memenuhi persyaratan, karena
masih terdapat obat yang disimpan dalam rak yang tertumpuk. Hal
tersebut terjadi karena adanya keterbatasan tempat dalam penyimpanan,
fasilitas, alat dan tenaga farmasi pada masing-masing satelit farmasi yang
melakukan pencampuran sediaan parental.
Adapun alur pelayanan sub instalasi farmasi High Care Unit
(HCU), Intensive Care Unit (ICU), Intensive Coronary Care Unit (ICCU)
dapat dilihat pada gambar 23, serta alur pelayanan untuk obat narkotika
di Depo ICU, ICCU dan HCU pada gambar 24.
125
Gambar 23. Alur Pelayanan Resep di Depo Farmasi ICU/HCU/ICCU
126
Instruksi dokter dilembar terapi
dan pemantauan pasien
Dispensing/penyiapan obat
127
langsung dikirim dari gudang farmasi ke depo farmasi. Berikut dapat
dilihat alur pengadaan di depo farmasi Intensive Care pada gambar 25.
128
Depo Farmasi ICU/HCU/ICCU
Apoteker membuat perencanaan dua kali dalam seminggu (Kamis dan Sabtu)
dengan metode konsumsi periode sebelumnya
129
FarmasiIGD. Di Depo Farmasi ICU/ICCU/HCU terdapat obat narkotika
psikotropika. Penyimpanan terpisah dengan obat yang lain yaitu di dalam
laci meja dan terkunci rapat, namu tidak disimpan pada lemari khusus.
Apabila di luar shift Apoteker, maka kunci dipegang oleh perawat yang
diberi kepercayaan sesuai dengan surat keputusan (SK) direktur. Didalam
ruangan juga terdapat thermometer untuk mengontrol suhu di ruangan.
Apoteker mencatat suhu ruangan maupun suhu kulkas sebanyak 2 kali
yaitu pada saat pagi hari dan siang hari.
2. Depo Farmasi Kemoterapi
Depo Farmasi Kemoterapi merupakan salah bagian dari unit
pelayanan di rumah sakit yang bertanggung jawab memberikan pelayanan
terhadap obat-obatan sitostatika dari mulai melakukan pengecekan
kesesuaian protokol dan dosis obat, bentuk sediaan dan cara pemberian,
pencampuran/pengoplosan hingga distribusi ke pasien (Anonim, 2014).
a. Alur Pelayanan Resep
Depo farmasi kemoterapi merupakan salah satu bagian dari unit
pelayanan di Rumah sakit yang bertanggungjawab memberikan
pelayanan obat-obatan sitostatika untuk pasien yang menjalani
kemoterapi. Lokasi depo farmasi kemoterapi berada di area barat RSMS
di dekat Bangsal Bougenville. Tenaga kefarmasian di depo farmasi
kemoterapi sebanyak 6 orang yaitu terdiri dari 4 orang Tenaga Teknis
Kefarmasian dengan 1 orang sebagai Koordinator dan 1 orang Apoteker
penaggungjawab pelayanan farmasi rawat inap.
b. Kegiatan Pelayanan Kefarmasian di Depo Farmasi Kemoterapi
Kegiatan yang dilakukan di depo farmasi kemoterapi meliputi
dispensing dan penanganan obat kanker secara aseptis yang terdiri dari:
1) Melarutkan sediaan obat kanker dengan pelarut yang sesuai
2) Mencampur sediaan obat kanker sesuai dengan protokol pengobatan
3) Membuang limbah sesuai prosedur yang berlaku
Lingkungan kerja yang digunakan untuk mencampur obat
sitostatika harus memenuhi persyaratan ruang yang telah ditentukan agar
130
menjaga orang-orang yang berada disekitar tempat pencampuran. Area
kerja juga menjadi hal yang penting dalam proses pencampuran karena
akan melindungi baik obat kanker yang sedang dan telah direkonstitusi
juga melindungi pekerja yang kontak langsung.
Area pencampuran obat sitostatika di RSMS dilakukan di dalam
Biological Safety Cabinet (BSC) dengan aliran udara vertikal, sehingga
melindungi pekerja dari paparan sitostatika dan melindungi obat
sitostatika dari kontaminasi. BSC ini dibersihkan menggunakan alkohol,
setelah itu area kerja di dalam BSC diberikan alas dengan underpad agar
memudahkan dalam pembersihan.
APD yang sesuai standar wajib dikenakan saat melakukan
pencampuran obat sitostatika adalah:
1) Baju Pelindung
Baju Pelindung ini sebaiknya terbuat dari bahan yang impermeable
(tidak tembus cairan), tidak melepaskan serat kain, dengan lengan
panjang, bermanset dan tertutup di bagian depan.
2) Sarung tangan
Sarung tangan yang dipilih harus memiliki permeabilitas yang
minimal sehingga dapat memaksimalkan perlindungan bagi petugas
dan cukup panjang untuk menutup pergelangan tangan. Sarung tangan
terbuat dari latex dan tidak berbedak (powder free). Khusus untuk
penanganan sediaan sitostatika harus menggunakan dua lapis.
3) Kacamata pelindung
4) Masker disposable
5) Sarung tangan steril dua lapis
Sarung tangan yang dipilih harus memiliki permeabilitas yang
minimal sehingga dapat memaksimalkan perlindungan bagi petugas
dan cukup panjang untuk menutup pergelangan tangan. Sarung tangan
terbuat dari latex dan tidak berbedak (powder free). Khusus untuk
penanganan sediaan sitostatika harus menggunakan dua lapis.
6) Kacamata pelindung
Digunakan pada saat penanganan sediaan sitostatika, tujuannya untuk
melindungi mata dari paparan.
7) Shoe Cover
131
Pelidung sepatu digunakan agar meminimilisasi kontaminan. Berikut
dapat dilihat alat pelindung diri dalam merekonstitusi obat sitostatika
pada gambar 26.
132
pasien harus mengganti jadwal untuk siklus kemoterapinya. Karena
kurangnya sumber daya manusia (SDM) maka pelayanan resep dan
rekonstitusi obat harus optimal agar tidak terjadi permasalahan (DRP)
maupun pelayanan resep yang tidak optimal kepada pasien. Adapun alur
pelayanan untuk pasien di kemoterapi dapat dilihat pada gambar 27, serta
Alur Pelayanan Resep Rawat Inap Depo Farmasi Kemoterapi pada
gambar 28.
Secara lengkap alur pelayanan diapotek kemoterapi ialah sebagai
berikut:
1) Dokter menulis protokol terapi pasien.
2) Obat yang ada di protokol terapi disalin oleh perawat di kartu obat
pasien dan diserahkan ke bagian apotek kemoterapi
3) Apoteker melakukan skrining yaitu identitas pasien, kesesuaian
dosis, pelarut, bentuk sediaan dan stabilitas.
4) Jika tidak jelas, Apotker atau Tenaga Teknis kefarmasian (TTK)
melakukan konfirmasi ke dokter.
5) Apoteker menulis etiket yang terdiri dari nama pasien, obat dan dosis
6) Kemudian di entry resep ke SIM.
7) Apoteker/TTK menyiapkan obat-obatan dibutuhkan serta mencatat
di buku dokumentasi harian.
8) Apoteker/TTK memberikan stiker sitotoksik, high alert dan etiket di
flabot infus.
9) Apoteker/TTK melakukan rekonstitusi obat sesuai protokol terapi di
Biological Safety Cabinet (BSC).
10) Setelah selesai rekonstitusi dilakukan double check.
11) Obat didistribusikan ke ruang tindakan kemoterapi (Bangsal
Bougenville) sesuai dengan stabilitas yaitu obat-obat yang stabil
pada sushu dingin (2-8ºC) akan dimasukkan kedalam cold box,
kemudian diletakkan ke dalam kotak obat yang terdapat di bed
pasien.
133
12) Dilakukan serah terima antara antara Apoteker/TTK dengan perawat
di bangsal Bougenvile.
Obat didistribusikan ke
loker tiap pasien
Gambar 17. Alur Pelayanan Resep Rawat Jalan Depo Farmasi Kemoterapi
Penulisan etiket (identitas pasien, obat dan dosis)
Double check
Distribusi obatSubBag
TU, Hukum
dan Humas
Bangsal Bougenville
135
137
pemakaian yang dimasukkan ke dalam box yang tersedia di masing-
masing bed pasien dan sistem IP dimana Apoteker menyerahkan obat
premedikasi beserta PIO kepada pasien.
g. Pembahasan
Alur pelayanan untuk pasien rawat inap Bougenvile yaitu dokter
menulis protokol terapi pasien, disalin oleh perawat ke kartu obat pasien,
kemudian perawat mengantar kartu obat pasien dan protokol terapi ke
apotek kemoterapi.
Apoteker melakukan skrining yaitu identitas pasien, legalitas resep,
kesesuaian dosis, pelarut, bentuk sediaan dan stabilitas obat. Pengecekan
identitas pasien bertujuan untuk melihat kesesuaian protokol terapi
dengan nama pasien yang mendapat protokol terapi tersebut. Legalitas
resep dapat dilihat dari cap dokter yang terdapat pada resep. Apoteker
juga melakukan pengecekan dosis, jika dosis yang dituliskan di protokol
terapi tidak sesuai dengan kondisi pasien, maka dilakukan perhitungan
kembali oleh Apoteker. Selanjutnya penulisan etiket yang terdiri dari
identitas pasien, obat dan dosis, enteri resep ke SIM, Apoteker atau TTK
menyiapkan obat yang dibutuhkan. Kemudian pencatatan nama pasien,
obat dan dosis di buku dokumentasi, dilakukan penempelan stiker
sitostatika, High Alert dan etiket di flabot infus, melakukan rekonstitusi
obat sesuai dengan protokol terapi di BSC, selanjutnya dilakukan double
check, distribusi obat ke bangsal Bougenvile dan dilakukan serah terima
antara Apoteker/TTK kemoterapi dengan perawat di bangsal Bougenvile.
Pemilihan pelarut bertujuan untuk ketercampuran obat dengan
pelarut yang sesuai dan stabilitas obat setelah dilakukan pencampuran.
Namun dilapangan tidak dilakukan pencatatan stabilitas obat setelah
dilakukan pencampuran dan lama stabilitas pada suhu tertentu. Hal ini
untuk menjamin efek obat yang diberikan kepada pasien.
Ruangan untuk pencampuran obat-obat sitostatika harus sesuai
dengan syarat yang telah ditentukan dengan tujuan untuk menjamin
sterilitas obat, melindungi petugas dan lingkungan sekitar dari paparan
138
obat sitostatika Persyaratan ruangan untuk pencampuran obat sitostatika
adalah ruangan terdiri dari ruang persiapan, ruang cuci tangan dan ganti
pakaian, ruang antara dan ruang steril.
Persyaratan ruang pencampuran obat sitostatika yaitu
menggunakan LAF vertikal Biological Safety Cabinet (BSC) kelas II
dengan syarat tekanan udara di dalam BSC harus lebih negatif dari pada
tekanan udara diruangan, lantai tidak bersudut dan dinding dilapisi
epoksi. Persyaratan ruang steril yaitu ruangan tidak ada sudut atau siku,
dinding dilapisi epoksi, suhu 18-220C, kelembaban 35-50%, dilengkapi
High Efficiency Particulate Air (HEPA) filter, jumlah partikel berukuran
0,5 micron tidak lebih dari 350.000 partikel, jumlah jasad renik tidak
lebih dari 100 per meter kubik udara, tekanan udara di dalam ruang lebih
positif dari pada tekanan udara di luar ruangan dan adanya Pass box yaitu
tempat masuk dan keluarnya alat kesehatan dan bahan obat sebelum dan
sesudah dilakukan pencampuran. Pass box ini terletak di persiapan dan
ruang steril.
Ruangan sitostatika di RSMS terdiri dari ruang persiapan yang
didalamnya terdapat tempat cuci tangan, ruang steril dan pass box.
Ruangan sitostatika di RSMS belum memenuhi syarat yang telah
ditentukan, seperti tidak adanya ruang antara dan ruang ganti pakaian.
Ruang pencampuran/ ruang steril, dinding masih terdapat sudut dan
belum dilapisi epoksi dan masih banyak debu.
Selain persyaratan ruang aseptik, juga perlu diperhatikan
keselamatan petugas yang melakukan rekonstitusi yaitu dengan
menggunakan Alat Pelindung Diri (APD). APD yang digunakan oleh
petugas pencampuran obat sitostatika ada beberapa yang belum sesuai
standar, seperti masker yang digunakan hanya masker biasa yang
dirangkap dua atau tiga. Untuk pelindung rambut, petugas tidak selalu
menggunakannya. Pemakaian APD di ruangan yang tidak lengkap
dikarenakan ketersediaan sarana yang tidak sesuai dengan standar dan
juga kepatuhan petugas kesehatan dalam penggunaan APD.
139
Kesimpulan dari depo farmasi kemoterapi yaitu alur pelayanan di
Depo Farmasi Kemoterapi sudah sesuai prosedur kerja, ruangan
sitostatika belum memenuhi syarat yang ditetapkan serta petugas belum
menggunakan Alat Pelindung Diri sesuai dengan prosedur kerja. Oleh
karena itu perlu dilakukan perbaikan kondisi ruangan kemoterapi yang
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, petugas yang melakukan
rekonstitusi obat sitostatika harus menggunakan Alat Pelindung Diri
sesuai prosedur kerja.
140
dan sabtu, namun jika ada permintaan cito, pengadaan langsung dilakukan.
Ketika barang datang, maka petugas intalasi bedah sentral bersama petugas
gudang pusat melakukan pengecekan untuk menyesuaikan antara nama
perbekalan farmasi, jenis, bentuk sediaan dan jumlah barang yang diterima
dari gudang pusat dengan jumlah yang dipesan olehinstalasi bedah sentral.
Apabila telah sesuai, penambahan stok barang di intalasi bedah sentral
akan diproses melalui system komputerisasi yang ada.
3. Alur Pelayanan Resep
Depo Farmasi Instalasi Bedah Sentral (IBS) di RSUD Prof. dr.
Margono Soekarjo merupakan bagian dari Sub Depo Farmasi Rawat Inap
yang dikelola oleh satu orang Apoteker penanggung jawab dan dua orang
Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK). Gedung IBS terdiri dari 2 lantai,
dimana lantai 2 dilakukan operasi bedah yang terdiri dari Onkologi,
Ortopedi, Umum, Obsgyn dan Mata, sedangkan lantai 3 digunakan untuk
operasi Syaraf, THT, Bedah Plastik dan Urologi. Depo IBS merupakan
depo yang melakukan pelayanan operasi yang bersifat selektif dan
terjadwal, dimana jadwal operasi minimal sudah ada 1 hari sebelum
dilakukan operasi sedangkan untuk operasi yang bersifat mendadak
dilakukan di Depo IGD,
Sebagai tempat pembedahan maka IBS harus steril dan ruangannya
didesain khusus untuk menjamin sterilitasnya. IBS mempunyai aturan-
aturan yang harus dipatuhi semua karyawan untuk menjaga kebersihan dan
meminimalkan terjadinya infeksi, misalnya penggunaan pakaian, topi dan
masker khusus bagi semua orang yang berada di IBS serta larangan keluar
masuk ruangan IBS secara sembarangan. Sterilisasi peralatan operasi
dilakukan oleh bagian Central sterile Supplay Departement (CSSD).
Obat yang tersedia di IBS sebagian besar adalah obat anestesi dan
obat life saving. Obat-obat dan alat kesehatan yang dikelola oleh DF IBS
meliputi obat-obat injeksi dan alat kesehatan habis pakai, sedangkan untuk
operasi berupa alat-alat yang dapat disterilkan. Sistem distribusi obat dan
141
alkes yang diterapkan di DF IBS adalah UDD (Unit Dose Dispensing) dan
sistem paket. Pelayanan resep untuk pasien bedah sentral adalah
memberikan pelayanan obat dan alat kesehatan sesuai dengan kebutuhan
di masing-masing ruang operasi per pasien di IBS. Depo ini menyediakan
obat-obat khusus yaitu injeksi beserta alkes untuk keperluan pembedahan.
Tujuan dari pelayanan resep bedah sentral adalah agar perbekalan farmasi
yang diberikan kepada pasien yang dioperasi dikamar bedah tepat pasien,
tepat jumlah dan dosis obat, tepat waktu, serta sesuai dengan standar.
Prosedur pelayanan resep bedah sentral, berdasarkan kebijakan
keputusan Direktur No.800/00208A/I2014 tentang Kebijakan Pelayanan
Farmasi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto butir 1, adalah
sebagai berikut:
1) Memeriksa identitas pasien beserta ruang operasinya
2) Memeriksa ketersediaan obat, apabila tidak tersedia, diskusikan
dengan dokter bedah dan atau dokter anestesi untuk alternative obat
pengganti.
3) Menyiapkan perbekalan farmasi sesuai dengan kebutuhan.
4) Mengecek perbekalan farmasi yang telah disediakan termasuk jumlah
obat, dosis, dan rute pemberian.
5) Menyerahkan perbekalan yang telah disiapkan kepada petugas yang
bertugas dikamar operasi.
6) Melakukan entry seluruh perbekalan farmasi yang digunakan pasien
yang dioperasi.
Alur Pelayanan Resep yang dilakukan di Depo Farmasi IBS dapat
dilihat pada gambar 30 skema berikut:
Digunakan
142
Skrining
Resep dan
konfirmasi
143
dokter tidak menggunakannya jadi dibutuhkan konfirmasi untuk
mengetahui alasan obat atau alkes tersebut tidak digunakan.
5) Entry data
Setelah operasi selesai, obat dan alkes serta kartu obat di kembalikan di
Depo Farmasi IBS, maka petugas di Depo melakukan entry ke SIM
Rumah Sakit mengenai penggunaan obat.
6) Checking dan returning
Tahap ini dilakukan untuk mengecek kesesuaian di kartu obat dan
bentuk fisik dari obat yang tersedia dan untuk melakukan checking
setelah proses entry apakah ada barang yang di return atau tidak. Jika
ada return obat dan alkes, maka obat dan alkes tersebut kemudian
dikembalikan ketempat semula di Depo.
J. Farmasi Klinik
Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 Tahun 2016 tentang standar
pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit meliputi pengelolaan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai; dan pelayanan
farmasi klinik. Adapun pelayanan farmasi klinik meliputi pengkajian dan
pelayanan resep, penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat,
pelayanan informasi obat (PIO), konseling, visite, pemantauan terapi obat
(PTO), monitoring efek samping obat (MESO), evaluasi penggunaan obat
(EPO), dispensing sediaan steril dan pemantauan kadar obat dalam darah
(PKOD). Di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto pelayanan
farmasi klinik cukup berjalan dengan baik, dapat dilihat dari struktur
organisasi dimana terdapat Apoteker penanggung jawab farmasi klinis.
Adapun kegiatan farmasi klinik yang dilakukan di RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto antara lain pengkajian dan pelayanan resep,
penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat, pelayanan
informasi obat (PIO), konseling, visite, pemantauan terapi obat (PTO),
monitoring efek samping obat (MESO), evaluasi penggunaan obat (EPO)
dan dispensing sediaan steril yang hanya berupa handling sitostatik
sedangkan untuk iv admixture sendiri belum dilakukan dikarenakan
144
keterbatasan sarana dan prasarana dimana membutuhkan ruang produksi
sediaan steril yang disesuaikan dengan standar CPOB. RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto juga belum melakukan pelayanan farmasi
klinik berupa pemantauan kadar obat dalam darah (PKOD) hal ini juga
terkait dengan keterbatasan sarana dan prasarana.
Adapun kegiatan farmasi klinis yang dilakukan selama PKPA di
Rumah Sakit Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto antara lain
melakukan rekonsiliasi, pemantauan terapi obat, evaluasi penggunaan
obat, pemberian informasi obat dan visite.
1. Rekonsiliasi dan Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Rekonsiliasi merupakan proses membandingkan instruksi
pengobatan dengan obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan
untuk mencegah terjadinya kesalahan obat (medication error). Kesalahan
obat rentan terjadi pada saat pemindahan pasien dari satu rumah sakit ke
rumah sakit lain. Antar ruang perawatan serta pada pasien yang keluar dari
rumah sakit ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya. Tujuan dilakukan
rekonsiliasi adalah untuk memastikan informasi yang akurat tentang obat
yang digunakan pasien, mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak
terdokumentasinya instruksi dokter dan mengidentifikasi ketidaksesuaian
akibat tidak terbacanya instruksi dokter.
Pemantauan terapi obat adalah suatu proses yang mencakup kegiatan
untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien.
Tujuan PTO yakni meningkatkan efektifitas terapi dan meminimalkan risiko
reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD). Kegiatan tersebut meliputi
pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi,
reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), pemberian rekomendasi
perubahan atau alternatif terapi, dan pemantauan efektifitas dan efek
samping obat. Pemantauan terapi obat harus dilakukan secara
berkesinambungan dan evaluasi secara teratur pada periode tertentu agar
keberhasilan ataupun kegagalan terapi dapat diketahui.
145
Kegiatan pemantauan terapi obat merupakan salah satu tugas khusus
dari RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto kepada mahasiswa
PKPA yang bertujuan untuk memperdalam ilmu farmasi klinik. Kegiatan
dilakukan terhadap pasien yang telah ditentukan kemudian dilakukan
rekonsiliasi obat untuk pasien baru dan pemantauan terapi obat. Data yang
digunakan untuk pemantauan terapi obat yaitu dari data rekam medis
ataupun langsung mewawancarai pasien atau keluarga pasien. Adapun kasus
yang dipilih yaitu kasus CRF dengan anemia.
a. Definisi
Ginjal merupakan pengatur utama keseimbangan air dan garam serta
sebagai homeostasis asam-basa. Ginjal juga memproduksi hormon yang
dibutuhkan untuk sintesis sel darah merah dan homeostasis kalsium.
Kerusakan fungsi ginjal sering mengarah pada gagal ginjal kronik (GGK).
GGK atau sering disebut insufisiensi renal kronik terjadi lebih dari beberapa
bulan sampai beberapa tahun dan dikarakterisasi oleh penggantian arsitektur
ginjal normal menjadi fibrosis intersisial. Organisasi K/DOQI (National
Kidney Foundation’s (NKF) Kidney Dialysis Outcomes and Quality
Initiative) sedang mengembangkan sistem klasifikasi GGK berdasarkan
pada kerusakan struktur ginjal dan atau adanya perubahan fungsi pada GFR
selama periode 3 bulan atau lebih. GGK dikategorikan berdasarkan tingkat
fungsi ginjal atau fungsi GFR menjadi stage 1 sampai stage 5. Dimana
setiap peningkatan angka mengindikasikan tingkat penyakit yang lebih baik.
Tabel tingkat keparahan penyakit GGK bisa dilihat sebagai berikut berikut :
146
Nilai normal GFR pada orang dewasa adalah 120 mL/menit/1.73 m 2
BSA (body surface area). Meskipun nilai GFR > 90 mL/menit masih
menunjukkan fungsi ginjal yang normal tetapi pasien dapat didiagnosa
GGK jika ditemukan tanda lain dari penyakit ginjal seperti proteinuria,
hematuria, pada pemeriksaan biopsi menunjukkan kerusakan ginjal atau
abnormalitas anatomi. GGK stage 5 merupakan stage akhir dari penyakit
renal atau ESRD (End Stage Renal Disease) (Dipiro, 2009).
Pilihan pengobatan primer pada pasien ESRD adalah hemodialisa,
dialisa peritoneal dan transplantasi ginjal. Prosedur hemodialisa melibatkan
perfusi darah dan cairan dialisat pada membran semipermeable. Substansi
dalam darah dibuang dari darah dengan proses difusi. Kelebihan cairan
plasma dibuang melalui ultrafiltrasi. Selama proses dialisis, pasien biasanya
mengalami hipotensi. Komplikasi serius lainnya termasuk infeksi dan
thrombosis pada akses vaskular (Dipiro, 2009).
Indikasi hemodialisa dibedakan menjadi hemodialisa segera dan
hemodialisa kronik. Hemodialis segera adalah hemodialisa yang harus
segera dilakukan antara lain (Daurgirdas et al., 2007).
A. Indikasi hemodialisis segera
1. Kegawatan ginjal
a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
c. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K
>6,5mmol/l )
e. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
f. Uremia (BUN >150 mg/dL)
g. Ensefalopati uremikum
h. Neuropati/miopati uremikum
2. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran
dialisis.
B. Indikasi Hemodialisis Kronik
147
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan
berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin
hemodialisis. Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15ml/mnt.
Keadaan pasien yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama,
sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari
hal tersebut di bawah ini (Daurgirdas et al., 2007):
o GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
o Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.
o Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
o Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
o Komplikasi metabolik yang refrakter.
b. Etiologi Gagal Ginjal Kronis
Beberapa etiologi dari gagal ginjal anatara lain :
1. Faktor resiko
Usia
Status pendidikan
RAS
Berat lahir rendah
Riwayat keluarga
perokok
2. Penyakit tertentu
Hipertensi
Glomerolunefritis
Diabetes mellitus
Proteinuria
obesitas
hiperlipidemia (Dipiro, 2009).
Dari beberapa etiologi diatas yang menjadi penyebab utama ESRD
adalah diabetes mellitus, dimana komplikasi mikrovaskuler diabetes
mellitus yakni nefropati diabetik (ND). Nefropati diabetik adalah penyakit
ginjal akibat penyakit diabetes mellitus yang merupakan penyebab utama
148
gagal ginjal di Eropa dan USA. Pada diabetes perubahan pertama yang
terlihat pada ginjal adalah pembesaran ukuran ginjal dan hiperfiltrasi.
Glukosa yang difiltrasi akan direabsorbsi oleh tubulus dan sekaligus
membawa natrium, bersamaan dengan efek insulin (eksogen pada IDDM
dan endogen pada NIDDM) yang merangsang reabsorbsi tubuler natrium,
akan menyebabkan volume ekstrasel meningkat, terjalah hiperfiltrasi.
c. Patofisiologi
Gagal ginjal Kronik.
Kerusakan ginjal dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti
nefropati diabetik, hipertensi, kista renal pada penyakit ginjal polikistik
dan lain-lain. Awal kerusakan struktur kemungkinan tergantung pada
penyakit primer yang mempengaruhi ginjal. Namun, mayoritas
progresivitas nefropati mengarah pada kerusakan irreversible parenkim
renal dan ESRD. Kunci dari jalur ini adalah : 1) kehilangan massa
nefron, 2) hipertensi kapiler glomerulus, 3) proteinuria. Proteinuria
sendiri dapat memicu progresivitas kehilangan massa nefron, yang pada
akhirnya terjadi kerusakan sel secara langsung. Protein yang terfilter
seperti albumin, transferrin, faktor komplemen, immunoglobulin, sitokin
dan angiotensin II bersifat toksik bagi sel tubular ginjal. Pasien yang
mengalami penurunan fungsi ginjal dan mencapai GGK stage 4,
dianjurkan untuk memulai terapi hemodialisa, dialisa peritoneal dan
transplantasi. Rujukan awal seorang nefrologis atau dokter spesialis pada
pasien dengan GGK progresif yaitu dilakukannya dialisis, (Dipiro, 2009).
Anemia
Penyebab utama anemia pada GGK adalah berkurangnya
produksi hormon eritropoietin oleh sel progenitor ginjal, tempat dimana
90% produksi biasanya terjadi di ginjal. Konsentrasi plasma eritropoietin
meningkat secara individu pada fungsi ginjal normal jika
hemoglobin/hematokritnya menurun (sebagai respon menurunya
oksigenasi). Sebaliknya, tidak ada korelasi antara derajat anemia dan
konsentrasi eritropoietin pada pasien anemia ESRD. Yang ada adalah
anemia normokromik dan normositik, kecuali jika individu mengalami
149
defisiensi zat besi, yang dapat mengakibatkan anemia mikrositik, atau
defisien asam folat yang mengakibatkan anemia makrositik. Faktor
tambahan yang berkontriubusi pada perkembangan anemia pada GGK
adalah menurunnya masa hidup sel darah merah pada kondisi uremia
(dari normalnya 120 hari menjadi sekitar 60 hari), defisiensi zat besi,
kehilangan darah setelah tes laborat dan kehilangan darah setelah
hemodialisis. (Dipiro, 2009)
d. Deskripsi Kasus
Data pasien:
Nama : Ny. S
Tanggal lahir/Umur : 31-01-1969 / 48 th BB: 54 kg TB: 156 cm
RPM :-
RPD : DM dan Hipertensi
Alergi Makanan :-
Alergi Obat :-
Diagnosis : CRF, anemia dan Hipertensi
Keluhan : Ny. S 48 tahun datang ke unit hemodialisa RSMS
pada tanggal 03 Agustus 2017 untuk melakukan hemodialisis rutin. Saat
datang pasien mengeluhkan lemas, perut dan kaki bengkak, mual dan
tidak bisa BAK. Hasil laboratorium rutin menunjukan bahwa kadar
hemoglobin dan hematokrit pasien rendah yakni masing-masing 6,7 dan
20 (anemia). Pasien rutin hemodialisa setiap minggu 2 kali hemodialisa
dan saat ini sudah melakukan hemodialisa rutin ke 216 selama 3 tahun.
Pasien memiliki riwayat penyakit dahulu yakni diabetes mellitus dan
hipertensi, rutin menggunakan antihipertensi amlodipin 5 mg untuk
mengontrol tekanan darahnya. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
keadaan umum yakni tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 82 kali/menit,
suhu tubuh 36,5oC, dan laju pernafasan 20 kali/menit. Pasien didiagnosa
Chronic Renal Failure (CRF) dan anemia, dan mendapat terapi transfusi
PRC dan infus NaCl saat itu. Berikut lembar rekonsiliasi dan pemantauan
150
terapi obat yang dilakukan pada pasien Ny. S dapat dilihat pada gambar
31
151
A. Rekonsiliasi
PEMERINTAH PROVINSI JAWA IDENTITAS
TENGAH RUMAH SAKIT
DAERAH (RSUD)
Prof. Dr. MARGONO
UMUM
SOEKARJO NO. RM :
0 0 7 7 6 2 3 7 RM
10.5
PURWOKERTO NAMA : Ny. S P
JL. Dr. Gumbreg No. 01 telp (0281) 632708 TGL LAHIR/UMUR : 31-01-1969 / 48
Fax (0281) 631015
TAHUN
PURWOKERTO 53146
RUANG : DAHLIA KELAS : II
REKONSILIASI OBAT
Dari : Rumah Tanggal : 03-08-2017 Ke : Ruang Dahlia Tanggal :
04-08-2017
Amlodipin 5 1x1
1 Ya √Tidak Ya Tidak
2 Ya Tidak Ya Tidak
3 Ya Tidak Ya Tidak
4 Ya Tidak Ya Tidak
5 Ya Tidak Ya Tidak
Petugas
Rekonsiliasi
(...................................................)
Gambar 31. Lembar Rekonsiliasi dan Pemantauan Terapi Obat yang Dilakukan pada
Pasien
152
RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO RM
INSTALASI FARMASI
Nama : Ny. S
No. RM :
3 7
Tgl lahir/Umur : 31.01.1969 /48 th BB : 54 kg; TB : 156 cm; Diagnosis : CRF anemia HT
RPM : CRF RPD : DM dan HT
Merokok : - batang/hr; Kopi : - gelas/hr; Lainnya : -
Alergi : -
PEMANTAUAN TERAPI OBAT (1)
oleh Apoteker yang merawat :
Parameter / Tgl Nilai 03/08 04/08 05/08 06/08 07/08 08/08
Normal
Tanda Vital
Tekanan Darah (mm Hg) <140/90 130/100 170/100 140/80 130/80 150/90 160/100
Nadi (kali per menit) 80 82 82 84 82 84 84
Suhu Badan (oC) 36-37 36.7 36,5 36,7 36,5 36,6 36,5
Respirasi (kali per menit) 20 20 20 18 16 20 16
Lemas +++ ++ ++ ++ + -
Edema perut +++ +++ +++ +++ +++ +++
Edema kaki +++ +++ ++ ++ ++ ++
Keluhan
Mual + + + + + -
Tidak bisa BAK + + + + + +
Panas dingin - - + - - -
Sedikit sesak - - - - + -
Hipokondria sinister sakit - - - - + -
Laboratorium Rutin / Tanggal Nilai 03/08 04/08 05/08 06/08 07/08 08/08
Normal
Hemoglobin 12-16 6,7 - 8,9 - 10,5 -
Laboratorium Rutin
Hematocrit 35-45 20 - 28 - 31 -
Leukosit 3800-10600 - - - - - -
Eritrosit 3,8-5,2 - - 3,0 - 3,5 -
Ureum darah 15-40 - - 148 - 83,7 -
Kreatinin darah 0,5-1,02 - - 6,42 - 3,83 -
Natrium 135-145 - - - - - -
Klorida 96-108 - - - - - -
Terapi (Nama obat, kekuatan) Aturan 03/08 04/08 05/08 06/08 07/08 08/08
pakai
Parenteral
hemodialisa - √ - - - √ -
Inviclot - √ - - - √ -
PRC √ √ √ √ - -
BB : Berat Badan; TB : Tinggi Badan; RPM : Riwayat Penyakit saat MRS; RPD : Riwayat Penyakit Dahulu
153
C.Asuhan Kefarmasian
Asuhan Kefarmasian
Tanggal
Subjektif Objektif Assessment Planning
03/08 2017 Lemas Data Vital Perlu evaluasi Monitoring tekanan darah
Edema perut TTD : 130/90 penggunaan infus NaCl pasien (TD<130/80)
Edema kaki mmHg terkait riwayat
Mual Nnadi : 82 hipertensi pasien
Tidak bisa Ssuhu tubuh : 36,7
BAK RRR: 20
Riwayat
penyakit Data lab
dahulu : DM HHb : 6,7
dan HT HHct : 20
Kontrol
dengan CRF Diagnosa :
pro rutin CRF dan Anemia
hemodialisa
Terapi :
hemodialisa
PRC
NaCl
04/08 2017 Lemas Data Vital Perlu evaluasi kadar Ddirekomendasikan cek
11.00 Edema perut TTD : 170/100 kalium pasien terkait darah lengkap untuk
Edema kaki mmHg potensi ESO irbesartan memantau kadar kalium,
Mual Nnadi : 82 yaitu hiperkalemia kalsium, ureum dan
Tidak bisa Ssuhu tubuh : 36,5 kreatinin pasien
BAK RRR: 20 Perlu evaluasi Mmonitoring tekanan
penggunaan herbesser darah pasien
Terapi : CD potensi ESO edema (TD<140/90)
Irbesartan 300 mg 1 x 1 perifer
Herbesser 200 mg 1 x 1 Mmonitoring edema
NaCl 0,9 % pasien
PRC
05/08 2017 Lemas Data Vital Pperlu evaluasi Ddirekomendasikan
08.00 Edema perut TTD : 140/80 mmHg anemia pasien Hb pemberian eritropoetin
Edema kaki Nnadi : 84 masih < 10 50-100 unit /kg iv 3 x
Mual Ssuhu tubuh : 36,5 penambahan seminggu dan
Tidak bisa RRR: 20 Eritropetin sebagai monitoring Hb pasien
terapi tambahan Mmonitoring tekanan
154
BAK untuk anemia pasien darah pasien
Panas dingin Data Lab: (TD<140/90)
Hb 8,9
Hct 28
Eritrosit 3,0
Ureum darah 148
Kreatinin darah 6,42
Terapi :
Irbesartan 300 mg 1 x 1
Herbesser 200 mg 1 x 1
NaCl 0,9 %
PRC
06/08 2017 Lemas Data Vital Pperlu evaluasi Mmonitoring tekanan
08.00 Edema perut TTD : 130/80 mmHg penggunaan darah pasien
Edema kaki Nnadi : 82 furosemid yang (TD<140/90)
Mual hilang Ssuhu tubuh : 36,5 dikontraindikasi kan Mmonitoring Hb pasien
timbul RRR: 16 pada pasien anuria Mmonitoring pH darah
Tidak bisa Pperlu evaluasi pasien
BAK Terapi: penggunaan Mmonitoring kadar
Irbesartan 150 mg 1 x 2 furosemid potensi kalium dan asam urat
tab ESO hipokalemia dan pasien
Herbesser CD 100 mg 1 hiperurisemia
x 2 tab
NaCl 0,9 %
PRC
Fuosemid 1x1pagi
Asam folat 3x1
Calos 3x1
Terapi:
Irbesartan 150 mg 1 x 2
tab
Herbesser CD 100 mg 1
x 2 tab
NaCl 0,9 %
Fuosemid 1x1pagi
Asam folat 3x1
Calos 3x1
hemodialisa
155
08/08 2017 Sesak Data Vital Pperlu edukasi KIE terkait obat yang
(pasien berkurang TTD : 160/100 penggunaan obat- dibawa pulang.
pulang) Edema perut mmHg obat yang dibawa 1. Iirbesartan
Edema kaki Nnadi : 84 pulang diminum 1 x
Tidak bisa Ssuhu tubuh : 36,5 sehari 2 tablet,
BAK RRR: 16 amati keluhan
seperti pusing
Terapi : terkait efek
Irbesartan 150 mg 1 x 2 samping obat.
tab 2. Ffurosemid
Fuosemid 1x1pagi diminum 1 x
Asam folat 3x1 sehari 1 tablet
SF 3x1 pada pagi hari
amati keluhan
seperti nyeri
sendi terkait efek
samping obat
3. Aasam folat dan
SF di minum 3 x
sehari sebagai
suplemen
penambah darah
e. Pembahasan
Ny. S 48 tahun datang ke unit hemodialisa RSMS pada tanggal 03
Agustus 2017 untuk melakukan hemodialisis rutin. Saat datang pasien
mengeluhkan lemas, perut dan kaki bengkak, mual dan tidak bisa BAK.
Hasil laboratorium rutin menunjukan bahwa kadar hemoglobin dan
hematokrit pasien rendah yakni masing-masing 6,7 dan 20 (anemia). Pasien
rutin melakukan hemodialisa setiap minggu 2 kali hemodialisa dan saat ini
sudah melakukan hemodialisa rutin ke 216 selama 3 tahun. Pasien memiliki
riwayat penyakit dahulu yakni diabetes mellitus dan hipertensi, rutin
menggunakan antihipertensi amlodipin 5 mg untuk mengontrol tekanan
darahnya. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum yakni tekanan
darah 130/90 mmHg, nadi 82 kali/menit, suhu tubuh 36,5oC, dan laju
pernafasan 20 kali/menit. Pasien didiagnosa Chronic Renal Failure (CRF)
dan anemia, dan mendapat terapi trnasfusi PRC dan infus NaCl saat itu.
Dalam hal ini maka perlu di evaluasi penggunaan infus NaCl pada pasien
156
hipertensi, karena natrium dalam NaCl 0,9% dapat meningkatkan tekanan
darah pasien, sehingga perlu dilakukan monitoring tekanan darah pasien
secara berkala dimana untuk pasien post dialisis (<130/80).
Pada saat dipindahkan dari unit hemodialisa ke bangsal non bedah
ruang dahlia, yakni tanggal 04 Agustus 2017 pasien mengalami peningkatan
tekanan darah menjadi 170/100 mmHg. Pasien diberikan terapi untuk
hipertensinya yakni irbesartan 300 mg 1x1 dan herbesser CD (diltiazem)
200 mg 1x1, serta dilanjutkan pemberian infus NaCl 0,9% dan transfusi
PRC. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah potensi terjadinya efek
samping obat antihipertensi golongan ARB yaitu irbesartan yakni dapat
menyebabkan terganggunya keseimbangan elektrolit tubuh berupa
peningkatan kadar kalium darah (hiperkalemia) sehingga perlu dilakukan
monitoring terhadap kadar kalium darah dalam bentuk cek darah lengkap
dan tetap lakukan monitoring keberhasilan terapi yakni cek tekanan darah
secara berkala. Selain itu perlu diperhatikan adalah potensi ESO Herbesser
CD (Diltiazem HCl) yakni edema perifer dimana pasien itu sendiri telah
mengalami edema sebelemunya. Sehingga perlu di monitoring edema pasien
serta tetap lakukan monitorig tekanan darah pasien baik pada saat pra
dialisis (<140/90) dan post dialisis (<130/80).
Selanjutnya pada tanggal 05 Agustus 2017, dari hasil rekam medik pasien
didapatkan bahwa tekanan darah pasien kembali terkontrol yakni 140/80 mmHg.
Pasien masih diberikan terapi yang sama pada hari sebelumnya. Akan tetapi
pasien masih mengeluh lemas sehingga dalam hal ini perlu evaluasi anemia
pasien, direkomendasikan cek darah lengkap untuk mengetahui status anemia
pasien selain itu juga, dilihat berdasarkan keluhan pasien yang tetap lemas
walapun telah diberikan PRC 3 kolf dan dari hasil pemeriksaan darah lengkap
dimana Hb pasien masih dibawah normal yakni 8,0 < 10 maka direkomendasikan
pemberian terapi tambahan untuk anemia pasien yakni berupa injeksi eritropoetin
50-100 unit/kgBB secara IV 3x seminggu, namun tetap dalam pemantauan
tekanan darah pasien karena efek samping penggunaan eritropoetin itu sendiri
157
adalah meningkatkan tekanan darah. Dan berdasarkan kreatinin serum pasien
yakni 6,42 mg/dL maka klirens kreatinin pasien yakni :
158
penurunan kadar ureum darah dan kreatinin pasien yakni masing-masing
83,7 mg/dL dan 3,83mg/dL didapat kliren kreatinin (GFR) pasien yakni
15,31 mL/menit.
Kemudian pada tanggal 08 Agustus 2017 kondisi klinis pasien
sudah mulai membaik, lemas sudah berkurang dimana hasil lab terakhir
Hb pasien yakni 10,5 dan pasien diperbolehkan pulang. Dan pasien
diberikan obat pulang yakni : irbesartan 150 mg 1x2 tablet, furosemid 1x1
tablet pagi, asam folat 3x1 tablet dan SF 3x1 tablet. Yang perlu dilakukan
adalah KIE terkait obat yang dibawa pulang. Dan kembali lagi pada hari
kamis (10/08) untuk melakukan hemodialisa rutin.
159
Pengguanaan antibiotik dengan metode DDD (Defined Daily
Dose), didapatkan beberapa antibiotik yang digunakan di bangsal Bedah.
Selama penelitian didapatkan jumlah populasi sebanyak 22 pasien di RSUD
Prof. Dr. Margono Soekarjo. Terdapat 7 antibiotik yaitu: Ceftriaxon,
Cefadroksil, Cefixim, Metronidazole, Cefazolin, Cefotaxim dan
Ciprofloxacin yang termasuk kedalam golongan Sefalosporin generasi
ketiga, Imidazole dan Floroquinolon. Dapat dilihat pada tabel 8 berikut:
Tabel 8. Data Hasil Analisis Penggunaan Antibiotik dengan Metode
DDD di Bangsal Bedah
DDD Nama Penggunaan
No Kode DDD Tot DDD
WHO Antibiotik (%)
1 J01DD04 2 Ceftriaxon 61.5 45.56
2 J01DB05 2 Cefadroxil 7.75 5.74
3 J01DD08 0.4 Cefixime 4.75 3.52
4 P01AB01 1,5 Metronidazole 3.38 2.50
5 J01DB04 3 Cefazolin 2.00 1.48
6 J01DD01 4 Cefotaxime 2.50 1.85
7 J01MA02 0,5 Ciprofloxacin 3.50 2.59
Total DDD 63,24
LOS 135
160
Dari data pada tabel diatas terlihat bahwa penggunaan antibiotik
paling sering adalah Ceftriaxone dengan nilai 45.56 % dibandingkan dengan
penggunaan antibotik lain seperti Cefixim dengan nilai 3.52 %,
Ciprofloxacin 2.59 % Cefotaxim 1.85 %, Metronidazole 2.50 %, Cefotaxim
1.85 %, dan Cefazolin 1.48 %.
Pengguanaan antibiotik dengan metode DDD (Defined Daily Dose),
didapatkan beberapa antibiotik yang digunakan di bangsal Penyakit Dalam.
Selama penelitian didapatkan jumlah populasi sebanyak 14 pasien di RS
Prof. Dr. Margono Soekarjo. Terdapat 10 antibiotik yaitu : Ceftriaxon,
Levofloxacin, Ciprofloxacin, Cefixime, Cefotaxime, Azitromicyn,
Streptomicyn, Clindamyicyn, Ceftazidime, Metronidazole. Berikut adalah
hasil analisi penggunaan antibiotik di bangsal penyakit dalam dengan
metode DDD dapat dilihat pada tabel 9.
161
Tabel 9. Data Hasil Analisis Penggunaan Antibiotik di Bangsal Penyakit Dalam
dengan Metode DDD
Penggunaan
No Kode DDD DDD WHO Nama Antibiotik Tot DDD
(%)
1 J01DD04 2 Ceftriaxon 39 42.39
2 J01MA12 5.1 Levofloxacin 5.1 5.54
3 J01MA02 0.5 Ciprofloxacin 1.60 1.74
4 J01DD08 0.4 Cefixim 1.00 1.09
5 J01DD01 4 Cefotaxime 7.00 7.61
6 J01FA10 0.3 Azitromicyn 2.50 2.72
7 J01GA01 1 Streptomicyn 12.00 13.04
8 J01FF01 1.2 Clindamicyn 3.00 3.26
9 J01DD02 4 Ceftazidime 2.25 2.45
10 J01XD01 6 Metronidazole 1.50 1.63
Total DDD 81,47
LOS 92
162
Berdasarkan hasil data penggunaan antibiotik di bangsal Bedah dan
bangsal Penyakit Dalam antibiotik yang paling sering digunakan adalah
Ceftriaxone. Antibiotik Ceftriaxone merupakan antibiotik golongan
Sefalosporin generasi ketiga. Ceftriaxone memiliki mekanisme kerja dengan
cara menghambat sintesa dinding sel mikroba, enzim transpeptidase
dihambat dengan pembentukan dinding sel (McEvoy, 2008). Ceftriaxone
banyak digunakan pada pasien gagal ginjal karena dinilai cukup aman untuk
digunakan pada pasien gagal ginjal kronis terutama untuk pasien yang
memiliki nilai klirens kreatinin (ClCr) >10 mg/menit (Bayer 2012).
Berdasarkan data pengguaan antibiotik di bangsal Bedah, antibiotik
Cefazolin 1.48 % lebih selektif dalam penggunaannya daripada antibiotik
lain. Hal ini berdasarkan nilai % penggunaan antibiotik Cefazolin di bangsal
Bedah adalah paling rendah dengan 1.48 %. Berdasarkan data pengguaan
antibiotik di bangsal Penyakit Dalam, antibiotik Cefixime lebih selektif
dalam penggunaannya daripada antibiotik lain. Hal ini berdasarkan nilai %
penggunaan antibiotik Cefixime di bangsal Penyakit Dalam adalah paling
rendah dengan 1.09 %.
163
merupakan kegiatan rutin suatu pelayanan informasi obat. Pertanyaan yang
masuk dapat disampaikan secara verbal (melalui telepon, tatap muka) atau
tertulis (surat melalui pos, faksimili atau email).
Salah satu kegiatan yang dilakukan mahasiswa selama PKPA di
RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto terkait pelayanan farmasi
klinis adalah mengamati bentuk dan kegiatan PIO yang dilakukan di depo
farmasi rawat jalan, rawat inap dan IGD.
1. PIO di Depo Farmasi Rawat Jalan
Kegiatan PIO yang dilakukan di depo farmasi rawat jalan RSUD
Prof. Dr. Margono Soekarjo bersifat aktif dan pasif. Kegiatan PIO aktif yang
dilakukan di apotek rawat jalan diantaranya, memberikan informasi melalui
etiket dan penjelaskan kepada pasien atau keluarga pasien meliputi aturan
pakai, nama obat, jumlah obat yang diterima, jenis obat, lama penggunaan
obat, indikasi obat, dan efek samping obat. Namun, pemberian informasi
obat terkait efek samping obat sering terlupakan. Kegiatan konseling juga
dilakukan untuk pasien baru dengan penyakit kronis dan pasien yang
bertanya mengenai pengobatanya. PIO juga dilakukan kepada pasien yang
menggunakan sediaan khusus. Apoteker di RSUD Prof. Dr. Margono
Soekarjo terlebih dahulu menanyakan kepada pasien apakah pasien sudah
pernah menggunakan obat tersebut sebelumnya, apabila belum pernah maka
Apoteker akan menjelaskan kepada pasien cara penggunaan obat tersebut.
Informasi berupa lefleat dan poster juga disediakan, contohnya leaflet
mengenai penggunaan obat–obat khusus seperti obat tetes mata, inhaler,
insulin dll yang diletakkan pada bagian depan apotek rawat jalan sehingga
dapat diambil, dibaca dan dibawa pulang oleh pengunjung Rumah Sakit,
namun informasi tersebut tidak dapat disediakan secara continue karena
kendala waktu dan pekerjaan yang menumpuk.
Selain kegiatan PIO aktif, kegiatan PIO pasif berupa menjawab
pertanyaan juga dilakukan di Apotek rawat jalan berhubungan dengan
kegiatan farmasi klinik yang diajukan secara verbal (melalui telepon dan
tatap muka) oleh dokter dan perawat ruangan, sebagai contoh pengaturan
164
dosis pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal, mengenai interaksi obat
dan lain sebagainya.
2. PIO di Depo Farmasi Rawat Inap
Kegiatan PIO yang dilakukan di Apotek Rawat Inap RSMS bersifat
aktif dan pasif. Kegiatan PIO aktif yang dilakukan oleh depo farmasi rawat
inap RSMS adalah saat visite ke bangsal Mawar secara rutin dilakukan
setiap sore hari dengan memberikan informasi melalui etiket dan dijelaskan
secara langsung kepada pasien ataupun keluarga pasien meliputi nama obat,
aturan pakai, jumlah obat yang diterima, jenis obat, lama penggunaan obat,
indikasi obat, dan efek samping obat. Selain kegiatan PIO aktif, kegiatan
PIO pasif dengan cara menjawab pertanyaan pasien/keluarga pasien, Dokter,
atau Perawat ruangan mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan
kegiatan farmasi klinik yang diajukan secara verbal atau pun setelah
pemberian obat ke pasien. Misal saat pasien merasakan keluhan baru terkait
penyakitnya atau karena efek samping obat yang timbul. Tujuan umum
kegiatan PIO adalah patient oriented, untuk membantu pasien
memperolehemodialisaan menggunakan obat yang rasional. Sebaiknya
kegiatan PIO yang dilakukan oleh depo farmasi rawat inap RSMS ke
bangsal agar lebih ditingkatkan lagi, baik yang bersifat aktif maupun pasif
dalam memberikan informasi dan rekomendasi obat yang akurat, tidak bias,
terkini dan komperhensif agar tercapai tujuan tersebut.
3. PIO di Depo Farmasi IGD
Pelaksanaan PIO di IGD RSMS belum berjalan sesuai dengan
Pedoman Informasi Obat Depkes 2006, dimana pelaksanaan PIO di IGD
tidak sepenuhnya terlaksana, dikarenakan fasilitas depo IGD yang terbatas.
Sebelumnya PIO untuk pasien di IGD pernah dilakukan secara aktif pada
pasien yang akan rawat jalan, namun karena ruangan depo IGD yang
mengalami renovasi maka ruangan PIO ditiadakan, hal tersebut membuat
aktivitas PIO tidak terlaksana sepenuhnya. Sehingga untuk saat ini
pelaksanaan PIO di IGD RSMS dilakukan di depo tanpa ruangan yang
khusus. PIO aktif di IGD berupa etiket pada obat .
165
Pelaksanaan PIO di IGD pada pasien yang akan melanjutkan rawat
inap tidak dilakukan oleh tenaga kefarmasian di apotek IGD melainkan
dilakukan oleh tenaga kefarmasian di depo farmasi rawat inap. Untuk
pelaksanaan PIO di apotek IGD RSMS bagi tenaga kesehatan lain dilakukan
jika tenaga kesehatan seperti dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lain
menanyakan atau memberikan pertanyaan terkait obat yang akan dijawab
oleh tenaga teknis kefarmasian yang ada di apotek IGD saat itu. Pada
pelaksanaan PIO untuk pasien dilakukan pelayanan PIO secara aktif, namun
untuk pelayanan PIO pada sesama tenaga kesehatan lain dapat dilakukan
secara aktif maupun pasif.
4. Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang
dilakukan Apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan
lainnya untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan
mengkaji masalh terkait obat dan reaksi obat yang tidak dikehendaki,
meningkatkan obat yang rasional dan menyajikan informasi obat kepada
dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya.
Salah satu kegiatan yang dilakukan mahasiswa selama PKPA di RSUD.
Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto terkait pelayanan farmasi klinis
adalah visite. Visite dilakukan secara mandiri diawali dengan pengarahan
dari apoteker penanggung jawab farmasi klinis. Di RSUD. Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto visite tidak dilakukan di semua bangsal,
yakni hanya pada bangsal penyakit dalam (bangsal dahlia, bangsal mawar),
bangsal anak (bangsal aster), bangsal VIV (bangsal Soepardjo Roestam
Atas) dan intensif (ICU, ICCU dan HCU). Hal ini dikarenakan keterbatasan
sumber daya manusia di bidang farmasi klinis. Apoteker yang menangani
dibidang farmasi kilinis di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
yakni berjumlah 6 orang. Kegiatan visite dilakukan pada pukul yang sama
setiap harinya.
Central Sterilization Supply Departement (CSSD) RSUD Prof.Dr.
Margono Soekarjo
166
1. Central Sterile Supply Departement (CSSD)
Central Sterile Supply Departement (CSSD) adalah suatu bagian
atau unit di rumah sakit yang mempersiapkan paket yang berisikan
peralatan dan/atau swabs serta balutan untuk melaksanakan aktivitas
tertentu yang membutuhkan teknik aseptik. Unit ini berada di bawah
Komite Pengendalian Infeksi, CSSD di RSMS bertanggung jawab pada
Wakil Direktur dan pendidikan.
2. Tugas Pokok dan Fungsi CSSD
Tugas pokok dan fungsi CSSD yaitu menjamin sterilisasi untuk
semua pelayanan di RSMS yang terkait dengan sterilisasi, kecuali pada
laboratorium karena sudah memiliki alat sterilisasi sendiri. Unit pelanggan
terbesar CSSD di RSMS adalah unit Instalasi Bedah Sentral sehingga letak
CSSD sendiri berada di lantai dasar IBS. Hal tersebut berguna agar
memudahkan distribusi alat kesehatan atau barang kotor pasca operasi dari
IBS ke CSSD.
3. Kegiatan CSSD
Kegiatan yang dilakukan di RSMS CSSD ini diharapkan
mendapatkan hasil akhir berupa produk-produk steril yang dapat
menunjang kegiatan pelayanan rumah sakit. Beberapa kondisi yang
diperlukan agar mendapatkan produk yang steril seperti : Jumlah
kontaminan awal yang rendah, metode sterilisasi yang digunakan harus
tepat yaitu yang sesuai dengan jenis item yang disterilisasi dan
pemeliharaan hasil proses sterilisasi agar tetap steril.
4. Alur Pelayanan CSSD
Alur pelayanan CSSD (Central Sterilization Suplay Departemen)
dapat dilihat pada gambar 33.
5. Ruang CSSD
Semua alat dan bahan di sterilisasi di CSSD (Central Sterilization
Suplay Departemen) seperti dressing set (seperangkat alat bedah). Pada
CSSD di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto dibagi menjadi 3
167
ruang antara lain yaitu ruang A (ruang kotor), ruang B (ruang sterilisasi),
dan ruang C (ruang penyimpanan).
a. Ruang A (Ruang Kotor)
Pada ruang A dilakukan pelaksanaan sterilisasi mulai dari
dekontaminasi hingga penyerahan. Alat/barang yang telah dipakai misal
dari IBS/OK (alat/bahan berupa infeksius atau masih kotor) masuk melalui
dim water yaitu berupa lift barang untuk menurunkan barang yang akan di
sterilisasi. Proses pertama kali yang dilakukan yaitu pencucian.
PEMAKASI/USER
PERENDAMAN
TID
AK
SELEKSI/CHEKL
IST
YA
PENCUCIAN
PENGERINGAN
TES FUNGSI
PACKING/LABELING
MONITORING TID
KUALITAS AK
TIDAK
PENYIMPANAN
DISTRIBUSI
168
Pencucian yang dilakukan yaitu secara manual atau dengan
menggunakan mesin washer. Untuk alat – alat yang terbuat dari logam
proses pencucian dilakukan dengan menggunakan laruan Anyos, yaitu
berupa larutan surfaktan yang dapat menguraikan lemak dan darah. Alat
yang terbuat dari logam tidak dilakukan perendaman dengan larutan klorin
karena akan menyebabkan karat, sehingga sebagai penggantinya dicuci
dengan larutan Anyos DD1. Air yang digunakan untuk mencuci alat /
barang di CSSD ada 2 macam, yaitu air biasa suhu tinggi dan air erpho (air
dengan kadar mineral kecil untuk mencegah terjadinya karat pada logam).
b. Ruang B (Ruang Sterilisasi)
Pada ruang B, alat yang sudah dicuci kemudian di keringkan dan di
sterilkan. Proses pengeringan yang dilakukan ada 2 macam, yaitu
pengeringan secara manual dengan dilap menggunakan handuk kering
yang terbuat dari bahan yang menyerap air dan menggunakan mesin
pengering.
Alat/barang yang sudah dikeringkan kemudian dijadikan 1 diset
dengan menggunakan benang, dipacking, dilabeling, dan masuk ke mesin
sterilisasi untuk disterilkan. Proses sterilisasi dibagi menjadi 2, yaitu untuk
alat / barang yang tahan panas disterilisasi dengan menggunakan otoklaf
bertekanan pada suhu 121 – 134 °C dan untuk alat/barang yang tidak tahan
panas dilakukan sterilisasi dengan menggunakan gas ethylene chloride
seperti alat yang terbuat dari karet, kaca, maupun sarung tangan. Setiap
tahun otoklaf akan dikalibrasi oleh BPFK untuk mengetahui apakah alat
masih berfungsi dengan baik.
Untuk mengetahui apakah alat sudah disterilkan atau belum dicek
dengan menggunakan indikator. Adapun indikator yang digunakan ada 3
macam, antara lain :
1) Indikator Eksternal,
Untuk mengetahui alat/barang sudah disterilasi atau belum.
Alat/barang dipacking dengan menggunakan kain linen atau
menggunakan kertas forces. Untuk alat/barang yang dipacking dengan
169
menggunakan kain kemudian direkatkan dengan menggunakan
lakban, dan untuk alat/barang yang dipacking menggunakan kertas
forcess terdapat indikator eksternal di samping, yang akan
menunjukkan alat sudah disterilisasi akan berubah warnanya menjadi
hijau. Untuk packing dengan menggunakan kertas forcess Expired
Date selama 3 bulan.
2) Indikator Internal
Pada indikator internal, didalamnya terdapat alat yang kemudian
dimasukkan kedalam mesin sterilisasi. Pada indikator internal sudah
menentukan alat / barang steril.
3) Indikator Biologi
Pada indikator biologi dilakukan dengan menggunakan alat
pembanding berbentuk seperti tabung kecil yang didalamnya berisi
spora jamur / bakteri.
c. Ruang C (Ruang Penyimpanan dan distribusi alat-alat steril)
Pada ruang C terdapat loket loket untuk distribusi alat – alat
yang sudah disterilkan ke ruang rawat. Distribusi dari ruang C dari
IBS / OK melewati dim waiter pada suhu 20 – 30 oC kemudian
langsung masuk ke IBS / OK. Keletakkan di ruang simpan yaitu tinggi
dari lantai 60 cm dan jarak dari tembok 20 cm. Peletakkan alat /
barang disimpan di dalam rak.
5. Quality Assurance RSUD Prof.Dr. Margono Soekarjo
Sebagai bagian dari penjaminan mutu instalasi farmasi rumah sakit
perlu melakukan beberapa kegiatan QA (Quality Assurance) diantaranya :
1. Evaluasi Waktu Tunggu Pelayanan Resep
Evaluasi Waktu Tunggu Pelayanan Resep dilakukan di bagian
Instalasi Farmasi Rawat Jalan RSU Prof. Dr. Margono Soekarjo pada tanggal 12, 14,15,
16 dan 18 Agustus 2017; dan Instalasi Rawat Jalan Paviliun Abiyasa pada tanggal 12,
14,15 dan 16 Agustus 2017.
Evaluasi waktu tunggu resep bertujuan untuk mengevaluasi berapa
lamanya waktu pelayanan resep racikan dan non racikan pada pelayanan
resep di Apotek Rawat Jalan RSMS maupun rawat jalan di Paviliun
170
Abiyasa. Evaluasi tersebut juga untuk meningkatkan kualitas pelayanan
farmasi dan memberikan kepuasan kepada pasien. Standar waktu
pelayanan dibedakan berdasarkan jenis resep non-racikan dan racikan.
Berdasakkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
129/Menkes/SK/II/2008 Tentang Standar Pelayanan minimal RS
menetapkan pelayanan resep non-racikan yaitu kurang dari 30 menit
sedangkan untuk resep racikan selama kurang dari 60 menit. Berdasarkan
ketetapan untuk management waktu tunggu pelayanan resep di Rumah
Sakit Margono Soekarjo untuk resep non-racikan ≤ 25 menit dan untuk
resep racikan ≤ 50 menit.
Hasil Waktu Tunggu Pelayanan Resep di Instalasi Farmasi Rawat
Jalan RSMS dan Instalasi Farmasi Rawat Jalan Paviliun Abiyasa adalah
sebagai berikut
Tabel 10. Rata-Rata Waktu Tunggu Pelayanan Resep di Instalasi
Farmasi Rawat Jalan RSMS Bulan Agustus
Rata-Rata Waktu Tunggu Pelayanan
Alur Pelayanan Non
Rumus Perhitungan Racikan
Racikan
Entry + Etiket Waktu Entry-Waktu Resep Datang 0:15:00 0:15:00
Skrining Waktu Skrining-Waktu Entry 0:25:00 0:18:00
Dispensing Waktu Dispensing -Waktu Skrining 0:48:00 0:21:00
Penyerahan Obat Waktu Skrining-Waktu Entry 0:09:00 0:19:00
Akumulasi Total Waktu Alur Pelayanan 1:38:00 1:14:00
waktu tunggu dibagi 5 hari (waktu pengambilan (88 menit) (74 menit)
sampel)
Presentase Jumlah Resep Yang Sesuai dibagi
14,43% 10,89%
ketercapaian Total Resep dikali 100%
171
Rata-Rata Waktu Tunggu Pelayanan
Alur Pelayanan
Rumus Perhitungan Racikan Non
Racikan
Entry + Etiket Waktu Entry-Waktu Resep Datang 00:07:30 00.12.32
Skrining Waktu Skrining-Waktu Entry 00:29:48 00.10.12
Dispensing Waktu Dispensing -Waktu Skrining 00:24:10 00.05.34
Penyerahan Waktu Skrining-Waktu Entry 00:10:20 00.06.00
Obat
Akumulasi Total Waktu Alur Pelayanan 01:11:48 00:34:26
waktu tunggu dibagi 5 hari (waktu pengambilan (71 menit)
sampel)
Presentase Jumlah Resep Yang Sesuai dibagi 72,32 % 29,45 %
ketercapaian Total Resep dikali 100%
172
(72.32%) dan resep non racikan 0:34:26 (29.45%). Hasil tersebut belum
sesuai dengan target, dimana target ketercapaian yang baik yaitu ≥ 80%.
Berdasarkan pengamatan, ketidaksesuaian disebabkan oleh waktu
tunggu yang lama pada bagian entry, skrining resep dan penyerahan obat.
Untuk resep non racikan, rata-rata waktu tunggu pada bagian entry dan
skrining adalah 12 menit dan dispensing 10 menit. Sedangkan untuk resep
racikan rata-rata waktu tunggu pada bagian dispensing 30 menit dan
checking 24 menit. Pada bagian entry dan skrining dilakukan oleh 2 orang
petugas sehingga terjadi penumpukan resep datang. Petugas harus
melakukan entry dan skrining pada saat bersamaan serta melakukan
konfirmasi ke dokter untuk beberapa resep yang memerlukan konfirmasi
dokter penanggungjawab sehingga waktu tunggu pada bagian skrining dan
entry menjadi lebih lama. Keterlambatan pada bagian dispensing obat
racikan disebabkan karena banyaknya jumlah item obat yang harus diracik
dalam satu resep tidak sebanding dengan jumlah petugas dispensing yang
harus melayani penyiapan obat non racikan pada saat bersamaan.
Sedangkan pada bagian penyerahan obat, setelah obat selesai didispensing,
obat tidak dapat langsung diserahkan kepada pasien sebelum pasien
membayarkan biaya pengobatan di loket pembayaran dan menunjukkan
kwitansi pembayaran sehingga terdapat jeda waktu yang panjang antara
waktu selesai dispensing, checking dan penyerahan obat.
2. Evaluasi Tingkat Kepuasan Pasien
Kepuasan pelanggan merupakan satu elemen yang penting dalam
mengevaluasi kualitas layanan dengan mengukur sejauh mana respon
pelanggan setelah menerima jasa. Dengan adanya kualitas pelayanan yang
baik di dalam Rumah Sakit, akan menciptakan kepuasan bagi para
pelanggan. Secara teoritis, kepuasan didefinisikan sebagai suatu reaksi
konsumen terhadap pelayanan yang diterima dan ditinjau berdasarkan
pengalaman yang dialami. Selain itu, kepuasan juga mempertimbangkan
tentang apa yang dirasakan oleh konsumen. Konsumen akan memberikan
penilaian tentang suatu yang mereka dapatkan. Pelanggan akan puas
apabila layanan yang didapatkannya sekurang-kurangnya sama atau
173
melampaui harapan pelanggan. Sedangkan ketidakpuasan akan timbul
apabila hasil (outcome) tidak memenuhi harapan pelanggan.
Kepuasan pelanggan adalah hal yang penting dalam pengendalian
mutu pelayanan suatu Rumah Sakit. Output yang didapat dari kepuasan
pelanggan menggambarkan tentang kualitas pelayanan sehingga dapat
digunakan untuk mengevaluasi kinerja petugas kefarmasian di bagian
Depo pelayanan kefarmasian RSMS dan Paviliun Abiyasa.
Penelitian yang kami lakukan berkaitan dengan evaluasi kepuasan
pelanggan dan dilakukan selama 4 hari yaitu pada tanggal 19, 21,22 dan 23
Agustus 2017, dimana lokasi pengambilan data adalah di Depo Farmasi
Rawat Jalan RSMS dan Depo Farmasi Rawat Jalan Paviliun Abiyasa pada
jam pelayanan resep. Jumlah responden yang diperoleh pada akhir
penelitian adalah 517 responden pada Depo Farmasi Rawat Jalan RSMS
dan 227 responden pada Depo Farmasi Rawat Jalan RS Paviliun Abiyasa.
Evaluasi kepuasan pelanggan metode penelitian prospektif, dengan
melakukan survei langsung kepada responden menggunakan kuesioner
standar yang berisi 6 item pernyataan dimana pertanyaan-pertanyaan
tersebut mewakili 5 poin, dengan poin yang berisi tentang etika petugas,
waktu tunggu obat, pemberian informasi, fasilitas depo farmasi rawat jalan
dan biaya obat.
Presentase yang diperoleh dari responden yang puas dan tidak puas
dapat menggambarkan bagian pelayanan apa yang memerlukan perhatian
khusus, dimana dilihat dari prosentase terendah dari seluruh pernyataan
dari kuesioner kepuasan pelanggan. Peringkat kinerja yang mendapat nilai
terendah nantinya akan dijadikan evaluasi dalam perbaikan untuk
peningkatan kualitas pelayanan yang diberikan Rumah Sakit.
174
1 2 3 4 1 2 3 4
1 0 5 452 60 517 0 10 1356 240 1606
14
2 3 326 41 517 3 294 978 164 1439
7
26
3 16 221 11 517 16 538 663 44 1261
9
4 3 59 408 47 517 3 118 1224 188 1533
5 1 94 399 23 517 1 188 1197 92 1478
6 0 7 458 52 517 0 14 1374 208 1596
58 226 23
Jumlah 23 23 1162 6792 936 8913
1 4 4
% Kepuasan (skor/total skor) x100 0. 26% 13,04% 10,5% 76,2%
Keterangan :
STS = Sangat Tidak Setuju
TS = Tidak Setuju
S = Setuju
SS = Sangat Setuju
Total tingkat kepuasan = % Sangat Puas + % Puas
= 10,5% + 76,2%
= 86,7%
Total tingkat ketidakpuas= % Sangat tidak puas + % tidak puas
= 0,26% + 13,04%
= 13,3%
175
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, diperoleh data sebesar
86,70 % pelanggan puas terhadap pelayanan yang diberikan, sedangkan
13,30 % pelanggan merasa tidak puas dengan pelayanan yang telah
diberikan, dimana data tersebut diperoleh dari 517 total responden di Depo
Farmasi Rawat Jalan RSMS selama 4 hari.
Dari hasil tersebut menunjukan bahwa kepuasan pelanggan
terhadap pelayanan kefarmasian di DFRJ RSMS belum memenuhi syarat
KEPMENKES No. 129 Tahun 2008 tentang standar pelayanan minimal
Rumah Sakit (kepuasan pelanggan ≥ 90 %) yaitu hanya sebesar 86,70 %.
Hal ini disebabkan karena waktu tunggu obat yang masih lama (65,5% dari
hasil rata-rata presentasi poin 2 dan 3) dan fasilitas dari depo farmasi rawat
jalan yang belum memadai (71,47%), ditunjukkan pada Tabel 13.
176
lembar kuesioner. Saran yang tertulis diharapkan dapat meningkatkan
pelayanan Depo Farmasi Rawat Jalan di RSMS agar dapat menjadi lebih
baik, saran yang tertulis diantaranya:
a. Terkait dengan etika petugas pelayanan, yaitu mengkonfirmasi ulang
kepada pelanggan terkait dengan kepahaman pelanggan saat diberikan
informasi tentang obat dan petugas lebih komunikatif terutama saat
penyerahan obat
b. Terkait dengan waktu tunggu obat, yaitu : loket penyerahan obat
diperbanyak (dibuat untuk setiap poli) dan dimaksimalkan, pelayanan
resep dipercepat dan tidak menumpuk resep, loket pendaftaran resep
dibuka tepat waktu, perlu penambahan petugas pelayanan.
c. Terkait dengan pemberian informasi saat pengambilan obat, yaitu :
peningkatan keramahan petugas, pemberian keterangan indikasi pada
etiket obat
d. Terkait dengan fasilitas Depo Farmasi Rawat Jalan RSMS,
yaitu :pemisahan untuk pasien rehabilitas dalam pengambilan obat,
perluasan ruang tunggu, perlunya penaatan ruang agar letak ruang
tunggu tidak berada di jalur keluar masuk pengunjung, penambahan
toilet didekat dengan ruang tunggu saat pengambilan obat,
penambahan fasilitas, seperti kursi tunggu pasien, TV, penyejuk
ruangan (AC) dan air minum, peningkatan kebersihan ruang tunggu.
Tabel 14. Hasil Tingkat Kepuasan Pelanggan di Depo Farmasi
Rawat Jalan RS Pavilliun Abiyasa
HASIL SKOR
Poin Jumlah ∑
STS TS S SS STS TS S SS
kuisioner responden SKOR
1 2 3 4 1 2 3 4
1 0 1 189 37 227 0 2 567 148 717
2 3 39 169 16 227 3 78 507 64 652
3 8 78 130 11 227 8 156 390 44 598
4 0 16 161 50 227 0 32 483 200 715
5 2 44 152 29 227 2 88 456 116 662
6 1 11 173 42 227 1 22 519 168 710
Jumlah 14 189 974 185 14 378 2922 740 4054
% Kepuasan (skor/total skor) x100 0,35% 9,32% 72,07% 18,26%
177
Total tingkat kepuasan = % Sangat Puas + % Puas
= 18,25% + 72,07%
= 90,32%
Total tingkat ketidakpuasan = % Sangat tidak puas + % tidak puas
= 0,34% + 9,32%
= 9,66%
178
disebabkan karena penyesuaian resep dengan ketersediaan obat di DFRJ
RS Paviliun Abiyasa membutuhkan waktu. Data tersebut dapat dilihat pada
tabel 15.
179
berdiri, penambahan toilet yang letaknya berdekatan dengan apotek,
penambahan fasilitas, seperti kursi tunggu pasien, penyejuk ruangan
(AC) dan air minum, peningkatan kebersihan ruang tunggu.
180
Tabel 17. Daftar Alkes Macet di Gudang Pusat Farmasi RSMS
Jumlah
No Nama Alkes Harga Satuan Harga Total
Stok Sisa
1 Catgut 3/0 Ds 24 480 Rp 40.200,00 Rp 19.296.000,00
2 Catgut Chromic 2 HR 45mm 482 Rp 47.480,00 Rp 22.885.360,00
3 Central Venous Catheter 3-2 F 4 Rp 550.000,00 Rp 2.200.000,00
4 ET No. 4,5 cup 45 Rp 24.200,00 Rp 1.089.000,00
5 ET No.3,5 Non Kinking 15 Rp 138.000,00 Rp 2.070.000,00
6 Jarum Spinal No.20 59 Rp 32.000,00 Rp 1.888.000,00
7 Kertas EKG Kecil 10 Rp 48.400,00 Rp 484.000,00
8 Pipa Rektum 20 620 Rp 6.600,00 Rp 4.092.000,00
9 Pot 15g T4 2300 Rp 598,00 Rp 1.375.400,00
10 Pot 5g T2 400 Rp 449,90 Rp 179.960,00
11 Silk Black 2 Ds 37 360 Rp 31.900,00 Rp 11.484.000,00
12 Suction Cath. No. 14 180 Rp 4.345,00 Rp 782.100,00
13 Tensoplast STK Child 7 Rp 70.500,00 Rp 493.500,00
Total Rp 994.672,90 Rp 68.319.320,00
Berikut presentase stok macet di Gudang perbekalan farmasi :
a. Obat-obatan
b. Alkes
Dari data diatas dapat dilihat bahwa total kerugian untuk obat macet jika tetap
tidak terpakai adalah sebesar Rp 81.187.016,- dengan presentase 1,29%; sedangkan
total kerugian untuk penggunaan alkes yang macet jika tetap tidak terpakai adalah
sebesar Rp 68.319.320,- dengan presentase 2,64%. Stok mati tersebut dapat
disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya peresepan yang tidak mengacu pada
181
formularium (standar pengobatan), pola peresepan dokter yang berubah atau
prevalensi penyakit yang berubah sama sekali sehingga terdapat obat yang tidak
diresepkan oleh dokter sampai tiga bulan berturut-turut, dan kurang tepat dalam
perencaan pengadaan. Untuk mengatasi adanya stok macet tersebut petugas gudang
farmasi perlu mengetahui mana obat yang termasuk obat fast moving maupun slow
moving sebelum melakukan pengadaan obat. Untuk menghindari kerugian, maka
harus ada penanganan untuk sediaan obat dan alkes yang mengalami stok macet.
Dalam mengatasi adanya obat macet di Gudang Farmasi, kebijakan yang
diterapkan oleh Rumah Sakit Prof. Margono Soekarjo adalah sebagai berikut:
1) Mencatat obat macet dari kartu stok atau computer.
2) Melaporkan hasil data obat macet ke atasan (Kepala Sub Instalasi Sediaan
Farmasi)
3) Ka.Sub Instalasi Sediaan Farmasi melaporkan kepada Kepala Instalasi
Farmasi mengenai adanya obat macet
4) Pengambilan tindakan oleh Kepala Instalasi Farmasi atas permasalahan obat
macet, yaitu melakukan tindakan :
a. Memberikan informasi obat macet kepada SMF (Staf Medis Fungsional)
baik secara individu maupun melalui TFT (Tim Farmasi dan Terapi)
b. Memberikan informasi kepada principle atau distributor lewat Kepala Sub
Instalasi Sediaan Farmasi
c. Jika kedua hal di atas tidak berhasil maka Kepala IFRS dapat melaporkan
perihal tersebut langsung kepada Direktur untuk ditindaklanjuti.
Selain pengatasan yang telah ditetapkan oleh pihak Rumah Sakit Prof.
Margono Soekarjo, ada hal-hal yang mungkin bisa dilakukan selain disebutkan
diatas yaitu melakukan return perbekalan farmasi yang mengalami stok macet
untuk item barang yang mendekati ED 1 (ED kurang dari 6 bulan), agar tidak
menambah kerugian dalam waktu dekat dan memungkinkan bisa digunakan ke
depo-depo farmasi.
182
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan kegiatan dan pengamatan dari bulan April sampai dengan
Mei 2016 dapat disimpulkan antara lain:
1. Kegiatan yang dilakukan selama mengikuti PKPA dapat memberikan
gambaran secara khusus kepada calon-calon Apoteker mengenai pelayanan
kefarmasian di Rumah Sakit, terutama di RSUD Prof. Dr. Margono
Soekarjo Purwokerto
2. Mahasiswa PKPA mengetahui peran, fungsi, dan tanggung jawab Apoteker
dalam pelayanan kefarmasian khususnya bidang manajerial kefarmasian di
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto (RSMS) secara keseluruhan
yang telah terlaksana dengan cukup baik. Namun pada bidang farmasi
klinik, mahasiswa PKPA belum mendapatkan secara optimal. Hal ini terjadi
karena terdapatnya beberapa kendala seperti, kurangnya tenaga kefarmasian,
kebijakan Rumah Sakit yang masih kurang berorientasi pada farmasi klinik,
dan sistem yang mendukung untuk berjalannya farmasi klinik.
3. Pengelolaan perbekalan farmasi yang meliputi pemilihan/seleksi,
perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian,
pengendalian, penghapusan, administrasi dan pelaporan, serta evaluasi di
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto telah disesuaikan dengan
Standar Prosedur Operasional yang ditetapkan oleh Direktur.
4. Mahasiswa PKPA mengetahui peran Apoteker dalam Panitia Farmasi
dan Terapi (PFT) khususnya dalam seleksi obat di RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto (RSMS) serta memahami cara penyusunan
Formularium Rumah Sakit.
5. Mahasiswa PKPA mengetahui proses pelaksanaan farmasi klinik serta alur
pelayanan yang dilakukan di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto (RSMS).
183
6. Penerapan konsep Pharmaceutical Care dalam pelayanan kepada pasien di
RSMS pada depo farmasi rawat jalan sudah dilakukan saat penyerahan obat
dengan baik oleh farmasis yang dibantu oleh TTK, sedangkan pada depo
farmasi rawat inap belum dilakukan dengan optimal.
7. Sistem distribusi perbekalan farmasi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto (RSMS) menggunakan sistem ODD (One Daily Dose) dengan
pengemasan UDD (Unit Dose Dispensing).
B. Saran
1. Optimalisasi praktik farmasi klinis untuk para mahasiswa PKPA
2. Melibatkan mahasiswa PKPA pada kegiatan Apoteker seperti pada proses
skrining dan checking.
3. Ketelitian perlu ditingkatkan saat menyiapkan obat.
4. pemeriksaan double check diusahakan tetap konsisten, sehingga
meminimalisir kejadian medication error.
5. Perlu diadakan diskusi lintas tenaga medis dan tenaga kefarmasian secara
berkala agar didapatkan persepsi yang sama dalam hal terapi pasien.
6. Pengendalian stok sediaan farmasi, bahan medis habis pakai dan alat
kesehatan perlu ditingkatkan, evaluasi kesesuaian stok fisik dan stok dalam
SIM (Sistem Informasi dan Manajemen) perlu dilakukan secara berkala.
7. Untuk Depo Farmasi Gawat Darurat (DFGD), pengambilan obat hendaknya
dilakukan oleh petugas DFGD saja, karena perawat IGD kurang memiliki
kompetensi dalam hal tersebut.
8. Kegiatan farmasi klinik di IGD hendaknya dapat dilakukan dengan
maksimal.
184
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2009a, Undang- undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan: Sekertariat Negara, Jakarta.
Anonim, 2009b, Undang- Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2009 Tentang
Rumah Sakit: Sekertariat Negara, Jakarta.
185
Depkes,2010a, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.340/MENKES/PER/III/2010, tentang Klasifikasi Rumah Sakit:
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2009,
Pharmacotherapy Handbook, Seven Edition., McGraw-Hill Education
Companies, Inggris.
Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat kesehatan, 2009, Pedoman Dasar Dispensing
Sediaan steril, Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
186
IAI, 2011, Standar Kompetensi Apoteker Indonesia (SKAI),Ikatan Apoteker
Indonesia, Jakarta.
Pemerintah Daerah Jawa Tengah, 1997, Peraturan Daerah Tingkat I Jawa Tengah
No. 4 tahun 1997 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit Umum
Daerah Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Propinsi Daerah Tingkat
I Jawa Tengah: Pemerintah Propinsi Jawa Tengah Tingkat I, Jawa Tengah.
Perdossi. 2011. Guideline Stroke Tahun 2011. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (Perdossi). Jakarta.
187
Quick, J.D, et al., 2012, MDS-3:Managing Access to Medicines and Health
Technologies, Managing Support System: Planning and Administration,
Management Sciences for Health, Arlington.
RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo, 2014, Prosedur Tetap Pelayanan Resep Di
Ruang ICU/ICCU/HCU: RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo, Purwokerto.
Siregar, Charles J.P., 2004, Farmasi Rumah Sakit: Teori dan Penerapan, EGC
Buku Kedokteran, Jakarta.
WHO. 1996. Cancer Pain Relief. Second Edition. World Health Organization.
Wijaya, H.N, 2014, Sistem Informasi Manjemen Rumah Sakit, Health Science
Collage, Sukabumi.
Wolf, S., Barton, D., Kottschade, L., grothey, A., Loprinzi, C, 2008.
Chemotherapy Induced Peripheral Neuropathy Prevention and Treatment
Strategies. European journal of cancer, 1507-1515.
Doi:10.1016/j.ejca.2008.04.018, www.ejconline.com
Gyssens, I.C. & Meer, V.D., 2001, Quality of Antimicrobial Drug Prescription in
Hospital, Clinical Microbiology and Infection, Volume 7, Supplement 6,
12-15, New York, Kluwer Academic Publishers
188
McEvoy, G.K., 2008, AHFS Drug Information, Bethesda, American Society of
Health-System Pharmacist Inc
Syarif, A., Estuningtyas, A., Setiawati, A., Muchtar, A., Arif, A., Bahry, B.,
Suyatna, F.D., et al., 2007, Farmakologi dan Terapi Edisi 5, Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.
The Amrin Study Group, 2005, Antimicrobial resistance, Penyakit Dalam usage
and infection control; a self assessment program for Indonesian hospitals,
Jakarta, Directorate General of Medical Care
Tjay, T.H., Rahardja, K., 2007, Obat-Obat Penting Edisi 6, Elex Media
Komputindo, Jakarta.
189
LAMPIRAN
190
Lampiran 1. Leaflet Penggunaan Diskus Inhaler
191
192
Lampiran 2. Leaflet Penggunaan Fleet Enema
Cara Menggunakan Fleet Enema:
1. Berbaringlah dengan posisi miring ke kiri dengan lutut agak ditekuk dan
lengan diposisikan senyaman mungkin.
2. Dapat juga dengan posisi berlutut pada tempat tidur, lalu turunkan kepala dan
dada depan sampai sisi kiri wajah bersentuhan dengan tempat tidur dengan
lengan kiri dilipat nyaman.
4. Jangan memaksa ujung enema masuk ke dalam rektum. Hal ini dapat
menyebabkan cedera. Botol enema diremas sampai hampir semua cairan di
193
dalamnya habis atau masuk ke dalam rektum, kecuali ada permintaan
khususdari dokter atau mengikuti petunjuk dosis pada label kemasan.
5. Keluarkan ujung enema dari rektum pasien, kemudian mintalah pasien untuk
tahan dalam posisi pengobatan sesuai dengan petunjuk dokter.
6. Fleet enema digunakan setidaknya 2 jam sebelum tidur.
7. Jika pasien melewatkan dosis Fleet enema sementara pasien sedang
menggunakannya secara teratur, maka gunakanlah sesegera mungkin. Jika
beberapa jam telah berlalu atau jika mendekati waktu untuk pemberian dosis
berikutnya, maka tidak perlu pemberian dosis ganda, kecuali disarankan oleh
dokter. Jangan menggunakan 2 dosis sekaligus.
194
Lampiran 3. Form MESO
Keterangan:
R1 = Ruang dengan suhu (15o-25oC) untuk menyimpan sediaan injeksi,
dan sebagian obat luar
R2 = Ruang dengan suhu (15o-25oC) untuk menyimpan sediaan injeksi
sitostatika dan oral
R3 = Ruang dengan suhu sejuk penyimpanan infusa
R4 = Ruang dengan suhu (15o-25oC) untuk menyimpan sediaan obat oral,
injeksi dan beberapa obat luar
R5 = Ruang penyimpanan obat-obat yang disimpan pada suhu (25o-30oC)
R6 = Ruang penyimpanan alkes (lantai 2)
R7= Ruang penyimpanan B3 ( bahan berbahaya & beracun)
Lampiran 8. Tata letak gudang logistik RSMS Ruang 5
Lampiran 9. Denah Depo Farmasi Rawat Inap RSMS
25 1 2
24 23
4
2
21 18
6
15 15
2 9
20 17
2 5
19 16
10
7
3
26 7
14
13 12 11
Keterangan :
1. Tempat skrining Resep dan pemberian etiket
2. Loket penerimaan resep dan Entry resep
3. Loket penyerahan obat
4. Sediaan Sirup dan Topikal
5. Sediaan Injeksi Generik
6. Meja penyiapan obat(Dispensing)
7. Tempat Verifikasi obat (pengecekan terakhir)
8. Sediaan obat generik oral
9. Sediaan obat generik oral
10.a. Obat injeksi paten
b. Obat-obat High Alert
11. Tempat infus,DS,RL, dsb.
12. Alat Kesehatan
13. obat paten oral
14. Ruang peracikan dan pencampuran
15. Gudang
16. Gudang rak High Alert
17. Gudang rak oral generik kemasan botol
18. Gudang rak oral paten
19. Gudang rak injeksi generik
20. Gudang rak oral generik
21. Gudang rak luar paten
22 Gudang rak injeksi generik
23. Almari Narkotika dan narkotik Almari psikotropika
24. Lemari Es.
25. Toilet
26. Rak tas
Lampiran 10.Denah Depo Farmasi ICU
Rak Cairan p
Lemari Rak Cairan Infus i
Infus Pendingin n
t
u
Meja
Administrasi Rak
& Dispensing ALKES
Lemari
HAM
Keterangan :
E G H Pintu
F Lemari HAM
Rak Obat Tablet &
Injeksi
A Meja Administrasi &
Dispensing
Raki cairan Infus
Obat Stok
Washtafel
D C B
Lemari Pendingin
Obat
Lampiran 13.Denah Depo Farmasi Kemoterapi
Lampiran 14. Denah Depo Farmasi IBS Lantai 2
2 3 4
1 5
Keterangan:
1. Komputer
2. Rak alat kesehatan dan obat
3. Kulkas penyimpanan obat dengan suhu dingin
4. Rak alat kesehatan
5. Tempat penyimpanan obat High Alert
6. Rak tempat penyimpann alat kesehatan
Lampiran 15. Denah Depo Farmasi IBS Lantai 3
1 2 3
8 7 6 5
Keterangan:
1. Rak alat kesehatan dan obat
2. Rak alat kesehatan
3. Palet untuk tempat barang yang masih di kardus
4. Lemari stok obat
5. Kulkas penyimpanan obat
6. Tempat penyimpanan obat High Alert
7. Lemari arsip
8. Komputer
Lampiran 16. Lembar Pengamatan Efek Samping Obat Kanker
Protokol Terapi
NAMA : Umur : No CM : Alamat :
L/P
Golongan darah : A/B/AB/O Tanggal lahir : Ruang :
Nama obat Akr Dosis harian Rute Pemberian pada hari Frekuens
NO Efek Samping G
Tanggal NO Efek G Tanggal
samping
3 3
2 2
1 1
0 0
2 2
1 1
0 0
2 2
1 1
0 0
2 2
1 1
0 0
2 2
1 1
0 0
6. REAKSI KULIT 4 15. HEPATOTOKSI 4
K
3 3
2 2
1 1
0 0
2 2
1 1
0 0
2 2
1 1
0 0
9. ANEMIA 4 18. 4
3 3
2 2
1 1
0 0
Pemeriksaan Laboratorium